Bar Uuuuuuu Uuuu

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah keluhan umum yang disampaikan oleh individu-individu dalam suatu populasi umum yang mencari pertolongan medis. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Belum didapatkan data epidemiologi di Indonesia (Djojoningrat, 2007). Angka kejadian dispepsia di masyarakat luas tergolong tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada suatu komunitas selama 6 bulan, tingkat keluhan dispepsia mencapai 38% (Jones dkk, 1989), dimana pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa keluhan dispepsia banyak didapatkan pada usia yang lebih muda. Penelitian pada komunitas lain yang dilakukan oleh peneliti yang sama selama 6 bulan mendapatkan angka keluhan dispepsia 41% (Jones dkk, 1990).

Transcript of Bar Uuuuuuu Uuuu

Page 1: Bar Uuuuuuu Uuuu

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dispepsia adalah keluhan umum yang disampaikan oleh individu-individu

dalam suatu populasi umum yang mencari pertolongan medis. Berdasarkan penelitian

pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal

ini dalam beberapa hari. Belum didapatkan data epidemiologi di Indonesia

(Djojoningrat, 2007).

Angka kejadian dispepsia di masyarakat luas tergolong tinggi. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan pada suatu komunitas selama 6 bulan, tingkat keluhan

dispepsia mencapai 38% (Jones dkk, 1989), dimana pada penelitian tersebut

dinyatakan bahwa keluhan dispepsia banyak didapatkan pada usia yang lebih muda.

Penelitian pada komunitas lain yang dilakukan oleh peneliti yang sama selama 6

bulan mendapatkan angka keluhan dispepsia 41% (Jones dkk, 1990).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada remaja usia 14-17 tahun, remaja

perempuan lebih banyak menderita dispepsia dibandingkan dengan remaja laki-laki,

yaitu 27% dan 16% (Reshetnikov, 2001).

Penyebab timbulnya dispepsia diantaranya adalah faktor diet dan lingkungan,

sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi viseral lambung,

psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori (Djojoningrat, 2007). Berdasarkan

penelitian tentang gejala gastrointestinal, jeda antara jadwal makan yang lama dan

ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala dyspepsia (Reshetnikov, 2007).

Page 2: Bar Uuuuuuu Uuuu

Pola makan yang tidak teratur umunya menjadi masalah yang sering timbul

pada remaja perempuan. Aktivitas yang tinggi baik kegiatan disekolah maupun di

luar sekolah menyebabkan makan menjadi tidak teratur (Sayogo, 2006). Selain itu,

pola diet banyak dilaporkan secara konsisten pada remaja wanita yang mencoba

untuk melakukan diet. Pada survey nasional di sebuah sekolah menengah atas, 44%

remaja perempuan dan 15% remaja laki-laki mencoba untuk menurunkan berat

badan. Sebagai tambahan, 26% remaja perempuan dan 15% remaja laki-laki

dilaporkan mencoba agar berat badan mereka tidak bertambah (Robert, 2000).

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Medan Sumatra Utara pada remaja

perempuan SMA Al-Azhar terdapat angka kejadian sindroama dispepsia sebesar 64,4

%. Angka ini tergolong cukup besar, dan dapat dikatakan bahwa hampir semua atau

sebagian besar remaja perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan mengalami

sindroma dispepsia. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

antara ketidakteraturan makan dengan sindroma dispepsia. Besarnya angka kejadian

sindroma dispepsia remaja perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan ternyata sesuai

dengan pola makannya yang sebagian besar tidak teratur (Annisa, 2009).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Apakah ada hubungan antara ketidakteraturan makan dengan terjadinya sindroma

dispepsia remaja perempuan kelas XI IPA SMA N 1 Selong?

Page 3: Bar Uuuuuuu Uuuu

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mencari hubungan antara ketidakteraturan makan dengan kejadian sindroma

dispepsia remaja perempuan kelas XI IPA SMA N 1 Selong.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Diketahuinya ketidakteraturan makan remaja perempuan kelas XI IPA SMA

N 1 Selong Lombok Timur.

2. Diketahuinya angka kejadian sindroma dispepsia remaja perempuan kelas

XI IPA SMA N 1 Selong Lombok Timur

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bidang penelitian :

Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar untuk penelitian

lebih lanjut tentang sindroma dispepsia.

