BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak...

16
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana. Istilah tindak pidana yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Wetboek Van Strafrecht yang dulu dibawa oleh bangsa penjajah Belanda dan diberlakukan di Indonesia (asas konkordansi), atau sering dikenal dalam bahasa Indonesia yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku sampai sekarang di Indonesia. Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut, karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah tersebut. Namun pada sepanjang perjalanannya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. Istilah istilah yang pernah dipergunakan dalam perundang undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah stafbaar feit adalah : 7 7 Adami Chazawi, Pembelajaran Hukum Pidana 1, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori – teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 67 – 69.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak...

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan

peraturan perundangan – undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

dengan hukuman pidana. Istilah tindak pidana yang sebenarnya merupakan istilah

resmi dalam Wetboek Van Strafrecht yang dulu dibawa oleh bangsa penjajah

Belanda dan diberlakukan di Indonesia (asas konkordansi), atau sering dikenal

dalam bahasa Indonesia yaitu Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang

berlaku sampai sekarang di Indonesia. Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang

apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut, karena itu para ahli hukum

berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah tersebut. Namun pada

sepanjang perjalanannya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.

Istilah – istilah yang pernah dipergunakan dalam perundang – undangan

yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah

stafbaar feit adalah :7

7 Adami Chazawi, Pembelajaran Hukum Pidana 1, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori –

teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 67 – 69.

18

a. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang

– undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang –

undangan menggunakan istilah tindak pidana.

b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya Mr.

R. Tresna dalam bukunya “Azas – azas Hukum Pidana”, Prof. A.

Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana” dan lain sebagainya.

c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin yaitu delictum. Delik

adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang – undang tindak pidana.8

Keragaman pendapat dari kalangan beberapa pakar hukum pidana masing

– masing memberi definisi mengenai tindak pidana, antara lain sebagai berikut :

Utrecht, memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah

peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.9

Van Der Hoeven, sesungguhnya kurang beralasan jika diperhatikan Pasal 1

ayat (1) Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Tiada

suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam

undang – undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.” Dalam hal

ini, tepat yang dikatakan Van Hattum bahwa perbuatan dan orang yang

melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan.10

8 Definisi delik yang diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.

9 Leden Marpaung, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,

halaman 7. 10

Ibid.

19

Vos, Van Hamel, dan Simons menggunakan istilah “delik” yang

mendefenisikan hampir sama bahwa delik adalah suatu tindakan melanggar

hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang

yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang –

undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.11

Moeljatno, memakai isilah “perbuatan pidana”, mengatakan bahwa

pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa yang melanggar larangan tersebut.12

Komariah Emong Supardjadja, mengatakan bahwa perbuatan pidana

adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum

dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.13

Indrianto Seno Adji, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang

yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu

kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.14

Wirjono Prodjodikoro, beliau menggunakan istilah peristiwa pidana lebih

menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan

11

Ibid, halaman 8. 12

Moeljatno, Asas – asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, halaman 59.

13 Mahrus Ali, Dasar – dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 99.

14 Ibid.

20

manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu dalam percakapan sehari – hari

sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam.15

Teguh Prasetyo, beliau mengikuti pendapat Sudarto yang menggunakan

istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang –

undang. Bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh

aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan

di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya

dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu

yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).16

B. Sifat Melawan Hukum

1. Pengertian Sifat Melawan Hukum

Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah

sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada

Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam menentukan perbuatan dapat dipidana,

pembentuk undang – undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur

yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang – undang akan menjadi

terlampau luas. Selain itu, sifat dapat dicela kadang – kadang dimasukkan

dalam rumusan delik, yaitu dalam rumusan berupa culpa.

15

Teguh Prasetyo, Op. Cit., halaman 48 – 49. 16

Ibid, halaman 50.

21

Pompe, mengatakan bahwa untuk dapat dipidananya seseorang yang

telah dituduh melakukan tindak pidana, ada ketentuan di dalam hukum acara

antara lain tindak pidana yang dituduhkan atau didakwakan itu harus

dibuktikan. Dan tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi

semua unsur yang terdapat di dalam rumusannya.17

Dalam kehidupan sehari – hari sering terjadi peristiwa yang tidak

dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh undang –

undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan.

Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar

sehingga tidak terjadi eigenricthing atau maen hakim sendiri seperti yang

sering terjadi sekarang. Perbuatan eigenricthing sangat tidak menguntungkan

dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi

tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan.

Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat

terakhir apabila usaha – usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan

karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto

mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari

penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. Namun, tidak

semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak

– tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam hukum pidana itu

17

Ibid, halaman 68.

22

mengandung pikiran – pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku

kejahatan.18

Melawan hukum merupakan unsur – unsur dari tiap – tiap delik baik

dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua pasal dalam KUHP

mencantumkan unsur melawan hukum ini secara tertulis, hal ini disebabkan

oleh beberapa hal antara lain :19

a. bilamana dari rumusan undang – undang, perbuatan yang

tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya

sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit;

b. perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang

melanggar atau bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku

baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa

memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah

onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan

merupakan salah satu syarat pemidanaan.

2. Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil

Menurut doktrin hukum pidana ajaran sifat melawan hukum dikenal

ada dua jenis, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum

materiil. Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan

18

Ibid, halaman 69. 19

Ibid, halaman 70.

23

bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu diancam pidana dan

dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang – undang.20

Moeljatno mengatakan bahwa suatu perbuatan dikatakan bersifat

melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang

– undang. Jadi menurut pemikiran ini suatu perbuatan tidak bisa dianggap

bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut tidak secara eksplisit

dirumuskan dalam undang – undang sebagai perbuatan pidana, sekalipun

perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat. Ukuran untuk menentukan

apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau tidak adalah undang

– undang.

Salah satu penganut ajaran sifat melawan hukum formil adalah

Simons. Dia mengatakan bahwa untuk dapat dipidana maka perbuatan yang

dilakukan harus dicakup oleh uraian undang – undang, sesuai isi delik

berdasarkan ketentuan pidana di dalam undang – undang. Dalam hal terjadi

demikian, maka pada umumnya tidaklah lagi tepat untuk melakukan

penelitian lebih lanjut tentang sifat melawan hukum bilamana suatu perbuatan

memenuhi rumusan delik, sehingga telah ada sifat melawan hukum.21

Dalam ajaran sifat melawan hukum formil terkandung dua

pemahaman. Pertama, dalam ajaran sifat melawan hukum formil, suatu

perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum, ketika perbuatan tersebut

sudah dirumuskan dalam undang – undang sebagai perbuatan yang diancam

pidana. Menurut ajaran ini, perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum

20 Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1 A – B, Fakutas Hukum Universitas Diponegoro,

Semarang, 1975, halaman 62. 21

Mahrus Ali, Op. Cit., halaman 146.

24

hanyalah perbuatan – perbuatan yang secara formil telah dirumuskan dalam

undang – undang sebagai perbuatan pidana. Kedua, hal yang dapat

menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan hanyalah undang – undang.

Sekalipun suatu perbuatan secara materiil (nilai – nilai yang hidup

dalam masyarakat) tidak dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan

hukum, dalam arti perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang

bertentangan dengan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi apabila

secara formil dirumuskan dalam undang – undang sebagai perbuatan pidana

yang dilarang, maka perbuatan tersebut secara formil tetap dianggap sebagai

perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan demikian, sifat melawan

hukumnya perbuatan yang telah dirumuskan dalam undang – undang hanya

dapat dihapuskan oleh undang – undang.22

Ajaran sifat melawan hukum materiil berpandangan bahwa sifat

melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada undang –

undang saja atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga didasarkan pada asas –

asas hukum yang tidak tertulis. Menurut ajaran ini sifat melawan hukumnya

perbuatan yang nyata – nyata diatur dalam undang – undang dapat hapus baik

karena ketentuan undang – undang maupun aturan – aturan yang tidak

tertulis. Oleh karena itu, melawan hukum berarti bertentangan dengan undang

– undang maupun hukum tidak tertulis atau nilai – nilai yang hidup dalam

masyarakat yaitu tata susila, nilai kepatutan, nilai moral, dan nilai agama.

