Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula...

34
II-1 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Karbon dioksida (CO 2 ) II.1.1. Karakteristik Gas CO 2 terdapat di atmosfer dalam jumlah kecil yaitu sekitar 370 ppmv. Dalam jumlah yang tidak besar ini, gas CO 2 memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan di bumi. Gas CO 2 merupakan gas yang tidak berbau dan tidak berwarna. Pada temperatur dan tekanan normal ( 1 atm, 25˚C ) CO 2 berada dalam fasa gas, sedangkan pada temperatur yang lebih rendah CO 2 akan berbentuk padatan. Apabila CO 2 dalam bentuk padat ini dipanaskan pada tekanan dibawah 5,1 bar, padatan tersebut akan menyublim menjadi uap. Pada temperatur di antara temperatur triple point (-56,5 ˚C) dan temperatur kritisnya ( 31,1 ˚C), gas CO 2 tersebut akan berubah dari fasa uap menjadi fasa liquid dengan diberi tekanan sebesar tekanan liquifaksinya dan melepaskan panas. Pada temperatur di atas 31,1˚C (pada kondisi tekanan di atas 73,9 bar yang merupakan tekanan pada titik kritis), CO 2 dikatakan berada pada kondisi superkritis dimana CO 2 tersebut akan berlaku sebagai gas walaupun pada tekanan yang sangat tinggi. Densitas dari gas tersebut akan sangat besar mencapai atau bahkan melampaui densitas dari air dalam fasa cair. Panas akan dilepas ataupun diserap setiap terjadi perubahan fasa dari padat- gas, padat-cair maupun cair-gas. Namun demikian pada kondisi superkritis, perubahan fasa menjadi cair atau menjadi gas tidak membutuhkan ataupun melepaskan panas. Tabel 2.1 merangkum beberapa karakteristik fisik yang penting dari CO 2 baik dalam fasa gas, cair maupun padat. Tabel 2.1. Karakteristik Fisik CO 2 Karakteristik Fisik Nilai Satuan Berat molekul 44.01 Temperatur kritis 31.1 °C Tekanan kritis 73.9 Bar Densitas kritis 467 kg m -3

Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula...

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-1

Bab II

Tinjauan Pustaka

II.1. Karbon dioksida (CO2)

II.1.1. Karakteristik

Gas CO2 terdapat di atmosfer dalam jumlah kecil yaitu sekitar 370 ppmv.

Dalam jumlah yang tidak besar ini, gas CO2 memainkan peran yang sangat penting

dalam kehidupan di bumi. Gas CO2 merupakan gas yang tidak berbau dan tidak

berwarna.

Pada temperatur dan tekanan normal ( 1 atm, 25˚C ) CO2 berada dalam fasa

gas, sedangkan pada temperatur yang lebih rendah CO2 akan berbentuk padatan.

Apabila CO2 dalam bentuk padat ini dipanaskan pada tekanan dibawah 5,1 bar,

padatan tersebut akan menyublim menjadi uap. Pada temperatur di antara temperatur

triple point (-56,5 ˚C) dan temperatur kritisnya ( 31,1 ˚C), gas CO2 tersebut akan

berubah dari fasa uap menjadi fasa liquid dengan diberi tekanan sebesar tekanan

liquifaksinya dan melepaskan panas.

Pada temperatur di atas 31,1˚C (pada kondisi tekanan di atas 73,9 bar yang

merupakan tekanan pada titik kritis), CO2 dikatakan berada pada kondisi superkritis

dimana CO2 tersebut akan berlaku sebagai gas walaupun pada tekanan yang sangat

tinggi. Densitas dari gas tersebut akan sangat besar mencapai atau bahkan melampaui

densitas dari air dalam fasa cair.

Panas akan dilepas ataupun diserap setiap terjadi perubahan fasa dari padat-

gas, padat-cair maupun cair-gas. Namun demikian pada kondisi superkritis, perubahan

fasa menjadi cair atau menjadi gas tidak membutuhkan ataupun melepaskan panas.

Tabel 2.1 merangkum beberapa karakteristik fisik yang penting dari CO2 baik dalam

fasa gas, cair maupun padat.

Tabel 2.1. Karakteristik Fisik CO2

Karakteristik Fisik Nilai Satuan

Berat molekul 44.01

Temperatur kritis 31.1 °C

Tekanan kritis 73.9 Bar

Densitas kritis 467 kg m-3

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-2

Karakteristik Fisik Nilai Satuan

Temperatur triple poin -56.5 °C

Tekanan triple poin 5.18 Bar

Titik didih (1,103 bar) -78.5 °C

Fasa Gas

Densitas gas (1.013 bar, titik didih) 2.814 kg m-3

Densitas gas (STP) 1.976 kg m-3

Volume spesifik (STP) 0.506 m3 kg-1

Cp (STP) 0.0364 kJ (mol-1 K-1)

Cv (STP) 0.0278 kJ (mol-1 K-1)

Cp/Cv (STP) 1.308

Viskositas (STP) 13.72 μN.s m-2 (or μPa.s)

Konduktivitas thermal (STP) 14.65 mW (m K-1)

Kelarutan di air (STP) 1.716 Vol vol-1

Enthalpy (STP) 21.34 kJ mol-1

Entropy (STP) 117.2 J mol K-1

Entropy pembentukan 213.8 213.8 J mol K-1

Fasa Cair

Tekanan uap( 20 °C) 58.5 Bar

Densitas cair ( -20 °C, 19.7 bar) 1032 kg m-3

Viskositas (STP) 99 μN.s m-2 (or μPa.s)

Fasa Padat

Densitas CO2 pada titik beku air 1562 kg m-3

Kalor laten penguapan (1.013 bar, titik

sublimasi) 571.1 kJ kg-1

Ket. : Kondisi STP (Standard Temperature and Pressure) : 0˚C dan 1,013 bar (1 atm) Sumber : IPCC Special Report on Carbon Dioxide Capture and Storage, 2000

Selain itu beberapa karakteristik kimia dari CO2 dapat dilihat pada Gambar-

gambar dibawah ini. Gambar 2.1 menunjukan diagram fasa dari CO2 pada kondisi

tekanan dan temperatur tertentu. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada

temperatur dan tekanan normal (25˚C dan 1 atm atau 1,013 bar) CO2 akan berada

dalam fasa gas. Sedangkan Gambar 2.2 menunjukan densitas dari CO2 pada

temperatur dan tekanan tertentu.

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-3

Sumber : IPCC Special Report on Carbon Dioxide Capture and Storage, 2000

Gambar 2.1. Diagram fasa CO2

Sumber : IPCC Special Report on Carbon Dioxide Capture and Storage, 2000

Gambar 2.2. Variasi densitas CO2 sebagai fungsi temperatur dan tekanan

II.1.1.1 Kelarutan CO2 di air

Kelarutan CO2 di air merupakan fungsi dari temperatur, tekanan dan salinitas.

Kelarutan CO2 di air murni akan meningkat seiring peningkatan tekanan dan

penurunan temperatur serta dapat diestimasikan berdasarkan hasil eksperimen. Di

dalam larutanya, CO2 membentuk asam karbonat yang tidak stabil. Selain itu

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-4

kelarutan CO2 di air juga akan menurun seiring meningkatnya salinitas dari air

tersebut. Kelarutan gas CO2 di air dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 2.3.

Sumber : IPCC Special Report on Carbon Dioxide Capture and Storage, 2000

Gambar 2.3. Kelarutan CO2 di air

Proses pelarutan CO2 di air melalui beberapa tahap mekanisme reaksi yang

melibatkan gas dan CO2 terlarut, asam karbonat (H2CO3), ion bikarbonat (HCO3−)

dan ion karbonat (CO32−). Sebagaimana diketahui, ketiga bentuk diatas dan termasuk

juga CO2 merupakan penyebab utama dari alkalinitas air. Alkalinitas sendiri dapat

didefinisikan sebagai kemampuan menetralkan asam. Tahapan reaksi dapat dilihat di

bawah ini:

(1a)

(1b)

(1c)

(1d)

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-5

Berdasarkan tahapan reaksi di atas jelas terlihat bahwa karbon dioksida dan

tiga bentuk terlarutnya merupakan bagian dari suatu sistem yang memiliki

kesetimbangan karena melibatkan ion HCO3-. Perubahan konsentrasi dari salah satu

komponen dari sistem tersebut akan menyebabkan pergeseran kesetimbangan,

merubah konsentrasi ion-ion yang lain dan akhirnya mengakibatkan perubahan pH.

Sebaliknya, perubahan pH dapat pula mempengaruhi kesetimbangan sistem tersebut.

Gambar 2.4 menunjukan hubungan antara karbon dioksida dan tiga bentuk

alkalinitas lainnya di air dengan alkalinitas total sebesar 1 mol dalam rentang pH 4 –

11.

