BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
-
Upload
trinhtuyen -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Belajar
Belajar sebagai inti dari kegiatan di sekolah memiliki beberapa makna dari berbagai ahli. Fontana (1981: 147) dalam Suherman et al. (2003: 7)
menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil
pengalaman, sedangkan pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar
program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini dapat diartikan bahwa pembelajaran
merupakan upaya untuk menyediakan sarana dan prasarana bagi indidu untuk mengadakan perubahan tingkah laku berdasarkan pengalaman yang diperoleh.
Menurut Muhibbin syah (1995: 91) mendevinisikan belajar secara kuantitatif, intitusional
dan kualitatif. Secara kuantitatif, belajar dipandang dari susdut berapa banyaknya materi yang dikuasai
siswa. Secara institusional, belajar diukur dari semakin baik mutu guru mengajar akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan
dalam bentuk skor. Sedangkan belajar secara kualitatif difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan
yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.
Budimansyah et al. (2008: 31) menyatakan Proses belajar mengajar adalah inti dari penyelenggaraan pendidikan sekolah, bahkan dalam
lingkungan sosial pendidikan sebagai suatu sistem yang luas. Sehingga kata kunci dari penyelenggaraan
pendidikan sekolah yang baik dapat dilihat dari proses belajar mengajar di dalamnya.
10
Berdasarkan pendapat diatas dapat diartikan bahwa proses belajar mengajar IPA yang baik akan
mendukung penyelenggaraan pendidikan sekolah. Pandangan tentang teori belajar yang berkaitan dengan pembelajaran IPA akan dijelaskan teori belajar aliran
psikologi tingkah laku David Ausubel dan teori belajar aliran psikologi kognitif dari Piaget.
2.1.1 Teori belajar David Ausubel
Hal yang sangat penting diketahui oleh guru
pada awal pembelajaran adalah apa yang diketahui oleh setiap peserta didik. Peserta didik memerlukan bimbingan, agar dapat belajar dengan efektif. Menurut
Suherman et al. (2003: 32) teori Ausubel dikenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan
sebelum belajar dimulai (menghapal). Ausubel mengemukakan pendapat bahwa belajar bermakna
adalah suatu proses belajar yang menghubungkan informasi baru dengan struktur pengertian yang sudah
dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan
mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep dan pemahaman konsep yang telah ada yang akan
mengakibatkan perubahan struktur konsep yang telah dimiliki.
Teori belajar bermakna Ausubel menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena dan fakta-fakta baru ke dalam sistem
pengertian yang telah dimiliki, keduanya menekankan pentingnya asimilasi baru ke dalam konsep atau
pengertian yang sudah dimiliki peserta didik dan diharapkan dalam proses belajar itu peserta didik aktif.
2.1.2 Teori belajar Piaget
Jean Piaget dalam Seherman et al. (2003: 36) menuliskan bahwa struktur kognitif sebagai skemata
(Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Lebih
11
lanjut Piaget menjelaskan bahwa manusia tumbuh, beradaptasi dan berubah melalui perkembangan fisik,
perkembangan kepribadian, perkembangan sosio-emosional dan perkembangan kognitif. Proses perkembangan berpikir dapat dijelaskan menggunakan
teori perkembangan Piaget.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget dalam
Suherman et al. (2003: 37) telah mengembangkan teori perkembangan pengetahuan prosedural atau
pengetahuan operatif, yang terdiri dari empat tahap yaitu:
1. tahap sensori motor (lahir sampai umur sekitar 2 tahun)
2. tahap pra operasional (2 tahun – 7 tahun)
3. tahap operasional konkrit (7 tahun – 11 tahun) 4. tahap operasional formal (11 tahun dan seterusnya)
Menurut teori perkembangan berpikir Piaget, pembelajaran dengan pendekatan inkuiri sesuai
diterapkan bagi siswa pada tahap operasional formal, yaitu siswa usia SMP ke atas. Child (1977: 127) dalam Suherman et al. (2003: 42) menyatakan bahwa mulai
usia sekitar 11 tahun anak sudah mulai mampu berpikir hypothetical deductive, yaitu berpikir yang
berawal dari suatu kemungkinan, namun untuk membantu siswa yang kemungkinan masih berada
pada tingkat opersional konkrit.
Prinsip Piaget dalam pembelajaran diterapkan
dalam program-program yang menekankan pembelajaran melalui penemuan, pengalaman-pengalaman nyata dan peranan guru sebagai fasilitator
yang mempersiapkan lingkungan serta kemungkinan pesrta didik dapat memperoleh berbagai pengalaman
belajar.
Lebih lanjut Wardwort (1971: 103-104) dalam
Suherman et al. (2003: 43) berpendapat bahwa selain karakter diatas, pada tahap ini anak telah memiliki
12
kemampuan berpikir kombinatorial (combinatorial thought) yaitu kemampuan menyusun kombinasi-
kombinasi yang mungkin dari unsur-unsur dalam suatu sistem.
Berdasarkan uraian diatas dapat digeneralisasikan bahwa terori kognitif pada pendidikan sebagai berikut :
1. Memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental peserta didik, tidak sekedar kepada
hasilnya. 2. Menguntungkan peran peserta didik dalam
berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan
perkembangan.
2.2 Karakteristik Mata Pelajaran IPA SMP
Pada dasarnya manusia ingin tahu lebih banyak
tentang IPA atau Sains, antara lain sifat sains, model sains, dan filsafat sains. Pada saat setiap orang
mengakui pentingnya sains dipelajari dan dipahami, tidak semua masyarakat mendukung. Pada umumnya
siswa merasa bahwa sains sulit, dan untuk mempelajari sains harus mempunyai kemampuan memadai seperti bila akan menjadi seorang ilmuwan.
