BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, SEWA MENYEWA … 2.pdf · 2 Wirjono Rodjodikoro, 2000,...

23
BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, SEWA MENYEWA DAN WANPRESTASI 2.1. Perjanjian 2.1.1. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian berasal dari bahasa inggris yaitu contract, sebelumnya perlu diketahui pengertian perjanjian pada umumnya. Guna mengetahui tentang pengertian perjanjian, maka akan dikemukakan pengertian perjanjian menurut para sarjana dan menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam perkembangan kebutuhan dalam masyarakat sudah umum bila para pihak terlibat dalam suatu perjanjian. Menurut Sudikno Martokusumo, mengartikan perjanjian, yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau untuk menimbulkan akibat- akibat hukum yang diperkenankan oleh Undang-Undang. 1 Menurut Wierjono Rodjodikoro, mengartikan perjanjian, yaitu suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut. 2 Menurut Subekti, perjanjian, yaitu suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 3 1 Sudikno Mertokusumo, 1989, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, h. 96 2 Wirjono Rodjodikoro, 2000, Azaz-Azaz Hukum Perjanjian, Mazdar Madju, Bandung, h. 4 3 R. Subekti, op.cit., h. 1

Transcript of BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, SEWA MENYEWA … 2.pdf · 2 Wirjono Rodjodikoro, 2000,...

BAB II

TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, SEWA MENYEWA DAN

WANPRESTASI

2.1. Perjanjian

2.1.1. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari bahasa inggris yaitu contract, sebelumnya

perlu diketahui pengertian perjanjian pada umumnya. Guna mengetahui tentang

pengertian perjanjian, maka akan dikemukakan pengertian perjanjian menurut

para sarjana dan menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam perkembangan kebutuhan dalam masyarakat sudah umum bila

para pihak terlibat dalam suatu perjanjian. Menurut Sudikno Martokusumo,

mengartikan perjanjian, yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau untuk menimbulkan akibat-

akibat hukum yang diperkenankan oleh Undang-Undang.1

Menurut Wierjono Rodjodikoro, mengartikan perjanjian, yaitu suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak

melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan

perjanjian tersebut.2

Menurut Subekti, perjanjian, yaitu suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal. 3

1 Sudikno Mertokusumo, 1989, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, h. 96

2 Wirjono Rodjodikoro, 2000, Azaz-Azaz Hukum Perjanjian, Mazdar Madju, Bandung,

h. 4 3 R. Subekti, op.cit., h. 1

Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu

persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk

melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Menurut J.Satrio perjanjian

dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu

perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulakan akibat hukum sebagai

yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian

kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditunjukan

kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja,

seperti yang dimaksud oleh buku III KUHPerdata.

Sementara pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1313

KUHPerdata, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum ketika seseorang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih. Perjanjian juga dapat

diartikan ketika seseorang berjanji kepada orang lain, atau ketika 2 (dua) orang

saling berjanji untuk melaksanakan suatu perbuatan. Perjanjian dengan demikian

mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang

ditentukan dalam perjanjian itu.

Rumusan pasal 1313 KUHPerdata memberika suatu konsekuensi hukum

bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak , dimana satu pihak

adalah pihak yang wajib berprestasi dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak

atas prestasi tersebut. Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang

atau lebih, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak-pihak yang ada di

dalam perjanjian dapat pula badan hukum.

Dari pendapat para sarjana yang telah memberikan pengertian dari

perjanjian, maka diperoleh unsur-unsur perjanjian sebagai berikut :

1. Suatu perbuatan hukum yang melibatkan pihak-pihak

2. Ada janji-janji yang sebelumnya telah disepakati atau ada prestasi

sebagai objek perjanjian

3. Ada pihak-pihak sebagai objek perjanjian, baik orang perorangan

maupun badan hukum.

Menuru Johanes Ibrahim suatu perjanjian atau kontrak memiliki unsur-

unsur sebagai berikut :

1. Pihak-pihak yang berkompoten

2. Pihak yang disetujui

3. Pertimbangan hukum

4. Perjanjian timbal balik

5. Hak dan kewajiban timbal balik .4

Perjanjian terdiri dari tiga macam, yaitu perjanjian yang obligatoir,

perjanjian campuran dan perjanjian yang non-obligatoir. Tiga macam perjanjian

tersebut diatas lebih lanjut sebagai berikut:

1. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian ketika mengharuskan atau

mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.

a. Penyewa wajib membayar sewa;

b. Penjual wajib menyerahkan barangnya;

Perjanjian obligator ada beberapa macam, antara lain:

a) Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya ada

kewajiban pada satu pihak dan hanya ada hak pada pihak lain.