22

Ibid.

25

Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan

tersebut bertentangan dengan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat.23

Suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum

materiil, apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma

kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat.24

Setiap

perbuatan yang dianggap atau dipandang tercela oleh masyarakat merupakan

perbuatan melawan hukum secara materiil.

Pandangan ini sebenarnya merupakan reaksi atas pendapat yang

menyatakan bahwa hukum adalah undang – undang. Moeljatno mengatakan

bahwa pikiran bahwa hukum adalah undang – undang belum pernah dialami.

Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang

tidak tertulis. Kiranya perlu dipertegas di sini bahwa di mana peraturan –

peraturan hukum pidana sebagian besar telah dimuat di dalam KUHP dan

perundangan – undangan yang lain, maka pandangan tentang hukum dan sifat

melawan hukum materiil di atas, hanya mempunyai arti dalam perkecualian

perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang – undang itu tidak

merupakan perbuatan pidana. Biasanya itu yang dinamakan fungsi negatif

dari sifat melawan hukum yang materiil.25

Penjelasan Moeljatno tersebut mengisyaratkan bahwa di dalam ajaran

sifat melawan hukum materiil terkandung dua jenis sifat melawan hukum

23

Sudarto, Op. Cit., halaman 63. 24

Muladi (Ketua Tim), Pengkajian Tentang Asas – asas Pidana Indonesia dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2003, halaman 43.

25 Ibid, halaman 148.

26

materiil, yaitu sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif

dan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif.

Ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif

berpandangan, bahwa hal – hal atau nilai – nilai yang berada di luar undang –

undang hanya diakui kemungkinannya sebagai hal yang dapat menghapus

atau menegatifkan melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan

undang – undang. Artinya, terhadap suatu perbuatan yang secara formil

dirumuskan dalam undang – undang dapat hapus atau hilang sifat melawan

hukumnya karena nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat. Jadi, dalam

fungsi yang menegatifkan atau menghapus sifat melawan hukumnya

perbuatan yang secara formal telah dirumuskan dalam undang – undang

itulah nilai – nilai atau hal – hal yang berada di luar undang – undang diakui.

Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif

memiliki pandangan yang berseberangan dengan ajaran sifat melawan hukum

materiil dalam fungsinya yang negatif. Sumber hukum materiil atau hal – hal

di luar undang – undang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa suatu

perbuatan tetap dipandang sebagai tindak pidana atau perbuatan melawan

hukum walaupun menurut undang – undang tidak merupakan tindak pidana.26

Dengan pengertian yang sama dapat dikatakan bahwa perbuatan itu tidak

dilarang oleh undang – undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap

keliru.27

Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif,

dengan demikian mengakui hal – hal yang berada di luar undang – undang,

26 Barda Nawawi Arif, Pembaruhan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian

Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, halaman 28. 27

Moeljatno, Op. Cit., halaman 144.

27

yaitu nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat atau hukum tidak tertulis

sebagai sumber hukum yang positif.

3. Perbuatan Melawan Hukum Menurut KUHP

Secara lebih jelas pembuat Konsep RUU KUHP Baru 1998

menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan hukum material yang

terdapat dalam Pasal 17 yang dirumuskan sebagai berikut :28

Perbuatan yang dituduhkan haruslah merupakan perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana oleh suatu peraturan perundang

– undangan dan perbuatan tersebut juga bertentangan dengan hukum.

Penegasan ini juga dilanjutkan dalam Pasal 18, yaitu :

Setiap tindak pidana selalu bertentangan dengan pengaturan

perundang – undangan atau bertentangan dengan hukum, kecuali

terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf.

Dari kata – kata bertentangan dengan hukum ini, maka dapat

ditafsirkan bahwa sifat melawan hukum tidak hanya berbicara rumusan

undang – undang yang diakui, tetapi juga nilai – nilai yang berkembang

dalam masyarakat juga terakomodasi. Ini tidak lain untuk menampung hukum

adat yang sampai saat ini di berbagai daerah masih tetap berlaku dan

kebanyakan tidak tertulis.

