BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Cyberbullyingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3945/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Cyberbullyingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3945/3/BAB...
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Cyberbullying pada Remaja
1. Pengertian Perilaku Cyberbullying
Patchin & Hinduja (2008) mendefinisikan cyberbullying sebagai fenomena
dan bentuk baru dari perilaku bullying, yaitu ketika seseorang berulang kali
mengolok-olok orang lain secara online atau berulang kali mengganggu orang lain
melalui email, pesan teks atau memposting sesuatu tentang orang lain yang tidak
disukai. Lebih lanjut Patchin & Hinduja mengatakan Cyberbullying dikenal
sebagai hasil dari perpaduan antara agresi remaja dan alat komunikasi. Hal ini
juga dinyatakan oleh Besley (dalam Mawardah dan Ardiyanti, 2014) bahwa
cyberbullying adalah perilaku tidak ramah yang secara sengaja dan terjadi
berulang-ulang yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa remaja
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti email, website dan situs
jejaring sosial (misalnya facebook, twitter, instagram, path, dll) untuk merugikan
orang lain.
Menurut Smith, dkk (2008) cyberbullying merupakan tindakan agresif dan
negatif yang sengaja dilakukan individu/grup dengan menggunakan media
elektronik secara berulang-ulang dan dari waktu ke waktu terhadap individu yang
lemah. Sejalan dengan hal ini, menurut Maya (2015), cyberbullying adalah bentuk
intimidasi terhadap seseorang yang dianggap lemah melalui sarana teknologi
seperti jejaring sosial.
29
Kowalski, dkk (2008) mengartikan cyberbullying sebagai tindakan
intimidasi yang dilakukan dengan menggunakan alat teknologi komunikasi
melalui instant message, chat room, website, email, text message, blog, web,
jejaring sosial dengan cara mem-posting atau menyebarkan sesuatu yang tidak
benar mengenai korban. Parks (2013) menjelaskan cyberbullying adalah berbagai
gangguan ataupun pelecehan yang terjadi melalui internet atau komunikasi digital
seperti email, pesan instan, komentar pada situs jejaring sosial (misalnya
facebook, twitter, myspace, instagram, dll) serta kiriman pada situs web lain atau
blog, dan video yang dipost pada youtube.
Menurut Campbell (dalam Campfield, 2006) Cyberbullying merupakan
bentuk baru dari bullying. Cyberbullying dilakukan melalui alat teknologi
komunikasi informasi (email, chat room, ponsel, dan situs web) untuk mengirim
pesan penghinaan atau ancaman, memposting konten negatif dan menyebarkan
hal-hal yang bersifat pribadi atau rahasia sehingga mengakibatkan dampak yang
kurang baik bagi korban. Ted dan Nicole (2008) mengatakan Cyberbullying
merupakan kiriman atau postingan berbahaya berupa gambar dan teks yang tidak
baik dengan menggunakan internet (pesan instan, email,aplikasi chatting, situs
jejaring sosial) dan telepon seluler.
Dalam Oxford English Dictionary (OED, dalam Rifaudhin, 2016),
cyberbullying diartikan sebagai tindakan penggunaan teknologi informasi untuk
menggertak orang dengan mengirim atau memposting teks yang bersifat
mengintimidasi atau mengancam. Selain itu menurut Rudy (2010) cyberbullying
merupakan perbuatan bullying melalui medium internet dan teknologi digital,
30
misalnya ponsel, SMS, MMS, email, Instant Messenger, website, situs jejaring
sosial, blog, dan online forum, tujuannya adalah untuk mengganggu, mengancam,
mempermalukan, menghina, mengucilkan secara sosial, ataupun merusak reputasi
orang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas tentang pengertian cyberbullying,
maka penulis menggunakan pendapat Hinduja & Patchin yaitu ketika seseorang
berulang kali mengolok-olok orang lain secara online atau berulang kali
mengganggu orang lain melalui email, pesan teks atau memposting sesuatu
tentang orang lain yang tidak disukai. Pendapat Hinduja & Patchin ini dapat
menjelaskan arti cyberbullying dengan jelas sehingga mudah untuk dipahami.
2. Karakteristik Pelaku Cyberbullying dan Korban Cyberbullying
Menurut Coloroso (2002) ada tiga komponen penting dalam perilaku
bullying, demikian halnya juga dengan cyberbullying. Ketiga komponen tersebut
yaitu the bully (pelaku), the bullied/victims (korban) dan the bystander (penonton
atau orang yang berdiri di dekat pelaku dan korban ketika terjadi bullying).
berikut penjelasan lebih jauh mengenai ketiga komponen tersebut
a. Pelaku (the bully)
Olweus (dalam Kowalski. dkk, 2008) mengemukakan bahwa
karakteristik dari pelaku cyberbullying yaitu:
1) Pelaku memiliki kepribadian yang dominan dan menyatakan bahwa
pelaku memiliki kekuatan;
2) Memiliki sifat pemarah, implusif dan mudah frustasi;
31
3) Pelaku lebih memiliki sikap positif terhadap kekerasan;
4) Pelaku merupakan orang yang sulit untuk mengikuti aturan;
5) Pelaku kelihatan lebih kasar dan memiliki sedikit empati atau kasih
sayang bagi korban yang diganggu;
6) Pelaku sering berhubungan dengan orang dewasa yang melakukan
perilaku agresif;
7) Pelaku memiliki empati yang rendah;
8) Pelaku sering terlibat dalam agresif proaktif dan agresif reaktif;
9) Namun cara yang digunakan sedikit berbeda dengan bullying yang
dilakukan secara fisik atau verbal. Pelaku cyberbullying
mengintimidasi korban dengan menggunakan alat teknologi
komunikasi.
Pendapat lain dari Beran dan Li (2005) mengatakan bahwa
karakteristik individu yang melakukan perilaku cyberbullying yaitu: (1)
pelaku memiliki kemampuan empati yang rendah; (2) pelaku sering
terlibat dalam perilaku agresi; (3) pelaku lebih sering menggunakan
internet; (4) pelaku memiliki harga diri yang rendah. Willard (dalam
Campfield, 2006) juga menambahkan bahwa karakteristik dari pelaku
cyberbullying adalah dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan
dengan karakteristik pelaku yaitu: (1) sering terlibat dalam perilaku
agresif; (2) memiliki hubungan dengan orang dewasa yang sering terlibat
dalam perilaku agresif; (3) lebih sering menggunakan internet dalam
kehidupan sehari-hari; (4) individu atau pelaku adalah orang yang suka
32
bekerja sama dengan teman-teman sebayanya atau orang lain untuk
melakukan cyberbullying. Pelaku sangat sulit diketahui karena korban
tidak tahu siapa yang melakukan perilaku cyberbullting tersebut.
Pelaku cyberbullying memiliki karakteristik yang sama dengan
pelaku bullying. Owleus (dalam Kowalski, dkk. 2008) mengemukakan
bahwa pelaku cyberbullying juga sering melakukan bullying. Perbedaan
perilaku bullying fisik dan verbal dengan cyberbullying yaitu cara
melakukan perilaku tersebut. Bentuk bullying fisik dan verbal dilakukan
secara langsung oleh individu atau kelompok terhadap korban, sedangkan
bentuk cyberbullying dilakukan kepada korban melalui alat teknologi
komunikasi informasi. Ang dan Goh (2010) mengemukakan seiring
perkembangan teknologi komunikasi informasi perilaku bullying fisik dan
verbal beralih ke cyberbullying. Hal ini berarti bahwa pelaku bullying
yang biasanya melakukan bullying fisik dan verbal secara langsung
beralih juga ke perilaku bullying melalui dunia maya (cyberbullying).
b. Korban (the bullied/victims)
Obrra, dkk (dalam Kowalski. dkk, 2008) mengemukakan
karakteristik dari korban cyberbullying yaitu: (1) korban sering
menggunakan internet seperti instant message, blogs, chat room, dan
jejaring social; (2) korban adalah individu yang cemas dan merasa
terasing dari lingkungan sosialnya; (3) korban memiliki harga diri yang
rendah. Lebih jauh menurut Kowalski, remaja yang sering menjadi
korban cyberbullying adalah mereka yang berbeda dalam pendidikan, ras,
33
berat badan, fisik, agama, cenderung sensitif, pasif, dianggap lemah dan
jarang bergaul atau keluar rumah. Hal ini sejalan dengan pendapat
Marden (dalam Setianingrum, 2015) yang mengatakan bahwa remaja
yang cenderung menjadi korban cyberbullying mempunyai ciri-ciri
seperti : sensitif, menarik diri dari lingkungan sosial, pasif, mengalami
masalah dengan kesehatan mental, sering membiarkan orang lain
mengendalikan dirinya, dan cenderung depresi.
Olweus (dalam Kowalski, dkk. 2008) mengemukakan bahwa
korban bullying dan cyberbullying merupakan individu yang memiliki
karakter yang sama. Karakteristiknya yaitu individu atau kelompok yang
lemah. Individu yang biasanya dijadikan target bullying adalah individu
yang memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan orang
lain, seperti perbedaan fisik, ras, gaya berpakaian dan perilaku seseorang.
c. Penonton (bystander)
Menurut Colorosso (2002) penonton adalah seseorang yang
menyaksikan penyerangan pelaku bully pada korbannya. Pada perilaku
cyberbullying penontonnya berada dalam jumlah yang lebih besar lagi
yaitu setiap orang yang menggunakan internet dan secara langsung
maupun tidak langsung terhubung dengan pelaku dan korban Parks (2013).
menurut Marden (dalam Setianingrum, 2015) penonton dapat bergabung
34
dalam situs jejaring sosial dan meninggalkan komentar yang menyakitkan
atau hanya sebagai penonton saja.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai pelaku, korban dan
penonton tindakan cyberbullying, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
pelaku cyberbullying yaitu suka mendominasi, lebih kuat, agresif, kurang mampu
berempati, sering menggunakan internet setiap hari dan tidak mau bertanggung
jawab, sering terlibat dalam perilaku agresi, memiliki sifat pemarah dan memiliki
harga diri yang rendah.
Korban cyberbullying merupakan individu yang sering menggunakan
internet, sering merasa cemas dan terasing dari lingkungannya, dianggap lemah,
pasif, cenderung sensitif dan jarang bergaul. Penonton dalam tindakan
cyberbullying adalah setiap orang yang terhubung dengan korban maupun pelaku
di dunia maya secara langsung maupun tidak langsung.
