BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 ... · antar sektor primer, sekunder, tersier...

20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi tidak dapat diartikan sama dengan pertumbuhan ataupun industrialisasi. Pembangunan ekonomi berarti pertumbuhan ditambah dengan terjadinya perubahan-perubahan (grow plus change), Karena adanya dimensi-dimensi kualitatif yang cukup penting dalam proses pembangunan tersebut. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Indikator dari laju pertumbuhan ekonomi suatu negara salah satunya ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto atau Produk Nasional Bruto. Syarat utama bagi pembangunan adalah proses pertumbuhannya harus bertumpu pada kemampuan perekonomian dalam negeri. Sehingga pembangunan yang terjadi tidak bersifat bias karena misalkan mengandalkan dana dari utang luar negeri. Walaupun terjadi perubahan dalam pembangunan, namun bukan merupakan hasil bersih karena masih harus dikurangi dengan pembayaran utang dan bunga. Keberhasilan pembangunan ekonomi menurut Todaro (2003) ditunjukkan oleh tiga nilai pokok yaitu: (1) perkembangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs); (2) meningkatkan rasa harga diri (self-esteem)

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 ... · antar sektor primer, sekunder, tersier...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ekonomi tidak dapat diartikan sama dengan pertumbuhan

ataupun industrialisasi. Pembangunan ekonomi berarti pertumbuhan ditambah

dengan terjadinya perubahan-perubahan (grow plus change), Karena adanya

dimensi-dimensi kualitatif yang cukup penting dalam proses pembangunan

tersebut. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana

pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk

suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

ekonomi dalam wilayah tersebut. Indikator dari laju pertumbuhan ekonomi suatu

negara salah satunya ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik

Bruto atau Produk Nasional Bruto.

Syarat utama bagi pembangunan adalah proses pertumbuhannya harus

bertumpu pada kemampuan perekonomian dalam negeri. Sehingga pembangunan

yang terjadi tidak bersifat bias karena misalkan mengandalkan dana dari utang

luar negeri. Walaupun terjadi perubahan dalam pembangunan, namun bukan

merupakan hasil bersih karena masih harus dikurangi dengan pembayaran utang

dan bunga.

Keberhasilan pembangunan ekonomi menurut Todaro (2003) ditunjukkan

oleh tiga nilai pokok yaitu: (1) perkembangan masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan pokoknya (basic needs); (2) meningkatkan rasa harga diri (self-esteem)

masyarakat sebagai manusia, dan; (3) meningkatnya kemampuan masyarakat

untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi

manusia. Ketiga hal tersebut merupakan tujuan pokok yang harus tercapai oleh

setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya berkaitan secara

langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang

terwujud dalam berbagai macam manifestasi (bentuk) di hampir semua

masyarakat dan budaya sepanjang jaman.

2.1.2 Kesenjangan Pendapatan Antar Wilayah

Kesenjangan regional diartikan sebagai ketidakseimbangan pertumbuhan

antar sektor primer, sekunder, tersier atau sektor sosial di suatu negara, distrik

atau tempat dimana peristiwa itu terjadi. Meskipun kesenjangan tidak berlaku di

semua wilayah dengan kekuatan (tingkatan) yang sama, tetap terdapat aspek-

aspek umum yang dapat memberikan beberapa generalisasi. Penyebab utama

kesenjangan antar wilayah adalah: (a) faktor geografis; (b) faktor historis; (c)

faktor politis; (d) faktor kebijakan pemerintah; dan (e) faktor administrasi

(birokrasi) (Fitria, 2006).

Berdasarkan tingkat kemajuannya, wilayah-wilayah dalam suatu negara

dapat dikelompokan secara ringkas sebagai berikut (Hanafiah, 1998):

1. Wilayah terlalu maju, terutama kota-kota besar terdapat batas pertumbuhan

atau polarisasi.

2. Wilayah netral, dicirikan dengan pendapatan dan kesempatan kerja yang

tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan sosial. Wilayah ini merupakan satelit

bagi wilayah yang telah maju.

