BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana. Kajian Tentang ......A. Tindak Pidana. Kajian Tentang ....

33
30 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana. Kajian Tentang Tindak Pidana Para ahli membagi hukum pidana berdasarkan beberapa hal. Salah satunya, hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Dalam bukunya berjudul Dasar-dasar Hukum Pidana, PAF Lamintang menjelaskan bahwa hukum pidana itu juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu, hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus (bijzonder strafcrecht). 1 Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang pada umumnya, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu. 2 Secara singkat, dapat dilihat pembagian hukum pidana umum dengan hukum pidana khusus dengan peraturan yang ada, yakni bahwa hukum pidana yang diatur di dalam KUHP merupakan hukum pidana umum, karena ketentuan di dalamnya berlaku untuk semua orang. Sedangkan 1 P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984 , hal.11 2 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 2-3.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana. Kajian Tentang ......A. Tindak Pidana. Kajian Tentang ....

  • 30

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tindak Pidana.

    Kajian Tentang Tindak Pidana

    Para ahli membagi hukum pidana berdasarkan beberapa hal. Salah

    satunya, hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana umum dan

    hukum pidana khusus.

    Dalam bukunya berjudul Dasar-dasar Hukum Pidana, PAF

    Lamintang menjelaskan bahwa hukum pidana itu juga dapat dibagi

    menjadi dua bagian, yaitu, hukum pidana umum (algemeen strafrecht)

    dan hukum pidana khusus (bijzonder strafcrecht).1

    Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja

    telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang pada umumnya,

    sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan

    sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu.2

    Secara singkat, dapat dilihat pembagian hukum pidana umum dengan

    hukum pidana khusus dengan peraturan yang ada, yakni bahwa hukum

    pidana yang diatur di dalam KUHP merupakan hukum pidana umum,

    karena ketentuan di dalamnya berlaku untuk semua orang. Sedangkan

    1 P.A.F. Lamintang,”Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia”, Bandung: Sinar Baru, 1984 ,

    hal.11 2 P.A.F. Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, Citra Aditya Bakti,

    Bandung, 1997, hal. 2-3.

  • 31

    hukum pidana khusus, bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan

    yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP, misalnya UU Tindak

    Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, dan lainnya.3

    1. Tindak Pidana Umum

    Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

    ditemukan istilah strafbaarfeit. Tim Penerjemah Badan Pembinaan

    Hukum Nasional dalam menerjemahkan KUHP dari bahasa Belanda

    ke bahasa Indonesia telah menerjemahkan istilah strafbaarfeit ini

    sebagai tindak pidana. Namun di dalam KUHP tidak diberikan

    pengertian terhadap istilah tindak pidana (strafbaarfeit) itu sendiri.

    Selain itu, para penulis hukum pidana juga memberikan

    pendapat mereka masing-masing guna menjelaskan tentang arti dari

    istilah tindak pidana. Diantaranya adalah Wiryono Prodjodikoro

    yang menjelaskan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

    apabila dilakukan oleh pelaku, maka pelakunya seharusnya dipidana

    berdasarkan undang-undang hukum pidana.4 Menurut Vos, tindak

    pidana adalah salah kelakuan yang diancam oleh peraturan

    perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya

    dilarang dengan ancaman pidana.5 Menurut Simons, tindak pidana

    3 Ibid

    4 Wirjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia”, Refika Aditama,

    Bandung, 2008, hal. 58. 5 Tri Andrisman. Hukum Pidana. Universitas Lampung. 2007. Bandar Lampung, hal. 81

  • 32

    adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang

    bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan

    yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.6

    Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana

    yang lain, Tindak Pidana dirumuskan didalam pasal-pasal. Perlu

    diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana kepastian hukum atau

    lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh

    asas legalitas pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Untuk benar-benar

    memahami apa yang dimaksudkan didalam pasal-pasal itu masih

    diperlukan penafsiran.7

    Pompe mendefinisikan tindak pidana sebagai adalah suatu

    pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan

    sipelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata

    hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum sedangkan menurut

    hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-

    undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.8

    Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah suatu perbuatan

    yang memiliki unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur yang

    dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:

    6Ibid.