Pada penelitian ini penulis memfokuskan penelitian pada pelaku
cyberbullying dengan alasan, berdasarkan karakteristik dari pelaku cyberbullying
terlihat bahwa pelaku mempunyai “masalah” dalam interaksi sosial yang
berlanjut/terbawa ke dunia cyber. Jika hal ini dibiarkan maka individu semakin
menyalagunakan perkembangan teknologi yang dapat berdampak buruk bagi
pelaku maupun orang lain. Oleh sebab itu perlu adanya perhatian bagi pelaku
35
cyberbullying agar dapat menggunakan media teknologi komunikasi secara
positif untuk menekan tingkat kejahatan di dunia maya (Campfield, 2006)
3. Bentuk-bentuk Perilaku dan Media Cyberbullying
a. Bentuk-bentuk perilaku cyberbullying
Willard ( dalam Kowalsky dkk, 2008) berpendapat bahwa cyberbullying
dapat terjadi dalam beberapa bentuk antara lain flamming, harassment,
denigration, impersonation, outing & trickery, cyberstalking, dan exclusion.
Bentuk-bentuk cyberbullying tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Flamming, yaitu bentuk cyberbullying yang berupa pertengkaran singkat
yang berapi-api (dapat berupa adu argumen, saling ejek/saling menghina)
antara dua orang atau lebih melalui teknologi komunikasi (misalnya situs
jejaring sosial), dan terjadi dalam pengaturan publik (dapat dilihat secara
luas oleh para pengguna situs jejaring sosial yang terhubung dengan yang
terlibat pertengkaran).
2) Harassment atau pelecehan, yaitu cyberbullying yang dilakukan dengan
cara melecehkan. Pelaku berulangkali mengirim pesan yang menghina,
menggangu dan menyakiti korban. Tindakan ini terjadi dalam waktu
yang lama. Pada bentuk ini pelaku terdiri dari satu atau lebih orang yang
mengirimkan ratusan hingga ribuan pesan teks yang melecehkan kepada
satu korban.
3) Denigration atau pencemaran nama baik, yaitu menulis, menyebarkan
informasi yang tidak benar tentang orang lain di facebook dan BBM,
36
meng-upload dan menyebarluaskan foto seseorang yang telah diubah
(edit) sehingga mengandung unsur negatif untuk merusak reputasi
korban.
4) Impersonation atau Penyamaran, yaitu pelaku menyamar dengan menjadi
seseorang yang bukan dirinya, memalsukan identitas ataupun berpura-
pura menjadi korban dengan cara mencuri password untuk bisa
mengakses akun korban untuk melakukan tindakan cyberbullying.
5) Outing & trickery, outing merupakan tindakan mengunggah, mengirim
atau meneruskan komunikasi maupun gambar yang bersifat pribadi, yang
berpotensi memalukan korban. Sedangkan trickery merupakan tindakan
merayu/membujuk seseorang untuk memberikan informasi pribadi
seperti gambar, foto, dan video pribadi.
6) Cyberstalking, yaitu pelaku mengirimkan pesan yang bersifat
mengintimidasi, sangat menghina dan menyinggung serta mengancam
keselamatan korban.
7) Exclusion atau pengucilan yaitu korban sengaja dikucilkan atau
dikeluarkan dari percakapan grup.
Di sisi lain menurut Aftab (dalam Kowalski dkk, 2008) cyberbullying
dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Kedua bentuk cyberbullying ini
dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Cyberbullying tidak langsung, dilakukan dengan menggunakan
penghubung, yaitu ketika pelaku meminta bantuan orang lain untuk
menyakiti korban. Korban bahkan tidak mengetahui bahwa mereka
37
sedang berhadapan dengan pelaku. Cyberbullying yang dilakukan oleh
orang lain sangat berbahaya karena korban tidak mengetahui jika mereka
sedang berhadapan dengan seseorang yang mereka kenal.
Cyberbullying yang dilakukan oleh orang lain terkadang dimulai
dengan pelaku yang menyamar sebagai korban. Para pelaku telah
menyusup ke account korban, mencuri password korban dan membuat
account baru serta berpura-pura menjadi korban. Pelaku menganggap diri
mereka adalah korban dan berusaha menyakiti korban dengan bantuan
orang lain. Cara lain yang biasanya dilakukan adalah ketika pelaku dapat
berteman baik dengan korban, dan berbagi email, password dan
menguasai account korban, pelaku dapat meminta penghubung untuk
mengirim sesuatu yang negatif bagi korban. Pelaku juga dapat meminta
penghubung untuk mengubah password korban sehingga korban tidak
dapat masuk ke dalam account pribadi. Korban tidak mengetahui bahwa
yang mengirim adalah pelaku cyberbullying.
2) Cyberbullying secara langsung, dilakukan dengan cara pelaku mengirim
pesan ataupun mengunggah gambar atau konten untuk menyakiti korban
melalui situs jejaring sosial, email, blog, dan web tanpa penghubung.
b. Bentuk-bentuk Media Cyberbullying
Perilaku cyberbullying merupakan salah satu bentuk dari perilaku bullying
yang dilakukan melalui media teknologi komunikasi (yang saat ini dikenal dengan
sebutan media sosial seperti messanger, skype, email, instan message, facebook,
38
Twitter, instagram, BBM, whatsapp, line dan youtube, ( Parks, 2013; Weber &
Pelfrey, 2014). Berikut penjelasan mengenai bentuk-bentuk media teknologi
komunikasi tersebut menurut Aftab (dalam Kowalski dkk, 2008) yaitu:
1) Instant Message
Instant message merupakan layanan komunikasi yang digunakan individu
untuk membuat ruang chat pribadi dengan orang lain. Instant message
digunakan oleh remaja dalam melakukan cyberbullying. Cyberbullying
yang dilakukan adalah seseorang dapat mengirim pesan yang berisi
ancaman dan mengirimkan foto atau video yang negatif.
2) Email
Email atau surat elektronik merupakan pesan yang dikirim melalui
jaringan internet. Cyberbullying yang terjadi melalui email yaitu pelaku
dapat mengirimkan isi pesan yang tidak baik atau negatif yang mengancam
dan meneror korban.
3) Chat room
Chat room merupakan suatu ruang komunikasi antara dua pengguna
melalui komputer. Aktivitas yang dilakukan dalam chat room adalah
melakukan obrolan. Pengguna dapat memasukan teks dan teks tersebut
akan muncul pada pengguna lainnya atau yang disebut sebagai chatting.
Cyberbullying yang terjadi adalah seseorang dapat dipermalukan oleh
pelaku dengan cara mengirim gambar-gambar dan teks-teks yang negatif
kepada korban.
39
4) Pesan teks
Pesan teks biasanya digunakan melalui telepon seluler. Pesan teks yang
dikirimkan tidak boleh lebih dari beberapa ratus karakter. Individu dapat
mengirimkan isi pesan yang mengancam, meneror, dan memfitnah orang
lain.
5) Situs jejaring sosial
Situs jejaring sosial merupakan layanan berbasis web yang
memungkinkan penggunanya untuk menjalin hubungan sosial dalam
sebuah sistem yang dibatasi. Pengguna dapat membuat profil, melihat list
pengguna yang tersedia, serta mengundang atau menerima teman untuk
bergabung dalam situs tersebut.Tampilan dasar situs jejaring sosial ini
menampilkan halaman profil pengguna, yang terdiri dari identitas diri dan
foto pengguna (Boyd & Ellison, 2008). Bentuk-bentuk situs jejaring sosial
seperti facebook, twitter, myspace, youtube, flickR, instagram, path,
snapchat, BBM, whatsapp, line dan youtube. Pada situs jejaring social,
cyberbullying dilakukan dengan cara meng-upload atau berbagi foto dan
video mengomentari ataupun membuat status yang dengan sengaja
menyinggung perasaan orang lain.
6) Blog
Blog dapat digunakan untuk hal-hal yang positif, namun ada juga yang
menggunakannya untuk cyberbullying. Perilaku cyberbullying yang terjadi
40
adalah seseorang dapat mem-posting kata-kata yang merendahkan dan
memalukan tentang korban di blog.
7) Situs web
Situs web merupakan suatu situs yang banyak digunakan orang untuk
promosikan bisnis, menjual produk, atau mem-posting informasi pribadi.
Cyberbullying yang terjadi yaitu pelaku juga dapat mem-posting
informasi dan gambar-gambar tentang korban, misalkan gambar yang
diambil dari teman sekolah dan diedit menjadi gambar yang berbau
seksual.
Dari penjelasan bentuk-bentuk cyberbullying di atas maka penulis
menggunakan bentuk-bentuk cyberbullying menurut Willard (dalam Kowalsky
dkk, 2008) yaitu, flamming, harassment, denigration, impersonation, outing &
trickery, cyberstalking, dan exclusion. Bentuk-bentuk cyberbullying ini sering
terjadi pada media teknologi komunikasi/media sosial seperti instant message,
Email, chat room, pesan teks, situs jejaring sosial, blog dan situs web (Aftab
dalam Kowalski dkk, 2008). Pada penelitian ini penulis memilih situs jejaring
sosial ( instagram, LINE dan whatsapp) sebagai fokus penelitian dengan alasan
penggunaan situs jejaring sosial paling banyak didominasi oleh remaja
berdasarkan data di Departemen Komunikasi dan Informasi tahun 2014
(Depkominfo), (dalam Juwita, Budimansyah & Nurbayani, 2016). Pemilihan
bentuk media sosial ini juga berdasar pada hasil sebaran angket pada observasi
awal yang menunjukkan media yang paling banyak digunakan oleh remaja adalah
instagram, LINE dan whatsapp.
41
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberbullying
Perilaku cyberbullying disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal dari
dalam diri (internal) maupun luar diri (eksternal) individu yang akan dijelaskan
sebagai berikut ( Kowalski dkk 2008; Patchin & Hinduja 2010; Morgan 2015;
Shariff 2008).
Faktor internal
a. Harga diri
Harga diri seseorang akan mempengaruhi individu dalam
memperlakukan orang lain disekitarnya. Kecenderungan individu untuk
menjadi pelaku cyberbullying dipengaruhi oleh harga diri mereka.
Kowalski, dkk, (2008) mengungkapkan bahwa individu pelaku
cyberbullying memiliki tingkat harga diri yang rendah. Pelaku
menggunakan alat teknologi untuk melakukan cyberbullying untuk
meningkatkan harga diri mereka. Menurut Campfield (2006), individu
melakukan cyberbullying untuk meningkatkan harga dirinya yang
rendah, hal ini merupakan cara individu untuk menutup perasaannya
yang tidak mampu, rendah diri, dan perasaan malu yang ada dalam diri
individu di hadapan teman-teman sebayanya. Penelitian yang dilakukan
oleh Passini, Meloti dan Brighi (2012) juga menunjukkan bahwa
individu yang melakukan perilaku cyberbullying memiliki penilaian diri
yang negatif (harga diri yang rendah) di hadapan teman-temannya.
