BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Kecemasan merupakan suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh rasa ketakutan serta gejala fisik yang menegangkan serta tidak diinginkan (Saraswati, 2009). Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart et al, 1998). Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan sering kali merupakan suatu emosi yang normal. 1. Tanda dan Gejala Kecemasan mempunyai gejala baik secara fisiologis, emosional, maupun kognitif. Gejala cemas fisiologis meliputi peningkatan frekuensi nadi, peningkatan tekanan darah, peningkatan pernafasan, mata bergetar, gemetar, palpitasi, mual-mual, sering berkemih, badan terasa sakit, pusing, parastesia, rasa panas, dan dingin. Gejala cemas secara emosional di tandai dengan individu mengatakan ia merasa ketakutan, tidak berdaya, gugup, kehilangan percaya diri, kehilangan kontrol, tegang, atau merasa terkunci, tidak dapat rileks dan antisipasi kemalangan. Selain itu individu juga memperlihatkan peka rangsang tidak sabar, meledak-ledak, menangis, cenderung menyalahkan orang lain, reaksi terkejut, mengkritik diri sendiri dan orang lain. Sedangkan berdasarkan reaksi kognitif ansietas ditandai dengan tidak mampu berkonsentrasi, disorientasi lingkungan, pelupa, temenung, orientasi pada

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

Kecemasan merupakan suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan

yang ditandai oleh rasa ketakutan serta gejala fisik yang menegangkan serta tidak

diinginkan (Saraswati, 2009).

Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa

gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber

aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart et al, 1998).

Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan

yang disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas

sistem syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering

ditemukan dan sering kali merupakan suatu emosi yang normal.

1. Tanda dan Gejala

Kecemasan mempunyai gejala baik secara fisiologis, emosional,

maupun kognitif. Gejala cemas fisiologis meliputi peningkatan frekuensi nadi,

peningkatan tekanan darah, peningkatan pernafasan, mata bergetar, gemetar,

palpitasi, mual-mual, sering berkemih, badan terasa sakit, pusing, parastesia,

rasa panas, dan dingin. Gejala cemas secara emosional di tandai dengan

individu mengatakan ia merasa ketakutan, tidak berdaya, gugup, kehilangan

percaya diri, kehilangan kontrol, tegang, atau merasa terkunci, tidak dapat

rileks dan antisipasi kemalangan. Selain itu individu juga memperlihatkan

peka rangsang tidak sabar, meledak-ledak, menangis, cenderung menyalahkan

orang lain, reaksi terkejut, mengkritik diri sendiri dan orang lain. Sedangkan

berdasarkan reaksi kognitif ansietas ditandai dengan tidak mampu

berkonsentrasi, disorientasi lingkungan, pelupa, temenung, orientasi pada

masa lalu dan pada saat ini serta masa yang akan datang, memblok pemikiran

dan perhatian yang berlebihan (Carpenito, 1998).

Reaksi fisiologis terhadap kecemasan merupakan reaksi yang pertama

timbul pada sistem saraf otonom, meliputi peningkatan frekuensi nadi dan

pernafasan, pergerakan tekanan darah, dan peningkatan suhu tubuh, relaksasi

otot polos pada kandung kemih dan usus, kulit dingin dan lembab, dilatasi

pupil, dan mulut kering (Smeltzer et al, 2001).

2. Respon Terhadap Kecemasan

Menurut Stuard & Sudden (1998) membagi respon kecemasan meliputi :

a. Respon fisiologis

1) Kardiovaskuler

Palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah tinggi, rasa mau pingsan,

pingsan, tekanan darah menurun, dan denut nadi menurun.

2) Pernafasan

Nafas cepat, nafas pendek, tekanan pada dada, nafas dangkal,

pembengkakan pada tenggorok, sensasi tercekik, terengah-engah.

3) Neuromuskuler

Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor,

rigiditas, gelisah, wajah tegang kelemahan umum, kaki goyah, gerakan

yang janggal.

4) Gastrointestinal

Kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada

abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung, diare.

5) Tractus Uriarius

Tidak dapat menahan kencing, selalu ingin berkemih.

