BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/1681/41/BAB II .pdf · manajemen...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/1681/41/BAB II .pdf · manajemen...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka memiliki arti yaitu peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait
(review of related literature). Tinjauan pustaka bertujuan untuk mendalami landasan teori
yang berkaitan dengan permasalahan, mendukung pembahasan, dan mendukung
pembahasan, dan mendukung pembuatan instrument. Tinjauan pustaka bersumber dari buku,
hasil penelitian, majalah ilmiah, atau bahkan informasi ilmiah melalui media internet.
2.1 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai referensi dan acuan dalam
penelitian ini antara lain:
1. Firdian (2012) melakukan penelitian aplikasi metode Serqual dan Six Sigma dalam
menganalisis kualitas layanan PT. PLN (Persero) Unit Pelayanan Jaringan (UPJ)
Dinoyo Malang. Pada penelitian tersebut menggunakan metode Service Quality dan Six
Sigma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ekspektasi konsumen melebihi
tingkat kinerja PT. PLN UPJ Dinoyo. Gap terbesar adalah dimensi reliability
(kehandalan). Hasil analisis regresi linier sederhana menunjukkan bahwa variabel
servqual dapat menjelaskan variabel kepuasan pelanggan sebesar 73.2%, dan apabila
variabel servqual ditingkatkan sebesar 1% maka akan meningkatkan kepuasan
pelanggan sebesar 58.6%. Sedangkan hasil Importance – Performance Analysis
menunjukkan atribut Rel 9, Rel 7, Rel 6, dan Rel 8 sebagai prioritas utama perbaikan.
Selanjutnya hasil analisis six sigma berdasarkan dimensi dan atribut yaitu rata-rata pada
level sigma 2,3.
2. Halim (2013) melakukan penelitian upaya peningkatan kualitas pelayanan pelanggan
Swalayan KPRI Universitas Brawijaya. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan
pelanggan Swalayan KPRI Universitas Brawijaya, Halim telah mengusulkan metode
Service Quality dan Quality Function Diagram (QFD) dan IPA. Hasil penelitian
menunjukkan atribut pada dimensi tangible, yaitu pencahayaan ruangan swalayan yang
terang memiliki tingkat persepsi 2,57 dan tingkat ekspektasi 4,17 sehingga atribut
tersebut memiliki nilai gap negatif terbesar, yaitu -1,6, berdasarkan analisis metode IPA
terdapat 8 atribut kualitas pelayanan yang masuk dalam kategori kritis dan harus
diperbaiki). 9
10
3. Sutisnas (2013) melakukan penelitian kualitas pelayanan puskesmas kecamatan cakung,
Jakarta Timur dengan menggunakan metode Servqual. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian layanan yang ada di Puskesmas Cakung Jakarta Timur belum
menunjukkan tingkat kualitas pelayanan yang diharapkan pelanggan. Hal ini
berdasarkan dari persepsi dan harapan masyarakat yang menggunakan jasa kesehatan
menunjukkan hasil nilai kesenjangan atau Gap dengan nilai skor negatif dari
keseluruhan..
Beberapa penelitian terdahulu yang disebutkan sebelumnya akan dijadikan acuan
pustaka bagi penulis dalam melakukan penelitian ini. Tabel 2.1 menjelaskan mengenai
perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini.
Tabel 2.1
Perbedaan Penelitian Terdahulu dan Penelitian Saat Ini
No Nama
Peneliti Tujuan Metode
Objek
Penelitian
1 Firdian
(2012)
1. Menganalisis kualitas pelayanan PT. PLN
(Persero) UPJ Dinoyo
2. Mengetahui perkembangan pelayanan PT.
PLN (Persero) UPJ Dinoyo
3. Mengalisis atribut-atribut pelayanan yang
perlu dikembangkan oleh PT. PLN
(Persero) UPJ Dinoyo
Service
Quality dan
Six Sigma
PT. PLN
(Persero)
Unit
Pelayanan
Jaringan
(UPJ)
Dinoyo
Malang
2
Halim
dkk
(2013)
1. Mengetahui gap/ selisih antara kualitas
pelayanan yang diterima (persepsi) dengan
yang diharapkan oleh pelanggan pelayan
Swalayan KPRI UB berdaarkan metode
Service Quality.
