BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Cyberbullyingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3945/3/BAB...

54
28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Cyberbullying pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Cyberbullying Patchin & Hinduja (2008) mendefinisikan cyberbullying sebagai fenomena dan bentuk baru dari perilaku bullying, yaitu ketika seseorang berulang kali mengolok-olok orang lain secara online atau berulang kali mengganggu orang lain melalui email, pesan teks atau memposting sesuatu tentang orang lain yang tidak disukai. Lebih lanjut Patchin & Hinduja mengatakan Cyberbullying dikenal sebagai hasil dari perpaduan antara agresi remaja dan alat komunikasi. Hal ini juga dinyatakan oleh Besley (dalam Mawardah dan Ardiyanti, 2014) bahwa cyberbullying adalah perilaku tidak ramah yang secara sengaja dan terjadi berulang-ulang yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa remaja menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti email, website dan situs jejaring sosial (misalnya facebook, twitter, instagram, path, dll) untuk merugikan orang lain. Menurut Smith, dkk (2008) cyberbullying merupakan tindakan agresif dan negatif yang sengaja dilakukan individu/grup dengan menggunakan media elektronik secara berulang-ulang dan dari waktu ke waktu terhadap individu yang lemah. Sejalan dengan hal ini, menurut Maya (2015), cyberbullying adalah bentuk intimidasi terhadap seseorang yang dianggap lemah melalui sarana teknologi seperti jejaring sosial.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Cyberbullyingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3945/3/BAB...

28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Cyberbullying pada Remaja

1. Pengertian Perilaku Cyberbullying

Patchin & Hinduja (2008) mendefinisikan cyberbullying sebagai fenomena

dan bentuk baru dari perilaku bullying, yaitu ketika seseorang berulang kali

mengolok-olok orang lain secara online atau berulang kali mengganggu orang lain

melalui email, pesan teks atau memposting sesuatu tentang orang lain yang tidak

disukai. Lebih lanjut Patchin & Hinduja mengatakan Cyberbullying dikenal

sebagai hasil dari perpaduan antara agresi remaja dan alat komunikasi. Hal ini

juga dinyatakan oleh Besley (dalam Mawardah dan Ardiyanti, 2014) bahwa

cyberbullying adalah perilaku tidak ramah yang secara sengaja dan terjadi

berulang-ulang yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa remaja

menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti email, website dan situs

jejaring sosial (misalnya facebook, twitter, instagram, path, dll) untuk merugikan

orang lain.

Menurut Smith, dkk (2008) cyberbullying merupakan tindakan agresif dan

negatif yang sengaja dilakukan individu/grup dengan menggunakan media

elektronik secara berulang-ulang dan dari waktu ke waktu terhadap individu yang

lemah. Sejalan dengan hal ini, menurut Maya (2015), cyberbullying adalah bentuk

intimidasi terhadap seseorang yang dianggap lemah melalui sarana teknologi

seperti jejaring sosial.

29

Kowalski, dkk (2008) mengartikan cyberbullying sebagai tindakan

intimidasi yang dilakukan dengan menggunakan alat teknologi komunikasi

melalui instant message, chat room, website, email, text message, blog, web,

jejaring sosial dengan cara mem-posting atau menyebarkan sesuatu yang tidak

benar mengenai korban. Parks (2013) menjelaskan cyberbullying adalah berbagai

gangguan ataupun pelecehan yang terjadi melalui internet atau komunikasi digital

seperti email, pesan instan, komentar pada situs jejaring sosial (misalnya

facebook, twitter, myspace, instagram, dll) serta kiriman pada situs web lain atau

blog, dan video yang dipost pada youtube.

Menurut Campbell (dalam Campfield, 2006) Cyberbullying merupakan

bentuk baru dari bullying. Cyberbullying dilakukan melalui alat teknologi

komunikasi informasi (email, chat room, ponsel, dan situs web) untuk mengirim

pesan penghinaan atau ancaman, memposting konten negatif dan menyebarkan

hal-hal yang bersifat pribadi atau rahasia sehingga mengakibatkan dampak yang

kurang baik bagi korban. Ted dan Nicole (2008) mengatakan Cyberbullying

merupakan kiriman atau postingan berbahaya berupa gambar dan teks yang tidak

baik dengan menggunakan internet (pesan instan, email,aplikasi chatting, situs

jejaring sosial) dan telepon seluler.

Dalam Oxford English Dictionary (OED, dalam Rifaudhin, 2016),

cyberbullying diartikan sebagai tindakan penggunaan teknologi informasi untuk

menggertak orang dengan mengirim atau memposting teks yang bersifat

mengintimidasi atau mengancam. Selain itu menurut Rudy (2010) cyberbullying

merupakan perbuatan bullying melalui medium internet dan teknologi digital,

30

misalnya ponsel, SMS, MMS, email, Instant Messenger, website, situs jejaring

sosial, blog, dan online forum, tujuannya adalah untuk mengganggu, mengancam,

mempermalukan, menghina, mengucilkan secara sosial, ataupun merusak reputasi

orang lain.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas tentang pengertian cyberbullying,

maka penulis menggunakan pendapat Hinduja & Patchin yaitu ketika seseorang

berulang kali mengolok-olok orang lain secara online atau berulang kali

mengganggu orang lain melalui email, pesan teks atau memposting sesuatu

tentang orang lain yang tidak disukai. Pendapat Hinduja & Patchin ini dapat

menjelaskan arti cyberbullying dengan jelas sehingga mudah untuk dipahami.

2. Karakteristik Pelaku Cyberbullying dan Korban Cyberbullying

Menurut Coloroso (2002) ada tiga komponen penting dalam perilaku

bullying, demikian halnya juga dengan cyberbullying. Ketiga komponen tersebut

yaitu the bully (pelaku), the bullied/victims (korban) dan the bystander (penonton

atau orang yang berdiri di dekat pelaku dan korban ketika terjadi bullying).

berikut penjelasan lebih jauh mengenai ketiga komponen tersebut

a. Pelaku (the bully)

Olweus (dalam Kowalski. dkk, 2008) mengemukakan bahwa

karakteristik dari pelaku cyberbullying yaitu:

1) Pelaku memiliki kepribadian yang dominan dan menyatakan bahwa

pelaku memiliki kekuatan;

2) Memiliki sifat pemarah, implusif dan mudah frustasi;

31

3) Pelaku lebih memiliki sikap positif terhadap kekerasan;

4) Pelaku merupakan orang yang sulit untuk mengikuti aturan;

5) Pelaku kelihatan lebih kasar dan memiliki sedikit empati atau kasih

sayang bagi korban yang diganggu;

6) Pelaku sering berhubungan dengan orang dewasa yang melakukan

perilaku agresif;

7) Pelaku memiliki empati yang rendah;

8) Pelaku sering terlibat dalam agresif proaktif dan agresif reaktif;

9) Namun cara yang digunakan sedikit berbeda dengan bullying yang

dilakukan secara fisik atau verbal. Pelaku cyberbullying

mengintimidasi korban dengan menggunakan alat teknologi

komunikasi.

Pendapat lain dari Beran dan Li (2005) mengatakan bahwa

karakteristik individu yang melakukan perilaku cyberbullying yaitu: (1)

pelaku memiliki kemampuan empati yang rendah; (2) pelaku sering

terlibat dalam perilaku agresi; (3) pelaku lebih sering menggunakan

internet; (4) pelaku memiliki harga diri yang rendah. Willard (dalam

Campfield, 2006) juga menambahkan bahwa karakteristik dari pelaku

cyberbullying adalah dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan

dengan karakteristik pelaku yaitu: (1) sering terlibat dalam perilaku

agresif; (2) memiliki hubungan dengan orang dewasa yang sering terlibat

dalam perilaku agresif; (3) lebih sering menggunakan internet dalam

kehidupan sehari-hari; (4) individu atau pelaku adalah orang yang suka

32

bekerja sama dengan teman-teman sebayanya atau orang lain untuk

melakukan cyberbullying. Pelaku sangat sulit diketahui karena korban

tidak tahu siapa yang melakukan perilaku cyberbullting tersebut.

