BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kewenangan Pengadilan Agama Lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan khusus, jangkauan fungsi kewenangan peradilan agama diatur dalam Pasal 2, Pasal 49 ayat (1), dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga UU No 7 Tahun 1989. Lebih jelasnya dapat dilihat : 1. Pasal 2 berbunyi: “Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang- undang ini.2. Pasal 49 ayat (1) berbunyi: ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam.” 3. Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga berbunyi: “Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan,

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kewenangan Pengadilan Agama

Lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan

khusus, jangkauan fungsi kewenangan peradilan agama diatur dalam Pasal 2,

Pasal 49 ayat (1), dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga UU No 7 Tahun

1989. Lebih jelasnya dapat dilihat :

1. Pasal 2 berbunyi:

“Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam

mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-

undang ini.”

2. Pasal 49 ayat (1) berbunyi:

”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara

orang-orang yang beragama Islam.”

3. Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga berbunyi:

“Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara

orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan,

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah berdasar hukum

Islam.”

Dari rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pengadilan Agama

mempunyai kewenangan untuk memeriksa, memutus menyelesaikan perkara

perdata bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah yang

diperuntukan bagi orang-orang beragama Islam.

B. Pewarisan Dalam Hukum Islam

1. Pengertian Pewarisan Dalam Hukum Islam

Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada Pasal 171 ayat (a)

yang berbunyi: "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-

masing."

Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup

ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris

b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan

dari pewaris kepada ahli waris

e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi hukum waris yang

dikemukakan oleh beberapa fuqaha (ahli hukum fiqh) yaitu :

a. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah Ilmu

yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan

dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak mendapatkan

harta warisan1.

b. Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur

tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada

orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), berapa besar

bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya

sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli2.

Dari pengertian diatas dapat dirumuskan pengertian hukum waris Islam

menurut penulis adalah suatu hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan

seseorang yang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Sedangkan pengertian

pewarisan menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan

adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang

masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu.3

Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses peralihan hak-hak

pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara

yang telah ditetapkan oleh nash. Dan pewarisan muncul ketika seseorang

1 Pasnelyza Korani, Tinjauan Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Kewarisan Islam Dan Hukum

Kewarisan Perdata, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 22 Maret 2010, h. 42. 2 http://echtheid-irsan.blogspot.com/2012/04/hukum-Islam-waris-Islam.html?m=1 dikunjungi pada tanggal

24 Mei 2013 pukul 13:24. 3 Mushlihin Al-Hafizh, Pengertian Waris Menurut al-Qur’an,

http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-waris-menurut-al-quran.html, dikunjungi pada tanggal

14 Oktober 2013 pukul 08:40.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan atau harta warisan serta

ahli waris.

2. Asas Pewarisan Menurut Hukum Islam

Hukum Islam merupakan aturan yang digunakan dalam penyelesaian

sengketa didalam Peradilan Agama salah satu sengketa yang diterima oleh

Peradilan Agama adalah sengketa tentang waris, sebelum mempelajari secara rinci

asas hukum waris Islam perlu sedikit pemahaman tentang asas yang terdapat

didalam Peradilan Agama.

Asas hukum dalam Peradilan Agama terdiri dari 7 asas, akan tetapi dalam

penulisan ini hanya di informasikan asas yang berkaitan, antara lain4:

a. Asas Personalitas ke-Islaman5

Peradilan Agama merupakan badan peradilan yang

menyelesaikan sengketa-sengketa dari pihak yang beragama Islam

sehingga terdapat asas yang melandasi yaitu asas personalitas ke-

Islaman.

Asas ini menerangkan banhwa yang tunduk dan yang dapat

ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka

yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

ke-Islaman seseorang hanya dengan menunjukan Kartu Tanda

Penduduk, SIM, atau tanda bukti yang lainnya. Asas personalitas ke-

Islaman diatur dalam Pasal 2, Penjelasan Umum angka 2 alenia

ketiga dan Pasal 49 ayat (1) terbatas pada perkara-perkara yang

4 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun

1989, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 56. 5 Ibid..

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

menjadi kewenangan Peradilan Agama. Jika Pasal diatas diuraikan

didapat kesimpulan, sebagai berikut :

1) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama

Islam.

2) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan,

waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan

ekonomi syari’ah.

3) Hubungan hukum yang melandasi berdasarkan hukum

Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan

hukum Islam.

b. Asas Kebebasan6

Asas kebebasan dimiliki semua badan peradilan tak terkecuali

badan Peradilan Agama. Maksud dari asas kebebasan disini tidaklah

bebas yang sebebas-bebasnya, bebas disini dengan acuan tidak ada

campur tangan dari pihak-pihak kekuasaan negara lainnya, bebas

dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak

extra judicial, dan kebebasan melaksanakan wewenang judicial

(peradilan). Asas ini tidak secara eksplisit diatur hanya dikaitkan

dengan fungsi “pengawasan” dan “pembinaan” yang tertuang

didalam Pasal 5, 12, dan Pasal 53 Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989.

6 Ibid., h. 58.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Dari pengertian kebebasan diatas dapat dimengerti bahwa hakim

di Pengadilan Agama juga menganut asas ini. Hakim dapat secara

bebas memberikan sebuah putusan maupun penetapan yang adil

tanpa ada campur tangan dari pihak lain dan paksaan dari pihak-

pihak lain.

c. Asas Wajib Mendamaikan (Asas Ishlah)7

Secara umum dasar hukum dari perdamaian dalam hukum Islam

adalah al-Quran surat an-Nissa ayat 35 juga diatur dalam Pasal 65

dan Pasal 82 Undang-undang No 7 Tahun 1989 serta Pasal 115 KHI.

Asas wajib mendamaikan merupakan asas yang wajib bagi hakim

Pengadilan Agama karena Islam menyuruh untuk menyelesaikan

setiap perselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena

itu, tepat bagi para hakim Pengadilan Agama untuk menjalankan

fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu

putusan, pasti lebih bijak dan lebih adil hasil putusan itu berupa

perdamaian.

