BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, SEWA MENYEWA … 2.pdf · 2 Wirjono Rodjodikoro, 2000,...
Transcript of BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, SEWA MENYEWA … 2.pdf · 2 Wirjono Rodjodikoro, 2000,...
BAB II
TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, SEWA MENYEWA DAN
WANPRESTASI
2.1. Perjanjian
2.1.1. Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian berasal dari bahasa inggris yaitu contract, sebelumnya
perlu diketahui pengertian perjanjian pada umumnya. Guna mengetahui tentang
pengertian perjanjian, maka akan dikemukakan pengertian perjanjian menurut
para sarjana dan menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam perkembangan kebutuhan dalam masyarakat sudah umum bila
para pihak terlibat dalam suatu perjanjian. Menurut Sudikno Martokusumo,
mengartikan perjanjian, yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum yang diperkenankan oleh Undang-Undang.1
Menurut Wierjono Rodjodikoro, mengartikan perjanjian, yaitu suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan
perjanjian tersebut.2
Menurut Subekti, perjanjian, yaitu suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. 3
1 Sudikno Mertokusumo, 1989, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, h. 96
2 Wirjono Rodjodikoro, 2000, Azaz-Azaz Hukum Perjanjian, Mazdar Madju, Bandung,
h. 4 3 R. Subekti, op.cit., h. 1
Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Menurut J.Satrio perjanjian
dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu
perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulakan akibat hukum sebagai
yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian
kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditunjukan
kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja,
seperti yang dimaksud oleh buku III KUHPerdata.
Sementara pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1313
KUHPerdata, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum ketika seseorang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih. Perjanjian juga dapat
diartikan ketika seseorang berjanji kepada orang lain, atau ketika 2 (dua) orang
saling berjanji untuk melaksanakan suatu perbuatan. Perjanjian dengan demikian
mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang
ditentukan dalam perjanjian itu.
Rumusan pasal 1313 KUHPerdata memberika suatu konsekuensi hukum
bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak , dimana satu pihak
adalah pihak yang wajib berprestasi dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak
atas prestasi tersebut. Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang
atau lebih, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak-pihak yang ada di
dalam perjanjian dapat pula badan hukum.
Dari pendapat para sarjana yang telah memberikan pengertian dari
perjanjian, maka diperoleh unsur-unsur perjanjian sebagai berikut :
1. Suatu perbuatan hukum yang melibatkan pihak-pihak
2. Ada janji-janji yang sebelumnya telah disepakati atau ada prestasi
sebagai objek perjanjian
3. Ada pihak-pihak sebagai objek perjanjian, baik orang perorangan
maupun badan hukum.
Menuru Johanes Ibrahim suatu perjanjian atau kontrak memiliki unsur-
unsur sebagai berikut :
1. Pihak-pihak yang berkompoten
2. Pihak yang disetujui
3. Pertimbangan hukum
4. Perjanjian timbal balik
5. Hak dan kewajiban timbal balik .4
Perjanjian terdiri dari tiga macam, yaitu perjanjian yang obligatoir,
perjanjian campuran dan perjanjian yang non-obligatoir. Tiga macam perjanjian
tersebut diatas lebih lanjut sebagai berikut:
1. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian ketika mengharuskan atau
mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.
a. Penyewa wajib membayar sewa;
b. Penjual wajib menyerahkan barangnya;
Perjanjian obligator ada beberapa macam, antara lain:
a) Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya ada
kewajiban pada satu pihak dan hanya ada hak pada pihak lain.
Misalnya perjanjian pinjam-meminjam, perjanjian hibah.
b) Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian hak dan kewajiban
pada kedua belah pihak yang lainnya dan sebaliknya.
Misalnya perjanjian sewa menyewa, perjanjian jual-beli,
perjanjian tukar-menukar dan lain sebagainya.
c) Perjanjian konsensuil, perjanjian riil, dan perjanjian formil.
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat
sejak adanya kesepakatan atau kensesus dari kedua
4 Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis dalam Persepektif
Manusia Moderen, Refika Aditama, Bandung, h. 43
belah pihak. Jadi, perjanjian tercipta sejak detik
tercapainya kata sekapakat dari kedua belah pihak.