2. Bidang pendidikan :

Penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk melatih berfikir secara logis dan

sistematis serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian berdasarkan metode

yang baik dan benar.

Page 4: Bar Uuuuuuu Uuuu

3. Bidang pelayanan masyarakat :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang benar bagi

masyarakat tentang ketidakteraturan makan dan sindroma dispepsia pada remaja

perempuan.

Page 5: Bar Uuuuuuu Uuuu

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Sekresi Asam Lambung

Lambung melaksanakan 3 fungsi utama. Fungsi utama lambung yang paling

penting adalah menyimpan makanan yang telah dicerna hingga makanan tersebut

dapat dikosongkan kedalam usus halus pada kecepatan normal untuk proses cerna

dan absorpsi. Lambung akan mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan enzim

untuk memulai pencernaan protein. Lambung memiliki motilitas khusus untuk

gerakan pencampuran antara makanan yang dicerna dan cairan lambung untuk

membentuk cairan padat yang dinamakan kimus. Seluruh isi lambung harus

diubah menjadi kimus sebelum dikosongkan ke duodenum (Sheerwood, 2007).

Sel-sel lambung mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung setiap hari.

Cairan lambung ini mengandung bermacam-macam zat, diantaranya adalah HCl

dan pepsinogen (Gambar 2.1.). HCl yang disekresikan oleh kelenjar di korpus

lambung membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan

protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta

merangsang aliran empedu dan cairan pankreas. Asam ini cukup pekat untuk

dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal muksa lambung

tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung juga

mengandung mukus (Ganong, 2003).

Page 6: Bar Uuuuuuu Uuuu

Gambar 2.1. Sekresi Asam Lambung

Sumber: Color Atlas of Pathophysiology, 2000

Lambung memiliki mekanisme protektif sendiri, diantaranya adalah mukus

yang melapisi permukaan mukosa lambung (Gambar 2.2). Mukus ini berperan

sebagai pelindung dari berbagai macam kerusakan potensial pada mukosa lambung

dengan sifat lubrikasinya untuk mencegah kerusakan mekanis. Mukus juga

membantu melindungi mukosa lambung agar tidak mencerna dirinya sendiri dengan

menginhibisi pepsin saat bersentuhan dengan lapisannya. Sebagai substansi alkali,

mukus juga membantu mekanisme perlindungan mukosa dari kerusakan akibat asam

dengan menetralisir HCl di sekitarnya tanpa mempengaruhi HCl pada lumen

(Sheerwood, 2007).

Seluruh permukaan mukosa lambung di antara kelenjar-kelenjar memiliki

lapisan yang bersambungan dari jenis sel mukus yang istimewa, yang secara

Page 7: Bar Uuuuuuu Uuuu

sederhana disebut “sel mukus permukaan”. Sel-sel tersebut menyekresikan sejumlah

mukus kental yang melapisi mukosa lambung dengan suatu lapisan gel khusus,

seringkali dengan ketebalan lebih dari 1 milimeter, sehingga menyediakan suatu

cangkang proteksi utama bagi dinding lambung yang juga berperan dalam

melumaskan transpor makanan (Guyton, 2007)

Ciri lain dari mukus adalah alkalis. Oleh karena itu dinding normal lambung

tidak secara langsung terpapar dengan sekresi lambung yang sangat asam dan

proteolitik. Bahkan kontak dengan yang ringan sekali pun dengan makanan atau

iritasi mukosa apa pun, secara langsung akan merangsang sel-sel mukus permukaan

untuk menyekresikan mukus tambahan yang lengket, alkalis dan kental ini (Guyton,

2007)

Motilitas dan sekresi lambung diatur oleh mekanisme persarafan dan humoral.

Komponen saraf adalah otonom lokal yang melibatkan neuron-neuron kolinergik dan

ilmpuls-impuls dari SSP melalui nervus vagus. Pengaturan fisiologik sekresi lambung

biasanya dibahas berdasarkan pengaruh otak (sefalik), lambung, dan usus (Ganong,

2003).