Hukum waris Islam mengandung berbagai asas yang menunjukkan bentuk

karakteristik dari hukum waris Islam. Asas-asas hukum waris Islam antara lain:

a. Asas Ijbari

Asas Ijbari adalah peralihan harta dari orang yang telah

meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya

menurut ketentuan Allah SWT tanpa tergantung kepada kehendak

7 Ibid., h. 65.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam

tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris8. Maksud dari kata

tidak memberatkan ahli waris adalah seandainya pewaris mempunyai

hutang yang lebih besar dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris

tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar

hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.

Kaidah hukum untuk asas ini lebih ditemukan dalam al-Quran

terutama dipahami dalam surah an-Nisaa ayat 11, 12, dan 1769. Dari

ayat tersebut memang tidak disebutkan secara eksplisit akan tetapi

dijelaskan bahwa peralihan harta warisan disyariatkan oleh Allah

sehingga dapat dipahami bahwa peralihan harta warisan berlaku

dengan sendirinya. Kaidah hukum asas ini juga diatur didalam Pasal

175 ayat (2) KHI, yang menyatakan bahwa: “tanggung jawab ahli

waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada

jumlah atau nilai harta peninggalannya”. Dari bunyi Pasal tersebut

dapat diketahui bahwa dalam KHI juga mengenal adanya asas ijbari.

b. Asas bilateral10

Asas bilateral dalam hukum waris Islam berarti seseorang

menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak garis

kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak

kerabat garis keturunan perempuan.

Asas bilateral memiliki 2 dimensi; 1. Dimensi saling mewaris

antara anak dengan orang tuanya. 2. Dimensi saling mewaris antara

8 H Moh Muhibbin dan H Abdul Wahid, op.it., h, 23.

9 Ibid..

10 Ibid., h. 24.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

orang yang bersaudara terjadi jika pewaris tidak mempunyai

keturunan atau orang tua11

.

Kaidah hukum untuk asas bilateral ini secara nyata dapat dilihat

dalam surah an-Nisaa ayat 7, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa

seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya maupun dari

ibunya begitu pula bagi seorang perempuan juga berhak mendapat

warisan dari ayahnya maupun dari ibunya. Kaidah hukum untuk asas

bilateral juga diatur dalam Pasal 174 KHI, dalam Pasal ini

menerangkan bahwa golongan ahli waris terdiri dari laki-laki dan

perempuan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat 2 garis

yang dapat mewarisi. Dalam Pasal 177 dan Pasal 178 KHI juga dapat

dilihat bahwa ayah dan ibu juga mewaris jadi dapat disimpulkan

bahwa KHI juga mengatur asas bilateral.

c. Asas Individual

Arti kata individual dalam asas waris Islam adalah bahwa harta

warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini

berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa

tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta

warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi,

kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang

berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja harta warisan tidak

dibagi-bagikan asal ini dikehendaki oleh ahli waris yang

11

Ibid., h. 27.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta warisan itu tidak

menghapuskan hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan12

.

Kaidah hukum untuk asas individual ini dapat dilihat dalam

pengaturan tentang besar bagian di dalam Pasal 176 sampai Pasal 182

KHI, didalam Pasal tersebut tertera kata “seorang” sehingga dapat

ditarik kesimpulan bahwa harta warisan bisa dimiliki secara

individual.

d. Asas keadilan berimbang

Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan

kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan13

.

Secara dasar dapat dikatakan bahwa pembagian waris berimbang

sesuai dengan hak dan kewajibannya, bagian laki-laki sama dengan 2

bagian perempuan ini karena kewajiban laki-laki lebih berat dari pada

perempuan. Hal tersebut sesuai dengan kaidah hukum dalam surah

an-Nisaa ayat 1114

. Kaidah hukum lain yang mendasari asas ini

tertuang didalam Pasal 176 KHI yang menerangkan bahwa anak

perempuan jika bersama-sama dengan anak laki-laki maka bagian

anak laki-laki 2 berbanding 1 dengan anak perempuan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa bagian yang diperoleh berdasar

asas keadilan berimbang dapat disesuaikan dengan hak dan

kewajibannya. Sehingga bagian yang tepat untuk laki-laki bersama

perempuan adalah 2 : 1.

e. Asas semata akibat kematian

12

Ibid., h. 28. 13

Ibid., h. 29. 14

Ibid., h. 25.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Asas ini menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada

orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal

dunia15

dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka secara

kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.

Kaidah hukum untuk asas ini disebutkan di dalam Pasal 171

huruf b KHI tentang pengertian pewaris, dalam Pasal tersebut

disebutkan bahwa pewaris disyaratkan meninggal dunia baru bisa

diadakan proses pewarisan.

f. Asas Musyawarah

Asas lain yang berkaitan dengan penulisan ini adalah asas

musyawarah. Musyawarah adalah cara yang sering ditempuh oleh

pihak-pihak yang bersengketa, karena musyawarah memiliki tujuan

yang baik. Kaidah dari asas musyawarah ini adalah Q.S. Ali

Imron/3:159 surah ini berkenaan dengan perintah untuk

bermusyawarah dalam segala urusan, Q.S. Asy. Syura/42:38 untuk

surah ini berkenaan dengan salah satu karakteristik orang beriman

adalah melakukan musyawarah diantara mereka dalam berbagai

urusan16

.

Musyawarah harus bersifat dialogis yaitu bersifat terbuka dan

komunikatif, semua anggota musyawarah bebas mengemukakan

pendapatnya. Dalam musyawarah perselisihan dan pertikaian sering

timbul, dikarenakan masing-masing pihak tidak menjadikan asas

15

Ibid.. 16

Muhammad Natsir, Asas Musyawarah Dalam Islam, 27 April 2009,

www.dewandakwah.com/content/view/216/31/, dikunjungi pada tanggal 7 Desember 2013 pukul

19.42.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

kekeluargaan sebagai dasar berpikir ketika bertindak dalam

musyawarah. Keputusan harus dilaksanakan dengan memperhatikan

nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Sikap yang harus dimiliki orang-orang sebelum bermusyawarah,

yaitu17

:

a. Bersikap lemah lembut, menghindari tutur kata yang kasar

serta sikap keras kepala

b. Memberi maaf kepada orang lain yang pernah bersalah maupun

berbuat salah dalam musyawarah

c. Mengharap maghfirah18

dan dekat kepada Allah SWT yang

akan menunjukkan berbagai hidayah dan ide-ide cemerlang

d. Bertawakal kepada Allah SWT atas hasil usaha yang telah

dilakukan.

