BAB II TINJAUAN UMUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA … · 2020. 10. 15. · waktu sebelum, selama,...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA … · 2020. 10. 15. · waktu sebelum, selama,...
BAB II
TINJAUAN UMUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003
A. Pengertian Ketenagakerjaan
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja; yaitu setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa,
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat; pada
waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.20
B. Landasan, Asas, dan Tujuan Ketenagakerjaan
Landasan dari pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah bahwa pembangunan ketenagakerjaan
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.21
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh karena itu, pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun
spiritual.
20
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 21
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
25
Asas dari pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah bahwa pembangunan ketenagakerjaan
diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral dan daerah.22
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya
sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi
Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu
antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Oleh karena itu,
pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja
sama yang saling mendukung.
Tujuan dari pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu
kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja
seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan
dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat
berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun
dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
2. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
22
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
26
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah. Pemerataan
kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja
dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan
tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di
seluruh sektor dan daerah.
3. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
4. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.23
C. Pelatihan Kerja
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,
meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan
kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan. Yang dimaksud dengan
peningkatan kesejahteraan adalah kesejahteraan bagi tenaga kerja yang
diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan kerja.24
Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar
kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. Pelatihan
kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada
standar kompetensi kerja. Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh
23
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 24
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
27
Menteri Ketenagakerjaan dengan mengikutsertakan sektor terkait. Pelatihan
kerja dapat dilakukan secara berjenjang. Jenjang pelatihan kerja pada
umumnya terdiri atas tingkat dasar, terampil, dan ahli.25
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan
dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya melalui pelatihan kerja.26
Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan
kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja. Pengguna tenaga kerja terampil
adalah pengusaha. Oleh karena itu, pengusaha bertanggung jawab mengadakan
pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi pekerjanya. Peningkatan
dan/atau pengembangan kompetensi tersebut diwajibkan bagi pengusaha yang
memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan. Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan
bagi pengusaha karena perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil
kompetensi pekerja/buruh. Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang
sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan
yang ada di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan
perusahaan.27
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah
dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta. Yang dimaksud dengan pelatihan
kerja swasta juga termasuk pelatihan kerja perusahaan. Pelatihan kerja dapat
25
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 26
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 27
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hlm. 46.
28
diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja. Lembaga pelatihan
kerja pemerintah sebagaimana dimaksud di atas dalam menyelenggarakan
pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.28
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan:
1. Tersedianya tenaga kepelatihan.
2. Adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan.
3. Tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja.
4. Tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan
pelatihan kerja.29
Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka
pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja
nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang
dan/atau sektor. Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan
keterpaduan berbagai unsur pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta,
biaya, sarana dan prasarana, tenaga kepelatihan, program dan metode, serta
lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan kerja nasional, semua unsur dan
sumber daya pelatihan kerja nasional yang tersebar di instansi pemerintah,
swasta, dan perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal.30
Pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah melakukan pembinaan
pelatihan kerja dan pemagangan. Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan
ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, serta efisiensi
penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas. Peningkatan produktivitas
28
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 29
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 30
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
29
tersebut dilakukan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja,
teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi menuju terwujudnya produktivitas
nasional.31
D. Hubungan Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menegaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja
antara pengusaha dan pekerja/buruh.32
Segala hal dan/atau biaya yang
diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan
menjadi tanggung jawab pengusaha.33
Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Pada prinsipnya
perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang
beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan. Perjanjian kerja yang
dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis
harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain
perjanjian kerja waktu tertentu, antar kerja antar daerah, antar kerja antar
negara, dan perjanjian kerja laut.34
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1. Kesepakatan kedua belah pihak.
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hokum. Yang
dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang
31
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 32
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 33
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 34
Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia; Panduan bagi Pengusaha, Pekerja,
dan Calon Pekerja, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hlm. 72.
30
mampu atau cakap menurut hokum untuk membuat perjanjian. Bagi
tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua
atau walinya.
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan.
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.35
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat:
1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha.
2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh.
3. Jabatan atau jenis pekerjaan.
4. Tempat pekerjaan.
5. Besarnya upah dan cara pembayarannya.
6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh.