3. Wilayah sedang, dicirikan oleh distribusi pendapatan dan kesempatan kerja

yang relatif baik dan gambaran kombinasi antara daerah maju dan kurang

maju dimana ditemui pula kelompok masyarakat miskin dan pengangguran.

4. Wilayah kurang berkembang, dicirikan dengan tingkat pertumbuhan yang

jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk

mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional.

5. Wilayah tidak berkembang, dicirikan oleh adanya industri modern yang tidak

pernah dapat berkembang dalam berbagai skala. Umumnya ditandai oleh

daerah pertanian dengan usaha tani sub-sistem dan kecil, berpenduduk jarang

dan tersebar serta tidak terdapat kota atau konsentrasi pemukiman yang relatif

besar.

Menurut Todaro (2003), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang

merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi.

Semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan berdampak negatif

terhadap pertumbuhan ekonomi. Timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat

diukur melalui distribusi penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat

ataupun antar wilayah tertentu dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut

terlihat pada nilai PDRB-nya. Ketimpangan pendapatan terjadi di negara-negara

yang baru memulai pembangunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih

tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya

rendah.

Terjadinya ketimpangan antar daerah juga diterangkan oleh Myrdal (1957)

yang membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya di sekitar

ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional dengan

menggunakan ide “spread effect” dan “backwash effect” sebagai bentuk pengaruh

penjalaran dari pusat perumbuhan ke daerah sekitar. Penyebab utama

ketimpangan regional menurut Myrdal adalah kuatnya dampak balik (backwash

effect) dan lemahnya dampak sebar (spread effect) di negara terbelakang.

Backwash effect (dampak balik) didefinisikan sebagai pengaruh yang

merugikan (infavourable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah

sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti sehingga

mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang

sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti.

Spread effect (dampak sebar) didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang

menguntungkan (favourable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan

investasi di pusat pertumbuhan ke daerah sekitar.

Kesenjangan pendapatan regional dapat dianalisis dengan menggunakan

Indeks Ketimpangan Williamson. Williamson (1965) meneliti hubungan antara

disparitas regional dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data

negara yang sudah maju dan negara sedang berkembang. Ditemukan bahwa

selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan

pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu.

2.1.3 Kebijakan Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan alternatif pemecahan masalah kesenjangan

pembangunan, terutama dalam konteks pemberdayaan pemerintah daerah yang

selama ini dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.

Tujuan pokok UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah adalah untuk

mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah

untuk mewujudkan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan

sistem pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai UUD 1945.

Sedangkan tujuan pokok UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah adalah memberdayakan dan meningkatkan kemampuan

perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan yang adil dan

mewujudkan sistem perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat

dan daerah.

Kaho (1997) menyatakan bahwa ada empat unsur yang berpengaruh

terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi, yaitu: (1) Sumber daya manusia

merupakan sektor esensial dari otonomi sebagai subjek dan objek dalam

pelaksanaan otonomi, (2) Keuangan menentukan PAD yang bersumber dari

retribusi daerah, pajak, hasil perusahaan daerah dan sebagainya, (3) Peralatan

yang cukup baik, berupa sarana dan prasarana fisik yang memperlancar

pembangunan, dan (4) Organisasi dan manajemen merupakan lembaga dan

organisasi, pemerintah daerah yang akan menjadi eksekutif dan legislatif di

daerah.

Awal pelaksanaan otonomi daerah pemerintah menjalankan berdasarkan

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Namun, tahun 2004

pemerintah telah mengeluarkan undang-undang baru, yaitu UU No. 32 Tahun

2001 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Maka setelah tahun 2004 kebijakan

otonomi daerah berlandaskan pada undang-undang baru tersebut.

Pengertian desentralisasi dan otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun

1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada

daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi

daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 merupakan hak, wewenang dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Dalam UU ini pemberian kewenangan otonomi kepada

Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada asas desentralisasi yang

dilaksanakan secara luas, nyata, dan bertanggung jawab.

