BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Cairan Amnion Cairan amnion merupakan cairan yang dianggap tersusun dari urine fetus dan membentuk suatu lingkungan di sekitar bayi dengan fungsi nutrisi dan protektif yang penting. Cairan amnion normalnya berwarna putih , agak keruh serta mempunyai bau yang khas agak amis dan manis. Cairan ini berwarna putih karena adanya campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Cairan amnion mempunyai pH 7,2. Cairan ini mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring dengan tuanya kehamilan akan menurun dari 1,025 menjadi 1,010. 7,8 Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibentuk. Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolaritas, kadar natrium, ureum, 4

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Cairan Amnion

Cairan amnion merupakan cairan yang dianggap tersusun

dari urine fetus dan membentuk suatu lingkungan di sekitar bayi

dengan fungsi nutrisi dan protektif yang penting. Cairan amnion

normalnya berwarna putih , agak keruh serta mempunyai bau

yang khas agak amis dan manis. Cairan ini berwarna putih

karena adanya campuran partikel solid yang terkandung di

dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material

sebasea. Cairan amnion mempunyai pH 7,2. Cairan ini

mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring dengan tuanya

kehamilan akan menurun dari 1,025 menjadi 1,010.7,8

Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibentuk.

Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk

proteksi sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolaritas, kadar

natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda dengan kadar serum

ibu, artinya kadar di cairan amnion merupakan hasil difusi dari

ibunya. Cairan amnion mengandung banyak sel janin ( lanugo,

verniks kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga penting ialah

menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan

seng.9

4

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar

800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal.

Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan

kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada

kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi

dibandingkan dengan janin sendiri.7

Cairan amnion mengandung banyak albumin dan berbagai

jenis asam amino juga terdiri atas karbohidrat, lemak, elektrolit

dan hormon. Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu,

dan keduanya memiliki peran tersendiri pada setiap usia

kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian besar

diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion. Dengan

bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion

didominasi oleh kulit janin dengan cara difusi membran. Pada

kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan

permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersebut dalam

memproduksi cairan amnion.7

Perubahan volume cairan amnion ditentukan oleh perbedaan

cairan yang masuk dan keluar ke dalam cairan amnion. Pada

kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di

5

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

sekresikan dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea.

Pada penelitian dengan menggunakan radioisotop, terjadi

pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan

amnion.7,11

Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan

bervariasi, secara umum volume bertambah 10 ml per minggu

pada minggu ke-8 usia kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml

per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian

akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap

setelah usia kehamilan 33 minggu. Cairan amnion akan

meningkat 30-40 ml per hari pada trisemester terakhir. Normal

volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada saat usia

kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi

dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm. Pada kehamilan posterm

jumlah cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau kurang.7,11

6

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

Gambar 2.1. Grafik yang menunjukkan perubahan volume cairan amnion. Cairan amnion sesuai dengan penambahan usia gestasi. Semakin tua usia kehamilan maka volume cairan amnion makin bertambah (Gilbert, 2006).

Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin,

seperti agenesis ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan

jika terdapat gangguan menelan pada janin, seperti atresia

esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan polihidramnion.7

Sirkulasi cairan amnion meliputi lima jalur utama yakni :

urine fetus, pernafasan fetus, penelanan fetus, sebuah

membrane intramembranosus yang melintasi plasenta dan

permukaan tali pusat dan transport cairan melalui kulit fetus

yang sangat permiabel.7

Urine fetus merupakan sumber utama cairan amnion.

Cairan urine mulai memasuki ruang amnion sejak usia kehamilan

memasuki 8-11 minggu. Ginjal janin mulai memproduksi urin

7

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai

kehamilan aterm. Wladimirof dan Campbell mengukur volume

produksi urin janin secara 3 dimensi setiap 15 menit sekali, dan

melaporkan bahwa produksi urin janin adalah sekitar 230 ml /hari

sampai usia kehamilan 36 minggu, yang akan meningkat sampai

655 ml/hari pada kehamilan aterm.11,13,14

Gambar 2.2 Distribusi cairan amnion pada kehamilan. Urine fetus merupakan penyusun terbanyak dari cairan ketuban sedangkan cairan paru hanya member kontribusi sedikit bagi volume cairan amnion (Gilbert, 2006).

Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam

pembentukan cairan amnion. Pada penelitian dengan

menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-paru janin

memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50%

dari produksi tersebut ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan

melalui mulut. Meskipun pengukuran secara langsung ke

8

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

manusia tidak pernah dilakukan, namun data ini memiliki nilai

yang representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal, janin

bernafas dengan gerakan inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan

masuk dan keluar melalui trakea, paru-paru dan mulut. Jadi jelas

bahwa paru-paru janin juga berperan dalam pembentukan cairan

amnion.7,10

Fetus mulai menelan bersamaan dengan urine pertama

yang memasuki rongga amnion, kurang lebih saat usia

kehamilan 8-12 mg kira-kra volume cairan amnion yang ditelan

oleh fetus 210-760 ml per hari dan proses ini biasanya terjadi

saat fetus bernafas.10

Cairan amnion dapat berasal dari transport cairan melewati

kulit fetus yang sangat permiabel selama hampir separuh dari

masa kehamilan pertama hingga akhirnya terjadi keratinisasi

kulit sekitar 22-25 minggu.10

II. 2 Fungsi Cairan Amnion

Cairan amnion mempunyai peranan penting dalam

menunjang proses kehamilan dan persalinan. Di sepanjang

kehamilan normal, kompartemen dari cairan amnion

menyediakan ruang bagi janin untuk tumbuh bergerak dan

berkembang. Tanpa cairan amnion, uterus akan mengerut dan

menekan janin, pada kasus – kasus dimana tejadi kebocoran 9

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

cairan amnion pada awal trimester pertama, janin dapat

mengalami kelainan struktur termasuk distrorsi muka, reduksi

tungkai dan cacat dinding perut akibat kompresi uterus.7

Menjelang pertengahan kehamilan cairan amnion menjadi

semakin penting untuk perkembangan dan pertumbuhan janin,

antara lain perkembangan paru-parunya, bila jumlah cairan

amnion tidak memadai selama pertengahan kehamilan, janin

akan sering disertai hipoplasia paru dan berlanjut pada

kematian. Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif

pada janin. Cairan ini mengandung agen-agen anti bakteria dan

bekerja menghambat pertumbuhan bakteri yang memiliki

potensi patogen.15

Terdapat sekitar 38 komponen biokimia dalam cairan

amnion, di antaranya adalah protein total, albumin, globulin,

alkalin aminotransferase, aspartat aminotransferase, alkalin

fosfatase, γ-transpeptidase, kolinesterase, kreatinin kinase,

isoenzim keratin kinase, dehidrogenase laktat, dehidrogenase

hidroksibutirat, amilase, glukosa, kolesterol, trigliserida, High

Density Lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL), very-

low-density lipoprotein (VLDL), apoprotein A1 dan B, lipoprotein,

bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, sodium, potassium,

10

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

klorid, kalsium, fosfat, magnesium, bikarbonat, urea, kreatinin,

anion gap , urea, dan osmolalitas.7

Faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor,

EGF) dan faktor pertumbuhan mirip EGF, misalnya transforming

growth factor-α, terdapat di cairan amnion. Ingesti cairan amnion

ke dalam paru dan saluran cerna mungkin meningkatkan

pertumbuhan dan diferensiasi jaringan-jaringan ini melalui

gerakan inspirasi dan menelan cairan amnion.7

Beberapa penanda tumor (tumor marker) juga terdapat di

cairan amnion termasuk α-fetoprotein (AFP), antigen

karsinoembrionik (CEA), feritin, antigen kanker 125 (CA-125), dan

199 (CA-199).7

1. Alfa feto protein (AFP)

Merupakan suatu glikoprotein yang disintesa yolk sac dan

liver janin pada awal kehamilan. Konsentrasinya dalam cairan

amnion meningkat sampai kehamilan 13 minggu dan kemudian

