BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Tindak Pidana dan ... 2.pdf · merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan...

download BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Tindak Pidana dan ... 2.pdf · merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam ... yang khusus terhadap keadaan ... (KUHP) membagi semua

If you can't read please download the document

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Tindak Pidana dan ... 2.pdf · merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan...

  • 25

    BAB II

    TINJAUAN UMUM

    2.1 Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

    2.1.1 Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

    Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

    pidana Belanda yaitu delik atau strafbaar feit. Kata strafbaar feit kemudian

    diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.28

    Beberapa perkataan yang digunakan

    untuk menerjemahkan kata strafbaar feit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain:

    tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara di dalam berbagai perundang-

    undangan digunakan istilah untuk menunjukkan pengertian kata strafbaar feit.

    Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain: peristiwa

    pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang

    diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Seperti halnya Utrecht, Moeljatno, dan

    Tirtaamidjaja dalam buku Wirjono Prodjodikoro memakai istilah peristiwa pidana

    sebagai jalan tengah agar tidak menimbulkan persepsi yang tidak tepat.29

    Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakekatnya tidak

    menjadi persoalan sepanjang penggunaanya disesuaikan dengan konteksnya dan

    dipahami maknanya. Karena itu berbagai istilah tersebut digunakan bergantian

    28

    Wirjono Prodjodikoro,op.cit, h.57

    29 Ibid.

    29

    Wirjono Prodjodikoro , loc.cit. 25

  • 26

    bahkan dalam konteks yang lain istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang

    sama.30

    Pengertian tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu tindak pidana

    adalah pelanggaran norma-norma dalam tindak hukum lain, yaitu hukum perdata,

    hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk

    undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana.31

    Simons memberikan pendapatnya mengenai delict yaitu, delik merupakan

    suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak

    sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

    undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat

    dihukum. Menurut d.Simons dalam bukunya C.S.T Kansil tindak pidana merupakan

    perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh

    seseorang yang mampu bertanggungjawab.32

    Adapun Van Hamel dalam bukunya Lamintang yang merumuskan strafbaar

    feit sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain,

    kemudian menurut Pompe dalam buku yang sama menyatakan perkataan strafbaar

    feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan

    terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan segaja telah

    30

    Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Effendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,

    Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 40.

    31

    Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h.1.

    32

    C.S.T. Kansil dan Kristine S.T. Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet. Kedua,

    PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 38. (Selanjutnya disingkat C.S.T.Kansil II).

  • 27

    dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku

    tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

    umum.33

    Menurut Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu

    perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman

    (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan.34

    Menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan

    kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat

    dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan terhadap syarat-syarat ini adalah bahwa

    pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai

    pertanggungjawaban. Sesuai dengan penjelasan di atas, maka pendapat Bambang

    Poernama sejalan dengan pendapat J.E Jonkers dalam buku Bambang Poernama,

    yang telah memberikan defenisi mengenai strafbaar feit menjadi dua pengertian,

    sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo yaitu:

    a. Definisi dalam arti sempit yaitu strafbaar feit merupakan suatu kejadian (feit)

    yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.

    b. Definisi dalam arti luas yaitu strafbaar feit merupakan suatu kelakuan yang

    melawan hukum berhubungan dengan dilakukannya suatu perbuatan dengan

    sengaja atau alfa oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.35

    33

    P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h.

    172.

    34

    Moeljatno, op.cit, h. 54.

    35

    Bambang Poernomo, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,h. 91.