Page 8: Bar Uuuuuuu Uuuu

Gambar 2.2. Pertahanan Mukosa Lambung

Sumber: Color Atlas of Pathophysiology, 2000

Pengaruh sefalik adalah respon yang diperantarai oleh nervus vagus dan

diinduksi oleh aktivitas di SSP. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan

merangsang sekresi lambung. Serat-serat eferen untuk refleks ini adalah nervus

vagus. Pada manusia, melihat, mencium, dan memikirkan makanan akan

meningkatkan sekresi lambung. Peningkatan ini disebabkan oleh refleks bersyarat

saluran cerna yang telah berkembang sejak awal masa kehidupan. Rangsang

hipotalamus anterior dan bagian-bagian korteks frontalis orbital disekitarnya

meningkatkan aktivitas eferen vagus dan sekresi lambung. Pengaruh otak

Page 9: Bar Uuuuuuu Uuuu

menentukan sepertiga sampai separuh dari asam yang disekresikan sebagai respon

terhadap makanan normal (Ganong, 2003).

Pengaruh lambung terutama adalah respon-respon refleks lokal dan respon

terhadap gastrin. Adanya makanan dalam lambung mempercepat peningkatan sekresi

lambung yang disebabkan oleh penglihatan, bau makanan, dan adanya makanan di

mulut. Reseptor di dinding lambung dan mukosa berespon terhadap peregangan dan

rangsang kimia, terutama asam-asam amino dan produk pencernaan terkait lain.

Produk-produk pencernaan protein juga menyebabkan peningkatan sekresi gastrin,

dan hal ini meningkatkan aliran asam (Ganong, 2003).

Pengaruh usus adalah efek umpan balik hormonal dan refleks pada sekresi

lambung yang dicetuskan dari mukosa usus halus. Walaupun di mukosa usus halus

dan lambung terdapat sel-sel yang berisi gastrin, pemberian asam amino langsung ke

dalam duodenum tidak akan meningkatkan kadar gastrin dalam darah. Sekresi asam

lambung meningkat bisa sebagian besar usus halus diangkat, sehingga sumber

hormon-hormon yang menghambat sekresi asam menghilang (Ganong, 2003).

Sekresi lambung akan menurun secara bertahap ketika makanan mulai masuk

dari lambung menuju usus halus. Mekanisme penurunan sekresi lambung ada 3 jenis.

Saat makanan mulai dikosongkan ke duodenum secara bertahap, stimulus utama yang

merangsang sekresi lambung, yaitu protein, telah ditarik. Setelah makanan

meninggalkan lambung, cairan lambung akan terus terakumulasi hingga pH lambung

akan menurun sangat rendah dan akhirnya akan merangsang somatostatin sebagai

Page 10: Bar Uuuuuuu Uuuu

pemberi respon balik negatif untuk menghambat sekresi lambung. Penurunan

motilitas lambung juga akan menurunkan sekresi asam lambung (Sheerwood, 2007).

2.2 Dispepsia

2.2.1 Definisi Dispepsia

Dispepsia adalah sebuah turunan kata bahasa Yunani yang artinya indigestion

atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-gejala gastrointestinal yang

berhubungan dengan masukan makanan disebut dispepsia, contohnya mual,

heartburn, nyeri epigastrium, rasa tidak nyaman, atau distensi (Davidson, 1975).

Dispepsia umumnya terjadi akibat adanya masalah pada bagian lambung dan

duodenum. Penyakit yang memiliki sindroma seperti dispepsia seperti gastro-

esophageal reflux disease dan irritable bowel syndrome yang melibatkan esofagus

dan bagian saluran cerna lainnya tidak dimasukkan ke dalam bagian dispepsia

(Djojoningrat, 2007).

Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri

ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa.

Keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis gejala maupun intensitas gejala

tersebut dari waktu ke waktu (Djojoningrat, 2007).

Dispepsia dapat muncul meskipun tidak ada perubahan struktural pada saluran

cerna, yang biasanya dikenal sebagai ‘fungsional’ dan gejalanya dapat berasal dari

psikologis ataupun akibat intoleransi terhadap makanan tertentu. Di sisi lain,

dispepsia dapat merupakan gejala dari gangguan organik pada saluran cerna, dan

Page 11: Bar Uuuuuuu Uuuu

dapat juga disebabkan oleh gangguan di sekitar dari saluran cerna, misalnya pankres,

kandung empedu, dan sebagainya (Davidson, 1975).