3. Unsur Dalam Hukum Waris Islam

Dari definisi hukum kewarisan di dalam KHI tampak unsur-unsur

tentang pewarisan, terdapat 3 unsur yaitu; pewaris, ahli waris dan harta

warisan atau tirkah.

a. Pewaris

Pengaturan tentang pewaris diatur didalam Pasal 171 huruf b KHI :

"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang

dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,

meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan". Dari pengertian di atas

17

Ibid.. 18

Maghfirah adalah pengampunan dalam surah Al-Imron ayat 133.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

dapat dimengerti untuk terjadi pewarisan syarat untuk pewaris adalah

telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama

tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya

pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir19

.

Syarat lain untuk menjadi pewaris dalam KHI yang tertuang dalam

Pasal diatas selain telah meninggal dunia, pewaris harus beragama Islam

dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan.

b. Ahli Waris

Pengertian ahli waris dalam Pasal 171 huruf c KHI yaitu: "Ahli

waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris". Dari

Pasal 171 huruf c KHI tentang pengertian ahli waris, jika diperhatikan

lebih dalam terdapat kejanggalan kalimat, pengertian diatas

menimbulkan pengertian seolah-olah yang meninggal dunia adalah ahli

waris, seharusnya tidak demikian.

Hal seperti diatas telah diutarakan lebih jelas oleh M. Ali Ash

Shabuni seorang ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya

pewarisan adalah hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara

hakiki maupun hukum20

.

Menurut penulis untuk penyempurnaan pengertian ahli waris diatas

perlu ada penekanan bahwa syarat menjadi ahli waris harus masih hidup

19

Sayid Sabiq, Fiqh as Sunnah,Juz III, Semarang,Toha Putra, 1980, h. 426. 20

M. Ali Ash Shabuni, Al Mawarits Fi Syariat alIslamiyyah 'ala Dhau'i Kitabi Wa as Sunnah,

Arab Saudi, Dar al Qalam, 1979, h.34, dikutip dari Hj Ratu Haika, Hukum Kewarisan Islam

Di Indonesia Analisis Terhadap Buku II KHI, Mazahib, No. 2, Vol IV, Desember 2007,

h. 148.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

sehingga pengertian yang tepat adalah: "Ahli waris adalah orang yang

masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia, mempunyai hubungan

darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak

terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris”. Dari penjelasan tentang

ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat

sebagai ahli waris adalah:

1) Hidup

2) Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

3) Beragama Islam

Tentang syarat beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut

diatur dalam Pasal 172 KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam

apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan

atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang

belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."

4) Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Ketentuan yang menerangkan seseorang terhalang untuk menjadi

ahli waris diatur di dalam Pasal 173 KHI, yaitu:

"Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan

hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap,

dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba

membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. b. Dipersalahkan

secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5

tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".

Ketentuan terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana

disebutkan di atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al

irs (penghalang mewarisi) menurut para ulama dalam fiqh mawaris.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Jika dalam fiqh mawaris yang menjadi ketentuan mawani' al irs

adalah perbudakan, pembunuhan, dan berlainan agama21

. Ketentuan

di atas tampaknya diadopsi dari Pasal 838 BW tentang ketentuan

orang-orang yang tidak pantas untuk menerima warisan bagi

kelompok ahli waris karena kematian22

.

Jika dilihat lebih dalam kandungan tentang terhalangnya

seseorang menjadi ahli waris yang terdapat di KHI dengan mawani'

al irs dalam fiqh mawaris berbeda, terlihat bahwa kandungan dalam

Pasal 173 KHI ini hanya berisi tentang pembunuhan sedangkan

untuk perbedaan agama dan perbudakan tidak ada. Akan tetapi untuk

perbedaan agama tidak perlu dimasalahkan karena di Pasal 171 huruf

b dan huruf c KHI yang mengatur tentang pewaris dan ahli waris,

sudah jelas disyaratkan bagi pewaris dan ahli waris untuk beragama

Islam. Hal ini cukup dimengerti jika salah satu syarat pewarisan

adalah beragama Islam, maka perbedaan agama menjadi salah satu

penghalang pewarisan.

c. Adanya Harta Peninggalan (Tirkah)

Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak

akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ahli

ada beberapa pendapat, yaitu, :

21

Hj Ratu Haika, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Analisis Terhadap Buku II KHI, Mazahib,

No. 2, Vol IV, Desember 2007, h. 151. 22

R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradaya

Paramitha, 1982, h. 209.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

1) Ahli fiqh bermadzhab Hanafi menerangkan tirkah adalah harta

benda yang ditinggalkan oleh si muwarrits yang tidak

mempunyai hubungan hak dengan orang lain23

.

2) Muhamad Ali As berpendapat : “tirkah atau tarikah yaitu sesuatu

yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik

yang berbentuk benda dan hak-hak kebendaan serta hak-hak

yang bukan hak kebendaan”24

.

Dilihat dari berbagai pendapat diatas dapat dimengerti bahwa

tirkah dan maurus dipisahkan, yaitu bahwa tirkah mempunyai arti yang

lebih luas dari maurus25

. Hal ini juga ditegaskan oleh pendapat Emariani

yaitu sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih

dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta

peninggalan si pewaris barulah harta tersebut berbentuk harta warisan26

.