Sumber : Lecture 4: Chemical Properties of Water MARI-5421, 2006

Gambar 2.4. Hubungan antara karbon dioksida dan tiga bentuk alkalinitas dalam

variasi nilai pH (Fraksi mol dari masing-masing komponen merupakan fraksi desimal

dari keseluruhan mol CO2 yang terlarut)

Penambahan CO2 ke air akan meningkatkan kelarutan dari gas CO2 tersebut.

CO2 yang terlarut bereaksi dengan air membentuk asam karbonat. Asam karbonat

akan terdisosiasi menjadi ion bikarbonat yang kemudian akan terdisosiasi lagi

menjadi ion karbonat. Hasil keseluruhan dari proses pelarutan gas CO2 anthropogenik

di air adalah untuk menyisihkan ion karbonat dan menghasilkan ion bikarbonat pada

pH yang rendah.

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-6

II.1.2. Karbon dioksida dan pemanasan global

Karbon dioksida adalah gas rumah kaca terpenting penyebab pemanasan global yang

sedang ditimbun di atmosfer karena kegiatan manusia. Sumbangan utama manusia

terhadap jumlah karbon dioksida dalam atmosfer berasal dari pembakaran bahan

bakar fosil, yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas bumi. Penggundulan hutan serta

perluasan wilayah pertanian juga meningkatkan jumlah karbon dioksida dalam

atmosfer.

Pengaruh masing-masing gas rumah kaca terhadap terjadinya efek rumah kaca

bergantung pada besarnya kadar gas rumah kaca di atmosfer, waktu tinggal di

atmosfer dan kemampuan penyerapan energi. Peningkatan kadar gas rumah kaca akan

meningkatkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan

global. Waktu tinggal gas rumah kaca di atmosfer juga mempengaruhi efektivitasnya

dalam menaikkan suhu. Makin panjang waktu tinggal gas di atmosfer, makin efektif

pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu.

Tabel 2.2. Waktu tinggal dan nilai GWP (Global Warming Potential) gas-gas rumah

kaca di atmosfer

Gas Rumah Kaca Waktu Tinggal di Atmosfer, (tahun) GWP (relatif)

Karbon dioksida (CO2) 50 – 200 1

Metana (CH4) 10 24

Ozon (O3) 0,1 2.000

Dinitrogen oksida (N2O) 150 206

CFC R-11 (CCl3F) 65 12.400

CFC R-12 (CCl2F2) 130 15.800

Sumber : Wibawa, Mario Indra: Inventori Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari Kegiatan

Operasional Pertambangan PT. Kaltim Prima Coal (KPC), 2006

Kemampuan gas-gas rumah kaca dalam penyerapan panas (sinar inframerah)

seiring dengan lamanya waktu tinggal di atmosfer dikenal sebagai GWP, Global

Warming Potential. GWP adalah suatu nilai relatif dimana karbon dioksida diberi

nilai 1 sebagai standar. Dengan kata lain, makin tinggi nilai GWP suatu zat tertentu,

makin efektif pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu.

Masalah perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global dari tahun ke

tahun semakin menunjukkan dampak negatif yang semakin meningkat. Sehubungan

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-7

dengan itu, United Nations Environment Program (UNEP) dan World Meteorological

Organization (WMO) mendirikan Intergovernmental Panel on Climate Change

(IPCC) pada tahun 1988. IPCC diberi mandat untuk mengkaji status pengetahuan

(knowledge) tentang sistem iklim dan perubahan iklim, dampak lingkungan, ekonomi

dan sosial dari perubahan iklim, dan strategi penanggulangan yang mungkin

dilakukan. IPCC yang terdiri dari pakar ini, menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

(First Assessment Report) pada tahun 1990 yang isinya lebih merupakan latar

belakang ilmiah dari perubahan iklim.

Berdasarkan laporan tersebut, diperoleh beberapa temuan yang terjadi sejak

tahun 1977 sebagai berikut :

1. Emisi gas rumah kaca (Green House Gases) yang disebabkan oleh kegiatan

manusia diperkirakan menyebabkan perubahan iklim yang cepat.

2. Pemodelan iklim memproyeksikan kenaikan temperatur global sekitar 1- 3.5 ºC

antara tahun 1977 sampai 2100.

3. Perubahan iklim sebesar itu dapat menimbulkan dampak yang serius pada

lingkungan global.

4. Masyarakat dunia akan menghadapi resiko dan tekanan baru.

5. Manusia dan ekosistem harus menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim

tersebut di masa yang akan datang.

6. Stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer akan memerlukan

upaya yang besar.

Pada tahun 1990, Konferensi Iklim Sedunia yang Kedua (The Second World

Climate Conference) yang dihadiri oleh 137 negara, Masyarakat Eropa dan berbagai

organisasi internasional, mengusulkan kerangka perjanjian mengenai perubahan

iklim. Deklarasi akhir yang disepakati mendukung sejumlah prinsip yang

dicantumkan dalam konvensi perubahan iklim (Climate Change Convention). Pada

bulan Desember 1990 Majelis Umum PBB menyetujui dibentuknya

Intergovernmental Negotiating Comittee for a Framework Convention on Climate

Change (INC/FCCC) yang telah mengadakan serangkaian pertemuan antara Februari

1991 dan Mei 1992 untuk menghasilkan konvensi perubahan iklim United Nations

Framework Convention on Climate Change yang akhirnya diadopsi di New York

pada tanggal 9 Mei 1992 dan ditandatangani oleh 154 negara (ditambah Uni Eropa)

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-8

beberapa minggu kemudian menjelang KTT Bumi (Earth Summit) pada bulan Juni

1992 di Rio de Janeiro.

Dalam pertemuan-pertemuan setelah KTT Rio, INC/FCCC membahas

komitmen, pengaturan mekanisme finansial, dukungan teknis dan finansial pada

negara berkembang serta masalah prosedur dan kelembagaan. Tugas INC diselesaikan

dalam pertemuannya yang ke-11 pada bulan Februari 1995. Otoritas konvensi

dilanjutkan oleh Conference of The Parties (COP), yang menyelenggarakan

pertemuan pertamanya di Berlin pada tanggal 28 Maret – 7 April 1995. COP

menyepakati perlunya komitmen baru untuk diterapkan setelah tahun 2000, dan

membentuk Ad-hoc Group on Berlin Mandate (AGBM) untuk merumuskan suatu

protokol atau sejenisnya untuk disepakati pada COP-3 pada bulan Desember 1997 di

Kyoto. Pada sidang di Kyoto tersebut, COP menyepakati yang disebut Protokol Kyoto

yaitu suatu kesepakatan yang mengharuskan negara-negara maju (Annex I) untuk

melaksanakan komitmennya dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

secara bersama-sama paling sedikit 5 % dari total emisi gabungan dunia tahun 1990

dalam perioda komitmen pertama, yaitu 2008 – 2012.

Emisi GRK yang diatur oleh Protokol Kyoto terdiri dari enam gas yaitu karbon

dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hydrofluoro-karbon (HFCs),

perfluoro karbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).

Protokol Kyoto menetapkan 3 mekanisme utama dalam implementasinya, yaitu :

1. Implementasi Bersama (Joint Implementation, JI);

2. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM); dan

3. Perdagangan emisi atau karbon.

Melalui UU No. 17 tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto Atas

Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim, maka

Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto dan Protokol Kyoto telah berbadan

hukum. Dengan demikian Indonesia secara resmi telah menyatakan komitmennya

untuk berkontribusi dalam mengimplementasikan Protokol Kyoto, yaitu mengurangi

emisi GRK di segala sektor kegiatan.

II.1.3. Sumber emisi karbon dioksida

Sumber utama emisi CO2 dari kegiatan manusia selama dua puluh tahun

terakhir ini adalah berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Sisanya berasal dari

perubahan tata guna lahan terutama kegiatan deforestasi. Beberapa proses industri

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-9

seperti pengilangan minyak bumi serta industri semen, kapur dan besi baja juga

merupakan sumber emisi CO2 yang cukup signifikan.

Secara global, emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar pada tahun 2000

mencapai total 23,5 Gton CO2/tahun. Dari nilai ini, hampir 60%nya berasal dari

sumber emisi stasioner. Namun demikian, tidak semua sumber emisi CO2 ini dapat

ditangkap untuk kemudian diolah lebih lanjut. Tabel 2.3 menunjukan kontribusi

sektor industri sebagai sumber emisi CO2 dalam skala global.