2.2.2 Etiologi Dispepsia

Secara garis besar sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat

disebabkan oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat organik maupun yang

fungsional atau yang tidak terdapat kelainan secara struktural ataupun biokimiawi

setelah dilakukan pemeriksaan penunjang (Djojoningrat, 2007).

Tabel 2.1. Penyebab Dispepsia

Dalam lumen saluran cerna

Tukak peptic

Gastritis

Keganasan

Pankreas

Pankreatritis

Keganasan

Gastroparesis Keadaan sistemik

Dibetes mellitus

Penyakit tiroid

Gagal ginjal

Kehamilan

Penyakit jantung iskemik

Obat-obatan - Penyakit tiroid

Anti inflamasi non steroid

Teofilin

Digitalis

Antibiotik

Gangguan fungsional

Dyspepsia fungsinal

Sindrom kolon iritatif

Page 12: Bar Uuuuuuu Uuuu

Hepato-bilier Gangguan fungsional

Hepatitis

Kolesistitis

Kolelitiasis

Keganasan

Disfungsi sphincter Odli

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , 2007

Berdasarkan hasil pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi pada 591 kasus

dispepsia di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, ditemukan adanya lesi pada

esophagus, gastritis, gaster, duodeni, dan lain-lain. Sebagian besar ditemukan kasus

dispepsia dengan hasil esofagogastroduodenoskopi yang normal (Djojoningrat,

2007).

Tabel 2.2 Hasil Pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi pada 591

Kasus Dispepsia di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta

Lesi Jumlah Kasus %

Normal 168 28,43

Esofagitis 35 5,91

Gastritis 295 49,91

Ulkus gaster 13 2,20

Ulkus duodeni 21 3,55

Tumor esofagus 1 0,16

Tumor gaster 6 1,01

Lain-lain 52 8,83

Keterangan: Data Subbagian Gastroenterologi RSCM tahun 1994 Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2007

Page 13: Bar Uuuuuuu Uuuu

Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa

lambung. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel

radang pada daerah tersebut. Berdasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat

dibagi menjadi akut dan kronik, tetapi keduanya tidak saling berhubungan

(Djojoningrat, 2007).

Gastritis akut dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Kira-kira 80-90%

pasien yang dirawat di ruang intensif menderita gastritis akut erosif yang sering

disebut gastritis akut stress. Penyebab lain adalah obat-obatan. Obat yang sering

dihubungkan dengan gastritis erosive adalah aspirin dan sebagian besar obat anti

inflamasi non steroid (NSAID) (Hirlan, 2001).

Ulkus peptikum ialah suatu istilah untuk menunjuk kepada suatu kelompok

penyakit ulserativa saluran makanan bagian atas yang melibatkan terutama bagian

proksimal duodenum dan lambung, yang mempunyai patogenesis yang sama-sama

melibatkan asam-pepsin (Gambar 2.3.). Bentuk utama ulkus peptikum adalah ulkus

duodeni dan ulkus lambung. Ulkus peptikum terjadi bila efek-efek korosif asam dan

pepsin lebih banyak daripada efek protektif pertahanan mukosa lambung atau mukosa

duodenum (McGuigan, 1995).

Dispepsia dengan temuan penyebab organik ataupun adanya kelainan sistemik

yang jelas akan berdampak pada pengobatan yang defenitif perdasarkan patogenesis

yang ada. Dalam kenyataan sehari-hari didapatkan keluhan dispepsia yang tidak ada

kelainan sistemik yang mendasarinya, pemeriksaan radiologi dalam batas normal dan

Page 14: Bar Uuuuuuu Uuuu

pada pemeriksaan endoskopi tidak dijumpai lesi mukosa. Hal inilah yang melahirkan

istilah dispepsia non-ulkus atau dispepsia fungsional.

Gambar 2.3. Mekanisme Pembentukan Ulkus

Sumber: Color Atlas of Pathophysiology, 2000

2.1.3 Diagnosa dyspepsia

Berdasarkan kriteria diagnosa Roma III, sindroma dispepsia didiagnosa

dengan gejala rasa penuh yang mengganggu, cepat kenyang, rasa tidak enak atau

nyeri epigastrium, dan rasa terbakar pada epigastrium. Pada kriteria tersebut juga

dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan adanya satu atau lebih dari gejala

dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal (Anonim, 2006).