  • 28

    Menurut definisi dalam arti sempit pada hakekatnya menyatakan bahwa untuk

    setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh

    pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain dari

    pada apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Definisi dalam arti luas lebih

    menitik beratkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban yang

    merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik atau

    unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada.36

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah

    perbuatan yang melanggar peraturan-peraturan pidana, diancam dengan hukuman

    oleh undang-undang (sanksi pidana) dan dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan

    dan dapat dipertanggungjawabkan. Adanya suatu tindak pidana tidak dapat terlapas

    dari akibat yang ditimbulkan tindakan tersebut. Selain merugikan orang lain, tindak

    pidana juga akan berakibat pada adanya pertanggungjawaban pidana yaitu berupa

    hukuman, vonis atau penjatuhan sanksi pidana dimuka pengadilan kepada pelaku

    tindak pidana atau kejahatan tersebut. Pada umumnya tidak semua tindak pidana atau

    kejahatan dapat dijatuhi pidana, oleh karena itu di dalam hukum pidana berlaku suatu

    asas yaitu tidak dipidana jika ada kesalahan atau sering disebut dengan Geen Starf

    Zonder Schuld.37

    36

    Ibid.

    37

    Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Sistem Pemidanaan Di Indonesia,

    Akademika Pressindo, Jakarta, h. 40. (Selanjutnya disingkat Andi Hamzah II).

  • 29

    Andi Hamzah mengemukakan dalam bukunya bahwa ada empat tujuan pidana,

    yaitu :

    1. Reformasi adalah memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat;

    2. Restraint adalah mengasingkan pelanggar dari masyarakat; 3. Retribution adalah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan

    kejahatan;

    4. Deterrence adalah memberikan efek jera atau mencegah sehingga baik terdakwa maupun orang lain yang mempunyai potensial menjadi penjahat

    akan jera dan takut melakukan kejahatan karena melihat pidana yang

    dijatuhkan. Sedangkan tujuan pidana yang banyakberkembang saat ini adalah

    variasi dari tujuan pidana reformasi dan deterrence.38

    Berdasarkan sudut pandang terjadinya suatu tindakan yang dilarang, maka

    seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan yang dilakukanya

    tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar

    atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Menurut

    Moeljatno dalam perbuatan yang dilarang disitu yang terpenting adalah guilty mind

    yaitu sikap batin yang jahat dari si pelaku. Selain itu perbuatan tersebut menghambat

    cita-cita bangsa Indonesia yaitu datangnya masyarakat yang adil, makmur sehingga

    perbuatan tersebut merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.

    Alf Ross dalam bukunya Moeljatno mengemukakan pendapatnya mengenai apa

    yang dimaksud dengan seseorang yang bertanggungjawab atas pebuatannya, yaitu:

    Pertanggungjawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara

    kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang

    diisyaratkan. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya

    suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam

    melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam

    38

    Andi Hamzah I, op.cit, h. 28.

  • 30

    pertanggungjawaban dalamhukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada

    kesalahan (Geen starf zonder schuld: Actus non facit reum mens rea).39

    Pertanggungjawaban pidana bagi seseorang, harus mempunyai kemampuan

    bertanggungjawab atau keadaan batin orang itu harus normal dan sehat.

    Simons dalam bukunya Tongat menyatakan bahwa kesalahan adalah keadaan

    batin psychis yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin si

    pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.40

    Kemampuan untuk

    bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka dari itu untuk membuktikan

    adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi, mengingat hal ini susah untuk

    dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan

    bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap

    orang normal bathinnya mampu bertanggungjawab, kecuali jika ada tanda-tanda yang

    menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal, maka hakim akan

    memerintahkan untuk dilakukan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa

    terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih

    meragukan hakim, maka berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti,

    sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas

    tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.41

    39

    Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina

    Aksara, Jakarta, h. 150. (Selanjutnya disingkat Moeljatno II).

    40

    Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,

    UUM Press, Malang, h. 222.

    41

    Ibid, h. 223.

  • 31

    Selain itu untuk menentukan adanya pertanggungjawaban seseorang dalam

    melakukan suatu tindak pidana harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana,

    yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Mengenai sifat melawan hukum

    apabila dihubungkan dengan keadaan psikis atau jiwa pembuat tindak pidana yang

    dilakukannya dapat berupa kesengajaan atau karena kelalaian. Akan tetapi

    kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian.