Individu melakukan cyberbullying untuk menunjukkan kemampuan
individu dalam mengintimidasi korban melalui dunia maya. Seperti
42
pelaku bullying, pelaku cyberbullying memiliki power sehingga lebih
suka menindas individu yang lemah (Olweus dalam Li, Smith & Cross,
2012).
b. Empati
Kemampuan empati pada seseorang berpengaruh dalam interaksi dengan
orang lain. Individu yang memiliki kemampuan empati yang rendah
cenderung melakukan perilaku cyberbullying. Schultze dan Scheithuer
(dalam Kowalski dkk, 2008) mengatakan bahwa rendahnya kemampuan
berempati dapat mendorong seseorang untuk menyakiti korbannya di
dunia maya. Steffgen dan Konig (2009) menambahkan bahwa remaja
yang melakukan perilaku cyberbullying memiliki kemampuan empati
yang rendah terhadap korban. Rendahnya empati membuat pelaku tidak
mampu merasakan rasa sakit yang dialami oleh korban akibat perilaku
cyberbullying (Jolliffe & Farrington, 2011).
c. Pengalaman dengan bullying
Penelitian yang dilakukan oleh Riebel dkk (dalam Patchin & Hinduja,
2010) menunjukkan bahwa ada hubungan antara bullying dalam kehidupan
nyata dan di dunia maya. Hanya 3,96% anak dari keseluruhan sampel yang
melaporkan bahwa mereka melakukan tindakan cyberbullying. Dari 77
pelaku cyberbullying ada sebanyak 63 sampel (81,81%) yang melaporkan
bahwa mereka juga menjadi pelaku bullying dalam kehidupan nyata.
43
d. Kesepian
Menurut Perlman & Peplau (1982) kesepian adalah pengalaman tidak
menyenangkan yang terjadi ketika teterlibatan seseorang dalam hubungan
sosial secara signifikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Persepsi
kuantitas dan kualitas hubungan sosial yang tersedia dalam kehidupan
sehari-hari dapat mempengaruhi keinginan untuk terlibat dalam interaksi
sosial dalam jaringan online (Brewer & Kerslake, 2015). Morahan-Martin
(2005) mengatakan mereka yang merasa kesepian beresiko lebih tinggi
dalam penyalagunaan internet. Mereka yang kesepian lebih mungkin untuk
menemukan kegiatan interaktif sosial di internet yang dianggap begitu
menarik sehingga meningkatkan jumlah waktu interaksi dalam jaringan
online. Menurut Guarrini, passini, Melotti & Brighi (2012) resiko menjadi
pelaku cyberbullying akan meningkat bila remaja merasa kesepian dalam
hubungan dengan orang tua.
e. Regulasi emosi
Kemampuan mengekspresikan emosi yang dilakukan baik secara lisan
maupun tulisan dapat membantu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan
psikologis dan fungsi fisik pada seseorang saat menghadapi peristiwa
traumatik dalam hidupnya dan membantu mengatasi distres psikologis
(Greenberg & Stone dalam Mawardah & Adiyanti, 2014). Individu
dengan regulasi emosi yang baik dapat memberikan penilaian positif
maupun negatif atas segala peristiwa yang dihadapi sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya dan bagaimana menggunakan
44
pengetahuannya tersebut untuk menghasilkan apa yang menjadi
harapannya (Thompson dalam Mawardah &Adiyanti 2014). Penilaian
positif dapat mengelola emosi secara baik, sehingga terhindar dari
pengaruh-pengaruh emosi negatif yang membuat individu dapat bertindak
diluar harapannya (Guarini, Passini, Melotti & Brighi, 2012).
Faktor eksternal
a. Perlakuan keluarga
Rigby (dalam Campfield, 2006) mengemukakan bahwa pelaku
cyberbullying biasanya berasal dari keluarga yang tidak berfungsi
dengan baik cenderung melakukan bullyng kepada orang lain. Hal ini
disebabkan karena remaja diabaikan dan tidak dianggap oleh
keluarganya. Selain itu, keluarga juga tidak mampu mengembangkan
empati yang tinggi, tidak mengembangkan sikap-sikap positif terhadap
orang lain sehingga yang cenderung dikembangkan adalah sikap negatif
saat berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, pelaku cyberbullying juga
berasal dari keluarga atau orang tua yang otoriter. Pemberian hukuman
secara agresif kepada anak mengakibatkan anak meniru perilaku tersebut
dan memprakteknnya kepada teman sebayanya (Dilmac & Aydogan,
2010).
b. Konformitas
Remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan, banyak dipengaruhi oleh
lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan teman-teman di
45
sekolah maupun luar sekolah. Seiring berkembangnya anak-anak menjadi
remaja, kelompok teman sebaya memiliki dampak yang lebih besar dalam
membentuk sikap dan perilaku anak (Hinduja & Patchin, 2010). Selain
itu, terdapat suatu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa dampak dari
konformitas oleh teman sebaya nampaknya memiliki pengaruh lebih
besar terhadap kecenderungan perilaku yang dipilih seorang remaja
dibandingkan dengan dasar kecenderungan kenakalan yang memang
dimiliki oleh remaja itu sendiri, (Warr & Stafford dalam Hinduja &
Patchin, 2013). Hal inilah yang kemudian membawa adanya potensi
melakukan cyberbullying karena konformitas dari lingkungan pergaulan
dan kelompok teman sebaya yang dimiliki para remaja yang cenderung
melakukan cyberbullying.
c. Iklim di sekolah
William & Guerra (2007) menemukan bahwa orang yang menganggap diri
mereka bagian dari sekolah memandang suasana di sekolah sebagai bentuk
kepercayaan, adil, dan penuh kegiatan menyenangkan. Iklim sekolah tidak
ramah dapat membuat frustasi dan ketidaknyamanan diantara beberapa
siswa, sehingga siswa dapat bertindak agresif melalui perilaku
cyberbullying, iklim sekolah yang negatif dapat meningkatkan kerentanan
terhadap korban online .
d. Perkembangan dan penggunaan teknologi komunikasi
Remaja saat ini tumbuh di tengah evolusi teknologi, alat-alat komunikasi
seperti internet dan ponsel adalah hal yang penting bagi kehidupan sosial
46
remaja saat ini ( Kowalski, Limber Agatson, 2008). Internet telah menjadi
platform baru dalam interaksi sosial remaja dengan teman sebayanya
(Ang, 2015), karena hal tersebut memberikan mereka kesempatan untuk
tetap terhubung dengan teman-temannya meskipun tidak bertemu secara
langsung (Weber & Pelfrey, 2014) namun interaksi online yang terlalu
sering dianggap sebagai faktor resiko munculnya perilaku cyberbullying
(Sticca, Ruggieri, Alsaker, Perren, 2013). Frekuensi penggunaan internet,
telepon seluler, situs jejaring sosial dan chat rooms ternyata berkorelasi
positif dengan keterlibatan menjadi pelaku dan korban cyberbullying
(Erdur-Baker,2010; Sengupta & Chaudhuri,2011). Remaja cenderung
menggunakan internet secara interaktif dan lebih kompleks. Dari waktu ke
waktu, internet telah digunakan remaja untuk tujuan menghina,
mengancam dan memalukan orang lain(Sahin, Sari & Safak, 2010) .
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa banyak
faktor yang dapat melatarbelakangi individu untuk melakukan perilaku
cyberbullying, tetapi secara umum dapat dikelompokan menjadi dua faktor yaitu
faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi harga diri, empati,
pengalaman dengan bullying, kesepian dan regulasi emosi. Sedangkan faktor
eksternal meliputi perlakuan keluarga, konformitas, iklim sekolah serta
perkembangan dan penggunaan teknologi komunikasi.
Dari faktor-faktor tersebut peneliti memilih faktor harga diri sebagai
variabel bebas dalam penelitian ini. Pemilihan faktor harga diri dengan alasan
sebagaimana dijelaskan berikut ini. Masa remaja adalah saat dimana
47
pengembangan identitas sangat penting (Calvert, 2002). Selama periode ini,
proses pembentukan identitas sebagian besar bergantung pada isyarat dari
lingkungan sosial (yaitu stereotip masyarakat). Remaja cenderung mencari
perilaku dan situasi yang membantu mereka menghargai diri mereka secara positif
dan menghindari orang-orang yang membuat mereka memandang dirinya secara
negatif. Cara seseorang menghargai atau memandang dirinya secara positif atau
negatif dikenal dengan harga diri (Coopersmith, 1967). Leary dan Downs (dalam
Serber, 2012) menganggap harga diri sebagai representasi internal penerimaan
dan penolakan sosial dan alat pengukur psikologis yang memantau sejauh mana
seseorang diterima atau diabaikan oleh orang lain. Penerimaan ataupun penolakan
remaja terhadap diri sendiri berperan penting dalam mengarahkan pertumbuhan
perilakunya (Twenge & Campbell, 2001).
Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki penerimaan diri dan
penghormatan diri yang cukup. Adanya penerimaan dan penghormatan diri
menjadikan individu merasa mampu pada beberapa tugas di sekolahnya, dapat
merasa nyaman dengan teman- temannya serta bangga dengan diri sendiri, merasa
dapat diterima keluarganya dan dapat menerima keadaan fisik apa adanya.
Penerimaan dan penghormatan diri mengakibatkan individu merasa senang dan
bangga dengan keadaan diri sehingga secara emosinal dirinya tidak mudah marah
dan individu mampu membina dan menjaga hubungan baik dengan sesama, tidak
melukai perasaan orang lain, sehingga individu dapat terhindar dari hal-hal yang
mencerminkan perilaku cyberbullying. Sementara individu yang memiliki harga
diri rendah cenderung memandang dirinya sebagai orang yang tidak berharga.
48
Rasa tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak
memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan
keadaan fisiknya. Harga diri yang negatif ini dapat membuat individu merasa
tidak mampu menjalin hubungan dengan temannya sehingga dirinya menjadi
mudah tersinggung dan marah dan dapat berakibat pada perbuatan negatif dan
tidak menyenangkan seperti perilaku cyberbullying (Serber, 2012). Alasan
pemilihan faktor harga diri juga diperkuat dengan beberapa hasil penelitian
sebelumnya yang menemukan harga diri berpengaruh dengan perilaku bullying
maupun cyberbullying (Nansel, Overpeck, Pilla, Ruan, Simons-Morton, &
Scheidt, 2001; Haynie, Nansel, Eitel, Crump,Saylor, & Yu, 2001; Kowalski, dkk,
2008). Pelaku yang melakukan tindakan cyberbullying akan mempunyai penilaian
yang positif terhadap diri sendiri (harga diri tinggi) di hadapan teman-temannya
(Kowalski, dkk, 2008; Guarrini, Passini, Meloti dan Brighi 2012).
