BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Kerja 1. Pengertian Stres...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Kerja 1. Pengertian Stres...
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres Kerja
1. Pengertian Stres Kerja
Menurut Robbins (2006) stres kerja diartikan sebagai kondisi dinamik
yang didalamnya individu menghadapi peluang, kendala (constraints), atau
tuntutan (demand) yang terkait dengan apa yang sangat diinginkannya dan
hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti tetapi penting.
Menurut Mangkunegara (2011) stres kerja adalah perasaan tertekan yang
dialami seseorang dalam menghadapi pekerjaan, dan dinamika timbulnya stres
kerja ini tampaknya dari simptom (gejala) seperti emosi tidak stabil, perasaan
tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok berlebihan, tidak bisa rileks,
cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan
pencernaan.
Menurut Luthans (2006) dalam bukunya yang berjudul “Perilaku
Organisasi” menjelaskan stres kerja sebagai respons adaptif terhadap situasi
eksternal yang menghasilkan penyimpangan secara fisiologis, psikologis, dan
tingkah laku.
Menurut Hasibuan (2010) stres kerja diartikan sebagai kondisi
ketergantungan yang mempengaruhi emosi dan proses berfikir individu, sehingga
menimbulkan perasaan nervous (gugup).
20
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat dipahami bahwa stres
kerja merupakan suatu kejadian atau peristiwa di mana tuntutan lingkungan
dan/atau tuntutan internal (fisiologis dan psikologis) melebihi kemampuan
indiividu. Stres kerja juga bisa diartikan sebagai suatu kondisi dinamis di mana
individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya terkait dengan apa
yang dihasratkan oleh dirinya dan hasilnya dipandang tidak penting.
Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori stres kerja
dari pendapat Robbins (2006) yang menyatakan bahwa stres kerja diartikan
sebagai kondisi dinamik yang didalamnya individu menghadapi peluang, kendala
(constraints), atau tuntutan (demand) yang terkait dengan apa yang sangat
diinginkannya dan hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti tetapi penting.
Alasan penulis menggunakan pendapat Robbins, karena ketiga mekanisme
tersebut saling berinteraksi satu sama lain dalam diri individu ketika merespon
stres sebagai hasil atau keluaran dari stres yang dialami, sehingga dalam mengkaji
masalah stres kerja pada karyawan Sales Promotion Gilr yang bekerja di NU Imej
Agency Even and Organizer Yogyakarta bisa terungkap secara optimal.
2. Mekanisme Timbulnya Stres Kerja
Ada beberapa pendekatan untuk menjelaskan bagaimana proses terjadinya
stres kerja. The General Adaptation Syndrome Model (Model Sindrom Adaptasi
Umum) dari Selye (dalam Berry, 1998) Selye mengkonseptualisasikan adanya
tanggapan fisiologis terhadap stres, karena stres merupakan tanggapan yang
21
bersifat non spesifik terhadap setiap tuntutan yang dikenakan pada seseorang, dan
akan muncul reaksi dari semua organisme yang dikenai tuntutan dan muncul
reaksi pertahanan tiga fase yang akan dilakukan oleh organisme tersebut ketika
muncul stres.
Fase-fase reaksi organisme terhadap stres, dalam model Selye (dalam
Berry, 1998) dibagi 3 (tiga), yaitu fase sinyal (alarm), fase perlawanan
(resistance), dan fase kelelahan (exhaustion):
a. Fase pertama, yaitu fase sinyal akan mempengaruhi fisik, karena tejadinya
perubahan pada badan. Fase sinyal merupakan mobilisasi awal ketika badan
menemui tantangan yang diakibatkan oleh stressor. Pada waktu stressor
berhasil diidentifikasi, otak akan mengirimkan pesan yang bersifat biokimia
kepada semua sistem dalam tubuh, akibatnya pernafasan akan meningkat,
tekanan darah naik, pupil mata membesar, otot menjadi tegang, dan gejala-
gejala fisiologis lainnya. Dengan kata lain, pada fase ini badan menunjukkan
perubahan karakteristik karena adanya stressor. Ketahanan badan pada waktu
yang sama juga akan menurun. Contoh pada fase ini adalah ketika ada suatu
permintaan oleh seorang manajer untuk mengajukan anggaran dalam waktu
yang sangat terbatas. Stressor yang masih terus aktif dan tidak bisa
ditanggulangi akan membuat sindrom penyesuaian umum meningkat ke fase
kedua;
22
b. Fase kedua, yaitu fase perlawanan. Gejala-gejala peralihan dari fase sinyal ke
fase perlawanan adalah munculnya keletihan, ketakutan, ketegangan, atau
kemarahan. Individu yang berada dalam fase ini sedang berupaya untuk
melakukan perlawanan terhadap stressor yang mengenainya. Dalam fase ini
dimungkinkan stressor khusus mendapat perlawanan yang lebih tinggi
dibandingkan stressor lain. Hal ini diakibatkan karena individu hanya
mempunyai sumber energi yang terbatas, konsentrasi yang terbatas, dan
keterbatasan kemampuan untuk menghadapi stressor. Individu dalam fase ini
akan lebih mudah terserang sakit selama periode terjadinya stres. Contoh fase
ini adalah menjadi marah pada suatu pertemuan karena anggaran masih belum
dapat diselesaikan.
c. Fase terakhir atau fase ketiga dari sindrom penyesuaian umum adalah fase
keletihan. Pada fase kedua, ketahanan naik di atas normal. Pada fase ketiga,
karena terus menerus terkena stressor yang sama, maka badan akhirnya
berusaha menyesuaikan diri, dengan kata lain energi adaptasi dikeluarkan.
Sistem penyerangan terhadap stressor berangsur-angsur menjadi lelah.