Dari pendapat diatas terdapat kejanggalan dari kata hak-hak yang harus

dikeluarkan terlebih dahulu, dalam hal ini analisis yang didapatkan

Witanto adalah kata hak disini bukanlah hak yang dimiliki oleh pewaris

tapi hak yang dimiliki oleh orang lain, misal pewaris mempunyai hutang

ke A, disini maksud dari hak-hak (hak A) yang harus dikeluarkan terlebih

23

Achmad Yani, Tirkah: Ada Apa Dengan Harta Peninggalan?, 28 Maret 2009,

http://achmadyanimkom.blogspot.com/2009/03/tirkah-ada-apa-dengan-harta-peninggalan.html,

dikunjungi pada tanggal 9 Desember 2013 pukul 06.31. 24

Mustofa Hasan, Hukum Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2011, h. 274. 25

M. Abu Zahrah, Ahkam At Tirkah wa alMirats, Kairo: Dar al Fikr,1975, h.150, dikutip dari Hj

Ratu Haika, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Analisis Terhadap Buku II KHI, Mazahib, No.

2, Vol IV, Desember 2007, h. 150. 26

Emariani, Kedudukan Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Dalam Hukum Kewarisan Islam

(Studi Pengadilan Agama Semarang), Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 20 Desember

2008, h. 20.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

dahulu dengan kata lain harus dilunasi hutangnya terlebih dahulu baru

dibagi kepada ahli waris27

.

KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ahli,

memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah atau harta peninggalan yang

dituangkan ke dalam Pasal 171 huruf d KHI: "Harta peninggalan adalah

harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda

yang menjadi miliknya maupun hak-haknya."

Dari definisi diatas dapat dilihat yang menjadi harta peninggalan

adalah seluruh harta yang ditinggalkan pewaris baik harta yang sudah

menjadi hak milik maupun harta dalam bentuk hutang maupun piutang.

Sedangkan tentang harta warisan dijelaskan pada Pasal 171 huruf e

KHI: "Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta

bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang

dan pemberian untuk kerabat."

Berdasarkan penjelasan diatas terdapat beberapa poin yang perlu

dijelaskan, dilihat dari pola bahasa penulisannya pengertian harta waris

dalam KHI diperuntukan bagi pewaris yang dalam status kawin. Hal ini

dapat dilihat dari poin “bagian dari harta bersama”, harta bersama ada

ketika terjadi perkawinan atau pernikahan. Akan tetapi, jika poin diatas

digunakan sebagai landasan untuk pewaris yang belum kawin atau

menikah poin harta bersama bisa diabaikan karena poin tersebut memang

belum ada, sehingga hanya harta bawaan saja yang digunakan. Poin

27

Witanto, Pengantar Hukum Keluarga, Malang, Prestasi Publisher, 2012, h. 258.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

selanjutnya dalam penulisan diatas adalah poin ”setelah digunakan untuk

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan

jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat"

dalam poin tersebut terdapat kejanggalan dipoin pemberian untuk kerabat

karena terdapat maksud yang kurang jelas. Pemberian untuk kerabat

sama dengan wasiat. Pengertian wasiat adalah penghibahan harta dari

seseorang kepada orang lain atau kepada beberapa orang sesudah

meninggalnya orang tersebut28

. Hal tersebut bisa dikatakan sama karena

melihat bahwa penghibahan sama artinya dengan pemberian secara

ikhlas, kepada orang lain atau beberapa orang juga termasuk para

kerabat, dan pemberiannya dilakukan setelah orang tersebut meninggal

dalam hal ini berarti orang tersebut adalah pewaris.

Dalam hal ini yang menjadi harta warisan ialah harta yang

merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara individual

kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi

dengan harta bawaan suami atau istri, dikurangi lagi dengan biaya untuk

keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran

hutang pewaris dan wasiat.

Berdasar pengertian diatas tampaknya KHI membedakan antara

pengertian tirkah atau harta peninggalan dan maurus atau harta waris.

Dalam hal ini juga dapat dilihat bahwa wasiat diberikan terlebih dahulu

sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.

4. Golongan ahli waris dan bagiannya

28

H. Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, op.it., h. 145.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Dalam fiqh mawaris jenis ahli waris itu terbagi atas tiga jenis,

yakni (1) Ashabul Furudh atau Dzawil furudh, (2) Ashabah, dan (3)

Dzawil arham29

.

1) Ashabul Furuhd atau Dzawil furudh

Ashabul furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta

peninggalan yang sudah ditentukan oleh Alquran, As-Sunnah dan

Ijmak.

Termasuk golongan ashabul furuhd atau dzawil furudh adalah

ayah; ibu; anak laki-laki; anak perempuan; suami atau istri30

.

2) Ashabah

Kata ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela,

penolong, pelindung atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut

istilah faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaannya

tidak ada ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima seluruhnya

atau menerima sisa atau tidak mendapat sama sekali, hal ini bisa

terjadi karena ashabah dipengaruhi berbagai pengaruh dan

situasi. Dengan kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris

yang bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua

harta atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli waris.

Didalam kitab ar-Rahbiyyah, ashabah adalah setiap orang

yang mendapatkan semua harta waris, yang terdiri dari kerabat

dan orang yang memerdekakan budak, atau yang mendapatkan

29

Ibid., h. 67. 30

Ibid., h. 64.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

sisa setelah pembagian bagian tetap31

. Jadi ashabah adalah ahli

waris yang bagiannya tidak tentu.

3) Dzawil arham

Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil

furuhd dan pula ashabah. Atau dzawil arham, ahli waris yang

tidak termasuk ashabul furudh dan tidak pula ashabah. Mereka

dianggap kerabat yang jauh pertalian nasabnya.

Didalam KHI juga diatur mengenai kelompok dan golongan ahli

waris, hal ini diatur pada Pasal 174 KHI, yang berbunyi:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari :

ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan,

saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat

warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Jika dilihat dari perumusan kelompok ahli waris dalam Pasal 174

KHI diatas, dapat diketahui terjadinya pewarisan berdasarkan hubungan

darah (nasabiyah) dan berdasarkan hubungan perkawinan (sababiyah).

Dibandingkan dengan pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris,

dalam KHI tidak terdapat ahli waris karena hubungan perbudakan atau

wala, ini karena di Indonesia tidak mengenal perbudakan.

Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

1) Menurut hubungan darah

a) Golongan laki-laki

31

Abubakar Al-Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin

dan Penalaran Fiqh Mazhab, Jakarta, INIS,1998, h. 252.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

b) Golongan perempuan,

Dua golongan diatas terdiri dari :

(1) anak laki-laki dan anak perempuan32

Kedudukan anak sebagai ahli waris adalah sama.

Bagiannya menganut asas keseimbangan atau asas keadilan

berimbang. Asas keseimbangan disini bermaksud

menjelaskan bahwa hak warisan yang diterima oleh ahli

waris dari pewaris pada hakikatnya merupakan pelanjutan

tanggung jawab pewaris terhadap ahli waris33

sehingga

kadar bagiannya berimbang dengan perbedaan-perbedaan

tanggung jawabnya.

Seorang laki-laki bertanggung jawab terhadap anak dan

istrinya sehingga mendapatkan 2 bagian.

Sedangkan bagian yang didapat anak perempuan adalah 1

bagian. Karena seorang perempuan tanggung jawabnya ikut

dengan laki-laki.

Sehingga perbandingan bagian yang didapat anak laki-laki

dan anak perempuan adalah 2:1.

(2) saudara laki-laki dan saudara perempuan34

(a) Bagian seorang saudara perempuan, yang masing-

masing memperoleh 1/6 harta warisan.

32

H Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 47. 33

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta, Sinar Grafika, 2000, h.118. 34

H Zainuddin Ali, Op.Cit., h. 49.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

(b) Bagian yang diperolehan dua orang saudara atau lebih

dengan tiga kemungkinan:

(1) semuanya laki-laki

(2) semuanya perempuan

(3) campuran antara saudara laki-laki dan saudara

perempuan

semua saudara itu berbagi rata atas 1/3 bagian harta

warisan.

(3) ayah dan ibu35

(a) Ayah dan ibu masing-masing memperoleh 1/6 harta

warisan bila pewaris mempunyai anak.

(b) Ibu memperoleh 1/3 bagian dari harta warisan sedangkan

ayah memperoleh bagian terbuka bila pewaris tidak

mempunyai anak atau saudara-saudara.

(c) Ibu memperoleh 1/6 bagian dari harta warisan bila yang

meninggal tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai

saudara, baik saudara seayah, seibu, maupun saudara

sekandung.

(d) Ibu memperoleh 1/3 bagian dari sisa sesudah diambil

janda atau duda bila bersama-sama ayah.

2) Menurut hubungan perkawinan36

a) Duda (suami yang istrinya meninggal)

35

Ibid., h. 48. 36

H Zainuddin Ali, Loc.Cit.,

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Bagian yang didapatkan duda sebesar ½ harta warisan

istrinya bila istri tidak mempunyai anak. Tetapi bila si istri

mempunyai anak, perolehannya ¼ harta peninggalan istrinya.

b) Janda (istri yang suaminya meninggal)

Janda memperoleh sebesar ¼ harta peninggalan suaminya

bila suami tidak meninggalkan anak.

Bila suami meninggalkan anak maka janda memperoleh 1/8

harta peninggalan suaminya.

Di KHI terdapat satu golongan ahli waris lagi selain 4 golongan diatas,

yaitu ahli waris pengganti. Karena dalam penulisan ini penulis fokus dalam

ahli waris pengganti maka tentang ahli waris pengganti akan dibahas dalam

sub bab sendiri.

B. Ahli Waris Pengganti

1. Pengertian Ahli Waris Pengganti

Penggantian tempat dalam kewarisan Islam sebelum adanya KHI

sebenarnya tidak pernah dikenal, akan tetapi karena perkembangan zaman

penggantian tempat mulai dikenalkan di hukum kewarisan Islam, sesuai dengan

pendapat Profesor Hazairin bahwa penggantian tempat dikenal dalam hukum

kewarisan Islam, beliau memaparkan bahwa sistem penggantian tempat lebih

logis37

.

37

H. Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, op.it., h. 155.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Menurut Raihan A. Rasyid38

istilah ahli waris pengganti adalah orang yang

sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris

dan menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak

meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak

laki-laki.

Konsep ahli waris pengganti dalam KHI tidak bisa dijauhkan dari pendapat

Hazairin, jadi apa yang menjadi konsep Hazairin sangatlah mempengaruhi dalam

KHI. Hazairin merumuskan konsep ahli waris pengganti berdasarkan ijtihad39

Surah An Nissa ayat 33.

Dalam surah tersebut Hazairin menafsirkan40

:“Dan untuk setiap orang, aku

(Allah) telah mengadakan mawali bagi harta peninggalan ayah atau ibu dan

harta peninggalan keluarga dekat, demikian juga harta peninggalan dalam

seperjanjianmu karena itu berikanlah bagian-bagian warisannya”.

Kata mawali bagi Hazairin disebut dengan ahli waris pengganti, mawali

sendiri memiliki pengertian orang-orang yang yang menjadi ahli waris karena

tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, disebabkan karena

orang yang menjadi penghubung tersebut telah mati lebih dahulu dari pewaris,

yang mana ia seharusnya menerima warisan kalau ia masih hidup41

.

Dalam Hukum Waris Islam ahli waris pengganti diatur dalam Pasal 185

KHI. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:

38

Mimbar Hukum No.23, Tahun VI, 1995, h.54. 39

Ijtihad dalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu

perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan

pertimbangan matang 40

Abdul Ghoni Hamid, Kewarisan Dalam Perspektif Hazairin, 2007, h. 18. 41

Shobirin, Ahli Waris Pengganti Dalam Kewarisan Islam Perspektif Madzhab Nasional, h. 4, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Ahli%20Waris%20Pengganti%20Perspektif%20Madzhab%20Nasion

al.pdf didownload tanggal 17 Juni 2013 jam 14:57.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang

tersebut dalam Pasal 173 KHI.

2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian

ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.