akan berkurang. Jika kadar AFP ini meningkat dan diiringi dengan

peningkatan kadar asetil kolin esterase menunjukan adanya

kelainan jaringan syaraf seperti neural tube defect atau defek

janin lainnya. 7

Jika peningkatan kadar AFP tidak diiringi dengan

peningkatan kadar asetilkolinesterase menunjukan adanya

11

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

kemungkinan etiologi lain atau adanya kontaminasi dari darah

janin.7

2. Lesitin – sfingomielin

Lesitin ( dipalmitoyl phosphatidycholine) merupakan suatu

unsur yang penting dalam formasi dan stabilisasi dari lapisan

surfaktan yang mempertahankan alveolar dari kolaps dan

respiratori distress, sebelum minggu ke 34 kadar lesitin dan

sfingomielin dalam cairan amnion sama konsentrasinya. Setelah

minggu ke 34 konsentrasi lesitin terhadap sfingomielin relatif

meningkat .7

Jika konsentrasi lesitin dalam cairan amnion lebih dari dua

kali kadar sfingomielin ( L/S Ratio ), menunjukan resiko terjadinya

gawat nafas pada janin sangat rendah. Tetapi jika perbandingan

kadar lesitin sfingomielin kecil dari dua resiko terjadinya gawat

nafas pada janin meningkat. Karena lesitin dan sfingomielin juga

ditemukan pada darah dan mekonium, kontaminasi oleh kedua

substansi tersebut dapat membiaskan hasil. Selama kehamilan

sejumlah agen bioaktif bertumpuk di cairan amnion,

kompartemen cairan amnion merupakan suatu tempat

penyimpanan yang luar biasa yang khususnya bermanfaat dalam

kehamilan dan persalinan. 7

Banyaknya agen bioaktif yang terakumulasi dalam cairan

amnion selama kehamilan merupakan suatu hal yang tipikal dari 12

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

inflamasi jaringan. Suatu hal yang unik dari agen agen bioaktif ini

adalah bersifat uterotonik seperti PGE2 , PGF2 , PAF dan

endothelin-1, produk-produk ini dapat dilihat pada vagina dan

cairan amnion setelah proses persalinan dimulai. Agen-agen

inflamasi ini penting peranannya dalam proses dilatasi serviks. 7

3. Sitokin

Makrofag terdapat dalam cairan amnion dalam jumlah

yang kecil sebelum proses persalinan, sebenarnya leukosit tidak

dapat melakukan penetrasi normal melalui membran janin baik

secara in vivo atau in vitro, tetapi dengan adanya inflamasi dari

desidua pada partus preterm, leukosit ibu akan diambil menuju

cairan amnion, fenomena juga pada partus yang aterm, aktivasi

leukosit diakselerasi oleh inflamasi dan memungkinkan melewati

membran janin. 7

4. Interleukin -1β

Interleukin -1β merupakan sitokin primer, yang diproduksi

secara cepat sebagai respon dari infeksi dan perubahan

imunologi dan Interleukin -1β akan merangsang sitokin lain dan

mediator inflamasi lainnya.7

Interleukin -1β secara normal tidak terdeteksi sebelum

proses persalinan, Interleukin -1β baru akan muncul pada cairan

amnion pada persalinan yang preterm atau sebagai reaksi dari

infeksi pada cairan amnion.7

13

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

Pada kehamilan aterm, seperti prostaglandin, Interleukin -1β

diproduksi pada desidua setelah induksi persalinan atau dilatasi

servik, yang kemudian akan didistribusikan pada cairan amnion

dan vagina. Sitokin lainnya yang terdapat dalam cairan amnion

adalah Interleukin -6 atau Interleukin – 8.7

5. Prostaglandin

Prostaglandin terutama PGE2 juga PGF2α di dapatkan pada

cairan amnion pada semua tahap persalinan. Sebelum proses

persalinan dimulai prostanoid dalam cairan amnion dihasilkan

dari ekskresi urine janin dan mungkin juga oleh kulit, paru-paru

dan tali pusat. Seiring dengan pertumbuhan janin, kadar

prostaglandin dalam cairan amnion meningkat secara bertahap.7

Walaupun demikian tidak ada pertambahan kadar

prostaglandin yang dapat dihubungkan atau diinterprestasikan

sebagai pertanda pre partus. Faktanya jumlah total kadar

prostaglandin dalam cairan amnion pada saat kehamilan cukup