Misalnya sewa menyewa, jual-beli.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang mengikat jika
disertai dengan perbuatan atau tindakan nyata. Jadi,
dengan adanya kata sepakat saja, perjanjian tersebut
belum mengikat kedua belah pihak. Misalnya
perjanjian pinjam-pakai.
Perjanjian formil adalah perjanjian terikat dalam
bentuk tertentu, jadi bentuknya harus sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika bentuk
perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan,
maka perjanjian tersebut tidak sah. Misalnya untuk
jual beli tanah harus dengan akta PPAT.
2. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai
unsur dari perjanjian. Perjanjian ini tidak diatur dalam
KUHPerdata, maupun KUHD. Misalnya perjanjian sewa-beli dan
leasing yakni gabungan sewa menyewa dan jual-beli.
3. Perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak
mengharuskan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.5
2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian yang di buat berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata
mempunyai kekuatan mengikat, karena perjanjian itu merupakan hukum bagi
para pihak-pihak yang membuatnya. Agar perjanjian yang di buat oleh para
pihak itu mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut, maka
perjanjian itu haruslah di buat secara sah menurut ketentuan hukum yang
5 Lukman Santoso Az, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta, h. 12-
13
berlaku. Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat sah
sebagaimana ditentukan Undang-undang, sehingga perjanjian tersebut diakui
oleh hukum.
Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal terntentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat tersebut bisa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal
tertentu dan sebab yang halal. Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi
keempar syarat tersebut. Jika salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan
semua syarat tidak di penuhi, maka perjanjian itu tidak sah.6
Keempat syarat sahnya perjanjian sebagai mana diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata tersebut diatas lebih lanjut sebagai berikut :
1. Kesepakatan
Kesepakatan para pihak merupakan salah satu syarat yang penting dalam
sahnya suatu perjanjian. Sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan
dengan cara:
a. Tertulis
b. Lisan
c. Diam-diam
d. Simbol-simbol tertentu.
2. Kecakapan
6 I Ketut Artadi dan I Dw. Nym. Rai Asmara P., 2010, Implementasi Ketentuan-
Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayan University Press, Denpasar, h.
51
Untuk mengadakan suatu perjanjian, para pihak haruslah cakap, namun
dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan
perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum.
Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa tidak cakap membuat
perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa.
2. Mereka yang diatruh di bawah pengampuan.
3. Orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang
(dengan adanya SEMA; Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun
1963 dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan ini
tidak berlaku lagi).
Orang yang belum dewasa, sebagaimana ditentukan dalam pasal 330
KUHPerdata adalah merekan yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak
lebih dahulu kawin. Sedangkan mereka yang berada dibawah pengampuan sesuai
ketentuan pasal 433 KUHPerdata adalah orang yang dungu, sakit otak, mata
gelap dan keborosannya.7
3. Hal Tertentu
Hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian, baik berupa barang atau
jasa yang dapat dinilai dengan uang. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut
prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga dan tidak berbuat
sesuatu.
Berbeda dari hal di atas, dalam KUHPerdata dan pada umumnya sarjana
hukum berpendapat bahwa prestasi itu dapat berupa :
a. Menyerahkan atau memberikan sesuatu;
b. Berbuat sesuatu; dan
c. Tidak berbuat sesuatu.
7 Ibid, h. 57
Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat
dipergunakan bebagai cara seperti: menghitung, menimbang, mengukur, atau
menakar. Sementara itu, untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa
tidak berbuat suatu juga harus dijelaskan dalam perjanjian.8
4. Suatu Sebab yang Halal
Pengertian dari suatu sebab yang halal sebagai syarat sahnya perjanjian
adalah perjanjian harus ada sebab-sebab yang mendahuluinya dan dianggap sah
oleh Undang-Undang. 9
Sebab (causa) yang dianggap tidak sah, bilamana dilarang oleh Undang-
undang, bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan
kesusilaan. Bila suatu perjanjian tidak ada sebabnya ataupun karena sebab palsu,
akan berakibat perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi
sesuatu perjanjian yang bertentangan dengan tiga hal tersebut adalah tidak sah.