Ajaran sifat melawan hukum materiil di Indonesia menjadi sangat

penting mengingat hukum pidana yang berlaku di Indonesia bukan hanya

hukum pidana yang didasarkan pada KUHP saja, tetapi juga hukum adat yang

28

Teguh Prasetyo, Op. Cit., halaman 74.

28

sampai sekarang masih tetap terpelihara. Jika hal ajaran sifat melawan hukum

materiil ini tidak ditampung dalam suatu perundang – undangan atau

yurisprudensi maka dikhawatirkan hukum pidana adat akan mengalami

kematian.

C. Perbarengan

KHUP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab VI Pasal 63 – 71.

1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP)

Concursus idealis, yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih

dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam

concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana

pokok terberat. Namun bila ditemui kasus tindak pidana yang diancam

dengan pidana pokok sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS

ditetapkan pidana tambahan yang paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan

pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis,

maka penentuan pidana pokok terberat didasarkan pada urutan jenis pidana

menurut Pasal 10 KUHP.29

29

Pasal 10 KUHP tentang pidana yang terdiri atas yang pertama pidana pokok yang memuat pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda dan yang kedua pidana tambahan yang memuat pencabutan hak – hak tertentu, perampasan barang – barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim.

29

Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis

derodat lex generalis (aturan undang – undang yang khusus meniadakan

aturan yang umum).

2. Perbuatan Berlanjut (Pasal 64 KUHP)

Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa

perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan – perbuatan itu ada

hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan

berlanjut. Kriteria “perbuatan – perbuatan itu ada hubungannya sedemikian

rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah

a. Harus ada satu keputusan kehendak;

b. Masing – masing perbuatan harus sejenis;

c. Tenggang waktu antara perbuatan – perbuatan itu tidak terlalu

lama.

Pada perbuatan berlanjut, tiap – tiap perbuatan yang dapat dihukum

mempunyai tempat sendiri dan jangka waktu daluarsa sendiri, hal ini sesuai

dengan perumusan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP :30

a. Jika antara beberapa perbuatan meskipun masng – masing

merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungan sedemikian

rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut,

maka hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda – beda

30

Teguh Prasetyo, Op., cit., halaman 185.

30

akan dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling

berat.

b. Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana jika seseorang

dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang

dan menggunakan barang palsu yang dirusak.

c. Akan tetapi, jika orang melakukan kejahatan – kejahatan tersebut

dalam Pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat (1) KUHP, sebagai

perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan lebih dari

24 rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam Pasal

362, 372, 378, 406 KUHP.

3. Concursus Realis (Pasal 65 – 71 KUHP)

Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa

perbuatan, dan masing – masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu

tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan).

Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam,

yaitu :31

a. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok

sejenis, maka hanya dikenakan satu aturan pidana dengan ketentan

bahwa jumlah maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini

dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. Misal A melakukan

31

Ibid, halaman 181.

31

tiga kejahatan yang masing – masing diancam pidana penjara

empat tahun, lima tahun, sembilan tahun, maka yang berlaku

adalah sembilan tahun ditambah sepertiga sembilan tahun menjadi

duabelas tahun.

b. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok

tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap – tiap

kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi

maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini

dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misal A melakukan dua

kejahatan yang masing – masing diancam pidana sembilan bulan

kurungan dan dua tahun penjara. Maka maksimum pidananya

adalah dua tahun ditambah sepertiga dari dua tahun menjadi dua

tahun delapan bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan,

maka hakim misalnya memutuskan dua tahun penjara delapan

bulan kurungan.

c. Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan

sistem kumulasi, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan.

Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum satu

tahun empat bulan kurungan.

d. Apabila concursus realis berupa kejahatan – kejahatan ringan,

misal Pasal 302 ayat (1) tentang penganiayaan ringan terhadap

hewan, Pasal 352 tentang penganiayaan ringan dan sebagainya,

32

maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum

pidana penjara delapan bulan.

e. Untuk concursus realis, baik kejahatan maupun pelanggaran yang

diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 KUHP yang

berbunyi “jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian

dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau

pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana

yang terdahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan

dengan menggunakan aturan – aturan dalam bab ini mengenai

perkara – perkara diadili pada saat yang sama.”