Penyelenggaraan desentralisasi ini merupakan urusan pemerintahan antara

pemerintah pusat dengan daerah otonom, dengan bagian urusan pemerintah yang

bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam

bagian/bidang tertentu dapat dilaksanakan secara bersama antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah. Untuk mewujudkan pembangunan kewenangan yang

concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah

Kabupaten, dan Kota seperti yang tercermin dalam Undang-Undang No. 32 Tahun

2004, maka di susunlah kriteria yang meliputi :

1. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan

dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang di timbulkan dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.

2. Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan

dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu

bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan

dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut.

3. Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan

dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan

peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang

harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan.

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 menyatakan bahwa dalam

penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan wewenang dan kemampuan

menggali sumber-sumber keuangan sendiri untuk mendukung pemerintahan dan

pembangunan di daerah, adapun sumber-sumber keuangan daerah di antaranya

adalah pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain

pendapatan yang sah.

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang digantikan oleh Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

adalah dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-

lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber

pembiayaan berasal dari daerah sendiri, yang terdiri dari (1) hasil pajak daerah;

(2) hasil retribusi daerah; (3) hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan

kekayaan daerah yang dipisahkan; (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,

diharapkan dapat menjadi penyangga uama dalam membiayai kegiatan-kegiatan

pembangunan di daerah. Semakin banyak kebutuhan daerah yang dapat dibiayai

dengan pendapatan asli daerah, maka semakin tinggi pula kualitas otonomi

daerah, juga semakin baik dalam bidang keuangan daerahnya.

2.1.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Dalam bidang ekonomi, produk domestik bruto (PDB) adalah nilai semua

barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Produk

Domestik Bruto merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan

nasional. Menurut Gillis, et. al (1987) PDB adalah penjumlahan nilai produk akhir

barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat selama jangka waktu tertentu

(biasanya satu tahun) tanpa menghitung nilai produk antara, dalam penghitungan

mengeluarkan pendapatan warga negara yang berada di luar negeri termasuk

pendapatan yang diterima warga asing. Di tingkat regional, PDB menjadi Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB).

Produk Domestik Nasional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah

nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit produksi/usaha di

dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir

yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah dalam jangka waktu

tertentu (BPS, 2006). Untuk mengetahui tingkat perkembangan pendapatan

penduduk suatu daerah secara rata-rata dapat digunakan angka PDRB per kapita.

PDRB perkapita penduduk di suatu daerah dihasilkan dengan membagi

pendapatan domestik dengan jumlah penduduk pertengahan tahun di daerah yang

bersangkutan.

Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode, antara lain

(Dumairy, 1996):

a. Metode Langsung

Penghitungan PDRB dengan metode langsung didasarkan pada data yang

terpisah antara data daerah dan data nasional, sehingga hasil penghitungannya

mencakup seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah

tersebut. Dalam metode ini PDRB dapat dihitung melalui tiga pendekatan,

yaitu:

1. Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan

oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu

tertentu. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah

menjadi 11 sektor (dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian,

(2) pertambangan dan galian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan

air minum, (5) bangunan, (6) perdagangan, (7) pengangkutan dan

komunikasi, (8) bank dan lembaga keuangan lainnya, (9) sewa rumah, (10)

pemerintah, (11) jasa-jasa.

2. Pendekatan Pendapatan

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor

produksi yang turut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam

jangka waktu satu tahun. Balas jasa produksi yang dimaksud meliputi

upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya

dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya.

Dalam hal ini mencakup juga pajak penyusutan dan pajak-pajak tak

langsung netto. Jumlah komponen semua pendapatan per sektor disebut

nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena itu, PDRB menurut pendekatan

pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor

atau lapangan usaha.

3. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir,

meliputi: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta

yang tidak mencari keuntungan, (2) pembentukan modal tetap domestik

bruto dan perubahan stok, (3) pengeluaran konsumsi pemerintah, (4)

ekspor netto (yaitu ekspor dikurang impor), dalam jangka waktu satu

tahun.

b. Metode Tidak Langsung atau Alokasi

Penghitungan PDRB melalui metode tidak langsung dilakukan dengan

cara menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan

mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam masing-masing kegiatan

ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang

paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan

ekonomi tersebut.