    7 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 55-56.

    8Ibid.

  • 33

    a. Subyektif adalah berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung

    dihatinya.

    b. Obyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaannya,

    yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari

    sipelaku itu harus dilakukan.9

    Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diketahui

    tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan

    sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang

    dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana

    terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan

    terjaminnya kepentingan umum.

    2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Umum

    Menurut Moeljatno, jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas

    dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:10

    a. Menurut Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dibedakan

    antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan

    Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak

    pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan

    hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi

    Buku ke II dan Buku III melainkan juga merupakan dasar

    9Moeljatno, “Azas-Azas Hukum Pidana”, Rineka Cipta. 1993. Jakarta. hal. 69

    10Ibid, hal. 47

  • 34

    bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam Perundang-

    undangan secara keseluruhan.

    b. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil

    (formeel elicten) dan tindak pidana materil (materiil

    delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang

    dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah

    melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 351 KUHP

    yaitu tentang penganiayaan. Tindak pidana materil inti

    larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang,

    karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang

    itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

    c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan

    menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak

    pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak

    pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP

    antara lain sebagai berikut: Pasal 310 KUHP (penghinaan)

    yaitu sengaja menyerang kehormatan atau nama baik

    seorang, Pasal 322 KUHP (membuka rahasia) yaitu dengan

    sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena

    jabatan atau pencariannya. Pada delik kelalaian (culpa) orang

  • 35

    juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 360

    Ayat 2 KUHP yang menyebabkan orang lain luka-luka.

    d. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana aktif

    (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil

    adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan

    adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya

    Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan penipuan (Pasal 378

    KUHP). Tindak pidana dibedakan menjadi dua yaitu:

    1. Tindak pidana murni adalah tindak pidana yang

    dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada

    dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif,

    misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.

    2. Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang

    pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat

    dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang

    mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan

    tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP.

    Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-

    jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak

    pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil,

  • 36

    tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak

    pidana aktif dan tindak pidana pasif.

    Klasifikasi tindak pidana menurut system KUHP dibagi

    menjadi dua bagian, kejahatan (minsdrijven) yang diatur dalam Buku

    II KUHP dan pelanggaran overtredigen yang diatur dalam Buku III

    KUHP. Pembagian perbedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan

    atas perbedaan prinsipil, yaitu:

    a. Kejahatan adalah rechtsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang

    bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini terlepas

    perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Perundang-undangan

    atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat

    sebagai bertentangan dengan keadilan.

    b. Pelanggaran adalah wetsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang

    didasari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena

    undang-undang menyebutkan sebagai delik.11

    3. Tindak Pidana Khusus

    Selain Tindak Pidana Umum, adapula Tindak Pidana Khusus.

    Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti

    dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan,

    11

    Tri Andrisman, Op.Cit, hal. 86

  • 37

    apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Oleh karena yang

    dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana yang berada di

    luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari

    Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materiil maupun

    dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan

    tidaklah disebut Hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana

    Khusus.12

    Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu

    atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh

    orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana

    khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum

    Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur

    dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan

    hukum pidana yang terdapat dalam UU Pidana merupakan indikator

    apakah UU Pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau

    bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana

    Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU

    Pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang

    mengatakan: “Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi

    tersendiri”.

    12

    Andi Hamzah, “Perkembangan Hukum Pidana Khusus”, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 14-15

  • 38

    UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak

    Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum

    Administrasi Negara terutama mengenai penyalahgunaan

    kewenangan. Tindak Pidana yang menyangkut penyalahgunaan

    kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.

    4. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus

    Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap,

    akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada

    penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU

    Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh: UU No. 32 Tahun

    1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No. 24

    Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar

    Uang, sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini

    tidak lagi merupakan tindak pidana khusus.