Ada tiga alasan perlunya memahami sains antara lain, pertama bahwa kita membutuhkan lebih banyak
ilmuwan yang baik, kedua untuk mendapatkan penghasilan, ketiga karena tiap kurikulum menuntut
untuk mempelajari sains. Mendefinisikan sains secara sederhana, singkat dan yang dapat diterima secara universal sangat sulit dibandingkan dengan
mendefinisikan ilmu-ilmu lain. Beberapa ilmuwan memberikan definisi sains sesuai dengan pengamatan
dan pemahamannya. Fisher (1975: 5) dalam Widiyatmoko (2013: 2) menyatakan bahwa secara
etimologi kata sains berasal dari bahasa latin yaitu
13
scientia yang berarti pengetahuan (knowledge). Jenkins & Whitefield: 1974; Conant: 1975) dalam Widiyatmoko
(2013: 3) mendefinisikan sains sebagai rangkaian konsep dan skema konseptual yang saling
berhubungan dan dikembangkan dari hasil eksperimentasi, observasi sesuai untuk eksperimentasi dan observasi berikutnya.
Kemendikbud (2013: 212) mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Alam sebagai pengetahuan yang diperoleh
melalui pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan dan deduksi untuk menghasilkan suatu
pejelasan tentang sebuah gejala yang dapat dipercaya.
Hakikat pembelajaran IPA menurut Kemendikbud (2013: 213) terdapat empat unsur utama,
yaitu:
1. Sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena,
makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan
melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended;
2. Proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan,
evaluasi, pengukuran dan penarikan kesimpulan; 3. Produk: berupa fakta, prinsip, teori dan hukum;
4. Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat unsur tersebut merupakan ciri IPA yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sehingga dalam proses pembelajaran IPA keempat
unsur tersebut diharapkan dapat muncul, sehingga peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran
secara utuh, memahami fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah, metode ilmiah dan
meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru.
14
Keberhasilan proses pembelajaran IPA perlu didukung dengan kegiatan laboratorium, yang biasa
disebut dengan istilah praktikum. Melalui program praktikum, siswa dapat mempelajari IPA melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejala maupun
proses-proses IPA. Program praktikum penting untuk melatih keterampilan berpikir ilmiah, menanamkan
serta mengembangkan sikap ilmiah, juga penting untuk mengembangkan daya nalar siswa secara kritis. Melalui
praktikum, siswa dapat terlatih dalam menemukan dan memecahkan berbagai masalah baru melalui metode ilmiah. Hal tersebut menunjukkan bahwa program
praktikum memiliki peran yang penting dalam pembelajaran IPA. Hal ini konsisten dengan pendapat
Prasetyo (2013: 6) yang menyatakan bahwa pembelajaran IPA yang dilakukan melalui kegiatan
praktik (practical work) siswa tidak hanya melakukan olah pikir (minds-on) tetapi juga olah tangan (hands-on).
Melalui kegiatan praktik dalam proses pembelajaran IPA dapat memotivasi siswa dalam belajar sehingga kualitas belajar siswa akan meningkat, serta
memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan sejumlah ketrampilan.
Proses pembelajaran IPA ditentukan oleh kompetensi yang dimiliki oleh guru. Guru mata
pelajaran IPA juga diharapkan memiliki kompetensi-kompetensi sesuai Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 adalah:
1. Memahami konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori IPA serta penerapannya secara fleksibel.
2. Memahami proses berpikir IPA dalam mempelajari proses dan gejala alam
3. Menggunakan bahasa simbolik dalam mendeskripsikan proses dan gejala alam.
4. Memahami hubungan antar berbagai cabang IPA,
dan hubungan IPA dengan matematika dan teknologi.
15
5. Bernalar secara kualitatif maupun kuantitatif tentang proses dan hokum alam sederhana.
6. Menerapkan konsep, hukum, dan teori IPA untuk menjelaskan berbagai fenomena alam.
7. Menjelaskan penerapan hukum-hukum IPA dalam
teknologi terutama yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
8. Memahami lingkup dan kedalaman IPA sekolah. 9. Kreatif dan inovatif dalam penerapan dan
pengembangan IPA. 10. Menguasai prinsip-prinsip dan teori-teori
pengelolaan dan keselamatan kerja/belajar di
laboratorium IPA sekolah. 11. Menggunakan alat-alat ukur, alat peraga, alat
hitung, dan piranti lunak komputer untuk meningkatkan pembelajaran IPA di kelas,
laboratorium. 12. Merancang eksperimen IPA untuk keperluan
pembelajaran atau penelitian
13. Melaksanakan eksperimen IPA dengan cara yang benar.
14. Memahami sejarah perkembangan IPA dan pikiran-pikiran yang mendasari perkembangan tersebut.
Landasan filosofis pembelajaran IPA ialah filsafat pendidikan Progresivisme yang dikembangkan
oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih
besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata” dan juga pengalaman teman
sebaya.
Pembelajaran IPA terpadu merupakan konsep
pembelajaran IPA dengan situasi lebih alami dan situasi dunia nyata, serta mendorong siswa membuat hubungan antar cabang IPA dan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari hari. Pembelajaran IPA terpadu
16
merupakan pembelajaran bermakna yang memungkinkan siswa menerapkan konsep-konsep IPA
dan berpikir tingkat tinggi dan memungkinkan mendorong siswa peduli dan tanggap terhadap lingkungan dan budayanya.