Contoh fase ini adalah munculnya gangguan insomnia, maupun keletihan total
secara fisik maupun psikis.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa dinamika timbulnya
stres kerja ditandai ketika individu sudah melalui ketiga fase dalam sindrom
23
adaptasi umum tersebut, maka individu akan berakhir pada suatu keadaan
ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessnes).
Individu yang terus menerus terkena stressor tadi pada akhirnya akan
menganggap bahwa stressor yang muncul merupakan hal yang mau tidak mau
harus diterima sehingga tidak ada lagi perlawanan yang dilakukan untuk
mengatasi atau menghindari stressor. Implementasi di tempat kerja, stressor
secara terus menerus akan menimbulkan suatu keadaan “pasrah” dimana individu
menerima tanpa ada usaha untuk menghindari stressor.
3. Gejala-Gejala Stres Kerja
Menurut Robbins (2006) karyawan yang mengalami stres pada pekerjaan
akan menimbulkan gejala-gejala stres kerja, berikut:
a. Gejala Fisiologis, masalah kesehatan fisik mencakup masalah sistem
kekebalan tubuh seperti terdapat pengurangan kemampuan untuk melawan
rasa sakit dan infeksi, masalah sistem kardiovaskular seperti tekanan darah
tinggi, penyakit jantung, masalah sistem muskulosketal (otot dan rangka)
seperti sakit kepala, sakit punggung, masalah sistem gastrointestinal (perut)
diare dan sembelit.
b. Gejala Psikologis, ditandai dengan ketidakpuasan hubungan kerja, tegang,
gelisah, cemas, depresi, kebosanan, mudah marah, hingga sampai pada
tindakan agresif seperti sabotase, agresi antar pribadi, permusuhan dan
keluhan.
24
c. Gejala Perilaku, terdapat perubahan perilaku pada produktivitas kerja,
ketidakhadiran dalam jadwal kerja, perubahan pada selera makan,
meningkatnya konsumsi rokok, alkohol dan obat-obatan, susah tidur, hingga
adanya perilaku penyalahgunaan narkoba.
Pendapat Cummings dan Worley (2005) dalam buku Organizational
Development and Change dijelaskan gejala stres kerja karyawan, meliputi:
a. Gejala Subyektif, berupa kekawatiran atau ketakutan, agresi, apatis, rasa
bosan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kendali dan emosi, kesepian,
penghargaan diri yang rendah dan sering gugup.
b. Gejala Perilaku, berupa mudah mendapat kecelakaan, kecanduan alkohol,
penyalahgunaan obat, luapan emosional, makan atau merokok berlebihan,
perilaku impulsif, tertawa gugup.
c. Gejala Kognitif, berupa ketidakmampuan untuk membuat keputusan yang
masuk akal, daya konsentrasi rendah, kurang perhatian, sangat sensitif
terhadap kritik, hambatan mental.
d. Gejala Fisiologis, berupa kandungan glukosa darah meningkat, denyut jantung
dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar,
panas dan dingin.
e. Gejala Organisasi, berupa angka absensi, omset, produktivitas rendah,
terasing dari mitra kerja, serta komitmen organisasi dan loyalitas berkurang.
25
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat dipahami bahwa
gejala stres kerja meliputi; gejala fisiologis, psikologis, tingkah laku atau
perilaku, subjektivitas, kognitif, dan organisasi yang disesuaikan pada tahap stres
yang dialami oleh seseorang.
Selanjutnya untuk mengkaji stres kerja pada karyawan (SPG) yang
bekerja di NU Imej Agency and Event Organizer Yogyakarta, maka dalam
penelitian ini penulis menggunakan gejala-gejala stres kerja yang dikemukakan
oleh Robbins (2006) meliputi; gejala fisiologis, psikologis, dan tingkah laku.
Pertimbangan penulis menggunakan pendapat Luthans, karena ketiga gejala stres
kerja tersebut berkaitan dengan masalah kesehatan fisik individu, adanya
ketidakpuasan individu dalam hubungan kerja, hingga memunculkan perubahan
perilaku pada produktivitas kerja.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja
Menurut Greenberg (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja
meliputi:
a. Faktor efikasi diri, berkaitan dengan kemampuan karyawan untuk mengelola
tingkat kecemasan terhadap situasi yang dihadapinya.
b. Faktor kecerdasan emosi, secara umum berhubungan dengan tidak stabilnya
emosi individu, bahwa individu dengan kadar neuroticism yang tinggi
umumnya mudah cemas, khawatir, kurang mampu mengontrol emosinya dan
sebaliknya.
26
c. Faktor kepribadian, berkaitan dengan tipe kepribadian dan karakteristik
individu dalam menghadapi tekanan, misalnya toleransi terhadap hal yang
ambiguitas atau ketidak jelasan pola tingkah laku kepribadian.
Menurut Robbins (2006) ada tiga kategori penderita stres kerja potensial,
yaitu lingkungan, organisasional, dan individual:
a. Faktor lingkungan, maksudnya ketidakpastian lingkungan mempengaruhi
desain dari struktur organisasi, ketidakpastian itu juga mempengaruhi tingkat
stres kerja dikalangan para karyawan dalam organisasi.
b. Faktor organisasi, maksudnya banyak sekali faktor di dalam organisasi yang
dapat menimbulkan stres kerja. Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau
menyelesaikan tugas dalam suatu kurun waktu yang terbatas, beban kerja
yang berlebihan, serta rekan kerja yang tidak menyenangkan. Faktor-faktor ini
dapat dikategorikan pada tuntutan tugas, tuntutan peran, dan tuntutan
hubungan antar pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan
tingkat hidup organisasi.
c. Faktor individual, maksudnya lazimnya individu hanya bekerja 40 sampai 50
jam sepekan. Namun pengalaman dan masalah yang dijumpai karyawan di
luar jam kerja yang lebih dari 120 jam tiap pekan dapat melebihi dari
pekerjaan, maka kategori ini mencakup faktor-faktor dalam kehidupan pribadi
karyawan. Terutama mengenai faktor-faktor ini adalah persoalan keluarga,
masalah ekonomi pribadi, dan kateristik kepribadian bawaan.