    Bachtiar Agus Salim dalam bukunya Djoko Prokoso menyatakan bahwa ada

    beberapa syarat agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya yang harus

    dipenuhi, antara lain:

    1. Tenang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan

    hukum;

    2. Mampu bertanggungjawab;

    3. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaannya;

    4. Tidak adanya alasan pemaaf.42

    2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

    Pada dasarnya, setiap tindak pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah

    (fakta) oleh perbuatan, mengandung perbuatan dan akibat yang ditimbulkan.

    Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan tindak pidana, oleh karena itu

    harus diketahui apa saja unsur-unsur atau ciri-ciri dari perbuatan pidana itu

    sendiri. Adapun 5 unsur yang terkandung dalam tindak pidana, yaitu:

    42

    Djoko Prokoso, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.140.

  • 32

    a. Harus ada sesuatu kekuatan (gedraging); b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang; c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.43

    Terdapat begitu banyak rumusan mengenai unsur-unsur tindak pidana. Setiap

    sarjana memiliki pendapat yang berbeda serta ada kesamaan pendapat. Seperti

    halnya Lamintang yang mengemukakan bahwa:

    Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si

    pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di

    dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang

    dimaksud dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-

    tindakan dari si pelaku harus dihapuskan.44

    Adapun penjelasan mengenai unsur subjektif dan unsur objektif, yaitu:

    4. Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas

    hukum pidana menyatakan tidak ada hukuman kalau tidak ada

    kesalahan. Kesalahan yang dimaksud dalam hal ini adalah kesalahan

    yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan

    kealpaan (negligence or schuld).

    5. Unsur Objektif Unsur objektif adalah unsur yang berasal dari luar diri pelaku yang

    terdiri atas:

    a. Perbuatan manusia, berupa: act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu

    perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.

    b. Akibat (result) tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh

    43

    C.S.T. Kansil II, op.cit, h.11.

    44

    Leden Merpaung, 1991, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Ed I,

    Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, h.11.

  • 33

    hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan,

    dan lainnya.

    c. Keadaan-keadaan (circumstances) pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain; keadaan pada saat perbuatan dilakukan;

    keadaan setelah perbuatan dilakukan.

    d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum, sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari

    hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu

    bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau

    perintah.45

    Tidak hanya pengertian yang dijabarkan oleh Lamintang, Cristine dan Cansil

    pun turut menyatakan pendapat mengenai unsur-unsur tindak pidana yakni, selain

    harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan

    Handeling (perbuatan manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana),

    Toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab),

    serta adanya Schuld (terjadi karena kesalahan).46

    Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris dalam buku Moeljatno merumuskan empat

    hal pokok dalam tindak pidana, yaitu tindak pidana adalah perbuatan manusia

    yang termasuk dalam ruang lingkup rumus delik, Wederrechtjek (melanggar

    hukum), dan dapat dicela. Tidak jauh berbeda dengan yang telah dijelaskan

    sebelumnya, Moeljatno menyebutkan bahwa tindak pidana terdiri dari lima

    elemen, yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), hal ikhwal atau keadaan yang

    menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur

    45

    Laden Mepaung, op.cit, h. 9.

    46

    C.S.T. Kansil II, op.cit, h.38.

  • 34

    melawan hukum yang subjektif dan unsur melawan hukum yang objektif.47

    Pada

    dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang akan

    dikenakan sanksi pidana.

    2.1.3 Jenis-Jenis Tindak Pidana

    Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membagi semua jenis

    tindak pidana kedalam dua golongan, baik yang termuat didalam maupun diluar

    KUHP, yaitu golongan kejahatan (misdrijven) yang terdapat dalam Buku II

    KUHP dan golongan pelanggaran (overtredingen) yang terdapat dalam Buku III

    KUHP. Terdapat dua pendapat mengenai jenis tindak pidana, yaitu penggolongan

    jenis tindak pidana bersifat kwalitatif dan penggolongan jenis tindak pidana

    bersifat kwantitatif, adapun penggolongan jenis tindak pidana yang bersifat

    kwalitatif, yaitu :

    1. Rechtdelicten adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,

    terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang

    atau tidak. Tindak pidana ini disebut dengan kejahatan (mala perse).