Penghitungan PDRB pada suatu daerah/wilayah dengan menggunakan

metode langsung maupun tidak langsung sangat bergantung pada data yang

tersedia. Pada dasarnya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling menunjang

satu sama lain karena penghitungan dengan metode langsung akan mendorong

peningkatan mutu atau kualitas data daerah, sedangkan penghitungan dengan

menggunakan metode tidak langsung merupakan koreksi dan pembanding bagi

data daerah.

Berdasarkan penjelasan di atas, PDRB dari suatu daerah/wilayah lebih

menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah bukan pada pendapatan yang

sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah yang bersangkutan. Meskipun

demikian, PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan

pedapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.

2.1.5 Konvergensi Mutlak dan Bersyarat

Dalam konsep pertumbuhan ekonomi, konvergensi pertumbuhan adalah

kecenderungan perekonomian-perekonomian daerah miskin tumbuh lebih cepat

dibanding perekonomian daerah kaya. Sehingga diharapkan perekonomian daerah

miskin akan mengejar ketertinggalan dan ketimpangan perekonomian antar daerah

akan menurun. Model standar pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa tingkat

pertumbuhan tergantung dari perekonomian awal. Hubungan yang negatif antara

pendapatan dengan tingkat pertumbuhan berarti daerah kaya mengalami

pertumbuhan ekonomi rendah yang menunjukkan pendapatan cenderung

konvergen secara mutlak. Proses konvergen seperti ini disebut dengan

konvergensi mutlak (Absolut Convergence). Oleh karena kenyatannya bahwa

antar daerah mempunyai karakteristik perekonomian yang beragam

mengakibatkan dugaan proses konvergensi mutlak pada umumnya diikuti oleh

konvergensi bersyarat (Conditional Convergence) (Romer, 2006).

Terdapat dua konsep utama konvergensi dalam perekonomian, yaitu sigma

(σ) corvengence dan beta (β) convergence. Kegunaan sigma convergence adalah

untuk mengukur tingkat dispersi dari pertumbuhan. Sedangkan kegunaan beta

convergence adalah untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor yang

diperkirakan menentukan tingkat konvergensi.

Prosedur untuk menguji beta convergence adalah dengan terlebih dahulu

mencari tahu apakah terdapat konvergensi nonkondisional (unconditional

convergence) atau konvergensi absolut (absolute convergence). Kemudian

barulah menguji “’konvergensi yang dapat dijelaskan” (explained convergence)

atau konvergensi kondisional (conditional convergence).

Konvergensi absolut dilakukan dengan mengestimasi model ekonometrika

dimana varibel dependen awal periode (initial conditionaI) sebagai satu-satunya

variabel penjelas bagi variabel dependen. Sedangkan konvergensi kondisional

dilakukan dengan mengikutsertakan sejumlah variabel penjelas dalam pengujian

selain variabel dependen awal periode.

Konvergensi bruto atau sigma (σ) diukur dengan menggunakan ukuran

dispersi yang dalam hal ini adalah koefisien variasi dan standar deviasi dari nilai

logaritma variabel dependen. Spesifikasi model yang digunakan untuk konvergen

absolut adalah:

Yit = β0 + β1 Y(i,t −1) + eit

dimana variabel dependen adalah pertumbuhan PDRB dengan variabel

penjelasnya pertumbuhan PDRB awal periode Y(i,t-1). Jika koefisien tersebut

negatif dan signifikan secara statistik maka dikatakan σ convergence telah terjadi

dengan implikasi dalam konteks Provinsi Jawa Barat, kabupaten/kota dengan

tingkat awal PDRB per kapita yang rendah cenderung mengejar ketertinggalannya

dari kabupaten/kota yang tingkat awal PDRB per kapitanya tinggi. Dalam

penelitian ini akan digunakan pendekatan data panel dalam upaya mengestimasi

model yang ada.