Faktor lain yang dipilih peneliti sebagai variabel bebas dalam penelitian ini
adalah empati. Empati berperan penting dalam interaksi dan komunikasi sosial
untuk membentuk dan memelihara hubungan emosional yang berarti (Hoffman
2003). Menurut Davis (dalam Howe, 2015) empati membuat individu menjadi
lebih baik budi, perhatian, peduli dan penyayang. Howe menambahkan kurangnya
kemampuan berempati dapat menimbulkan masalah-masalah perilaku seperti
kekerasan dan juga agresi dalam hubungan sosial. Olweus (dalam Kowalski, dkk
2008) mengatakan salah satu ciri dari pelaku cyberbullying adalah kemampuan
empati yang rendah.
49
Berdasarkan penjelasan di atas penulis memilih faktor harga diri dan empati
sebagai variabel yang diteliti dalam penelitian ini. Alasan peneliti memilih kedua
faktor ini adalah peneliti ingin melihat dan menguji asumsi, sejauh mana faktor
internal (harga diri dan empati) dapat mempengaruhi perilaku cyberbullying pada
remaja.
B. Harga Diri
1. Pengertian Harga Diri
Harga diri merupakan evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap
dirinya sendiri. Evaluasi ini menghasilkan penghargaan individu terhadap diri
sendiri. Penghargaan diri sendiri ditunjukkan dengan sikap menerima atau
menolak diri sendiri. Jika individu menerima diri sendiri akan menganggap
dirinya mampu, penting, berhasil dan berharga. Hal ini menandakan individu
mempunyai harga diri yang tinggi. Sebaliknya jika individu menganggap dirinya
tidak memiliki kemampuan, kurang menarik, tidak disukai oleh orang lain dan
tidak yakin dengan kemampuan untuk mencapai suatu keberhasilan, maka
individu tersebut mempunyai harga diri yang rendah ( Coopersmith, 1967).
Vaughan dan Hoog (dalam Fitria & Aulia, 2016) menambahkan bahwa
harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya sendiri. Penilaian tersebut
menentukan perasaan berharga atau tidak berharga lndividu tentang dirinya
sendiri. Baumeister dan Bushman (dalam Wijayanti & Christiana, 2016)
mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dilakukan oleh seseorang
mengenai dirinya sendiri. Individu dengan harga diri yang tinggi, mengartikan diri
50
mereka sebagai orang yang memiliki kemampuan, menyenangkan, menarik,
memiliki moral yang baik, dan sering mengambil kesempatan untuk mencoba
sesuatu yang baru karena mereka yakin bahwa mereka mampu untuk berhasil.
Sementara individu yang memiliki harga diri yang rendah, menganggap diri
mereka sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan, kurang menarik, tidak
disukai oleh orang lain, memiliki moral yang kurang baik dan tidak memiliki
keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapai suatu
keberhasilan. Sejalan dengan pendapat di atas, Brehm & Kassin (dalam Morgan,
2015) mengatakan seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung
tidak begitu menginginkan penghargaan sosial karena mereka merasa kurang
membutuhkannya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri rendah merasa
sangat membutuhkan penghargaan positif dari orang lain dan akan merasa bahagia
jika mendapatkannya.
Branden (dalam Patchin & Hinduja, 2010) mendefinisikan harga diri
sebagai kepercayan diri individu, bahwa dirinya memiliki kemampuan dan
keyakinan akan diri sendiri, bahwa dirinya berharga. Individu akan menghargai
dirinya jika individu mampu menerima dirinya sendiri. Lebih lanjut Branden
mengatakan bahwa harga diri merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
kuat dan sebagai kunci penting dalam perkembangan perilaku individu, karena
berpengaruh pada proses berpikir individu, tingkat emosi, keputusan yang diambil
dan tujuan hidup seseorang. Plummer (dalam Wijayanti & Christiana, 2016) harga
diri adalah tentang nilai yang seseorang letakkan pada diri dan kemampuannya.
51
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendapat Coopersmith untuk
mendefinisikan harga diri yaitu evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap
dirinya sendiri yang berkaitan dengan penghargaan terhadap diri sendiri, hal ini
ditunjukkan dengan sikap menerima atau menolak diri sendiri dan
mengindikasikan sejauh mana individu meyakini dirinya mampu, penting,
berhasil dan berharga.
2. Aspek-aspek Harga Diri
Aspek-aspek harga diri menurut Coorpersmith (1967) terdiri atas empat
aspek yaitu, keberartian (significance), kekuasaan (power), kompetensi
(competence), dan kebajikan (virtue). Berikut penjelasan tentang aspek-aspek
tersebut.
a. Keberartian (Significance)
Keberartian merupakan penilaian seseorang tentang keberartian dirinya.
Hal ini berhubungan dengan menerima, memberi perhatian dan cinta dari
dan untuk orang lain. Penerimaan (acceptance) dan popularitas
(popularity) merupakan dua hal yang menunjukkan bahwa pada
umumnya individu diterima dan dihargai, sementara penolakan
(rejection) dan isolasi (isolation) menunjukkan bahwa pada umumnya
individu tidak diterima dan tidak dihargai oleh orang-orang di sekitarnya.
Keberartian juga ditandai dengan penerimaan orang tua terhadap anak.
Penerimaan yang diberikan memiliki pengaruh kepada perasaan harga
diri anak menjadi kunci untuk dapat memberikan perhatian dan cinta
52
kepada orang lain. Pribadi yang mempunyai harga diri tinggi, tidak
hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, tetapi membuat
kehadirannya berguna bagi orang lain.
b. Kekuasaan (Power)
Kekuasaan (power) merupakan penilaian seseorang terhadap
kemampuan untuk mempengaruhi tindakannya dan mengontrol
perilakunya dan perilaku orang lain. Murk (2006) mengemukakan bahwa
Coopersmith dan Epstein menggunakan istilah “power” untuk
menggambarkan bahwa individu memiliki penilaian yang positif tentang
dirinya sendiri bahwa dia mampu mengelola dan mempengaruhi orang
lain. Individu mampu mengatasi situasi tertentu dengan memberikan atau
menunjukkan sikap positif yang dapat diterima dan diikuti oleh orang
lain.
c. Kompetensi (Competence)
Kompetensi merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan
dirinya, yang ditandai dengan prestasi-prestasi yang dicapai dan perfoma
kinerja yang tinggi sesuai dengan usia masing-masing, misalnya anak
laki-laki pra remaja berasumsi bahwa prestasi akademis dan atletik
merupakan dua bidang prestasi yang harus dicapai. Prestasi-prestasi yang
dicapai mendorong individu untuk mengambil peran yang lebih aktif dan
kompetitif dalam lingkungannya.
53
d. Kebajikan (Virtue)
Kebajikan merupakan penilaian seseorang tentang kemampuan dirinya
untuk taat terhadap nilai-nilai moral, etika dan prinsip-prinsip religius
dalam lingkungan. Individu dengan harga diri yang positif akan
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika dan religiusitas yang ada dalam
masyarakat.
Menurut Heatherton dan Wyland (Serber, 2012) ada tiga aspek dari harga
diri yaitu:
a. Performasi (performance self esteem)
Performasi yaitu penilaian seseorang terhadap kompetensi secara umum
yang dimilikinya, meliputi kemampuan intelektual, kinerja sekolah,
kapasitas pengaturan diri, kepercayaan diri. Individu yang memiliki harga
diri tinggi percaya bahwa dirinya merupakan orang yang cerdas.
b. Sosial (social self esteem)
Sosial merupakan persepsi individu tentang penerimaan orang lain
terhadap dirinya. Individu yang memiliki harga diri social yang tinggi
memiliki keyakinan bahwa mereka adalah orang yang berharga, dihargai
dan diterima oleh orang lain. Sementara individu yang harga diri
sosialnya rendah sering mengalami kecemasan sosial, yaitu kecemasan
akan penilaian orang lain terhadap mereka.
54
c. Fisik (physical self esteem)
Penilaian individu saat melihat tubuh atau bentuk fisik mereka, termasuk
daya tarik fisik, citra tubuh, perasaan mengenai ras dan etnis.
Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada teori Coopersmith dalam
menentukan aspek-aspek harga diri, yaitu: significance (kemampuan dalam
penerimaan diri, memberi perhatian dan cinta kepada orang lain), power
(kemampuan yang dimiliki untuk mengendalikan atau mempengaruhi orang lain),
dan competence (kemampuan untuk berhasil sesuai dengan tujuan yang dimiliki),
virtue (ketaatan terhadap etika, moral dan nilai religiusitas dalam masyarakat).
Adapun alasan peneliti memilih aspek tersebut, karena penjelasannya lengkap,
dan dapat digunakan untuk mengungkapkan variabel harga diri.
C. Empati
1. Pengertian Empati
Menurut Hurlock (1999) empati merupakan kemampuan seseorang untuk
memahami perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk
membayangkan diri sendiri di tempat orang lain dan mampu menghayati
pengalaman orang tersebut. Hal ini sependapat dengan Dayakisni dan Hudaniah
(2009) yang mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk ikut
merasakan perasaan atau pengalaman orang lain.
Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam memahami,
menerima dan mengerti pikiran maupun perasaan orang lain yang menghasilkan
perasaan toleransi, menghargai perasaan orang lain, mengendalikan diri, ramah,
55
dan humanis (Sari, Ramdhani & Eliza, 2003). Menurut Hoffman (2003), Empati
merupakan kemampuan untuk ikut merasakan emosi yang dirasakan orang lain
dan menunjukkan kasih sayang serta mampu terlibat dalam perasaan emosional
tersebut, namun tidak membuat individu menyatu dengan perasaan emosional
yang dialami oleh orang tersebut, misalnya seseorang akan bersedih ketika
melihat temannya berada dalam suasana dukacita. Kemampuan berempati ini
muncul ketika individu memasuki masa akhir kanak-kanak awal, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa semua individu memiliki dasar kemampuan
untuk dapat berempati, hanya saja berbeda tingkat kedalaman dan cara
mengaktualisasikannya (Hurlock, 1999). Empati seharusnya sudah dimiliki oleh
remaja, karena kemampuan berempati sudah mulai muncul pada masa kanak-
kanak awal.