27
Griffin (2002) menyatakan bahwa penyebab-penyebab stres yang
berhubungan dengan pekerjaan dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat)
kategori, yaitu:
a. Tuntutan tugas, terkait dengan tugas itu sendiri. Sejumlah pekerjaan secara
alami lebih cenderung menimbulkan stres dibanding pekerjaan-pekerjaan lain.
Keharusan membuat keputusan cepat, keharusan membuat keputusan tanpa
informasi yang lengkap, dan keharusan membuat keputusan dengan
konsekuensi yang serius adalah sejumlah situasi yang bisa menimbulkan stres.
b. Tuntutan fisik adalah penyebab-penyebab stres yang terkait dengan
lingkungan kerja. Bekerja diluar kantor dengan suhu yang sangat dingin atau
panas, atau bahkan di dalam kantor yang tidak ber-AC, bisa menimbulkan
stres. Desain kantor yang buruk dan membuat karyawan kurang memiliki
privasi atau menghambat interaksi sosial juga bisa menimbulkan stres, begitu
juga cahaya yang buruk dan ruang kerja yang sempit.
c. Tuntutan peran, stres dapat ditimbulkan baik oleh ambiguitas peran atau
konflik peran yang dialami individu dalam kelompok. Ambiguitas peran
adalah ketidakpastian tentang perilaku apa yang diharapkan dari seseorang
pada peran tertentu, dan konflik peran adalah tuntutan yang tidak sesuai
dengan peran yang berbeda.
d. Tuntutan interpersonal, merupakan penyebab stres yang terkait dengan
hubungan antara pribadi dalam organisasi. Sebagai contoh tekanan kelompok
28
menyangkut kepatuhan terhadap norma bisa menimbulkan stres. Gaya
kepemimpinan juga bisa menyebabkan stres. Seseorang yang merasa sangat
ingin berpartisipasi dalam pembuatan keputusan akan merasa stres jika
atasannya menolak untuk menyediakan ruang partisipasi, dan individu-
individu yang memiliki konflik kepribadian bisa mengalami stres jika diminta
bekerjasama.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat dipahami bahwa terdapat banyak
faktor-faktor stres kerja yang berpotensi mempengaruhi karyawan di tempat kerja,
diantaranya: faktor efikasi diri, kecerdasan emosi, kepribadian, lingkungan,
organisasi, individual, tuntutan kerja, gaya kepemimpinan, tuntutan peran,
tuntutan fisik, tuntutan tugas.
Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendapat
Greenberg (2002) mengenai faktor kecerdasan emosi dan faktor efikasi diri.
Alasan penulis menggunakan faktor kecerdasan emosi, karena pekerjaan yang
dijalani karyawan membutuhkan kemampuan dalam mengendalikan diri dari
emosi dan mengatur suasana hati saat bekerja agar tidak stres, sedangkan
penggunaan faktor efikasi diri, karena hal ini berkaitan dengan kemampuan
karyawan dalam mengontrol perilakunya di lingkungan kerjanya agar tidak stres.
5. Perbedaan Frustasi, Kecemasan dengan Stres Kerja
Frustasi merupakan suatu keadaan ketegangan yang tak menyenangkan
dipenuhi perasaan dan aktivitas yang semakin meninggi yang disebabkan oleh
29
rintangan dan hambatan. Frustasi dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar
diri (eksternal) seseorang yang mengalaminya. Sumber yang berasal dari dalam
termasuk kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri atau
ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan, (Kaplan et al,
2010).
Menurut Kaplan, et al (2010) kecemasan adalah respon terhadap situasi
tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai
perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan,
serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi
yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah
menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
Stres adalah gangguan mental yang dihadapi seseorang akibat adanya
tekanan. Tekanan ini muncul dari kegagalan individu dalam memenuhi kebutuhan
atau keinginannya. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri, atau dari luar. Stres
tidak selalu buruk, walaupun biasanya dibahas dalam konteks negatif, karena stres
memiliki nilai positif ketika menjadi peluang saat menawarkan potensi hasil.
Sebagai contoh, banyak profesional memandang tekanan berupa beban kerja yang
berat dan deadline waktu kerja sebagai tantangan positif yang menaikkan mutu
pekerjaan mereka dan kepuasan yang mereka dapatkan dari pekerjaan mereka,
(Rollinson, 2005).
30
Berdasarkan penjelasan perbedaan antara frustasi, kecemasan, dengan
stres, dapat dipahami bahwa frustasi lebih menekankan pada suatu keadaan
ketegangan yang tidak menyenangkan dan dipenuhi oleh perasaan dan aktivitas
yang semakin meninggi disebabkan adanya rintangan dan hambatan tertentu,
misalnya tuntutan kerja melampaui kemampuan karyawan.
Kecemasan merupakan respon individu terhadap situasi tertentu yang
disertai oleh perkembangan, perubahan, pengalaman individu dalam menghadapi
situasi atau perasaan diri sendiri akibat adanya tekanan yang berasal dari dalam
diri, atau dari luar hingga menyebabkan individu mengalami stres dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan yang ditandai adanya gejala fisiologis (tekanan
darah tinggi), psikologis (merasa bosan dan mudah marah), dan tingkah laku
(menurunnya performa atau produktivitas kerja). Stres adalah gangguan mental
yang dihadapi seseorang akibat adanya tekanan.
B. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecedasan Emosi
a. Kecerdasan
Giordan, et al (2005) inteligensi atau kecerdasan diartikan sebagai
proses belajar untuk memecahkan masalah yang dapat diukur dengan tes
inteligensi, dan secara kualitatif suatu cara berpikir dalam membentuk
konstruk bagaimana menghubungkan dan mengelola informasi dari luar yang
disesuaikan dengan dirinya.
31
b. Emosi
Walgito (2003) menjelaskan bahwa emosi merupakan keadaan yang
ditimbulkan dari situasi tertentu, dan emosi cenderung terjadi dalam kaitannya
untuk mengarah atau menghindar terhadap suatu hal yang terjadi disertai
adanya ekspresi kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa
seseorang mengalami emosi.
Setelah memahami uraian perbedaan antara kecerdasan dengan emosi di
atas, dapat dipahami bahwa dinamika kecerdasan emosi digambarkan melalui
kemampuan individu untuk memotivasi dan mengelola emosi dengan baik pada
diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan emosi (EQ) semakin
perlu dicermati karena kehidupan manusia semakin komplek, karena hal ini dapat
membawa dampak yang buruk terhadap kehidupan emosional seseorang.
Hasil survey Goleman (2009) menunjukkan kecenderungan yang sama
diseluruh dunia, bahwa generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan
emosional dari pada generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan murung,
lebih kurang menghargai sopan santun, lebih gugup, mudah cemas, lebih
meledak-ledak (impulsif dan regresif). Goleman juga menemukan bahwa banyak
juga orang yang gagal dalam hidupnya bukan karena rendahnya kecerdasan
intelektualnya, karena kurang memiliki kecerdasan emosional, sebaliknya sedikit
orang yang berhasil dalam kehidupan meskipun IQ-nya rata-rata saja, tetapi
kecerdasan emosionalnya tinggi.
32
Menurut Goleman (2009) kecerdasan emosi merupakan kemampuan
individu untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu
masalah, mampu mengendalikan perilaku yang tiba-tiba berubah (impulsif),
memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan
membina hubungan dengan orang lain.
Menurut Salovey dan Mayer (2004) kecerdasan emosi diartikan sebagai
kemampuan individu dalam memantau emosi dirinya maupun emosi orang lain,
dan juga kemampuan dalam membedakan emosi dirinya dengan emosi orang lain,
di mana kemampuan ini digunakan untuk mengarahkan pola pikir dan
perilakunya.
Menurut Cooper dan Sawaf (2002) kecerdasan emosi diartikan sebagai
kemampuan individu untuk merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan
kepekaan emosi sebagai sumber energi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi.
Menurut Shapiro (1998) kecerdasan emosi diartikan sebagai himpunan suatu
fungsi jiwa yang melibatkan kemampuan memantau intensitas perasaan atau
emosi, baik untuk diri sendiri maupun pada orang lain.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat dipahami bahwa kecerdasan
emosi merupakan kemampuan individu untuk memahami perasaan diri sendiri
dan perasaan orang lain, serta mampu mengelola emosi yang dapat digunakan
untuk membimbing pikiran dan tindakan.
33
Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis mengunakan pengertian
kecerdasan emosi dari pendapat Goleman (2009) yang mengatakan bahwa
kecerdasan emosi merupakan kemampuan emosi individu untuk mengendalikan
dirinya, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu
mengendalikan perilakunya yang tiba-tiba beruba (impulsif), memotivasi dirinya,
mampu mengatur suasana hati, berempati, dan membina hubungan dengan orang
lain disekitarnya.
Alasan penulis menggunakan pendapat Goleman, karena kecerdasan
emosi dideskripsikan sebagai kemampuan individu untuk mengendalikan emosi
dirinya dan membina hubungan dengan orang lain, sehingga dalam mengkaji
seberapa baik atau buruknya kecerdasan emosi pada karyawan bisa terungkap
secara optimal.
2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Telah ada beberapa aspek yang mengindikasi seseorang memiliki
kecerdasan emosi, seperti yang dikemukakan oleh Goleman (2009) bahwa aspek-
aspek kecerdasan emosi, meliputi:
a. Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu untuk memantau perasaan
dari waktu ke waktu, mencermati perasaan yang muncul dan mengenali emosi
dirinya sendiri.
b. Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepas
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul
34
karena kegagalan. Kemampuan mengelola emosi ini berkaitan juga dengan
kemampuan penguasaan diri dan kemampuan menenangkan diri sendiri.
c. Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emosi sebagai alat
dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Kemampuan ini juga didasari oleh
kemampuan mengendalikan emosi atau menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati.
d. Mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan empati, adanya kemampuan
yang bergantung pada kesadaran diri secara emosional, kemampuan ini
merupakan keterampilan dasar dalam bersosial. Orang yang memiliki
kemampuan empati akan jauh lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial
tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang atau
dikehendaki orang lain.
e. Membina hubungan, yaitu seni membina hubungan sosial keterampilan,
mengelola emosi orang lain. Ketrampilan sosial yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan hubungan antar pribadi.
Menurut Tridhonanto (2009) aspek-aspek kecerdasan emosi, meliputi:
a. Kecakapan pribadi, yaitu kemampuan individu mengelola emosi dirinya
sendiri.
b. Kecakapan sosial, yaitu kemampuan individu menangani suatu hubungan
dilingkungan sekitarnya.
35
c. Keterampilan sosial, yaitu kemampuan individu untuk menggugah tanggapan
yang dikehendaki orang lain.