2. Mengetahui atribut dari dimensi Service
Quality mana saja yang akan diprioritaskan
dalam meningkatkan kepuasan pelanggan
Swalayan KPRI UB berdasarkan metode
Importance Performance Analysis.
3. Memberikan rekomendasi dari hasil
penelitian terhadap manajemen KPRI UB
melalui analisis Quality Function
Deployment.
Service
Quality,
Importance
Performance
Analysis, dan
Quality
Function
Deployment.
Swalayan
KPRI
Universitas
Brawijaya
3 Sutisnas
(2013)
1. Mengeahui serta menganalisa kualitas
pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas
Kecamatan Cangkung Jawa Timur.
Service
Quality
Puskesmas
Kecamatan
Cangkung
Jawa Timur.
4 Penelitian
Ini (2017)
1. Mengetahui nilai kesenjangan antara
persepsi dan ekspektasi pelanggan pada
pemberian pelayanan kesehatan Rumah
Sakit Lavalette Malang.
2. Mengetahui atribut apa saja yang perlu
diprioritaskan dalam perbaikan layanan
Rumah Sakit Lavalette Malang.
Service
Quality
Pelanggan
dan pihak
manajemen
Rumah Sakit
Lavalette
Kota Malang
11
No Nama
Peneliti Tujuan Metode
Objek
Penelitian
3. Memberikan rekomendsi atau usulan
perbaikan dari hasil penelitian terhadap
manajemen Rumah Sakit Lavalette
Malang.
2.2 Rumah Sakit
2.2.1 Definisi Rumah Sakit
Dari banyak definisi Rumah Sakit, definisi rumah sakit menurut Keputusan Menteri
Republik Indonesia nomor 983.MENKES/SK/1992 mengenai pedoman rumah sakit umum
dinyatakan bahwa : “Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan yang bersifat dasar, spesialitik dan pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan”.
Sementara itu menurut WHO (1957) menyatakan bahwa : “The hospital is an integral part
of social and medical organization, the function of watch is to provide for the population
complete health care both curative and whose outpatient service reach out to the family and
as home environment, the hospital is also a center for the training of health workers and for
bio social research”. Definisi menurut WHO menyebutkan bahwa rumah sakit oleh WHO
(1957) diberikan batasan, yaitu suatu bagian menyeluruh dari organisasi dan medis,
berfungsi memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat baik kuratif
maupun rehabilitatif, output layanannya, menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan,
rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan tenaga kesehatan serta untuk penelitian bio-
medik. Sedangkan menurut Kotler (2000) yang ada di dalam situs Wikipedia definisi rumah
sakit adalah merupakan suatu perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan atau jasa
kesehatan, berbagai faktor mempengaruhi perkembangan RS, antara lain; teknologi,
epidemiologi, demografi, sosial ekonomi, faktor kebutuhan masyarakat terhadap mutu
pelayanan dan peraturan, serta faktor kebijaksanaan pemerintah yang berlaku.
Secara umum rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang
dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pelayanan kesehatan
yang ada dirumah sakit melipiti pelayanan rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, pelayan
medis dan non medis.
2.2.2 Klasifikasi Rumah Sakit
Klasifikasi Rumah Sakit berdasar perbedaan tingkat kemampuan pelayanan kesehatan
yang dapat disediakan. Berdasarkan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor : 983.
Menkes/SK/1992 tentang pedoman rumah sakit umum menyebutkan bahwa rumah sakit
12
pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi rumah sakit umum tipe A, B, C dan
D. Klasisifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan yang dimiliki. Klasifikasi tersebut
aalah sebagai berikut:
1. Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medic spesialistik luas dan sub spesialistik luas.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan sub spesialistik
terbatas.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medis spesialistik dasar.
4. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik dasar
2.2.3 Manajemen Pemasaran Rumah Sakit
Pemasaran merupakan hal yang penting untuk suatu perusahaan baik perusahaan idustri
barang atau jasa. Berarti hal ini berlaku juga untuk rumah sakit. Meskipun rumah sakit
merupakan organisasi nirlaba yang berfungsi utamanya adalah memulihkan kesehatan orang
sakit. Rumah sakit harus lenggeng dan kelangsungan hidupnya tidak bisa sempurna
bergantung pada sentuhan darmawan. Apalagi dengan meningkatnya biaya perawatan di
rumah sakit, struktur organisasi yang semakin mantap dan mirip dengan struktur badan-
badan usaha lainnya, status nirlaba rumah sakit makin sukar dipertahankan. Hal ini
menyebabkan rumah sakit semakin membutuhkan manajemen yang kuat.
Menurut Adikoesoemo (1997) sebagai organisasi nirlaba yang harus swasembada
rumah sakit perlu juga mempraktekan prinsip-prinsip pemasaran dalam batasan-batasan
social, tidak komersial, dan dianggap sebagai peranan sekunder. Berbagai organisasi
menyadari bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang sennatiasa berubah. Oleh karena itu,
tumpuan perhatian dipusatkan pada pemuasan kebutuhan konsumen yang selalu berubah-
ubah dengan mengkaji secara sistematis kebutuhan dan keinginan, persepsi kecenderungan,
dan kepuasan yang dicari konsumen, maka organisasi lebih respon terhadap tuntutan
masyarakat, dalam batasan-batasan kemampuannya.”
Rumah sakit seharusnya responsive terhadap tuntutan masyarakat. Mengenai hal ini
Adikoesoemo (1997) mengatakan “Organisasi yang responsive terhadap tuntutan
masyarakat harus memenuhi persayaratan minimal yakni mempunyai misi utama yang
didukung oleh dana/modal yang cukup, pangsa pasar yang luas, yaitu tidak untuk satu atau
13
dua segmen pasar, dan mempunyai program kerja yang memuaskan masyarakat”. Yang
dimaksud masyarakat bagi rumah sakit adalah seluruh staf rumah sakit, masyarakat mencari
pengobatan, dan pemerintahan, disamping itu masih ada komponen lainnya yang juga perlu
perhatian yaitu para rekanan seperti perusahaan obat-obatan dan alat diagnose, apotik,
laboratorium, dan tentu saja rumah sakit lainnya.
Rumah sakit harus respon terhadap keinginan masyarakat, maka kepuasan harus dapat
diberikan. Orang-orang yang berhubungan dengan organisasi yang responsif ini nantinya
akan menceritakan kepuasan pribadinya. Konsumen seperti ini merupakan iklan yang terbaik
bagi organisasi. Kemauan baik mereka dan pembicara dari mulut ke mulut yang
menyenangkan terdengar oleh orang lain dan mempermudah organisasi untuk menarik dan
melayani lebih banyak orang.
Namun demikian, memaksimalkan kepuasan masyarakat bukanlah tujan utama rumah
sakit. Rumah sakit berupaya meningkatkan kepuasan masyarakat, tetapi tidak berarti
semaksimal mungkin. Hal ini disebabkan peningkatan berarti pertambahan biaya.
Khususnya bagi rumah sakit, penerapan prinsip-prinsip pemasaran lebih berorientasi pada
perubahan perilaku calon-calon konsumen atau apa yang lebih dikenal dengan pemasaran
sosial. Seingkali yang dipasarkan dalam pemasaran sosial bukanlah barang atau jasa
melainkan ide atau informasi. Jadi pemasaran rumah sakit pada hakekatnya adalah
penyebarluasan informasi pengobatan yang menitik beratkan masyarakat calon-calon
konsumen tentang apa yang dapat diperbuat oleh rumah sakit bagi kesehatan mereka yang
mencari pengobatan.
2.2.4 Pelayanan Rumah Sakit
Menurut Bastian (2008:36), untuk menghasilkan suatu pelayanan kesehatan yang
berkarakter, pihak manajemen harus melaksanakan hal-hal sebagai berikut :
1. Terhadap karyawan: melaksanakan pendidikan dan pelatihan yang berhubungan engan
pembentukan karakter yang baik, terutama di bidan pelayanan pasien. Pihak manajemen
harus melakukan pengawasan terhadap perilaku karyawannya, sehingga hal-hal yang
tidak diinginkan langsung dapat diperbaiki.