Apabila dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut,
maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak
yang membuatnya.10
2.1.3 Subjek dan Objek Perjanjian
a) Subjek Perjanjian
Dalam setiap perjanjian ada dua macam subjek perjanjian, yaitu
yang pertama seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat
beban kewajiban untuk sesuatu dan kedua seorang manusia atau suatu
badan hukum yang mendapatkan hak atas pelaksanaan kewajiban itu.
Subjek yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat umum
untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah yaitu, harus
8 Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Cet. Ke- 3, Rajawali
Pers, Jakarta, h. 30 9 Arief Masdoeki, M.H. Tirtamidjaja, 1963, Asas dan Dasar Hukum Perdata,
Djambatan, Jakarta, h.131 10
Suharnoko, 2009, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta,
2009, h.1
sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang
atau diperbatasi dalam melakukan perbuatan hukum yang sah.11
b) Objek Perjanjian
Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa “hanya barang yang
dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian”. Barang yang
diperdangankan ini mengandung arti luas, karena yang dapat
diperdagangkan bukan hanya barang yang tampak oleh mata, seperti
tanah, mobil, dll, tetapi ternyata juga “barang” yang tidak tampak oleh
mata juga dapat diperdagangkan, misalnya jasa kosnsultasi kesehatan,
jasa konsultasi hukum dan jasa konsultasi lainnya. Dengan demikian,
objek dari perjanjian adalah barang dan jasa.12
2.1.4 Asas-Asas Perjanjian
Menurut pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Namun apabila dicermati pasal ini mengandung empat hal pokok
(asas) yang terkandung di dalamnya, yaitu;
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Azas kebebasan berkontrak adalah merupakan satu azas yang
sangat penting dalam hukum perjanjian. Azas kebebasan berkontrak
adalah azas dimana seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian,
bebas mengenai apa yang diperjanjikan, dan bebas pula menentukan
bentuk perjanjian.
Kebebasana berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum
biasanya didasarkan pada pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya..”. Kebebasan berkontrak
11
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.13 12
I Ketut Artadi dan I Dw. Nym. Rai Asmara P., Op. Cit., h.33
memberikan jaminan kebebasan seseorang untuk secara bebas dalam
beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, anatar lain:
Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian
atau tidak;
Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan
perjanjian;
Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
2. Azas Konsensualisme
Berdasarkan azas konsensualisme, dimana perjanjian itu telah
terjadi jika telah ada consensus antara pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian. Mengacu pada azas ini dimana suatu perjanjian itu lahir
pada saat terjadinya kesepakatan.
3. Azas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Perjanjian itu merupakan undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya. Karena berlaku sebagi undang-undang maka perlu para
pihak harus melaksanakan apa yang telah mereka sepakati dan wajib
menaatinya.
4. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik merupakan salah satu asa yang dikenal dalam
hukum perjanjian ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal
1338 yang menyatakan bahwa “..perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik”. Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam
perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua
belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus
yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusu ini membawa
akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak harus bertindak dengan
mengigat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.13
Disamping Azas di atas, beberapa azas lain dalam standar
perjanjian, antara lain :
a) Azas kepercayaan;
b) Azas persamaan hak;
c) Azas keseimbangan;
d) Azas moral;
e) Azas kepatutan;
f) Azas kebiasaan;
g) Azas kepastian hukum.14
2.2 Sewa Menyewa
2.2.1 Pengertian Sewa Menyewa
Sewa-menyewa atau perjanjian sewa-menyewa diatur pada pasal
1548 s.d. pasal 1600 KUHPerdata. Ketentuan yang mengatur tentang
perjanjian sewa menyewa terdapat dalam pasal 1548 KUHPerdata yang
menyebutkan sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya
kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu
disanggupi pembayarannya.15
Sewa menyewa merupakan salah satu perjanjian timbal balik.