Guru dalam pembelajaran IPA hendaknya dapat merancang dan mempersiapkan suatu pembelajaran
dengan memotivasi awal sehingga dapat menimbulkan suatu pertanyaan. Dengan begitu, guru yang bertugas
dapat mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa dalam melaksanakan pembelajaran berdasarkan inkuari. Ciri utama
pembelajaran IPA adalah dimulai dengan pertanyaan atau masalah dilanjutkan dengan arahan guru
menggali informasi, mengkonfirmasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan
pada tujuan apa yang belum dan harus diketahui. Jadi terlihat bahwa siswa akan dapat menemukan sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul
diawal pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan tidak dengan jalan
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dengan jalan menemukan dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil
kemandiriannya. Dengan begitu, untuk pembelajaran IPA hendaknya dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya heterogen, untuk dapat bekerja
sama, saling berinteraksi dan mendiskusikan hasil secara bersama sama, saling menghargai pendapat
teman, sampai dapat memutuskan kesimpulan yang disepakati bersama.
2.3 Peran Guru dalam Proses Pembelajaran IPA
Tugas guru dalam profesinya menyatakan bahwa guru sebagai pendidik dan sebagai pengajar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan bahwa
guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
17
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Peran guru diantaranya adalah:
1. Guru Sebagai Demonstrator, melalui perannya sebagai demonstrator atau pengajar, guru
hendaknya nantiasa mengembangkan dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang
dimilikinya kerena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.
2. Guru Sebagai Pengelola Kelas, dalam perannya
sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai
lingkungan belajar serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi.
lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan
pendidikan. Lingkungan yang baik ialah yan bersifat menantang dan merangsang siswa unuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan
dalam mencapai tujuan. Tujuan umum pengelolaan kelas ialah menyediakan menggunakan fasilitas
kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang baik.
Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan
kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa belajar dan belajar, serta membantu siswa untuk
memperoleh hasil yang diarapkan. 3. Guru Sebagai Mediator, sebagai mediator guru
hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi
untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar.
18
4. Guru Sebagai Fasilitator, sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar
yang beguna serta dapat menujang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasumber, buku, teks, majalah ataupun
surat kabar. 5. Guru Sebagai Evaluator, untuk mengetahui sejauh
mana proses belajar mengajar dikatakan berhasil dan guru mampu mengoreksi selama proses belajar
mengajar yang masih perlu untuk diperbaiki atau dipertahankan.
2.4 Konsep Profesionalisme Guru
Su’ud (2000) dalam Sutarmanto (2013: 20) guru merupakan ”The front liner”nya berbagai upaya
peningkatan mutu pendidikan nasional. sehingga guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan upaya peningkatan mutu dan inovasi
pembelajaran di sekolah. Keberhasilan mutu pendidikan di sekolah tentunya didapatkan dari
seorang guru profesional.
Cully (1999: 130) dalam Mulyasa (2013: 27)
menjelaskan profesi sebagai a vocation in which professional knowledge of some departement a learning science is used in its application to the other or in the
pratice of an art found it. Makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa suatu pekerjaan profesional
menggunakan teknik dan prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual, yang secara sengaja harus
dipelajari dan kemudian secara langsung dapat diabadikan bagi kemaslahatan masyarakat. Muhson
(2004: 2) menyatakan bahwa profesionalisme merupakan paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang yang
profesional (memiliki profesi). Sehingga guru profesional adalah guru yang benar-benar ahli di bidangnya dan
mampu melaksanakan tugasnya dengan baik sekaligus
19
memiliki kompetensi dan komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sementara itu, tugas pendidik merupakan tenaga profesional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang
Sistem Pendidikan Nasional adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat. Hal ini berarti bahwa selain mengajar atau proses pembelajaran, guru juga mempunyai tugas melaksanakan pembimbingan
maupun pelatihan pelatihan bahkan perlu melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Mulyasa (2013: 27) menjelaskan berdasarkan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya, guru dalam
pekerjaan dan jabatanya dituntut untuk memiliki persyaratan sebagai berikut:
1. Keterampilan yang berlandaskan filosifis, psikologis
dan sosiologis; 2. Keahlian tertentu sesuai dengan bidang profesi yang
ditekuninya, serta senantiasa berusaha untuk meningkatkannya sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat; 3. Pendidikan yang memadai, sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;
4. Kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari
pekerjaan yang dilaksanakan, serta memerhatikan perkembangan dunia usaha dan industri;
20
5. Pengembangan karier sejalan dengan perkembangan masyarakat, dunia usaha, serta
dinamika kehidupan yang terjadi di masyarakat.
2.5 Manajemen Kepala Sekolah
2.5.1 Kompetensi Kepala Sekolah
Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang
satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang bersifat unik karena sekolah
memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya
pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yang kompleks dan unik tersebut, sekolah sebagai
organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah. (Wahjosumidjo, 2005: 349). Secara sederhana
kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seseorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk
memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana
terjadinya interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.
Kepala sekolah dilukiskan sebagai orang yang
memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para siswa. Studi keberhasilan kepala sekolah menunjukkan
bahwa kepala sekolah adalah seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah
(Wahjosumidjo, 2005: 82). Kepala sekolah yang berhasil adalah kepala sekolah yang memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi kompleks yang unik, serta
mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.
Kepala sekolah adalah guru yang mempunyai kedudukan sebagai pimpinan di dalam suatu
organisasi sekolah. Dalam suatu organisasi,
21
kepimpinan mempunyai kedudukan yang paling menentukan dalam manajemen. Dalam suatu
organisasi dibutuhkan pemimpin yang mampu mengarahkan bawahannya guna mancapai tujuan organisasi tersebut secara efektif dan efisien.