Tabel 2.3. Sumber emisi CO2 skala global dengan emisi melebihi 0,1 Mton CO2/tahun

berdasarkan proses dan aktivitas industri

Sumber : IPCC Special Report on Carbon Dioxide Capture and Storage, 2000

Saat ini, sebagian besar sumber emisi mengemisikan CO2 dengan konsentrasi

kurang dari 15% (pada beberapa kasus bahkan lebih kecil). Namun demikian pada

sebagian kecil industri berbahan bakar fosil (kurang dari 2%) mengemisikan CO2

dengan konsentrasi mencapai 95%. Sumber emisi dengan konsentrasi tinggi ini

merupakan potensi untuk diterapkannya konsep Carbon Capture and Storage (CCS)

yang merupakan suatu upaya untuk mereduksi emisi CO2 ke atmosfer akibat aktivitas

manusia. CCS ini terbagi tiga tahapan, pertama yaitu mengumpulkan emisi CO2 dari

suatu sumber emisi spesifik baik dari industri maupun pembangkit listrik. Setelah

dikumpulkan melalui suatu teknik tertentu, emisi CO2 tersebut kemudian dibawa ke

lokasi penimbunan ataupun pengolahan yang memenuhi persyaratan untuk kemudian

Proses Jumlah sumber Emisi (Mton CO2/thn)

Bahan bakar fosil

Pembangkit tenaga listrik 4,942 10,539

Industri semen 1,175 932

Kilang minyak 638 798

Industri besi dan baja 269 646

Industri Petrokimia 470 379

Proses pengolahan minyak dan gas N/A 50

Sumber lain 90 33

Biomassa

Bioethanol dan bioenergi 303 91

Total 7,887 13,466

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-10

diolah untuk mencegah terlepasnya CO2 tersebut ke atmosfer untuk jangka waktu

yang lama. Beberapa teknologi yang dapat diterapkan atau masih dalam tahap

pengkajian dalam skema CCS dirangkum dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Komponen sistem CCS (Carbon Capture and Storage)

Komponen CCS Teknologi CCS

Capture Post-combustion

Pre-combustion

Oxyfuel combustion

Industrial separation (natural gas processing,

amonia production)

Transportasi Perpipaan

Pengangkutan dengan kapal

Geological storage Enhanced Oil Recovery (EOR)

Gas or oil fields

Saline formations

Enhanced Coal Bed Methane recovery (ECBM)

Ocean storage Injeksi langsung (dissolution type)

Injeksi langsung (lake type)

Karbonatasi mineral Mineral Silikat alam

Material limbah

Pemanfaatan CO2 di sektor industri

Sumber : IPCC Special Report on Carbon Dioxide Capture and Storage, 2000

Seperti yang sudah disebutkan di atas, industri-industri yang sangat berpotensi

untuk menerapkan konsep CCS adalah industri yang mengemisikan CO2 dengan

konsentrasi cukup besar karena dengan konsentrasinya yang cukup besar, dalam tahap

pengumpulan emisi CO2, hanya diperlukan proses dehidrasi dan kompresi saja. Emisi

CO2 dengan konsentrasi cukup besar ini biasanya berasal dari proses pemisahan gas

CO2 dari flue gas menggunakan suatu teknologi yang dikenal dengan istilah CO2

removal. Industri-industri yang biasanya menerapkan proses CO2 removal ini antara

lain industri pupuk, industri semen dan industri pengolahan gas alam. Berikut di

bawah ini penjelasan singkat mengenai proses CO2 removal serta penerapan pada

proses pengolahan gas alam.

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-11

II.1.3.1 CO2 removal

Gas alam mengandung CO2 dengan konsentrasi yang bervariasi dimana variasi

konsentrasi tersebut dipengaruhi oleh sumber dari gas alam. Gas CO2 ini harus

disisihkan dari gas alam tersebut. Dalam sistem perpipaan, konsentrasi CO2 tidak

boleh melebihi 2% untuk mencegah terjadinya korosi pada pipa. Selain untuk

mencegah korosi, penyisihan gas CO2 tersebut juga dilakukan dengan tujuan untuk

menghemat energi yang dibutuhkan untuk transport serta untuk meningkatkan heating

value dari gas alam tersebut. Standar yang dapat diterima sampai saat ini, konsentrasi

gas CO2 di gas alam yang sudah melewati pengolahan awal harus sekitar 4% volume.

Oleh karena itu, dalam pengolahan awal gas alam, terdapat suatu proses penyisihan

gas CO2. Proses penyisihan ini terjadi pada suatu unit CO2 removal. CO2 tersebut

selama ini kemudian dilepaskan ke atmosfer.

Sumber : UOP LLC., 2000

Gambar 2.5. Skematik proses penyisihan gas CO2 dengan unit CO2 removal

menggunakan absorber senyawa amine

Pada unit CO2 removal, CO2 yang terdapat pada flue gas disisihkan dengan

menggunakan suatu pelarut/absorber Methylethylamine (MEA). Ketika terjadi kontak

antara flue gas dengan MEA tersebut, gas CO2 akan bereaksi dengan amine. Setelah

terjadi proses penyisian CO2, tahap selanjutnya adalah proses regenerasi MEA dengan

cara pemanasan. Ketika terjadi proses pemanasan tersebut, gas CO2 dengan tingkat

kemurnian yang cukup tinggi akan terlepas dari senyawa amine (MEA). Senyawa

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-12

amine yang sudah terbebas dari gas CO2 kemudian digunakan kembali dalam proses

penyisihan gas CO2 dari flue gas.

Tingkat kemurnian serta nilai tekanan dari gas CO2 yang dapat di-recovery

dari proses absorpsi dengan menggunakan senyawa amine berdasarkan literatur

adalah (Sander and Mariz, 1992):

Kemurnian gas CO2 : 99,9% volume (kondisi jenuh)

Tekanan : 50 kPa (gauge)

Dalam proses penyisihan gas CO2 tersebut, sering ditemui gas asam lainnya seperti

SOx, NO2 dan H2S yang juga ikut terabsorpsi dalam larutan.

II.2. Karbonatasi Mineral

Salah satu cara mengolah emisi CO2 adalah dengan melakukan proses

karbonatasi mineral. Pada proses karbonatasi mineral, CO2 akan dirubah ke dalam

bentuk padatan karbonat inorganik melalui suatu proses kimia. Senyawa alkali dan

oksida alkali alam seperti magnesium oksida (MgO) dan kalsium oksida (CaO)

terdapat dalam jumlah yang besar dengan konsentrasi yang tinggi pada batuan silikat

seperti serpentine dan olivine. Total jumlah oksida metal yang dapat diperoleh dari

seluruh batuan silikat yang bisa ditemukan di bumi ini akan cukup untuk mengikat

seluruh CO2 yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar atau pemanfaatan

bahan bakar lainnya (Lackner et al, 1997b).

Ketika CO2 bereaksi dengan oksida logam (disimbolkan disini sebagai MO,

dimana M adalah unsur logam bivalent seperti kalsium, magnesium atau besi),

senyawa karbonat dari unsur logam tersebut akan terbentuk dan akan terjadi proses

pelepasan panas sesuai dengan reaksi yang terjadi.

MO + CO2 MCO3 + panas (2)

Besarnya panas yang dilepaskan bergantung kepada jenis logam serta materi

pembawa oksida logam tersebut. Pada umumnya, sebagian besar fraksi panas yang

dilepaskan pada proses pembakaran awal akan membentuk CO2 (393,8 kJ / mol CO2

untuk pembakaran dari senyawa karbon elemental). Pada kasus sebagian kecil batuan

silikat alam, reaksi yang terjadi bersifat eksoterm (untuk nilai kalor pada reaksi di

bawah ini diberikan dalam satuan per mol CO2 pada kondisi standar 25˚C dan 0,1

MPa).

Olivine:

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-13

Mg2SiO4 + 2 CO2 2 MgCO3 + SiO2 + 89 kJ/ mol CO2 (3a)

Serpentine:

Mg3Si2O5(OH)4 + 3 CO2 3 MgCO3 + 2 SiO2 + 2 H2O + 64 kJ/ mol CO2 (3b)

Wollastonite:

CaSiO3 + CO2 CaCO3 + SiO2 + 90 kJ/ mol CO2 (3c)

Karena reaksi karbonatasi mineral ini melepaskan panas, reaksi pembentukan

karbonat secara termodinamik akan terjadi pada temperatur yang rendah, hal itu juga

dikarenakan pada temperatur yang tinggi (diatas 900˚C untuk kalsium karbonat dan

diatas 300˚C untuk magnesium karbonat) reaksi kebalikannya yaitu reaksi kalsinasi

akan terjadi. Senyawa olivine pada reaksi (3a) diatas adalah forsterite, suatu senyawa

yang tidak mengandung besi. Di alam, kebanyakan olivine mengandung besi dalam

bentuk oksida besi atau siderite (FeCO3).