Sedangkan untuk menghitung β convergence menurut Barro dan Martin

(1995) dalam Fitria (2006) adalah:

β =

dimana β1 adalah koefisien variabel penjelas dan T adalah lama periode waktu. β

convergence atau konvergensi bersyarat (kondisional) adalah koefisien tingkat

awal PDRB per kapita bila laju pertumbuhan PDRB per kapita diregresi terhadap

tingkat awal PDRB per kapita dan variabel bebas sebagai control seperti kondisi

awal anggaran belanja pemerintah, angka harapan hidup dan tingkat partisipasi

SMP per kapita (tingkat pendidikan). β convergence mensyaratkan faktor-faktor

awal yang harus dipenuhi agar konvergensi itu terjadi.

Saldana dalam Tambunan (2003) menyatakan bahwa pada saat σ

convergence terjadi maka β convergence juga terjadi. Namun tidak sebaliknya σ

convergence tidak selalu terjadi apabila β convergence terjadi.

2.2 Penelitian-penelitian Terdahulu

Perhatian mengenai kesenjangan di tingkat nasional mulai dilakukan pada

awal tahun 1970-an. Tim peneliti dibawah Esmara merupakan pelopor dalam hal

ini. Kesimpulan umum yang dicapai oleh Asmara adalah bahwa kesenjangan antar

daerah adalah cukup menonjol, terutama yang berkaitan dengan sumber daya

alam, tingkat produktivitas per kapita, kualitas tenaga kerja dan efisiensi

penggunaan sumber daya dan organisasi.

Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional

pernah dilakukan oleh Uppal dan Handoko (1986) dalam Jaenudin (2007) dengan

menggunakan formulasi Williamson (CVw) untuk tahun 1976-1980. Uppal dan

Handoko mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan

PDRB diluar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat

tendensi menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan belum

mengarah pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan

ketimpangan pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan

kepada propinsi.

Tabel 4. Indeks Ketimpangan Pendapatan Penelitian Terdahulu

Tahun Diluar Migas

Uppal & Handoko Tadjoeddin Tadjoeddin, et al. Sjafrizal

1971 0,396 1972 0,406 1973 0,415 1974 0,483 1975 0,462 1976 0,4631 0,415 1977 0,4609 0,396 1978 0,4344 0,429 1979 0,5240 0,417 1980 0,4435 0,425 1981 0,445 1982 0,438 1983 0,498 1984 0,4875 0,515 1985 0,4714 0,494 1986 0,4600 0,474 1987 0,4567 0,471 1988 0,4609 0,465 1989 0,5632 0,493 1990 0,5385 0,484 1991 0,5392 0,536 1992 0,5442 0,535 1993 0,5489 0,932 0,544 1994 0,938 0,643 1995 0,962 0,653 1996 0,966 0,654 1997 0,982 0,671 1998 0,965 0,605

Sumber: Uppal dan Handoko dalam Jaenudin (2007) dan Tadjoeddin (1996) dan Tadjoeddin, et al. (2001) dan Sjafrizal (2000) dalam Tambunan (2003).

Tadjoeddin (1996) juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional

dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama untuk periode 1984-1993.

Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan

pendapatan selama periode analisis. Tadjoeddin, Suharyo dan Mishra (2001)

melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional selama tahun

1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB per kapita

menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia berdasarkan harga tahun 1998.

Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan yang semakin meningkat.

Sjafrijal (2000) dalam Tambunan (2003), menganalisis ketimpangan antara

Indonesi Kawasan Barat (IKB) dengan Indonesia Kawasan Timur (IKT) dengan

memakai data PDRB untuk periode 1971-1998. Dengan menggunakan formulasi

yang sama, hasil yang diperoleh menunjukkan adanya tendensi peningkatan

ketimpangan ekonomi antara propinsi di Indonesia sejak awal 1970-an.

Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dan

tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data negara yang sudah

maju dan sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal

pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan

terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu.