Menuru Kamus Besar Bahasa Indonesia sewa berati pemakian sesuatu
13
Ahmad Miru, 2010, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.3 14
Abdul R. Salim, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Prenada Media, Jakarta, h.14 15
Lukman Santoso Az, Op.Cit., h. 12
dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti memakai dengan
membayar uang sewa.16
Menurut Wiryono Projodikoro, sewa menyewa barang adalah suatu
penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai dan
memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa
oleh pemakai kepada pemilik.17
Menurut Yahya Harahap, Sewa menyewa adalah persetujuan antara
pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang
menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak
penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.18
Berdasarkan defenisi diatas, dalam perjanjian sewa menyewa,
terdapat dua pihak yaitu pihak yang menyewakan dan pihak yang yang
menyewa. Pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban menyerahkan
barangnya untuk dinikmati oleh pihak penyewa, sedangkan pihak
penyewa mempunyai kewajiban untuk membayar harga sewa. Barang
yang di serahkan dalam sewa menyewa tidak untuk dimiliki seperti
halnya dalam perjanjian jual beli, tetapi hanya untuk dinikmati
kengunaannya.
Unsur esensial dari sewa menyewa adalah barang, harga dan waktu
tertentu. Sebagaimana halnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa
menyewa merupakan perjanjian konsesualisme, dimana perjanjian
terbentuk berasaskan kesepakatan antara para pihak, satu sama lain saling
mengikatkan diri. Hanya saja perbedaannya dengan jual beli adalah obyek
sewa menyewa tidak untuk dimiliki penyewa, tetapi hanya untuk dipakai
atau dinikmati kegunaannya sehingga penyerahan barang dalam sewa
16
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 833 17
Wiryono Projodikoro, 1981, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Alumni,
Bandung, h. 190 18
M. Yahya Harahap, Op.Cit., h. 220
menyewa hanya bersifat menyerahkan kekuasaan atas barang yang
disewa tersebut. Bukan penyerahan hak milik atas barang tersebut.
Sewa menyewa seperti halnya jual beli dan perjanjian lainnya pada
umumnya adalah suatu perjanjian konsensualisme, artinya ia sudah dan
mengikat saat tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya
yaitu barang dan jasa. Ini berarti jika apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya dan mereka
mengkehendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, maka dapat
dikatakan bahwa perjanjian sewa menyewa telah terjadi.
Dari uraian di atas, dapat di simpulkan unsur-unsur yang tercantum
dalam perjanjian sewa menyewa adalah:
a. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa;
b. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak;
c. Adanya objek sewa menyewa;
d. Adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk
menyerahkan kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu
benda;
e. Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang
sewa kepada pihak yang menyewakan. 19
KUHPerdata tidak menyebutkan secara tegas mengenai bentuk
perjanjian sewa menyewa, sehingga perjanjian sewa menyewa dapat
dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Bentuk perjanjian sewa
menyewa pada umumnya dibuat secara tertulis untuk mempermudah
pembuktian hak dan kewajiban para pihak di kemudian hari.
2.2.2 Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Sewa Menyewa
Dalam perjanjian sewa menyewa adapun subyek dan obyek, adapun
subyek dari perjanjian sewa menyewa yaitu adanya pihak penyewa dan
19
Salim H.S., 2010, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Cet. Ke- 5,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 58-59
adanya pihak yang menyewakan. Sedangkan yang menjadi obyek dari
perjanjian sewa menyewa adalah barang dan harga, yang mana barang
yang menjadi obyek tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
Yang menjadi hak dan kewajiban dari para pihak yaitu pihak yang
menyewakan dan pihak yang menyewa, menurut KUHPerdata, adalah
sebagai berikut :
1. Hak dan Kewajiban Pihak Yang Menyewakan
Adapun yang menjadi hak dari pihak yang menyewakan adalah
menerima harga sewa yang telah ditentukan. Sedangkan yang menjadi
kewajiban bagi pihak yang mnyewakan dalam perjanjian sewa menyewa
tersebut, yaitu:
a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa
(Pasal 1550 ayat (1) KUHPerdata);
b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa, sehingga
dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550
ayat (2) KUHPerdata);
c. Memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang
yang disewakan (Pasal 1550 ayat (3) KUHPerdata);
d. Melakukan pembetulan pada waktu yang sama (Pasal 1551
KUHPerdata);
e. Menanggung cacat dari barang yang disewakan (Pasal 1552
KUHPerdata).