Bahkan dalam kondisi tekanan parsial yang rendah dari CO2 yang terdapat di

atmosfer dan temperatur ambien, karbonatasi dari materi pembawa oksida logam

tersebut terjadi secara spontan, dalam periode waktu geologis. Proses ini akan

terbatasi ketika terbentuknya lapisan silika atau lapisan karbonat di permukaan

mineral tersebut akibat proses karbonatasi yang terjadi sehingga menghambat terjadi

proses karbonatasi selanjutnya. Selain itu, hal tersebut juga untuk mencegah

perubahan komposisi dari mineral tersebut lebih lanjut.

II.2.1 Alternatif proses karbonatasi mineral

Berdasarkan tahapan terjadinya reaksi, proses karbonatasi mineral secara

umum terbagi atas dua jenis yaitu karbonatasi langsung dan karbonatasi tidak

langsung. Berikut dibawah penjelasan dari masing-masing jenis proses tersebut serta

alternatif-alternatif mekanismenya.

II.2.1.1 Karbonatasi langsung

Karbonatasi langsung dapat terjadi dalam dua mekanisme, yang pertama

adalah rekasi antara gas dan padatan secara langsung (direct gas-solid carbonation)

dan yang kedua adalah reaksi dalam bentuk larutannya (aqueous solution).

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-14

Direct gas-solid carbonation dengan gas CO2

Proses karbonatasi mineral yang langsung mereaksikan antara senyawa alkali dengan

gas CO2 adalah reaksi direct gas-solid carbonation. Mekanisme ini pertama kali

dipelajari oleh Lackner (Lackner et al, 1997). Berbagai variasi reaksi dapat mungkin

terjadi bergantung kepada jenis bahan baku yang digunakan. Sebagai contoh, reaksi

direct gas-solid carbonation dari olivine adalah sebagai berikut :

(4)

CO2 dengan tekanan yang cukup tinggi dibutuhkan agar reaksi ini dapat

terjadi. Kecepatan reaksi dari proses ini dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan

CO2 dalam kondisi superkritis. Air terpoduksi akan terlarut dalam CO2 superkritis

tersebut. Reaksi direct gas-solid carbonation dari serpentine adalah sebagai berikut :

(5)

Aqueous solution

Dari proses pengapuran batuan di alam diketahui bahwa keberadaan air dapat

meningkatkan kecepatan reaksi karbonatasi. Proses karbonatasi dalam skema larutan

ini dikembangkan berdasarkan prinsip dari pembentukan asam karbonik, dimana CO2

bereaksi pada tekanan tinggi dalam suspensi terlarut dari forsterite dan serpentine.

Pertama kali CO2 akan terlarut dalam air dan terdisosiasi menjadi bikarbonat dan H+

mengakibatkan pH air akan turun menjadi 5 sampai 5,5 untuk CO2 dengan tekanan

tinggi :

(6a)

Lalu kemudian Mg2+ akan terlepas dari mineral pembawanya akibat keberadaan ion

H+ :

(6b)

Pada akhirnya, ion Mg2+ akan bereaksi dengan bikarbonat dan akan mengendap

sebagai magnesite :

(6c)

Campuran dari garam dan senyawa bikarbonat (NaHCO3/NaCl) dapat

digunakan untuk mempercepat reaksi. Sodium bikarbonat akan meningkatkan

konsesntrasi HCO3- dan peningkatan konsentrasi ini akan mempercepat proses

karbonatasi. Peningkatan kelarutan CO2 dari 0,5-1 g/l di air distilasi menjadi 20 g/l di

larutan NaHCO3/NaCl sudah dilaporkan dalam Fauth et al, 2000. Reaksi dapat terjadi

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-15

pada tekanan yang rendah. Dengan menggunakan 1M NaCl dan 0.5-0.64 NaHCO3

serta 15% kandungan solid dalam larutan. Larutan ini akan berada dalam kisaran pH

7,7 sampai 8. Pada pH ini, reaksi akan termodifikasi menjadi :

(7a)

Bikarbonat akan terbentuk sebagai hasil reaksi dari ion hidroksil dengan gas CO2 :

(7b)

Lalu konsentrasi HCO3- dan pH akan relatif konstan dan NaHCO3 tidak akan bereaksi

dalam proses ini.

Alternatif lainnya, reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut :

(8a)

(8b)

II.2.1.2 Karbonatasi tidak langsung

Dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan reaksi, tahapan

reaksi dapat dilakukan dengan melakukan terlebih dahulu ekstraksi dari unsur reaktif

yang terdapat di matriks mineral yang digunakan. Senyawa reaktif tersebut relatif

dapat dengan mudah terkarbonatasi dalam beberapa tahapan reaksi terpisah. Beberapa

mekasisme karbonatasi mineral tidak langsung dengan menggunakan berbagai jenis

mineral sudah direkomendasikan.

Ekstraksi dengan HCl

Untuk mengekstraksi magnesium dari matriks mineral yang akan digunakan,

asam hidroklorid (HCl) dapat digunakan. Sebagai contoh tahapan reaksi dengan

menggunakan serpentine sebagai bahan baku adalah sebagai berikut:

Pertama kali, magnesium di ekstraksi dari mineral pembawanya dengan

menggunakan HCl. Penggunaan HCl akan menghasilkan larutan yang bersifat asam

dimana magnesium akan terlarut sebagai MgCl2.H2O.

(9a)

HCl dapat di-recovery dengan cara memanaskan larutan dari temperatur 100˚C

menjadi 255˚C. Selama peningkatan temperatur ini, MgCl2.6H2O pertama-tama akan

kehilangan molekul air yang terikat, menghasilkan MgCl2.H2O dan pada akhirnya

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-16

HCl akan terpisah setelah seluruh molekul air terlepas. Secara keseluruhan reaksi

tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :

(9b)

MgCl(OH) akan berubah bentuk menjadi magnesium hidroksida ketika air kembali

direaksikan.

(9c)

Pada akhirnya Mg(OH)2 akan terkarbonatasi :

(9d)

Proses Molten Salt

Penggunaan molten salt (MgCl2.3,5H2O) sebagai alternatif senyawa

pengekstraksi bertujuan untuk meminimalkan konsumsi energi. Garam ini akan

terdaur ulang di dalam prosesnya sendiri. Terdapat dua pilihan mekanisme, yang

pertama Mg(OH)2 dihasilkan dan terkarbonatasi secara terpisah, sedangkan

mekanisme lain kedua proses tersebut terintegrasi.

Mekanisme 1: MgCl2.3,5H2O digunakan sebagai pelarut untuk memperoleh Mg(OH)2

Pertama kali serpentine dilarutkan ke dalam molten salt pada temperatur 200˚C

(10a)

Kemudian silika akan mengendap pada temperatur 150˚C, air ditambahkan dan

Mg(OH)2 akan mengendap :

(10b)

Sebagian MgCl2 akan di dehidrasi dengan tujuan untuk memperoleh kembali pelarut

yang digunakan (T± 110-250˚C)

(10c)

Magnesium hidroksida kemudian dipisahkan untuk kemudian dikarbonatasi:

(10d)

Mekanisme 2: Proses karbonatasi terjadi secara langsung pada senyawa

MgCl2.3,5H2O(l). Keseluruhan reaksi dapat dituliskan sebagai berikut :

(10e)

Tekanan CO2 berkisar 30 bar.

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-17

Ekstraksi kalsium hidroksida dari batuan silikat kaya kalsium

Prinsip yang sama dari proses ekstraksi HCl dapat diterapkan dengan CaSiO3

sebagai bahan baku. Pertama, kalsium diekstraksi dari batuan wollastonite dan

membentuk CaCl2.

(11a)

CaCl2 dirubah menjadi bentuk Ca(OH)2 dengan mengendapkan Ca(OH)2 yang

kelarutanya lebih rendah dibandingkan CaCl2 dan HCl dipisahkan dengan cara

memanaskan larutan.

(11b)

Kemudian padatan kalsium hidroksida dikarbonatasi :

(11c)

Karbonatasi wollatonite menggunakan asam asetat

Penggunaan asam asetat adalah alternatif lain dalam penggunaan asam sebagai

agen pengekstraksi. Keuntungan penggunaan asam asetat dibandingkan dengan HCl

adalah konsumsi energi yang lebih kecil dalam prosesnya. Pertama kali wollastonite

direaksikan dengan asam asetat.

(12a)

Kemudian kalsium mengalami karbonatasi dan asam asetat akan diperoleh kembali

dalam proses karbonatasi tersebut :

(12b)

Pemanfaatan dua jenis senyawa alkali

Pemanfaatan dua jenis senyawa alkali ini didasarkan pada proses Solvey

dimana pada proses tersebut sodium karbonat diproduksi dari sodium klorida

menggunakan amonia sebagai katalis. Prosesnya sendiri adalah sebagai berikut:

(13a)

Amonia diperoleh kembali melalui reaksi:

(13b)

Secara keseluruhan, prosesnya adalah :

(13c)

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-18

Tahap terakhir, senyawa bikarbonat dapat dirubah menjadi senyawa karbonat.