Pelaku cyberbullying memiliki karakteristik yang sama dengan

pelaku bullying. Owleus (dalam Kowalski, dkk. 2008) mengemukakan

bahwa pelaku cyberbullying juga sering melakukan bullying. Perbedaan

perilaku bullying fisik dan verbal dengan cyberbullying yaitu cara

melakukan perilaku tersebut. Bentuk bullying fisik dan verbal dilakukan

secara langsung oleh individu atau kelompok terhadap korban, sedangkan

bentuk cyberbullying dilakukan kepada korban melalui alat teknologi

komunikasi informasi. Ang dan Goh (2010) mengemukakan seiring

perkembangan teknologi komunikasi informasi perilaku bullying fisik dan

verbal beralih ke cyberbullying. Hal ini berarti bahwa pelaku bullying

yang biasanya melakukan bullying fisik dan verbal secara langsung

beralih juga ke perilaku bullying melalui dunia maya (cyberbullying).

b. Korban (the bullied/victims)

Obrra, dkk (dalam Kowalski. dkk, 2008) mengemukakan

karakteristik dari korban cyberbullying yaitu: (1) korban sering

menggunakan internet seperti instant message, blogs, chat room, dan

jejaring social; (2) korban adalah individu yang cemas dan merasa

terasing dari lingkungan sosialnya; (3) korban memiliki harga diri yang

rendah. Lebih jauh menurut Kowalski, remaja yang sering menjadi

korban cyberbullying adalah mereka yang berbeda dalam pendidikan, ras,

33

berat badan, fisik, agama, cenderung sensitif, pasif, dianggap lemah dan

jarang bergaul atau keluar rumah. Hal ini sejalan dengan pendapat

Marden (dalam Setianingrum, 2015) yang mengatakan bahwa remaja

yang cenderung menjadi korban cyberbullying mempunyai ciri-ciri

seperti : sensitif, menarik diri dari lingkungan sosial, pasif, mengalami

masalah dengan kesehatan mental, sering membiarkan orang lain

mengendalikan dirinya, dan cenderung depresi.

Olweus (dalam Kowalski, dkk. 2008) mengemukakan bahwa

korban bullying dan cyberbullying merupakan individu yang memiliki

karakter yang sama. Karakteristiknya yaitu individu atau kelompok yang

lemah. Individu yang biasanya dijadikan target bullying adalah individu

yang memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan orang

lain, seperti perbedaan fisik, ras, gaya berpakaian dan perilaku seseorang.

c. Penonton (bystander)

Menurut Colorosso (2002) penonton adalah seseorang yang

menyaksikan penyerangan pelaku bully pada korbannya. Pada perilaku

cyberbullying penontonnya berada dalam jumlah yang lebih besar lagi

yaitu setiap orang yang menggunakan internet dan secara langsung

maupun tidak langsung terhubung dengan pelaku dan korban Parks (2013).

menurut Marden (dalam Setianingrum, 2015) penonton dapat bergabung

34

dalam situs jejaring sosial dan meninggalkan komentar yang menyakitkan

atau hanya sebagai penonton saja.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai pelaku, korban dan

penonton tindakan cyberbullying, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik

pelaku cyberbullying yaitu suka mendominasi, lebih kuat, agresif, kurang mampu

berempati, sering menggunakan internet setiap hari dan tidak mau bertanggung

jawab, sering terlibat dalam perilaku agresi, memiliki sifat pemarah dan memiliki

harga diri yang rendah.

Korban cyberbullying merupakan individu yang sering menggunakan

internet, sering merasa cemas dan terasing dari lingkungannya, dianggap lemah,

pasif, cenderung sensitif dan jarang bergaul. Penonton dalam tindakan

cyberbullying adalah setiap orang yang terhubung dengan korban maupun pelaku

di dunia maya secara langsung maupun tidak langsung.

Pada penelitian ini penulis memfokuskan penelitian pada pelaku

cyberbullying dengan alasan, berdasarkan karakteristik dari pelaku cyberbullying

terlihat bahwa pelaku mempunyai “masalah” dalam interaksi sosial yang

berlanjut/terbawa ke dunia cyber. Jika hal ini dibiarkan maka individu semakin

menyalagunakan perkembangan teknologi yang dapat berdampak buruk bagi

pelaku maupun orang lain. Oleh sebab itu perlu adanya perhatian bagi pelaku

35

cyberbullying agar dapat menggunakan media teknologi komunikasi secara

positif untuk menekan tingkat kejahatan di dunia maya (Campfield, 2006)

3. Bentuk-bentuk Perilaku dan Media Cyberbullying

a. Bentuk-bentuk perilaku cyberbullying

Willard ( dalam Kowalsky dkk, 2008) berpendapat bahwa cyberbullying

dapat terjadi dalam beberapa bentuk antara lain flamming, harassment,

denigration, impersonation, outing & trickery, cyberstalking, dan exclusion.

Bentuk-bentuk cyberbullying tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Flamming, yaitu bentuk cyberbullying yang berupa pertengkaran singkat

yang berapi-api (dapat berupa adu argumen, saling ejek/saling menghina)

antara dua orang atau lebih melalui teknologi komunikasi (misalnya situs

jejaring sosial), dan terjadi dalam pengaturan publik (dapat dilihat secara

luas oleh para pengguna situs jejaring sosial yang terhubung dengan yang

terlibat pertengkaran).

2) Harassment atau pelecehan, yaitu cyberbullying yang dilakukan dengan

cara melecehkan. Pelaku berulangkali mengirim pesan yang menghina,

menggangu dan menyakiti korban. Tindakan ini terjadi dalam waktu

yang lama. Pada bentuk ini pelaku terdiri dari satu atau lebih orang yang

mengirimkan ratusan hingga ribuan pesan teks yang melecehkan kepada

satu korban.

3) Denigration atau pencemaran nama baik, yaitu menulis, menyebarkan

informasi yang tidak benar tentang orang lain di facebook dan BBM,

36

meng-upload dan menyebarluaskan foto seseorang yang telah diubah

(edit) sehingga mengandung unsur negatif untuk merusak reputasi

korban.

4) Impersonation atau Penyamaran, yaitu pelaku menyamar dengan menjadi

seseorang yang bukan dirinya, memalsukan identitas ataupun berpura-

pura menjadi korban dengan cara mencuri password untuk bisa

mengakses akun korban untuk melakukan tindakan cyberbullying.

5) Outing & trickery, outing merupakan tindakan mengunggah, mengirim

atau meneruskan komunikasi maupun gambar yang bersifat pribadi, yang

berpotensi memalukan korban. Sedangkan trickery merupakan tindakan

merayu/membujuk seseorang untuk memberikan informasi pribadi

seperti gambar, foto, dan video pribadi.

6) Cyberstalking, yaitu pelaku mengirimkan pesan yang bersifat

mengintimidasi, sangat menghina dan menyinggung serta mengancam

keselamatan korban.

7) Exclusion atau pengucilan yaitu korban sengaja dikucilkan atau

dikeluarkan dari percakapan grup.

Di sisi lain menurut Aftab (dalam Kowalski dkk, 2008) cyberbullying

dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Kedua bentuk cyberbullying ini

dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Cyberbullying tidak langsung, dilakukan dengan menggunakan

penghubung, yaitu ketika pelaku meminta bantuan orang lain untuk

menyakiti korban. Korban bahkan tidak mengetahui bahwa mereka

37

sedang berhadapan dengan pelaku. Cyberbullying yang dilakukan oleh

orang lain sangat berbahaya karena korban tidak mengetahui jika mereka

sedang berhadapan dengan seseorang yang mereka kenal.

Cyberbullying yang dilakukan oleh orang lain terkadang dimulai

dengan pelaku yang menyamar sebagai korban. Para pelaku telah

menyusup ke account korban, mencuri password korban dan membuat

account baru serta berpura-pura menjadi korban. Pelaku menganggap diri

mereka adalah korban dan berusaha menyakiti korban dengan bantuan

orang lain. Cara lain yang biasanya dilakukan adalah ketika pelaku dapat

berteman baik dengan korban, dan berbagi email, password dan

menguasai account korban, pelaku dapat meminta penghubung untuk

mengirim sesuatu yang negatif bagi korban. Pelaku juga dapat meminta

penghubung untuk mengubah password korban sehingga korban tidak

dapat masuk ke dalam account pribadi. Korban tidak mengetahui bahwa

yang mengirim adalah pelaku cyberbullying.

2) Cyberbullying secara langsung, dilakukan dengan cara pelaku mengirim

pesan ataupun mengunggah gambar atau konten untuk menyakiti korban

melalui situs jejaring sosial, email, blog, dan web tanpa penghubung.

b. Bentuk-bentuk Media Cyberbullying

Perilaku cyberbullying merupakan salah satu bentuk dari perilaku bullying

yang dilakukan melalui media teknologi komunikasi (yang saat ini dikenal dengan

sebutan media sosial seperti messanger, skype, email, instan message, facebook,

38

Twitter, instagram, BBM, whatsapp, line dan youtube, ( Parks, 2013; Weber &

Pelfrey, 2014). Berikut penjelasan mengenai bentuk-bentuk media teknologi

komunikasi tersebut menurut Aftab (dalam Kowalski dkk, 2008) yaitu:

1) Instant Message

Instant message merupakan layanan komunikasi yang digunakan individu

untuk membuat ruang chat pribadi dengan orang lain. Instant message

digunakan oleh remaja dalam melakukan cyberbullying. Cyberbullying

yang dilakukan adalah seseorang dapat mengirim pesan yang berisi

ancaman dan mengirimkan foto atau video yang negatif.

2) Email

Email atau surat elektronik merupakan pesan yang dikirim melalui

jaringan internet. Cyberbullying yang terjadi melalui email yaitu pelaku

dapat mengirimkan isi pesan yang tidak baik atau negatif yang mengancam

dan meneror korban.