Berdasarkan penjelasan aspek-aspek kecerdasan emosi di atas, dapat
dipahami bahwa terdapat beberapa aspek kecerdasan emosi dalam diri seseorang
sebagai kemampuan untuk mengendalikan diri dan memahami lingkungan di
sekitarnya.
Selanjutnya untuk mengukur kecerdasan emosi pada karyawan dalam
penelitian ini, penulis menggunakan aspek-aspek kecerdasan emosi dari pendapat
Goleman (2009) meliputi: aspek mengenali emosi diri, aspek mengelola emosi,
aspek memotivasi diri sendiri, aspek mengenali emosi orang lain, dan aspek
membina hubungan.
Alasan penulis menggunakan aspek-aspek kecerdasan emosi tersebut,
karena berkaitan dengan seberapa baik atau buruknya kemampuan karyawan
untuk mengenali dan mengelola emosi dirinya agar terhindar dari stres kerja.
Begitu juga dengan individu yang mampu memotivasi, mengenali emosi lain, dan
membina hubungan secara baik di tempat kerja, maka akan cenderung terhindari
dari stres di tempat kerjanya.
C. Efikasi Diri
1. Pengertian Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997) efikasi diri adalah keyakinan individu dengan
kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap fungsi dirinya
36
dan kejadian dalam lingkungan sebagai penentu bagaimana ia merasa, berfikir,
memotivasi diri, dan berperilaku. Menurut Feist (2008) efikasi diri merupakan
penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai
seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas untuk mencapai
hasil.
Menurut Alwisol (2009) efikasi diri diartikan sebagai persepsi diri sendiri
mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu, efikasi diri
berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan
tindakan yang diharapkan. Menurut Ghufron dan Rini (2010) individu dengan
efikasi diri tinggi percaya bahwa ia mampu melakukan sesuatu untuk mengubah
kejadian-kejadian disekitarnya.
Berdasarkan uraian penjelasan efikasi diri yang dikemukakan oleh ahli di
atas, dapat dipahami bahwa efikasi diri merupakan keyakinan individu dengan
kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap fungsi dirinya
dan kejadian dalam lingkungan sebagai penentu bagaimana ia merasa, berfikir,
memotivasi diri, dan berperilaku.
2. Dimensi-Dimensi atau Aspek-Aspek Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997) efikasi diri pada tiap individu dapat dibedakan
berdasarkan tiga dimensi, yaitu:
a. Tingkat (level), dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika
individu merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan
37
pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi diri
individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau
bahkan mencakup tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas
kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang
dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi
terhadap pemilihan tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan
menghindari tingkah laku yang berada di luar batas kemampuan yang
dirasakannya.
b. Kekuatan (strength), dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari
keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan
yang lemah, mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak
mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap
bertahan dalam usahanya. Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang
kurang menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi
level, yaitu makin tinggi level taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan
yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
c. Generalisasi (geneality), dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah
laku individu yang merasa yakin dengan gagasan pemikiran dan
kemampuannya. Individu merasa yakin terhadap kemampuan dirinya. Apakah
terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkain aktivitas
dan situasi yang bervariasi.
38
Corsini (dalam Susilowati, 2005) memperkuat pendapat Bandura
mengenai aspek-aspek efikasi diri, yaitu :
a. Aspek Kognitif, Kognitif yaitu kemampuan seseorang memikirkan cara-cara
yang di gunakan dan merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai
tujuan yang diharapkan.
b. Aspek Motivasi, Kemampuan seseorang memotivasi diri melalui pikirannya
untuk melakukan suatu tindakan dan keputusan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Motivasi seseorang timbul dari pemikiran optimis dari dalam
dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Setiap orang berusaha
memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan
dilakukan dan merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Motivasi
dalam efikasi diri digunakan untuk memprediksi kesuksesan dan kegagalan
seseorang.
c. Aspek Afeksi, Kemampuan mengatasi perasaan emosi yang timbul pada diri
sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Afeksi terjadi secara alami
dalam diri seseorang dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman
emosional. Afeksi ditunjukkan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan
depresif yang menghalangi pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
d. Aspek Seleksi, Kemampuan seseorang untuk menyeleksi tingkah laku dan
lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Seleksi tingkah laku ini dapat mempengaruhi perkembangan personal. Asumsi
39
yang timbul pada aspek ini yaitu ketidakmampuan individu dalam melakukan
seleksi tingkah laku sehingga membuat perasaan tidak percaya diri, bingung,
dan mudah menyerah ketika menghadapi situasi sulit.
Berdasarkan pendapat Bandura (1997) di atas, dapat dipahami bahwa
dimensi efikasi diri meliputi; dimensi tingkat, dimensi kekuatan, dan dimensi
generalisasi. Dimensi-dimensi efikasi diri tersebut telah ditegaskan lebih lanjut
oleh Bandura (2006) dalam artikelnya yang berjudul Guide For Constructing
Self-Efficacy Scale, bahwa ketiga dimensi tersebut paling akurat untuk
menjelaskan efikasi diri seseorang.
Selanjutnya untuk mengukur efikasi diri pada karyawan, maka dalam
penelitian ini penulis menggunakan dimensi-dimensi efikasi diri yang
dikemukakan oleh Bandura (1997) meliputi: dimensi tingkat, dimensi kekuatan,
dan dimensi generalisasi. Alasan penulis menggunakan dimensi-dimensi tersebut,
karena berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika karyawan merasa mampu
untuk melakukan dan menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan gagasan
pemikiran dan kemampuannya, sehingga menghidari dirinya dari potensi stres di
tempat kerja, atau sebaliknya.
D. Pengaruh Kecerdasan Emosi terhadap Stres Kerja
Berdasarkan pengertian tentang kecerdasan emosi terdapat hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam hubungannya dengan stress kerja, seperti halnya efikasi diri
dimaknai sebagai cara individu mengukur kemampuan dirinya.