    Kejahatan jenis ini tergolong dalam perbuatan pidana berat, misalnya:

    pembunuhan dan pencurian.

    2. Wetsdelicten adalah perbuatan yang baru disadari oleh masyarakat sebagai

    tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai tindak

    47

    Moeljatno, op.cit, h. 54.

  • 35

    pidana,karena adanya undang-undang yang mengancamnya dengan sanksi

    pidana (mala quia prohibita).48

    Terdapat perbedaan pendepat mengenai kedua jenis pidana tersebut, menurut

    Mr.J. M. Van Bemmelen, dalam bukunya Hand-en Leer-boek van het

    Nederlandse Starfrecht jilid II halaman 7, menyatakan suatu pendapat bahwa

    perbedaan antara dua golongan tindak pidana ini tidak bersifat kwalitatif,

    melainkan hanya bersifat kwantitatif, yaitu kejahatan pada umumnya diancam

    dengan hukuman lebih berat dari pada pelanggaran dan ini nampaknya didasarkan

    pada sifat lebih berat dari pada kejahatan.49

    Penggolongan ini penting, karena dalam Buku I KUHP terdapat beberapa

    ketentuan yang hanya berlaku bagi kejahatan, misalnya tentang percobaan dan

    penyertaan. Maka dari itu karena perbedaan antara dua golongan ini adalah

    kwantitatif maka diluar dari KUHP dalam undag-undang tertentu yang memuat

    penyebutan tindak pidana harus ditegaskan, apakah tindak pidana tersebut masuk

    golongan kejahatan atau masuk golongan pelanggaran.

    2.2 Pengertian Rumah Sakit dan Korporasi Rumah Sakit

    Istilah rumah sakit berasal dari bahasa Belanda yaitu Zeikenhuis. Ziek berarti

    sakit, zeiken yang berarti banyak orang sakit, sehingga diterjemahkan menjadi rumah

    48

    Moch Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,

    Bandung, h. 392.

    49

    Wirjono Prodjodikoro , opc.cit. h.134.

  • 36

    para orang sakit dan dipersingkat menjadi rumah sakit.50

    Pada kamus lengkap bahasa

    Indonesia yang menyebutkan bahwa rumah sakit adalah gedung tempat merawat

    orang sakit atau gedung tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan

    yang meliputi berbagai masalah kesehatan.51

    Ensiklopedi Nasional Indonesia memberikan definisi bahwa rumah sakit

    adalah:

    Sarana yang menyediakan pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap.

    Rawat jalan berupa klinik yang bergantung padabesarnya rumah sakit yang

    dapat bersifat tunggal atau terdiri dari banyak bagian sesuai pelayanan

    spesialistik. Sedangkan yang ada pada rawat inap adalah melayani pasien

    yang perlu dirawat, yang biasanya terbagi dalam bagian-bagian sesuai jenis

    penyakit, kelompok umur, dan jenis kelamin.52

    Menurut rumusan World Health Organization (WHO), rumah sakit adalah

    usaha yang menyediakan pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medik

    jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnotik,

    terapeutik, dan rehabilitatif untukorang-orang yang menderita sakit, terluka, dan

    untuk mereka yang melahirkan.

    Pengertian rumah sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik

    Indonesia Nomor 340/ MENKES/ PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit

    dalam Pasa1 ayat (1) menyatakan :

    50

    Amir Ilyas, op.cit, h. 9.

    51

    Rizky Maulana dan Putri Amelia, 2013, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Cahaya

    Agency, Surabaya, h. 360.

    52

    Ibid.