(13d)

Terdapat dua alasan mengapa proses Solvey ini tidak efektif sebagai alternatif

proses karbonatasi CO2. Pertama adalah kebutuhan energi yang cukup besar. Yang

kedua adalah kenyataan bahwa satu mol CO2 akan dihasilkan dalam upaya mengolah

setiap dua mol CO2 karena Ca(OH)2 digunakan untuk mendaur ulang amonia.

Kalsium hidroksida ini diperoleh dari proses kalsinasi batu kapur :

(14a)

(14b)

Secara keseluruhan, proses yang paling menjanjikan dalam mekanisme

karbonatasi mineral ini adalah mekanisme karbonatasi langsung dalam bentuk larutan.

Dalam mekanisme ini, proses pelarutan dan karbonatasi terjadi dalam satu proses

yang sama. Mekanisme ini dapat menghasilkan kecepatan reaksi yang dapat diterima

sebagai upaya pengolahan emisi CO2 (Lackner et al, 1997). Kekurangan dari proses

ini adalah minimnya potensi pemanfaatan panas yang dihasilkan dalam reaksi

karbonatasi tersebut serta kemungkinan dibutuhkanya senyawa kimia tambahan.

Proses karbonatasi tidak langsung dengan menggunakan asam sebagai agen

pengekstraksi juga tampak menjanjikan dan diperlukan pengkajian lebih lanjut

mengenainya (Lackner et al, 1997).

II.2.2 Karbonatasi mineral dengan memanfaatkan limbah alkali

Sudah banyak penelitian yang dilakukan mengenai pemanfaatan batuan silikat

sebagai mineral pengikat CO2. Beberapa jenis limbah industri, ternyata juga dapat

dimanfaatkan dalam proses ini. Dalam prosesnya, limbah industri tersebut tidak

membutuhkan pengolahan awal terlebih dahulu. Sebagai tambahan, beberapa

keuntungan dapat diperoleh dengan pemanfaatan limbah industri jika dibandingkan

dengan karbonatasi mineral CO2 memanfaatkan sumber mineral lainnya. Limbah

industri dapat menjadi sumber mineral magnesium dan kalsium yang tersedia dengan

harga murah sehingga cukup ekonomis, selain itu setelah melewati proses karbonatasi

mineral, dampak lingkungan dari limbah industri tersebut akan berkurang karena

terjadi proses netralisasi pH dan transformasi mineral dari limbah tersebut.

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-19

Keuntu ngan lain dari proses karbonatasi mineral menggunakan bahan baku

limbah industri selain dapat menanggulangi sejumlah emisi CO2 serta stabilisasi dari

limbah industri itu sendiri adalah proses solidifikasi yang terjadi secara cepat lewat

proses karbonatasi dapat mengikat dan memerangkap logam berbahaya, dan untuk itu

tidak dibutuhkan mineral hasil tambang. Selain itu material limbah alkali berdasarkan

beberapa hasil penelitian menunjukan reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan

mineral silikat alam (Huijgen et al., 2004). Keuntungan utama dari seluruh proses

karbonatasi mineral adalah pembentukan mineral karbonat seperti calcite (CaCO3)

dan magnesite (MgCO3) sebagai produk akhir yang diketahui bersifat stabil melebihi

skala waktu geologis sehingga akan aman dalam penimbunanya, selain itu produk

akhir tersebut dapat pula dimanfaatkan sebagai material konstruksi.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa dua jenis unsur logam

yang utama dalam proses karbonatasi mineral adalah kalsium dan magnesium.

Kandungan dari kedua jenis logam ini pada suatu limbah industri yang akan menjadi

dasar pertimbangan penilaian apakah limbah tersebut dapat dimanfaatkan dalam

proses karbonatasi mineral. Beberapa jenis limbah industri sudah pernah dilakukan

penelitian sebelumnya untuk menilai potensi dari limbah tersebut untuk dimanfaatkan

dalam proses karbonatasi. Penelitian mengenai pemanfaatan debu kiln dari industri

semen sebagai bahan baku proses karbonatasi sudah pernah dilakukan oleh Deborah

N. Huntzinger pada tahun 2006. Penelitian lain yang dilakukan dalam memanfaatkan

limbah industri sebagai bahan baku proses karbonatasi mineral juga dilakukan oleh

Sebastian Tier pada tahun yang sama dengan memanfaatkan limbah slag industri

semen. Beberapa jenis limbah lain yang juga cukup berpotensi untuk dimanfaatkan

dalam proses karbonatasi antara lain limbah insinerator dan slaked lime yang

merupakan hasil sampingan dari proses pembuatan gas asetilen. Pembahasan di

bawah ini akan difokuskan pada pemanfaatan slaked lime (carbide lime) dalam proses

karbonatasi mineral.

II.2.2.1 Karbonatasi mineral dengan Slaked Lime (Carbide Lime)

Slaked lime (carbide lime) adalah limbah yang dihasilkan dari proses

pembuatan gas asetilen. Dalam proses pembuatan gas asetilen, kalsium karbid

dimasukan ke dalam tangki yang mengandung air. Ketika kalsium karbid tersebut

menyentuh permukaan air, maka akan terjadi reaksi spontan antara kalsium karbid

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-20

dengan air. Gas asetilen yang dihasilkan akan dialirkan ke luar melalui bagian atas

tangki sementara kalsium hidroksida dan hasil sampingan lain yang bergantung

kepada kemurnian dari kalsium karbid itu sendiri akan mengendap di dasar tangki.

Rekasi kimianya sendiri dapat dituliskan sebagai berikut:

CaC2(s) + 2 H2O(l) → C2H2(g)+ Ca(OH)2(s/l) (15)

Struktur kimia dari Gas Asetilen itu sendiri dapat dilihat pada Gambar 2.6

Sumber : www.andromeda.rutgers.edu

Gambar 2.6. Struktur kimia gas Asetilen

Pemanfaatan gas asetilen ini, sebagian besar (80%) untuk sintesa senyawa

kimia. Sisanya sekitar 20% dimanfaatkan untuk pengelasan pemotongan besi baja

yang dikenal dengan istilah las karbid. Pemanfaatan gas asetilen untuk proses

pengelasan dikarenakan temperatur yang sangat tinggi dari pijaran api yang dihasilkan

ketika gas asetilen bereaksi dengan oksigen (mencapai 3300 ˚C). Selain itu

pemanfaatan lainnya dari gas asetilen adalah untuk proses karburisasi (pengerasan)

baja. Gas asetilen juga dapat digunakan untuk menguapkan karbon dalam proses

penanggalan radiokarbon. Sampel arkeologis sebagai material mengandung karbon

direaksikan dengan pembakar lithium khusus dan membentuk lithium karbid.

Kemudian karbid tersebut direaksikan dengan air, gas asetilen yang dihasilkan

kemudian dimasukan ke dalam spektrometer massa untuk mengetahui rasio antara

karbon 14 dengan karbon 12.

Kalsium karbid sendiri diproduksi dalam skala industri melalui proses electric

arc furnace dengan bahan baku utamanya adalah kapur dan karbon (coke) pada

temperatur 2000˚C. Metode ini tidak berubah sejak proses ini ditemukan pada tahun

1888. Proses pembentukan kalsium karbid dapat dilihat pada reaksi (16).

CaO + 3C→CaC2 + CO (16)

Page 21: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-21

Proses sintesa kalsium karbid membutuhkan temperatur yang sangat tinggi

(±2000˚C) dimana temperatur tersebut tidak akan dapat dicapai lewat proses

pembakaran tradisional, sehingga reaksi tersebut dilakukan di electric arc furnace

dengan elektroda grafit. Karbid yang diproduksi mengandung sekitar 80% kalsium

karbid (% berat). Kalsium karbid tersebut kemudian dihancurkan hingga ukuran

<50mm. Zat-zat pengotor akan terkonsentrasi pada ukuran yang lebih kecil. Bentuk

fisik dari kalsium karbid dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 2.7.

Sumber : www.magnalium.com

Gambar 2.7. Kalsium karbid

Kalsium hidroksida yang dihasilkan pada reaksi (15) akan mengandung

kemurnian yang bergantung dari kemurnian kalsium karbidnya sendiri. Kalsium

hiroksida itu akan dipisahkan untuk kemudian dibuang sebagai limbah kalsium

dengan nilai ekonomi yang rendah. Kalsium hidroksida yang dihasilkan dari proses

pembuatan gas asetilen ini biasa dikenal dengan istilah kapur karbid terhidrasi

(hydrated carbide lime/ slaked lime/ carbide lime). Dalam proses pembuatan gas

asetilen saat ini, pembuangan dari hydrated carbide lime yang biasanya akan

dihasilkan dalam massa yang lebih besar dibandingkan massa kalsium karbid

penghasilnya, menjadi lebih sulit untuk dilakukan dikarenakan peraturan lingkungan

hidup yang ada. Pemanfaatan yang paling umum dari limbah ini adalah untuk

menetralisasi limbah industri sebagai pH kontrol pada proses pengolahan air limbah.