3) Chat room

Chat room merupakan suatu ruang komunikasi antara dua pengguna

melalui komputer. Aktivitas yang dilakukan dalam chat room adalah

melakukan obrolan. Pengguna dapat memasukan teks dan teks tersebut

akan muncul pada pengguna lainnya atau yang disebut sebagai chatting.

Cyberbullying yang terjadi adalah seseorang dapat dipermalukan oleh

pelaku dengan cara mengirim gambar-gambar dan teks-teks yang negatif

kepada korban.

39

4) Pesan teks

Pesan teks biasanya digunakan melalui telepon seluler. Pesan teks yang

dikirimkan tidak boleh lebih dari beberapa ratus karakter. Individu dapat

mengirimkan isi pesan yang mengancam, meneror, dan memfitnah orang

lain.

5) Situs jejaring sosial

Situs jejaring sosial merupakan layanan berbasis web yang

memungkinkan penggunanya untuk menjalin hubungan sosial dalam

sebuah sistem yang dibatasi. Pengguna dapat membuat profil, melihat list

pengguna yang tersedia, serta mengundang atau menerima teman untuk

bergabung dalam situs tersebut.Tampilan dasar situs jejaring sosial ini

menampilkan halaman profil pengguna, yang terdiri dari identitas diri dan

foto pengguna (Boyd & Ellison, 2008). Bentuk-bentuk situs jejaring sosial

seperti facebook, twitter, myspace, youtube, flickR, instagram, path,

snapchat, BBM, whatsapp, line dan youtube. Pada situs jejaring social,

cyberbullying dilakukan dengan cara meng-upload atau berbagi foto dan

video mengomentari ataupun membuat status yang dengan sengaja

menyinggung perasaan orang lain.

6) Blog

Blog dapat digunakan untuk hal-hal yang positif, namun ada juga yang

menggunakannya untuk cyberbullying. Perilaku cyberbullying yang terjadi

40

adalah seseorang dapat mem-posting kata-kata yang merendahkan dan

memalukan tentang korban di blog.

7) Situs web

Situs web merupakan suatu situs yang banyak digunakan orang untuk

promosikan bisnis, menjual produk, atau mem-posting informasi pribadi.

Cyberbullying yang terjadi yaitu pelaku juga dapat mem-posting

informasi dan gambar-gambar tentang korban, misalkan gambar yang

diambil dari teman sekolah dan diedit menjadi gambar yang berbau

seksual.

Dari penjelasan bentuk-bentuk cyberbullying di atas maka penulis

menggunakan bentuk-bentuk cyberbullying menurut Willard (dalam Kowalsky

dkk, 2008) yaitu, flamming, harassment, denigration, impersonation, outing &

trickery, cyberstalking, dan exclusion. Bentuk-bentuk cyberbullying ini sering

terjadi pada media teknologi komunikasi/media sosial seperti instant message,

Email, chat room, pesan teks, situs jejaring sosial, blog dan situs web (Aftab

dalam Kowalski dkk, 2008). Pada penelitian ini penulis memilih situs jejaring

sosial ( instagram, LINE dan whatsapp) sebagai fokus penelitian dengan alasan

penggunaan situs jejaring sosial paling banyak didominasi oleh remaja

berdasarkan data di Departemen Komunikasi dan Informasi tahun 2014

(Depkominfo), (dalam Juwita, Budimansyah & Nurbayani, 2016). Pemilihan

bentuk media sosial ini juga berdasar pada hasil sebaran angket pada observasi

awal yang menunjukkan media yang paling banyak digunakan oleh remaja adalah

instagram, LINE dan whatsapp.

41

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberbullying

Perilaku cyberbullying disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal dari

dalam diri (internal) maupun luar diri (eksternal) individu yang akan dijelaskan

sebagai berikut ( Kowalski dkk 2008; Patchin & Hinduja 2010; Morgan 2015;

Shariff 2008).

Faktor internal

a. Harga diri

Harga diri seseorang akan mempengaruhi individu dalam

memperlakukan orang lain disekitarnya. Kecenderungan individu untuk

menjadi pelaku cyberbullying dipengaruhi oleh harga diri mereka.

Kowalski, dkk, (2008) mengungkapkan bahwa individu pelaku

cyberbullying memiliki tingkat harga diri yang rendah. Pelaku

menggunakan alat teknologi untuk melakukan cyberbullying untuk

meningkatkan harga diri mereka. Menurut Campfield (2006), individu

melakukan cyberbullying untuk meningkatkan harga dirinya yang

rendah, hal ini merupakan cara individu untuk menutup perasaannya

yang tidak mampu, rendah diri, dan perasaan malu yang ada dalam diri

individu di hadapan teman-teman sebayanya. Penelitian yang dilakukan

oleh Passini, Meloti dan Brighi (2012) juga menunjukkan bahwa

individu yang melakukan perilaku cyberbullying memiliki penilaian diri

yang negatif (harga diri yang rendah) di hadapan teman-temannya.

Individu melakukan cyberbullying untuk menunjukkan kemampuan

individu dalam mengintimidasi korban melalui dunia maya. Seperti

42

pelaku bullying, pelaku cyberbullying memiliki power sehingga lebih

suka menindas individu yang lemah (Olweus dalam Li, Smith & Cross,

2012).

b. Empati

Kemampuan empati pada seseorang berpengaruh dalam interaksi dengan

orang lain. Individu yang memiliki kemampuan empati yang rendah

cenderung melakukan perilaku cyberbullying. Schultze dan Scheithuer

(dalam Kowalski dkk, 2008) mengatakan bahwa rendahnya kemampuan

berempati dapat mendorong seseorang untuk menyakiti korbannya di

dunia maya. Steffgen dan Konig (2009) menambahkan bahwa remaja

yang melakukan perilaku cyberbullying memiliki kemampuan empati

yang rendah terhadap korban. Rendahnya empati membuat pelaku tidak

mampu merasakan rasa sakit yang dialami oleh korban akibat perilaku

cyberbullying (Jolliffe & Farrington, 2011).

c. Pengalaman dengan bullying

Penelitian yang dilakukan oleh Riebel dkk (dalam Patchin & Hinduja,

2010) menunjukkan bahwa ada hubungan antara bullying dalam kehidupan

nyata dan di dunia maya. Hanya 3,96% anak dari keseluruhan sampel yang

melaporkan bahwa mereka melakukan tindakan cyberbullying. Dari 77

pelaku cyberbullying ada sebanyak 63 sampel (81,81%) yang melaporkan

bahwa mereka juga menjadi pelaku bullying dalam kehidupan nyata.

43

d. Kesepian

Menurut Perlman & Peplau (1982) kesepian adalah pengalaman tidak

menyenangkan yang terjadi ketika teterlibatan seseorang dalam hubungan

sosial secara signifikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Persepsi

kuantitas dan kualitas hubungan sosial yang tersedia dalam kehidupan

sehari-hari dapat mempengaruhi keinginan untuk terlibat dalam interaksi

sosial dalam jaringan online (Brewer & Kerslake, 2015). Morahan-Martin

(2005) mengatakan mereka yang merasa kesepian beresiko lebih tinggi

dalam penyalagunaan internet. Mereka yang kesepian lebih mungkin untuk

menemukan kegiatan interaktif sosial di internet yang dianggap begitu

menarik sehingga meningkatkan jumlah waktu interaksi dalam jaringan

online. Menurut Guarrini, passini, Melotti & Brighi (2012) resiko menjadi

pelaku cyberbullying akan meningkat bila remaja merasa kesepian dalam

hubungan dengan orang tua.

e. Regulasi emosi

Kemampuan mengekspresikan emosi yang dilakukan baik secara lisan

maupun tulisan dapat membantu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan

psikologis dan fungsi fisik pada seseorang saat menghadapi peristiwa

traumatik dalam hidupnya dan membantu mengatasi distres psikologis

(Greenberg & Stone dalam Mawardah & Adiyanti, 2014). Individu

dengan regulasi emosi yang baik dapat memberikan penilaian positif

maupun negatif atas segala peristiwa yang dihadapi sesuai dengan

pengetahuan yang dimilikinya dan bagaimana menggunakan

44

pengetahuannya tersebut untuk menghasilkan apa yang menjadi

harapannya (Thompson dalam Mawardah &Adiyanti 2014). Penilaian

positif dapat mengelola emosi secara baik, sehingga terhindar dari

pengaruh-pengaruh emosi negatif yang membuat individu dapat bertindak

diluar harapannya (Guarini, Passini, Melotti & Brighi, 2012).