Kepala sekolah mempunyai wewenang guna mengelola semua sumber daya yang ada dan
bertanggung jawab dalam meningkatkan proses dan hasil pendidikan di sekolah. Thoha (2006: 9)
menyatakan bahwa manajemen merupakan jenis pemikiran yang khusus dari kepimpinan di dalam usahanya mencapai tujuan organisasi. Dengan
demikian kepala sekolah sebagai seorang pemimpin yang dibatasi oleh tatakrama birokrasi dapat berperan
sebagai manajer, sehingga fungsi-fungsi seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan
pengendalian merupakan fungsi pokok yang tidak terpisahkan dalam setiap pembahasan mengenai manajemen. Sehingga, seorang kepala sekolah
berfungsi sebagai: edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator, dan motivator di sekolah
yang dipimpinnya.
2.5.2 Peran Kepala Sekolah
Kepala sekolah sebagai pemimpin diharapkan mempunyai peranan sebagai manajer dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya. Menurut
Mintzberg dalam Thoha (2006: 12), mengemukakan ada 3 peranan utama yang harus dimainkan oleh seorang
manajer yaitu :
1. Peranan hubungan antar pribadi (Interpersonal
Role).
Peranan ini berhubungan dengan status dan
otoritas manajer dan hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan hubungan antar pribadi dengan perincian sebagai berikut: (1) Peranan
sebagai Figurehead, peranan yang sangat dasar dan
22
sederhana dilakukan untuk mewakili organisasi yang dipimpinnya dalam setiap kesempatan dan
persoalan yang timbul secara formal, (2) Peranan sebagai pimpinan (leader), yaitu melakukan
hubungan interpersonal dengan yang dipimpin dan melakukan fungsi-fungsi pokoknya, dan (3) Peranan sebagai pejabat perantara (liaison manager), yaitu
melakukan interaksi dengan teman sejawat, staf, dan orang-orang di luar organisasinya untuk
mendapatkan informasi.
2. Peranan yang berhubungan dengan informasi
(informational role).
Manajer sebagai pusat informasi bagi organisasinya,
yaitu (1) sebagai monitor, yaitu manajer sebagai penerima dan pengumpul informasi guna mengembangkan pengertian yang baik dari
organisasi yang dipimpinnyadan pemahaman yang komprehensif tentang lingkungan, (2) sebagai
dessiminator, yaitu menangani proses transmisi dari informasi-informasi ke dalam organisasi yang
dipimpinnya, yaitu penyampaian informasi dari luar ke dalam organisasinya, dan juga dari bawahan atau staf ke bawahan atau staf yang lainnya, dan (3)
sebagai jurubicara (speakerman), yaitu manajer mewakili dan bertindak atas nama organisasi
menyampaikan informasi keluar lingkungan organisasinya.
3. Peranan pembuat keputusan (Decissional Role).
Merupakan peranan yang tidak boleh tidak
dijalankan karena seorang manajer harus terlibat langsung dalam proses pembuatan strategi organisasi. Peranan ini dikelompokkan sebagai
berikut: (1) Sebagai entrepreneur, yaitu manajer bertindak sebagai pemprakarsa dan perancang
dalam organisasi dengan memfokuskan pada pekerjaan manajerial dengan mulai aktivitas
melihat atau memahami masalah-masalah dalam
23
organisasi yang mungkin dapat diselesaikan, (2) Sebagai penghalau gangguan (disturbance handler),
yaitu manajer bertanggung jawab mengatasi ancaman bahaya atau perbuatan yang tidak
diketahui sebelumnya yang menganggu atau memungkinkan timbulnya krisis di dalam organisasi, (3) Sebagai pembagi sumber (resource
allocator), yaitu memutuskan pendistribusian sumber dana ke bagian-bagian organisasi guna
mempermudah pelaksanaan kerja, dan (4) Sebagai negosiator, yaitu aktif berpartisipasi atau terlibat
dalam negosiasi dengan pihak-pihak lain baik di luar maupun didalam organisasi.
2.6 Jenis Keterampilan Manajerial
2.6.1 Keterampilan Konseptual
Keterampilan konseptual adalah kemampuan
dalam melihat gambaran secara komprehensif untuk mengenali unsur-unsur penting dalam suatu situasi, untuk memahami hubungan-hubungan antara unsur-
unsur sehingga dapat dipelajari, dianalisis, dan diinterpretasikan berbagai informasi yang diterima dari
berbagai sumber sehingga dapat diambil keputusan yang menyeluruh bagi organisasi (Megginson dkk,
1992: 30). Menurut pengertian ini, berarti merupakan kemampuan mental dan pengetahuan dari seorang manajer mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan
tugas, fungsi dan kedudukan organisasi. Oleh karenanya dengan kemampuan tersebut diharapkan
manajer mampu mengkoordinasi, memahami masalah, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan
membuat perencanaan bagi organisasi.
Dalam organisasi pendidikan, keterampilan konseptual kepala sekolah berarti kemampuan yang
dimiliki kepala sekolah untuk melihat sekolah, lingkungan, dan programnya sebagai keseluruhan.
Dengan kemampuan tersebut kepala sekolah akan
24
memperoleh berbagai informasi, sehingga dapat digunakan untuk menganalisis, dan mengambil
keputusan terbaik bagi sekolah. Kemapuan yang bersifat komprehensif inilah memungkinkan kepala sekolah mampu menyeimbangkan, menyatukan
berbagai fungsi yang ada di sekolah, menemukan kebutuhan sekolah, serta merencanakan dan melihat
perubahan sekolah di masa depan.