6) Kulit

Wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan), gatal dan rasa

panas yang dingin pada, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.

b. Respon Perilaku

Respon perilaku terhadap kecemasan meliputi : gelisah, ketegangan fisik,

tremor, gugup, bicara cepat, kurang terkoordinasi, cenderung mendapat

cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan dari masalah,

menghindari dan hiperventilasi.

c. Respon Kognitif

Respon kognitif terhadap kecemasan meliputi : konsentrasi buruk,

pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berfikir, bidang

persepsi menurun, produktivitas menurun, binggung, sangat waspada,

kesadaran diri meningkat, kehilangan obyektifitas, takut kehilangan kontrol,

takut pada gambaran visual dan takut pada cedera atau kematian.

d. Respon Afektif

Respon afektif terhadap kecemasan meliputi : mudah terganggu, tidak

sadar, gelisah, tegang nervous, ketakutan dan gugup.

3. Klasifikasi Tingkat Kecemasan

Ada empat tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik yaitu

a. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi

belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang

muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi

meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat

dan tingkah laku sesuai situasi.

b. Kecemasan sedang

Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang

penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami

perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.

Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat,

kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot

meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit,

mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi

menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak

menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar,mudah lupa, marah

dan menangis.

c. Kecemasan berat

Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan

kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci

dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut

memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area

yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh

pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing,

diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara

efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan

kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.

d. Panik

Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena

mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu

melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang

terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi,

pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap

perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan

delus (Stuart et al., 1998).

4. Cara Pengukuran Cemas

Skoring kecemasan dapat ditentukan dengan gejala yang ada dengan

menggunakan Hamilon Anxietas Rating Scale (HARS) atau HRS-A (Hawari,

2001).

a. Komponen HARS terdiri dari 14 komponen yaitu :

Perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan

kecemasan, perasaan depresi, gejala somatik, gejala sensorik, gejala

kardiovaskuler, gejala pernafasan, saluran pencernaan makanan, urogenital,

vegetatif / otonom, tingkah laku / sikap.

b. Cara penilaian

Dengan sistem skoring, yaitu :

Skor 0 = tidak ada gejala, Skor 1 = ringan (satu gejala), Skor 2 = sedang

(dua gejala), Skor 3 = berat (lebih dari 2 gejala), Skor 4 = sangat berat (semua

gejala)

Bila Skor < 14 = tidak ada kecemasan, skor 14-20 = cemas ringan, skor

21-27 = cemas sedang, skor 28-41 = cemas berat dan skor 42-56 = cemas

berat sekali.

Pada HRS-A penting dinilai adalah intensitas dari tiap gejala. Makin besar

intensitasnya makin tinggi nilainya. Dari satu gejala, dalam keterangan gejala

mencakup beberapa area, yang dalam penilaian dinilai mungkin satu gejala

saja tetapi dengan intensitas yang meningkat. Suatu contoh pada gejala

autonomik didapatkan keterangan gejala, mulut kering, muka merah, sakit

kepala, bulu-bulu berdiri. Untuk menilai intensitas gejala autonomik tidak

perlu semua gejala ada, mungkin hanya satu / dua, misalnya hanya ada sakit

kepala dan berkeringat. Bila sakit kepla sangat hebat kita dapat memberikan

nilai 3 (walaupun angka tertinggi 4). Jadi dalam praktek skala Hamilton dari

0-4, angka 4 jarang dipakai, karena menunjukan gejala luar biasa yang tak

mungkin dipertahankan (Hawari, 2001).

