s eri kuliah tentang metafisika ketidakhadiran fileBeberapa filsuf percaya bahwa ketidakhadiran...

7
ZE-NO Centre for Logic and Metaphysics R E A S O N CURIOSITY Prof. Stephen Mumford metafisika ketidakhadiran seri kuliah tentang

Transcript of s eri kuliah tentang metafisika ketidakhadiran fileBeberapa filsuf percaya bahwa ketidakhadiran...

Z E - N OCentre for Logic and MetaphysicsR

EA

SO

N

C U R I O S I T Y

Prof. Stephen Mumford

metafisikaketidakhadiran

s e r i k u l i a h t e n t a n g

Deskripsi

Filsafat Barat tampak memiliki keengganan atau tidak terlalu peduli pada ide absensi. Sejarah kelahirannya pun tidak dimulai dari pencariannya terhadap apa yang tidak ada, yang non-eksisten, melainkan pada apa yang ada, yang menjadi hakikat dari segala pengada. Hasratnya untuk menemukan apa yang benar-benar ada itu menjadikan filsafat lupa untuk memikirkan, atau bahkan secara sengaja meminggirkan, apa yang tidak ada. Adalah monisme ketat Parmenides yang memulai subordinasi terhadap absensi, terhadap entitas non-eksisten atau non-ada, dalam sejarah filsafat. Tesis monisme Parmenidesian adalah bahwa yang ada hanyalah yang ada, dan tidak mungkin yang ada itu berasal dari yang tidak ada, karena yang tidak ada sama sekali tidak ada dan bukan bagian dari realitas. Kita sama sekali tidak bisa membicarakan tentang yang tidak ada, karena sekali kita menggunakan bahasa untuk merujuk kepada yang tidak ada, maka berarti yang tidak ada yang kita rujuk melalui bahasa itu sebenarnya adalah sesuatu yang ada. Dengan demikian, tidak pernah benar-benar ada yang tidak ada, sebab yang ada hanya tunggal, yaitu yang ada itu sendiri.

Oleh karena itu, metafisika selalu bertanya “apa hakikat ada?” dan “mengapa ada ada daripada tiada?”. Metafisika jarang sekali bertanya “apa hakikat tiada?” dan “mengapa ada tiada daripada ada?”. Pertan-yaan khas metafisika itu seolah mengandaikan bahwa ada selalu lebih

penting daripada tiada, sehingga hanyalah ada yang perlu diberikan pen-jelasan, sedangkan tiada tidak masalah dibiarkan. Problem ini juga terjadi dalam diskursus sains. Pengetahuan ilmiah selalu berupaya menjelaskan suatu fenomena berdasarkan apa yang ada, bukan apa yang tidak ada. Hal itu karena sains mengasumsikan bahwa hanya apa yang ada yang memiliki daya kausal, sehingga akan sia-sia jika sains menjelaskan sesuatu berdasarkan apa yang tidak ada. Tetapi, benarkah sesuatu yang tidak ada, yang absen, itu impoten? Lebih radikal lagi: benarkah yang tidak ada, yang non-eksisten, itu tidak ada?

Kuliah bertajuk “Metafisika Absensi” ini bermaksud menjawab pertan-yaan-pertanyaan tersebut. Kuliah ini akan disampaikan oleh seorang professor metafisika dari Universitas Durham, Prof. Stephen Mumford, dalam empat pertemuan selama dua hari. Dalam kuliah ini, Stephen Mumford akan memperkenalkan konsep “rupa negatif” yang merupakan momen absensi dari eksisten positif. Semisal, jika eksisten positif itu adalah kuda, maka momen absensi dari kuda adalah non-kuda. Pertan-yaannya: apakah non-kuda itu ada? Jika ada, seperti apa? Apakah momen absensi dari kuda, yang adalah non-kuda, itu juga punya daya kausal, sehingga sains perlu melibatkannya dalam setiap eksplanasinya? Jika non-kuda itu diasumsikan memiliki daya kausal, apakah ia merupa-kan objek alamiah (natural kind)?

Empat Kuliah tentang Ketiadaan

1. Sifat negatifJika setiap objek diandaikan memiliki sifat, maka masuk akal untuk mempertanyakan apakah setiap objek juga memiliki sifat negatif, seperti tidak-merah, tidak-setinggi 2 meter, tidak-persegi, dan seterusnya. Ada banyak alasan yang dapat diajukan untuk menjelaskan mengapa tidak ada sifat negatif pada objek dan bahwa semua sifat haruslah positif. Tetapi argumen tersebut mengandaikan pertanyaan yang harusnya dijawab. Khususnya, mengatakan bahwa tidak ada

ciri-ciri umum dari ¬P adalah benar berarti mengabaikan pemikiran Plato dalam The Sophist. Sebaliknya, justru ¬P memiliki ciri-ciri umum yang membedakannya dari P, dan seseorang hanya dapat menolak hal tersebut jika seseorang tersebut sudah mengasumsikan penentangan-nya terhadap sifat negatif. Ada juga pandangan lain, yang tidak begitu langsung menentang sifat negatif dengan dasar bahwa sifat negatif dalam pengertian tertentu tidak masuk akal. Namun, sulit untuk men-erima argumen-argumen tersebut sebagai hal yang konklusif.

2. Penyebaban oleh ketiadaanBeberapa filsuf percaya bahwa ketidakhadiran dapat menjadi penye-bab. Sebagai contoh, ketidakhadiran air dan cahaya dapat membunuh sebuah tanaman; begitu juga kekurangan vitamin yang dapat mem-buat orang jatuh sakit. Kekurangan dan kehilangan sering dianggap suatu hal yang buruk. Namun, penerimaan atas gagasan ketidakhad-iran sebagai penyebab (causes) ini mengantarkan kita pada absurditas. Semisal, kita sekarang hidup karena tidak hadirnya harimau di kamar kita. Absurditas ini membentuk sebuah reductio. Namun, sebuah jawaban positif dan kredibel tentang masalah tersebut tetaplah mendesak untuk ditemukan karena penjelasan ilmiah masih membutu-hkan absensi di dalamnya. Pertanyaan utamanya adalah apakah elemen negatif dalam penjelasan ilmiah tersebut benar-benar sepe-nuhnya negatif. Sebuah strategi ditawarkan oleh Phil Dowe dengan gagasan kontrafaktual; dan daya kasual positif dari benda dapat men-jadi penentu nilai kebenaran kontrafaktual tersebut. Teori ini harus diuji terlebih dahulu secara kasuistik untuk dapat menentukan apakah negativitas dapat dieliminasi tanpa perlu kehilangan daya penjelasnya.