2.6.2 Keterampilan Hubungan Manusia
Elemen pertama di dalam lingkungan orgnisasi termasuk didalamnya sekolah adalah orang-orang (manusia). Sumber daya pendidikan lain seperti
gedung, laboratorium, perpustakaan, keuangan dan sebagainya dapat berfungsi sebagai secara efektif
tergantung pada kemampuan orang-orang yang ada di sekolah. Mereka saling berinteraksi satu dengan
lainnya selama bekerja. Agar dalam berinteraksi dapat berjalan secara harmonis dan terhindar dari konflik maka peranan manajer sangat diperlukan untuk
mengoptimalkan kinerja orang-orang yang terlibat dalam kegiatan sekolah. Disinilah dibutuhkan
keterampilan hubungan manusia dari Kepala Sekolah dalam menciptakan keharmonisan dan interaksi
tersebut. Lebih dari itu keterampilan hubungan manusia sangat penting untuk mengefektifkan komunikasi, koordinasi, dan pengarahan kepada
bawahan ke arah pencapaian tujuan sekolah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa hubungan manusiawi dalam sekolah adalah kemampuan Kepala Sekolah untuk
menciptakan komunikasi yang harmonis dengan personil sekolah, memotivasi, mengembankan sikap
dan moral yang baik, memahami dan menyelesaikan konflik, memahami kebutuhan personil dan mengusahakan untuk memenuhinya, serta
mengembangkan sumber daya manusia guna menciptakan kerjasama yang efektif sehingga kinerja
25
guru dapat ditingkatkan. Karenanya perilaku Kepala Sekolah dalam mengimplementasikan keterampilan
hubungan manusiawi terhadap para guru harus mencakup: (1) bersedia untuk bekerjasama; (2) menjalin komunikasi yang hangat; (3) memberikan
bimbingan (bantuan) dalam menyelesaikan tugas; (4) menyelesaikan masalah; (5) melibatkan guru dalam
mengambil keputusan; (6) memberikan penghargaan; dan (7) membangun kepercayaan diri para guru.
2.6.3 Keterampilan Teknikal
Dalam rangka memberikan pembinaan kepada guru, seorang Kepala Sekolah harus memiliki
kemampuan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab. Jika tidak maka akan mengurangi
kredibilitas Kepala Sekolah dimata para guru. Itulah sebabnya Kepala Sekolah sudah seharusnya memiliki
keterampilan teknikal yaitu pengetahuan dan kemahiran dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut metode, proses, dan prosedur guna dapat
mengajarkannya kepada bawahan (Soebagio, 2005: 203). Keterampilan tersebut merupakan keterampilan
khusus, sehingga Kepala Sekolah dituntut mampu menggunakan alat-alat, prosedur dan teknik yang
berhubungan dengan bidang khusus yaitu dengan pengelolaan proses pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas
dapat digarisbawahi bahwa keterampilan teknikal yang diperlukan oleh Kepala Sekolah antara lain: (1)
pengetahuan tentang pengelolaan kelas; (2) penggunaan metode pembelajaran; (3) penggunaan
teknik evaluasi; (4) pembuatan desain pengajaran dan program pembelajaran; (5) pengetahuan tentang
administrasi sarana prasarana dan keuangan; (6) teknik sepervisi dan lain sebagainya.
Keterampilan manajerial kepala sekolah
merupakan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh Kepala Sekolah dalam mengelola tugas-tugas di
26
sekolah, yang terdiri atas three basic skills yaitu technical skill, human skill, dan conceptual skill.
Keterampilan teknikal (technical skill) adalah kemampuan Kepala Sekolah dalam membimbing guru
dalam melaksanakan proses belajar mengajar administrasi sekolah maupun kelas. Keterampilan
hubungan manusia (human skill) adalah kemampuan dan keahlian kepala sekolah dalam menjalin kerjasama, komunikasi, membangun sikap dan moral,
menyelesaikan konflik dan memberikan kesejahteraan guru. Sedangkan keterampilan konseptual adalah
kemampuan dan keahlian Kepala Sekolah dalam merencanakan, mengkoordinasikan dan mengevaluasi
kegiatan sekolah.
2.7 Supervisi Akademik
Salah satu strategi dalam upaya mencapai
tujuan pendidikan nasional tersebut adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Untuk dapat mewujudkan mutu pendidikan diperlukan pendidik
yang profesional. Guru sebagai pendidik harus mempunyai kompetensi dalam pengelolaan
pembelajaran, pengembangan potensi dan penguasaan akademik. Kompetensi guru meliputi kompetensi
kepribadian, paedagogik, professional dan sosial. Sebagai seorang yang professional, maka dalam pengelola pembelajaran guru harus mampu berperan
sebagai perencana (desainer), pelaksana (implementor) dan penilai (evaluator) kegiatan pembelajaran. Salah
satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru perlu pembinaan dari kepala sekolah melalui supervisi
akademik.
Harris sebagaimana dikutip oleh Sahertian
(2008: 18) menyatakan bahwa supervisi pengajaran adalah segala sesuatu yang dilakukan personalia sekolah untuk memelihara atau mengubah apa yang
dilakukan sekolah dengan cara yang langsung mempengaruhi proses belajar mengajar dalam upaya
27
meningkatkan proses belajar siswa. Menurut Alfonso dalam Sahertian (2008: 18) supervisi pengajaran adalah
tindakan pejabat yang dirancang oleh lembaga yang langsung berpengaruh terhadap perilaku guru dalam berbagai cara untuk membantu cara belajar siswa dan
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh lembaga itu. Dapat disimpulkan bahwa supervisi pengajaran
adalah usaha memberi layanan kepada guru–guru baik secara individual maupun kelompok dalam usaha
memperbaiki perencanaan dan proses pembelajaran yang merupakan unsur dari kompetensi paedagogik guru. Kata kunci dari supervisi pada akhirnya adalah
memberikan layanan dan bantuan. Supervisi pengajaran perlu diarahkan pada upaya-upaya yang
sifatnya memberikan kesempatan kepada guru untuk berkembang secara profesional, sehingga mereka lebih
mampu untuk melaksanakan tugas pokoknya yaitu memperbaiki dan meningkatkan proses dan hasil pembelajaran (Tara J. Fenwick, 2006:401). Kualitas
mengajar guru secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran siswa.