40
Menurut Goleman (2009) kecerdasan emosi seseorang dapat diukur dan dikaji
melalui aspek mengenali emosi merupakan kemampuan individu untuk memantau
perasaan dari waktu ke waktu, mencermati perasaan yang muncul dan mengenali diri
sendiri. Artinya individu yang mampu mengenali emosinya secara baik maka akan
lebih mudah terhindar dari stress kerja. Mengelola emosi merupakan kemampuan
individu untuk menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena kegagalan.
Artinya individu yang mampu mengelola mengelola emosi ini berkaitan juga
dengan kemampuan penguasan diri dan kemampuan menenangkan diri sendiri,
memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu untuk mengatur emosi
sebagai alat dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Kemampuan ini juga didasari
oleh kemampuan mengendalikan emosi atau menahan diri terhadap kepuasaan dan
mengendalikan dorongan diri. mengenali emosi orang lain merupakan kemampuan
empati dan adanya kemampuan yang bergantung pada kedasaran diri secara
emosional dalam bersosial. membina hubungan merupakan seni membina hubungan
sosial keterampilan, mengelola emosi orang lain. Artinya individu dengan
keterampilan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan
hubungan antar pribadi.
Karyawan yang mampu mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi diri
sendiri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina dan
membangunan hubungan kerja yang baik di lingkungan kerjanya akan cenderung
41
terhindar dari stres kerja. Sebaliknya karyawan yang tidak mampu mengenali emosi
diri sendiri, mengelola emosi diri sendiri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang lain, dan tidak mampu membina dan membangun hubungan kerja yang baik di
lingkungan kerjanya, maka ada kecenderungan ia mengalami stres dalam bekerja.
Sejalan dengan penjelasan Colquitt, et al (2015) dalam buku Organizational
Behaviour bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi secara pribadi lebih
efektif, tegas dan mampu menghadapi kekecewaan hidup, memiliki ketahanan
terhadap stres, siap untuk mencari dan menerima tantangan sekalipun harus menemui
berbagai kesulitan, percaya diri dan yakin akan kemampuannya, dapat dipercaya dan
diandalkan, sering mengambil inisiatif serta dapat beradaptasi dan menangani
masalah kerjanya.
Menurut Ciarrochi, et al (2001) dalam buku Emotional Intelligence in
Everyday Life menjelaskan bahwa kecerdasan emosi dapat menjauhkan individu dari
stres dan mengarahkan individu tersebut untuk dapat membangun mood yang baik
dalam dirinya, karena hal itu merupakan salah satu implikasi dari pencegahan
terhadap stres.
Hasil penelitian Yen dan Atmadji (2003) yang menyimpulkan bahwa ada
hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja pada
karyawan distributor multi level marketing. Artinya, semakin tinggi kecerdasan
emosional, maka semakin rendah stres kerja yang dialami karyawan distributor.
42
Sebaliknya jika kecerdasan emosional karyawan rendah, maka akan
cenderung menunjukkan tingkat stres yang tinggi. Hal tersebut dipertegas oleh
Cooper dan Sawaf (2002) bahwa kecerdasan emosional menyumbang persentase
yang lebih besar dalam kemajuan dan keberhasilan individu di masa depan, jika
dibandingkan dengan kecerdasan intelektual yang hanya diukur dari kemampuan
intelektualnya saja.
Berdasarkan uraian pengaruh kecerdasan emosi terhadap stres kerja di atas,
dapat dipahami bahwa karyawan yang mampu mengenali emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina dan
membangunan hubungan kerja yang baik di lingkungan kerjanya, maka akan ada
kecenderungan karyawan tersebut terhindar dari stres kerja karena kecerdasan emosi
merupakan kemampuan karyawan untuk membedakan dan menanggapi situasi kerja
sesuai pengaturan diri yang akan menuntun kepada tingkah laku yang tepat. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa karyawan yang mampu mengelola kecerdasan
emosinya dengan baik di tempat kerja, maka akan menghindari dirinya dari stres
kerja.
Sebaliknya karyawan yang kurang mampu mengendalikan kecerdasan
emosinya, maka akan ada kecenderung ia mengalami stres di tempat kerja. Misalnya
tidak mampu mengelola perasaan sendiri saat situasi kerja tidak menyenangkan,
mudah tersinggung, dan tidak mampu memotivasi diri sendiri untuk mengontrol
emosi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Adeyemo dan Ogunyemi (2003) yang
43
menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi dapat menjauhkan seseorang dari stres dan
mengarahkan untuk dapat beradaptasi dengan lebih baik, karena individu memiliki
kemampuan untuk mengatur emosinya.
E. Pengaruh Efikasi Diri terhadap Stres Kerja
Efikasi merupakan keyakinan individu pada kemampuan dirinya sendiri untuk
menghadapi atau menyelesaikan tugasnya, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan
untuk mencapai hasil dalam situasi tertentu. Menurut Bandura (1997) efikasi diri
diartikan sebagai keyakinan individu dengan kemampuannya untuk melakukan suatu
bentuk kontrol terhadap fungsi diri dan kejadian dalam lingkungan sebagai penentu
untuk merasakan, berfikir, memotivasi diri, dan berperilaku.
Bandura juga menyebutkan dimensi-dimensi efikasi diri meliputi: 1) dimensi
tingkat, berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu
untuk melakukannya, 2) dimensi kekuatan, berkaitan dengan tingkat kekuatan dari
keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya, dan 3) dimensi
generalisasi, berkaitan dengan luas bidang tingkah laku individu merasa yakin akan
kemampuannya.