Faktor eksternal

a. Perlakuan keluarga

Rigby (dalam Campfield, 2006) mengemukakan bahwa pelaku

cyberbullying biasanya berasal dari keluarga yang tidak berfungsi

dengan baik cenderung melakukan bullyng kepada orang lain. Hal ini

disebabkan karena remaja diabaikan dan tidak dianggap oleh

keluarganya. Selain itu, keluarga juga tidak mampu mengembangkan

empati yang tinggi, tidak mengembangkan sikap-sikap positif terhadap

orang lain sehingga yang cenderung dikembangkan adalah sikap negatif

saat berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, pelaku cyberbullying juga

berasal dari keluarga atau orang tua yang otoriter. Pemberian hukuman

secara agresif kepada anak mengakibatkan anak meniru perilaku tersebut

dan memprakteknnya kepada teman sebayanya (Dilmac & Aydogan,

2010).

b. Konformitas

Remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan, banyak dipengaruhi oleh

lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan teman-teman di

45

sekolah maupun luar sekolah. Seiring berkembangnya anak-anak menjadi

remaja, kelompok teman sebaya memiliki dampak yang lebih besar dalam

membentuk sikap dan perilaku anak (Hinduja & Patchin, 2010). Selain

itu, terdapat suatu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa dampak dari

konformitas oleh teman sebaya nampaknya memiliki pengaruh lebih

besar terhadap kecenderungan perilaku yang dipilih seorang remaja

dibandingkan dengan dasar kecenderungan kenakalan yang memang

dimiliki oleh remaja itu sendiri, (Warr & Stafford dalam Hinduja &

Patchin, 2013). Hal inilah yang kemudian membawa adanya potensi

melakukan cyberbullying karena konformitas dari lingkungan pergaulan

dan kelompok teman sebaya yang dimiliki para remaja yang cenderung

melakukan cyberbullying.

c. Iklim di sekolah

William & Guerra (2007) menemukan bahwa orang yang menganggap diri

mereka bagian dari sekolah memandang suasana di sekolah sebagai bentuk

kepercayaan, adil, dan penuh kegiatan menyenangkan. Iklim sekolah tidak

ramah dapat membuat frustasi dan ketidaknyamanan diantara beberapa

siswa, sehingga siswa dapat bertindak agresif melalui perilaku

cyberbullying, iklim sekolah yang negatif dapat meningkatkan kerentanan

terhadap korban online .

d. Perkembangan dan penggunaan teknologi komunikasi

Remaja saat ini tumbuh di tengah evolusi teknologi, alat-alat komunikasi

seperti internet dan ponsel adalah hal yang penting bagi kehidupan sosial

46

remaja saat ini ( Kowalski, Limber Agatson, 2008). Internet telah menjadi

platform baru dalam interaksi sosial remaja dengan teman sebayanya

(Ang, 2015), karena hal tersebut memberikan mereka kesempatan untuk

tetap terhubung dengan teman-temannya meskipun tidak bertemu secara

langsung (Weber & Pelfrey, 2014) namun interaksi online yang terlalu

sering dianggap sebagai faktor resiko munculnya perilaku cyberbullying

(Sticca, Ruggieri, Alsaker, Perren, 2013). Frekuensi penggunaan internet,

telepon seluler, situs jejaring sosial dan chat rooms ternyata berkorelasi

positif dengan keterlibatan menjadi pelaku dan korban cyberbullying

(Erdur-Baker,2010; Sengupta & Chaudhuri,2011). Remaja cenderung

menggunakan internet secara interaktif dan lebih kompleks. Dari waktu ke

waktu, internet telah digunakan remaja untuk tujuan menghina,

mengancam dan memalukan orang lain(Sahin, Sari & Safak, 2010) .

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa banyak

faktor yang dapat melatarbelakangi individu untuk melakukan perilaku

cyberbullying, tetapi secara umum dapat dikelompokan menjadi dua faktor yaitu

faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi harga diri, empati,

pengalaman dengan bullying, kesepian dan regulasi emosi. Sedangkan faktor

eksternal meliputi perlakuan keluarga, konformitas, iklim sekolah serta

perkembangan dan penggunaan teknologi komunikasi.

Dari faktor-faktor tersebut peneliti memilih faktor harga diri sebagai

variabel bebas dalam penelitian ini. Pemilihan faktor harga diri dengan alasan

sebagaimana dijelaskan berikut ini. Masa remaja adalah saat dimana

47

pengembangan identitas sangat penting (Calvert, 2002). Selama periode ini,

proses pembentukan identitas sebagian besar bergantung pada isyarat dari

lingkungan sosial (yaitu stereotip masyarakat). Remaja cenderung mencari

perilaku dan situasi yang membantu mereka menghargai diri mereka secara positif

dan menghindari orang-orang yang membuat mereka memandang dirinya secara

negatif. Cara seseorang menghargai atau memandang dirinya secara positif atau

negatif dikenal dengan harga diri (Coopersmith, 1967). Leary dan Downs (dalam

Serber, 2012) menganggap harga diri sebagai representasi internal penerimaan

dan penolakan sosial dan alat pengukur psikologis yang memantau sejauh mana

seseorang diterima atau diabaikan oleh orang lain. Penerimaan ataupun penolakan

remaja terhadap diri sendiri berperan penting dalam mengarahkan pertumbuhan

perilakunya (Twenge & Campbell, 2001).

Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki penerimaan diri dan

penghormatan diri yang cukup. Adanya penerimaan dan penghormatan diri

menjadikan individu merasa mampu pada beberapa tugas di sekolahnya, dapat

merasa nyaman dengan teman- temannya serta bangga dengan diri sendiri, merasa

dapat diterima keluarganya dan dapat menerima keadaan fisik apa adanya.

Penerimaan dan penghormatan diri mengakibatkan individu merasa senang dan

bangga dengan keadaan diri sehingga secara emosinal dirinya tidak mudah marah

dan individu mampu membina dan menjaga hubungan baik dengan sesama, tidak

melukai perasaan orang lain, sehingga individu dapat terhindar dari hal-hal yang

mencerminkan perilaku cyberbullying. Sementara individu yang memiliki harga

diri rendah cenderung memandang dirinya sebagai orang yang tidak berharga.

48

Rasa tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak

memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan

keadaan fisiknya. Harga diri yang negatif ini dapat membuat individu merasa

tidak mampu menjalin hubungan dengan temannya sehingga dirinya menjadi

mudah tersinggung dan marah dan dapat berakibat pada perbuatan negatif dan

tidak menyenangkan seperti perilaku cyberbullying (Serber, 2012). Alasan

pemilihan faktor harga diri juga diperkuat dengan beberapa hasil penelitian

sebelumnya yang menemukan harga diri berpengaruh dengan perilaku bullying

maupun cyberbullying (Nansel, Overpeck, Pilla, Ruan, Simons-Morton, &

Scheidt, 2001; Haynie, Nansel, Eitel, Crump,Saylor, & Yu, 2001; Kowalski, dkk,

2008). Pelaku yang melakukan tindakan cyberbullying akan mempunyai penilaian

yang positif terhadap diri sendiri (harga diri tinggi) di hadapan teman-temannya

(Kowalski, dkk, 2008; Guarrini, Passini, Meloti dan Brighi 2012).

Faktor lain yang dipilih peneliti sebagai variabel bebas dalam penelitian ini

adalah empati. Empati berperan penting dalam interaksi dan komunikasi sosial

untuk membentuk dan memelihara hubungan emosional yang berarti (Hoffman

2003). Menurut Davis (dalam Howe, 2015) empati membuat individu menjadi

lebih baik budi, perhatian, peduli dan penyayang. Howe menambahkan kurangnya

kemampuan berempati dapat menimbulkan masalah-masalah perilaku seperti

kekerasan dan juga agresi dalam hubungan sosial. Olweus (dalam Kowalski, dkk

2008) mengatakan salah satu ciri dari pelaku cyberbullying adalah kemampuan

empati yang rendah.

49

Berdasarkan penjelasan di atas penulis memilih faktor harga diri dan empati

sebagai variabel yang diteliti dalam penelitian ini. Alasan peneliti memilih kedua

faktor ini adalah peneliti ingin melihat dan menguji asumsi, sejauh mana faktor

internal (harga diri dan empati) dapat mempengaruhi perilaku cyberbullying pada

remaja.

B. Harga Diri

1. Pengertian Harga Diri

Harga diri merupakan evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap

dirinya sendiri. Evaluasi ini menghasilkan penghargaan individu terhadap diri

sendiri. Penghargaan diri sendiri ditunjukkan dengan sikap menerima atau

menolak diri sendiri. Jika individu menerima diri sendiri akan menganggap

dirinya mampu, penting, berhasil dan berharga. Hal ini menandakan individu

mempunyai harga diri yang tinggi. Sebaliknya jika individu menganggap dirinya

tidak memiliki kemampuan, kurang menarik, tidak disukai oleh orang lain dan

tidak yakin dengan kemampuan untuk mencapai suatu keberhasilan, maka

individu tersebut mempunyai harga diri yang rendah ( Coopersmith, 1967).

Vaughan dan Hoog (dalam Fitria & Aulia, 2016) menambahkan bahwa

harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya sendiri. Penilaian tersebut

menentukan perasaan berharga atau tidak berharga lndividu tentang dirinya

sendiri. Baumeister dan Bushman (dalam Wijayanti & Christiana, 2016)

mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dilakukan oleh seseorang

mengenai dirinya sendiri. Individu dengan harga diri yang tinggi, mengartikan diri

50

mereka sebagai orang yang memiliki kemampuan, menyenangkan, menarik,

memiliki moral yang baik, dan sering mengambil kesempatan untuk mencoba

sesuatu yang baru karena mereka yakin bahwa mereka mampu untuk berhasil.