Untuk itu perlu diadakan pembinaan tindak lanjut dialogis kolegial dari kepala sekolah antara lain melalui
supervisi pengajaran. Sahertian (2000:16) menjelaskan konsep supervisi yang digunakan adalah supervisi yang bersifat ilmiah, yaitu :
a. sistematis, artinya dilaksanakan secara teratur, terencana dan terus menerus.
b. obyektif, artinya ada data yang didapat berdasarkan observasi nyata bukan berdasarkan tafsiran pribadi.
c. menggunakan alat pencatat yang dapat memberikan informasi sebagai umpan balik untuk mengadakan
penilaian terhadap proses pembelajaran di kelas.
Supervisi pengajaran sangat penting untuk dilakukan, beberapa alasan yang mendasari pentingnya
supervisi pengajaran adalah :
28
a. supervisi pengajaran bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.
b. supervisi pengajaran relevan dengan nuansa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berorientasi pada pencapaian hasil usaha secara
tuntas, sehingga supervisi pengajaran memberikan dukungan secara langsung kepada guru dalam
mengupayakan tercapainya tingkat kompetensi tertentu pada siswa.
c. Supervisi pengajaran merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi paedagogik guru.
Dalam profesi mengajar, mutu pembelajaran
merupakan cerminan dari kompetensi guru yang akan berdampak pada peningkatan mutu proses dan hasil
pembelajaran. Kunjungan dan observasi yang dilakukan oleh supervisor bermanfaat untuk
mengetahui pelaksanaan pembelajaran sebenarnya, antara lain dapat :
a. menemukan kelebihan atau kelemahan guru dalam
melaksanakan pembelajaran guna pengembangan dan pembinaan lebih lanjut.
b. mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam melaksanakan suatu gagasan pembaharuan
pembelajaran. c. secara langsung mengetahui keperluan dan
kebutuhan tiap-tiap guru dalam melaksanakan
proses pembelajaran. d. memperoleh data dan informasi yang dapat
digunakan untuk menyusun program pembinaan profesional secara rinci.
e. menumbuhkan kepercayaan diri pada guru untuk berbuat lebih baik.
f. mengetahui secara lengkap hal-hal yang mendukung kelancaran proses pembelajaran.
Briggs dalam Sahertian (2008: 18)
mengungkapkan bahwa fungsi utama supervisi bukan perbaikan pembelajaran saja tetapi untuk
29
mengkoordinasi, menstimulasi dan mendorong ke arah pertumbuhan profesi guru. Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah (2006) menyatakan bahwa supervisor dalam melaksanakan tugasnya perlu memperhatikan dan berpedoman pada prinsip-prinsip
supervisi, antara lain :
a. Supervisi hendaknya dimulai dari hal-hal yang
positif. b. Hubungan antar supervisor dengan yang disupervisi
hendaknya didasarkan atas hubungan kerja secara profesional.
c. Pembinaan profesional hendaknya didasarkan atas
hubungan manusiawi yang sehat. d. Pembinaan profesional hendaknya mendorong
pengembangan inisiatif dan kreativitas guru. e. Pembinaan profesional hendaknya didasarkan pada
pandangan obyektif. f. Pembinaan profesional harus dilaksanakan terus
menerus dan berkesinambungan.
g. Pembinaan profesional hendaknya dilakukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing guru.
h. Pembinaan profesional hendaknya dilaksanakan atas dasar rasa kekeluargaan, kebersamaan, keterbukaan
dan keteladanan.
2.8 Tahapan dalam Pelaksanaan Supervisi Akademik
Dalam melaksanakan supervisi pengajaran
menurut Ngalim (1998:121) terdapat tiga prinsip utama yang dijadikan dasar/pedoman dalam setiap
kegiatannya, yaitu (1) terpusat pada guru daripada supervisor agar semua prakarsa dan tanggung jawab
dalam meningkatkan keterampilan mengajar senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan guru, (2) hubungan guru dengan supervisor lebih interaktif
ketimbang direktif untuk dapat mewujudkan komunikasi (hubungan) yang harmonis dalam suatu
kedudukan yang sederajat; dan (3) demokratis
30
ketimbang otorotatif untuk menciptakan suasana keterbukaan antara kedua belah pihak yaitu supervisor
dengan guru.
Ketiga prinsip tersebut harus menjiwai oleh supervisor dalam setiap tahapan pelaksanaan supervisi
pengajaran. Tujuannya adalah agar suasana supervisi tidak berubah menjadi suasana yang menakutkan bagi
guru melainkan menjadi suasana yang terbuka dan wajar. Tahapan yang dimaksudkan adalah keseluruhan
proses yang berbentuk siklus mulai dari memahami permasalahan sampai kepada upaya sebaiknya yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Berkaitan dengan tahapan ini Arikunto (2002:178) menyebutkan ada lima tahapan supervisi
pengajaran yaitu (1) observasi awal, (2) observasi, (3) analisis dan strategi, (4) observasi akhir, dan (5)
analisis observasi akhir.
Berbeda dengan Arikunto, Nurtain (1999: 258-262) membagi pelaksanaan supervisi pengajaran
dengan tindak lanjut dialogis kolegial menjadi tiga tahapan, yaitu:
a. Tahap Pertemuan Awal
Pertemuan awal diadakan sebelum kegiatan
mengajar yang dilaksanakan dalam suasana akrab dan terbuka, guru tidak perlu merasa takut akan dimarahi dan dinilai berbicara kurang sopan oleh supervisornya.