Untuk menegakkan diagnosa, diperlukan data dan pemeriksaan penunjang

untuk melihat adanya kelainan organik/struktural, ataupun mengesklusinya untuk

menegakkan diagnosa dispepsia fungsional. Adanya keluhan tambahan yang

mengancam seperti penurunan berat badan, anemia, kesulitan menelan, perdarahan,

dan lain-lainnya, mengindikasikan agar dilakukan eksplorasi diagnostik secepatnya.

Page 15: Bar Uuuuuuu Uuuu

Selain radiologi, pemeriksaan yang bisa dilakukan diantaranya adalah laboratorium,

endoskopi, manometri esofago-gastro-duodenum, dan waktu pengosongan lambung

(Djojoningrat, 2007).

2.2.4 Tatalaksana

Tatalaksana dispepsia dibagi dalam tatalaksana nonmedikamentosa dan

talaksana medikamentosa.

a. Tatalaksana Nonmedikamentosa :

Meliputi edukasi terkait diet kepada pasien agar menghindari makan yang

dapat memicu timbulnya keluhan dispepsia yaitu makananan yang pedas,

asam, tinggi lemak (Djojoningrat, 2007).

b. Tatalaksana Medikamentosa meliputi :

Antasida

Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh pasien

dyspepsia, tapi dalam studi meta-analisis obat ini tidak lebih unggul dari

placebo(Djojoningrat, 2007).

Penyekat H2 Reseptor

Obat ini juga umum diberikan pada pasien dispepsia. Dari studi acak

ganda tersamar, didapatkan hasil yang controversial. Sebagian gagal

memperlihatkan manfaatnya pada dispepsia fungsional dan sebagian lain

berhasil. Secara meta-analisis diperkirakan manfaat terapinya 20% diatas

placebo. Masalah pokok adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian

Page 16: Bar Uuuuuuu Uuuu

dan kemungkinan juga masuknya kasus GERD. Umumnya manfaatnya

ditujukan untuk menghilangkan rasa nyeri ulu hati(Djojoningrat, 2007).

Penghambat Pompa Proton

Obat ini tampaknya cukup superior dibandingkan plasebo pada kasus

dispepsia terutama untuk kasus ulkus (Djojoningrat, 2007).

Sitoproteksi

Tidak banyak studi untuk memperoleh manfaat yang dapat dinilai dari

obat ini misalnya misoprostol dan sucralfat (Djojoningrat, 2007).

Metoklopramid

Merupakan antagonis reseptor dopamine D2 dan antagonis serotonin (5-

HT3) member manfaat tapi juga kemungkinan hambatan efek samping

ekstrapiramidalnya (Djojoningrat, 2007).

Domperidon

Termasuk obat antagonis dopamine D2 yang tidak melewati sawar darah

otak sehingga tidak terdapat efek samping ekstrapiramidal (Djojoningrat,

2007).

Cisapride

Tergolong obat agonis (5-HT4) dan antagonis (5-HT2) yang pada studi

meta-analisis memperlihatkan pemberiannya memperlihatkan angka

keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo. Beraksi pada

pengosongan lambung dan disritmia lambung. Namun dengan

Page 17: Bar Uuuuuuu Uuuu

diketahuinya adanya efek samping terutama disritmia sehingga

pemakaiannya harrus dalam pengawasan(Djojoningrat, 2007).

Agonis Motilin

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah eritromisin yang dapat

meningkatkan pengosongan lambung pada gastroparesis namun aplikasi

klinis tidak praktis (Djojoningrat, 2007).

2.2.5 Prognosis

Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang

akurat mempunyai prognosis yang baik(Djojoningrat, 2007).

2.3 Pola Makan

2.3.1 Pola makan sehat

Ada dua hal yang terkandung dalam pola makan yang sehat, yaitu makanan

yang sehat dan pola makannya. Makanan yang sehat yaitu makanan yang di dalamnya

terkandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh (Hardani, 2002).