  • 37

    Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan

    pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga

    kesehatan dan penelitian. Upaya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan

    oleh rumah sakit meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan, pelayanan gawat

    darurat,pelayanan medik, dan pelayanan penunjang medik dan non medik.

    Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa rumah sakit

    merupakan suatu instansi yang menyediakan jasa di bidang pelayanan kesehatan baik

    secara rawat jalan ataupun rawat inap, serta rumah sakit juga berfungsi sebagai

    tempat pendidikan tenaga kesehatan. Rumah sakit bukan lagi menjadi sekedar wadah,

    sarana tempat dilakukannya pelayanan kesehatan namun juga sebagai subjek hukum,

    penyelenggaraan rumah sakit di dasarkan pada pancasila, nilai kemanusian, etika dan

    profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak, serta UU Rumah sakit. Sebagai

    subjek hukum maka rumah sakit memiliki hak dan kewajiban sebagaimana diatur

    dalam Pasal 4 UU Rumah Sakit yang menyebutkan rumah sakit mempunyai tugas

    memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan

    tugasnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Rumah Sakit, maka rumah sakit

    memiliki fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Rumah Sakit yaitu :

    a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

    b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai

    kebutuhan medis;

    c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan

    kesehatan;

    d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

    kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang

    kesehatan.

  • 38

    Pada dasarnya rumah sakit adalah suatu organisasi yang sifatnya memang

    sudah kompleks, dengan adanya perkembangan zaman dan teknologi maka semakin

    lama semakin bertambah kompleks serta bertambah padat modal, padat tenaga, padat

    teknologi, dan padat persoalan dalam berbagai bidang antara lain yaitu, hukum,

    ekonomi, etik, HAM, teknologi dan lain-lainnya. Perkembangan ilmu pengetahuan

    dan teknologi di bidang kedokteran yang penerapannya dilakukan dirumah sakit

    membuat bertambah kompleksnya manajemen di rumah sakit sehingga masyarakat

    bertambah kritis terhadap pelayanan yang diberikan pihak rumah sakit. Maka perlu

    dipersiapkan adanya langkah-langkah terhadap dampak hukum yang mungkin timbul

    terhadap manajemen rumah sakit akibat tuntutan dari pihak pasien baik secara perdata

    maupun pidana.

    Rumah sakit pada hakekatnya adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh

    suatu badan hukum (pemerintah, perjan, yayasan, perseroan terbatas, dan

    perkumpulan). Maka dari itu rumah sakit merupakan sebagai subjek hukum pidana

    karena diakunya korporasi, dan korporasi juga sebagai subyek hukum pidana

    sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat RUU KUHP Tahun 2012). Pengaturan

    tentang tindak pidana korporasi dalam RUU KUHP terletak pada Buku I Bagian II

    Pertanggungjawaban Pidana Paragraf 6 Korporasi pada Pasal 48 RUU KUHP, Pasal

    49 RUU KUHP, Pasal 50 RUU KUHP, dan Pasal 51 RUU KUHP.53

    53

    Ibid, h. 19.

  • 39

    2.2.1 Jenis-Jenis Rumah Sakit

    Rumah sakit merupakan pelayanan kesehatan rujukan, artinya pelayanan

    rumah sakit tipe dan tingkat apapun utamanya melayani rujukan dari berbagai

    bentuk pelayanan primer atau pelayanan kesehatan dasar. Pelayanan primer yang

    dilakukan oleh rumah sakit biasanya dilakukan untuk penderita gawat darurat

    (emergency) atau pada bagian rawat jalan (out patiet). Berdasarkan hal ini, maka

    dapat dilihat rumah sakit terbagi atas beberapa jenis yaitu:

    a. Berdasarkan jenis penyakit atau masalah kesehatan penderita, rumah sakit dibedakan menjadi 2, yaitu:

    1. Rumah Sakit Umum (RSU) adalah rumah sakit yang melayani segala jenis masalah kesehatan atau penyakit dari masyarakat;

    2. Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang hanya melayani salah satu jenis masalah kesehatan atau penyakit dari masyarakat. Misalnya:

    rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit ibu dan anak, dan

    rumah sakit jantung.

    b. Berdasarkan kepemilikannya rumah sakit dibedakan menjadi 5, yaitu: Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh Departemen Kesehatan;

    1. Rumah sakit yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (RSUD), yang terbagi menjadi 2, yaitu rumah sakit umum daerah provinsi dan rumah

    sakit umum daerah kabupaten.