2. Terhadap pasien: pasien mengetahui hak dan kewajibannya, sehingga ia tahu mana yang
merupakan haknya dan apa yang menjadi kewajibannya. Pihak manajemen harus
mencantumkam ataau memasang peraturan-peraturan tersebut, sehingga pasien mudah
membacanya.
3. Terhadap pihak manajmen sendiri: pihak manajemen harus membuka diri untuk
14
menerima saran dan kritikan dari karyawan serta dari pihak pasien. Pihak manajemen
harus dapat memenuhi hak dan kewajiban untuk mensejahterakan karyawannya,
sehinggga kualitas pelayanan dapat ditingkatkan. Pihak manajemen harus secara terus
menerus memperbaiki dan mengevaluasi setiap kebijakan yang dibuat sesiao dengan
prinsip “good governance”.
Organisasi-organisasi pelayanan kesehatan harus mempunyai komitmen untuk
memberikan layanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat yang mereka layani. Jadi,
organisasi pelayanan kesehatan harus dapat terus berjalan secara keuangan, efektif dalam
biara dan sensitif terhadap kebutuhan para pasiennya. Hubungan dengan pasien dipengaruhi
oleh sikap pekerja, pengumpulan informasi yang efektif, sistem pemrosesan, penjadwalan,
koordinasi dan komunikasi antar departemen. (Wolper, 2001).
2.3. Konsep Jasa
Jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata jasa itu sendiri
mempunyai banyak arti, dari mulai pelayanan personal (personal service) sampai jasa
sebagai suatu produk. Kotler (2000) mengemukakan bahwa jasa adalah tindakan atau kinerja
yang daoat ditawarkan oleh suatu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud
dan tidak menyebabkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa dapat terikat atau tidak terikat
pada suatu produk fisik.
Ahli manajemen yang lain, Zeithaml (1990), mengemukakan bahwa jasa pada dasarnya
adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik,
dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaaan, memberikan nilai tambah, dan secara
prinsip tidak berwujud bagi pembeli pertamanya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jasa merupakan suatu kegiatan
yang bersifat tidak berwujud fisik yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak
lainnya. Jasa juga memberikan berbagai manfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Selain itu,
interaksi antara pengguna dan penyedia jasa juga tidak melibatkan peralihan hak
kepemilikan.
Seringkali dikatakan bahwa jasa memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari
barang atau produk-produk manufaktur. Empat karakteristik yang paling sering dijumpai
dalam jasa dan pembeda dari barang pada umumnya adalah (Kotler, 2000):
1. Tidak berwujud (Intangible)
Hal ini menyebabkan pelanggan tidak dapat melihat, mencium, meraba, mendengar dan
merasakan hasilnya sebelum mereka membelinya. Untuk mengurangi ketidakpastian,
15
pelanggan akan mencari informasi tentang jasa tersebut, seperti lokasi perusahaan, para
penyedia dan penyalur jasa, peralatan dan alat komunikasi yang digunakan serta harga
produk jasa tersebut.
2. Tidak dapat dipisahkan (Inseparability)
Jasa tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu perusahaan atau orang yang
menghasilkannya. Jasa produksi dan dikonsumsi pada saaat bersamaan. Jika pelanggan
membeli suatu jasa maka ia akan berhadapan langsung dengan sumber atau penyedia
jasa tersebut sehingga penjualan jasa lebih diutamakan untuk penjualan langsung.
3. Bervariasi (Variability)
Jasa yang diberikan seringkali berubah-ubah tergantung dari siapa yang
menyediakannya, kapan dan dimana penyajian jasa tersebut disampaikan. Ini
mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas berdasarkan suatu standar.
4. Jasa tidak dapat disimpan atau mudah hilang sehingga tidak dapat dijual pada masa yang
akan datang. Keadaan mudah hilang ini bukanlah suatu masalah jika permintaannya
stabil karena mudah untuk melakukan perisapan sebelumnya. Namun jika permintaan
berfluktuasi, perusahaan akan menghadapi masalah yang sulit dalam melakukan
persiapan pelayanannya.