bulan sebelum persalinan dimulai sangat kecil (sekitar 1µg),

karena waktu paruh prostaglandin dalam cairan amnion sangat

lama yaitu 6 – 12 jam jumlah dari prostaglandin yang memasuki

cairan amnion sangat kecil. Hubungan antara peningkatan kadar

prostaglandin dalam cairan amnion dan inisiasi dari persalinan

menjadi suatu tanda tanya selama lebih 30 tahun terakhir. 7

14

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

Selama proses persalinan dan kelahiran cairan amnion

terus bertindak sebagai medium protektif pada janin untuk

membantu dilatasi serviks. Selain itu cairan amnion juga

berperan sebagai sarana penghubung antara janin dan ibu.

Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir dapat diketahui dari

hormon urine janin yang diekskresikan ke dalam cairan amnion.

Cairan amnion juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik

untuk melihat adanya kelainan-kelainan pada proses

pertumbuhan dan perkembangan janin dengan melakukan kultur

sel atau melakukan spectrometer. Jadi cairan amnion memegang

peranan yang cukup penting dalam proses kehamilan dan

persalinan.7

Secara ringkasnya cairan amnion mempunyai fungsi sebagai berikut16:

1. Melindungi janin dari trauma

2. Tempat perkembangan musculoskeletal janin

3. Menjaga suhu tubuh janin

4. Meratakan tekanan uterus pada partus

5. Membersihkan jalan lahir sehingga bayi kurang mengalami

infeksi

6. Menjaga perkembangan dan pertumbuhan normal dari paru-

paru dan traktus gastrointestinalis

15

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

II. 3 Patologi Cairan Amnion

Pada keadaan normal, volume cairan amnion meningkat

menjadi 1 liter atau lebih sedikit pada gestasi 36 minggu, tapi

kemudian berkurang. Secara kasar, cairan amnion yang lebih

dari 2000 ml dianggap berlebihan dan disebut hidramnion, dan

kadang-kadang disebut polihidramnion. Pada kasus-kasus yang

jarang, volume air ketuban dapat turun di bawah batas normal

dan kadang-kadang menyusut hingga hanya beberapa ml cairan

kental. Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya dipahami.

Secara umum, oligohidramnion yang timbul pada awal kehamilan

jarang dijumpai dan sering memiliki prognosis buruk. 7

II.3,1 Oligohidramnion

Oligohidramnion didefinisikan sebagai berkurangnya cairan

amnion yang diukur dengan indeks cairan amnion (ICA) kurang

dari 5th persentile karena volume cairan amnion normal berubah-

ubah tergantung masa kehamilan. Selama bertahun-tahun

oligohidramnion digambarkan sebagai berikut17:

Berkurangnya cairan amnion

Volume cairan amnion pada usia kehamilan 32-36 minggu

kurang dari 500 ml.

Maximum vertical pocket (MVP) kurang dari2 cm.

16

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

AFI kurang dari 5 cm, atau kurang dari 5th percentil

Marks dan Divon (1992) menemukan oligohidramnion pada

12% dari 511 kehamilan usia 41 minggu atau lebih pada 121

wanita yang diteliti secara longitudinal terjadi penurunan rata-

rata ICA sebesar 25% perminggu setelah 41 minggu. Akibat

berkurangnya cairan, risiko kompresi tali pusat, dan pada

gilirannya gawat janin, meningkat pada semua persalinan,

terutama pada persalinan posterm.7

Oligohidramnion yang terjadi di awal masa kehamilan

jarang terjadi dan biasanya akan menyebabkan gambaran fetus

yang buruk. Hal ini disebabkan karena penurunan cairan amnion

yang berlangsung lama akan menimbulkan terjadinya kompresi

seperti hipoplasia pulmonal, hipotrofi muskuler, dan

penyempitan sendi. Oligohidramnion onset dini disebabkan

preterm premature rupture of membranes (pPROM) atau

berkurangnya sekresi cairan amnion.18

Tabel 2. 1 Penyebab oligohidramnion onset awal dan onset lambat. Kelaianan pada onset awal lebih kearah faktor kehamilan sedangkan yang onset lambat cenderung disebabkan oleh faktor plasenta dan membran yang ruptur (Hsu,2007)