    2. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh TNI dan POLRI, yang terbagi menjadi 4, yaitu rumah sakit angkatan darat (AD), rumah sakit

    angkatan laut (AL), rumah sakit angkatan dara (AU), dan rumah sakit

    POLRI

    3. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh Departemen lain dan BUMN, yang terbagi menjadi 3, yaitu rumah sakit pertamina, rumah

    sakit PELNI, dan rumah sakit perkebunan

    4. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh swasta terbagi menjadi2 yaitu ,rumah sakit yayasan dan rumah sakit perusahaan (PT)

    54

    54

    Soekodjo Notoatmodjo, op.cit, h. 158.

  • 40

    2.3 Pengertian Dokter

    Istilah kata dokter dalam buku Ari Yunanto dan Helmi menyatakan berasal

    dari bahasa latin yaitu docere yang artinya mengajar, jadi dokter adalah seseorang

    yang bertugas mendidik pasiennya agar dapat berkomunikasi dengan tubuhnya secara

    benar sehingga diharapkan bisa memberdayakan dirinya untuk penyembuhan maupun

    untuk menjaga agar tubuhnya tetap sehat. Pada buku yang sama Ari Yunanto dan

    Helmi menyebutkan bahwa dokter adalah orang yang dimintai pertolongan oleh

    pasien karena kemampuan profesinya yang dianggap mampu untuk mengobati

    penyakit yang diderita oleh pasien.55

    Kamus lengkap bahasa Indonesia memberikan definisi tentang dokter yaitu

    seseorang yang lulus dalam hal pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit

    dan pengobatannya.56

    Profesi dokter merupakan pekerjaan mulia yang membantu orang lain untuk

    sehat, sembuh dari segala macam penyakit dan gangguan kesehatan yang dideritanya.

    Profesi dokter akan diakui setelah mendapatkan sertifikat kompetensi yang berupa

    surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk

    menjalankan praktik kedokteran yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan,

    kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang

    bersifat melayani masyarakat yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran.

    55

    Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Andi Offset, Yogyakarta,h.13.

    56

    Rizky Maulana dan Putri Amelia, op.cit, h. 170.

  • 41

    2.4 Pengertian dan Unsur-Unsur Malpraktek

    Berkaitan dengan pembahasan dari penulisan penelitian ini tindakan yang

    dilakukan oleh dokter dalam melaksanakan tugasnya yang menimbulkan perbuatan

    pidana sehingga merugikan pihak pasien. Perbuatan tersebut seperti melakukan

    malpraktek, malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak

    selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah mal mempunya arti salah dan praktek

    mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, maka malpraktek berarti

    pelaksanaan atau tindakan yang salah.57

    Annie Isfandyarie dalam bukunya memberikan pengertian tentang malpraktek

    atau malpractice yang berasal dari kata mal yang memiliki arti buruk atau jelek,

    sedangkan kata practice yang memiliki arti tindakan. Berdasarkan hal tersebut

    malpraktek atau malpractice diartikan sebagai tindakan yang buruk. Hal ini berarti

    medical malpractice atau malpraktek kedokteran merupakan tindakan medis yang

    dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya secara buruk yang disebabkan

    tindakan dokter tersebut dilakukan di bawah standar yang dipersyaratkan. Maka

    Annie Isfandyarie, menyimpulkan bahwa malpraktek merupakan sebagai kesalahan

    dokter karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan

    sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau

    cacat badan bahkan menyebabkan meninggal dunia.58

    57

    Chrisdiono M. Achadiat, 2007, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran (Dalam Tantangan

    Zaman), EGC, Jakarta, h. 163.