Sementara individu yang memiliki harga diri yang rendah, menganggap diri

mereka sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan, kurang menarik, tidak

disukai oleh orang lain, memiliki moral yang kurang baik dan tidak memiliki

keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapai suatu

keberhasilan. Sejalan dengan pendapat di atas, Brehm & Kassin (dalam Morgan,

2015) mengatakan seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung

tidak begitu menginginkan penghargaan sosial karena mereka merasa kurang

membutuhkannya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri rendah merasa

sangat membutuhkan penghargaan positif dari orang lain dan akan merasa bahagia

jika mendapatkannya.

Branden (dalam Patchin & Hinduja, 2010) mendefinisikan harga diri

sebagai kepercayan diri individu, bahwa dirinya memiliki kemampuan dan

keyakinan akan diri sendiri, bahwa dirinya berharga. Individu akan menghargai

dirinya jika individu mampu menerima dirinya sendiri. Lebih lanjut Branden

mengatakan bahwa harga diri merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling

kuat dan sebagai kunci penting dalam perkembangan perilaku individu, karena

berpengaruh pada proses berpikir individu, tingkat emosi, keputusan yang diambil

dan tujuan hidup seseorang. Plummer (dalam Wijayanti & Christiana, 2016) harga

diri adalah tentang nilai yang seseorang letakkan pada diri dan kemampuannya.

51

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendapat Coopersmith untuk

mendefinisikan harga diri yaitu evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap

dirinya sendiri yang berkaitan dengan penghargaan terhadap diri sendiri, hal ini

ditunjukkan dengan sikap menerima atau menolak diri sendiri dan

mengindikasikan sejauh mana individu meyakini dirinya mampu, penting,

berhasil dan berharga.

2. Aspek-aspek Harga Diri

Aspek-aspek harga diri menurut Coorpersmith (1967) terdiri atas empat

aspek yaitu, keberartian (significance), kekuasaan (power), kompetensi

(competence), dan kebajikan (virtue). Berikut penjelasan tentang aspek-aspek

tersebut.

a. Keberartian (Significance)

Keberartian merupakan penilaian seseorang tentang keberartian dirinya.

Hal ini berhubungan dengan menerima, memberi perhatian dan cinta dari

dan untuk orang lain. Penerimaan (acceptance) dan popularitas

(popularity) merupakan dua hal yang menunjukkan bahwa pada

umumnya individu diterima dan dihargai, sementara penolakan

(rejection) dan isolasi (isolation) menunjukkan bahwa pada umumnya

individu tidak diterima dan tidak dihargai oleh orang-orang di sekitarnya.

Keberartian juga ditandai dengan penerimaan orang tua terhadap anak.

Penerimaan yang diberikan memiliki pengaruh kepada perasaan harga

diri anak menjadi kunci untuk dapat memberikan perhatian dan cinta

52

kepada orang lain. Pribadi yang mempunyai harga diri tinggi, tidak

hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, tetapi membuat

kehadirannya berguna bagi orang lain.

b. Kekuasaan (Power)

Kekuasaan (power) merupakan penilaian seseorang terhadap

kemampuan untuk mempengaruhi tindakannya dan mengontrol

perilakunya dan perilaku orang lain. Murk (2006) mengemukakan bahwa

Coopersmith dan Epstein menggunakan istilah “power” untuk

menggambarkan bahwa individu memiliki penilaian yang positif tentang

dirinya sendiri bahwa dia mampu mengelola dan mempengaruhi orang

lain. Individu mampu mengatasi situasi tertentu dengan memberikan atau

menunjukkan sikap positif yang dapat diterima dan diikuti oleh orang

lain.

c. Kompetensi (Competence)

Kompetensi merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan

dirinya, yang ditandai dengan prestasi-prestasi yang dicapai dan perfoma

kinerja yang tinggi sesuai dengan usia masing-masing, misalnya anak

laki-laki pra remaja berasumsi bahwa prestasi akademis dan atletik

merupakan dua bidang prestasi yang harus dicapai. Prestasi-prestasi yang

dicapai mendorong individu untuk mengambil peran yang lebih aktif dan

kompetitif dalam lingkungannya.

53

d. Kebajikan (Virtue)

Kebajikan merupakan penilaian seseorang tentang kemampuan dirinya

untuk taat terhadap nilai-nilai moral, etika dan prinsip-prinsip religius

dalam lingkungan. Individu dengan harga diri yang positif akan

menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika dan religiusitas yang ada dalam

masyarakat.

Menurut Heatherton dan Wyland (Serber, 2012) ada tiga aspek dari harga

diri yaitu:

a. Performasi (performance self esteem)

Performasi yaitu penilaian seseorang terhadap kompetensi secara umum

yang dimilikinya, meliputi kemampuan intelektual, kinerja sekolah,

kapasitas pengaturan diri, kepercayaan diri. Individu yang memiliki harga

diri tinggi percaya bahwa dirinya merupakan orang yang cerdas.

b. Sosial (social self esteem)

Sosial merupakan persepsi individu tentang penerimaan orang lain

terhadap dirinya. Individu yang memiliki harga diri social yang tinggi

memiliki keyakinan bahwa mereka adalah orang yang berharga, dihargai

dan diterima oleh orang lain. Sementara individu yang harga diri

sosialnya rendah sering mengalami kecemasan sosial, yaitu kecemasan

akan penilaian orang lain terhadap mereka.

54

c. Fisik (physical self esteem)

Penilaian individu saat melihat tubuh atau bentuk fisik mereka, termasuk

daya tarik fisik, citra tubuh, perasaan mengenai ras dan etnis.

Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada teori Coopersmith dalam

menentukan aspek-aspek harga diri, yaitu: significance (kemampuan dalam

penerimaan diri, memberi perhatian dan cinta kepada orang lain), power

(kemampuan yang dimiliki untuk mengendalikan atau mempengaruhi orang lain),

dan competence (kemampuan untuk berhasil sesuai dengan tujuan yang dimiliki),

virtue (ketaatan terhadap etika, moral dan nilai religiusitas dalam masyarakat).

Adapun alasan peneliti memilih aspek tersebut, karena penjelasannya lengkap,

dan dapat digunakan untuk mengungkapkan variabel harga diri.

C. Empati

1. Pengertian Empati

Menurut Hurlock (1999) empati merupakan kemampuan seseorang untuk

memahami perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk

membayangkan diri sendiri di tempat orang lain dan mampu menghayati

pengalaman orang tersebut. Hal ini sependapat dengan Dayakisni dan Hudaniah

(2009) yang mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk ikut

merasakan perasaan atau pengalaman orang lain.

Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam memahami,

menerima dan mengerti pikiran maupun perasaan orang lain yang menghasilkan

perasaan toleransi, menghargai perasaan orang lain, mengendalikan diri, ramah,

55

dan humanis (Sari, Ramdhani & Eliza, 2003). Menurut Hoffman (2003), Empati

merupakan kemampuan untuk ikut merasakan emosi yang dirasakan orang lain

dan menunjukkan kasih sayang serta mampu terlibat dalam perasaan emosional

tersebut, namun tidak membuat individu menyatu dengan perasaan emosional

yang dialami oleh orang tersebut, misalnya seseorang akan bersedih ketika

melihat temannya berada dalam suasana dukacita. Kemampuan berempati ini

muncul ketika individu memasuki masa akhir kanak-kanak awal, dengan

demikian dapat dikatakan bahwa semua individu memiliki dasar kemampuan

untuk dapat berempati, hanya saja berbeda tingkat kedalaman dan cara

mengaktualisasikannya (Hurlock, 1999). Empati seharusnya sudah dimiliki oleh

remaja, karena kemampuan berempati sudah mulai muncul pada masa kanak-

kanak awal.

Johnson dkk (dalam Sari, Ramdhani & Eliza, 2003) mengemukakan bahwa

empati adalah kemampuan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang

lain. Lebih lanjut Johnson menambahkan seorang yang berempati digambarkan

sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai

pengaruh, serta bersifat humanistik.

Wiggins (dalam Juliwati dan Suharnan, 2014) berpendapat bahwa empati

merupakan kemampuan untuk merasakan persepsi lain, yaitu memandang dan

merasakan sesuatu seperti cara orang lain memandang dan merasakan. Decety &

Jackson (dalam Ramdhani, 2016) menambahkan empati memfasilitasi terjadinya

proses berbagi dan mengkomunikasikan rasa yang dialami oleh seseorang,

56

sehingga terjadi proses asimilasi terhadap rasa sedih yang dialami tersebut

menjadi bagian dari perasaannya.