5. Mekanisme Cemas dalam mempengaruhi Nyeri

Sistem limbik merupakan jaringan interaktif yang kompleks, ini berkaitan

dengan emosi, pola perilaku, sosio seksual dan kelangsungan hidup dasar,

motivasi dan belajar. Adanya stimulasi pada daerah tertentu dalam sistem

limbik akan menimbulkan sensasi subyektif, salah satu diantaranya adalah

kecemasan. Kecemasan dapat mempengaruhi sistem limbik sebagai kontrok

emosi yang dapat meningkatkan sistem syaraf otonom (terutama sistem syaraf

simpatis). Syaraf otonom berkaitan dengan pengendalian organ-organ dan

secara tidak sadar. Dimana serabut-serabut syaraf simpatis mensarafi otot

jantung, otot tidak sadar semua pembuluh darah serta semua organ dalam

seperti lambung, pankreas, dan usus. Melayani serabut-serabut motorik pada

otot tak sadar dalam kulit. Hal ini dapat meningkatkan ketegangan otot yang

akan menyebabkan peningkatan persepsi nyeri seseorang (Potter, 2001).

B. Nyeri pada Pirai

Nyeri merupakan suatu pengalaman psikis yang normalnya berhubungan

dengan kerusakan terhadap jaringan pada tubuh. Dapat didefinisikan sebagai

sensasi ketidakenakan, penderitaan atau kesakitan, yang lebih kurang terlokalisir,

yang dihasilkan dari stimulasi akhir-akhiran saraf yang khusus, dianggap sebagai

mekanisme protektif sepanjang ia menyebabkan penderita memindahkan atau

menarik dirinya dari sumber nyeri ( Soenarto, 1990).

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Nyeri sendi merupakan salah satu keluhan pada penderita rematik. Penyakit

pirai (gout) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak

dan berulang dari artritis yang terasa sangat nyeri karena adanya endapan kristal

monosodium urat, yang terkumpul di dalam sendi sebagai akibat dari tingginya

kadar asam urat di dalam darah. Nyeri sendi pada penderita pirai cenderung

mengenai sendi pangkal ibu jari kaki. Biasanya dalami pada malam hari atau pada

saat bangun pagi. Rasa nyeri akan semakin bertambah, bila sendi digerakan. Pada

keadaan akut (parah), rasa nyeri akan datang tiba-tiba, bengkak, kemerahan dan

terasa hangat. Bila berkembang menjadi kronis, tumpukan asam urat akan

membentuk benjolan, baik pada sendi yang terkena maupun pada tempat lain,

seperti pada daun telinga, permukaan tulang lengan bawah dan pada jaringan

lunak lainnya.Rasa sakit / nyeri sendi ini sering menjadi penyebab gangguan

aktivitas sehari-hari pada penderita piari (Jingga, 2008).

1. Fisiologi

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung

syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang

secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara

anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang

tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa

bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan

pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang

timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal

dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor

jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)

yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila

penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)

yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat

tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga

lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan

nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi

organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri

yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan

organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

(Andi, 2008)

2. Klasifikasi

Menurut Tamsuri (2007), klasifikasi nyeri dibedakan menjadi 4 yaitu :

a. Klasifikasi nyeri berdasarkan awitan

Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokan sebagai nyeri akut

dan nyeri kronis.

1) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu kurang dari enam

bulan. Umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pembedahan

dengan awitan cepat. Dapat hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa

tindakan setelah kerusakan jaringan sembuh.

2) Nyeri kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam

bulan. Umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau bahkan persisten.

Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Nyeri

ini dapat menimbulkan kelelahan mental dan fisik.

b. Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi

Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dibedakan menjadi 6 yaitu :

1) Nyeri superfisial

Biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi,

luka bakar, dan sebagainya. Memiliki durasi pendek, terlokalisir, dan

memiliki sensasi yang tajam.

2) Nyeri somatik

Nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur penyokong,

umumnya bersifat tumpul dan stimulasi dengan adanya peregangan dan

iskemia.

3) Nyeri viseral

Nyeri yang disebabkan kerusakan organ internal, durasinya cukup

lama, dan sensasi yang timbul biasanya tumpul.

4) Nyeri sebar (radiasi)

Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal

ke jaringan sekitar. Nyeri dapat bersifat intermiten atau konstan.

5). Nyeri fantom

Nyeri fantom adfalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang

mengalami amputasi.