Matolla (1985) menganalisis besarnya kesenjangan pendapatan antar

daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981 dengan menggunakan formulasi

Williamson. Matolla juga menganalisis peranan sektor pertanian dalam

mengurangi kesenjangan pendapatan daerah. Untuk melihat peranan tersebut,

bandingkan besarnya kesenjangan pendapatan daerah dengan dan tanpa

memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil yang diperoleh

dari analisis tersebut menunjukkan bahwa besarnya kesenjangan dengan

memasukkan sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil bila dibandingkan

dengan tanpa memasukan PDRB sektor pertanian. Hal tersebut menunjukkan

bahwa sektor pertanian mempunyai peranan untuk mengurangi tingkat

kesenjangan pendapatan yang terjadi.

Tabel 5. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Jawa Barat

Tahun CVw Persentase Penurunan

Kesenjangan Pendapatan Daerah

Tanpa PDRB Sektor Pertanian

Dengan PDRB Sektor Pertanian

1977 0,467 0,323 44,6 1978 0,380 0,256 48,4 1979 0,382 0,269 42,3 1980 0,377 0,274 37,6 1981 0,316 0,222 42,3

Sumber: Mattola (1985)

Fitria (2006) menganalisis tentang kesenjangan antara kabupaten/kota di

Pulau Jawa. Dari hasil analisisnya dapat diperoleh bahwa kesenjangan antara

kabupaten/kota di Pulau Jawa sebelum krisis selama periode 1993-1998

memburuk. Pada tahun 1993 tingkat kesenjangan antara kabupaten/kota sebesar

0,991 sedangkan pada tahun 1998 menjadi 0,9924, tetap setelah krisis

kesenjangan membaik, tahun 2004 tingkat kesenjangan 0,991. Tingkat

kesenjangan antara kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 1993-2004 tidak

terjadi dengan menganggap pendidikan mempengaruhi konvergensi pendapatan,

maka tingkat konvergensi antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi secara

signifikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Jaenudin (2007) mengenai analisis

ketimpangan pendapatan antar daerah di Jawa Barat tahun 1997-2005,

menyatakan bahwa pada periode 1997-2000, Kota Cirebon merupakan daerah

yang termasuk masuk kategori maju dan berkembang cepat. Sedangkan daerah

yang lainnya terdapat pada klasifikasi daerah yang berkembang cepat, daerah

maju tapi tertekan, dan daerah kurang berkembang. Sedangkan pada masa

otonomi daerah, pada kategori 1 terdapat Kota Bandung dan kota Sukabumi.

Secara umum, berdasarkan penghitungan Indeks CVw pada setiap tahun analisis,

diperoleh kesimpulan bahwa indeks ketimpangan antar daerah di Provinsi Jawa

Barat cenderung meningkat.

Masrukhin (2009) meneliti tentang konvergensi pendapatan antar

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode 2000-2007. Berdasarkan hasil

estimasi, tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi sebesar – 0,933 (< 0) hal ini

berarti pendapatan antar kabupaten/kota cenderung konvergen (makin merata)

atau daerah miskin tumbuh lebih cepat dari daerah kaya. Sedangkan untuk

variabel jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja koefisien regresinya

– 2,025 (< 0) menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang

bekerja cenderung konvergen dan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan

PDRB per kapita. Hasil analisis data panel dengan menggunakan software EViews

6 menunjukkan bahwa PDRB kabupaten/kota di Jawa Barat dipengaruhi secara

positif dan signifikan oleh PAD, PDRB per pekerja, pengeluaran pembangunan

pemerintah kabupaten/kota, persentase penduduk yang tamat SMA dan

dipengaruhi secara negatif oleh pangsa sektor pertanian terhadap PDRB.

Sedangkan jumlah penduduk, penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja,

pangsa sektor industri terhadap PDRB dan pangsa sektor perdagangan terhadap

PDRB tidak berpengaruh terhadap PDRB.

Berdasarkan penelitian terdahulu, yang membedakan penelitian ini adalah

waktu, metode, serta variabel yang digunakan untuk melihat dan menganalisis

faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi kesenjangan pendapatan

regional di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2001-2008.