Brehm dan Kassin (dalam Del Rey dkk, 2015), mengemukakan bahwa

empati merupakan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan individu untuk

meningkatkan perilaku positif kepada orang lain. Borba (dalam Postorino, 2014)

mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk memahami perasaan

dan kekhawatiran orang lain. Bavolek (dalam Ehman, 2014) menambahkan

empati merupakan emosi yang mengusik hati seseorang ketika melihat kesusahan

orang lain. Hal ini membuat seseorang dapat menunjukkan toleransi, kasih

sayang, memahami kebutuhan orang lain dan membantu orang lain yang sedang

berada dalam kesulitan. Empati merupakan suatu respon empatik guna

memposisikan diri pada posisi orang lain, apa yang dirasakan oleh orang tersebut,

sehingga respon yang diberikan tidak hanya sekedar merasakan secara emosional

tetapi juga mampu memberikan motivasi pada orang tersebut.

Dari penjelasan para ahli diatas maka pengertian empati dalam penelitian ini

merujuk pada pendapat Hurlock yaitu kemampuan seseorang untuk memahami

perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri

sendiri di tempat orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang tersebut.

2. Aspek-aspek Empati

Aspek-aspek empati yang dikemukakan oleh Davis (1983) meliputi dua

aspek yaitu, aspek kognitif dan aspek afektif. Berikut pembahasan aspek-aspek

tersebut.

57

a. Aspek kognitif

Aspek kognitif yaitu kemampuan individu untuk memahami perspektif

orang lain. Pada aspek kognitif ini individu mampu membedakan emosi-

emosi orang lain dan menerima pandangan orang tersebut. Davis

menjabarkan aspek kognitif menjadi dua aspek yang lebih spesifik yaitu :

1) Kemampuan memposisikan diri dalam perspektif orang lain

(perspective taking), merupakan kemampuan individu untuk

merasakan apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain serta

mampu menempatkan diri pada apa yang dirasakan oleh orang

tersebut. Piaget (dalam Postorino, 2014) menjelaskan bahwa

perspective taking berarti bahwa seseorang dapat memposisikan

dirinya pada tempat orang lain, yaitu individu dapat memahami sudut

pandang, cara berpikir dan perasaan orang lain. Penekanan penting

dalam kemampuan ini adalah kemampuan untuk berperilaku non

egosentris, yaitu perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan

diri tetapi berorientasi juga kepada kepentingan orang lain.

2) Fantasi (fantasy), yaitu merupakan hasil imajinasi seseorang. Individu

dapat mengubah diri mereka secara imijinatif dalam mengalami

perasaan dan tindakan dari karakter-karakter fiktif yang terdapat

dalam buku-buku, film, atau drama yang dilihatnya (Davis, 1983).

58

b. Aspek afektif

Aspek afektif yaitu kemampuan individu untuk mengalami perasaan

emosional orang lain. Aspek afektif tediri atas dua bagian yaitu:

1) Kemampuan untuk fokus dalam empati (emphatic concern),

merupakan kepedulian empati yang mengacu pada respon emosional

yang dialami individu dalam menyaksikan perasaan sakit yang dialami

orang lain (Davis, 1983). Brehm dan Kassin (dalam Del Rey dkk,

2015) juga menambahkan bahwa empathic concern merupakan

perasaan kasihan, kehalusan budi, simpati, dan peduli terhadap orang

lain yang mengalami kesusahan. Individu yang memiliki empathic

concern tinggi pada umumnya memiliki kepuasaan ketika dapat

menolong orang lain dan memiliki keinginan untuk mengurangi

tekanan yang dialami oleh orang lain.

2) Tekanan personal (personal distress), merupakan perasaan cemas dan

perasaan gelisah yang dialami individu dalam situasi interpesonal.

Reaksi individu atas penderitaan yang dialami oleh orang lain, yaitu

perasaan terkejut, takut, cemas, dan tidak berdaya Davis (1983).

Batson & Coke (dalam Asih dan Pratiwi, 2010), menyatakan bahwa empati

mempunyai aspek-aspek sebagai berikut:

a. Kehangatan

Kehangatan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk

bersikap hangat terhadap orang lain.

59

b. Kelembutan

Kelembutan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk

bersikap maupun bertutur kata dengan lemah lembut terhadap orang lain

c. Peduli

Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk memberikan

perhatian terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya.

d. Kasihan

Kasihan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap

iba atau belas kasih terhadap orang lain.

Dari beberapa aspek kemampuan empati yang telah dijelaskan di atas dapat

disimpulkan bahwa menurut Davis (1983) aspek kognitif yang terbagi atas

kemampuan memposisikan diri dalam perspektif orang lain (perspective taking),

fantasi dan aspek afektif yang terbagi atas kemampuan untuk fokus dalam empati

(emphatic concern), tekanan personal (personal distress) dan menurut Batson &

Coke (dalam Asih & Pratiwi 2010) aspek-aspek kemampuan empati adalah

kehangatan, kelembutan, peduli dan kasihan.

Berdasarkan penjelasan aspek-aspek kemampuan empati di atas penulis

memilih aspek yang dikemukakan oleh Davis yaitu aspek kognitif yang terbagi

atas kemampuan memposisikan diri dalam perspektif orang lain (perspective

taking), fantasi dan aspek afektif yang terbagi atas kemampuan untuk fokus dalam

empati (emphatic concern), tekanan personal (personal distress). Alasan penulis

memilih aspek tersebut, karena pendapat Davis ini mencakup aspek-aspek empati

60

secara keseluruhan, mudah dipahami oleh peneliti dan dapat digunakan untuk

mengungkapkan variabel empati.

D. Hubungan antara Harga Diri dan Empati dengan Perilaku Cyberbullying

pada Remaja

Sikap terhadap diri sendiri adalah cerminan bagaimana sikap seseorang

terhadap orang lain. Pengetahuan tentang sikap baik atau buruk terhadap diri

sendiri dilakukan dengan mengevaluasi diri sendiri. Evaluasi terhadap diri dikenal

dengan harga diri. Evaluasi ini merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya

sendiri mulai dari rentang negatif sampai positif. Jika penilaian terhadap diri

sendiri positif maka individu mempunyai harga diri yang tinggi, sebaliknya jika

penilaian terhadap diri sendiri negatif maka harga diri rendah.

Individu dengan harga diri tinggi akan memenuhi aspek-aspek sebagaimana

dinyatakan oleh Coopersmith (1967), yakni power, significance, virtue dan

competence. Dengan harga diri tinggi, individu akan memandang dirinya secara

positif, percaya diri, menghargai dan menghormati dirinya dan juga orang lain

karena ia menyadari bahwa ia mempunyai potensi positif yang berharga (Serber,

2012).

Selain harga diri, empati juga berpengaruh terhadap perilaku cyberbullying.

Individu dikatakan mempunyai empati yang tinggi apabila memenuhi aspek

kognitif dan afektif seperti yang dikatakan oleh Davis (1983). Empati

berpengaruh dalam hubungan interpersonal dengan orang lain. Dengan empati

61

individu dapat menghargai dan menerima pandangan orang lain, lebih baik budi,

peduli, serta mampu mengendalikan emosi dengan baik.

Remaja dengan harga diri tinggi dengan terpenuhinya keempat aspek

menurut Coopersmith (1967) dalam dirinya serta memiliki empati yang tinggi

dengan aspek kognitif dan afektif yang sesuai dengan pendapat Davis (dalam

1983) adalah pribadi-pribadi yang baik budi, perhatian dan bijak, mampu

mengelola emosi dengan baik, tidak egois serta memandang sesuatu dari sudut

pandang orang lain dan percaya diri.

Flamming, harassment, denigration terjadi karena pelaku mempunyai harga

diri rendah, pelaku merasa kurang berarti karena mengalami penolakan dari

lingkungan. Pelaku cyberbullying berusaha melakukan tindakan-tindakan negatif

seperti pelecehan, penghinaan, adu argumen, saling ejek dan menghina,

pencemaran nama baik dan tindakan cyberbullying lainnya untuk menutupi rasa

rendah diri yang dimiliki, serta untuk meningkatkan harga diri di depan teman-

temannya. Selain itu, dari segi kemampuan berempati secara kognitif kemampuan

pelaku dalam memposisikan dirinya kurang tepat karena menganggap semua

orang seperti dirinya sehingga pelaku kurang bisa menempatkan dirinya pada

posisi orang lain. Dari segi kemampuan berempati secara afektif pelaku kurang

mampu untuk merasakan apa yang dirasakan dan dibutuhkan orang lain, pelaku

hanya fokus pada kepuasan dan kebutuhan diri sendiri, tidak mau mendengarkan

dan menerima pandangan orang lain (Serber 2012; Postorino 2014).