Misalnya perjanjian pinjam-meminjam, perjanjian hibah.

b) Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian hak dan kewajiban

pada kedua belah pihak yang lainnya dan sebaliknya.

Misalnya perjanjian sewa menyewa, perjanjian jual-beli,

perjanjian tukar-menukar dan lain sebagainya.

c) Perjanjian konsensuil, perjanjian riil, dan perjanjian formil.

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat

sejak adanya kesepakatan atau kensesus dari kedua

4 Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis dalam Persepektif

Manusia Moderen, Refika Aditama, Bandung, h. 43

belah pihak. Jadi, perjanjian tercipta sejak detik

tercapainya kata sekapakat dari kedua belah pihak.

Misalnya sewa menyewa, jual-beli.

Perjanjian riil adalah perjanjian yang mengikat jika

disertai dengan perbuatan atau tindakan nyata. Jadi,

dengan adanya kata sepakat saja, perjanjian tersebut

belum mengikat kedua belah pihak. Misalnya

perjanjian pinjam-pakai.

Perjanjian formil adalah perjanjian terikat dalam

bentuk tertentu, jadi bentuknya harus sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika bentuk

perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan,

maka perjanjian tersebut tidak sah. Misalnya untuk

jual beli tanah harus dengan akta PPAT.

2. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai

unsur dari perjanjian. Perjanjian ini tidak diatur dalam

KUHPerdata, maupun KUHD. Misalnya perjanjian sewa-beli dan

leasing yakni gabungan sewa menyewa dan jual-beli.

3. Perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak

mengharuskan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.5

2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian yang di buat berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata

mempunyai kekuatan mengikat, karena perjanjian itu merupakan hukum bagi

para pihak-pihak yang membuatnya. Agar perjanjian yang di buat oleh para

pihak itu mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut, maka

perjanjian itu haruslah di buat secara sah menurut ketentuan hukum yang

5 Lukman Santoso Az, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta, h. 12-

13

berlaku. Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat sah

sebagaimana ditentukan Undang-undang, sehingga perjanjian tersebut diakui

oleh hukum.

Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu

perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal terntentu; dan

4. Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat tersebut bisa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal

tertentu dan sebab yang halal. Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi

keempar syarat tersebut. Jika salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan

semua syarat tidak di penuhi, maka perjanjian itu tidak sah.6

Keempat syarat sahnya perjanjian sebagai mana diatur dalam pasal 1320

KUHPerdata tersebut diatas lebih lanjut sebagai berikut :

1. Kesepakatan

Kesepakatan para pihak merupakan salah satu syarat yang penting dalam

sahnya suatu perjanjian. Sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan

dengan cara:

a. Tertulis

b. Lisan

c. Diam-diam

d. Simbol-simbol tertentu.

2. Kecakapan

6 I Ketut Artadi dan I Dw. Nym. Rai Asmara P., 2010, Implementasi Ketentuan-

Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayan University Press, Denpasar, h.

51

Untuk mengadakan suatu perjanjian, para pihak haruslah cakap, namun

dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan

perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum.

Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa tidak cakap membuat

perjanjian adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa.

2. Mereka yang diatruh di bawah pengampuan.

3. Orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang

(dengan adanya SEMA; Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun

1963 dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan ini

tidak berlaku lagi).

Orang yang belum dewasa, sebagaimana ditentukan dalam pasal 330

KUHPerdata adalah merekan yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak

lebih dahulu kawin. Sedangkan mereka yang berada dibawah pengampuan sesuai

ketentuan pasal 433 KUHPerdata adalah orang yang dungu, sakit otak, mata

gelap dan keborosannya.7

3. Hal Tertentu

Hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian, baik berupa barang atau

jasa yang dapat dinilai dengan uang. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut

prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga dan tidak berbuat

sesuatu.

Berbeda dari hal di atas, dalam KUHPerdata dan pada umumnya sarjana

hukum berpendapat bahwa prestasi itu dapat berupa :

a. Menyerahkan atau memberikan sesuatu;

b. Berbuat sesuatu; dan

c. Tidak berbuat sesuatu.