2. Hak dan Kewajiban Pihak Penyewa
Adapun yang menjadi hak bagi pihak penyewa adalah menerima
barang yang disewakan dalam keadaan baik. Sedangkan yang menjadi
kewajiban para pihak penyewa dalam perjanjian sewa menyewa
tersebut, yaitu:
a. Memakai barang sewa sebagaimana barang tersebut seakan-
akan kepunyaan sendiri;
b. Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal
1560 KUHPerdata).20
Dari ketentuan diatas cukuplah jelas bahwa para kedua pihak
tersebut memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan
perjanjian yang mereka sepakati.
2.2.3 Resiko dalam Sewa Menyewa
Menuru pasal 1553, dalam sewa menyewa itu resiko mengenai
barang yang dipersewakan dipikul oleh sipemilik barang, yaitu pihak
yang menyewakan. Namum, menuru Soebekti, risiko adalah kewajiban
untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang
terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang
menjadi obyek perjanjian.
Pembebanan risiko terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya
suatu peristiwa diluar dari keselahan para pihak yang menyebabkan
musnahnya barang atau obyek sewa. Musnahnya barang yang menjadi
obyek perjanjian sewa menyewa dapat di bagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Musnah secara total (seluruhnya). Jika barang yang menjadi obyek
perjanjian sewa menyewa musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di
luar kesalahan para pihak maka perjanjian tersebut gugur demi hukum.
Pengertian dari “musnah” disini berarti barang yang menjadi obyek
perjanjian sewa menyewa tersebut tidak dapat lagi digunakan sebagai
mana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari barang
tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1553
KUHPerdata yang menyatakan jika selama waktu sewa menyewa,
barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian
20
Ibid, h. 61-62
yang tak disengaja, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi
hukum.
b. Musnah sebagian barang yang menjadi obyek perjanjian sewa
menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih
dapat di gunakan dan dinikmati kegunaannya walaupun bagian dari
barang tersebut telah musnah. Jika obyek perjanjian sewa menyewa
musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu:
a) Meneruskan perjanjian sewa menyewa dengan meminta
pengurangan harga sewa;
b) Meminta pembatalan perjanjian sewa menyewa.
2.2.4 Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa
a. Bentuk Perjanjian
Meskipun perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian
konsensual, namun oleh undang-undang diadakan perbedaan (dalam
akibat-akibatnya) antara perjanjian sewa menyewa tertulis dan perjanjian
sewa menyewa lisan.
Jika perjanjian sewa menyewa itu diadakan secara tertulis, maka
perjanjian sewa menyewa itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila
waktu yang tentukan sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu
pemberitahuan pemberhentian untuk itu.
Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagaimana dikemukakan
berikut ini:
1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangain oleh para pihak
yang bersangkutan saja. Perjanjian ini hanya mengikat para
pihak dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan
mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian
tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah satu
pihak di perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti
yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak
ketiga dimaksud tidak berdasarkan dan tidak dibenarkan.
2. Perjanjian dengan saksi notaris atau melegalisir tanda tangan
para pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokomen
semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tanggan
para pihak. Akan tetapi, kesaksian tersebut tidaklah
mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian.
3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam
bentuk akta notariel (autentik). Akta notariel adalah akta yang
dibuat dihadapan dan di muka pejabat yang berwenang itu.
Pejabat yang berwenang itu adalah notaris, camat, PPAT, dan
lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang
sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak
ketiga.21
Dan apabila perjanjian sewa menyewa tidak dibuat dengan tulisan,
maka perjanjian sewa menyewa itu tidak berakhir pada waktu yang
ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan
kepada si penyewa bahwa ia hendak mengehentikan sewanya,
pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka
waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.22
b. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa Rumah
Di dalam KUHPerdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk
perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu,
perjanjian sewa menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan.23
Dalam perjanjian sewa menyewa rumah kost, khusunya dibuat dalam
bentuk lisan.