Beberapa alternatif lain pemanfaatan limbah ini yang direkomendasikan antara lain

untuk proses dehalogenasi, ekstraksi metalurgi, gas scrubbing, desulphurisasi,

Page 22: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-22

manufaktur gas dan sebagai aditif ataupun reagen dalam pembuatan kalsium

hipoklorit dan kalsium magnesium asetat.

Sumber : www.bbc.co.uk

Gambar 2.8. Kalsium hidroksida

Sekarang ini banyak terdapat produk senyawa kimia yang mengandung

kalsium di pasaran. Kebanyakan dari produk senyawa kalsium tersebut dalam bentuk

garam kalsium baik yang organik maupun yang anorganik. Dalam pembuatan garam

kalsium tersebut, sumber kalsium tidak diperoleh dari limbah pembuatan gas asetilen.

Hal ini dikarenakan ketidakmurnian yang dapat cukup besar dari hydrated carbide

lime yang dapat disebabkan oleh keberadaan logam, slag, mineral dan karbon yang

berasal dari batu bara, coke dan batu kapur yang digunakan dalam proses pembuatan

kalsium karbid. Ketidakmurnian ini mengakibatkan hydrated carbide lime tidak dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan senyawa kalsium yang

membutuhkan kemurnian kalsium yang tinggi. Kandungan kalsium hidroksida pada

hydrated carbide lime dapat sangat bervariasi antara kisaran 70-95% serta kalsium

karbonat sekitar 5-25% berat kering (United States Patent 20040225050, 2004). Pada

Tabel 2.5 diperlihatkan perbandingan komposisi dari hydrated carbide lime dari dua

sumber yang berbeda.

Page 23: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-23

Tabel 2.5. Komposisi carbide lime (% berat basah)

Komposisi Carbide lime (% berat kering)

Parameter

Sumber

a b

Ca(OH)2 80.5 92.5

CaCO3 - 1.8

SiO2 3.4 1.5

Al2 O3 1.9 1.6

Fe2 O3 0.2

Na2 O 0.7 -

P2 O5 0.7 -

Mineral lain 1 -

Karbon (sebagai coke) 3.6 -

Moisture 8 -

TOTAL 100 97.4

Sumber : a) United States Patent 5997833 b) International Industrial Gas Ltd.

Walaupun carbide lime memiliki rentang kemurnian yang cukup besar, namun

dengan komposisi utamanya yang terdiri dari senyawa kalsium membuat limbah

carbide lime ini memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai

bahan baku dalam proses karbonatasi mineral emisi CO2. Terdapat dua pilihan

mekanisme dalam proses karbonatasi mineral ini, pertama adalah proses karbonatasi

mineral dilakukan dalam fasa padat/slurry yang berarti carbide lime tidak dilarutkan

terlebih dahulu. Sedangkan pilihan yang kedua adalah proses karbonatasi mineral

dilakukan dalam bentuk larutan dari carbide lime tersebut. Terdapat beberapa hal

yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode karbonatasi mineral ini, yang

pertama apabila dilakukan dalam fasa padat/slurry, tidak dibutuhkan persiapan awal

dari carbide lime sebelum direaksikan dengan CO2.

Namun ada kekurangan dari proses ini, apabila proses karbonatasi dilakukan

dalam fasa padatan, maka kemungkinan tidak akan seluruh kalsium hidroksida yang

terdapat di carbide lime tersebut akan terkarbonatasi. Hal ini dikarenakan proses

karbonatasi pertama kali akan terjadi di area permukaan molekul kalsium hidroksida,

dan ketika seluruh permukaan molekul tersebut sudah tertutup, maka proses

Page 24: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-24

karbonatasi akan terhambat karena gas CO2 akan sulit untuk berdifusi kedalam

molekul tersebut. Hal tersebut dapat diminimalkan apabila proses karbonatasi

dilakukan dalam fasa larutan.

Ketika dilakukan proses pelarutan, maka kalsium hidroksida yang terdapat di

carbide lime akan terlarut sampai batas tertentu. Namun demikian proses ini juga

memiliki kekurangan yaitu kemungkinan terlarutnya unsur-unsur logam lain yang

terdapat di carbide lime tersebut.

Dalam proses karbonatasi mineral pada fasa larutan, tahapan pertama yang

dilakukan adalah melarutkan carbide lime tersebut dengan air distilasi. Ketika

dilakukan proses pelarutan dengan air, kita harus mempertimbangkan konstanta

kelarutan dari masing-masing unsur yang terdapat di carbide lime tersebut untuk

dapat memperkirakan unsur mana yang akan terlarut dan unsur mana yang tidak atau

hanya sedikit terlarut. Konstanta kelarutan dari masing-masing komponen seperti

yang terlihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Konstanta kelarutan (Ksp), molaritas dan kelarutan dari beberapa senyawa

dalam air pada temperatur 25˚C

Senyawa Ksp a) S (M) a) Kelarutan (g/L) MgCO3 4x10-5 6,324 x 10-3 0,2 b) d)

Mg(OH)2 9x10-12 1,31 x 10-4 tidak larut b)

CaO 1,31 b) e)

CaCO3 5x10-9 7,07 x 10-5 0,013 b)

Ca(OH)2 8x10-6 1,26 x 10-2 1,57 b)

SiO2 0,12 c) Al2O3 tidak larut c) Fe2O3 Na2O (sebagai NaOH) 1110 c)

P2O5 hidrolisis eksotermis c)

CaSO4 2x10-5 4,47 x 10-3 1,76 b) f)

Al(OH)3 1x10-32 5,77 x 10-9

Fe(OH)3 6x10-38 2,86 x 10-10

Fe(OH)2 5x10-15 1,08 x 10-5

Ca3(PO4)2 1x10-27 1,56 x 10-6

CaHPO4 3x10-7 5,48 x 10-4

Page 25: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-25

Ket : d) 15˚C e) 10˚C

f) 0˚C, Kelarutan kalsium sulfat meningkat dengan peningkatan temperatur, pada 20˚C kelarutan dapat mencapai 2,4 g/L

Sumber : a) Sawyer. Clair. N, McCarty. Perry L, Parkin. Gene. F: Chemistry for Environmental Engineering, 1994

b) Boynton, Robert S.: Chemistry and Technology of Lime and Limestone, 1966 c) J.R. Partington, General and Inorganic Chemistry for University Student, 1949

Dari nilai-nilai kelarutan pada Tabel 2.6, dapat diketahui bahwa komponen

utama yang akan terlarut dalam proses pelarutan carbide lime adalah senyawa

kalsium hidroksida. Dengan mengasumsikan unsur yang paling berperan dalam proses

karbonatasi mineral adalah Kalsium, maka tahapan reaksi utama dalam proses

karbonatasi mineral dari carbide lime dapat dituliskan sebagai berikut :

Proses hidrasi Kalsium hidroksida :

2H+ + Ca(OH)2 → Ca2+ + 2H2O (17a)

Proses Pelarutan gas CO2 :

(1) CO2 (g) → CO2 (aq) (17b)

[ CO2 (aq)] = Kh x Pg

(2) CO2 (aq) + H2O ‹═› H2CO3 ‹═› H+ + HCO3- (17c)

1)](2[

]3][[ KaqCO

HCOH=

−+ Pada 25˚C dan 1 atm, K1 = 4.47 x 10-7 mol/L

(3) HCO3- ‹═› H+ + CO3

2- (17d)

2]3[

]32][[ KHCO

COH=

−−+ Pada 25˚C dan 1 atm, K2 = 4.68 x 10-11 mol/L

Proses Karbonatasi :

Ca2+ + CO32- → CaCO3↓ (17e)

Berdasarkan tahapan reaksi di atas, dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi proses adalah kelarutan dari kalsium hidroksida yang terdapat di

carbide lime tersebut dalam air. Besarnya kelarutan dari kalsium hidroksida

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperatur. Pada Tabel 2.7 kita

dapat melihat bahwa kelarutan dari kalsium hidroksida akan turun seiring dengan

peningkatan temperatur.

Page 26: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-26

Dengan menggunakan data kelarutan dari Tabel 2.7., dapat diperkirakan

kelarutan dari batu kapur sebagai Ca(OH)2 pada temperatur 25˚C adalah sekitar 0,157

g Ca(OH)2/100g larutan jenuh. Nilai kelarutan ini adalah untuk senyawa kalsium

hidroksida murni. Sedangkan untuk kalsium hidroksida yang tersedia di pasaran nilai

kelarutannya sekitar 7% lebih tinggi. Hal ini dikarenakan keberadaan senyawa alkali

yang kelarutanya sangat tinggi seperti K2O dan Na2O pada kalsium hidroksida yang

tersedia di pasaran (Boynton, 1966).