Keadaan yang menekan secara tidak langsung adalah suatu konsekuensi yang
berhubungan dengan kejadian-kejadian di sekitar lingkungan kerja sehingga
mengakibatkan suatu ketidakseimbangan antara tuntutan kerja dengan kemampuan
kerja individu, baik secara fisik maupun psikologis (Bandura, 1997). Keadaan seperti
44
ini tidak hanya berpengaruh terhadap individu, tetapi juga terhadap organisasi dan
industri karena setiap aspek di pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres.
Terdapat pula hal lain yang ikut turut serta menimbulkan stres kerja, seperti
adanya tuntutan tugas, beban kerja. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu
sedikit merupakan pembangkit stres kerja timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang
terlalu banyak atau sedikit diberikan kepada karyawan untuk diselesaikan dalam
waktu tertentu dan apabila karyawan merasa tidak yakin untuk melaksanakan
tugasnya dengan baik, maka akan menyebabkan terjadinya stres kerja, (Thomas,
2000).
Hasil penelitian Kusnadi (2014) yang menunjukkan bahwa ada hubungan
positif antara efikasi diri dengan stres kerja pada dosen di Universitas X. Artinya
dosen yang memiliki efikasi diri tinggi, maka ia akan yakin dalam melaksanakan
pekerjaanya dengan baik, dengan begitu ia dapat menghindari stres kerja. Pada
tingkat efikasi diri dosen tinggi karena adanya ketekunan dari dosen dalam
menghadapi suatu tugas yang berat. Efikasi diri berperan dalam ketangguhan
seseorang untuk bertahan menghadapi tantangan saat berjuang untuk meraih
tujuannya.
Berdasarkan penjelasan pengaruh efikasi diri terhadap stres kerja di atas,
dapat dipahami bahwa pengaruh kontrol yang dimiliki karyawan pada keadaan kerja
yang menekan ditentukan oleh keyakinannya terhadap kontrol tersebut. Keyakinan
karyawan tentang kemampuan melakukan sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu
45
sebagai efikasi diri. Efikasi diri individu pada keadaan kerja yang menekan
menunjukkan besarnya keyakinan individu tentang kemampuannya melakukan
sesuatu tindakan untuk mengendalikan atau mengatasi keadaan yang sedang
dialaminya, terutama dalam hal tekanan dari pekerjaannya yang bisa menimbulkan
stres.
F. Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Efikasi Diri Terhadap Stres Kerja
Goleman (2009) menjelaskan secara umum kecerdasan emosi dapat
menentukan potensi individu untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis
yang didasarkan pada kesadaran diri, memotivasi diri, pengaturan diri, empati, dan
kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Bandura (1997)
mengartikan efikasi diri sebagai keyakinan individu dengan kemampuannya untuk
melakukan suatu bentuk kontrol terhadap fungsi diri dan kejadian dalam lingkungan
sebagai penentu untuk merasakan, berfikir, memotivasi diri, dan berperilaku.
Berdasarkan hasil penelitian Akbar (2013) dengan judul Hubungan antara
kecerdasan emosi dengan stress kerja pada perawat. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa kecerdasan emosi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja
pada perawat di RSUD Banjarbaru, di mana perawat yang mempunyai kecerdasan
emosi negatif maka stres kerjanya tinggi, perawat yang mempunyai kecerdasan emosi
sedang maka stres kerjanya sedang, perawat yang mempunyai kecerdasan emosi
positif maka stres kerjanya rendah.
46
Hasil penelitian yang dilakukan Agung dan Budiani (2013) dengan judul
Hubungan Kecerdasan Emosi dan Self-efficacy dengan Tingkat Stres Mahasiswa
yang sedang Mengerjakan Skripsi, menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis
data regresi linier berganda diperoleh hasil yang signifikan antara kecerdasan emosi
dan self-efficacy dengan tingkat stres mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.
Hal tersebut dapat dilihat nilai signifikan sebesar 0,000 (<0,05) yang menunjukkan
bahwa kecerdasan emosi dan self-efficacy secara bersamaan memiliki hubungan yang
signifikan dengan tingkat stres, dengan sumbangan yang diberikan oleh kecerdasan
emosi dan self efficacy sebesar 69,6%. artinya, sebesar 69,6% tingkat stres
dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan self efficacy. Sedangkan sisanya sebesar 30,
4% disebabkan oleh variabel lain yang tidak diukur dalam penelitian ini.
Bandura (1997) menjelaskan bahwa pekerja yang mengalami perasaan negatif
atau tidak menyenangkan seperti kecemasan yang berhubungan dengan kegiatan
tertentu, akan cenderung menafsirkan hal tersebut sebagai indikasi rendahnya
kemampuan untuk berhasil melakukan suatu aktivitas dengan konsekuensi penurunan
efikasi diri, dan ketika seseorang merasa kurang yakin untuk dapat mengerjakan
pekerjaannya, maka akan muncul kondisi stres kerja pada dirinya.
Kesimpulan yang dapat diambil, yaitu jika kecerdasan emosi dan efikasi diri
tinggi maka stress kerja rendah, begitu juga sebaliknya jika kecerdasan emosi dan
efikasi diri rendah maka stress kerja akan tinggi.
47
G. Landasan Teori
Menurut Robbins (2006) gejala-gejala stres kerja meliputi: 1) fisiologis
(berkaitan dengan fisik), 2) psikologis (berkaitan dengan mental), dan 3) perilaku
(berkaitan dengan adanya perubahan tingkah laku).