Jadi, konsep ahli waris pengganti di dalam KHI dapat di rumuskan sebagai

berikut:

a. Menurut KHI, yang termasuk ahli waris pengganti adalah semua

keturunan ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris.

Maksudnya; ahli waris pengganti berlaku tidak hanya untuk

keturunan ke bawah saja, akan tetapi ahli waris keturunan ke

samping (saudara) dan dengan syarat bukan yang tersebut dalam

Pasal 173 KHI.

b. Menurut KHI jumlah bagian yang diterima ahli waris pengganti tidak

boleh melebihi (maksimal sama) dari bagian yang seharusnya

diterima orang yang diganti.

c. Menurut KHI kedudukan cucu baik keturunan laki-laki maupun

keturunan perempuan sama-sama berhak menggantikan kedudukan

ayahnya.

Dari konsep Pasal 185 KHI diatas yang perlu diperhatikan adalah bahwa isi

Pasal tersebut tidak bersifat imperatif (selalu digantikan) oleh anaknya42

. Tetapi

Pasal ini bersifat tentatif atau alternatif. Hal mana diserahkan kepada

pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini bisa

dilihat dari kata dapat dalam Pasal tersebut. Sifat alternatif atau tidak imperatif

42

Raihan A. Rasyid, Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat Wajibah, dalam Mimbar Hukum, No. 23,

Jakarta, al Hikmah dan Depag RI, 1995, h. 58.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

dalam Pasal 185 sudah tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli waris pengganti

dalam KHI karena melihat pada kenyataan dalam beberapa kasus43

.

Apabila ayat-ayat Al-Qur’an dalam bidang kewarisan diperhatikan maka

akan kelihatan bahwa kedudukan cucu, kemenakan dan kakek serta ahli waris

yang derajatnya lebih jauh lagi tidak dirinci bagian-bagiannya atas warisan.

Kelompok ahli waris dengan kedudukan tertentu dan bagian yang sudah

dirinci dalam Al-Qur’an disebut ahli waris langsung, yang terdiri dari anak,

ayah, ibu, saudara merupakan ahli waris karena hubungan darah, dan suami,

istri adalah ahli waris karena hubungan perkawinan. Selain ini terdapat pula

ahli waris yang mendapat bagian warisan disebabkan oleh karena tidak adanya

ahli waris lain yang menghubungkannya kepada pewaris. Mereka menjadi ahli

waris dan menempati penghubung yang sudah tidak ada, mereka ini disebut

dengan ahli waris pengganti karena mereka menggantikan kedudukan ahli waris

yang lebih dahulu meninggal dari pewaris44

.

Sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an, as-sunnah merupakan petunjuk

apabila suatu persoalan tidak diatur atau hanya secara garis besarnya saja yang

diatur oleh Al-Qur’an, as-sunnah dalam hal cucu, kemenakan dan kakek serta

ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi juga tidak ada mengatur tentang

bagian yang mereka peroleh atas warisan. Karena Al-Qur’an maupun as-

sunnah tidak menegaskan bagian yang diterima cucu, kemenakan dan kakek

serta ahli waris yang derajatnya lebih jauh lagi, maka dicarilah jalan keluarnya

melalui ijtihad45

.

43

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Predana Media, 2005, h. 207. 44

D.Y Witanto, Hukum Keluarga, Malang, Prestasi Pustaka, 2012, h. 119. 45

J. Satrio, Hukum Waris, Bandung, Alumni, 2002, h. 247.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Para ulama fiqih mengemukakan pendapatnya bahwa yang disebut dengan

ahli waris pengganti bagi mereka adalah para ahli waris yang menerima

bagiannya bukanlah bagian ahli waris yang mereka gantikan, yang artinya

bahwa mereka tidak sepenuhnya menggantikan kedudukan ahli waris yang

menghubungkan mereka kepada pewaris. Mereka menerima hak waris karena

kedudukannya sendiri sebagai ahli waris46

.

Khusus untuk masalah cucu, ijtihad yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit

dalam menentukan bagian cucu dengan pendapatnya bahwa dalam keadaan

apapun cucu yang berhak memperoleh harta kakeknya haruslah cucu melalui

garis keturunan laki-laki, sepanjang tidak ada saudara laki-laki dari ayahnya

yang masih hidup. Penonjolan kedudukan laki-laki atau melalui garis keturunan

laki-laki dipengaruhi oleh alam pemikiran patrilianial yang dianut oleh

masyarakat Arab, seumpama dapat dilihat dalam47

:

Gambar 2:

P

A B

Ca Cb

Seorang kakek (P) mempunyai dua orang cucu laki-laki (Ca dan Cb)

satu orang anak dari anak laki-laki (A) dan satu orang dari anak perempuan(B),

46

Ibid., h. 247. 47

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung, Pustaka Setia, 2011, h. 187.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

kedua anak kakek A dan B meninggal lebih dahulu dari kakek, pada waktu

kakek meninggal dunia, maka cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca)

berkedudukan sebagai asabah bin nafsih dan cucu laki-laki dari anak

perempuan (Cb) berkedudukan sebagai dzawil arham. Dalam hal ini seluruh

harta warisan kakek akan diwarisi oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca),

sedangkan cucu laki-laki dari anak perempuan (Cb) tidak mendapat warisan48

.

Gambar 3: P

A B

Ca

Seorang kakek (P) mempunyai dua orang anak laki-laki (A dan B) dan

satu orang cucu dari anak laki-laki (Ca), anaknya (A) meninggal lebih dahulu

dari kakek, pada waktu kakek meninggal dunia, maka anak laki-lakinya (B)

akan menghijab cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca) sehingga tidak

menerima harta warisan kakeknya. Dapatlah disimpulkan dari uraian diatas

bahwa cucu dari anak laki-laki tidak berhak mewaris apabila ada anak laki-

laki pewaris yang hidup dan cucu dari anak perempuan tidak berhak mewaris.

Hal yang demikian sangatlah dirasa tidak adil, sehingga untuk mengatasi

masalah tersebut maka diperkenalkan lembaga Wasiat Wajibah sebagai jalan

keluar terhadap masalah cucu yang tidak mewaris.