2.3 Kerangka Pemikiran

Keanekaragaman karakteristik alam, ekonomi, sosial dan budaya

menimbulkan pola pembangunan ekonomi yang berbeda di masing-masing daerah

sehingga beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat sementara wilayah

lainnya tumbuh dengan lambat. Perbedaan kemampuan untuk tumbuh tersebut

menimbulkan kesenjangan ekonomi seperti ketimpangan pendapatan antar

golongan, antar sektor, antar wilayah, desa-kota, dan antar daerah dengan

sumberdaya alam melimpah dan daerah dengan sumberdaya alam sedikit.

Sebagai suatu provinsi, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat juga

sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten dan kota yang

ada. Potensi yang ada diharapkan dapat memberikan sumbangan atau suatu

kontribusi yang besar dalam penerimaan dan pengeluaran pemerintah sebagai

upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat.

Berdasarkan hal diatas penelitian ini berupaya menjawab beberapa tujuan

yaitu mengukur tingkat kesenjangan pendapatan antar daerah di Provinsi Jawa

Barat dengan menggunakan Indeks Williamson. Sehingga besarnya nilai

ketimpangan daerah setiap tahun selama periode penelitian dapat diketahui. Untuk

melihat turun-naiknya indeks ketimpangan, angka-angka ketimpangan daerah

diplot ke dalam sebuah grafik sehingga diperoleh trend ketimpangan yang terjadi

di Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan data PDRB per kapita, dapat dianalisis konvergensi

pendapatan antar kabupaten/kota agar dapat diketahui kecenderungan pola

pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dengan

menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dan analisis data panel. Selain

itu, untuk menfidentifikasi daerah-daerah yang mengalami kemajuan selama

periode analisis digunakan Klassen Typology. Sehingga dapat diketahui

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang mengalami kemajuan/kemunduran

selama periode analisis.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Atas Dasar

Harga Konstan tahun 2000 di tiap kabupaten/kota agar diperoleh prioritas

kebijakan yang tepat untuk meningkatkan pendapatan itu sendiri maka akan

dianalisis bagaimana pengaruh pengaruh jumlah penduduk, pangsa sektor

pertanian terhadap PDRB, pangsa sektor industri terhadap PDRB, indeks

pendidikan dan indeks kesehatan.

Kesenjangan bisa dikurangi dengan cara mengembangkan sektor-sektor

ekonomi yang mempunyai potensi terhadap pembentukan PDRB dan mampu

menyerap tenaga kerja yang besar. Selain itu perlu adanya perbaikan atau

pengembangan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan

tersebut.

Di era otonomi daerah sekarang ini, masing-masing daerah dituntut untuk

bisa mengembangkan perekonomian daerahnya sesuai dengan potensi yang

dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Sehingga dapat mengurangi kesenjangan

pembangunan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan

pembagian pendapatan yang merata bagi semua golongan dan lapisan masyarakat.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional 2.4. Hipotesis Penelitian

Untuk memberikan pengarahan dalam melakukan analisis data,

berdasarkan penelitian terdahulu dikemukakan hipotesis sebagai berikut:

1. Kesenjangan pendapatan dan trend ketimpangan kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Barat selama periode analisis cenderung meningkat.

2. Diduga terjadi konvergensi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

3. Varibel-variabel yang dianalisis berpengaruh secara signifikan terhadap

PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000.

Keanekaragaman dalam Karakteristik Wilayah

Trend Ketimpangan

Konvergensi Antar Kabupaten/Kota

Kesenjangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota

Pola Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Rekomendasi/ Masukan Pemerintah/ Pembuat Kebijakan

Faktor-faktor yang Harus diperhatikan untuk Meningkatkan Laju PDRB

Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB

Kabupaten/Kota

Analisis Ketimpangan (CVw)

Analisis Trend Ketimpangan

Analisis Panel Data

Klassen Typology

Analisis Deskriptif Kualitatif

Analisis Panel Data