    Ruang lingkup hukum tindak pidana khusus:

    a. Hukum Pidana Ekonomi (UU Drt. No. 7 Tahun 1955)

    b. Tindak Pidana Korupsi

    c. Tindak Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika

    d. Tindak Pidana Perpajakan

    e. Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai

  • 39

    f. Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering)

    g. Tindak Pidana Anak

    Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang

    lebih khusus dari kedua tindak pidana khusus lainnya. Tindak pidana

    ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan

    pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya

    Jaksanya harus Jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan

    hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus

    pengadilan ekonomi.

    B. Tindak Pidana Korupsi

    Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja

    corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,

    menyogok. Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat

    publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak

    wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang

    dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang

    dipercayakan kepada mereka.13

    13

    Muhammad Shoim, “Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik

    Terhadap Tingkat Korupsi pada Lembaga Peradilan di Kota Semarang”), Pusat Penelitian

    IAIN Walisongo Semarang, 2009, hal.14

  • 40

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah

    berarti: buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan

    padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan

    pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan

    atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan

    pribadi atau orang lain.14

    Menurut Sudarto, istilah korupsi berasal dari perkataan

    “Corruption”, yang berarti kerusakan. Misalnya dapat dipakai dalam

    kalimat Naskah Kuno Negara Kertagama ada yang Corrup (rusak).

    Disamping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan

    atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak disangkutkan kepada

    ketidak-jujuran seseorang dalam bidang keuangan.

    Sedangkan pada pandangan lainnya Kata „”Korupsi” berasal dari

    bahasa latin “Corruptio” atau “Corruptus”. Selanjutnya disebutkan

    bahwa “Corruptio” itu berasal pula dari kata asal “Corrumpere” suatu

    kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa

    Eropa seperti Korupsi.15

    Sementara, disisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, corruption) juga

    bisa bermakna kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Definisi ini

    14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal. 527 15

    Nyoman Sarikat Putera Jaya, “Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di

    Indonesia”, Cetakan Kedua. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hal. 12

  • 41

    didukung oleh Acham yang mengartikan korupsi sebagai suatu tindakan

    yang menyimpang dari norma masyarakat dengan cara memperoleh

    keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan kepentingan umum.

    Intinya, korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan

    publik atau pemilik untuk kepentingan pribadi. Sehingga, korupsi

    menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif, yaitu memiliki

    kewenangan yang diberikan publik yang seharusnya untuk

    kesejahteraan publik, namun digunakan untuk keuntungan diri sendiri.

    Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh

    perhitungan oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan

    terpelajar. Korupsi juga bisa dimungkinkan terjadi pada situasi dimana

    seseorang memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian

    sumber-sumber dana dan memiliki kesempatan untuk

    menyalahgunakannya guna kepentingan pribadi. Nye mendefinisikan

    korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas formal sebagai

    pegawai publik untuk mendapatkan keuntungan finansial atau

    meningkatkan status. Selain itu, juga bisa diperoleh keuntungan secara

    material, emosional, atau pun simbol.16

    Kata korupsi telah dikenal luas oleh masyarakat, tetapi definisinya

    belum tuntas dibukukan. Pengertian korupsi berevolusi pada tiap zaman,

    16

    Nadiatus Salama, “Fenomena Korupsi Indonesia (Kajian Mengenai Motif dan Proses

    Terjadinya Korupsi)”,Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2010, hal.16-17.

  • 42

    peradaban, dan teritorial. Rumusannya bisa berbeda tergantung pada

    titik tekan dan pendekatannya, baik dari perspektif politik, sosiologi,

    ekonomi dan hukum. Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam

    kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji

    dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles

    misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, telah merumuskan sesuatu

    yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption).17

    Sebetulnya pengertian korupsi sangat bervariasi. Namun demikian,

    secara umum korupsi itu berkaitan dengan perbuatan yang merugikan

    kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau

    kelompok tertentu.18

    Agar bisa mendapatkan pemahaman secara

    gamblang, berikut ini adalah pandangan dan pengertian korupsi menurut

    berbagai sumber:

    a. Syed Husein Alatas.