2.4 Kualitas Jasa
American Society for Quality Control dalam Kotler (2000) mendefinisikan kualitas
sebagai totalitas fitur dan karakteristik produk atau jasa yang bergantung pada
kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Definisi ini
berpusat pada pelanggan dimana penjual dikatakan telah mengantarkan kualitas ketika
produk atau jasa yang diberikan sama atau melebihi ekspektasi pelanggan. Sedangkan
kualitas jasa diartikan Wyckoff (1984) sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan
pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelangggan.
Dengan kata lain terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected
service dan perceived service.
Kotler (2000) mengatakan bahwa, “ kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan
dan berakhir pada persepsi pelanggan.” Hal ini berarti bahwa citra atau tingkat kualitas
bukan berdasarkan sudut pandang penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang
pengguna jasa atau pelanggan.
Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang
diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang
16
diterima melampaui ekspektasi pelanggan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai
kualitas yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima lebih rendah daripada yang
diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya
kualitas pelayaan tergantung kepada kemampuan kepada penyedia jasa dalam memenuhi
ekspektasi pelanggannya secara konsisten.
2.5 Kepuasan Pelanggan
Terdapat beberapa pengertian kepuasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar, di
antaranya yaitu:
1. Band (1991) mengatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan suatu tingkatan
dimana kebutuhan, keinginan, dan ekspektasi dari pelanggan dapat terpenuhi yang akan
mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut.
2. Kotler (2000) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaaan
seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang dirasakan dengan
ekspektasinya. Jadi, tingkat kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja yang
dirasakan dengan ekspektasi.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan pelanggan
merupakan kesesuaian yang dirasakan antara persepsi dan pelayanan yang diterima oleh
pelanggan. Jika pelayanan yang diterima melebihi persepsi pelanggan, maka ia akan
terdorong untuk melakukan pembelian ulang. Namun jika sebaliknya, pelanggan mungkin
tidak hanya tidak melakukan pembelian ulang namun juga cenderung menceritakan
pengalaman buruknya kepada orang lain. Secara konseptual kepuasan pelanggan dapat
dilihat pada Gambar 2.1
Tujuan PenelitianKebutuhan dan Keinginan
Pelanggan
PRODUK
Nilai Produk Bagi
Pelanggan
Harapan Pelanggan
Terhadap Produk
Tingkat Kepuasan Pelanggan
Gambar 2.1 Konsep Kepuasan Pelanggan
Sumber: Santoso dan Tjiptono (2001)
17
2.5.1 Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Ada beberapa metode yang bisa digunakan oleh setiap perusahaan untuk mengukur dan
memantau kepuasan pelanggannya. Menurut Kotler, et al. (2000) dalam buku Tjiptono &
Chandra (2011) empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan yaitu:
1. Sistem keluhan dan saran
Penyediaan kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi para pelanggan untuk
menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan. Misalnya penempatan kotak saran
di lokasi-lokasi strategis atau saluran telepon khusus bebas pulsa.
2. Ghost Shopping
Metode ini menyewa beberapa orang untuk berperan atau berpura-pura sebagai
pelanggan potensial produk perusahaan dan pesaing kemudian setelah itu mereka akan
melaporkan ke perusahaan yang menyewa mereka mengenai segala sesuatu yang telah
mereka amati.
3. Lost customer analysis
Perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah
pindah pemasok agar perusahaan dapat mengevaluasi dan mengambil kebijakan untuk
perbaikan atau penyempuranaan selanjutnya.
4. Survei kepuasan pelanggan
Sebagian besar riset kepuasan dilakukan dengan menggunakan metode suvei baik
melalui pos, telepon, maupun wawancara langsung. Melalui survei perusahaan akan
memperoleh tanggapan dari pelanggan tentang tingkat kualitas pelayanan yang
diberikan peruisahaan.