Para ulama berpendapat bahwa untuk keluarga dekat yang tidak mendapat

warisan, seseorang wajib membuat wasiat, hal ini didasarka pada surat Al-

48

Ibid., h. 190.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Baqarah ayat 180. Berdasarkan pada ayat tersebut dan pendapat para ulama

maka untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan ahli waris dari

kerabat dekat yang tidak mendapatkan bagian warisan, khusus dalam hal cucu

yang tidak mendapatkan warisan karena terhijab oleh anak laki-laki, maka

diberikanlah wasiat kepada cucu tersebut yang disebut dengan wasiat

wajibah dengan ketentuan bahwa besar bagian maksimal yang diterima

oleh cucu hanya sepertiga dari warisan, yang berarti bahwa bagian yang

diterima cucu tidak sebesar bagian yang diterima oleh orang tuanya

seandainya masih hidup49

. Contoh diatas dapat dilihat dalam gambar dibawah

ini:

Gambar 4: P

A B

Ca

Seorang kakek (P) mempunyai dua orang anak laki-laki (A dan B) dan

satu orang cucu dari anak laki-laki (Ca), anaknya (A) meninggal lebih dahulu

dari kakek, pada waktu kakek meninggal dunia, maka anak laki-lakinya (B)

menerima bagian warisan sedangkan cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ca)

dengan wasiat wajibah menerima bagian harta warisan kakeknya.

Pelaksanaan wasiat wajibah dalam sistem kewarisan patrilineal ini

49

Ibid., h. 140.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

ditegaskan dengan dikeluarkannya Undang-undang Wasiat Mesir nomor 71

tahun 1946. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa besarnya wasiat

wajibah adalah sebesar seharusnya diterima oleh orang tua penerima wasiat

seandainya ia masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga

warisan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk wasiat wajibah adalah50

:

a) Cucu itu bukan orang yang menerima warisan

b) Si mati tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar

yang telah ditentukan padanya

Undang-undang tersebut hanya mengatasi masalah cucu yang orang

tuanya telah meninggal lebih dahulu, Pasal 76 Undang-undang Wasiat Mesir

No.71 Tahun 1946 menetapkan bahwa apabila pewaris tidak mewasiatkan

kepada keturunan dari anaknya yang sudah meninggal lebih dahulu atau

bersama-sama dengan pewaris, maka berdasarkan wasiat wajibah, keturunan

tersebut berhak menerima bagian sejumlah bagian orang tuanya andaikata

orang tua itu masih hidup, dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga

dari harta peninggalan, dengan syarat bahwa keturunan itu tidak menjadi ahli

waris dan belum pernah diberikan sejumlah itu pada masa hayat pewaris. Kalau

sudah diberikan tetapi kurang dari jumlah itu, maka disempurnakan jumlah

tersebut sampai sepertiga51

.

Jadi, wasiat wajibah hanya dapat memberikan jalan keluar terhadap

cucu dari anak laki-laki yang tidak mewaris karena terhijab oleh anak laki-laki

pewaris yang masih hidup itupun contoh kasus di masyarakat Arab yang

50

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008, h.

98. 51

Ibid., h. 101.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

merupakan Negara Islam .

Sementara itu di Indonesia masalah kewarisan yang termasuk dalam

kerabat dekat tidak hanya cucu, hal inilah yang membuat fuqaha memperluas

analisisnya yaitu dengan mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam

mengenal penggantian ahli waris sebagaimana yang dikemukakan oleh Hazairin.

Konsep ahli waris pengganti muncul selain dari perkembangan Islam tetapi

juga dipengaruhi atau bisa dikatakan diadopsi dari KUH Perdata atau untuk

selanjutnya disebut dengan BW. Dalam penulisan ini sedikit dipaparkan tentang

ahli waris pengganti berdasar hukum waris BW. Ahli waris pengganti dalam

hukum waris BW dikenal dengan istilah Penggantian tempat yang dalam

bahasa Belanda Plaatsvervulling. Hal ini diatur dalam Pasal 854 sampai

dengan Pasal 857 BW dihubungkan dengan Pasal 860 dan Pasal 866 BW.

Adanya Pasal tersebut menunjukkan bahwa BW mengenal dan mengakui

adanya Plaatsvervulling atau penggantian ahli waris.

Penggantian memberi hak kepada orang yang menggantikan untuk

bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang

digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 841 BW, seumpama: seorang

cucu yang menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu

selaku anak dari pewaris, berhak atas semua hak itu. Dalam Pasal 842 BW

menjelaskan penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung

terus tanpa batas. Dalam segala hal, penggantian seperti di atas selamanya

diperbolehkan, baik dalam hal beberapa orang anak pewaris, mewarisi bersama-

sama satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Dalam garis menyimpang, penggantian diperbolehkan atas keuntungan

anak-anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal

lebih dahulu, baik mereka mewarisi bersama-sama dengan paman atau bibi

mereka, maupun bersama-sama dengan keturunan paman atau bibi itu, meskipun

mereka dalam derajat yang tidak sama hal tersebut diatur di dalam Pasal 844

BW.

Jadi dengan penggantian tempat (plaatvervulling), maka keturunan dari

seseorang masuk dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang

digantinya, seandainya orang yang diganti masih hidup. Lalu undang-undang

mengatakan bahwa dia yang menggantikan tempat akan memperoleh hak-hak

(dan juga kewajiban) dari orang yang digantikannya, jika sekiranya ia tidak

meninggal sebelum pewaris meninggal dunia.

Menurut BW yang beralih kepada ahli waris dari seseorang yang mati

meliputi seluruh hak dan kewajiban si yang mati. Dengan demikian wajar jika

BW mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan. Ahli

waris dapat menentukan salah satu sikap diantara tiga tersebut yaitu 52

:

1) Dapat menerima harta warisan seluruhnya

2) Menerima dengan syarat

3) Menolak.

Sebelum menentukan sikap kepada ahli waris tersebut diberikan

kesempatan dan waktu untuk berfikir selama tenggang waktu empat bulan,

kalau perlu dapat diperpanjang oleh Pengadilan Negeri sebagai diatur dalam

Pasal 1023 sampai dengan Pasal 1029 BW.