Demikian juga guru tanpa merasa khawatir dapat mengajukan rencana latihannya, cara dan alat untuk
mengobservasi penampilannya. Pertemuan tersebut diharapkan berakhir dengan diperolehnya kesepakatan
antara supervisor dan guru.
Secara rinci pertemuan awal ini adalah (1)
menciptakan suasana intim dan terbuka antara supervisor dan guru sebelum maksud yang sesungguhnya dibicarakan, (2) membicarakan rencana
pelajaran yang telah dibuat oleh guru, yang mencakup
31
tujuan, bahan, kegiatan belajar-mengajar, serta alat evaluasinya, (3) mengidentifikasi komponen
keterampilan (beserta indikatornya) yang akan dicapai oleh guru dalam proses pembelajaran tersebut, misalnya guru yang berlatih menguasai keterampilan
bertanya ingin menyebarkan pertanyaan itu paling tidak kepada 60% dari jumlah muridnya, (4)
mengembangkan dan memilih instrumen observasi yang akan digunakan, merekam data dalam
penampilan guru sesuai dengan persetujuan dan kesepakatan tentang keterampilan beserta indikatornya, dan (5) mendiskusikan bersama
instrumen tersebut termasuk tentang penggunaannya, data yang akan dikumpulkan dan sebagainya. Hasil
diskusi ini merupakan semacam kontrak antara guru dengan supervisor dan sekaligus akan menjadi saran-
saran pada tahap-tahap berikutnya.
b. Tahap Observasi Kelas
Dalam tahap ini guru mengajar dengan
menerapkan komponen-komponen keterampilan yang telah disepakati pada pertemuan awal. Sementara itu
supervisor mengadakan observasi dengan menggunakan alat perekam yang juga telah disepakati
bersama. Hal-hal yang akan diobservasi adalah segala sesuatu yang tercantum dalam buku kontrak yang telah disetujui bersama dalam pertemuan awal. Fungsi
utama observasi adalah untuk menangkap apa yang terjadi selama pelajaran berlangsung secara lengkap
agar supervisor dan guru dapat dengan tepat mengingat kembali pelajaran dengan tujuan agar
analisis dapat dibuat secara obyektif. Ide pokok dalam observasi ini adalah mencakup apa yang terjadi
sehingga dengan catatan yang tersimpan dengan baik itu dapat bermanfaat dalam analisis dan komentar.
Dalam melaksanakan observasi ini ada beberapa
hal yang harus diperhatikan (1) Kelengkapan catatan. Usahakan mencatat sebanyak mungkin apa yang
32
dikatakan dan apa yang dilakukan selama pelajaran berlangsung. Hasilnya akan merupakan bukti-bukti
bagi supervisor dan guru untuk diketengahkan apabila nanti bersama-sama menganalisis apa yang terjadi selama pelajaran. Semakin spesifik apa yang
digambarkan semakin berarti analisis supervisor, (2) Fokus. karena tidak mungkin untuk mencatat segala
sesuatu yang terjadi dalam kelas maka supervisor harus memilih aspek-aspek keterampilan yang perlu
dicatat. Tentu saja semaunya ini dilakukan dengan persetujuan guru/calon guru dan supervisor sebelumnya, (3) Mencatat komentar. Walaupun proses
mencatat harus dilakukan secara obyektif, namun supervisor dalam hal ini sering mencatat komentar-
komentar supaya mereka tidak lupa. Cara terbaik untuk melakukan hal ini adalah memisahkan komentar
dari catatan tentang pengajaran dengan menempatkan pada tepi format observasi atau dengan menggunakan tanda kurung, (4) pola sangat bermanfaat untuk
mencatat pola perilaku mengajar tertentu dari guru yang akan digunakan dalam pertemuan akhir, (5)
membuat guru tidak merasa gelisah. Pada permulaan melatih sesuatu keterampilan mengajar sering
membingungkan guru, apabila seseorang berada di belakang kelas sambil mengamati dan membuat catatan mengenai dirinya. Untuk menghilangkan
perasaan gelisah ini maka dalam pertemuan pendahuluan supervisor harus menjelaskan tentang
apa yang dicatatnya. Itulah sebabnya mengapa perlu dibuat persetujuan atau kesepakatan tentang apa yang
akan diobservasikan dan dicatat.
c. Tahap Pertemuan Akhir
Berbeda dengan pertemuan awal yang dapat dilangsungkan beberapa jam, bahkan sehari atau lebih awal, sebelum kegiatan mengajar dilaksanakan,
pertemuan akhir harus segera dilangsungkan sesudah proses pembelajaran selesai. Hal ini diperlukan untuk
33
menjaga agar segala sesuatu yang terjadi masih segar dalam ingatan baik supervisor maupun guru. Suasana
pertemuan sama dengan suasana pertemuan awal yaitu akrab, terbuka, bebas dari suasana menilai atau mengadili. Supervisor menyajikan data sedemikian
rupa sehingga guru dapat menemukan kekurangan dan kelebihannya sendiri. Dalam hal ini dituntut kesabaran
seorang supervisor sehingga dia tidak terjerumus untuk menilai, mengadili, ataupun mendikte guru.