Agar terhindar dari gejala stress kerja, maka individu harus memiliki
kecerdasan emosi yang baik, hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan
oleh Goleman (2009) bahwa individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi akan
memilih melakukan usaha yang lebih besar dan pantang menyerah sehingga mampu
secara baik dalam mengelolah kecerdasan emosi dirinya dibandingkan dengan
individu yang memiliki kecerdasan emosi rendah. Menurut Goleman aspek-aspek
kecerdasan emosi meliputi: 1) mengenali emosi diri, 2) mengelola emosi, 3)
memotivasi diri sendiri, 4) mengenali emosi orang lain, dan 5) membina hubungan.
Tanpa adanya kecerdasan emosional, maka individu tidak akan mampu
menggunakan keterampilan kognitifnya sesuai potensinya, maksudnya adalah
kecerdasan emosional akan mempengaruhi perilaku tiap individu dalam mengatasi
permasalahan yang muncul pada diri sendiri termasuk dalam permasalahan kerja.
Kecerdasan emosional lebih memungkinkan individu mencapai tujuannya.
Selain kecerdasan emosi, efikasi diri juga mampu mempengaruhi stress kerja,
hal ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Bandura (1997) individu dengan
kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap fungsi dirinya dan
kejadian dalam lingkungan sebagai penentu ia merasakan, berfikir, memotivasi diri,
48
dan berperilaku. Bandura juga menyebutkan dimensi-dimensi efikasi diri meliputi: 1)
dimensi tingkat, berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa
mampu untuk melakukannya, 2) dimensi kekuatan, berkaitan dengan tingkat
kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya, dan 3)
dimensi generalisasi, berkaitan dengan luas bidang tingkah laku individu merasa
yakin akan kemampuannya.
Dimensi tingkat (magnitude), individu yakin dengan tindakan yang akan
dilakukannya. Dimensi kekuatan (strength) individu mampu melakukan tindakan
sesuai kemampuannya. Dimensi generalisasi (generality) individu memiliki
kemampuan dalam menghadapi situasi yang berbeda-beda dilingkungan kerjanya
untuk menghidari potensi stress kerja pada dirinya.
Individu yang memiliki magnitude yang baik akan melakukan pekerjaannya
sesuai dengan prosedur sehingga tidak melakukan kesalahan dalam pekerjaannya.
strength, individu mempunyai kepercayaan terhadap dirinya sendiri sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam kerja. Generality, individu mampu menganalisis tindakan apa
yang harus dihadapi selain itu ia mampu menyesuaikan diri dengan siruasi di
sekitarnya.
Berdasarkan paparan landasan teori di atas, dapat dipahami bahwa stres kerja
dapat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan emosi dan faktor efikasi diri. Karyawan
dengan kecerdasan emosi yang kurang baik dan tidak memiliki keyakinan diri untuk
menghadapi permasalahan di lingkungan kerjanya akan cenderung merasakan atau
49
mengalami stres kerja. Kecerdasan emosi dideskripsikan sebagai kemampuan
karyawan untuk mengelola emosinya agar terhindar dari stres kerja. Efikasi diri
dideskripsikan sebagai tingkat kemampuan karyawan untuk menyakinkan dirinya
menghadapi masalah agar terhindar dari stres kerja.
Penjelasan teori-teori di atas, memberikan pemahaman bahwa fokus dalam
penelitian ini melibatkan variabel independen, yaitu kecerdasan emosi (X1) dan
efikasi diri (X2) ada pengaruhnya dengan variabel dependen, yaitu stress kerja (Y).
Pengaruh variabel independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada kerangka
teori di bawah ini:
Gambar 2.1. Kerangka Penelitian
Gejala Stres Kerja
Robbins (2006)
Variabel (Y)
1. Gejala Psikologis.
2. Gejala Fisologis.
3. Gejala Perilaku
Dimensi-Dimensi Efikasi Diri
Bandura (1997)
Variabel (X2)
1. Dimensi Tingkat
2. Dimensi Kekuatan
3. Dimensi Generalisasi
Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Goleman (2009)
Variabel (X1)
1. Mengenal Emosi Diri
2. Mengelola Emosi
3. Memotivasi Diri Sendiri
4. Mengenali Emosi Orang Lain
5. Membina Hubungan.
A
B
C
50
Keterangan:
A. Pengaruh antara Kecerdasan Emosi (X1) dan Efikasi Diri (X2) dengan Stres
Kerja (Y).
B. Pengaruh antara Kecerdasan Emosi (X1) dengan Stres Kerja (Y).
C. Pengaruh antara Efikasi Diri (X2) dengan Stres Kerja (Y).
: Garis pengaruh secara simultan dari variabel indipenden terhadap
variabel dependen.
: Garis pengaruh secara parsial dari masing-masing variabel
indipenden terhadap variabel dependen.
H. Hipotesis
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka
mengenai kecerdasan emosi dan efikasi diri terhadap stres kerja pada karyawan
(SPG) yang bekerja di NU Imej Agency and Event Organizer Yogyakarta, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Hipotesis Mayor
Ada pengaruh secara simultan antara kecerdasan emosi dan efikasi diri
terhadap stres kerja.
2. Hipotesis Minor
a. Terdapat korelasi negatif yang signifikan secara parsial antara kecerdasan
emosi dengan stres kerja. Artinya apabila nilai kecerdasan emosi turun satu
51
tingkatan, maka stres kerja diprediksi akan mengalami kenaikan. Sebaliknya,
jika nilai kecerdasan emosi mengalami penurunan satu tingkatan maka stres
kerja diprediksi mengalami kenaikan.
b. Terdapat korelasi negatif yang signifikan secara parsial antara efikasi diri
dengan stres kerja. Artinya apabila nilai efikasi diri turun satu tingkatan, maka
stres kerja diprediksi akan mengalami kenaikan. Sebaliknya, jika nilai efikasi
diri mengalami penurunan satu tingkatan maka stres kerja diprediksi
mengalami kenaikan.