3. Parmenideanisme lemahParmenides memberikan argumen filosofis tertua di dunia Barat yang tetap hidup dan masih bertahan hingga sekarang. Sebuah argumen yang membahas tentang ketiadaan, yakni apa yang tidak ada. Parmenides menyajikan beberapa argumen mengapa ketiadaan

bukanlah bagian dari realitas. Dalam salah satu argumennya, Parmenides mengatakan bahwa kita bahkan tidak dapat berbicara tentang ketiadaan, karena ketiadaan itu tidak ada, sehingga tidak mungkin kita merujuk kepadanya. Jika Parmenides benar, pandangan-nya akan berdampak pada beberapa topik. Sebagai contoh, kita sering melibatkan ketiadaan saat kita berbicara tentang objek yang tidak ada, berpikir bahwa ketiadaan dapat dirasakan atau dicerap, melihat bahwa penghilangan memiliki status moral, dan mengakui kemungkinan kebenaran adanya pernyataan negatif. Pandangan Parmenidean berpendapat bahwa realitas terdiri hanya dari apa yang ada, apa yang eksis, dan tidak dibagi menjadi positif dan negatif karena eksistensi itu adalah satu hal yang jelas. Namun, terdapat sebuah tradisi lain yang hampir setua Parmenideanisme yang menga-takan bahwa yang tidak eksis (non-existent) harus menjadi bagian dari realitas dan karenanya tidak dapat dihapuskan. Apa yang ada harus selalu beriringan dengan apa yang tidak ada. Kita dapat menyebut posisi tersebut Parmenideanisme lemah yang mengakui eksistensi negatif hanya sejauh ketiadaan tersebut 1) tidak dapat diabaikan dan 2) sepenuhnya negatif. Beberapa filsuf terlihat mengadopsi Parmenid-ean lemah ini yang menawarkan sebuah cara bagaimana kita dapat mendekati fenomena negatif.

4. Negasi dan penyangkalanKita bersedia mengakui negasi, tetapi sulit untuk menentukan apa yang dapat menjadi penentu nilai kebenaran bagi kebenaran negatif. Namun, ada sebuah alternatif yang, alih-alih menyatakan ¬P, kita dapat menyangkal P. Hal ini telah lama dilupakan sebagai jalan alterna-tif untuk menyatakan sesuatu, sebagian besar karena penerimaan Frege dan filsuf-filsuf lainnya atas ekuivalensi: 1) antara pernyataan : <¬P> dan penyangkalan <P>, dan 2) antara pernyataan: <P> dan pen-yangkalan: <¬P>. Namun, dua hal tersebut tidaklah sama. Pernyataan dan penyangkalan memainkan fungsi yang benar-benar berbeda. Pernyataan menginginkan kebenaran, berkomitmen pada bagaiamana

dunia ada, mengekspresikan putusan dan mematuhi hukum non-kon-tradiksi. Sebaliknya, penyangkalan menginginkan kesalahan, tidak berkomitmen pada bentuk eksistensi dunia, menahan putusan dan tidak terikat pada hukum non-kontradiksi. Penyangkalan, karenanya, tidak sama dengan penegasan atas negasi. Logika Frege yang berisi penekanan pernyataan dan bukan penyangkalan adalah bukti dari afirmasi biasnya. Pengakuan terhadap peran khusus dari penyangkalan dapat berguna bagi pengikut Parmenides, seperti dalam kasus kebe-naran negatif.

Deskripsi

Filsafat Barat tampak memiliki keengganan atau tidak terlalu peduli pada ide absensi. Sejarah kelahirannya pun tidak dimulai dari pencariannya terhadap apa yang tidak ada, yang non-eksisten, melainkan pada apa yang ada, yang menjadi hakikat dari segala pengada. Hasratnya untuk menemukan apa yang benar-benar ada itu menjadikan filsafat lupa untuk memikirkan, atau bahkan secara sengaja meminggirkan, apa yang tidak ada. Adalah monisme ketat Parmenides yang memulai subordinasi terhadap absensi, terhadap entitas non-eksisten atau non-ada, dalam sejarah filsafat. Tesis monisme Parmenidesian adalah bahwa yang ada hanyalah yang ada, dan tidak mungkin yang ada itu berasal dari yang tidak ada, karena yang tidak ada sama sekali tidak ada dan bukan bagian dari realitas. Kita sama sekali tidak bisa membicarakan tentang yang tidak ada, karena sekali kita menggunakan bahasa untuk merujuk kepada yang tidak ada, maka berarti yang tidak ada yang kita rujuk melalui bahasa itu sebenarnya adalah sesuatu yang ada. Dengan demikian, tidak pernah benar-benar ada yang tidak ada, sebab yang ada hanya tunggal, yaitu yang ada itu sendiri.

Oleh karena itu, metafisika selalu bertanya “apa hakikat ada?” dan “mengapa ada ada daripada tiada?”. Metafisika jarang sekali bertanya “apa hakikat tiada?” dan “mengapa ada tiada daripada ada?”. Pertan-yaan khas metafisika itu seolah mengandaikan bahwa ada selalu lebih

Seri Kuliah International

Centre for Logic and Metaphysics

2

ZE-NO

penting daripada tiada, sehingga hanyalah ada yang perlu diberikan pen-jelasan, sedangkan tiada tidak masalah dibiarkan. Problem ini juga terjadi dalam diskursus sains. Pengetahuan ilmiah selalu berupaya menjelaskan suatu fenomena berdasarkan apa yang ada, bukan apa yang tidak ada. Hal itu karena sains mengasumsikan bahwa hanya apa yang ada yang memiliki daya kausal, sehingga akan sia-sia jika sains menjelaskan sesuatu berdasarkan apa yang tidak ada. Tetapi, benarkah sesuatu yang tidak ada, yang absen, itu impoten? Lebih radikal lagi: benarkah yang tidak ada, yang non-eksisten, itu tidak ada?