7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.36
Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud di atas dalam
angka 5 dan angka 6 tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan adalah apabila di perusahaan
telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi
35
Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 36
Pasal 54 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
31
perjanjian kerja, baik kualitas maupun kuantitas, tidak boleh lebih rendah dari
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang
bersangkutan. Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud di atas dibuat sekurang-
kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama,
serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian
kerja.37
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas
persetujuan para pihak.38
Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut
didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.39
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan tersebut
dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dalam hal
perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila
kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku
perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.40
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya
masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam
perjanjian kerja tersebut, masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi
hukum.
37
Pasal 54 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. 38
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 39
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 40
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
32
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu:
1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
3. Pekerjaan yang bersifat musiman.
4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.41
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat
tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak
dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu
perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan
musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi
tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya
suatu kondisi tertentu, maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman
yang tidak termasuk pekerjaan tetap, sehingga dapat menjadi obyek perjanjian
kerja waktu tertentu.42
41
Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 42
Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
33
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu
berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu
hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan
paling lama 2 (dua) tahun. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut maka demi hukum menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.43
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa
percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Syarat masa percobaan kerja harus
dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara
lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja
yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal
tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka
ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Dalam masa percobaan
kerja tersebut, pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum.
43
Pasal 59 Ayat (3) sampai dengan Ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
34
Perjanjian kerja berakhir apabila:
1. Pekerja meninggal dunia.
2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Keadaan atau
kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau
gangguan keamanan.44
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau
hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, maka hak-hak pekerja/buruh
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Dalam
hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan
pekerja/buruh.45
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu
tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana
44
Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 45
Pasal 61 Ayat (2) sampai dengan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
35
dimaksud di atas, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.46
Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat
keterangan:
1. Nama dan alamat pekerja/buruh.
2. Tanggal mulai bekerja.
3. Jenis pekerjaan.
4. Besarnya upah.47
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.48
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain tersebut harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama.
2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan.
3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan.
46
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 47
Pasal 63 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 48
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
36
4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.49
Perusahaan lain sebagaimana dimaksud di atas berbentuk badan hukum.
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan
lain tersebut sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.50
Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud di
atas diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya. Hubungan kerja tersebut dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja
waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas.51
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak terpenuhi,
maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan pemberi pekerjaan. Dalam hal hubungan kerja beralih ke
perusahaan pemberi pekerjaan tersebut, maka hubungan kerja pekerja/buruh
dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud di atas.
Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
49
Pasal 65 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. 50
Pasal 65 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. 51
Pasal 65 Ayat (6) dan Ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
37
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi. Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan
usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh
dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang
berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan
tersebut antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha
penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman
(security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.52
Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
1. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh.
2. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja tersebut adalah
perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud di atas dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani.
52
Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
38
3. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh. Perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja, maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia
jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pekerja/buruh yang bekerja pada
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama)
sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/ buruh lainnya di
perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.
4. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.53
E. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menegaskan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas:
1. Keselamatan dan kesehatan kerja.
2. Moral dan kesusilaan.
53
Pasal 66 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
39
3. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-
nilai agama.54
Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal, diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja. Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk
memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para
pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja,
pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan
rehabilitasi.55
Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Yang
dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah
bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi
struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur,
proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan,
pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan
kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan
produktif.56
Selain itu, aspek keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah
54
Pasal 86 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 55
Pasal 86 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 56
Pasal 87 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
40
mengenai waktu kerja. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
kerja, yang meliputi:
1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.57
Keselamatan dan kesehatan kerja secara filosofi adalah suatu pemikiran
dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan, baik jasmaniah
maupun rohaniah, tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya,
menuju masyarakat adil dan makmur. Negara Indonesia dewasa ini akan
memajukan industri yang maju dan mandiri dalam rangka mewujudkan era
industrialisasi. Proses industrialisasi maju ditandai antara lain dengan
mekanisme, elektrifikasi, dan modernisasi. Dengan keadaan yang demikian,
maka penggunaan mesin-mesin, pesawat-pesawat, instalasi-instalasi modern,
serta bahan berbahaya semakin meningkat. Hal tersebut di samping memberi
kemudahan proses produksi dapat pula menambah jumlah dan ragam sumber
bahaya di tempat kerja. Akan terjadi pula lingkungan kerja yang kurang
memenuhi syarat, proses, dan sifat pekerjaan yang berbahaya, serta
peningkatan intensitas kerja operasional tenaga kerja. Masalah tersebut akan
sangat mempengaruhi dan mendorong peningkatan jumlah maupun tingkat
keseriusan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan pencemaran
lingkungan, sehingga dianggap sangat perlu untuk meningkatkan kualitas dan
57
Pasal 77 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
41
kedisiplinan untuk melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.58
Keselamatan dan kesehatan kerja diperlukan seiring dengan
perkembangan industri yang membawa serta penggunaan berbagai alat, mesin,
instalasi, dan bahan-bahan berbahaya maupun beracun. Penggunaan alat dan
bahan yang awalnya bertujuan untuk memudahkan pekerja/buruh dalam
melakukan pekerjaannya kerap justru menimbulkan peningkatan risiko kerja
dalam proses penggunaan/pengerjaannya. Risiko yang langsung berakibat bagi
pekerja/buruh umumnya adalah risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja, yang pada tingkat tertentu dapat menyebabkan putusnya hubungan kerja
sehingga kelangsungan pekerjaan/penghidupan pekerja/buruh dan keluarganya
tidak lagi dapat dipertahankan. Di sisi lain, terdapat risiko bagi pengusaha
berupa kemungkinan terjadinya berbagai kerusakan di lingkungan kerja dalam
kaitannya dengan kelangsungan aset serta alat dan bahan produksi, serta
timbulnya biaya-biaya kompensasi.59
Hubungan antara perlunya keselamatan dan kesehatan kerja diterapkan
dengan kerugian sebagai konsekuensi dari dampak yang terjadi dibahas dalam
beberapa teori. Teori domino kecelakaan kerja mengulas bahwa setiap
kecelakaan yang menimbulkan cedera mencakup lima faktor berurutan yang
digambarkan sebagai lima domino dalam posisi sejajar, yaitu kebiasaan,
kesalahan seseorang, perbuatan dan kondisi tidak aman, kecelakaan, serta
cedera. Adapun teori manajemen membahas mengenai lima faktor berurutan
58
Indra Afrita, Hukum Ketenagakerjaan dan Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial
di Indonesia, (Yogyakarta: Absolute Media, 2015), Hlm. 145-146. 59
Aloysius Uwiyono, dkk., Asas-asas… Op. Cit., Hlm. 78.
42
dalam kecelakaan kerja, yaitu manajemen, sumber penyebab dasar, gejala,
kontak, dan kerugian.60
Biaya kecelakaan dan sakit meliputi biaya pengobatan dan kompensasi,
sedangkan biaya kerusakan properti dan lainnya meliputi biaya kerusakan
bangunan, peralatan, produk/bahan, keterlambatan pengerjaan, pengeluaran
legal, penyewaan peralatan pengganti, waktu penyelidikan, upah lembur, waktu
ekstra pengawasan, biaya rekrutmen serta pendidikan dan pelatihan
pekerja/buruh baru, serta dampak atas hilangnya niat baik. Oleh karena itu,
guna menghindari dampak yang merugikan bagi para pihak, diperlukan
keselamatan dan kesehatan kerja, terutama dalam bentuk pengaturan dan
program-program kerja.61
Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, dan bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan/atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.62
Pelaksanaan berbagai pengaturan di bidang keselamatan dan kesehatan
kerja merupakan tanggung jawab pengusaha sebagai pihak yang secara
ekonomi lebih kuat. Pengusaha dapat dikenai berbagai sanksi, meliputi sanksi
pidana atas tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori tindak pidana
pelanggaran maupun kejahatan dalam peraturan perundang-undangan
60
Ibid., Hlm. 78-79. 61
Ibid., Hlm. 79. 62
Mohd. Syaufii Syamsuddi, Dasar-dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja, (Jakarta:
Sarana Bhakti Persada, 2009), Hlm. 15.