    Menurut pemakaian umum, istilah “korupsi” pejabat, kita

    menyebut korup apabila seorang pegawai negeri menerima

    pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud

    mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada

    kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan

    17

    Albert Hasibuan, “Titik Pandang Untuk Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan”, Jakarta,

    1997, hlm. 342-347 18

    BPKP, “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional”, Pusat Pendidikan dan Pengawasan

    BPKP, Jakarta, Cet I, 1999,hal. 257

  • 43

    menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang

    menggoda juga tercakup dalam konsep itu. Pemerasan, yakni

    permintaan pemberian-pemberian atau hadiah seperti itu dalam

    pelaksanaan tugas-tugas publik, juga bisa dipandang sebagai

    „korupsi‟. Sesungguhnyalah, istilah itu terkadang juga dikenakan

    pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang

    mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri; dengan kata lain,

    mereka yang bersalah melakukan penggelapan di atas harga yang

    harus dibayar publik.19

    b. David H. Bayley

    Korupsi sebagai “perangsang” (seorang pejabat

    pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti misalnya, suapan)

    agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya”. Lalu suapan

    (sogokan) diberi definisi sebagai “hadiah, penghargaan,

    pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau

    dijanjikan, dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah

    laku, terutama seorang dari dalam kedudukan terpercaya (sebagai

    pejabat pemerintah).20

    Jadi korupsi sekalipun khusus terkait

    dengan penyuapan atau penyogokan, adalah istilah umum yang

    19

    Ibid, hal. 257-258 20

    Ibid, hal. 263

  • 44

    mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan

    demi mengejar keuntungan pribadi.

    1. Konsep Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif

    Hukum Pidana

    Dalam konteks hukum pidana upaya pencegahan dilakukan

    dengan upaya preventif yang menekankan pada usaha pencegahan

    korupsi yang diarahkan untuk meminimalkan penyebab dan peluang

    untuk dilakukannya tindak pidana korupsi.

    Menurut Bassiuni, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi

    bahwa tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya

    terwujud dalam kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai

    tertentu yang perlu dilindungi dan kepentingan-kepentingan sosial

    tersebut adalah sebagai berikut: 21

    a. Pemeliharaan tertib masyarakat;

    b. Perlindungan warga masyarakat dari tindak kejahatan;

    c. Memasyarakatkan kembali (rasionalisasi) para pelaku

    kejahatan atau pelanggar hukum;

    21

    Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, (Bandung: Citra AdityaBakti, 1996), hal. 36

  • 45

    d. Memelihara dan mempertahankan integritas pandangan-

    pandangan tertentu mengenai keadilan sosial, martabat

    kemanusiaan dan keadilan individu.

    Sehingga sangat tegas bahwa hukum pidana harus

    disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan

    mempertahankan kepentingan-kepentingan masyarakat. Maka sangat

    tepat bahwa pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan

    pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan hukum

    merupakan suatu langkah kebijakan atau policy yang merupakan

    bagian dari politik hukum (penegakan hukum), politik hukum pidana,

    politik kriminal dan politik sosial.