7 Ibid, h. 57

Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat

dipergunakan bebagai cara seperti: menghitung, menimbang, mengukur, atau

menakar. Sementara itu, untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa

tidak berbuat suatu juga harus dijelaskan dalam perjanjian.8

4. Suatu Sebab yang Halal

Pengertian dari suatu sebab yang halal sebagai syarat sahnya perjanjian

adalah perjanjian harus ada sebab-sebab yang mendahuluinya dan dianggap sah

oleh Undang-Undang. 9

Sebab (causa) yang dianggap tidak sah, bilamana dilarang oleh Undang-

undang, bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan

kesusilaan. Bila suatu perjanjian tidak ada sebabnya ataupun karena sebab palsu,

akan berakibat perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi

sesuatu perjanjian yang bertentangan dengan tiga hal tersebut adalah tidak sah.

Apabila dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut,

maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak

yang membuatnya.10

2.1.3 Subjek dan Objek Perjanjian

a) Subjek Perjanjian

Dalam setiap perjanjian ada dua macam subjek perjanjian, yaitu

yang pertama seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat

beban kewajiban untuk sesuatu dan kedua seorang manusia atau suatu

badan hukum yang mendapatkan hak atas pelaksanaan kewajiban itu.

Subjek yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat umum

untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah yaitu, harus

8 Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Cet. Ke- 3, Rajawali

Pers, Jakarta, h. 30 9 Arief Masdoeki, M.H. Tirtamidjaja, 1963, Asas dan Dasar Hukum Perdata,

Djambatan, Jakarta, h.131 10

Suharnoko, 2009, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta,

2009, h.1

sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang

atau diperbatasi dalam melakukan perbuatan hukum yang sah.11

b) Objek Perjanjian

Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa “hanya barang yang

dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian”. Barang yang

diperdangankan ini mengandung arti luas, karena yang dapat

diperdagangkan bukan hanya barang yang tampak oleh mata, seperti

tanah, mobil, dll, tetapi ternyata juga “barang” yang tidak tampak oleh

mata juga dapat diperdagangkan, misalnya jasa kosnsultasi kesehatan,

jasa konsultasi hukum dan jasa konsultasi lainnya. Dengan demikian,

objek dari perjanjian adalah barang dan jasa.12

2.1.4 Asas-Asas Perjanjian

Menurut pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Namun apabila dicermati pasal ini mengandung empat hal pokok

(asas) yang terkandung di dalamnya, yaitu;

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Azas kebebasan berkontrak adalah merupakan satu azas yang

sangat penting dalam hukum perjanjian. Azas kebebasan berkontrak

adalah azas dimana seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian,

bebas mengenai apa yang diperjanjikan, dan bebas pula menentukan

bentuk perjanjian.

Kebebasana berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum

biasanya didasarkan pada pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya..”. Kebebasan berkontrak

11

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.13 12

I Ketut Artadi dan I Dw. Nym. Rai Asmara P., Op. Cit., h.33

memberikan jaminan kebebasan seseorang untuk secara bebas dalam

beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, anatar lain:

Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian

atau tidak;

Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan

perjanjian;

Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan.

2. Azas Konsensualisme

Berdasarkan azas konsensualisme, dimana perjanjian itu telah

terjadi jika telah ada consensus antara pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian. Mengacu pada azas ini dimana suatu perjanjian itu lahir

pada saat terjadinya kesepakatan.

3. Azas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Perjanjian itu merupakan undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya. Karena berlaku sebagi undang-undang maka perlu para

pihak harus melaksanakan apa yang telah mereka sepakati dan wajib

menaatinya.

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik merupakan salah satu asa yang dikenal dalam

hukum perjanjian ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal

1338 yang menyatakan bahwa “..perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik”. Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam

perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua

belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus

yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusu ini membawa

akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak harus bertindak dengan

mengigat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.13

Disamping Azas di atas, beberapa azas lain dalam standar

perjanjian, antara lain :

a) Azas kepercayaan;

b) Azas persamaan hak;

c) Azas keseimbangan;

d) Azas moral;

e) Azas kepatutan;

f) Azas kebiasaan;

g) Azas kepastian hukum.14

2.2 Sewa Menyewa

2.2.1 Pengertian Sewa Menyewa

Sewa-menyewa atau perjanjian sewa-menyewa diatur pada pasal

1548 s.d. pasal 1600 KUHPerdata. Ketentuan yang mengatur tentang

perjanjian sewa menyewa terdapat dalam pasal 1548 KUHPerdata yang

menyebutkan sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak

yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya

kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan

pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu

disanggupi pembayarannya.15

Sewa menyewa merupakan salah satu perjanjian timbal balik.