Pada Pedoman Umum Gizi Seimbang dari direktorat gizi masyarakat RI, terdapat 13

pesan dasar, yaitu:

1. Makanlah aneka ragam makanan

2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan 17nergy

3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan 17nergy

4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan

17nergy

Page 18: Bar Uuuuuuu Uuuu

5. Gunakan gara beryodium

6. Makanlah makanan sumber zat besi

7. Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur empat bulan

8. Biasakan makan pagi

9. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya

10. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur

11. Hindari minum minuman beralkohol

12. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan

13. Bacalah label pada makanan yang dikemas

Sedangkan pada masyarakat Jepang, ada beberapa anjuran kesehatan oleh

departemen kesehatan Jepang yang tidak jauh berbeda dengan yang telah

dikemukakan diatas. Hal yang penting diantaranya adalah memakan makanan tiga

kali sehari dengan porsi yang seimbang, makan jangan berlebihan, jangan lupa makan

pagi, dan setelah makan jangan langsung tidur (Hardani, 2002).

2.3.2 Pola makan remaja

Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis serta

peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik masa remaja, menyebabkan

peningkatan kebutuhan zat gizi, dan terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan ini

akan mempengaruhi status gizi (Sayogo, 2006).

Pada remaja awal, konsep diri remaja ditandai dengan adanya peningkatan

kesadaran diri secara eksponen dalam tanggapannya terhadap transformasi somatis

pubertas. Kesadaran pada usia ini cenderung untuk berpusat pada karakteristik luar

Page 19: Bar Uuuuuuu Uuuu

yang berbeda dengan introspeksi pada remaja akhir. Normal pada remaja awal untuk

memperhatikan dengan teliti penampilannya dan merasakan bahwa orang lain sedang

memandangi mereka juga. Gangguan citra tingkat ringan pada usia ini bersifat

universal. Gangguan citra tubuh yang serius seperti anoreksia nervosa, juga

cenderung muncul pada usia ini (Nelson, 2000).

Saat mencapai puncak kecepatan pertumbuhan, remaja biasanya makan lebih

sering dan lebih banyak. Sesudah masa growth spurt biasanya mereka akan lebih

memperthatikan penampilan dirinya, terutama remaja putri. Mereka sering kali terlalu

ketat dalam pengaturan pola makan dalam menjaga penampilannya sehingga dapat

mengakibatkan kekurangan zat gizi (Sayogo, 2006).

Pengembangan sebuah gambaran tentang fisik pribadi yang menyangkut

bentuk tubuh dewasa adalah suatu gabungan antara kerja intelektual dan emosional

yang berkaitan dengan isu nutrisi. Remaja umumnya merasa tidak nyaman dengan

perubahan yang pesat pada bentuk tubuh mereka. Pada waktu yang bersamaan,

mereka sangat dipengaruhi oleh dunia luar, seperti kesempurnaan yang dimiliki

teman sebaya ataupun idola mereka. Remaja bisa menginginkan suatu bagian tubuh

lebih kecil ataupun lebih besar, ingin tumbuh lebih cepat ataupun lebih lambat.

Perasaan-perasaan seperti ini dapat mengarahkan mereka kepada percobaan untuk

mengubah bentuk tubuh dengan memanipulasi pola makan mereka (Robert, 2000).

Page 20: Bar Uuuuuuu Uuuu

2.4 Hubungan Keteraturan Makan Terhadap Dispepsia

Salah satu faktor yang berperan pada kejadian dispepsia diantaranya adalah

pola makan dan sekresi cairan asam lambung (Djojoningrat, 2007). Selain jenis-jenis

makanan yang dikonsumsi, ketidak teraturan makan seperti kebiasaan makan yang

buruk, tergesa-gesa, dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia

(Eschleman, 1984).

Berdasarkan penelitian tentang gejala gastrointestinal yang dilakukan oleh

Reshetnikov kepada 1562 orang dewasa, jeda antara jadwal makan yang lama dan

ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala dispepsia. Pada penelitian ini juga

ditemukan perbedaan antara pola makan dan pengaruhnya terhadap gejala

gastrointestinal pada pria dan wanita (Reshetnikov, 2007).

Mendukung hasil penelitian diatas, berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Ervianti pada 48 orang subyek tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian

sindroma dispepsia, didapatkan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian

sindroma dispepsia adalah keteraturan makan (Ervianti, 2008).

Remaja putri sering kali terlalu ketat dalam pengaturan pola makan dalam

menjaga penampilannya sehingga dapat mengakibatkan kekurangan zat gizi.