Kuliah bertajuk “Metafisika Absensi” ini bermaksud menjawab pertan-yaan-pertanyaan tersebut. Kuliah ini akan disampaikan oleh seorang professor metafisika dari Universitas Durham, Prof. Stephen Mumford, dalam empat pertemuan selama dua hari. Dalam kuliah ini, Stephen Mumford akan memperkenalkan konsep “rupa negatif” yang merupakan momen absensi dari eksisten positif. Semisal, jika eksisten positif itu adalah kuda, maka momen absensi dari kuda adalah non-kuda. Pertan-yaannya: apakah non-kuda itu ada? Jika ada, seperti apa? Apakah momen absensi dari kuda, yang adalah non-kuda, itu juga punya daya kausal, sehingga sains perlu melibatkannya dalam setiap eksplanasinya? Jika non-kuda itu diasumsikan memiliki daya kausal, apakah ia merupa-kan objek alamiah (natural kind)?

Empat Kuliah tentang Ketiadaan

1. Sifat negatifJika setiap objek diandaikan memiliki sifat, maka masuk akal untuk mempertanyakan apakah setiap objek juga memiliki sifat negatif, seperti tidak-merah, tidak-setinggi 2 meter, tidak-persegi, dan seterusnya. Ada banyak alasan yang dapat diajukan untuk menjelaskan mengapa tidak ada sifat negatif pada objek dan bahwa semua sifat haruslah positif. Tetapi argumen tersebut mengandaikan pertanyaan yang harusnya dijawab. Khususnya, mengatakan bahwa tidak ada

ciri-ciri umum dari ¬P adalah benar berarti mengabaikan pemikiran Plato dalam The Sophist. Sebaliknya, justru ¬P memiliki ciri-ciri umum yang membedakannya dari P, dan seseorang hanya dapat menolak hal tersebut jika seseorang tersebut sudah mengasumsikan penentangan-nya terhadap sifat negatif. Ada juga pandangan lain, yang tidak begitu langsung menentang sifat negatif dengan dasar bahwa sifat negatif dalam pengertian tertentu tidak masuk akal. Namun, sulit untuk men-erima argumen-argumen tersebut sebagai hal yang konklusif.

2. Penyebaban oleh ketiadaanBeberapa filsuf percaya bahwa ketidakhadiran dapat menjadi penye-bab. Sebagai contoh, ketidakhadiran air dan cahaya dapat membunuh sebuah tanaman; begitu juga kekurangan vitamin yang dapat mem-buat orang jatuh sakit. Kekurangan dan kehilangan sering dianggap suatu hal yang buruk. Namun, penerimaan atas gagasan ketidakhad-iran sebagai penyebab (causes) ini mengantarkan kita pada absurditas. Semisal, kita sekarang hidup karena tidak hadirnya harimau di kamar kita. Absurditas ini membentuk sebuah reductio. Namun, sebuah jawaban positif dan kredibel tentang masalah tersebut tetaplah mendesak untuk ditemukan karena penjelasan ilmiah masih membutu-hkan absensi di dalamnya. Pertanyaan utamanya adalah apakah elemen negatif dalam penjelasan ilmiah tersebut benar-benar sepe-nuhnya negatif. Sebuah strategi ditawarkan oleh Phil Dowe dengan gagasan kontrafaktual; dan daya kasual positif dari benda dapat men-jadi penentu nilai kebenaran kontrafaktual tersebut. Teori ini harus diuji terlebih dahulu secara kasuistik untuk dapat menentukan apakah negativitas dapat dieliminasi tanpa perlu kehilangan daya penjelasnya.

3. Parmenideanisme lemahParmenides memberikan argumen filosofis tertua di dunia Barat yang tetap hidup dan masih bertahan hingga sekarang. Sebuah argumen yang membahas tentang ketiadaan, yakni apa yang tidak ada. Parmenides menyajikan beberapa argumen mengapa ketiadaan

bukanlah bagian dari realitas. Dalam salah satu argumennya, Parmenides mengatakan bahwa kita bahkan tidak dapat berbicara tentang ketiadaan, karena ketiadaan itu tidak ada, sehingga tidak mungkin kita merujuk kepadanya. Jika Parmenides benar, pandangan-nya akan berdampak pada beberapa topik. Sebagai contoh, kita sering melibatkan ketiadaan saat kita berbicara tentang objek yang tidak ada, berpikir bahwa ketiadaan dapat dirasakan atau dicerap, melihat bahwa penghilangan memiliki status moral, dan mengakui kemungkinan kebenaran adanya pernyataan negatif. Pandangan Parmenidean berpendapat bahwa realitas terdiri hanya dari apa yang ada, apa yang eksis, dan tidak dibagi menjadi positif dan negatif karena eksistensi itu adalah satu hal yang jelas. Namun, terdapat sebuah tradisi lain yang hampir setua Parmenideanisme yang menga-takan bahwa yang tidak eksis (non-existent) harus menjadi bagian dari realitas dan karenanya tidak dapat dihapuskan. Apa yang ada harus selalu beriringan dengan apa yang tidak ada. Kita dapat menyebut posisi tersebut Parmenideanisme lemah yang mengakui eksistensi negatif hanya sejauh ketiadaan tersebut 1) tidak dapat diabaikan dan 2) sepenuhnya negatif. Beberapa filsuf terlihat mengadopsi Parmenid-ean lemah ini yang menawarkan sebuah cara bagaimana kita dapat mendekati fenomena negatif.