Remaja dengan kemampuan empati yang rendah tidak peduli dengan

penderitaan dan kesulitan yang dialami orang lain, sehingga ketika melakukan

62

tindakan impersonation, outing, trickery, cyberstalking dan exclusion pelaku

tidak mempunyai belas kasih terhadap korban. Tindakan cyberbullying terjadi

melalui media elektronik sehingga pelaku tidak perlu bertemu secara langsung

dengan korban. Hal ini membuat pelaku tidak melihat secara langsung respon dari

korban (rasa takut, cemas, dan gelisah). Kemungkinan ini membuat pelaku

dengan gamblang menyakiti korban secara terus-menerus tanpa mempedulikan

dampak negatif yang akan diterima korban. Selain itu, ketaatan pada nilai-nilai

sosial dan norma agama mendorong individu untuk berlaku sesuai dengan nilai

sosial dan norma agama yang berlaku seperti menghargai dan menghormati orang

lain. Ketaatan pada nilai sosial dan norma agama mendorong remaja untuk

melakukan tindakan terpuji dan menghindarkan remaja dari perbuatan-perbuatan

negatif dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya (Serber 2012; Postorino

2014).

Penjelasan di atas diperkuat dengan hasil penelitian dari Brewer & Kerslake

(2015) yang mengatakan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara harga

diri dan empati dengan perilaku cyberbullying yang dilakukan oleh remaja.

Artinya jika remaja dengan harga diri dan empati yang rendah, maka perilaku

cyberbullying yang dilakukan tinggi. Sebaliknya remaja dengan harga diri dan

empati yang tinggi, maka perilaku cyberbullying yang dilakukan rendah.

63

E. Hubungan antara Harga Diri dengan Perilaku Cyberbullying pada

Remaja

Istilah harga diri (self esteem) menandakan bagaimana seseorang

mengevaluasi dirinya. Evaluasi ini akan memperlihatkan bagaimana penilaian

individu tentang penghargaan terhadap dirinya, percaya bahwa dirinya memiliki

kemampuan, adanya pengakuan (penerimaan) atau tidak (Coopersmith,1967).

Individu dengan harga diri tinggi akan yakin dengan kemampuan yang dimiliki,

merasa berharga dan diterima, bermanfaat bagi orang lain dan punya pengalaman

dalam keberhasilan.

Tinggi atau rendahnya tingkat harga diri seseorang dipengaruhi dari

interaksi individu dengan lingkungan dan sejumlah penghargaan, penerimaan dan

pengertian orang lain terhadap dirinya. Penerimaan, perhatian dan kasih sayang

yang diterima individu dari orang-orang di sekitarnya membuat individu merasa

diterima dan punya keberartian di lingkungannya sehingga individu mempunyai

harga diri yang tinggi. Sebaliknya jika individu mengalami penolakan dari

lingkungan akan membuat individu menganggap dirinya tidak berarti bagi dirinya

sendiri maupun bagi orang lain yang menandakan bahwa individu tersebut

mempunyai harga diri yang rendah (Wijayanti dan Christiana, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Anderson & Carnagey (dalam Fitria &

Aulia, 2016) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki harga diri rendah akan

memandang dirinya tidak berharga, yang tercermin pada rasa tidak berguna, tidak

memiliki kemampuan dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan

fisik. Hal ini membuat individu merasa tidak mampu menjalin hubungan dengan

64

temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung dan marah akibatnya

individu akan melakukan kekerasan atau perilaku yang menyakiti temannya

seperti bullying yang merupakan bentuk dari perilaku agresif. Menurut Riauskina,

Djuwita, dan Soesetio (2001) cyberbullying merupakan salah satu bentuk

dari bullying. Ybarra & Mitchell (2004) mengatakan bahwa pelaku cyberbullying

adalah orang-orang yang cenderung agresif.

Tingkat harga diri yang tinggi yang dimiliki seseorang tidak terlepas dari

aspek-aspek yang menjadi sumber pembentuk harga diri seseorang yaitu

significance, power, virtue dan competence. Individu dengan harga diri tinggi

sadar bahwa ia significance, akan mampu menerima diri serta memberikan

perhatian dan kasih sayang pada orang lain (Coopersmith 1967). penerimaan diri

adalah modal penting bagi remaja untuk bisa memberi perhatian dan kasih sayang

pada sesama, walaupun sulit karena usia remaja yang sedang mengalami fluktuasi

diri (Santrock, 2012).

Menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri terjadi melalui proses dan

didukung oleh dukungan dari orang-orang sekitarnya. Individu yang significance

adalah pribadi yang telah nyaman dengan dirinya sendiri dengan segala

kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya (Coopersmith 1967). Penerimaan

kekurangan dan kelebihan diri sendiri mendorong individu untuk menjadi pribadi

yang bisa menghargai dan menerima kekurangan dan kelebihan orang lain

sehingga individu akan menghindari tindakan cyberbullying seperti beradu

argumen, saling menghina dan saling ejek (flamming) melalui teknologi

komunikasi. Flamming bisa terjadi karena pelaku cyberbullying dengan sengaja

65

melakukan adu argumen terhadap korban. Hal ini dilakukan pelaku cyberbullying

untuk mencari sensasi karena pelaku merasa kurang berarti akibat rejection dan

isolation yang diterima pelaku dari lingkungannya. Saling menghina yang

dilakukan pelaku terhadap korban merupakan cara pelaku untuk menonjolkan diri

dan mencari penerimaan dan pengakuan dari orang lain. Individu yang

significance tidak perlu melakukan sensasi untuk mendapat pengakuan dan

penerimaan (Serber, 2012).

Aspek kekuasaan (power) memungkinkan individu untuk mampu

mengendalikan atau mempengaruhi diri sendiri dan orang lain secara positif.

Dalam hal ini individu mampu untuk mengontrol dan mengendalikan diri dari

perilaku negatif terhadap orang lain (Coopersmith 1967). Dalam kaitannya dengan

perilaku cyberbullying, individu mampu menahan diri untuk tidak melakukan

tindakan cyberbullying seperti, menulis, menyebarkan informasi yang tidak benar

tentang korban untuk merusak reputasi korban (denigration). Informasi yang

disebarkan dapat berupa pesan atapun gambar korban yang telah diedit sehingga

mengandung makna negatif. Tindakan cyberbullying lainnya yang dilakukan

karena aspek power yang rendah adalah outing yaitu tindakan yang berpotensi

mempermalukan korban dengan cara memposting, mengirim atau meneruskan

konten-konten (komunikasi, gambar, video) yang bersifat sangat pribadi/rahasia

milik korban. Denigration dan outing dilakukan karena pelaku tidak mampu

mengendalikan diri dari tindakan-tindakan negatif. Pelaku cyberbullying

menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan intimidasi dunia maya

agar menunjukkan power serta untuk menyatakan bahwa dirinya mampu untuk

66

menindas orang lain. Hal ini berpengaruh untuk meningkatkan harga diri pelaku

yang rendah di antara teman-temannya (Kowalski dkk, 2008; Serber, 2012).

Aspek kompetensi memungkinkan individu untuk merencanakan dan

melaksanakan tujuan-tujuan hidupnya dengan baik (Coopersmith, 1967). Individu

dengan aspek competence yang baik mampu untuk bersaing dengan sehat,

menjunjung kejujuran, bertanggung jawab serta menunjukkan performa yang

tinggi dalam setiap usaha dan kerja. Individu dengan aspek kompetensi yang baik

akan memusatkan perhatian pada hal-hal yang dapat menunjang prestasi dan cita-

citanya dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang dimiliki secara positif

misalnya media internet digunakan untuk untuk mengakses informasi yang

bermanfaat dalam menunjang pencapaian cita-cita, mengembangkan kreativitas

individu secara positif dalam bidang teknologi yang memberi manfaat positif bagi

diri sendiri maupun orang lain, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan hal-hal

negatif seperti tindakan cyberbullying misalnya membujuk seseorang untuk

membagikan informasi pribadinya (trickery) atau menguntit orang lain di dunia

maya melalui media sosial (cyberstalking). Tindakan-tindakan cyberbullying

seperti trickery dan cyberstalking terjadi karena pelaku lebih fokus pada hal-hal

negatif daripada pada hal-hal positif dari perkembangan teknologi komunikasi.

Isolation dan rejection yang dialami pelaku dalam kehidupan nyata membuat

pelaku berusaha untuk mendapatkan penerimaan dan menutupi rasa malu dan

rendah diri melalui dunia maya dengan cara-cara yang negatif seperti perilaku

cyberbullying (Serber, 2012).

67

Aspek kebajikan (virtue) memungkinkan individu untuk berperilaku sesuai

dengan etika, moral dan prinsip-prinsip agama (Coopersmith 1967). Taat pada

nilai-nilai sosial dan norma-norma agama membantu individu menjadi pribadi

yang lebih dewasa secara sosial. Etika, norma sosial dan nilai-nilai keagamaan

juga menjadi semacam rambu-rambu yang bisa memberi arah dalam kehidupan

bersosial, membantunya untuk memahami orang lain sebagai sesama yang layak

dihargai dan dihormati.