43
ketenagakerjaan, sanksi perdata berupa pembayaran ganti kerugian dan
pemenuhan hak, atau sanksi administratif atas pelanggaran maupun kelalaian
dalam pemenuhannya. Namun demikian, untuk mencapai tujuan-tujuan
keselamatan dan kesehatan kerja yang telah diuraikan sebelumnya,
sesungguhnya terdapat tanggung jawab dan/atau kewajiban terkait pelaksanaan
keselamatan dan kesehatan kerja umum yang didistribusikan kepada para pihak
dalam hubungan industrial, meliputi pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah.63
Pekerja/buruh mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi
seluruh syarat dalam peraturan keselamatan dan kesehatan kerja yang
diwajibkan, mengenakan peralatan keselamatan dan kesehatan kerja (alat
pelindung diri) yang diwajibkan, serta memberikan informasi yang sebenar-
benarnya apabila diminta oleh pengawas. Adapun kewajiban pemerintah
adalah menyusun peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja, menyediakan bantuan teknis dan asistensi, mengatur dan
menerapkan pengawasan ketenagakerjaan, melaporkan hasil pengawasan
ketenagakerjaan, serta memberikan sanksi. Pengusaha wajib mematuhi
peraturan keselamatan dan kesehatan kerja, menjelaskan kondisi dan prosedur
kerja yang aman, potensi bahaya, sistem serta peralatan keselamatan dan
kesehatan kerja, melaksanakan dan mengorganisasikan implementasi
keselamatan dan kesehatan kerja, melaporkan kejadian kecelakaan kerja
maupun penyakit akibat kerja dan memasang poster-poster serta menyediakan
63
Aloysius Uwiyono, dkk., Asas-asas… Op. Cit., Hlm. 94-95.
44
peralatan keselamatan dan kesehatan kerja secara gratis bagi para
pekerja/buruhnya. Apabila terjadi suatu kecelakaan kerja atau penyakit akibat
kerja, maka pengusaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian
kepada pekerja/buruhnya melalui prinsip tanggung jawab pengusaha.
Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu program yang dibuat bagi
pekerja/buruh maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) bagi
timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam
lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif
bila terjadi hal demikian. Tujuan dari dibuatnya sistem ini adalah untuk
mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit
akibat hubungan kerja. Namun, sangat disayangkan tidak semua perusahaan
memahami arti pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja dan bagaimana
mengimplementasikannya dalam lingkungan perusahaan.
Dibuatnya aturan penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja pada
hakikatnya adalah pembuatan syarat-syarat keselamatan kerja dalam
perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan,
pemakaian, penggunaan, pemeliharaan peralatan dalam bekerja, serta
pengaturan dalam penyimpanan bahan, barang, produk teknis, dan aparat
produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan,
sehingga potensi bahaya kecelakaan kerja tersebut dapat dieliminir.
Terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam
penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu:
45
1. Seberapa serius keselamatan dan kesehatan kerja hendak
diimplementasikan dalam perusahaan.
2. Pembentukan konsep budaya malu dari masing-masing pekerja/buruh
bila tidak melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta
keterlibatan (dukungan) serikat pekerja/buruh dalam program
keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja.
3. Kualitas program pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai
sarana sosialisasi.
Inti dari terlaksananya keselamatan dan kesehatan kerja dalam
perusahaan adalah adanya kebijakan standar berupa kombinasi aturan, sanksi,
dan benefit dilaksanakannya keselamatan dan kesehatan kerja oleh perusahaan
bagi pekerja/buruh dan perusahaan.
Adapun akibat yang muncul atas kecelakaan kerja atau penyakit yang
ditimbulkan oleh hubungan kerja dapat berupa:
1. Pekerja/buruh tidak mampu bekerja untuk sementara.
2. Pekerja/buruh cacat sebagian untuk selama-lamanya.
3. Pekerja/buruh cacat total untuk selama-lamanya.
4. Pekerja/buruh cacat kekurangan fungsi organ.
5. Pekerja/buruh meninggal dunia.
Pekerjaan konstruksi sangat rentan terhadap kecelakaan, sehingga
merupakan hal yang mustahil untuk menyatakan bahwa dalam proyek
konstruksi tidak akan terjadi kecelakaan kerja. Pembangunan yang
dilaksanakan dengan teknologi tingkat tinggi maupun dengan teknologi
46
sederhana pasti memiliki risiko yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja.