17

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

Ketuban pecah dini merupakan penyebab tersering dari

oligohidramnion. Diagnosis biasanya dapat langsung segera

ditegakkan saat pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan dengan

menggunakan spekulum nampak adanya rembesan dari cairan

amnion.18

Oligohidramnion onset lambat berkaitan dengan resiko

tinggi fetus dengan kondisi yang kurang baik seperti

meningkatnya insidensi air ketuban yang bercampur dengan

mekonium, skor Apgar yang rendah, berat badan lahir rendah

(BBLR), perawatan ke NICU, asfiksia pada BBL, dan seksio

sesarea untuk fetal distress.15

Penyebab paling sering dari oligohidramnion adalah

rupturnya membran amnion. Bagaimanapun juga urine fetus

merupakan penyusun utama dari cairan amnion pada hampir

separuh usia kehamilan, maka adanya penurunan atau absensi

dari produksi urine atau adanya blokade pada saluran urinarius

18

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

fetus akan menyebabkan terjadinya oligohidramnion. Adanya

proses penelanan pada fetus juga akan mengurangi jumlah

cairan.15

Tabel 2.2 Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan

oligohidramnion (Gilbert, 2006)

Faktor Janin Faktor Ibu- Agenesis ginjal- Uropati obstruksi- Pecah selaput ketuban- Kehamilan lewat waktu

- Penyakit hipertensi- Insufisiensi utero-

plasenta- Sindrom antifosfolipid- Dehidrasi-hipovolemi

II.4 Asfiksia

II.4.1 Definisi

Asfiksia pada BBL adalah kegagalan bayi untuk menangis

atau untuk mempertahankan pernafasan yang adekuat selama 1

menit setelah lahir. Asfiksia adalah suatu keadaan hipoksia

progresif, terakumulasinya karbondioksida dengan kondisi

asidosis. Asfiksia merupakan hasil dari adanya

ketidakseimbangan pengangkutan oksigen ke jaringan dan

biasanya berakibat pada kombinasi hipoksemia (penurunan

konsentrasi oksigen dalam darah) dan iskemia (penurunan

perfusi jaringan). Hipoksemia murni berakibat pada penurunan

konsentrasi oksigen dalam darah dengan aliran sirkulasi darah

yang tetap baik, sehingga memungkinkan organ-organ untuk

berespon meningkatkan efisiensi kerjanya pengangkutan oksigen

19

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

dari sirkulasi. Lebih lanjut nantinya, iskemia akan berakibat pada

metabolisme anaerob, meningkatkan konsentrasi laktat dan

asidosis intraseluler. 15,19

II.4.2 Epidemiologi

Kebanyakan BBL tidak mengalami kesulitan untuk mulai

bernafas secara spontan. Asfiksia pada BBL menjadi penyebab

kematian 19% dari 5 juta kematian BBL setiap tahun. Di

Indonesia angka kejadian asfiksia di rumah sakit provinsi Jawa

Barat adalah 25,2% dan angka kematian karena asfiksia di

rumah sakit rujukan provinsi di Indonesia adalah sekitar 41,94%.

Sebagian besar bayi yaitu sekitar 90%, tidak membutuhkan atau

hanya sedikit memerlukan bantuan untuk memantapkan

pernafasannya setelah lahir dan akan melalui masa transisi dari

kehidupan intrauterine ke ekstrauterine tanpa masalah.15,20

II.4.3 Etiologi

Asfiksia pada BBL dapat disebabkan oleh kejadian saat

antepartum, intrapartum, saat postpartum maupun kombinasi

diantaranya. Menurut penelitian terbaru, umumnya asfiksia

antepartum terjadi dalam 50% kasus, intrapartum pada 40%

20

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

kasus, dan postpartum sebanyak 10% kasus. Pada negara

berkembang dimana komplikasi intrapartum jarang terjadi,

penyebab tersering asfiksia pada BBL adalah berhubungan

dengan kejadian antepartum. Asfiksia yang disebabkan pada

kejadian intrapartum berhubungan dengan penanganan yang

tidak tepat selama proses persalinan.21

Asfiksia pada BBL dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi

yang terjadi sebelum (antepartum), selama (intrapartum)

ataupun segera setelah lahir (postpartum), diantaranya adalah

sebagai berikut 22:

- Sebelum lahir (antepartum) : preeklamsia, eklamsia,

infeksi, perdarahan.

- Selama lahir (intrapartum) : prematur, persalinan yang

lama, malpresentasi (posisi fetus yang abnormal),

anestesia selama seksio sesaria, perdarahan.

- Segera setelah lahir (postpartum) : prematur, infeksi

II.4.4 Patofisiologi Asfiksia pada BBL

BBL mempunyai karakteristik yang unik. Transisi dari

kehidupan janin intrauterine ke kehidupan bayi ekstrauterin,

menunjukan adanya perubahan. Alveoli paru janin dalam uterus

berisi cairan paru yang terus menerus disekresi. Cairan ini

berbeda dengan cairan amnion dan plasma. Pada saat lahir, bayi 21

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

mengambil nafas pertama, udara memasuki alveoli paru dan

cairan paru diabsorpsi oleh jaringan paru. Pada nafas kedua dan

berikutnya, udara yang masuk ke alveoli bertambah banyak dan

cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi

udara yang mengandung oksigen.20,23

Gambar2.3. Cairan dalam alveoli dan pembuluh darah yang vasokonstriksi sebelum lahir dan pada saat lahir maka cairan dalam alveoli diserap oleh jaringan paru dan alveoli akan terisi dengan udara (Perinasia, 2007)

Berkurangnya cairan pada alveoli menyebabkan aliran

darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan

ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan

tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan

peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya menyebabkan

penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah

paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai

22

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

beralih arah dan kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus.

Ekspansi paru yang inadekuat akan menyebabkan gagal nafas.20

Tanda awal asfiksia ditandai dengan periode pernafasaan

cepat, bunyi jantung dan tekanan darah yang tinggi kemudian

diikuti oleh apnue primer. Asfiksia akan menyebabkan retribusi

aliran darah ke jantung, otak, dan adrenal agar kebutuhan

oksigen dan substrat organ-organ vital terpenuhi.25

Gambar2. 4. Efek asfiksia terhadap pola pernafasan. Pada awal dari pernafasan akan terjadi respirasi gasping ireguler yang kemudian menjadi teratur. Jika proses asfiksia berlanjut maka akan terjadi apnue primer kemudian nafas akan menjadi tidak teratur dan lemah dan dapat menyebabkan kematian (Joseph, 1990).

II.5 Skor Apgar

Apgar skor yang ditemukan oleh Virginia Apgar pada tahun

1952 merupakan alat penilai yang cepat digunakan untuk

menilai lima tanda adaptasi fisiologis untuk menilai status klinis

23

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

dari neonatus. Skor Apgar digunakan dalam menentukan status

fisik neonatus pada waktu 1 menit pertama.27

Skor ini membuat standarisasi penilaian terhadap BBL.

Skor Apgar menilai 5 komponen seperti denyut jantung, usaha

nafas, tonus otot, refleks, dan warna kulit yang masing-masing

kriteria diberi nilai 0,1,atau 2. Skor ini dinilai pada menit 1 dan

menit ke 5 setelah bayi lahir. Skor Apgar berguna untuk menilai

keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan untuk menentukan

prognosis. Skor Apgar tidak boleh digunakan untuk memulai

resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila

bayi tidak menangis. Jika nilai skor Apgar kurang dari 7 pada lima

menit pertama maka program resusitasi neonatal harus diulang

tiap 5 menit hingga 20 menit.27

Tabel 2.3 Kriteria Penilaian Skor Apgar. Skor Apgar 0-3 menunjukan Asfiksia berat, nilai 4-6 menunjukan asfiksia sedang dan nilai 7-10 menunjukan normal (Haider, 2006).