    Terkait dengan pencegahan tindak pidana korupsi dengan

    menitikberatkan pada faktor-faktor kondusif terjadinya tindak pidana

    korupsi. Faktor kondusif sebagaimana dimaksud di antaranya

    berpusat pada masalah-masalah sosial yang secara langsung atau

    tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan tindak

    pidana korupsi di Indonesia. Faktor sosial dan penyebab terjadinya

    tindak pidana korupsi dengan merujuk pada pandangan Badan

    Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan bahwa

  • 46

    terjadinya tindak pidana Korupsi di Indonesia di antaranya

    disebabkan oleh beberapa aspek di antaranya adalah: 22

    Pada dasarnya definisi Pencegahan atau preventif adalah

    pendekatan, prosedur dan metode yang dibuat untuk meningkatkan

    kompetensi interpersonal seseorang dan fungsinya sebagai individu,

    pasangan, orang tua, ataupun dalam keterlibatan dalam suatu

    kelompok, komunitas ataupun lembaga.23

    Pengertian lain dari upaya pencegahan/preventif adalah

    sebuah usaha yang dilakukan individu dalam mencegah terjadinya

    sesuatu yang tidak diinginkan. Preventif secara etimologi berasal dari

    bahasa latin pravenire yang artinya datang

    sebelum/antisipasi/mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam

    pengertian yang luas preventif diartikan sebagai upaya secara sengaja

    dilakukan untuk mencegah terjadinyan gangguan, kerusakan, atau

    kerugian bagi seseorang. Dengan demikian upaya preventif adalah

    tindakan yang dilakukan sebelum sesuatu terjadi. Hal tersebut

    dilakukan karena sesuatu tersebut merupakan hal yang dapat merusak

    ataupun merugikan.24

    22

    Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional”, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawas BPKP, 1999, hal. 83-96. 23

    Leden Marpaung,”Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan”, Jakarta: Bina Grafika. 2001, hal.10. 24

    Ibid, hal.11

  • 47

    Menurut sudut pandang hukum, Pencegahan adalah suatu

    proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu

    hal tidak terjadi. Dapat dikatakan pula suatu upaya yang dilakukan

    sebelum terjadinya pelanggaran. Upaya pencegahan kejahatan

    merupakan upaya awal dalam menanggulangi kejahatan.25

    Berbeda dengan pencegahan, penanggulangan atau

    pemberantasan korupsi ditujukan kepada pelaku-pelaku korupsi.

    Artinya penanggulangan atau pemberantasan dilakukan pada saat

    korupsi sudah dilakukan, penekanannya pada tindakan represif dan

    reaktif. Sehingga kebijakan tentang penanggulangan korupsi ini pada

    dasarnya sama sekali tidak membuat korupsi hilang.26

    2. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dengan Sarana

    “ Penal ” dan “Non- Penal”

    Usaha yang rasional untuk melakukan pencegahan tindak

    pidana korupsi adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal

    (hukum pidana) seperti yang dijelaskan di atas, tetapi dapat juga

    dengan menggunakan sarana-sarana yang non-penal. Sarana non-

    penal mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Upaya

    preventif yang di maksud adalah upaya yang dilakukan sebelum

    25

    Ibid 26

    Ibid

  • 48

    terjadinya tindak pidana korupsi dengan cara menangani faktor-

    faktor pendorong terjadinya korupsi yaitu lebih jelas mengenai

    pencegahan.27

    a. Sarana Penal

    Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat

    dilakukan melalui sarana “penal” dan “non penal”, Upaya

    penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal) dalam

    mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya

    merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy).

    Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana

    (sarana penal) lebih menitik beratkan pada sifat “Represive”

    (Penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan atau

    tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal

    merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu

    kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak

    hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan

    korupsi dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak

    pidana korupsi yang terjadi kepada pihak penegak hukum dalam hal

    ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk diproses sesuai dengan ketentuan

    hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana yang

    27

    Barda Nawawi Arief, Op Cit, hal. 86-87

  • 49

    dijatuhkan kepada pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah

    kepada pelaku sesuai dengan tujuan pemidanaan.28

    Walaupun penggunaan sarana hukum pidana “penal” dalam

    suatu kebijakan kriminal bukan merupakan posisi strategis dalam

    penanggulangan tindak pidana korupsi, namun bukan pula suatu

    langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil

    sikap ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana “penal”.

    Karena permasalahannya tidak terletak pada eksistensinya akan tetapi

    pada masalah kebijakan penggunaannya.29

    b. Sarana Non penal

    Kebijakan Non penal memiliki pengertian yakni kebijakan

    yang berkaitan dengan penanggulangan kejahatan yang bersifat

    pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana dengan tujuan

    menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang dapat

    menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana. Faktor-faktor kondusif

    itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi

    sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan

    28

    Ibid. 29

    Ibid.

  • 50

    suatu kejahatan atau tindak pidana termasuk pula tindak pidana

    korupsi.30

    Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau

    menanggulangi tindak pidana korupsi adalah tidak hanya dengan

    menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga denga

    menggunakan sarana-sarana yang non-penal.

    Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif terhadap

    kejahatan. Upaya preventif yang di maksud adalah upaya yang

    dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi dengan cara

    menangani faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di

    laksanakan dalam beberapa cara:

    1) Cara Moralistik

    Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui

    pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah,

    ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan

    hukum.

    2) Cara Abolisionik

    Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah

    suatu kejahatan yang harus di berantas dengan terlebih dahulu

    30

    Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana”, (Semarang: Badan Penerbit

    UniversitasDiponegoro, 1995), hal.8

  • 51

    menggali sebab-sebabnya dan kemudian diserahkan kepada

    usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut.

    Kemudian mengkaji permasalahan yang tengah dihadapi

    masyarakat serta dorongan individual yang mengarah pada tindakan-

    tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta

    menghukum orang-orang yang telah melakukan korupsi berdasarkan

    hukum yang berlaku.

    Dengan demikian dilihat dari sudut pandang politik kriminal,

    keseluruhan kegiatan preventif yang non penal mempunyai

    kedudukan yang sangat strategis dalam pencegahan tindak pidana

    korupsi. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus dapat

    mengintegrasikan seluruh kegiatan preventif kedalam sistem kegiatan

    Negara yang teratur.31

    Upaya penaggulangan kejahatan non- penal dapat berupa:32

    1) Pencegahan tanpa pidana (Prevention without

    punishment)

    2) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai

    kejahatan dan

    3) Pemidanaan lewat media massa (Influencing views of

    society on crime and punishment mass media).

    31

    Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana”, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 124 32

    Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 48

  • 52

    Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non-

    penal lebih bersifat tindakan pencegahan, maka sasaran utamanya

    adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya

    kejahatan korupsi dimana faktor tersebut berpusat pada masalah-

    masalah atau kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat

    menumbuh suburkan kejahatan.

    Adapun kebijakan-kebijakan nonpenal yang dapat dilakukan

    untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yaitu:

    1. Bappenas mengemukakan dalam Rencana Aksi Nasional

    Pemberantasan 2004-2009 diprioritaskan pada:

    a. Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada

    bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan

    kegiatan pelayanan kepada masyarakat sehari-hari.

    Langkah-langkah prioritas ditujukan pada: (a)

    Penyempurnaan Sistem Pelayanan Publik; (b)

    Peningkatan Kinerja Aparat Pelayanan Publik; (c)

    Peningkatan Kinerja Lembaga Pelayanan Publik; dan (d)

    Peningkatan Pengawasan terhadap Pelayanan Publik.

    b. Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada

    kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan

    ekonomi dan sumber daya manusia. Langkah-langkah

  • 53

    prioritas ditujukan pada: (a) Penyempurnaan Sistem

    Manajemen Keuangan Negara; (b) Penyempurnaan

    Sistem Procurement/Pengadaan Barang dan Jasa

    Pemerintah; dan (c) Penyempurnaan Sistem Manajemen

    SDM Aparatur Negara.

    c. Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat

    pendukung dalam pencegahan korupsi.33

    2. Menurut Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, yaitu:

    a. Pemerintahan terbuka (keterbukaan informasi), dan

    b. Laporan kekayaan. Pernyataan keuangan harus

    mengungkapkan setidak-tidaknya semua sumber

    penghasilan pejabat yang bersangkutan, seperti asset

    perusahaan, kemitraannya atau badan usaha apa pun yang

    dimilikinya. Laporan itu juga mempertanyakan semua

    sumber penghasilan suami atau istri atau anak yang

    menjadi tanggungannya yang tinggal bersama dengan si

    pejabat, berbagai pemberian/hadiah yang diterimanya,

    kapan pun ketika si pejabat memegang jabatannya.34

    33

    http://www.bappenas.go.id. 34

    Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, “Government, Ethics, and Managers, Penyelewengan Aparat Pemerintahan”, (Bandung: Remaja Rosalakarya Bandung, 1999),

    hal.109-111

  • 54

    Begitulah demikian Kedua sarana (penal dan nonpenal)

    tersebut di atas merupakan suatu pasangan yang satu sama lain

    tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling

    melengkapi dalam membantu upaya pencegahan tindak pidana

    korupsi di Indonesia.