4. Negasi dan penyangkalanKita bersedia mengakui negasi, tetapi sulit untuk menentukan apa yang dapat menjadi penentu nilai kebenaran bagi kebenaran negatif. Namun, ada sebuah alternatif yang, alih-alih menyatakan ¬P, kita dapat menyangkal P. Hal ini telah lama dilupakan sebagai jalan alterna-tif untuk menyatakan sesuatu, sebagian besar karena penerimaan Frege dan filsuf-filsuf lainnya atas ekuivalensi: 1) antara pernyataan : <¬P> dan penyangkalan <P>, dan 2) antara pernyataan: <P> dan pen-yangkalan: <¬P>. Namun, dua hal tersebut tidaklah sama. Pernyataan dan penyangkalan memainkan fungsi yang benar-benar berbeda. Pernyataan menginginkan kebenaran, berkomitmen pada bagaiamana

dunia ada, mengekspresikan putusan dan mematuhi hukum non-kon-tradiksi. Sebaliknya, penyangkalan menginginkan kesalahan, tidak berkomitmen pada bentuk eksistensi dunia, menahan putusan dan tidak terikat pada hukum non-kontradiksi. Penyangkalan, karenanya, tidak sama dengan penegasan atas negasi. Logika Frege yang berisi penekanan pernyataan dan bukan penyangkalan adalah bukti dari afirmasi biasnya. Pengakuan terhadap peran khusus dari penyangkalan dapat berguna bagi pengikut Parmenides, seperti dalam kasus kebe-naran negatif.

Deskripsi

Filsafat Barat tampak memiliki keengganan atau tidak terlalu peduli pada ide absensi. Sejarah kelahirannya pun tidak dimulai dari pencariannya terhadap apa yang tidak ada, yang non-eksisten, melainkan pada apa yang ada, yang menjadi hakikat dari segala pengada. Hasratnya untuk menemukan apa yang benar-benar ada itu menjadikan filsafat lupa untuk memikirkan, atau bahkan secara sengaja meminggirkan, apa yang tidak ada. Adalah monisme ketat Parmenides yang memulai subordinasi terhadap absensi, terhadap entitas non-eksisten atau non-ada, dalam sejarah filsafat. Tesis monisme Parmenidesian adalah bahwa yang ada hanyalah yang ada, dan tidak mungkin yang ada itu berasal dari yang tidak ada, karena yang tidak ada sama sekali tidak ada dan bukan bagian dari realitas. Kita sama sekali tidak bisa membicarakan tentang yang tidak ada, karena sekali kita menggunakan bahasa untuk merujuk kepada yang tidak ada, maka berarti yang tidak ada yang kita rujuk melalui bahasa itu sebenarnya adalah sesuatu yang ada. Dengan demikian, tidak pernah benar-benar ada yang tidak ada, sebab yang ada hanya tunggal, yaitu yang ada itu sendiri.

Oleh karena itu, metafisika selalu bertanya “apa hakikat ada?” dan “mengapa ada ada daripada tiada?”. Metafisika jarang sekali bertanya “apa hakikat tiada?” dan “mengapa ada tiada daripada ada?”. Pertan-yaan khas metafisika itu seolah mengandaikan bahwa ada selalu lebih

Metafisika Ketidakhadiran 3

Centre for Logic and Metaphysics ZE-NO

penting daripada tiada, sehingga hanyalah ada yang perlu diberikan pen-jelasan, sedangkan tiada tidak masalah dibiarkan. Problem ini juga terjadi dalam diskursus sains. Pengetahuan ilmiah selalu berupaya menjelaskan suatu fenomena berdasarkan apa yang ada, bukan apa yang tidak ada. Hal itu karena sains mengasumsikan bahwa hanya apa yang ada yang memiliki daya kausal, sehingga akan sia-sia jika sains menjelaskan sesuatu berdasarkan apa yang tidak ada. Tetapi, benarkah sesuatu yang tidak ada, yang absen, itu impoten? Lebih radikal lagi: benarkah yang tidak ada, yang non-eksisten, itu tidak ada?

Kuliah bertajuk “Metafisika Absensi” ini bermaksud menjawab pertan-yaan-pertanyaan tersebut. Kuliah ini akan disampaikan oleh seorang professor metafisika dari Universitas Durham, Prof. Stephen Mumford, dalam empat pertemuan selama dua hari. Dalam kuliah ini, Stephen Mumford akan memperkenalkan konsep “rupa negatif” yang merupakan momen absensi dari eksisten positif. Semisal, jika eksisten positif itu adalah kuda, maka momen absensi dari kuda adalah non-kuda. Pertan-yaannya: apakah non-kuda itu ada? Jika ada, seperti apa? Apakah momen absensi dari kuda, yang adalah non-kuda, itu juga punya daya kausal, sehingga sains perlu melibatkannya dalam setiap eksplanasinya? Jika non-kuda itu diasumsikan memiliki daya kausal, apakah ia merupa-kan objek alamiah (natural kind)?

Empat Kuliah tentang Ketiadaan

1. Sifat negatifJika setiap objek diandaikan memiliki sifat, maka masuk akal untuk mempertanyakan apakah setiap objek juga memiliki sifat negatif, seperti tidak-merah, tidak-setinggi 2 meter, tidak-persegi, dan seterusnya. Ada banyak alasan yang dapat diajukan untuk menjelaskan mengapa tidak ada sifat negatif pada objek dan bahwa semua sifat haruslah positif. Tetapi argumen tersebut mengandaikan pertanyaan yang harusnya dijawab. Khususnya, mengatakan bahwa tidak ada

ciri-ciri umum dari ¬P adalah benar berarti mengabaikan pemikiran Plato dalam The Sophist. Sebaliknya, justru ¬P memiliki ciri-ciri umum yang membedakannya dari P, dan seseorang hanya dapat menolak hal tersebut jika seseorang tersebut sudah mengasumsikan penentangan-nya terhadap sifat negatif. Ada juga pandangan lain, yang tidak begitu langsung menentang sifat negatif dengan dasar bahwa sifat negatif dalam pengertian tertentu tidak masuk akal. Namun, sulit untuk men-erima argumen-argumen tersebut sebagai hal yang konklusif.