Tabel 2.7. Kelarutan dari batu kapur dinyatakan dalam CaO atau Ca(OH)2 dalam

variasi temperatur (g/100g larutan jenuh)

T (˚C) CaO Ca(OH)2

0 0.14 0.185

10 0.133 0.176

20 0.125 0.165

30 0.116 0.153

40 0.106 0.14

50 0.097 0.128

60 0.088 0.116

70 0.079 0.104

80 0.07 0.092

90 0.061 0.081

100 0.054 0.071

Sumber : Boynton, Robert S.: Chemistry and Technology of Lime and Limestone, 1966

Selain dipengaruhi oleh temperatur, kelarutan dari Ca(OH)2 juga dipengaruhi

oleh keberadaan garam dan senyawa organik. Sebagian besar dari senyawa garam

dapat meningkatkan kelarutan dari Ca(OH)2 sekitar 10-15% pada larutan dengan 0,1-

0,2% garam (Boynton, 1966).

Produk akhir yang diperoleh sebagai hasil akhir dari reaksi ini adalah kalsium

karbonat. Di akhir reaksi, kalsium karbonat yang terbentuk akan terendapkan

(Precipitate Calcium Carbonate, PCC). PCC ini banyak digunakan sebagai bahan

pengisi (filler) di industri-industri kimia seperti, industri kertas, cat, PVC, ban,

farmasi, dan juga pasta gigi.

Page 27: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-27

Kalsium karbonat terdapat dalam dua bentuk kristal, calcite dan aragonite.

Dengan melewatkan gas CO2 ke larutan kapur yang relatif dingin, endapan kalsium

karbonat sebagian besar akan dalam bentuk calcite, sedangkan apabila temperatur

larutan kapur yang direaksikan cukup tinggi, bentuk kristal yang akan terbentuk

adalah aragonite (Partington, 1949). Kalsium karbonat dalam bentuk calcite cukup

stabil pada temperatur dan tekanan ruang. Calcite ini baru akan berubah menjadi

bentuk aragonite pada temperatur di atas 400˚C. Kelarutan dari masing-masing

bentuk kristal kalsium karbonat ini dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Kelarutan masing-masing bentuk kristal kalsium karbonat

Sumber : J.R. Partington, General and Inorganic Chemistry for University

Student, 1949

Ket. : Kelarutan dinyatakan dalam g/L air

Pada temperatur 25˚C, kelarutan dari Kalsium karbonat (Ca2+) (CO32-) adalah

sekitar 7,2 x 10-9. Dengan kehadiran CO2 seratus kali lebih banyak dibandingkan

keberadaan kalsium karbonat, kelarutan kalsium karbonat akan meningkat menjadi

sekitar 0,94 – 1,08 g/L air pada temperatur 16˚C dan tekanan 1 atm. Dimana pada

kondisi ini akan terbentuk senyawa kalsium bikarbonat Ca(HCO3)2. Larutan kalsium

karbonat lewat jenuh dapat dihasilkan dengan melewatkan dengan cepat CO2 ke

dalam larutan kapur yang sudah jenuh. Ketika mencapai lewat jenuh inilah, kalsium

karbonat akan terendapkan.

II.3. Absorpsi gas

Dalam pengendalian emisi udara, istilah absorpsi digunakan untuk

menjelaskan proses transfer materi dari gas ke cairan yang direaksikan dengan gas

tersebut. Dalam penyisihan gas itu sendiri, prinsip yang berperan adalah kelarutan

dari gas tersebut pada cairan yang direaksikan.

Dalam absorpsi gas, fenomena yang terjadi adalah terdifusinya materi dari gas

melewati permukaan gas-cairan dan kemudian dilanjutkan dengan proses dispersi dari

Temperatur (˚C)

Bentuk kristal 8 25 100

Calcite 0.013 0.0143 0.01799

Aragonite 0.015 0.01528 0.01902

Page 28: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-28

materi tersebut di dalam cairan. Poses dispersi atau terlarutnya materi gas dalam

cairan dapat terjadi melalui suatu proses kimia.

Difusi secara turbulen dapat terjadi jauh lebih cepat dibandingkan dalam skala

molekul. Oleh karena itu salah satu faktor yang mempengaruhi proses absorpsi gas

adalah turbulensi. Namun demikian, penghambat terbesar dari proses transfer masa

antara cairan dan gas ini adalah lapisan laminar yang terbentuk di antara perbatasan

dua fasa.

Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan total gas ideal tercampur adalah

jumlah tekanan parsial dari seluruh komponennya. Ini berarti tekanan persial dari gas

tertentu dalam udara adalah hasil kali tekanan total dan fraksi volume atas fase gas

mol pencemar dalam air yang dapat dinyatakan sebagai :

PA = YA x PT (18)

dengan : PA : Tekanan parsial pencemar A fase gas (atm)

YA : Fraksi mol pencemar A fase gas (tidak berdimensi)

PT : Tekanan total (atm)

Bila larutan ideal sangat cair, kesetimbangan tekanan parsial dari pencemar

dalam udara di atas larutan masih proposional pada konsenrasi larutan penyerap. Ini

dinyatakan sebagai Hukum Henry yang dapat dinyatakan sebagai berikut:

PA = Hc x XA* (19)

dengan : Hc : Konstanta Henry dari pencemar/gas A (mol/atm.L)

XA* : Konsentrasi pencemar A dalam fasa cair/larutan (mol/L)

Pernyataan selanjutnya dapat dinyatakan sebagai :

*A

T

AA X

PHY = (20)

Nilai konstanta Henry berbeda-beda untuk masing-masing senyawa. Nilai

konstanta Henry sangat dipengaruhi oleh temperatur. Tabel 2.9. menyajikan nilai

konstanta Henry dari gas CO2 dan O2 untuk beberapa variasi temperatur

Page 29: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-29

Tabel 2.9. Konstanta Hukum Henry, Hc (mol/atm.L)

T (oC) CO2 O2 0 0,076425 0,0021812 5 0,063532 0,0019126

10 0,053270 0,0016963 15 0,045463 0,0015236 20 0,039172 0,0013840 25 0,033363 0,0012630

Sumber : G.M. Masters, Introduction to environmental Engineering and

Science 2nd edition, 1990

II.3.1. Fisika kimia proses absorpsi

Proses pemisahan suatu senyawa dalam pengolahan emisi gas dengan

penerapan prinsip absorpsi bergantung pada perpindahan massa antar fasa. Laju pada

kondisi kesetimbangan dicapai pada tiap proses difusi pada perpindahan massa antar

fasa bidang antar muka terbesar pada kedua molekul dan difusi turbulan terbesar.

Koefisien difusi molekul (D) larutan di dalam air pada temperatur 25˚C untuk gas

CO2 sebesar 1,98 x 105 cm2/s-1 (Pauss, 1990).

Tahapan reaksi absorpsi yang berlangsung yaitu suatu aliran gas A

didispersikan di dalam air bereaksi dengan molekul air membentuk produk yang

berupa kombinasi dengan materi terlarut di dalam larutan. Tahapan-tahapan reaksi

yang terjadi pada gas A yaitu :

1. Difusi di dalam fasa gas : molekul gas A dipindahkan oleh difusi molekuler

melalui film gas hipotesis atau zona tahanan perpindahan massa antara muka gas-

cair.

2. Kesetimbangan antar muka : gas A pada bidang antar muka diasumsikan berada

pada kesetimbangan konsentrasi dengan air

3. Reaksi pada lapisan film : gas A bereaksi dengan H2O pada antar muka atau

beberapa lokasi di dalam lapisan cair hipotesis pada sisi cair dari antar-muka.

Produk reaksi ini bereaksi dengan materi terlarut pada lapisan film.

4. Difusi ke dalam fasa cair : produk reaksi dipindahkan oleh difusi molekuler

melalui lapisan film cair dan lengkap bercampur oleh difusi turbulen.

Persamaan laju keseluruhan untuk keberadaan gas A tergantung kepada jenis

gas, laju reaksi dengan air dan jenis sistem kontak yang digunakan. Pada reaksi yang

Page 30: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-30

sangat cepat, perpindahan massa fase gas atau cair akan mengontrol laju keseluruhan,

berarti reaksi disebut sebagai difusi terkontrol. Pada kondisi kinetika rekasi yang

sangat lambat reaksinya disebut reaksi kinetik terkontrol. Skema ilustrasi perpindahan

massa seperti terlihat pada Gambar 2.9 dibawah ini:

Gambar 2.9. Skema perubahan konsentrasi pada bidang antar muka fasa gas-cair

Dari skema di atas, pada bidang antar muka diasumsikan bahwa tekanan

parsial fase gas PAi di dalam kesetimbangan dengan konsentrasi cairan CAi. Karena

pada proses absorpsi konsentrasi CAi>CA dan PA>PAi. Laju perpindahan massa dari A

satuan luas antar muka senyawa NA akan tergantung pada faktor-faktor temperatur,

difusi molekul senyawa A, kelarutan senyawa A di dalam cairan dan kondisi

hidrodinamik. Dengan menggunakan teori dua film yang dikembangkan oleh Lewis

dan Whitman (1924) laju turbulen perpindahan massa dari gas ke cair didefinisikan

sebagai perbandingan linier gradien konsentrasi.