6) Nyeri alih

Nyeri alih adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang

menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau

lokasi.

c. Klasifikasi nyeri berdasarkan organ

Berdasarkan tempat timbulnya, nyeri dapat dikelompokan dalam

1) Nyeri organik

Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan organ.

2) Nyeri neurogenik

Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada

neurologi.

3) Nyeri psikogenik

Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psiokologis.

Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan

takut timbul pada klien.

3. Respon terhadap nyeri

a. Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap

nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu

berbeda-beda antara lain : bahaya atau merusak, komplikasi seperti infeksi,

penyakit yang berulang, penyakit baru, penyakit yang fatal, peningkatan

ketidakmampuan, kehilangan mobilitas, menjadi tua, sembuh, perlu untuk

penyembuhan, hukuman untuk berdosa, tantangan, penghargaan terhadap

penderitaan orang lain, sesuatu yang harus ditoleransi, dan bebas dari

tanggung jawab yang tidak dikehendaki.

b. Respon Fisiologis

Respon fisiologis terhadap nyeri meliputi :

1) Stimulius simpatik : dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan

respirasi rate, peningkatan heart rate, asokonstriksi perifer,

peningkatan nilai gula darah, diaphoresis, peningkatan kekuatan otot,

dilatasi pupil, dan penurunan motilitas gastro intestinal.

2) Stimulus parasimpatik : muka pucat, otot mengeras, penurunan HR,

nafas cepat dan irreguler, nausea dan vomitus, kelelahan dan keletihan.

c. Respon tingkah laku

Respon tingkah laku terhadap nyeri meliputi : mengaduh, menangis, sesak

nafas, mendengkur, meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir, gelisah,

imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan, menghindari

percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus

pada aktivitas menghilangkan nyeri.

(Tamsuri, 2007)

4. Pengukuran Nyeri

Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri disebabkan oleh subyektivitas yang

tinggi dan tentunya memberikan perbedaan secara individual. Pengukuran

nyeri dapat merupakan pengukuran satu dimensional saja atau pengukuran

berdimensi ganda (Sudoyo, 2006).

Macam-macam pengukuran nyeri

a. Skala deskritif

Merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih

obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)

merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata

pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.

Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang

tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan

meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.

Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan

dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini

memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan

nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien

menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif

digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi

terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka

direkomendasikan patokan 10 cm.

b. Skala analog visual (Visual analog scale, VAS)

Suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus

menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi

klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS

dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena

klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa

memilih satu kata atau satu angka. Sebagai contoh klien tidak merasakan

nyeri apapun, maka ia harus menggariskan pada ujung sisi kiri dari garis

VAS tersebut.

Pengukuran dengan VAS pada nilai di bawah 4 dikatakan sebagai

nyeri ringan, nilai antara 4-7 dinyakan sebagai nyeri sedang dan diatas 7

dianggap sebagai nyeri hebat.

c. Skala numerik

Numerical rating scale merupakan pengukuran nyeri dimana klien

untuk memberikan angka 1 sampai 10. Nol diartikan sebagai tidak ada

nyeri, sedangkan angka 10 diatrikan sebagai rasa nyeri hebat dan tidak

tertahankan.

5. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

Faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Prihardjo (1996) antara lain

a. Faktor internal

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus

mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang

melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi.

Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka

mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka

takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri

diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda

secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor

budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh

mengeluh nyeri).

3) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang

meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya

distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik

relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

4) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa

menyebabkan seseorang cemas.

5) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau,

dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah

mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri

tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

6) Pengetahuan

Nyeri dirasakan dan disadari otak, tetapi berlum tentu penderita

akan tergangggu misalnya karena ia punya pengetahuan tentang nyeri

sehingga ia menerimanya secara wajar.

7) Kelelahan

Kelelahan dapat meningkatkan nyeri karena banyak orang merasa

lebih nyaman waktu istirahat.

b. Faktor eksternal

1) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi

nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan

seseorang mengatasi nyeri

2) Support keluarga dan social

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada

anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan

perlindungan.

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka

berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut

kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena

mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada

nyeri.