Kecelakaan kerja dan penyakit kerja yang disebabkan oleh pekerja harus
dicegah, bahkan kalau bisa dihilangkan sama sekali. Dalam mengatasi
masalah-masalah tersebut, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang dan
berbagai peraturan menyangkut keselamatan dan kesehatan kerja. Tetapi,
semua usaha pemerintah tidak akan berhasil tanpa adanya respon dari
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Untuk mencegah
hal tersebut, dibutuhkan juga respon dari perusahaan untuk mengatasi masalah-
masalah yang terjadi dalam suatu proyek dengan memberikan sanksi kepada
para pekerja yang melanggar peraturan atauun dengan sengaja mengabaikan
prosedur dalam melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, yang dapat
menyebabkan kecelakaan kerja.64
Menerapkan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sangat penting
karena bertujuan untuk memberikan suasana lingkungan dan kondisi kerja
yang baik, nyaman, dan aman, serta dapat menghindari kecelakaan dan
penyakit kerja. Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan pemerintah, maka telah lengkap landasan hukum untuk
melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja pada proyek konstruksi.65
Untuk mencegah gangguan kesehatan dan daya kerja, ada beberapa usaha
yang dapat dilakukan agar karyawan tetap produktif dan mendapatkan jaminan
perlindungan kerja, yaitu:
64
Christie Pricilia Pelealu, Penerapan Aspek Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan
Kerja, Jurnal Sipil Statik, Volume 3 Nomor 5, Mei 2015, hlm. 331. 65
Ibid., hlm. 331-332.
47
1. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja. Periksa kesehatan calon
karyawan untuk mengetahui apakah calon peserta tersebut serasi
dengan pekerjaan yang akan diberikan kepadanya, baik fisik maupun
mentalnya.
2. Pemeriksaan kesehatan berkala untuk evaluasi faktor-faktor penyebab
itu telah menimbulkan gangguan-gangguan atau kelainan-kelainan
kepada tubuh karyawan atau tidak.
3. Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada karyawan
secara continue itu penting agar mereka tetap waspada dalam
menjalankan pekerjaanya.
4. Penerangan dan penjelasan sebelum bekerja agar para karyawan
mengetahui dan menaati peraturan-peraturan dan lebih berhati-hati.
5. Pakaian pelindung, misalnya masker, kacamata, sarung tangan, sepatu,
topi, pakaian kerja, dan sebagainya.
6. Isolasi, yaitu mengisolasi operasi atau proses produksi dalam
memperoleh yang membahayakan karyawan, misalnya mengisolasi
mesin yang sangat berisi agar tidak menjadi mengganggu kinerja
pekerja lain.
7. Ventilasi setempat (local exhauster), ialah alat untuk penghisap udara
di suatu tempat kerja tertentu, agar bahan-bahan dari suatu tempat
dihisap dan dialirkan keluar.
8. Substitusi, yaitu mengganti bahan yang lebih bahaya dengan bahan
yang kurang bahaya atau tidak berbahaya sama sekali.
48
9. Ventilasi umum, yaitu mengalirkan udara sebanyak menurut
perhitungan ke dalam ruang kerja. Hal tersebut bertujuan agar kadar
dari bahan-bahan yang berbahaya oleh pemasukan udara ini bisa lebih
rendah hingga mencapai ambang batas.66
Ruang lingkup upaya kesehatan kerja meliputi berbagai upaya
penyerasian antara pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya, baik
fisik maupun psikis, dalam hal cara maupun metode kerja dan kondisi yang
bertujuan untuk:
1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat
pekerja di semua lapangan kerja.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pekerja yang diakibatkan
oleh keadaan atau kondisi lingkungan pekerjaannya.
3. Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari
kemungkinan dari bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
membahayakan kesehatan.67
Inti dari terlaksananya keselamatan dan kesehatan kerja dalam
perusahaan adalah adanya kebijakan standar berupa kombinasi aturan, sanksi,
dan benefit dilaksanakannya keselamatan dan kesehatan kerja oleh perusahaan
bagi pekerjanya dan perusahaan, atau dengan kata lain, adanya suatu kebijakan
mutu yang dijadikan acuan atau pedoman bagi pekerja dan pengusaha.68
66
Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 112. 67
Ibid., hlm. 115. 68
Dhoni Yusra, Pentingnya Implementasi K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dalam
Perusahaan, Jurnal Lex Jurnalica, Volume 1 Nomor 1, Desember 2003, hlm. 16.
49