Johnson dkk (dalam Sari, Ramdhani & Eliza, 2003) mengemukakan bahwa
empati adalah kemampuan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang
lain. Lebih lanjut Johnson menambahkan seorang yang berempati digambarkan
sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai
pengaruh, serta bersifat humanistik.
Wiggins (dalam Juliwati dan Suharnan, 2014) berpendapat bahwa empati
merupakan kemampuan untuk merasakan persepsi lain, yaitu memandang dan
merasakan sesuatu seperti cara orang lain memandang dan merasakan. Decety &
Jackson (dalam Ramdhani, 2016) menambahkan empati memfasilitasi terjadinya
proses berbagi dan mengkomunikasikan rasa yang dialami oleh seseorang,
56
sehingga terjadi proses asimilasi terhadap rasa sedih yang dialami tersebut
menjadi bagian dari perasaannya.
Brehm dan Kassin (dalam Del Rey dkk, 2015), mengemukakan bahwa
empati merupakan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan individu untuk
meningkatkan perilaku positif kepada orang lain. Borba (dalam Postorino, 2014)
mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk memahami perasaan
dan kekhawatiran orang lain. Bavolek (dalam Ehman, 2014) menambahkan
empati merupakan emosi yang mengusik hati seseorang ketika melihat kesusahan
orang lain. Hal ini membuat seseorang dapat menunjukkan toleransi, kasih
sayang, memahami kebutuhan orang lain dan membantu orang lain yang sedang
berada dalam kesulitan. Empati merupakan suatu respon empatik guna
memposisikan diri pada posisi orang lain, apa yang dirasakan oleh orang tersebut,
sehingga respon yang diberikan tidak hanya sekedar merasakan secara emosional
tetapi juga mampu memberikan motivasi pada orang tersebut.
Dari penjelasan para ahli diatas maka pengertian empati dalam penelitian ini
merujuk pada pendapat Hurlock yaitu kemampuan seseorang untuk memahami
perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri
sendiri di tempat orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang tersebut.
2. Aspek-aspek Empati
Aspek-aspek empati yang dikemukakan oleh Davis (1983) meliputi dua
aspek yaitu, aspek kognitif dan aspek afektif. Berikut pembahasan aspek-aspek
tersebut.
57
a. Aspek kognitif
Aspek kognitif yaitu kemampuan individu untuk memahami perspektif
orang lain. Pada aspek kognitif ini individu mampu membedakan emosi-
emosi orang lain dan menerima pandangan orang tersebut. Davis
menjabarkan aspek kognitif menjadi dua aspek yang lebih spesifik yaitu :
1) Kemampuan memposisikan diri dalam perspektif orang lain
(perspective taking), merupakan kemampuan individu untuk
merasakan apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain serta
mampu menempatkan diri pada apa yang dirasakan oleh orang
tersebut. Piaget (dalam Postorino, 2014) menjelaskan bahwa
perspective taking berarti bahwa seseorang dapat memposisikan
dirinya pada tempat orang lain, yaitu individu dapat memahami sudut
pandang, cara berpikir dan perasaan orang lain. Penekanan penting
dalam kemampuan ini adalah kemampuan untuk berperilaku non
egosentris, yaitu perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan
diri tetapi berorientasi juga kepada kepentingan orang lain.
2) Fantasi (fantasy), yaitu merupakan hasil imajinasi seseorang. Individu
dapat mengubah diri mereka secara imijinatif dalam mengalami
perasaan dan tindakan dari karakter-karakter fiktif yang terdapat
dalam buku-buku, film, atau drama yang dilihatnya (Davis, 1983).
58
b. Aspek afektif
Aspek afektif yaitu kemampuan individu untuk mengalami perasaan
emosional orang lain. Aspek afektif tediri atas dua bagian yaitu:
1) Kemampuan untuk fokus dalam empati (emphatic concern),
merupakan kepedulian empati yang mengacu pada respon emosional
yang dialami individu dalam menyaksikan perasaan sakit yang dialami
orang lain (Davis, 1983). Brehm dan Kassin (dalam Del Rey dkk,
2015) juga menambahkan bahwa empathic concern merupakan
perasaan kasihan, kehalusan budi, simpati, dan peduli terhadap orang
lain yang mengalami kesusahan. Individu yang memiliki empathic
concern tinggi pada umumnya memiliki kepuasaan ketika dapat
menolong orang lain dan memiliki keinginan untuk mengurangi
tekanan yang dialami oleh orang lain.
2) Tekanan personal (personal distress), merupakan perasaan cemas dan
perasaan gelisah yang dialami individu dalam situasi interpesonal.
Reaksi individu atas penderitaan yang dialami oleh orang lain, yaitu
perasaan terkejut, takut, cemas, dan tidak berdaya Davis (1983).
Batson & Coke (dalam Asih dan Pratiwi, 2010), menyatakan bahwa empati
mempunyai aspek-aspek sebagai berikut:
a. Kehangatan
Kehangatan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk
bersikap hangat terhadap orang lain.
59
b. Kelembutan
Kelembutan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk
bersikap maupun bertutur kata dengan lemah lembut terhadap orang lain
c. Peduli
Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk memberikan
perhatian terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya.
d. Kasihan
Kasihan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap
iba atau belas kasih terhadap orang lain.
Dari beberapa aspek kemampuan empati yang telah dijelaskan di atas dapat
disimpulkan bahwa menurut Davis (1983) aspek kognitif yang terbagi atas
kemampuan memposisikan diri dalam perspektif orang lain (perspective taking),
fantasi dan aspek afektif yang terbagi atas kemampuan untuk fokus dalam empati
(emphatic concern), tekanan personal (personal distress) dan menurut Batson &
Coke (dalam Asih & Pratiwi 2010) aspek-aspek kemampuan empati adalah
kehangatan, kelembutan, peduli dan kasihan.
Berdasarkan penjelasan aspek-aspek kemampuan empati di atas penulis
memilih aspek yang dikemukakan oleh Davis yaitu aspek kognitif yang terbagi
atas kemampuan memposisikan diri dalam perspektif orang lain (perspective
taking), fantasi dan aspek afektif yang terbagi atas kemampuan untuk fokus dalam
empati (emphatic concern), tekanan personal (personal distress). Alasan penulis
memilih aspek tersebut, karena pendapat Davis ini mencakup aspek-aspek empati
60
secara keseluruhan, mudah dipahami oleh peneliti dan dapat digunakan untuk
mengungkapkan variabel empati.
D. Hubungan antara Harga Diri dan Empati dengan Perilaku Cyberbullying
pada Remaja
Sikap terhadap diri sendiri adalah cerminan bagaimana sikap seseorang
terhadap orang lain. Pengetahuan tentang sikap baik atau buruk terhadap diri
sendiri dilakukan dengan mengevaluasi diri sendiri. Evaluasi terhadap diri dikenal
dengan harga diri. Evaluasi ini merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya
sendiri mulai dari rentang negatif sampai positif. Jika penilaian terhadap diri
sendiri positif maka individu mempunyai harga diri yang tinggi, sebaliknya jika
penilaian terhadap diri sendiri negatif maka harga diri rendah.
Individu dengan harga diri tinggi akan memenuhi aspek-aspek sebagaimana
dinyatakan oleh Coopersmith (1967), yakni power, significance, virtue dan
competence. Dengan harga diri tinggi, individu akan memandang dirinya secara
positif, percaya diri, menghargai dan menghormati dirinya dan juga orang lain
karena ia menyadari bahwa ia mempunyai potensi positif yang berharga (Serber,
2012).
Selain harga diri, empati juga berpengaruh terhadap perilaku cyberbullying.
Individu dikatakan mempunyai empati yang tinggi apabila memenuhi aspek
kognitif dan afektif seperti yang dikatakan oleh Davis (1983). Empati
berpengaruh dalam hubungan interpersonal dengan orang lain. Dengan empati
61
individu dapat menghargai dan menerima pandangan orang lain, lebih baik budi,
peduli, serta mampu mengendalikan emosi dengan baik.
Remaja dengan harga diri tinggi dengan terpenuhinya keempat aspek
menurut Coopersmith (1967) dalam dirinya serta memiliki empati yang tinggi
dengan aspek kognitif dan afektif yang sesuai dengan pendapat Davis (dalam
1983) adalah pribadi-pribadi yang baik budi, perhatian dan bijak, mampu
mengelola emosi dengan baik, tidak egois serta memandang sesuatu dari sudut
pandang orang lain dan percaya diri.
Flamming, harassment, denigration terjadi karena pelaku mempunyai harga
diri rendah, pelaku merasa kurang berarti karena mengalami penolakan dari
lingkungan. Pelaku cyberbullying berusaha melakukan tindakan-tindakan negatif
seperti pelecehan, penghinaan, adu argumen, saling ejek dan menghina,
pencemaran nama baik dan tindakan cyberbullying lainnya untuk menutupi rasa
rendah diri yang dimiliki, serta untuk meningkatkan harga diri di depan teman-
temannya. Selain itu, dari segi kemampuan berempati secara kognitif kemampuan
pelaku dalam memposisikan dirinya kurang tepat karena menganggap semua
orang seperti dirinya sehingga pelaku kurang bisa menempatkan dirinya pada
posisi orang lain. Dari segi kemampuan berempati secara afektif pelaku kurang
mampu untuk merasakan apa yang dirasakan dan dibutuhkan orang lain, pelaku
hanya fokus pada kepuasan dan kebutuhan diri sendiri, tidak mau mendengarkan
dan menerima pandangan orang lain (Serber 2012; Postorino 2014).
Remaja dengan kemampuan empati yang rendah tidak peduli dengan
penderitaan dan kesulitan yang dialami orang lain, sehingga ketika melakukan
62
tindakan impersonation, outing, trickery, cyberstalking dan exclusion pelaku
tidak mempunyai belas kasih terhadap korban. Tindakan cyberbullying terjadi
melalui media elektronik sehingga pelaku tidak perlu bertemu secara langsung
dengan korban. Hal ini membuat pelaku tidak melihat secara langsung respon dari
korban (rasa takut, cemas, dan gelisah). Kemungkinan ini membuat pelaku
dengan gamblang menyakiti korban secara terus-menerus tanpa mempedulikan
dampak negatif yang akan diterima korban. Selain itu, ketaatan pada nilai-nilai
sosial dan norma agama mendorong individu untuk berlaku sesuai dengan nilai
sosial dan norma agama yang berlaku seperti menghargai dan menghormati orang
lain. Ketaatan pada nilai sosial dan norma agama mendorong remaja untuk
melakukan tindakan terpuji dan menghindarkan remaja dari perbuatan-perbuatan
negatif dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya (Serber 2012; Postorino
2014).