4) Lingkungan

Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsanggan dari

lingkungan seperti kebisingan, cahaya yang sangat terang.

5) Pengobatan

Pengobatan analgesik yang diberikan sesuai dosis yang mmakai

akan mempercepat penurunan nyeri.

6. Penatalaksanaan

Berbagai tindakan dapat dilakukan oleh perawat untuk mengatasi nyeri.

Penatalaksanaan terserbut dibagi 2 yaitu farmakologis dan non farmakologis

(Tamsuri, 2007).

1. Penatalaksanaan farmakologis

Terapi obat yang efektif untuk nyeri seharusnya memiliki resiko

relatif rendah, tidak mahal, dan onsetnya cepat. WHO menganjurkan tiga

langkah bertahap dalam penggunaan alagesik. Langkah 1 digunakan untuk

nyeri ringan dan sedang adalah obat golongan non opioid seperti aspirin,

asetaminofen, atau AINS, ini diberikan tanpa obat tambahan lain. Jika

nyeri masih menetap atau meningkat, langkah 2 ditambah dengan opioid,

untuk non opioid diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain. Jika

nyeri terus-menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis potensi

opioid atau dosisnya sementara dilanjutkan non opioid dan obat tambahan

lain (Sudoyo, 2006).

2. Penatalaksanaan non farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai tidakan

penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif

(Tamsuri, 2007).

a. Masase kulit

Masase kulit dapat memberikan efek penurunan kecemasan dan

ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan

merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok atau

menurunkan implus nyeri.

b. Kompres

Kompers panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat

meningkatkan prosrs penyernbuhan jaringan yang mengalami

kerusakan.

c. Imobilisasi

Imobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat

mungkin dapat meredakan nyeri. Kasus seperti rheumatoid arthritis

mungkin memerlukan teknik untuk mengatasi nyeri.

d. Distraksi

Distraksi merupakan pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri.

Teknik distraksi terdapat beberapa macam yaitu : distraksi visual,

distraksi pendengaran, distraksi pernafasan, distraksi intelektual, teknik

pernafasan, imajinasi terbimbing.

e. Relaksasi

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan

merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik

relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil

yang normal.

f. Plasebo

Plaebo merupakan suatu bentuk tidakan, misalnya pengobatan atau

tindakan keperawatan yang mempunyai efek pada pasien akibat sugesti

daripada kandungan fisik atau kimianya. Suatu obat yang tidak berisi

analgetika tetapi berisi gula, air atau saliner dinamakan plasebo

(Priharjo, 1996).

C. Pirai (Gout)

Pirai atau gout adalah suatu penyakit yang ditandai dengan serangan

mendadak dan berulang dari artritis yang terasa sangat nyeri karena adanya

endapan kristal monosodium urat, yang terkumpul di dalam sendi sebagai akibat

dari tingginya kadar asam urat di dalam darah (hiperurisemia) (Rokim, 2009).

Artritis pirai adalah penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal-

monosodium urat (MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan ekstra selular

dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik (M. Hariadi, 2009).

Asam urat atau rematik gout (gout artritis) adalah hasil dari metabolisme

tubuh oleh salah satu protein, purin dan ginjal. Dalam kaitan ini, ginjal berfungsi

mengatur kestabilan kadar asam urat dalam tubuh dimana sebagian sisa asam urat

dibuang melalui air seni (Galih, 2009).

1. Etiologi

Penyakit pirai digolongkan menjadi penyakit gout primer dan penyakit

gout sekunder. Pada penyakit gout primer, 99 persen penyebabnya belum

diketahui (idiopatik). Diduga berkaitan dengan kombinasi faktor genetic dan

faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat

mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat atau bisa juga diakibatkan

karena berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh. Penyakit gout

sekunder disebabkan antara lain karena meningkatnya produksi asam urat

karena nutrisi, yaitu mengonsumsi makanan dengan kadar purin yang tinggi.

Purin adalah salah satu senyawa basa organic yang menyusun asam nukleat

(asam inti dari sel) dan termasuk dalam kelompok asam amino, unsur

pembentuk protein (Sudoyo, 2006).