    E. Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

    Dalam kontek korupsi yang terjadi di Indonesia, harus

    disadari bahwa dengan meningkatnya tindak pidana korupsi yang

    tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas

    kerugian negara dan perekonomian nasional tetapi juga pada

    kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi

    merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak

    ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi

    digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan

    telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga

    dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara

    biasa”, tetapi “dituntut cara-cara yang luar biasa” (extra ordinary

    enforcement).

  • 55

    Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan

    sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, menurut

    Romli Atmasasmita dikarenakan:

    “Pertama, masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam

    kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program

    pemerintah adalah penegakan hukum secara konsisten dan

    pemberantasan KKN. Masalah korupsi pada tingkat dunia diakui

    merupakan kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan

    meluas dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang

    mencengkeram seluruh tatanan sosial dan pemerintahan. Centre for

    International Crime Prevention (CICP) adalah salah satu organ

    Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Wina telah secara

    luas mendefinisikan korupsi sebagai“misusse of (public) power to

    privat gain”. Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan

    termasuk tindak pidana suap (bribery), penggelapan (embezzlement),

    penipuan (freud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan

    (extortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion),

    pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk

    kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict

    interest, insider trading), nepotisme (nepotism), komisi yang

  • 56

    diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis (illegal commision), dan

    kontribusi uang secara illegal untuk partai politik.

    Kedua, korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan

    hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan

    sesungguhnya merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial

    masyarakat Indonesia.

    Ketiga, kebocoran APBN selama 4 (empat) Pelita sebesar 30 persen

    telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar

    dalam kehidupan masyarakat karena sebagian rakyat tidak dapat

    menikmati hak yang seharusnya ia peroleh. Konsekuensi logis dari

    keadaan sedemikian, maka korupsi telah melemahkan ketahanan

    sosial bangsa dan negara Republik Indonesia.

    Keempat, penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya

    telah diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial

    maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau

    terdakwa.

    Kelima, korupsi di Indonesia bukan lagi Commission of Anti

    Corruption (CAC) di Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi

    dalam era perdagangan global dewasa ini adalah merupakan hasil

    kolaborasi antara sektor publik dan sektor swasta. Dan justru menurut

    penelitian tersebut pemberantasan korupsi jenis ini merupakan yang

  • 57

    tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor

    publik. Kita menyaksikan bahwa korupsi di Indonesia sudah

    merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor

    swasta. Perkembangan kelima cocok dengan perkembangan di tanah

    air, karena kebijakan pemerintah dalam pembentukan BUMN atau

    BUMD atau pernyataan modal pemerintah kepada sektor swasta,

    sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia jauh lebih sulit dari

    Hongkong, Australia dan negara-negara lain”.35

    F. Tentang UNCAC (United Nation Convention Against Corruption)

    Tahun 2003

    Mengingat persiapan dan kesungguhan dari banyak negara

    termasuk Indonesia dalam pemberantasan korupsi, maka lahirlah

    UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) Pada

    Tahun 2003. Indonesia pada saat itu pula terpilih sebagai salah satu

    negara yang dijadikan Pilot Project dalam implementasi, dimana

    Indonesia bersedia di review oleh negara lain. Dalam hal ini

    Indonesia bersedia di review oleh Belanda dan Jordania mengingat

    review yang dilakukan bersifat mutual atau timbal balik, maka

    35

    Romli Atmasasmita, “Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek

    Internasional”, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal 4-5.