Penjelasan di atas diperkuat dengan hasil penelitian dari Brewer & Kerslake
(2015) yang mengatakan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara harga
diri dan empati dengan perilaku cyberbullying yang dilakukan oleh remaja.
Artinya jika remaja dengan harga diri dan empati yang rendah, maka perilaku
cyberbullying yang dilakukan tinggi. Sebaliknya remaja dengan harga diri dan
empati yang tinggi, maka perilaku cyberbullying yang dilakukan rendah.
63
E. Hubungan antara Harga Diri dengan Perilaku Cyberbullying pada
Remaja
Istilah harga diri (self esteem) menandakan bagaimana seseorang
mengevaluasi dirinya. Evaluasi ini akan memperlihatkan bagaimana penilaian
individu tentang penghargaan terhadap dirinya, percaya bahwa dirinya memiliki
kemampuan, adanya pengakuan (penerimaan) atau tidak (Coopersmith,1967).
Individu dengan harga diri tinggi akan yakin dengan kemampuan yang dimiliki,
merasa berharga dan diterima, bermanfaat bagi orang lain dan punya pengalaman
dalam keberhasilan.
Tinggi atau rendahnya tingkat harga diri seseorang dipengaruhi dari
interaksi individu dengan lingkungan dan sejumlah penghargaan, penerimaan dan
pengertian orang lain terhadap dirinya. Penerimaan, perhatian dan kasih sayang
yang diterima individu dari orang-orang di sekitarnya membuat individu merasa
diterima dan punya keberartian di lingkungannya sehingga individu mempunyai
harga diri yang tinggi. Sebaliknya jika individu mengalami penolakan dari
lingkungan akan membuat individu menganggap dirinya tidak berarti bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain yang menandakan bahwa individu tersebut
mempunyai harga diri yang rendah (Wijayanti dan Christiana, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Anderson & Carnagey (dalam Fitria &
Aulia, 2016) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki harga diri rendah akan
memandang dirinya tidak berharga, yang tercermin pada rasa tidak berguna, tidak
memiliki kemampuan dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan
fisik. Hal ini membuat individu merasa tidak mampu menjalin hubungan dengan
64
temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung dan marah akibatnya
individu akan melakukan kekerasan atau perilaku yang menyakiti temannya
seperti bullying yang merupakan bentuk dari perilaku agresif. Menurut Riauskina,
Djuwita, dan Soesetio (2001) cyberbullying merupakan salah satu bentuk
dari bullying. Ybarra & Mitchell (2004) mengatakan bahwa pelaku cyberbullying
adalah orang-orang yang cenderung agresif.
Tingkat harga diri yang tinggi yang dimiliki seseorang tidak terlepas dari
aspek-aspek yang menjadi sumber pembentuk harga diri seseorang yaitu
significance, power, virtue dan competence. Individu dengan harga diri tinggi
sadar bahwa ia significance, akan mampu menerima diri serta memberikan
perhatian dan kasih sayang pada orang lain (Coopersmith 1967). penerimaan diri
adalah modal penting bagi remaja untuk bisa memberi perhatian dan kasih sayang
pada sesama, walaupun sulit karena usia remaja yang sedang mengalami fluktuasi
diri (Santrock, 2012).
Menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri terjadi melalui proses dan
didukung oleh dukungan dari orang-orang sekitarnya. Individu yang significance
adalah pribadi yang telah nyaman dengan dirinya sendiri dengan segala
kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya (Coopersmith 1967). Penerimaan
kekurangan dan kelebihan diri sendiri mendorong individu untuk menjadi pribadi
yang bisa menghargai dan menerima kekurangan dan kelebihan orang lain
sehingga individu akan menghindari tindakan cyberbullying seperti beradu
argumen, saling menghina dan saling ejek (flamming) melalui teknologi
komunikasi. Flamming bisa terjadi karena pelaku cyberbullying dengan sengaja
65
melakukan adu argumen terhadap korban. Hal ini dilakukan pelaku cyberbullying
untuk mencari sensasi karena pelaku merasa kurang berarti akibat rejection dan
isolation yang diterima pelaku dari lingkungannya. Saling menghina yang
dilakukan pelaku terhadap korban merupakan cara pelaku untuk menonjolkan diri
dan mencari penerimaan dan pengakuan dari orang lain. Individu yang
significance tidak perlu melakukan sensasi untuk mendapat pengakuan dan
penerimaan (Serber, 2012).
Aspek kekuasaan (power) memungkinkan individu untuk mampu
mengendalikan atau mempengaruhi diri sendiri dan orang lain secara positif.
Dalam hal ini individu mampu untuk mengontrol dan mengendalikan diri dari
perilaku negatif terhadap orang lain (Coopersmith 1967). Dalam kaitannya dengan
perilaku cyberbullying, individu mampu menahan diri untuk tidak melakukan
tindakan cyberbullying seperti, menulis, menyebarkan informasi yang tidak benar
tentang korban untuk merusak reputasi korban (denigration). Informasi yang
disebarkan dapat berupa pesan atapun gambar korban yang telah diedit sehingga
mengandung makna negatif. Tindakan cyberbullying lainnya yang dilakukan
karena aspek power yang rendah adalah outing yaitu tindakan yang berpotensi
mempermalukan korban dengan cara memposting, mengirim atau meneruskan
konten-konten (komunikasi, gambar, video) yang bersifat sangat pribadi/rahasia
milik korban. Denigration dan outing dilakukan karena pelaku tidak mampu
mengendalikan diri dari tindakan-tindakan negatif. Pelaku cyberbullying
menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan intimidasi dunia maya
agar menunjukkan power serta untuk menyatakan bahwa dirinya mampu untuk
66
menindas orang lain. Hal ini berpengaruh untuk meningkatkan harga diri pelaku
yang rendah di antara teman-temannya (Kowalski dkk, 2008; Serber, 2012).
Aspek kompetensi memungkinkan individu untuk merencanakan dan
melaksanakan tujuan-tujuan hidupnya dengan baik (Coopersmith, 1967). Individu
dengan aspek competence yang baik mampu untuk bersaing dengan sehat,
menjunjung kejujuran, bertanggung jawab serta menunjukkan performa yang
tinggi dalam setiap usaha dan kerja. Individu dengan aspek kompetensi yang baik
akan memusatkan perhatian pada hal-hal yang dapat menunjang prestasi dan cita-
citanya dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang dimiliki secara positif
misalnya media internet digunakan untuk untuk mengakses informasi yang
bermanfaat dalam menunjang pencapaian cita-cita, mengembangkan kreativitas
individu secara positif dalam bidang teknologi yang memberi manfaat positif bagi
diri sendiri maupun orang lain, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan hal-hal
negatif seperti tindakan cyberbullying misalnya membujuk seseorang untuk
membagikan informasi pribadinya (trickery) atau menguntit orang lain di dunia
maya melalui media sosial (cyberstalking). Tindakan-tindakan cyberbullying
seperti trickery dan cyberstalking terjadi karena pelaku lebih fokus pada hal-hal
negatif daripada pada hal-hal positif dari perkembangan teknologi komunikasi.
Isolation dan rejection yang dialami pelaku dalam kehidupan nyata membuat
pelaku berusaha untuk mendapatkan penerimaan dan menutupi rasa malu dan
rendah diri melalui dunia maya dengan cara-cara yang negatif seperti perilaku
cyberbullying (Serber, 2012).
67
Aspek kebajikan (virtue) memungkinkan individu untuk berperilaku sesuai
dengan etika, moral dan prinsip-prinsip agama (Coopersmith 1967). Taat pada
nilai-nilai sosial dan norma-norma agama membantu individu menjadi pribadi
yang lebih dewasa secara sosial. Etika, norma sosial dan nilai-nilai keagamaan
juga menjadi semacam rambu-rambu yang bisa memberi arah dalam kehidupan
bersosial, membantunya untuk memahami orang lain sebagai sesama yang layak
dihargai dan dihormati.
Ketaatan pada nilai-nilai sosial dan norma-norma agama mendorong
individu tidak melakukan perilaku cyberbullying seperti membajak akun korban
kemudian mengunggah konten-konten negatif (impersonation), mengucilkan
teman di media sosial (exclusion). Tetapi, pengabaian terhadap nilai-nilai sosial
dan norma-norma agama ini membuat individu tidak mampu untuk menampilkan
sikap diri yang positif seperti menghargai dan menghormati sesama. Pengabaian
terhadap nilai-nilai sosial dan norma-norma agama mendorong individu
cenderung memperlihatkan sikap diri yang negatif terhadap orang lain. Selain itu
perasaan rendah diri dan malu membuat perilaku cyberbullying dengan
penyamaran membuat pelaku nyaman karena tidak harus bertemu langsung
dengan korban. Pelaku dapat menyembunyikan identitasnya sehingga dengan
mudah menyakiti korban tanpa diketahui (Serber, 2012).
Dari penjelasan di atas mengenai ke empat aspek harga diri maka individu
dengan harga diri tinggi akan mempunyai kemampuan dalam hal penerimaan diri
yang baik, mampu mengontrol dan mengendalikan sikap dan perilaku terhadap
orang lain, memusatkan kompetensi yang dimiliki untuk mencapai hal-hal yang
68
positif, dan menjadikan prinsip-prinsip agama, etika dan moral sebagai rambu-
rambu dalam kehidupan sosial sehingga individu tidak perlu lagi melakukan
tindakan-tindakan cyberbullying yang merugikan orang lain seperti : mengirimkan
pesan yang menghina, melecehkan dan menyakiti orang lain, menyebarluaskan
gambar atau informasi yang tidak benar, memberi komentar-komentar negatif
yang dapat menyulut pertengkaran, ataupun mengirimkan pesan yang sifatnya
mengintimidasi, sangat menghina serta mengancam keselamatan orang lain hanya
untuk mendapat pengakuan dan penerimaan dari orang-orang di sekelilingnya
(Kowalski, dkk 2008). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Guarrini, Passini,
Meloti & Brighi (2012) yang menunjukkan bahwa pelaku cyberbullying
melakukan tindakan intimidasi di dunia maya agar mendapat pengakuan dari
teman-temannya bahwa dirinya hebat dan lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
harga diri dengan perilaku cyberbullying pada remaja berdasarkan beberapa
penelitian diantaranya hasil penelitian Patchin & Hinduja (2012) menunjukkan
bahwa individu yang terlibat cyberbullying mempunyai tingkat harga diri yang
rendah dibandingkan dengan individu yang tidak pernah terlibat dalam perilaku
cyberbullying. Penelitian lain oleh Brewer & Kerslake (2015) menunjukkan
bahwa ada hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku Cyberbullying
artinya jika harga diri tinggi maka perilaku cyberbullying rendah dan jika harga
diri rendah maka perilaku cyberbullying tinggi.