2. Penyebaban oleh ketiadaanBeberapa filsuf percaya bahwa ketidakhadiran dapat menjadi penye-bab. Sebagai contoh, ketidakhadiran air dan cahaya dapat membunuh sebuah tanaman; begitu juga kekurangan vitamin yang dapat mem-buat orang jatuh sakit. Kekurangan dan kehilangan sering dianggap suatu hal yang buruk. Namun, penerimaan atas gagasan ketidakhad-iran sebagai penyebab (causes) ini mengantarkan kita pada absurditas. Semisal, kita sekarang hidup karena tidak hadirnya harimau di kamar kita. Absurditas ini membentuk sebuah reductio. Namun, sebuah jawaban positif dan kredibel tentang masalah tersebut tetaplah mendesak untuk ditemukan karena penjelasan ilmiah masih membutu-hkan absensi di dalamnya. Pertanyaan utamanya adalah apakah elemen negatif dalam penjelasan ilmiah tersebut benar-benar sepe-nuhnya negatif. Sebuah strategi ditawarkan oleh Phil Dowe dengan gagasan kontrafaktual; dan daya kasual positif dari benda dapat men-jadi penentu nilai kebenaran kontrafaktual tersebut. Teori ini harus diuji terlebih dahulu secara kasuistik untuk dapat menentukan apakah negativitas dapat dieliminasi tanpa perlu kehilangan daya penjelasnya.

3. Parmenideanisme lemahParmenides memberikan argumen filosofis tertua di dunia Barat yang tetap hidup dan masih bertahan hingga sekarang. Sebuah argumen yang membahas tentang ketiadaan, yakni apa yang tidak ada. Parmenides menyajikan beberapa argumen mengapa ketiadaan

bukanlah bagian dari realitas. Dalam salah satu argumennya, Parmenides mengatakan bahwa kita bahkan tidak dapat berbicara tentang ketiadaan, karena ketiadaan itu tidak ada, sehingga tidak mungkin kita merujuk kepadanya. Jika Parmenides benar, pandangan-nya akan berdampak pada beberapa topik. Sebagai contoh, kita sering melibatkan ketiadaan saat kita berbicara tentang objek yang tidak ada, berpikir bahwa ketiadaan dapat dirasakan atau dicerap, melihat bahwa penghilangan memiliki status moral, dan mengakui kemungkinan kebenaran adanya pernyataan negatif. Pandangan Parmenidean berpendapat bahwa realitas terdiri hanya dari apa yang ada, apa yang eksis, dan tidak dibagi menjadi positif dan negatif karena eksistensi itu adalah satu hal yang jelas. Namun, terdapat sebuah tradisi lain yang hampir setua Parmenideanisme yang menga-takan bahwa yang tidak eksis (non-existent) harus menjadi bagian dari realitas dan karenanya tidak dapat dihapuskan. Apa yang ada harus selalu beriringan dengan apa yang tidak ada. Kita dapat menyebut posisi tersebut Parmenideanisme lemah yang mengakui eksistensi negatif hanya sejauh ketiadaan tersebut 1) tidak dapat diabaikan dan 2) sepenuhnya negatif. Beberapa filsuf terlihat mengadopsi Parmenid-ean lemah ini yang menawarkan sebuah cara bagaimana kita dapat mendekati fenomena negatif.

4. Negasi dan penyangkalanKita bersedia mengakui negasi, tetapi sulit untuk menentukan apa yang dapat menjadi penentu nilai kebenaran bagi kebenaran negatif. Namun, ada sebuah alternatif yang, alih-alih menyatakan ¬P, kita dapat menyangkal P. Hal ini telah lama dilupakan sebagai jalan alterna-tif untuk menyatakan sesuatu, sebagian besar karena penerimaan Frege dan filsuf-filsuf lainnya atas ekuivalensi: 1) antara pernyataan : <¬P> dan penyangkalan <P>, dan 2) antara pernyataan: <P> dan pen-yangkalan: <¬P>. Namun, dua hal tersebut tidaklah sama. Pernyataan dan penyangkalan memainkan fungsi yang benar-benar berbeda. Pernyataan menginginkan kebenaran, berkomitmen pada bagaiamana

dunia ada, mengekspresikan putusan dan mematuhi hukum non-kon-tradiksi. Sebaliknya, penyangkalan menginginkan kesalahan, tidak berkomitmen pada bentuk eksistensi dunia, menahan putusan dan tidak terikat pada hukum non-kontradiksi. Penyangkalan, karenanya, tidak sama dengan penegasan atas negasi. Logika Frege yang berisi penekanan pernyataan dan bukan penyangkalan adalah bukti dari afirmasi biasnya. Pengakuan terhadap peran khusus dari penyangkalan dapat berguna bagi pengikut Parmenides, seperti dalam kasus kebe-naran negatif.

Deskripsi

Filsafat Barat tampak memiliki keengganan atau tidak terlalu peduli pada ide absensi. Sejarah kelahirannya pun tidak dimulai dari pencariannya terhadap apa yang tidak ada, yang non-eksisten, melainkan pada apa yang ada, yang menjadi hakikat dari segala pengada. Hasratnya untuk menemukan apa yang benar-benar ada itu menjadikan filsafat lupa untuk memikirkan, atau bahkan secara sengaja meminggirkan, apa yang tidak ada. Adalah monisme ketat Parmenides yang memulai subordinasi terhadap absensi, terhadap entitas non-eksisten atau non-ada, dalam sejarah filsafat. Tesis monisme Parmenidesian adalah bahwa yang ada hanyalah yang ada, dan tidak mungkin yang ada itu berasal dari yang tidak ada, karena yang tidak ada sama sekali tidak ada dan bukan bagian dari realitas. Kita sama sekali tidak bisa membicarakan tentang yang tidak ada, karena sekali kita menggunakan bahasa untuk merujuk kepada yang tidak ada, maka berarti yang tidak ada yang kita rujuk melalui bahasa itu sebenarnya adalah sesuatu yang ada. Dengan demikian, tidak pernah benar-benar ada yang tidak ada, sebab yang ada hanya tunggal, yaitu yang ada itu sendiri.