  • 58

    Indonesia juga berhak mereview hasil yang dicapai kedua negara

    tersebut.36

    Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

    Menentang Korupsi (United Nations Convention Against

    Corruption/UNCAC) yang diikuti Indonesia pada tanggal 9

    Desember 2003 di Merida Meksiko bersama 137 negara lainnya

    menjadi bukti awal komitmen Indonesia untuk memperbaiki diri

    melalui pemberantasan korupsi. Dengan ikutsertanya Indonesia

    meratifikasi konvensi ini pada 21 maret 2006 yang kemudian diikuti

    dengan disyahkannya UU Nomor 7 tahun 2006, menunjukkan

    kesungguhan Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan

    konvensi ini. Adanya dukungan internasional yang kuat melalui

    konvensi ini diharapkan oleh pemerintah Indonesia dapat

    mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. 37

    Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

    korupsi di Indonesia telah diatur berdasarkan peraturan perundang-

    undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah berubah 5

    kali, akan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut dianggap

    36

    Deplu. (2008) UNCAC (United Nations Convention against Corruption) 2003, Departemen Luar Negeri Repuplik Indonesia, Jakarta. 37

    Ibid

  • 59

    tidak memadai karena belum secara khusus membahas tentang

    kerjasama internasional dalam hal pengembalian asset.38

    Disahkannya UNCAC 2003 juga tidak begitu saja sanggup

    mengatasi masalah korupsi yang menggerogoti bangsa ini. Dalam

    pelaksanaannya dibutuhkan banyak usaha dan kesungguhan tidak

    hanya dari institusi penegak hukum namun juga dari seluruh elemen

    masyarakat, karena pelaksanaan UNCAC tidak hanya tanggung

    jawab pemerintah namun juga menuntut peran aktif dari sektor

    swasta dan masyarakat madani (civil society).

    Perhatian PBB terhadap masalah korupsi dapat dilihat sejak

    tahun 2000. Sidang Majelis Umum PBB ke-55 menghasilkan

    Resolusi PBB Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000.

    Resolusi ini menyebutkan perlunya dirumuskan sebuah instrumen

    Hukum Internasional anti korupsi secara global. Instrumen hukum

    internasional tersebut sangat diperlukan untuk menjembatani sistem

    hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pencegahan

    dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif. Hal tersebut

    dikarenakan masalah korupsi sekarang ini sudah memasuki lintas

    batas negara.

    38 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption.

  • 60

    Sampai tahun 2010, terhitung 141 negara pihak telah

    menandatangani konvensi ini dan bahkan telah diratifikasi oleh 145

    negara. Sejak disahkan pada tahun 2003, banyak negara yang

    kemudian menggunakan mekanisme dan prinsip-prinsip yang

    terdapat dalam UNCAC untuk menangani masalah korupsi di negara

    mereka masing-masing. Salah satu dari 145 negara yang meratifikasi

    UNCAC adalah Indonesia, yang meratifikasi UNCAC pada 18 April

    2006 melalui UU Nomor 7 tahun 2006.

    Ada beberapa tujuan dari UNCAC yaitu: Pertama,

    meningkatkan dan memperkuat tindakan-tindakan untuk mencegah

    dan memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif. Kedua,

    meningkatkan, memudahkan dan mendukung kerjasama

    internasional dan bantuan teknis dalam upaya pencegahan dan

    pemberantasan korupsi, termasuk pengembalian asset. Dan ketiga,

    meningkatkan integritas, akuntabilitas dan pengelolaan manajemen

    masalah-masalah dan kekayaan publik yang baik dan benar.

    Pada dasar pembentukannya, UNCAC 2003 lebih konsen

    bertujuan mengupayakan pencegahan korupsi dengan memperbaiki

    transparansi dan meningkatkan integritas birokrasi pemerintahan.

    Untuk itu setiap negara disarankan memiliki lembaga pemberantasan

    korupsi yang efektif, birokrasi yang transparan, peningkatan

  • 61

    partisipasi masyarakat, dan memperbaiki lembaga pemerintah,

    termasuk peradilan dan sektor swasta mengenai kode etik, pelaporan

    kasus korupsi, benturan kepentingan, pengadaan barang dan jasa,

    serta pencegahan tindak pidana pencucian uang.39

    39

    Yuntho, Emerson (2010) “Tiga Ujung Tombak Yang Gagal”,

    www.antikorupsi.org/docs/lat2007timtastipikortimpemburudankejagung.pdf, diakses pada

    25 Juli 2010.

  • 62