52

Amir Syarifudin, op.it., h. 74.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Dari konsep diatas dapat diketahui bahwa ahli waris pengganti ada ketika

seorang ahli waris meninggal lebih dulu dari pewaris dan kedudukannya

digantikan oleh anak ahli waris tersebut. Yang bisa menjadi ahli waris pengganti

adalah keturunan ahli waris ke bawah dan ahli waris keturunan ke samping

(saudara). Jadi cucu dan kemenakan bisa menjadi ahli waris pengganti.

2. Besar Bagian Ahli Waris Pengganti

Dilihat cara pembagiannya al-Qur’an merumuskan pokok keutamaan

sebagai berikut53

:

a. Bahwa al-Qur’an mengutamakan harta peninggalan seorang yang

mati meninggalkan keturunan sebagai ahli warisnya.

b. Selanjutnya al-Qur’an mengurus harta peninggalan seorang yang

mati tidak meninggalkan anak keturunan tetapi ada meninggalkan

ayah sebagai ahli warisnya.

c. Setelah itu baru al-Qur’an mengurus harta peninggalan saudara

(berarti yang mati tidak beranak keturunan dan tidak punya ayah).

Jadi bisa dipahami bahwa ayah dan anak saling mewarisi, demikian juga

saudara-saudara saling mewarisi. Selanjutnya bahwa ayah dapat mewarisi dari

anaknya jika anaknya itu tidak berketurunan, sehingga terselip prinsip bahwa anak

(keturunan) sebagai ahli waris mempunyai keutamaan lebih tinggi dari pada ayah

sebagai ahli waris, selanjutnya bahwa saudara sebagai ahli waris mempunyai

keutamaan yang lebih rendah sesudah ayah, yaitu manakala ayah tidak ada

53

Ibid. h. 86.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

barulah saudara mendapat giliran sebagimana keterangan dalam surah an-Nisâ’

ayat 17654

.

Jadi yang bisa menjadi ahli waris pengganti adalah cucu baik dari anak laki-

laki maupun anak perempuan yang menggantikan kedudukan ayah atau ibunya

sebagai ahli waris dari kakeknya dan kemenakan dari saudara laki-laki atau

kemenakan dari saudara perempuan baik saudara seibu atau seayah atau kandung

bisa menggantikan kedudukan ayah atau ibunya sebagai ahli waris dari saudara

yang meninggal. Ada beberapa poin untuk melihat besar bagian ahli waris

pengganti, yaitu 55

:

a. Cucu laki-laki maupun cucu perempuan menggantikan kedudukan

ayahnya sebagai ahli waris dari kakeknya. Besar bagian yang didapat

tidak boleh melebihi 2 bagian. Karena bagian anak laki-laki adalah 2

bagian.

b. Cucu laki-laki maupun cucu perempuan menggantikan kedudukan

ibunya sebagai ahli waris dari kakeknya. Besar bagian yang didapat

tidak boleh melebihi 1 bagian. Karena bagian anak perempuan adalah

1 bagian.

c. Kemenakan laki-laki maupun kemenakan perempuan menggantikan

kedudukan ibunya sebagai ahli waris seorang saudara perempuan,

masing-masing memperoleh 1/6 harta warisan.

d. Kemenakan laki-laki maupun kemenakan perempuan menggantikan

kedudukan ibunya maupun ayahnya sebagai ahli waris dua orang

saudara atau lebih, tiga kemungkinan:

54

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, Al-Ma’arif, 2001, h. 74. 55

Ibid., h. 78.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

1) semuanya laki-laki

2) semuanya perempuan

3) campuran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan

semua saudara itu berbagi rata atas 1/3 bagian harta warisan jadi

besar yang didapat kemenakan laki-laki maupun kemenakan

perempuan tidak boleh melebihi atau berbagi rata 1/3 bagian.

Hazairin memberikan contoh sederhana56

untuk menerapkan Surah An-Nisa

ayat 12 dan ayat 176, contoh ini dirasa tepat untuk menjadi landasan dalam

pembahasan kasus posisi didalam penulisan ini. Contoh sederhana, seorang

meninggal dunia dengan meninggalkan dua kemenakan laki-laki, yang seorang

berasal dari saudara laki-laki, sedangkan yang lain berasal dari saudara

perempuan. Dalam contoh ini, semua saudara pewaris telah meninggal dunia lebih

dulu daripada pewaris. Jika sistem penggantian tempat diterapkan dalam kejadian

tersebut, kedua kemenakan itu berhak mewaris. Kemenakan laki-laki dari saudara

perempuan memperoleh sepertiga bagian, sedangkan kemenakan laki-laki dari

saudara laki-laki memperoleh dua pertiga bagian.

Contoh lain juga dikemukakan oleh M. Idris Ramulyo yang dituangkan

kedalam bagan57

, didalam bagannya M. Idris Ramulyo juga menerangkan ahli

waris pengganti dalam jalur kesamping yaitu saudara.

56

H. Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, op.it., h. 159. 57

M. Idris Ramulyo, op.it., h.128.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8329/3/T1_312009023_BAB II.pdf · yang mengaku dirinya beragama Islam. Patokan umum dapat dilihat

Gambar 5 :

Keterangan :

A = pewaris yang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris

saudara laki-laki C dan saudara perempuan B

B = saudara perempuan pewaris yang telah meninggal dunia lebih dulu

dari pewaris meninggalkan anak atau keponakan dari pewaris, yaitu :

D.

Pembagian diatas berdasarkan asas bilateral yang dianut didalam hukum

waris Islam adalah C : B = ( 2 : 1 ) jadi bagian C menjadi 2/3 sedangkan B yang

kedudukannya digantikan oleh D mendapat 1/3.

Dilihat dari contoh yang diberikan Hazairin dan M. Idris Ramulyo diatas

dapat ditarik kesimpulan bagian dari saudara laki-laki dibanding saudara

perempuan adalah 2:1.

A B

C

D