69
F. Hubungan antara Empati dengan Perilaku Cyberbullying pada Remaja
Empati merupakan kemampuan untuk ikut merasakan emosi yang dirasakan
orang lain dan menunjukkan kasih sayang serta mampu terlibat dalam perasaan
emosional tersebut, namun tidak membuat individu menyatu dengan perasaan
emosional yang dialami oleh orang tersebut. Sebagaimana aspek-aspek dari
empati menurut Davis ( 1983) yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Kedua aspek
ini dijabarkan lagi dalam bentuk yang lebih spesifik. Aspek kognitif meliputi
perspective taking dan fantacy, dan aspek afektif meliputi empati concern dan
personal distress.
Empati merupakan salah satu aspek kognisi sosial yang memainkan peran
penting pada saat individu merespon emosi orang lain dalam rangka membangun
hubungan dengan orang lain (Spreng, McKinnon, Mar, & Levine, 2009).
Kemampuan empati umumnya diartikan bagaimana menempatkan diri pada posisi
orang lain dimana empati tersebut mengacu pada aspek afektif dan aspek
kognitif. Empati afektif umumnya dipahami sebagai perhatian yang empatik atau
simpati terhadap keadaan internal orang lain. Empati afektif memungkinkan
individu mengendalikan perasaan mereka ketika melihat orang lain dalam
kesusahan, dan pada akhirnya muncul dorongan untuk menolong. Empati kognitif
didasarkan pada kemampuan melihat, membayangkan dan memikirkan sebuah
situasi dari sudut pandang orang lain.
Aspek-aspek empati tersebut turut mempengaruhi perilaku individu dalam
hubungan sosial dalam masyarakat. Menurut Covey (dalam Howe 2015) empati
ibarat minyak pelumas bagi hubungan individu dengan orang lain. Ketika empati
70
tidak ada maka keakraban hilang dan muncul tindakan-tindakan kekerasan dan
keegoisan serta masalah perilaku lainnya misalnya agresi, seperti bullying dan
cyberbullying.
Perspective taking atau pengambilan perspektif yaitu kemampuan individu
untuk memposisikan diri dalam perspektif orang lain membuat individu untuk
dapat melihat dan mengakui perasaan dari sudut pandang orang lain. Hal ini akan
membantu menjauhkan individu dari konflik. Bentuk cyberbullying seperti saling
ejek dan saling menghina serta adu argumen (flamming), ataupun mengirimkan
pesan yang menyakiti korban berulang kali (harassment), menyebarkan informasi
yang tidak benar tentang orang lain (denigration), menyebarkan
gambar/komunikasi pribadi korban (impersonation) terjadi karena pelaku
cyberbullying sulit untuk mengakui sudut pandang orang lain dan memposisikan
orang lain seperti dirinya. Pelaku tidak mampu membayangkan bagaimana
perasaan korban yang menerima ejekan, hinaan, juga komentar-komentar negatif
yang diterima dari pelaku. Ketidakmampuan pelaku untuk memahami posisi
korban membuat tindakan cyberbullying seperti flamming dan harassment akan
terus dilakukan. Menurut Davis (1983) individu-individu yang baik dalam
pengambilan perspektif, melihat dan mengakui perasaan dari sudut pandang orang
lain akan membantu menjauhkan konflik sosial, atau jika terjadi konflik mereka
mampu mengelolanya dengan sedikit berargumen. Individu dengan perspective
taking yang baik juga dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang lain.
Komunikasi yang baik hendaknya berlangsung secara seimbang antara individu
71
yang terlibat dan tidak saling menyinggung dengan kata-kata kasar atau negatif
seperti yang dilakukan pelaku cyberbullying.
Aspek fantasi yaitu kecenderungan untuk mengubah diri secara imajinatif ke
dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dari karakter-karakter khayalan pada buku,
film ataupun permainan, yang berpengaruh pada reaksi emosional seseorang
dalam menempatkan diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lain.
Sebagaimana diketahui seseorang sering mengidentifikasi dirinya sebagai tokoh
tertentu dan meniru karakter-karakter dan perilaku-perilaku tokoh yang
dikaguminya. Seseorang juga akan cenderung terinspirasi pada pengalaman
menarik orang lain dan berkhayal melakukan hal yang sama untuk dapat
merasakan apa yang dirasakan orang tersebut (Taufik, 2012). Berkaitan dengan
perilaku cyberbullying aspek fantasi memungkinkan individu secara imajinatif
membayangkan pikiran, perasaan dan tindakan orang lain sebelum melakukan
tindakan seperti memberi komentar kasar, menghina, mengirimkan pesan
ancaman berulang kali kepada orang lain, meneruskan gambar-gambar pribadi
orang lain. Aspek ini akan memungkinkan individu untuk menempatkan diri pada
posisi orang lain yang disakiti agar mampu memahami perasaan orang tersebut.
Hal ini dapat menjauhkan individu dari tindakan cyberbullying yang dapat
menyakiti orang lain (Yeo, Ang, Loh, Fu & Karre, 2011).
Aspek perhatian empatik yaitu kemampuan seseorang untuk mampu
merasakan apa yang sedang dibutuhkan orang lain. Aspek ini sering digunakan
untuk menjelaskan sebuah respons emosional lain yang ditimbulkan kondisi orang
lain. Empathic concern merupakan perasaan yang berorientasi pada orang lain
72
yang meliputi perasaan simpatik, belas kasihan, kehangatan, kelembutan dan
peduli. Seseorang yang berempati akan cenderung berhati-hati dan menjaga
perasaan orang lain dalam menyampaikan respon emosional (Taufik, 2012).
Dengan kemampuan perhatian empatik ini individu akan menjadi pribadi yang
penyayang, lemah lembut, penuh kehangatan dan tidak akan membuat orang lain
ada dalam keadaan yang tidak mengenakkan atau kesulitan. Dalam kaitannya
dengan perilaku cyberbullying, individu dengan perhatian empati yang baik tidak
akan melakukan tindakan berbahaya yang dapat mengancam keselamatan orang
lain, tindakan yang mempermalukan orang lain, seperti mencemarkan nama baik
korban dengan postingan-postingan negatif di media sosial tentang korban
(denigration), juga tindakan mencuri password akun media sosial korban dan
menyebarkan kontent negatif menggunakan akun korban tersebut (cyberstalking).
Tindakan-tindakan cyberbullying tersebut dapat terjadi karena pelaku tidak fokus
pada orang lain. Pelaku hanya fokus pada dirinya sendiri sehingga tidak muncul
tenggang rasa terhadap orang lain. Rasa peduli pelaku cyberbullying pada
penderitaan orang lain rendah dan sering menganggap kesulitan yang orang lain
rasakan adalah hal yang biasa dan wajar.
Aspek tekanan personal merupakan perasaan takut, cemas dan gelisah
sebagai reaksi atas penderitaan yang dialami orang lain. Rasa takut, cemas dan
gelisah akan muncul ketika individu melihat orang lain ada dalam kesulitan. Rasa
takut, cemas dan gelisah ini akan mendorong individu untuk meringankan
penderitaan yang dialami orang lain yang dilihatnya. Dampak dari tekanan
personal adalah individu akan menjauhi tindakan-tindakan yang membahayakan
73
orang lain secara psikis maupun fisik misalnya dengan tidak melakukan perilaku
cyberbullying seperti : flamming, harassment, denigration, impersonation, outing,
trickery, cyberstalking dan exclusion. Pelaku memahami kesulitan, masalah yang
dirasakan korban akibat dari tindakan cyberbullying sebagai sensasi yang
menyenangkan dirinya dan tidak peduli dampak-dampak negatif yang dialami
korban (Postorino, 2014).
Secara kognitif pelaku cyberbullying tidak dapat memahami korban, tidak
dapat menjalin komunikasi yang baik (tidak mau mendengarkan) dan cenderung
bereaksi secara agresif pada kesusahan orang lain. Hal ini menunjukkan individu
tersebut mempunyai empati yang rendah. Secara afektif pelaku cyberbullying
tidak fokus pada apa yang dirasakan oleh korban, tetapi fokus pada kesenangan
yang dirasakannya. Pelaku fokus pada dirinya sendiri sehingga tidak muncul
keinginan untuk bertenggang rasa terhadap perasaan korban. Pelaku merasa
senang dengan kecemasan, kegelisahan dan ketakutan korban yang ditimbulkan
oleh macam-macam perilaku cyberbullying seperti adu argumen yang membuat
korban terpojok, hinaan dan ejekan yang memalukan korban, pelecehan dan
intimidasi melalui pesan teks atau komentar, pencemaran nama baik melalui
konten-konten yang diunggah dan juga pengucilan (Yeo, Ang, Loh, Fu & Karre,
2011).
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh Steffgen, Konig, Pfetsch dan Melzer (2011) menyatakan bahwa
pelaku cyberbullying yang berusia remaja cenderung memiliki kemampuan
empati yang lebih rendah dibandingkan dengan teman sebayanya yang bukan
74
pelaku cyberbullying. Penelitian lain yang mendukung adanya hubungan antara
kemampuan empati yang rendah dengan perilaku cyberbullying dilakukan oleh
Brewer & Kerslake (2015); Del Rey, Lazuras, dkk (2015) menemukan empati
memiliki hubungan negatif dengan perilaku cyberbullying. Artinya semakin
rendah kemampuan berempati remaja menunjukkan semakin tinggi perilaku
cyberbullying yang dilakukan dan sebaliknya apabila kemampuan berempati
remaja tinggi menunjukkan semakin rendah perilaku cyberbullying yang
dilakukan.
G. Landasan Teori
Pada era globalisasi, masyarakat dihadapkan pada perkembangan teknologi
yang meningkat pesat dari tahun ke tahun. Kemajuan teknologi telah merubah
struktur masyarakat dari yang bersifat lokal menuju ke arah yang berstruktur
global. Teknologi sangat bermanfaat bagi masyarakat sebagai sarana
mempermudah dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Termasuk pula dalam
berkomunikasi, manusia membutuhkan teknologi untuk mempermudah interaksi
dengan orang lain baik jarak dekat maupun jarak jauh. Adanya kemudahan dalam
teknologi yang semakin canggih juga memunculkan berbagai macam media sosial
seperti facebook, twitter, whatsapp, instagram, path, blackberry massenger dan
berbagai macam media komunikasi lainnya. Media-media tersebut sangat diminati
oleh masyarakat terutama remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Seiring
dengan perkembangannya yang semakin pesat, baik teknologi maupun
75
penggunaannya tentu membawa dampak positif dan negatif. Salah satu dampak
negatif dari perkembangan teknologi adalah tindakan cyberbullying.