  • 42

    Steadmans Medical Dictonary menyebutkan malpraktek sebagai salah cara

    mengobati suatu penyakit atau luka, karena disebabkan sikap tindak yang acuh,

    sembarang atau berdasarkan motivasi kriminil.59

    Menurut Vironika dalam bukunya Hukum Etika Dalam Praktek Dokter

    memberikan definisi mengenai malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan

    profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan

    dokter.60

    M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir berpendapat bahwa malpraktek adalah

    kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang

    lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran

    dilingkungan yang sama, yang dimaksud kelalaian disini adalah sikap kurang hati-

    hati, yaitu melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar

    profesi dan standar prosedur oprasional). Berdasarkan uraian di atas M. Jusuf

    Hanafiah dan Amri Amir memberikan beberapa unsur-unsur malpraktek yaitu:

    1. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya;

    2. Adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur oprasional; 3. Adanya luka berat atau mati yang mengakibatkan pasien cacat atau meninggal

    dunia;

    58 Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktek dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana,

    Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 15

    59

    J. Guwandi, op.cit, h.22.

    60

    Vironika Komalasari, 1989, Hukum Dan Etika Dalam Praktek Kedokteran, Sinar Harapan,

    Jakarta, h. 87.

  • 43

    4. Adanya hubungan klasual dimana luka berat yang dialami pasien merupakan akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan standar pelayanan

    medik.61

    Terdapat unsur-unsur malpraktek lain yang ada dalam buku Veronika yaitu:

    1. Kewajiban (duty): saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk

    menyembuhkan atau meringankan beban penderita pasiennya berdasarkan

    standar profesi.

    2. Tidak melaksanakan kewajiban (breach of the duty): pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa ang

    seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

    3. Sebab-akibat (proximate caused): pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami pasien.

    4. Cedera (injury): seseorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum.

    62

    Selain unsur-unsur malpraktek yang telah disebutkan di atas, terdapat pula

    jenis-jenis malpraktek yang dilakukan oleh dokter antara lain yaitu:

    1. Malpraktek Etik

    Malpraktek etik adalah suatu tindakan dokter yang bertentangan dengan etika

    kedokteran yang dituangkan didalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

    yang merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan, atau norma yang

    berlaku untuk dokter. R. Hariadi dikutip dari Ari Yunanto, asas etik merupakan

    kepercayaan atau aturan umum yang mendasar yang dikembangkan dari sistem

    etik. Asas etik yang terdiri dari 6 asas tersebut memiliki sifat yang universal yang

    terdapat dalam etik kedokteran yaitu:

    61

    Amir Ilyas, op.cit, h. 45.

    62

    Amir Ilyas, op.cit, h. 44.

  • 44

    a. Asas menghormati otonomi pasien; b. Asas kejujuran; c. Asas tidak merugikan; d. Asas manfaat; e. Asas kerahasiaan; dan f. Asas keadilan.63

    2. Malpraktek Administrasi

    Pelanggaran hukum administrasi yang terjadi dalam praktik kedokteran

    merupakan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban hukum administrasi

    kedokteran. Kewajiban administrasi dokter dapat di bagi dua, yaitu: pertama,

    kewajiban administrasi yang berhubungan dengan kewenangan sebelum dokter

    berbuat. Kedua, kewajiban admnistrasi pada saat dokter sedang melakukan

    pelayanan medis. Berdasarkan adanya dua macam kewajiban administrasi maka

    pelanggaran administrasi dapat di bedakan menjadi dua, yaitu:

    a. Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktik

    kedokteran (dokter atau dokter gigi);

    b. Pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis, pelanggaran ini

    terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

    1. Kewajiban pelayanan medis sesuai dengan standar profesi, standar

    prosedur operasional, dan kebutuhan medis pasien;

    2. Kewajiban merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian

    atau kemampuan yang lebih baik;

    3. Kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai pasien;

    4. Kewajiban melakukan pertolongan darurat atas dasar

    perikemanusiaan;

    63

    M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 2009, Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan, Cet.