Secara lebih rinci langkah-langkah pertemuan akhir ini adalah (1) memberikan penguatan serta menanyakan perasaan guru tentang apa yang
dialaminya dalam mengajar secara umum, (2) mereview tujuan pelajaran, (3) mereview target keterampilan serta
perhatian utama guru dalam mengajar, (4) menanyakan perasaan guru tentang jalannya pelajaran berdasarkan
tujuan dan target yang telah direview, (5) menunjukkan data hasil observasi yang telah dianalisis dan diinterpretasikan oleh supervisor sebelum pertemuan
akhir dimulai, kemudian memberikan waktu pada guru untuk menganalisis data dan menginterpretasikannya
dan akhirnya hasil observasi tersebut didiskusikan bersama-sama, (6) menanyakan kembali perasaan guru
setelah mendiskusikan hasil analisis dan interpretasi data hasil observasi tadi. Meminta guru menganalisis proses dan hasil pelajaran yang telah dicapai oleh siswa
yang diajarnya, (7) menanyakan perasaan guru tentang proses dan hasil pelajaran tersebut, (8) menyimpulkan
hasil pencapaian dalam mengajar dengan membandingkan antara kontrak yang bersumber pada
keinginan dan target yang telah mereka susun dengan apa yang sebenarnya telah tercapai, dan (9)
menentukan secara bersama rencana mengajar yang akan datang baik berupa dorongan untuk meningkatkan hal-hal yang belum dikuasai, maupun
keterampilan yang masih perlu disempurnakan.
34
Tahapan-tahapan pelaksanaan supervisi akademik menurut pendapat Arikunto dan Nurtain
walaupun berbeda jumlahnya, tetapi jika ditarik kesimpulan ternyata memiliki makna yang sama, yaitu: (1) tahapan pertemuan awal yang meliputi
kegiatan pembahasan guna memantapkan hubungan supervisor dengan guru serta merencanakan kegiatan
bersama; (2) tahapan observasi yaitu mengamati langsung perilaku dan gejala munculnya masalah
selama di kelas; dan (3) tahap pertemuan akhir yang merupakan diskusi umpan balik antara supervisor dengan guru kelas yang disebut dengan tindak lanjut
dialogis kolegial.
2.9 Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang supervisi pengajaran sebelumnya telah ada yaitu di beberapa jurnal penelitian diantaranya:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Ali Sudin (2008) yang berjudul Implementasi Supervisi Akademik Terhadap
Proses Pembelajaran di SD se Kabupaten Sumedang, menyimpulkan bahwa pelaksanaan supervisi seluruh
mata pelajaran belum optimal. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Uus Ruswenda (2011)
dengan judul Berbagai Faktor dalam Supervisi
Akademik Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Kuningan. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa pelaksanaan supervisi akademik pengawas SMK se kabupaten kuningan
dinilai tidak efektif karena penyusunan program dan laporan tidak sesuai dengan pedoman supervisi.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Erna Listyati (2012)
dengan judul : Supervisi Pengajaran untuk Meningkatkan Mutu Proses Pembelajaran IPA dI
SMP. Menyimpulkan bahwa supervisi pengajaran dengan tindak lanjut pembinaan dialogis kolegial
dapat meningkatkan mutu proses pembelajaran.
35
2.10 Kerangka Konseptuan Penelitian
Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah memiliki tugas dan tanggung jawab dalam
mencapai tujuan pendidikan melalui berbagai kegiatan pendidikan yang dilaksanakan. Agar setiap kegiatan
pendidikan dapat terlaksana dengan baik, kepala sekolah harus mengarahkan dan menggerakkan para guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola
kegiatan belajar mengajar (kinerja guru). Untuk bisa mengarahkan dan menggerakkan kinerja guru maka
kepala sekolah perlu memiliki dan menerapkan tiga keterampilan manajerial secara baik. Keterampilan
manajerial yang dimaksudkan adalah keterampilan konseptual, keterampilan hubungan manusia dan
keterampilan teknis.
Selain mengarahkan dan menggerakkan para guru, kepala sekolah bertugas dan bertanggung jawab
terhadap kualitas kinerja guru. Oleh karena itu kepala sekolah harus melaksanakan supervisi pengajaran
kepada para guru. Tujuannya adalah untuk memberikan bimbingan dan pembinaan ke arah
profesionalisme guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Di sinilah supervisi pengajaran diharapkan mampu meningkatkan kinerja guru. Dari kinerja guru
yang baik diharapkan akan menghasilkan mutu pendidikan yang baik pula, sehingga keterampilan
manajerial kepala sekolah, pelaksana supervisi pengajaran, dan kinerja guru akan menentukan baik
tidaknya mutu pendidikan di Sekolah Menengah Pertama.
Secara teoritis obyek supevisi di masa yang akan
datang adalah pembinaan kurikulum, perbaikan PBM, pengembangan staf serta pemeliharaan dan perawatan
moral serta semangat kerja guru
Pada kenyataannya, berdasarkan observasi
penulis ternyata supervisi yang dilaksanakan di
36
sekolah hanya sebatas pada tuntutan dari sistem sehingga secara administratif harus dilengkapi. Pada
waktu pelaksanaan supervisi seorang guru mempersiapkan perangkat pembelajaran secara maksimal, sehingga pada pelaksanaan pembelajaran
berlangsung tidak alami. Hal ini dilakukan agar pimpinan merasa senang, walupun pada waktu
pelaksanaan pembelajaran sehari-hari berbeda kondisinya dibandingkan dengan pelaksanaan
supervisi.
Untuk mencapai tujuan supervisi yang sebenarnya yaitu memberikan layanan dan bantuan
untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan oleh guru di kelas, SMP Negeri 41 Semarang
menerapkan supervisi akademik melalui tindak lanjut dialogis kolegial.
Berikut ini skema kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian.
Gambar 2 Kerangka Berpikir Proses Penelitian
Supervisi: 1. Pembinaan kurikulum 2. Perbaikan PBM 3. Pengembangan staf 4. Pemeliharaan dan
perawatan moral serta semangat kerja guru
Supervisi: 1. Administratif 2. Tuntutan atasan 3. Asal Atasan Senang 4. Pembelajaran tidak
alami
Mutu proses pembelajaran IPA
meningkat
Supervisi akademik melalui dialogis
kolegial
T E O R
I
E M P I R I S