2. Patofisiologi

Adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh, intake bahan yang

mengandung asam urat tinggi, dan sistem ekskresi asam urat yang tidak

adequat akan menghasilkan akumulasi asam urat yang berlebihan di dalam

plasma darah (hiperurecemia), sehingga mengakibatkan kristal asam urat

menunpuk dalam tubuh. Penimbunan ini menimbulkan iritasi lokal dan

menimbulkan respon inflamasi. Hiperurecemia merupakan hasil:

a. Meningkatnya produksi asam urat akibat metabolisme purine abnormal

b. Menurunnya ekskresi asam urat

c. Kombinasi keduanya

Gout sering menyerang wanita post menopouse usia 50 – 60 tahun. Juga

dapat menyerang laki-laki usia pubertas dan atau usia di atas 30 tahun.

Penyakit ini paling sering mengenai sendi metatrsofalangeal, ibu jari kaki,

sendi lutut dan pergelangan kaki (Sylvia et al, 2005).

3. Manifestasi Klinik

Gejala khas dari serangan artritis gout adalah serangan akut biasanya

bersifat monoartikular (menyerang satu sendi saja) dengan gejala

pembengkakan, kemerahan, nyeri hebat, panas dan gangguan gerak dari sendi

yang terserang yang terjadi mendadak (akut) yang mencapai puncaknya kurang

dari 24 jam. Lokasi yang paling sering pada serangan pertama adalah sendi

pangkal ibu jari kaki. Hampir pada semua kasus, lokasi artritis terutama pada

sendi perifer dan jarang pada sendi sentral.

Serangan yang terjadi mendadak maksudnya tiba-tiba. Karena itu bisa saja

terjadi, siang hari sampai menjelang tidur tidak ada keluhan, tetapi pada tengah

malam penderita mendadak terbangun karena rasa sakit yang amat sangat.

Kalau serangan ini datang, penderita akan merasakan sangat kesakitan walau

tubuhnya hanya terkena selimut atau bahkan hembusan angin(Dwi Cahyo,

2008).

Perjalanan penyakit gout sangat khas dan mempunyai 3 tahapan yaitu :

a. Tahap pertama disebut tahap artritis gout akut. Pada tahap ini penderita akan

mengalami serangan artritis yang khas dan serangan tersebut akan

menghilang tanpa pengobatan dalam waktu 5 – 7 hari. Karena cepat

menghilang, maka sering penderita menduga kakinya keseleo atau kena

infeksi sehingga tidak menduga terkena penyakit gout dan tidak melakukan

pemeriksaan lanjutan.

b. Tahap kedua disebut sebagai tahap artritis gout akut intermiten. Setelah

melewati masa gout interkritikal selama bertahun-tahun tanpa gejala,

penderita akan memasuki tahap ini, ditandai dengan serangan artritis yang

khas. Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan (kambuh) yang

jarak antara serangan yang satu dan serangan berikutnya makin lama makin

rapat dan lama, serangan makin lama makin panjang, serta jumlah sendi

yang terserang makin banyak.

c. Tahap ketiga disebut sebagai tahap artritis gout kronik bertofus. Tahap ini

terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun atau lebih. Pada

tahap ini akan terjadi benjolan-benjolan di sekitar sendi yang sering

meradang yang disebut sebagai tofus. Tofus ini berupa benjolan keras yang

berisi serbuk seperti kapur yang merupakan deposit dari kristal monosodium

urat. Tofus ini akan mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang di

sekitarnya. Tofus pada kaki bila ukurannya besar dan banyak akan

mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakan sepatu lagi (Arif M,

2008).

4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan artritis gout:

a. Meredakan radang sendi (dengan obat-obatan dan istirahat sendi yang

terkena).

b. Pengaturan asam urat tubuh (dengan pengaturan diet dan obat-obatan).