2.6 Model Service Quality
Dalam penelitian ini, model yang digunakan adalah model Service Quality
(SERVQUAL), model ini juga dikenal dengan istilah Gap Analysis Model. Model
dikembangkan oleh tiga peneliti Amerika, Zeithaml, A. Parasuraman, dan Berry, yaitu
sebagai berikut Tjiptono (1990:46):
1. Gap antara ekspektasi konsumen dan persepsi manajemen.
Pada persepsinya pihak manajemen suatu perusahaan jasa tidak selalu dapat merasakan
atau memahami apa yang diinginkan pelanggan secara tepat. Akibatnya manajemen
tidak mengetahui bagaimana suatu jasa harus didesain, Contohnya pengelola katering
mungkin mengira para pelanggannya lebih mengutamakan ketepatan waktu
18
pengantaran makanannya, padahal para pelanggan tersebut mungkin lebih
memperhatikan variasi menu yang disajikan.
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap ekspektasi konsumen dan spesifikasi kualitas
jasa.
Terkadang manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh
pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun suatu standar kinerja tertentu yang jelas. Hal
ini bisa karena tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap
kualitas jasa, kekurangan sumber daya atau karena adanya kelebihan permintaan.
Sebagai contoh, manajemen suatu bank meminta para staffnya agar memberikan
pelayanan secara cepat tanpa menentukan standar atau ukuran waktu pelayanan yang
dapat dikategorikan cepat.
3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa.
Ada beberapa penyebab terjadinya gap ini, misalnya karyawan yang kurang terlatih
(belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak dapat memnuhi batas
standar kinerja yang ditetapkan. Selain itu mungkin pula karyawan dihadapkan pada
standar-standar yang kadangkala bertentangan satu sama lain, misalnya para juru rawat
diharuskan meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluhan atau masalah pasien,
tetapi disisi lain mereka juga harus melayani para pasien dengan cepat.
4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal.
Seringkali ekspektasi pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang
dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dihadapi perusahaan adalah apabila janji yang
diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi. Misalnya brosur suatu lembaga pendidikan
menyatakan bahwa lembaganya merupakan yang terbaik; memiliki sarana kuliah;
praktikum dan perpustakaan lengkap; dan staf pengajar yang professional. Akan tetapi
saat pelanggan datang dan merasakan bahwa ternyata fasilitas praktikum dan
perpustakaan biasa-biasa saja (hanya memiliki beberapa ruang kuliah; jumlah computer
relative sedikit; judul dan eksemplar buku terbatas), maka sebenarnya komunikasi
eksternal yang dilakukan lembaga pendidikan tersebut telah mendistorsi ekspektasi
konsumen dan menyebabkan terjadinya persepsi (persepsi) negatif terhadap kualitas
jasa lembaga tersebut.
5. Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan.
Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja/prestasi perusahaan jasa dengan
cara yang berlainan, atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut.
Misalnya seseorang dokter bisa saja terus mengunjungi pasiennya untuk menunjukan
19
perhatiannya. Akan tetapi pasien dapat menginterpretasikannya sebagai suatu indikasi
bahwa ada yang tidak beres berkenaan dengan penyakit yang dideritanya.
Model Service Quality (Servqual) ini mendefinisikan bahwa kesenjangan atau gap untuk
faktor kualitas jasa atau pelayanan tertentu adalah:
G = P(Perception) – E(Expectation)
(2-1)
Kesenjangan yang bernilai negatif menunjukkan bahwa ekspektasi konsumen tidak
terpenuhi. Semakin besar kesenjangan, semakin lebar jurang pemisah antara keinginan
konsumen dan sesuatu yang mereka peroleh sebenarnya. Dengan model kesenjangan (Gap)
tersebut, diharapkan perusahaan jasa yang menggunakan model ini akan mampu
memperbaiki kekurangan dalam hal perbaikan kualitas pelayanan atau service quality.
Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran kualitas pelayanan pada Gap 5, yaitu
kesenjangan (Gap) antara jasa yang dirasakan dengan jasa yang diharapkan. Dalam model
penelitian ini terdapat 5 dimensi yaitu Bukti Langsung (Tangible), Keandalan (Reliability),
Daya Tanggap (Responsiveness), Jaminan (Assurance), dan Empati (Empathy). Gambar
model GAP kualitas jasa dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Model Kualitas Jasa Pelayanan
Sumber: Zeithaml, Valerie A., Parasuraman,A., Berry, Leonard L,. “Delivery Service Quality”
(1990;46)
20
Halaman ini sengaja dikosongkan