Cyberbullying merupakan tindakan mengolok-olok, mengganggu orang lain
berulang kali melalui media online seperti email, pesan teks, atau memposting
konten (status/gambar) tentang orang lain yang tidak disukai (Hinduja & Patchin,
2008). Menurut Kowalski, dkk (2008) cyberbullying dapat terjadi dalam beberapa
bentuk yaitu flamming (adu argumen dengan menggunakan kata kasar, saling
ejek/menghina), harassment (mengirimkan pesan yang mengganggu/menyakiti),
denigration (pencemaran nama baik), impersonation (penyamaran), outing &
trickery (menyebarkan informasi pribadi), cyberstalking (menguntit), dan
exclusion (pengucilan).
Cyberbullying dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu harga diri.
Harga diri merupakan evaluasi yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya
sendiri (Coopersmith, 1967). Penilaian ini dapat berupa penilaian yang negatif
atau positif. Harga diri merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
perilaku individu. Setiap orang menginginkan penghargaan yang positif terhadap
dirinya. Penghargaan positif akan membuat seseorang merasakan bahwa dirinya
berharga, berhasil dan berguna bagi orang lain. Sebaliknya apabila kebutuhan
harga diri itu tidak terpenuhi maka akan membuat seseorang berperilaku negatif
(Gufron & Risnawita, 2014). Harga diri yang rendah dapat menjadi faktor yang
memengaruhi seseorang untuk lebih melakukan hal yang menurutnya ideal
meskipun dianggap tidak ideal bagi lingkungan masyarakat untuk menutupi rasa
tidak berharga dirinya (Clemes, 1995).
76
Menurut Coorpersmith (1967) aspek-aspek harga diri terdiri atas empat
aspek yaitu, keberartian (significance) menunjuk pada kepedulian, perhatian,
afeksi dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang
menunjukkan adanya penerimaan dari lingkungan sosial terhadap remaja.
Kekuasaan (power) menunjuk pada adanya kemampuan seseorang untuk dapat
mengatur dan mengontrol perilaku dan mendapat pengakuan atas perilaku tersebut
dari orang lain. Kekuasaan dinyatakan dengan pengakuan dan penghormatan yang
diterima individu dari orang lain. Kompetensi (competence) menunjuk pada
adanya performansi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai
prestasi dimana level dan tugas-tugas tersebut tergantung pada variasi usia
individu. Kebajikan (virtue) menunjuk pada adanya ketaatan untuk mengikuti
standar moral dan etika serta agama yang ditunjukkan dengan menjauhi perilaku
yang harus dihindari dan melakukan perilaku yang diizinkan oleh moral, etika dan
agama. Seseorang yang taat terhadap nilai moral, etika dan agama dianggap
memiliki sikap yang positif dan akhirnya membuat penilain positif terhadap diri
yang menandakan individu mempunyai harga diri tinggi.
Mengacu pada penjelasan di atas maka dapat dikatakan remaja yang
memiliki harga diri tinggi memiliki penerimaan dan penghormatan diri, mampu
mengatur dan mengontrol perilakunya, yakin dengan kemampuan penyelesaian
tugas-tugas dan taat terhadap nilai-nilai moral, etika dan agama. Hal ini dapat
membantu remaja untuk menjalin hubungan yang baik dengan dengan teman-
temannya, bangga dengan diri sendiri, merasa diterima oleh lingkungan keluarga
77
dan sosial, dapat menerima keadaan diri sendiri, menghargai dan menghormati
orang lain, menjaga kerukunan dengan teman-temannya sehingga remaja dapat
menghindarkan diri dari perilaku cyberbullying (Serber, 2012).
Menurut Bukhim (dalam Widiharto 2011) kurangnya pemahaman remaja
terhadap nilai diri yang positif menyebabkan remaja cenderung melakukan
berbagai perilaku menyimpang seperti perilaku cyberbullying. Remaja yang
memiliki harga diri yang rendah memandang dirinya secara negatif dan tidak
berharga yang tercermin pada rasa tidak berguna, tidak memiliki kemampuan
akademik yang baik, interaksi sosial, hubungan dengan anggota keluarga dan
keadaan fisiknya. Harga diri rendah menyebabkan remaja merasa tidak mampu
menjalin hubungan dengan temannya sehingga remaja menjadi mudah marah.
Akibatnya remaja melakukan tindakan yang dapat menyakiti orang lain seperti
perilaku cyberbullying.
Faktor lain yang mempengaruhi cyberbullying adalah empati. Menurut
Hoffman (dalam Steffgen, dkk 2011), Empati merupakan kemampuan untuk ikut
merasakan emosi yang dirasakan orang lain dan menunjukkan kasih sayang serta
mampu terlibat dalam perasaan emosional tersebut, namun tidak membuat
individu menyatu dengan perasaan emosional yang dialami oleh orang tersebut,
misalnya seseorang akan bersedih ketika melihat temannya berada dalam suasana
dukacita. Empati merupakan cara seseorang yang merasakan dan menghayati apa
yang dialami oleh orang lain, sehingga empati dianggap sebagai suatu cara yang
efektif dalam usaha mengenal, memahami dan mengevaluasi orang lain. Dengan
78
berempati terhadap orang lain, seseorang dimungkinkan untuk memahami orang
lain dengan masalah dan keadaannya (Gunarsa, 2009).
Menurut Davis (1983) empati mempunyai aspek-aspek berikut: Perspective
taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang
lain secara spontan. Perspective Taking secara psikologis dan sosial penting bagi
keharmonisan interaksi antar individu. Perspective taking dapat menurunkan
stereotype dan pandangan buruk terhadap orang lain secara lebih efektif
dibandingkan dengan melakukan penekanan terhadap stereotype. Apabila konsep
perspective taking ini dikaitkan dengan theory of mind, dimana seseorang dapat
menyimpulkan kondisi mental orang lain, memahami dari perspektif mereka, dan
dapat pula menginterpretasikan serta memprediksi perilaku selanjutnya dari orang
lain. Kunci pokoknya adalah dimana seseorang dapat mengoptimalkan
kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan
sikap dan perilaku yang terlihat.
Fantasy, merupakan kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke
dalam perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan yang terdapat pada
buku-buku, layar kaca, bioskop, maupun dalam permainan-permainan. Aspek ini
akan melihat kecenderungan individu menempatkan diri dan hanyut dalam
perasaan dan tindakan aktor. Empathic Concern, merupakan orientasi seseorang
terhadap orang lain berupa perasaan simpati, kasihan dan peduli terhadap orang
lain yang ditimpa kemalangan. Empathic Concern sebagai cermin dari perasaan
kehangatan dan simpati, erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap
79
orang lain. Personal distress, merupakan orientasi seseorang terhadap dirinya
sendiri yang meliputi perasaan cemas dan gelisah pada saat melihat orang lain
dalam kesusahan. Kegelisahan dan kecemasan ini kemudian mendorong individu
untuk bersimpati kepada orang yang mengalami kesulitan.
Dari penjelasan empati di atas maka dapat dikatakan remaja yang
mempunyai rasa empati yang tinggi akan menunjukkan kemampuan dalam
memahami sudut pandang orang lain, mampu membayangkan dan menempatkan
diri pada posisi orang lain, mempunyai rasa simpati, kasihan dan peduli terhadap
orang lain dan merasa cemas dan gelisah saat melihat orang lain mengalami
kesusahan. Kemampuan-kemampuan ini akan mendorong individu untuk
menjauhi perilaku negatif seperti perilaku cyberbullying yang dapat menyakiti,
mengancam dan membahayakan orang lain. Hal ini disebabkan remaja dengan
rasa empati yang tinggi mampu untuk memahami pandangan orang lain sehingga
dapat menecgah terjadinya pertengkaran secara langsung maupun di dunia maya.
Remaja dengan rasa empati yang tinggi juga mampu untuk membayangkan
perasaan sakit yang dialami orang lain akibat dari tindakan cyberbullying yang
diterima orang lain, sehingga remaja akan menghindari tindakan cyberbullying
(Taufik 2012). Sementara remaja yang memiliki empati yang rendah cenderung
tinggi melakukan perilaku cyberbullying, karena individu tidak mampu
memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh korban, (Steffgen & Konig,
2009; Topcu & Baker, 2012; Ang & Goh, 2010).
80
Berdasarkan penjalasan di atas dapat diketahui bahwa perilaku
cyberbullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresif melalui media digital
yang terjadi terus menerus dan mengakibatkan korban. Cyberbullying dapat
terjadi karena pelaku mempunyai tingkat harga diri dan empati yang rendah yang
membuat pelaku tidak mempunyai belas kasihan terhadap korban dan tindakan
cyberbullying sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan.
Dengan demikian, hubungan antara variabel independen yaitu harga diri
(X1) dan empati (X2) dengan variabel dependen yaitu cyberbullying (Y) menjadi
fokus penulis dalam penelitian ini. Hubungan itu akan diperjelas dengan kerangka
teori berikut ini
1
3
2
Gambar 1. Dinamika hubungan antar variabel
Harga Diri (X1) :
a. Power
b. Significance
c. Virtue
d. Competence
Cyberbullying (Y) :
a. Flamming
b. Harassment
c. Denigration
d. Impersonation
e. Outing
f. Trolling
g. Cyberstalking
h. Exclusion
empati (X2) :
a. Perspective taking
b. Fantasy
c. Emphatic concern
d. Personal distress
81
Keterangan :
Panah 1 menunjukkan hubungan X1 dengan Y.
Panah 2 menunjukkan hubungan X2 dengan Y.
Panah 3 menunjukkan hubungan X1 dan X2 dengan Y
H. Hipotesis
Ada tiga hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini, yakni:
1. Ada hubungan antara harga diri dan empati dengan perilaku cyberbullying
pada remaja.
2. Ada hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku cyberbullying
remaja. Semakin tinggi harga diri remaja maka semakin rendah perilaku
cyberbullying yang dilakukan. Sebaliknya semakin rendah harga diri
remaja, maka semakin tinggi perilaku cyberbullying yang dilakukan.
3. Ada hubungan negatif antara empati dengan perilaku cyberbullying pada
remaja. Semakin tinggi empati remaja, maka semakin rendah perilaku
cyberbullying yang dilakukan. Sebaliknya jika empati rendah, maka
semakin tinggi perilaku cyberbullying yang dilakukan.