21
Abdul R. Salim, Op. Cit., h. 42-43 22
Subekti, Op. Cit., h. 47 23
Abdul R. Salim, Op. Cit., h. 42-43
Namun ada juga yang dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian
telah dirumuskan oleh para pihak. Akan tetapi, yang paling dominan
dalam menentukan sustansi perjanjian adalah dari pihak yang
menyewakan. Dengan demikian, semua persyaratan yang diajukan oleh
pihak yang menyewakan tinggal disetujui atau tidak oleh pihak penyewa.
Fungis dengan digunakannya bentuk perjanjian tertulis dalam sewa
menyewa rumah kost, yaitu untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, sebagai alat bukti dan untuk mendapatkan kepastian hukum.
2.2.5 Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
Berakhirnya perjanjian secara tegas tidak diatur, melainkan dalam
KUHPerdata hanya menyebutkan mengenai hapusnya perikatan pada
Pasal 1381 KUHPerdata. Walaupun demikian, ketentuan-ketentuan
tentang hapusnya perikatan tersebut juga merupakan ketentuan tentang
hapusnya perjanjian karena pada umumnya perjanjian lahir karena adanya
perikatan.
Berdasarkan pasal 1381 KUHPerdata hapusnya perikatan karena
sebagai berikut :
a. Pembayaran
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan produk
yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat;
c. Pembayaran untang;
d. Kompensasi
e. Percampuran utang;
f. Pembebasan utang;
g. Musnahnya barang yang terutang;
h. Kebatalan atau pembatalan;
i. Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan;
j. Lewat waktu.24
Menurut Lukamn Santozo Az, perjanjian dapat terhapus atau
berakhir disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Pembayaran, yaitu pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian
secara suka rela. Artinya, tidak ada paksaan dan eksekusi.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan.
Cara pembayaran untuk menolong si berhutang dalam hal si
berpiutang tidak suka menerima pembayran. Barang yang hendak
dibayarkan itu diantarkan pada si berpiutang atau diperingatkan
untuk mengambil barang itu dari suatu tempat. Jika ia tetap
menolaknya, maka barang itu disimpan di suatu tempat atau
tanggungan si berpiutang.
c. Pembaharuan hutang, yaitu perbuatan perjanjian baru yang
menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletekan suatu
perikatan baru. Misalnya, seorang penjual barang membebaskan si
pembeli dari pembayaran harga barang, tetapi si pembeli
diharuskan menandatangani suatu perjanjian pinjaman uang yang
jumlahnya sama dengan harga barang tersebut.
d. Kompensasi atau perhintungan timbal balik.
Jika seseorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si
berpiutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak menagih
piutang satu kepada yang lainnya, maka piutang antara kedua orang
tersebut dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama (Pasal
1426 KUHPerdata).
e. Percampuran hutang.
Percampuran hutang dapat terjadi, misalnya jika si berhutang kawin
dalam percampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si
24
Abdul R. Salim, Op. Cit., h. 35
berhutang menggantikan hak-hak si berhutang karena menjadi
warisanya atau sebaliknya.
f. Pembebasan hutang, adalah suatu perjanjian baru ke si berpiutang
dengan sukarela membebaskan si berhutang dari segala kewajiban.
g. Hapusnya barang-barang yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Dalam pasal 1444 KUHPerdata ditentukan bahwa jika suatu barang
tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus karena suatu
larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh
diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keadaanya, maka
perikatan terjadi hapus atau hilangnya barang itu sama sekali di luar
kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya.
h. Pembatalan perjanjian.
Perjanjian bisa dibatalkan apabila dibuat oleh orang-orang yang
menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, karena
paksaan, karena kekhilafan, penipuan atau punya sebeb yang
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban
umum.25
2.3 Wanprestasi
2.3.1 Pengertian Wanprestasi
Dalam perjanjian ke dua belah pihak tentu mempunyai suatu hal
yang di jadikan sebagai objek perjanjian, di dalam perjanjian tersebut
telah di sepakati hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat.
Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tidak dapat
memberikan prestasi, maka pihak tersebut dianggap telah melakukan
wanprestasi.