Oleh karena itu, metafisika selalu bertanya “apa hakikat ada?” dan “mengapa ada ada daripada tiada?”. Metafisika jarang sekali bertanya “apa hakikat tiada?” dan “mengapa ada tiada daripada ada?”. Pertan-yaan khas metafisika itu seolah mengandaikan bahwa ada selalu lebih

Seri Kuliah Internasional4

Centre for Logic and MetaphysicsZE-NO

penting daripada tiada, sehingga hanyalah ada yang perlu diberikan pen-jelasan, sedangkan tiada tidak masalah dibiarkan. Problem ini juga terjadi dalam diskursus sains. Pengetahuan ilmiah selalu berupaya menjelaskan suatu fenomena berdasarkan apa yang ada, bukan apa yang tidak ada. Hal itu karena sains mengasumsikan bahwa hanya apa yang ada yang memiliki daya kausal, sehingga akan sia-sia jika sains menjelaskan sesuatu berdasarkan apa yang tidak ada. Tetapi, benarkah sesuatu yang tidak ada, yang absen, itu impoten? Lebih radikal lagi: benarkah yang tidak ada, yang non-eksisten, itu tidak ada?

Kuliah bertajuk “Metafisika Absensi” ini bermaksud menjawab pertan-yaan-pertanyaan tersebut. Kuliah ini akan disampaikan oleh seorang professor metafisika dari Universitas Durham, Prof. Stephen Mumford, dalam empat pertemuan selama dua hari. Dalam kuliah ini, Stephen Mumford akan memperkenalkan konsep “rupa negatif” yang merupakan momen absensi dari eksisten positif. Semisal, jika eksisten positif itu adalah kuda, maka momen absensi dari kuda adalah non-kuda. Pertan-yaannya: apakah non-kuda itu ada? Jika ada, seperti apa? Apakah momen absensi dari kuda, yang adalah non-kuda, itu juga punya daya kausal, sehingga sains perlu melibatkannya dalam setiap eksplanasinya? Jika non-kuda itu diasumsikan memiliki daya kausal, apakah ia merupa-kan objek alamiah (natural kind)?

Empat Kuliah tentang Ketiadaan

1. Sifat negatifJika setiap objek diandaikan memiliki sifat, maka masuk akal untuk mempertanyakan apakah setiap objek juga memiliki sifat negatif, seperti tidak-merah, tidak-setinggi 2 meter, tidak-persegi, dan seterusnya. Ada banyak alasan yang dapat diajukan untuk menjelaskan mengapa tidak ada sifat negatif pada objek dan bahwa semua sifat haruslah positif. Tetapi argumen tersebut mengandaikan pertanyaan yang harusnya dijawab. Khususnya, mengatakan bahwa tidak ada

ciri-ciri umum dari ¬P adalah benar berarti mengabaikan pemikiran Plato dalam The Sophist. Sebaliknya, justru ¬P memiliki ciri-ciri umum yang membedakannya dari P, dan seseorang hanya dapat menolak hal tersebut jika seseorang tersebut sudah mengasumsikan penentangan-nya terhadap sifat negatif. Ada juga pandangan lain, yang tidak begitu langsung menentang sifat negatif dengan dasar bahwa sifat negatif dalam pengertian tertentu tidak masuk akal. Namun, sulit untuk men-erima argumen-argumen tersebut sebagai hal yang konklusif.

2. Penyebaban oleh ketiadaanBeberapa filsuf percaya bahwa ketidakhadiran dapat menjadi penye-bab. Sebagai contoh, ketidakhadiran air dan cahaya dapat membunuh sebuah tanaman; begitu juga kekurangan vitamin yang dapat mem-buat orang jatuh sakit. Kekurangan dan kehilangan sering dianggap suatu hal yang buruk. Namun, penerimaan atas gagasan ketidakhad-iran sebagai penyebab (causes) ini mengantarkan kita pada absurditas. Semisal, kita sekarang hidup karena tidak hadirnya harimau di kamar kita. Absurditas ini membentuk sebuah reductio. Namun, sebuah jawaban positif dan kredibel tentang masalah tersebut tetaplah mendesak untuk ditemukan karena penjelasan ilmiah masih membutu-hkan absensi di dalamnya. Pertanyaan utamanya adalah apakah elemen negatif dalam penjelasan ilmiah tersebut benar-benar sepe-nuhnya negatif. Sebuah strategi ditawarkan oleh Phil Dowe dengan gagasan kontrafaktual; dan daya kasual positif dari benda dapat men-jadi penentu nilai kebenaran kontrafaktual tersebut. Teori ini harus diuji terlebih dahulu secara kasuistik untuk dapat menentukan apakah negativitas dapat dieliminasi tanpa perlu kehilangan daya penjelasnya.