Tujuan utama pengobatan artritis gout adalah:

a. Mengobati serangan akut secara baik dan benar

b. Mencegah serangan ulangan artritis gout akut

c. Mencegah kelainan sendi yang berat akibat penimbunan kristal urat

d. Mencegah komplikasi yang dapat terjadi akibat peningkatan asam urat pada

jantung, ginjal dan pembuluh darah.

e. Mencegah pembentukan batu pada saluran kemih.

Makin cepat seseorang mendapat pengobatan sejak serangan akut,

makin cepat pula penyembuhannya. Pengobatan dapat diberikan obat anti

inflamasi nonsteroid (antirematik) dan obat penurun kadar asam urat (obat

yang mempercepat/meningkatkan pengeluaran urat lewat kemih atau obat

yang menurunkan produksi asam urat) (Faisal, 2006).

5. Pengaturan Diet

Penderita gout mempunyai syarat-syarat diet, yaitu :

a. Pembatasan makanan tinggi purin hingga kira-kira hanya mengkonsumsi

100-150 mg purin perhari.

b. Cukup kalori sesuai kebutuhan yang didasarkan pada tinggi badan dan

berat badan individu.

c. Tinggi karbohidrat kompleks (nasi, roti, singkong, ubi) disarankan tidak

kurang dari 100 g/hari. Tinggi karbohidrat meningkatkan pengeluaran

asam urat melalui urin.

d. Rendah protein yang bersumber hewani, namun dianjurkan yang

bersumber dari nabati. Protein dapat meningkatkan produksi asam urat

e. Rendah lemak, baik dari nabati atau hewani. Lemak yang dapat

dikonsumsi sebaiknya 15 presen dari total kalori. Lemak dapat

menghambat ekskresi asam urat melalui urin.

f. Tinggi cairan. Usahakan dapat menghabiskan minuman sebanyak 2.5 ltr

atau sekitar 10 gelas sehari dapat berupa air putih masak, teh, sirop atau

kopi. Tinggi cairan dapat membantu pengeluaran asan urat melalui urin

g. Tanpa alkohol, termasuk tape dan brem perlu dihindari juga. Alkohol

dapat meningkatkan asam laktat plasma yang akan menghambat

pengeluaran asam urat (Sudoyo, 2006)

D. Hubungan Nyeri dengan Tingkat Kecemasan pada Penderita Pirai

Kecemasan merupakan rasa tidak nyaman sebagai suatu bentuk manifestasi

rasa ketakutan akan kehilangan sesuatu yang penting atau terjadinya peristiwa

buruk dan kondisi yang ada. Cemas yang dirasakan oleh penderita rematik

disebabkan karena adanya nyeri.

Setiap manusia dapat mengalami nyeri yang merupakan sensasi tidak enak.

Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan fisiologis. Banyak

orang yang datang ke rumah sakit atau puskesmas dengan keluhan nyeri yang

biasanya disertai dengan rasa lainnya seperti rasa tertekan, panas atau dingin.

Nyeri cenderung meningkat pada situasi kecemasan dan stress. Nyeri juga

dapat ditimbulkan oleh faktor emosi seperti ketakutan, kecemasan dan

pertentangan yang menyebabkan ketegangan, kejang otot dan lain-lain.

E. Kerangka Teori

Gambar : Kerangka Teori modifikasi dari (Priharjo, 1996); (Stuart et al, 1998); (Sudoyo, 2006).

F. Kerangka Konsep

Faktor Internal: - Usia, jenis kelamin - Perhatian - Kelelahan - Pengalaman nyeri sebelumnya - Pengetahuan - Kecemasan (tingkat)

Tingkat Kecemasan: - Ringan - Sedang - Berat - Panik

Nyeri Penyakit Pirai

Faktor Eksternal: - Budaya - Support keluarga

dan sosial - Penyakit kronis - Lingkungan - Pengobatan - Pola koping

Nyeri pada penderita pirai Kecemasan

an

G. Variabel

Variabel independent adalah Nyeri dan variabel dependent adalah

Kecemasan.

H. Hipotesis

Berdasarkan dari kerangka kerja dapat dirumuskan : Ada hubungan Nyeri

dengan Tingkat Kecemasan pada Penderita Pirai antara di Kelurahan Tambak Aji

Semarang.