Menuru Kamus Besar Bahasa Indonesia sewa berati pemakian sesuatu

13

Ahmad Miru, 2010, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h.3 14

Abdul R. Salim, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Prenada Media, Jakarta, h.14 15

Lukman Santoso Az, Op.Cit., h. 12

dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti memakai dengan

membayar uang sewa.16

Menurut Wiryono Projodikoro, sewa menyewa barang adalah suatu

penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai dan

memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa

oleh pemakai kepada pemilik.17

Menurut Yahya Harahap, Sewa menyewa adalah persetujuan antara

pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang

menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak

penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.18

Berdasarkan defenisi diatas, dalam perjanjian sewa menyewa,

terdapat dua pihak yaitu pihak yang menyewakan dan pihak yang yang

menyewa. Pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban menyerahkan

barangnya untuk dinikmati oleh pihak penyewa, sedangkan pihak

penyewa mempunyai kewajiban untuk membayar harga sewa. Barang

yang di serahkan dalam sewa menyewa tidak untuk dimiliki seperti

halnya dalam perjanjian jual beli, tetapi hanya untuk dinikmati

kengunaannya.

Unsur esensial dari sewa menyewa adalah barang, harga dan waktu

tertentu. Sebagaimana halnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa

menyewa merupakan perjanjian konsesualisme, dimana perjanjian

terbentuk berasaskan kesepakatan antara para pihak, satu sama lain saling

mengikatkan diri. Hanya saja perbedaannya dengan jual beli adalah obyek

sewa menyewa tidak untuk dimiliki penyewa, tetapi hanya untuk dipakai

atau dinikmati kegunaannya sehingga penyerahan barang dalam sewa

16

Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 833 17

Wiryono Projodikoro, 1981, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Alumni,

Bandung, h. 190 18

M. Yahya Harahap, Op.Cit., h. 220

menyewa hanya bersifat menyerahkan kekuasaan atas barang yang

disewa tersebut. Bukan penyerahan hak milik atas barang tersebut.

Sewa menyewa seperti halnya jual beli dan perjanjian lainnya pada

umumnya adalah suatu perjanjian konsensualisme, artinya ia sudah dan

mengikat saat tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya

yaitu barang dan jasa. Ini berarti jika apa yang dikehendaki oleh pihak

yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya dan mereka

mengkehendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, maka dapat

dikatakan bahwa perjanjian sewa menyewa telah terjadi.

Dari uraian di atas, dapat di simpulkan unsur-unsur yang tercantum

dalam perjanjian sewa menyewa adalah:

a. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak yang menyewa;

b. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak;

c. Adanya objek sewa menyewa;

d. Adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk

menyerahkan kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu

benda;

e. Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang

sewa kepada pihak yang menyewakan. 19

KUHPerdata tidak menyebutkan secara tegas mengenai bentuk

perjanjian sewa menyewa, sehingga perjanjian sewa menyewa dapat

dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Bentuk perjanjian sewa

menyewa pada umumnya dibuat secara tertulis untuk mempermudah

pembuktian hak dan kewajiban para pihak di kemudian hari.

2.2.2 Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Dalam perjanjian sewa menyewa adapun subyek dan obyek, adapun

subyek dari perjanjian sewa menyewa yaitu adanya pihak penyewa dan

19

Salim H.S., 2010, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Cet. Ke- 5,

Sinar Grafika, Jakarta, h. 58-59

adanya pihak yang menyewakan. Sedangkan yang menjadi obyek dari

perjanjian sewa menyewa adalah barang dan harga, yang mana barang

yang menjadi obyek tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang,

ketertiban umum, dan kesusilaan.