3. Parmenideanisme lemahParmenides memberikan argumen filosofis tertua di dunia Barat yang tetap hidup dan masih bertahan hingga sekarang. Sebuah argumen yang membahas tentang ketiadaan, yakni apa yang tidak ada. Parmenides menyajikan beberapa argumen mengapa ketiadaan

bukanlah bagian dari realitas. Dalam salah satu argumennya, Parmenides mengatakan bahwa kita bahkan tidak dapat berbicara tentang ketiadaan, karena ketiadaan itu tidak ada, sehingga tidak mungkin kita merujuk kepadanya. Jika Parmenides benar, pandangan-nya akan berdampak pada beberapa topik. Sebagai contoh, kita sering melibatkan ketiadaan saat kita berbicara tentang objek yang tidak ada, berpikir bahwa ketiadaan dapat dirasakan atau dicerap, melihat bahwa penghilangan memiliki status moral, dan mengakui kemungkinan kebenaran adanya pernyataan negatif. Pandangan Parmenidean berpendapat bahwa realitas terdiri hanya dari apa yang ada, apa yang eksis, dan tidak dibagi menjadi positif dan negatif karena eksistensi itu adalah satu hal yang jelas. Namun, terdapat sebuah tradisi lain yang hampir setua Parmenideanisme yang menga-takan bahwa yang tidak eksis (non-existent) harus menjadi bagian dari realitas dan karenanya tidak dapat dihapuskan. Apa yang ada harus selalu beriringan dengan apa yang tidak ada. Kita dapat menyebut posisi tersebut Parmenideanisme lemah yang mengakui eksistensi negatif hanya sejauh ketiadaan tersebut 1) tidak dapat diabaikan dan 2) sepenuhnya negatif. Beberapa filsuf terlihat mengadopsi Parmenid-ean lemah ini yang menawarkan sebuah cara bagaimana kita dapat mendekati fenomena negatif.

4. Negasi dan penyangkalanKita bersedia mengakui negasi, tetapi sulit untuk menentukan apa yang dapat menjadi penentu nilai kebenaran bagi kebenaran negatif. Namun, ada sebuah alternatif yang, alih-alih menyatakan ¬P, kita dapat menyangkal P. Hal ini telah lama dilupakan sebagai jalan alterna-tif untuk menyatakan sesuatu, sebagian besar karena penerimaan Frege dan filsuf-filsuf lainnya atas ekuivalensi: 1) antara pernyataan : <¬P> dan penyangkalan <P>, dan 2) antara pernyataan: <P> dan pen-yangkalan: <¬P>. Namun, dua hal tersebut tidaklah sama. Pernyataan dan penyangkalan memainkan fungsi yang benar-benar berbeda. Pernyataan menginginkan kebenaran, berkomitmen pada bagaiamana

dunia ada, mengekspresikan putusan dan mematuhi hukum non-kon-tradiksi. Sebaliknya, penyangkalan menginginkan kesalahan, tidak berkomitmen pada bentuk eksistensi dunia, menahan putusan dan tidak terikat pada hukum non-kontradiksi. Penyangkalan, karenanya, tidak sama dengan penegasan atas negasi. Logika Frege yang berisi penekanan pernyataan dan bukan penyangkalan adalah bukti dari afirmasi biasnya. Pengakuan terhadap peran khusus dari penyangkalan dapat berguna bagi pengikut Parmenides, seperti dalam kasus kebe-naran negatif.

Deskripsi

Filsafat Barat tampak memiliki keengganan atau tidak terlalu peduli pada ide absensi. Sejarah kelahirannya pun tidak dimulai dari pencariannya terhadap apa yang tidak ada, yang non-eksisten, melainkan pada apa yang ada, yang menjadi hakikat dari segala pengada. Hasratnya untuk menemukan apa yang benar-benar ada itu menjadikan filsafat lupa untuk memikirkan, atau bahkan secara sengaja meminggirkan, apa yang tidak ada. Adalah monisme ketat Parmenides yang memulai subordinasi terhadap absensi, terhadap entitas non-eksisten atau non-ada, dalam sejarah filsafat. Tesis monisme Parmenidesian adalah bahwa yang ada hanyalah yang ada, dan tidak mungkin yang ada itu berasal dari yang tidak ada, karena yang tidak ada sama sekali tidak ada dan bukan bagian dari realitas. Kita sama sekali tidak bisa membicarakan tentang yang tidak ada, karena sekali kita menggunakan bahasa untuk merujuk kepada yang tidak ada, maka berarti yang tidak ada yang kita rujuk melalui bahasa itu sebenarnya adalah sesuatu yang ada. Dengan demikian, tidak pernah benar-benar ada yang tidak ada, sebab yang ada hanya tunggal, yaitu yang ada itu sendiri.

Oleh karena itu, metafisika selalu bertanya “apa hakikat ada?” dan “mengapa ada ada daripada tiada?”. Metafisika jarang sekali bertanya “apa hakikat tiada?” dan “mengapa ada tiada daripada ada?”. Pertan-yaan khas metafisika itu seolah mengandaikan bahwa ada selalu lebih

penting daripada tiada, sehingga hanyalah ada yang perlu diberikan pen-jelasan, sedangkan tiada tidak masalah dibiarkan. Problem ini juga terjadi dalam diskursus sains. Pengetahuan ilmiah selalu berupaya menjelaskan suatu fenomena berdasarkan apa yang ada, bukan apa yang tidak ada. Hal itu karena sains mengasumsikan bahwa hanya apa yang ada yang memiliki daya kausal, sehingga akan sia-sia jika sains menjelaskan sesuatu berdasarkan apa yang tidak ada. Tetapi, benarkah sesuatu yang tidak ada, yang absen, itu impoten? Lebih radikal lagi: benarkah yang tidak ada, yang non-eksisten, itu tidak ada?

Kuliah bertajuk “Metafisika Absensi” ini bermaksud menjawab pertan-yaan-pertanyaan tersebut. Kuliah ini akan disampaikan oleh seorang professor metafisika dari Universitas Durham, Prof. Stephen Mumford, dalam empat pertemuan selama dua hari. Dalam kuliah ini, Stephen Mumford akan memperkenalkan konsep “rupa negatif” yang merupakan momen absensi dari eksisten positif. Semisal, jika eksisten positif itu adalah kuda, maka momen absensi dari kuda adalah non-kuda. Pertan-yaannya: apakah non-kuda itu ada? Jika ada, seperti apa? Apakah momen absensi dari kuda, yang adalah non-kuda, itu juga punya daya kausal, sehingga sains perlu melibatkannya dalam setiap eksplanasinya? Jika non-kuda itu diasumsikan memiliki daya kausal, apakah ia merupa-kan objek alamiah (natural kind)?