Dalam KUHPerdata, wanprestasi diatur didalam Pasal 1238, yaitu;
si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
25
Lukman Santozo Az, Op. Cit., h.21-23
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Menurut Yahya Harahap, wanprestasi diartikan pelaksanaan
kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya. Salah satu pihak dikatakan wanprestasi, apabila dia didalam
melakukan pelaksanaan perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari
jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak
menurut sepatutnya/ selayaknya.26
Menurut Abdulkadir Muhammad, wanprestasi diartikan tidak
memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah di tetapkan dalam
perjanjian.27
Tidak dilaksanakan kewajiban tersebut antara lain:
a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja atau tidak
memenuhi kewajiban maupun karena kelalaian;
b. Karena keadaan memaksa terjadi di luar kemampuan dan kuasa
debitur.
2.3.2 Bentuk Wanprestasi
Di dalam setiap perjanjian terdapat para pihak, dimana pihak-pihak
tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang
telah disepakati bersama. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi apa
yang dijanjikan maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.
Berdasarkan tersebut Subekti membagi wanprestasi menjadi 4
(empat) bentuk, yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
26
M. Yahya Harahap, Op.Cit., h. 45 27
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h. 203
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
3. Melakukan yang dijanjikan tapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.28
Apabila dalam suatu perjanjian telah ditentukan objek dari
perjanjian akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan, namun
pada waktu tersebut objeknya tidak diserahkan, sedangkan waktunya
telah tiba untuk diserahkan. Dalam hal ini ia dikatakan wanprestasi atau
ingkar janji.
Melakukan apa yang telah diperjanjikan tetapi telambat, dalam hal
ini yang perlu diperhatikan, akibat dari keterlambatan itu apakah
merugikan salah satu pihak. Misalnya akibat dari salah satu pihak tidak
membayar uang yang diperjanjikan semula, maka pihak yang lain
menderita kerugian.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
perbuatan demikian tidak dapat juga dikatakan wanprestasi. Menurut
ketentuan Pasal 1442 KUHPerdata yang berbunyi : “Jika perikatan itu
bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun juga
yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan
karena itupun saja, berwajiblah ia akan menggantikan biaya rugi dan
bunga”.
Dalam perikatan yang berisi memberikan sesuatu atau untuk tidak
berbuat sesuatu, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya,
28
R. Subekti, Op.Cit., h. 45
maka penyelesaian adalah diwajibkan kepada pihak tersebut untuk
membayar biaya, rugi dan bunga (Pasal 1239 KUHPerdata).
Apabila salah satu pihak tidak menepati janjinya pada waktu yang
telah ditentukan, maka pihak yang merasa dirugikan diharuskan
melaksanakan peneguran lebih dahulu, supaya pihak diharuskan
melaksanakan peneguran lebih dahulu, supaya pihak lain memenuhi
prestasinya. Mengenai peneguran ini timbul masalah, apakah peneguran
itu dilakukan dengan surat perintah atau dibolehkan dengan lisan.
Menurut Abdul kadir Muhammad : “Debitur perlu diperingatkan/ditegur
secara tertulis dengan surat perintah atau dengan akta tertulis, dengan
surat perintah atau akta sejenis, dalam surat perintah itu ditentukan bahwa
ia segera memenuhi prestasinya, jika tidak dipenuhi ia telah dinyatakan
wanprestasi”.29
2.3.3 Akibat Hukum Wanprestasi
Pada Pasal 1243 KUHPerdata menyebutkan akibat wanprestasi :
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila seberutang setelah
dinyatakan lalai dalam memenuhi perikatannya, tetap melakukannya atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi
adalah hukum atau sanksi hukum berikut ini:
1. Debitur diwajibkan membayar ganti rugi yang telah diderita
oleh kreditur (pasal 1243 KUHPerdata).
29
Abdul Kadir Muhammad, OP Cit., hal 22.
2. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntu
pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (Pasal 1266
KUHPerdata).
3. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih
kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi (Pasal 1237
Ayat 2).
4. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat
dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti rugi
(Pasal 1267 KUHPerdata).
5. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di
muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.30
30
Ibid, h 204