Yang menjadi hak dan kewajiban dari para pihak yaitu pihak yang

menyewakan dan pihak yang menyewa, menurut KUHPerdata, adalah

sebagai berikut :

1. Hak dan Kewajiban Pihak Yang Menyewakan

Adapun yang menjadi hak dari pihak yang menyewakan adalah

menerima harga sewa yang telah ditentukan. Sedangkan yang menjadi

kewajiban bagi pihak yang mnyewakan dalam perjanjian sewa menyewa

tersebut, yaitu:

a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa

(Pasal 1550 ayat (1) KUHPerdata);

b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa, sehingga

dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550

ayat (2) KUHPerdata);

c. Memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang

yang disewakan (Pasal 1550 ayat (3) KUHPerdata);

d. Melakukan pembetulan pada waktu yang sama (Pasal 1551

KUHPerdata);

e. Menanggung cacat dari barang yang disewakan (Pasal 1552

KUHPerdata).

2. Hak dan Kewajiban Pihak Penyewa

Adapun yang menjadi hak bagi pihak penyewa adalah menerima

barang yang disewakan dalam keadaan baik. Sedangkan yang menjadi

kewajiban para pihak penyewa dalam perjanjian sewa menyewa

tersebut, yaitu:

a. Memakai barang sewa sebagaimana barang tersebut seakan-

akan kepunyaan sendiri;

b. Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal

1560 KUHPerdata).20

Dari ketentuan diatas cukuplah jelas bahwa para kedua pihak

tersebut memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan

perjanjian yang mereka sepakati.

2.2.3 Resiko dalam Sewa Menyewa

Menuru pasal 1553, dalam sewa menyewa itu resiko mengenai

barang yang dipersewakan dipikul oleh sipemilik barang, yaitu pihak

yang menyewakan. Namum, menuru Soebekti, risiko adalah kewajiban

untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang

terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang

menjadi obyek perjanjian.

Pembebanan risiko terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya

suatu peristiwa diluar dari keselahan para pihak yang menyebabkan

musnahnya barang atau obyek sewa. Musnahnya barang yang menjadi

obyek perjanjian sewa menyewa dapat di bagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Musnah secara total (seluruhnya). Jika barang yang menjadi obyek

perjanjian sewa menyewa musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di

luar kesalahan para pihak maka perjanjian tersebut gugur demi hukum.

Pengertian dari “musnah” disini berarti barang yang menjadi obyek

perjanjian sewa menyewa tersebut tidak dapat lagi digunakan sebagai

mana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari barang

tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1553

KUHPerdata yang menyatakan jika selama waktu sewa menyewa,

barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian

20

Ibid, h. 61-62

yang tak disengaja, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi

hukum.

b. Musnah sebagian barang yang menjadi obyek perjanjian sewa

menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih

dapat di gunakan dan dinikmati kegunaannya walaupun bagian dari

barang tersebut telah musnah. Jika obyek perjanjian sewa menyewa

musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu:

a) Meneruskan perjanjian sewa menyewa dengan meminta

pengurangan harga sewa;

b) Meminta pembatalan perjanjian sewa menyewa.

2.2.4 Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa

a. Bentuk Perjanjian

Meskipun perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian

konsensual, namun oleh undang-undang diadakan perbedaan (dalam

akibat-akibatnya) antara perjanjian sewa menyewa tertulis dan perjanjian

sewa menyewa lisan.

Jika perjanjian sewa menyewa itu diadakan secara tertulis, maka

perjanjian sewa menyewa itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila

waktu yang tentukan sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu

pemberitahuan pemberhentian untuk itu.

Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagaimana dikemukakan

berikut ini:

1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangain oleh para pihak

yang bersangkutan saja. Perjanjian ini hanya mengikat para

pihak dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan

mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian

tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah satu

pihak di perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti

yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak

ketiga dimaksud tidak berdasarkan dan tidak dibenarkan.

2. Perjanjian dengan saksi notaris atau melegalisir tanda tangan

para pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokomen

semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tanggan

para pihak. Akan tetapi, kesaksian tersebut tidaklah

mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian.

3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam

bentuk akta notariel (autentik). Akta notariel adalah akta yang

dibuat dihadapan dan di muka pejabat yang berwenang itu.

Pejabat yang berwenang itu adalah notaris, camat, PPAT, dan

lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang

sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak

ketiga.21

Dan apabila perjanjian sewa menyewa tidak dibuat dengan tulisan,

maka perjanjian sewa menyewa itu tidak berakhir pada waktu yang

ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan

kepada si penyewa bahwa ia hendak mengehentikan sewanya,

pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka

waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.22

b. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa Rumah

Di dalam KUHPerdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk

perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu,

perjanjian sewa menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan.23

Dalam perjanjian sewa menyewa rumah kost, khusunya dibuat dalam

bentuk lisan.