24

Page 22: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

II.6 Program Resusitasi dengan panduan nilai skor

Apgar

Nilai Apgar 8-10 pada infant yang sehat, berwarna

kemerahan, aktif, menangis kuat dengan denyut jantung yang

cepat. Penanganan yang dilakukan adalah suction pada mulut

dan hidung dengan tekanan rendah dan dalam waktu yang

singkat. Keringkan bayi dengan handuk kering yang steril.

Letakan bayi dalam infant warmer.26

Nilai Apgar 6-7(asfiksia ringan): bayi sedikit sianosis, tonus

otot berkurang, pernafasan lemah dan periodik disertai denyut

jantung >100 kali permenit. Penangangan yang dilakukan

suction dan keringkan bayi jaga suhunya agar tetap hangat.

25

Page 23: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

Memberikan stimulus dengan memukul-mukul telapak kaki bayi

secara lembut dan menggosok punggung bayi. Memberikan

oksigen masker. Jika kondisi bayi membaik maka lakukan

pemberian oksigen sampai warna kulit bayi berubah menjadi

kemerahan kemudian lepaskan oksigen. Pantau kondisi bayi

dengan skor Apgar. Jika kondisi bayi tidak membaik maka harus

diberi perawatan seperti asfiksia sedang.26

Nilai Apgar 3-5 (asfiksia sedang): bayi sianosis, tonus otot

lemah, denyut jantung kurang dari 100 kali per menit.

Penangangan yang dilakukan suction dan keringkan bayi jaga

suhunya agar tetap hangat. Diberikan oksigen 100% melalui

masker, cek dengan mengamati gerakan dada dan auskultasi.

Jika keadaan bayi membaik, upaya ini dilanjutkan hingga nafas

menjadi teratur dan dada bergerak naik turun. jika kondisi bayi

tidak membaik maka harus diberi perawatan seperti asfiksia

berat.26

Nilai Apgar 0-2 (asfiksia berat): bayi sangat sianosis, tonus

otot lemah, bayi apnue. Penangangan yang dilakukan suction

dan keringkan bayi jaga suhunya agar tetap hangat. Lakukan

laringoskopi, aspirasi trakea, intubasi dan ventilasi dengan

oksigen 100%. Lakukan pijat jantung jika denyut jantung kurang

dari 60 kali permenit. Kebanyakan bayi dalam 1-2 menit pertama

26

Page 24: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

akan mengalami perbaikan . jika tidak terjadi perbaikan lakukan

endotracheal tube, intubasi pada bronkus utama kanan.26

Tabel 2.4 Diagram alur resusitasi neonatus. Yang harus diperhatikan adalah jalan nafas (kotak A), pernafasan (kotak B), sirkulasi (kotak C) dan obat-obatan (kotak D) (Queensland Government, 2009).

Langkah-langkah resusitasi terdiri dari beberapa tindakan

berurutan yakni memberikan kehangatan dengan

27

Page 25: BAB II Tinjauan Pustaka Yusel Baru

mempertahankan suhu normal bayi yakni 36,5-37,5ºC,

memposisikan bayi dengan meletakan bayi telentang dengan

kepala sedikit ekstensi dan membersihkan jalan nafas

menggunakan kateter pennghisap yang mempunyai lubang

besar, jika cairan amnion bercampur mekonium dan bayi

mengalami depresi nafas maka pengisapan mekonium dari mulut

dan faring harus dilakukan segera dengan laringoskopi.

Kemudian keringkan sambil merangsang taktil dengan

menggosok perut dan punggung atau menepuk telapak kaki.

Posisikan bayi kembali dan lakukan penilaian terhadap bayi. Jika

bayi masih apnue maka lakukan ventilasi tekanan positif. Bila

pernafasan dan frekuensi jantung memadai tapi bayi tetap

sianosis maka berikan oksigen aliran bebas menggunakan

sungkup oksigen ataupun sungkup balon.20

28