NA = kGaV (PA – PAi) (21a)

Laju perpindahan massa ke dalam cairan menjadi :

NA = kLaV (CAi – CA) (21b)

Dengan : NA : Laju turbulen perpindahan massa dari gas ke cair

kGa : Konstanta laju yang disebut koefisien perpindahan massa fasa

gas, dalam (Mol/Luas/Waktu/Tekanan)

PAi : Tekanan parsial pencemar A fase gas pada kesetimbangan

PA

CA

PAi

CAi

NA

Interface

liquid film gas film

Liquid bulk phase

Gas bulk phase

Page 31: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-31

kLa : Konstanta laju yang disebut koefisien perpindahan massa fasa

cair dalam (Panjang/Waktu)

V : Volume sistem

Jika didefinisikan koefisien seluruhnya menjadi KGa dan KLa, maka persamaan dapat

ditulis menjadi :

NA = KGaV (PA – PA*) (21c)

NA = KLaV (C* – C) (21d)

Dengan : KGa : Koefisien perpindahan keseluruhan fasa gas (mg detik-1 L-1

atm-1)

PA* : Tekanan parsial dari senyawa A di dalam kesetimbangan

dengan C pada P, T sistem (atm)

KLa : Koefisien perpindahan keseluruhan fasa cair (jam-1 atau

detik-1)

C* : Konsentrasi A di dalam kesetimbangan dengan tekanan

parsial bulk senyawa A (mg/L)

Untuk operasi dimana konsentrasi gas terlarut berubah terhadap waktu, laju

transfer massa dapat diperoleh dengan mengintegralkan perhitungan (21d) dengan

limit waktu t sama dengan 0 dan t.

)(1 * CCKladtdc

dtdn

V−== (22a)

(22b)

(22c)

Koefisien perpindahan massa keseluruhan tidak dapat didefinisikan dari

kandungan fluida dan harus ditentukan dengan percobaan.

II.4. Kinetika Reaksi

Dalam kimia fisik, kinetika kimia atau kinetika reaksi mempelajari laju reaksi

dalam suatu reaksi kimia. Analisis terhadap pengaruh berbagai kondisi reaksi

terhadap laju reaksi dan memberikan informasi mengenai mekanisme reaksi serta

keadaan transisi dari suatu reaksi kimia. Pada tahun 1864, Peter Waage merintis

KlatCCCC

dtKlaCC

dC

o

t

tC

Co

L

−=−

=− ∫∫

*

'

0

''

*

*

ln

Page 32: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-32

pengembangan kinetika kimia dengan memformulasikan hukum aksi massa, yang

menyatakan bahwa kecepatan suatu reaksi kimia proporsional dengan kuantitas zat

yang bereaksi.

Dalam kinetika reaksi dilakukan suatu percobaan eksperimental terhadap suatu

proses kimia dimana dari percobaan tersebut kita dapat mencari laju reaksi, hukum

laju reaksi serta konstanta reaksi dari proses kimia tersebut. Hukum laju reaksi yang

relatif sederhana biasanya berlaku untuk laju reaksi orde nol dimana laju reaksi

independen atau tidak dipengaruhi oleh konsentrasi reaktan, laju reaksi orde pertama,

laju reaksi orde kedua dan dapat dalam bentuk yang lebih kompleks lainnya. Dalam

reaksi kimia yang berurutan, tahapan mengidentifikasi laju reaksi terkadang dapat

menjelaskan mengenai kinetika reaksinya sendiri. Pada reaksi orde satu yang

berurutan, perkiraan mengenai kondisi tunak dapat menyederhanakan perumusan laju

reaksi. Energi aktivasi untuk reaksi yang terjadi dapat ditentukan melalui eksperimen

dengan menggunakan rumus Arhenius dan rumus Eyring. Beberapa faktor utama

yang mempengaruhi laju reaksi antara lain adalah kondisi fisik dan konsentrasi dari

reaktan, temperatur dimana proses kimia tersebut terjadi, serta ada atau tidaknya

katalis dalam reaksi tersebut.

II.4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinetika reaksi

II.4.1.1 Bentuk Fisik Reaktan

Bentuk fisik dari suatu reaktan apakah dia dalam bentuk solid, cair ataupun

gas merupakan faktor yang sangat mempengaruhi laju reaksi. Ketika reaksi terjadi

antara dua reaktan yang berfasa sama, seperti dalam suatu larutan, pergerakan thermal

akan menyebabkan terjadinya kontak antara pereaksi tersebut. Namun apabila

pereaksi yang terlibat terdiri dari fasa yang berbeda, reaksi yang terjadi akan terbatas

pada permukaan antara pereaksi tersebut. Reaksi hanya dapat terjadi pada kontak area

antara mereka, seperti dalam kasus reaksi antara gas dan cairan, reaksi hanya dapat

terjadi pada permukaan cairan. Pengadukan akan dibutuhkan agar reaksi tersebut

dapat terjadi secara sempurna. Semakin besar luas permukaan per unit volume dari

pereaksi, akan semakin besar kontak dengan pereaksi lainya, maka laju reaksi akan

semakin cepat.

Page 33: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-33

II.4.1.2 Konsentrasi

Konsentrasi memainkan peranan penting dalam terjadinya reaksi. Berdasarkan

teori tumbukan pada reaksi kimia. Hal ini karena molekul-molekul harus saling

bertumbukan terlebih dahulu agar dapat terjadi reaksi diantara mereka. Ketika

konsentrasi dari pereaksi meningkat, frekuensi tmbukan dari molekul-molekul

tersebut akan meningkat juga. Ketika konsentrasi pereaksi semakin besar, hal ini

berarti semakin banyak jumlah molekul dari pereaksi tersebut, jarak pemisah antara

molekul-molekul akan semakin sempit, hal ini menyebabkan kecenderungan untuk

semakin sering terjadinya tumbukan antara molekul-molekul tersebut.

II.4.1.3 Temperatur

Temperatur biasanya menyebabkan dampak yang cukup besar terhadap

kecepatan reaksi. Molekul dengan temperatur yang lebih tinggi, akan memiliki energi

thermal yang lebih besar. Apabila pereaksi dalam suatu reaksi kimia dipanaskan,

energi atom atau energi molekul yang lebih besar dari pereaksi tersebut akan

meningkatkan probabilitas terjadinya tumbukan. Dengan semakin seringnya terjadi

tumbukan, produk akan terbentuk sebagai hasil dari reaksi tersebut. Hal yang penting

lainnya adalah bahwa pada temperatur yang lebih tinggi, molekul memiliki energi

vibrasi yang lebih besar. Dengan begitu peningkatan temperatur bukan hanya

menyebabkan semakin seringnya terjadi tumbukan, tetapi tumbukan juga dapat terjadi

ketika atom-atom dari suatu molekul reaktan mengalami pergerakan karena besarnya

energi vibrasi yang dimiliki.

II.4.1.4 Katalis

Katalis adalah suatu materi yang mempercepat laju suatu reaksi kimia namun

tidak akan mengalami perubahan kimia setelah reaksi tersebut terjadi. Katalis

meningkatkan laju reaksi dengan menyediakan mekanisme reaksi yang berbeda yang

dapat terjadi dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Pada fenomena autokatalisis,

produk dari hasil reaksi berperan sebagai katalis bagi reaksi itu sendiri.

Agitasi ataupun pengadukan dari suatu larutan juga dapat mempercepat laju

dari reaksi kimia yang terjadi, karena agitasi dan pengadukan memberikan energi

kinetik yang lebih besar pada partikel. Energi kinetik yang lebih besar ini akan

meningkatkan tumbukan yang terjadi antara partikel-partikel tersebut. Peningkatan

temperatur pada sutu reaksi kimia yang melibatkan gas sebagai salah satu pereaksinya

Page 34: Bab II Tinjauan Pustaka -  · PDF fileTitik didih (1,103 bar) -78.5 °C ... pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. ... menerbitkan Laporan Pengkajian Pertama

II-34

juga dapat meningkatkan laju reaksi yang terjadi. Hal ini karena keaktifan dari suatu

gas berbanding lurus proporsional pada tekanan parsial dari gas tersebut. Hal ini sama

dengan peningkatan konsentrasi dari suatu larutan.