Tindakan remaja ini mencakup manipulasi jadwal makan dan menyebabkan terjadi

jeda waktu yang panjang antara jadwal makan (Sayogo, 2006). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan pada 449 siswa usia 14-17 tahun, remaja perempuan lebih

banyak menderita dispepsia dibandingkan dengan remaja laki-laki, yaitu 27% dan

16% (Reshetnikov, 2001).

Page 21: Bar Uuuuuuu Uuuu

Selain itu, pola diet banyak dilaporkan secara konsisten pada remaja wanita

yang mencoba untuk melakukan diet. Pada survey nasional di sebuah sekolah

menengah atas, 44% remaja perempuan dan 15% remaja laki-laki mencoba untuk

menurunkan berat badan. Sebagai tambahan, 26% remaja perempuan dan 15% remaja

laki-laki dilaporkan mencoba menjaga agar berat badan mereka tidak bertambah

(Robert, 2000).

Penyebab timbulnya dispepsia diantaranya adalah faktor diet dan lingkungan,

serta sekresi cairan asam lambung (Djojoningrat, 2007). Asam lambung adalah cairan

yang dihasilkan lambung dan bersifat iritatif dengan fungsi utama untuk pencernaan

dan membunuh kuman yang masuk bersama makanan (Redaksi, 2009).

Selain faktor asam, efek proteolitik pepsin sesuai dengan sifat korosif asam

lambung yang disekresikan merupakan komponen integral yang menyebabkan cedera

jaringan. Kebanyakan agen yang merangsang sekresi asam lambung juga

meningkatkan sekresi pepsinogen. Walaupun sekresi asam lambung dihambat,

sekretin tetap merangsang sekresi pepsinogen (Harrison, 2000).

Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari (Redaksi,

2009). Penghasilan asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik,

yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan

merangsang sekresi lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat

merangsang sekresi asam lambung (Ganong, 2003). Selain pengaruh sefalik, sekresi

asam lambung interdigestif atau basal dapat dipertimbangkan untuk menjadi tahapan

sekresi. Tahap ini tidak berhubungan dengan makan, mencapai puncaknya sekitar

Page 22: Bar Uuuuuuu Uuuu

tengah malam dan titik terendahnya kira-kira pukul 7 pagi (Harrison, 2000).

Peningkatan sekresi asam lambung yang melampaui akan mengiritasi mukosa

lambung, dimana efek-efek korosif asam dan pepsin lebih banyak daripada efek

protektif pertahanan mukosa (McGuigan, 1995).

2.5 Hipotesis

Ada hubungan antara ketidakteraturan makan dengan sindroma dispepsia pada remaja

perempuan di kelas XI IPA SMA N 1 Selong Lombok Timur.

Faktor diet

Lingkungan

Fungsi motorik laambung

Sekresi asam lambung

Psikologi

Infeksi Helicobacter pylori

Sindroma Dispepsia

Remaja Perempuan

Page 23: Bar Uuuuuuu Uuuu

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectional.

3.2. Subjek Penelitian

Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah remaja perempuan yang sebagai

siswi yang sedang duduk di kelas XI IPA SMA N 1 Selong Lombok Timur pada

tahun 2012. Siswi yang menjadi subjek penelitian adalah yang memenuhi kriteria

inklusi, yaitu siswi yang bersedia menjadi responden, sedangkan untuk kriteria

eksklusi yaitu, siswi yang tidak menyerahkan kembali kuesioner penelitian pada

batas waktu yang telah ditetapkan.

3.3. Besar Sampel

Sampel dari penelitian ini adalah semua remaja perempuan yang sebagai siswi

yang sedang menjalani proses belajar di kelas XI IPA SMA N 1 Selong Lombok

Timur.

Page 24: Bar Uuuuuuu Uuuu

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

3.4.1 Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA N 1 Selong Lombok Timur.

3.4.2 Waktu penelitian

No Kegiatan Juli Agustus september Oktober november desember

1 Penyiapan

Proposal

2 Prsiapan

penelitian

dan Ethical

clearence

3 Pengambilan

data

4 Analisa data

5 Penyusunan

laporan

akhir

3. 5 Identifikasi Variabel

Variable independent Variable dependent

Ketidakteraturan makan

Sindroma dyspepsia remaja perempuan

Page 25: Bar Uuuuuuu Uuuu

3.6 Definisi Operasional

Subyek penelitian: Subyek penelitian adalah remaja perempuan yang aktif secara

akademik yang sedang duduk di kelas XI IPA SMA N 1 Selong, Lombok Timur.