Empat Kuliah tentang Ketiadaan

1. Sifat negatifJika setiap objek diandaikan memiliki sifat, maka masuk akal untuk mempertanyakan apakah setiap objek juga memiliki sifat negatif, seperti tidak-merah, tidak-setinggi 2 meter, tidak-persegi, dan seterusnya. Ada banyak alasan yang dapat diajukan untuk menjelaskan mengapa tidak ada sifat negatif pada objek dan bahwa semua sifat haruslah positif. Tetapi argumen tersebut mengandaikan pertanyaan yang harusnya dijawab. Khususnya, mengatakan bahwa tidak ada

ciri-ciri umum dari ¬P adalah benar berarti mengabaikan pemikiran Plato dalam The Sophist. Sebaliknya, justru ¬P memiliki ciri-ciri umum yang membedakannya dari P, dan seseorang hanya dapat menolak hal tersebut jika seseorang tersebut sudah mengasumsikan penentangan-nya terhadap sifat negatif. Ada juga pandangan lain, yang tidak begitu langsung menentang sifat negatif dengan dasar bahwa sifat negatif dalam pengertian tertentu tidak masuk akal. Namun, sulit untuk men-erima argumen-argumen tersebut sebagai hal yang konklusif.

2. Penyebaban oleh ketiadaanBeberapa filsuf percaya bahwa ketidakhadiran dapat menjadi penye-bab. Sebagai contoh, ketidakhadiran air dan cahaya dapat membunuh sebuah tanaman; begitu juga kekurangan vitamin yang dapat mem-buat orang jatuh sakit. Kekurangan dan kehilangan sering dianggap suatu hal yang buruk. Namun, penerimaan atas gagasan ketidakhad-iran sebagai penyebab (causes) ini mengantarkan kita pada absurditas. Semisal, kita sekarang hidup karena tidak hadirnya harimau di kamar kita. Absurditas ini membentuk sebuah reductio. Namun, sebuah jawaban positif dan kredibel tentang masalah tersebut tetaplah mendesak untuk ditemukan karena penjelasan ilmiah masih membutu-hkan absensi di dalamnya. Pertanyaan utamanya adalah apakah elemen negatif dalam penjelasan ilmiah tersebut benar-benar sepe-nuhnya negatif. Sebuah strategi ditawarkan oleh Phil Dowe dengan gagasan kontrafaktual; dan daya kasual positif dari benda dapat men-jadi penentu nilai kebenaran kontrafaktual tersebut. Teori ini harus diuji terlebih dahulu secara kasuistik untuk dapat menentukan apakah negativitas dapat dieliminasi tanpa perlu kehilangan daya penjelasnya.

3. Parmenideanisme lemahParmenides memberikan argumen filosofis tertua di dunia Barat yang tetap hidup dan masih bertahan hingga sekarang. Sebuah argumen yang membahas tentang ketiadaan, yakni apa yang tidak ada. Parmenides menyajikan beberapa argumen mengapa ketiadaan

Metafisika Ketidakhadiran 5

Centre for Logic and Metaphysics ZE-NO

bukanlah bagian dari realitas. Dalam salah satu argumennya, Parmenides mengatakan bahwa kita bahkan tidak dapat berbicara tentang ketiadaan, karena ketiadaan itu tidak ada, sehingga tidak mungkin kita merujuk kepadanya. Jika Parmenides benar, pandangan-nya akan berdampak pada beberapa topik. Sebagai contoh, kita sering melibatkan ketiadaan saat kita berbicara tentang objek yang tidak ada, berpikir bahwa ketiadaan dapat dirasakan atau dicerap, melihat bahwa penghilangan memiliki status moral, dan mengakui kemungkinan kebenaran adanya pernyataan negatif. Pandangan Parmenidean berpendapat bahwa realitas terdiri hanya dari apa yang ada, apa yang eksis, dan tidak dibagi menjadi positif dan negatif karena eksistensi itu adalah satu hal yang jelas. Namun, terdapat sebuah tradisi lain yang hampir setua Parmenideanisme yang menga-takan bahwa yang tidak eksis (non-existent) harus menjadi bagian dari realitas dan karenanya tidak dapat dihapuskan. Apa yang ada harus selalu beriringan dengan apa yang tidak ada. Kita dapat menyebut posisi tersebut Parmenideanisme lemah yang mengakui eksistensi negatif hanya sejauh ketiadaan tersebut 1) tidak dapat diabaikan dan 2) sepenuhnya negatif. Beberapa filsuf terlihat mengadopsi Parmenid-ean lemah ini yang menawarkan sebuah cara bagaimana kita dapat mendekati fenomena negatif.

4. Negasi dan penyangkalanKita bersedia mengakui negasi, tetapi sulit untuk menentukan apa yang dapat menjadi penentu nilai kebenaran bagi kebenaran negatif. Namun, ada sebuah alternatif yang, alih-alih menyatakan ¬P, kita dapat menyangkal P. Hal ini telah lama dilupakan sebagai jalan alterna-tif untuk menyatakan sesuatu, sebagian besar karena penerimaan Frege dan filsuf-filsuf lainnya atas ekuivalensi: 1) antara pernyataan : <¬P> dan penyangkalan <P>, dan 2) antara pernyataan: <P> dan pen-yangkalan: <¬P>. Namun, dua hal tersebut tidaklah sama. Pernyataan dan penyangkalan memainkan fungsi yang benar-benar berbeda. Pernyataan menginginkan kebenaran, berkomitmen pada bagaiamana

dunia ada, mengekspresikan putusan dan mematuhi hukum non-kon-tradiksi. Sebaliknya, penyangkalan menginginkan kesalahan, tidak berkomitmen pada bentuk eksistensi dunia, menahan putusan dan tidak terikat pada hukum non-kontradiksi. Penyangkalan, karenanya, tidak sama dengan penegasan atas negasi. Logika Frege yang berisi penekanan pernyataan dan bukan penyangkalan adalah bukti dari afirmasi biasnya. Pengakuan terhadap peran khusus dari penyangkalan dapat berguna bagi pengikut Parmenides, seperti dalam kasus kebe-naran negatif.