21

Abdul R. Salim, Op. Cit., h. 42-43 22

Subekti, Op. Cit., h. 47 23

Abdul R. Salim, Op. Cit., h. 42-43

Namun ada juga yang dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian

telah dirumuskan oleh para pihak. Akan tetapi, yang paling dominan

dalam menentukan sustansi perjanjian adalah dari pihak yang

menyewakan. Dengan demikian, semua persyaratan yang diajukan oleh

pihak yang menyewakan tinggal disetujui atau tidak oleh pihak penyewa.

Fungis dengan digunakannya bentuk perjanjian tertulis dalam sewa

menyewa rumah kost, yaitu untuk menghindari hal-hal yang tidak

diinginkan, sebagai alat bukti dan untuk mendapatkan kepastian hukum.

2.2.5 Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa

Berakhirnya perjanjian secara tegas tidak diatur, melainkan dalam

KUHPerdata hanya menyebutkan mengenai hapusnya perikatan pada

Pasal 1381 KUHPerdata. Walaupun demikian, ketentuan-ketentuan

tentang hapusnya perikatan tersebut juga merupakan ketentuan tentang

hapusnya perjanjian karena pada umumnya perjanjian lahir karena adanya

perikatan.

Berdasarkan pasal 1381 KUHPerdata hapusnya perikatan karena

sebagai berikut :

a. Pembayaran

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan produk

yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat;

c. Pembayaran untang;

d. Kompensasi

e. Percampuran utang;

f. Pembebasan utang;

g. Musnahnya barang yang terutang;

h. Kebatalan atau pembatalan;

i. Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan;

j. Lewat waktu.24

Menurut Lukamn Santozo Az, perjanjian dapat terhapus atau

berakhir disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

a. Pembayaran, yaitu pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian

secara suka rela. Artinya, tidak ada paksaan dan eksekusi.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan.

Cara pembayaran untuk menolong si berhutang dalam hal si

berpiutang tidak suka menerima pembayran. Barang yang hendak

dibayarkan itu diantarkan pada si berpiutang atau diperingatkan

untuk mengambil barang itu dari suatu tempat. Jika ia tetap

menolaknya, maka barang itu disimpan di suatu tempat atau

tanggungan si berpiutang.

c. Pembaharuan hutang, yaitu perbuatan perjanjian baru yang

menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletekan suatu

perikatan baru. Misalnya, seorang penjual barang membebaskan si

pembeli dari pembayaran harga barang, tetapi si pembeli

diharuskan menandatangani suatu perjanjian pinjaman uang yang

jumlahnya sama dengan harga barang tersebut.

d. Kompensasi atau perhintungan timbal balik.

Jika seseorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si

berpiutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak menagih

piutang satu kepada yang lainnya, maka piutang antara kedua orang

tersebut dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama (Pasal

1426 KUHPerdata).

e. Percampuran hutang.

Percampuran hutang dapat terjadi, misalnya jika si berhutang kawin

dalam percampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si

24

Abdul R. Salim, Op. Cit., h. 35

berhutang menggantikan hak-hak si berhutang karena menjadi

warisanya atau sebaliknya.

f. Pembebasan hutang, adalah suatu perjanjian baru ke si berpiutang

dengan sukarela membebaskan si berhutang dari segala kewajiban.

g. Hapusnya barang-barang yang dimaksudkan dalam perjanjian.

Dalam pasal 1444 KUHPerdata ditentukan bahwa jika suatu barang

tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus karena suatu

larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh

diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keadaanya, maka

perikatan terjadi hapus atau hilangnya barang itu sama sekali di luar

kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya.

h. Pembatalan perjanjian.

Perjanjian bisa dibatalkan apabila dibuat oleh orang-orang yang

menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, karena

paksaan, karena kekhilafan, penipuan atau punya sebeb yang

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban

umum.25

2.3 Wanprestasi

2.3.1 Pengertian Wanprestasi

Dalam perjanjian ke dua belah pihak tentu mempunyai suatu hal

yang di jadikan sebagai objek perjanjian, di dalam perjanjian tersebut

telah di sepakati hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat.

Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tidak dapat

memberikan prestasi, maka pihak tersebut dianggap telah melakukan

wanprestasi.

Dalam KUHPerdata, wanprestasi diatur didalam Pasal 1238, yaitu;

si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan

25

Lukman Santozo Az, Op. Cit., h.21-23

sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya

sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap

lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Menurut Yahya Harahap, wanprestasi diartikan pelaksanaan

kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut

selayaknya. Salah satu pihak dikatakan wanprestasi, apabila dia didalam

melakukan pelaksanaan perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari

jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak

menurut sepatutnya/ selayaknya.26

Menurut Abdulkadir Muhammad, wanprestasi diartikan tidak

memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah di tetapkan dalam

perjanjian.27

Tidak dilaksanakan kewajiban tersebut antara lain:

a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja atau tidak

memenuhi kewajiban maupun karena kelalaian;

b. Karena keadaan memaksa terjadi di luar kemampuan dan kuasa

debitur.

2.3.2 Bentuk Wanprestasi

Di dalam setiap perjanjian terdapat para pihak, dimana pihak-pihak

tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang

telah disepakati bersama. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi apa

yang dijanjikan maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.

Berdasarkan tersebut Subekti membagi wanprestasi menjadi 4

(empat) bentuk, yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

26

M. Yahya Harahap, Op.Cit., h. 45 27

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h. 203

2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

3. Melakukan yang dijanjikan tapi terlambat;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.28

Apabila dalam suatu perjanjian telah ditentukan objek dari

perjanjian akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan, namun

pada waktu tersebut objeknya tidak diserahkan, sedangkan waktunya

telah tiba untuk diserahkan. Dalam hal ini ia dikatakan wanprestasi atau

ingkar janji.

Melakukan apa yang telah diperjanjikan tetapi telambat, dalam hal

ini yang perlu diperhatikan, akibat dari keterlambatan itu apakah

merugikan salah satu pihak. Misalnya akibat dari salah satu pihak tidak

membayar uang yang diperjanjikan semula, maka pihak yang lain

menderita kerugian.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

perbuatan demikian tidak dapat juga dikatakan wanprestasi. Menurut

ketentuan Pasal 1442 KUHPerdata yang berbunyi : “Jika perikatan itu

bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun juga

yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan

karena itupun saja, berwajiblah ia akan menggantikan biaya rugi dan

bunga”.

Dalam perikatan yang berisi memberikan sesuatu atau untuk tidak

berbuat sesuatu, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya,

28

R. Subekti, Op.Cit., h. 45

maka penyelesaian adalah diwajibkan kepada pihak tersebut untuk

membayar biaya, rugi dan bunga (Pasal 1239 KUHPerdata).

Apabila salah satu pihak tidak menepati janjinya pada waktu yang

telah ditentukan, maka pihak yang merasa dirugikan diharuskan

melaksanakan peneguran lebih dahulu, supaya pihak diharuskan

melaksanakan peneguran lebih dahulu, supaya pihak lain memenuhi

prestasinya. Mengenai peneguran ini timbul masalah, apakah peneguran

itu dilakukan dengan surat perintah atau dibolehkan dengan lisan.

Menurut Abdul kadir Muhammad : “Debitur perlu diperingatkan/ditegur

secara tertulis dengan surat perintah atau dengan akta tertulis, dengan

surat perintah atau akta sejenis, dalam surat perintah itu ditentukan bahwa

ia segera memenuhi prestasinya, jika tidak dipenuhi ia telah dinyatakan

wanprestasi”.29

2.3.3 Akibat Hukum Wanprestasi

Pada Pasal 1243 KUHPerdata menyebutkan akibat wanprestasi :

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu

perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila seberutang setelah

dinyatakan lalai dalam memenuhi perikatannya, tetap melakukannya atau

jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan

atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi

adalah hukum atau sanksi hukum berikut ini:

1. Debitur diwajibkan membayar ganti rugi yang telah diderita

oleh kreditur (pasal 1243 KUHPerdata).

29

Abdul Kadir Muhammad, OP Cit., hal 22.

2. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntu

pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (Pasal 1266

KUHPerdata).

3. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih

kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi (Pasal 1237

Ayat 2).

4. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat

dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti rugi

(Pasal 1267 KUHPerdata).

5. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di

muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.30

30

Ibid, h 204