Ketidakteraturan makan: Hitungan pola konsumsi makanan per hari yang diukur

berdasarkan frekuensi dan penilaian cara konsumsi dengan menggunakan angket.

Penilaian terhadap variabel ketidakteraturan makan yaitu dengan melakukan skoring.

Skor terendah adalah 7 dan skor tertinggi adalah 28.

Apabila responden menjawab:

(a) Skornya adalah 4

(b) Skornya adalah 3

(c) Skornya adalah 2

(d) Skornya adalah 1

Dari skor tersebut terbagi dalam tiga kategori

- Skor 22-28 : Baik

- Skor 15-21 : Sedang

- Skor 7-14 : Buruk

Penilaian ketidakteraturan makan:

- Teratur : kategori baik

- Tidak teratur : kategori sedang dan buruk

Page 26: Bar Uuuuuuu Uuuu

Sindroma dispepsia: sindroma dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri

dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang dan

sendawa. Pengukuran dilakukan dengan metode angket sesuai keluhan spesifik yang

terpapar pada kriteria diagnosa dispepsia fungsional berdasarkan Rome Criteria III.

Penilaian sindroma dispepsia positif adalah: Terdapatnya jawaban (Ya) pada 1

atau lebih dari pertanyaan 1-4 ataupun 2 atau lebih dari seluruh pertanyaan.

3.7. Teknik Pengumpulan Data

Data ketidakteraturan makan: diperoleh dengan menggunakan kuesioner berupa

angket yang dibagikan kepada sampel penelitian.

Data sindroma dispepsia: diperoleh dengan menggunakan kuesioner berupa angket

yang dibagikan kepada sampel penelitian.

Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Mengisi dan menandatangani informed consent

2. Siswi yang berusia 14-17 tahun.

3. Subjek penelitian yang dijadikan sampel akan diberikan Informed concent

untuk diisi dan ditandatangani sebagai persetujuan menjadi responden dalam

penelitian ini.

4. Pengembalian kuisioner.

Page 27: Bar Uuuuuuu Uuuu

3.8 Analisis Data

Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini akan digunakan SPSS sebagai

database dan program analisis data.

Setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data penelitian yang diperoleh,

hasil pengamatan akan disusun dalam tabel 2 x 2. Kemudian berdasarkan data akan

dicari rasio prevalensi untuk mengetahui pengaruh faktor resiko terhadap efek, dan

dilakukan uji hipotesis.

EFEK

FAKTOR

RESIKO

YA TIDAK JUMLAH

YA A B A+B

TIDAK C D C+D

Tabel 2 x 2 menunjukkan hasil pengamatan pada studi cross sectional.

A = subyek dengan faktor resiko yang mengalami efek

B= subyek dengan faktor resiko yang tidak mengalami efek

C= subyek tanpa faktor resiko yang mengalami efek

D= subyek tanpa faktor resiko yang tidak mengalami efek

Rumus rasio prevalens:

RP = A / (A + B) : C / (C + D)

Interpretasi hasil:

Page 28: Bar Uuuuuuu Uuuu

1. Bila rasio prevalens = 1 berarti variabel yang diduga merupakan faktor risiko

tersebut tidak ada pengaruhnya untuk terjadinya efek, dengan kata lain

bersifat netral.

2. Bila rasio prevalens > 1 berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko

timbulnya penyakit tertentu.

Penentuan uji hipotesis berdasarkan rancangan penelitian:

Langkah Jawaban

Menentukan variabel yang

dihubungkan

Variabel yang dihubungkan adalah

ketidak teraturan makan (kategorik)

dengan sindroma dispepsia (kategorik)

Menentukan jenis hipotesis Komparatif

Menentukan masalah skala variabel Kategorik

Menentukan pasangan/tidak

berpasangan

Tidak berpasangan

Menentukan jenis table B x K 2x2

Kesimpulan:

Jenis tabel pada soal ini adalah 2 x 2. Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square

bila memenuhi syarat. Bila tidak memenuhi syarat uji Chi-Square digunakan uji

alternatifnya yaitu uji Fisher.

Page 29: Bar Uuuuuuu Uuuu