    Pertama, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, h. 9

  • 45

    5. Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

    perkembangan ilmu kedokteran; dan

    6. Kewajiban memberikan penjelasan pada pasien sebelum melakukan

    tindakan medis.64

    3. Malpraktek Perdata

    Malpraktek perdata (civil malpractice) merupakan tindakan dokter yang tidak

    melakukan kewajibannya, yaitu memberikan prestasinya sebagaimana yang telah

    disepakati sebelumnya dengan pasien. Tindakan dokter yang dikategorikan

    sebagai civil malpractice adalah:

    1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib untuk dilakukan;

    2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat;

    3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna;

    4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

    65

    Berdasarkan prinsip tersebut pihak rumah sakit dapat dikenakan tanggung

    gugat atas kesalahan yang dilakukan pihak dokternya, asalkan keselahan tersebut

    dilakukan oleh dokter dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.

    4. Malpraktek Pidana

    Perbuatan dapat dikategorikan sebagai malpraktek pidana (criminal

    malpractice) apabila perbuatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu

    yang terdiri dari tiga aspek, yaitu:

    64

    Adami Chazawi, 2007, Malpraktek Kedokteran, Bayu Media, Malang, h. 146.(selanjutnya

    disingkat Adami Chazawi II)

    65

    Syarul Machmud, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang di

    Duga Melakukan Malpraktek, CV. Karya Putra Abadi, Bandung, h.275.

  • 46

    1. Syarat dalam sikap batin merupakan sesuatu yang ada dalam batin

    sebelum seseorang berbuat. Sesuatu tersebut berupa kehendak,

    pengetahuan, pikiran, perasaan, dan apapun yang melukiskan keadaan

    batin seseorang sebelum berbuat. Terdapat tiga sifat batin dokter yaitu:

    a. Sikap batin mengenai wujud perbuatan (terapi). Sikap batin yang diarahkan pada perbuatan pada umumnya berupa kesengajaan yang

    artinya mewujudkan perbuatan atau menjalankan terapi memang

    dikehendaki. Terdapat pula sikap batin pada perbuatan (aktif atau

    pasif) merupakan sikap batin kelalaian.

    b. Sikap batin yang ditujukan pada sifat melawan hukum perbuatan yang akan dijalankan bisa berupa kesengajaan dan bisa juga culpa.

    c. Sikap batin pada akibat yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien pada umumnya malpraktek kedokteran tidak dituju atau tidak

    dikendaki.

    2. Perlakuan salah dalam malpraktek kedokteran merupakan aspek perlakuan

    medis berupa wujud dan prosedur serta alat yang digunakan dalam

    pemeriksaan untuk memperoleh data-data medis, menggunakan data-data

    medis dalam mediagnosis, cara atau prosedur dan wujud serta alat terapi,

    bahkan termasuk pula perbuatan-perbuatan dalam perlakuan pasca terapi.

    Semua perbuatan pelayanan medis tersebut dapat mengalami kesalahan

    (sengaja atau lalai) yang pada ujungnya dapat menimbulkan malpraktek

    kedokteran jika dilakukan dengan menyimpang.

    3. Adanya akibat kerugian pasien merupakan akibat yang boleh masuk dalam

    lapangan malpraktek kedokteran, akibat yang merugikan pihak yang

    memilki hubungan dengan dokter. Akibat yang merugikan masuk dalam

    lapangan pidana, apabila jenis kerugian tersebut disebut pada rumusan

  • 47

    kejahatan sehigga menjadi unsur tindak pidana akibat kematian atau luka

    yang merupakan unsur-unsur kejahatan pada Pasal 359 KUHP dan Pasal

    360 KUHP.66

    66

    Adam Chazawi II, op.cit,h. 100.