Ketaatan pada nilai-nilai sosial dan norma-norma agama mendorong

individu tidak melakukan perilaku cyberbullying seperti membajak akun korban

kemudian mengunggah konten-konten negatif (impersonation), mengucilkan

teman di media sosial (exclusion). Tetapi, pengabaian terhadap nilai-nilai sosial

dan norma-norma agama ini membuat individu tidak mampu untuk menampilkan

sikap diri yang positif seperti menghargai dan menghormati sesama. Pengabaian

terhadap nilai-nilai sosial dan norma-norma agama mendorong individu

cenderung memperlihatkan sikap diri yang negatif terhadap orang lain. Selain itu

perasaan rendah diri dan malu membuat perilaku cyberbullying dengan

penyamaran membuat pelaku nyaman karena tidak harus bertemu langsung

dengan korban. Pelaku dapat menyembunyikan identitasnya sehingga dengan

mudah menyakiti korban tanpa diketahui (Serber, 2012).

Dari penjelasan di atas mengenai ke empat aspek harga diri maka individu

dengan harga diri tinggi akan mempunyai kemampuan dalam hal penerimaan diri

yang baik, mampu mengontrol dan mengendalikan sikap dan perilaku terhadap

orang lain, memusatkan kompetensi yang dimiliki untuk mencapai hal-hal yang

68

positif, dan menjadikan prinsip-prinsip agama, etika dan moral sebagai rambu-

rambu dalam kehidupan sosial sehingga individu tidak perlu lagi melakukan

tindakan-tindakan cyberbullying yang merugikan orang lain seperti : mengirimkan

pesan yang menghina, melecehkan dan menyakiti orang lain, menyebarluaskan

gambar atau informasi yang tidak benar, memberi komentar-komentar negatif

yang dapat menyulut pertengkaran, ataupun mengirimkan pesan yang sifatnya

mengintimidasi, sangat menghina serta mengancam keselamatan orang lain hanya

untuk mendapat pengakuan dan penerimaan dari orang-orang di sekelilingnya

(Kowalski, dkk 2008). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Guarrini, Passini,

Meloti & Brighi (2012) yang menunjukkan bahwa pelaku cyberbullying

melakukan tindakan intimidasi di dunia maya agar mendapat pengakuan dari

teman-temannya bahwa dirinya hebat dan lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara

harga diri dengan perilaku cyberbullying pada remaja berdasarkan beberapa

penelitian diantaranya hasil penelitian Patchin & Hinduja (2012) menunjukkan

bahwa individu yang terlibat cyberbullying mempunyai tingkat harga diri yang

rendah dibandingkan dengan individu yang tidak pernah terlibat dalam perilaku

cyberbullying. Penelitian lain oleh Brewer & Kerslake (2015) menunjukkan

bahwa ada hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku Cyberbullying

artinya jika harga diri tinggi maka perilaku cyberbullying rendah dan jika harga

diri rendah maka perilaku cyberbullying tinggi.

69

F. Hubungan antara Empati dengan Perilaku Cyberbullying pada Remaja

Empati merupakan kemampuan untuk ikut merasakan emosi yang dirasakan

orang lain dan menunjukkan kasih sayang serta mampu terlibat dalam perasaan

emosional tersebut, namun tidak membuat individu menyatu dengan perasaan

emosional yang dialami oleh orang tersebut. Sebagaimana aspek-aspek dari

empati menurut Davis ( 1983) yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Kedua aspek

ini dijabarkan lagi dalam bentuk yang lebih spesifik. Aspek kognitif meliputi

perspective taking dan fantacy, dan aspek afektif meliputi empati concern dan

personal distress.

Empati merupakan salah satu aspek kognisi sosial yang memainkan peran

penting pada saat individu merespon emosi orang lain dalam rangka membangun

hubungan dengan orang lain (Spreng, McKinnon, Mar, & Levine, 2009).

Kemampuan empati umumnya diartikan bagaimana menempatkan diri pada posisi

orang lain dimana empati tersebut mengacu pada aspek afektif dan aspek

kognitif. Empati afektif umumnya dipahami sebagai perhatian yang empatik atau

simpati terhadap keadaan internal orang lain. Empati afektif memungkinkan

individu mengendalikan perasaan mereka ketika melihat orang lain dalam

kesusahan, dan pada akhirnya muncul dorongan untuk menolong. Empati kognitif

didasarkan pada kemampuan melihat, membayangkan dan memikirkan sebuah

situasi dari sudut pandang orang lain.

Aspek-aspek empati tersebut turut mempengaruhi perilaku individu dalam

hubungan sosial dalam masyarakat. Menurut Covey (dalam Howe 2015) empati

ibarat minyak pelumas bagi hubungan individu dengan orang lain. Ketika empati

70

tidak ada maka keakraban hilang dan muncul tindakan-tindakan kekerasan dan

keegoisan serta masalah perilaku lainnya misalnya agresi, seperti bullying dan

cyberbullying.

Perspective taking atau pengambilan perspektif yaitu kemampuan individu

untuk memposisikan diri dalam perspektif orang lain membuat individu untuk

dapat melihat dan mengakui perasaan dari sudut pandang orang lain. Hal ini akan

membantu menjauhkan individu dari konflik. Bentuk cyberbullying seperti saling

ejek dan saling menghina serta adu argumen (flamming), ataupun mengirimkan

pesan yang menyakiti korban berulang kali (harassment), menyebarkan informasi

yang tidak benar tentang orang lain (denigration), menyebarkan

gambar/komunikasi pribadi korban (impersonation) terjadi karena pelaku

cyberbullying sulit untuk mengakui sudut pandang orang lain dan memposisikan

orang lain seperti dirinya. Pelaku tidak mampu membayangkan bagaimana

perasaan korban yang menerima ejekan, hinaan, juga komentar-komentar negatif

yang diterima dari pelaku. Ketidakmampuan pelaku untuk memahami posisi

korban membuat tindakan cyberbullying seperti flamming dan harassment akan

terus dilakukan. Menurut Davis (1983) individu-individu yang baik dalam

pengambilan perspektif, melihat dan mengakui perasaan dari sudut pandang orang

lain akan membantu menjauhkan konflik sosial, atau jika terjadi konflik mereka

mampu mengelolanya dengan sedikit berargumen. Individu dengan perspective

taking yang baik juga dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang lain.

Komunikasi yang baik hendaknya berlangsung secara seimbang antara individu

71

yang terlibat dan tidak saling menyinggung dengan kata-kata kasar atau negatif

seperti yang dilakukan pelaku cyberbullying.

Aspek fantasi yaitu kecenderungan untuk mengubah diri secara imajinatif ke

dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dari karakter-karakter khayalan pada buku,

film ataupun permainan, yang berpengaruh pada reaksi emosional seseorang

dalam menempatkan diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lain.

Sebagaimana diketahui seseorang sering mengidentifikasi dirinya sebagai tokoh

tertentu dan meniru karakter-karakter dan perilaku-perilaku tokoh yang

dikaguminya. Seseorang juga akan cenderung terinspirasi pada pengalaman

menarik orang lain dan berkhayal melakukan hal yang sama untuk dapat

merasakan apa yang dirasakan orang tersebut (Taufik, 2012). Berkaitan dengan

perilaku cyberbullying aspek fantasi memungkinkan individu secara imajinatif

membayangkan pikiran, perasaan dan tindakan orang lain sebelum melakukan

tindakan seperti memberi komentar kasar, menghina, mengirimkan pesan

ancaman berulang kali kepada orang lain, meneruskan gambar-gambar pribadi

orang lain. Aspek ini akan memungkinkan individu untuk menempatkan diri pada

posisi orang lain yang disakiti agar mampu memahami perasaan orang tersebut.

Hal ini dapat menjauhkan individu dari tindakan cyberbullying yang dapat

menyakiti orang lain (Yeo, Ang, Loh, Fu & Karre, 2011).

Aspek perhatian empatik yaitu kemampuan seseorang untuk mampu

merasakan apa yang sedang dibutuhkan orang lain. Aspek ini sering digunakan

untuk menjelaskan sebuah respons emosional lain yang ditimbulkan kondisi orang

lain. Empathic concern merupakan perasaan yang berorientasi pada orang lain

72

yang meliputi perasaan simpatik, belas kasihan, kehangatan, kelembutan dan

peduli. Seseorang yang berempati akan cenderung berhati-hati dan menjaga

perasaan orang lain dalam menyampaikan respon emosional (Taufik, 2012).

Dengan kemampuan perhatian empatik ini individu akan menjadi pribadi yang

penyayang, lemah lembut, penuh kehangatan dan tidak akan membuat orang lain

ada dalam keadaan yang tidak mengenakkan atau kesulitan. Dalam kaitannya

dengan perilaku cyberbullying, individu dengan perhatian empati yang baik tidak

akan melakukan tindakan berbahaya yang dapat mengancam keselamatan orang

lain, tindakan yang mempermalukan orang lain, seperti mencemarkan nama baik

korban dengan postingan-postingan negatif di media sosial tentang korban

(denigration), juga tindakan mencuri password akun media sosial korban dan

menyebarkan kontent negatif menggunakan akun korban tersebut (cyberstalking).

Tindakan-tindakan cyberbullying tersebut dapat terjadi karena pelaku tidak fokus

pada orang lain. Pelaku hanya fokus pada dirinya sendiri sehingga tidak muncul

tenggang rasa terhadap orang lain. Rasa peduli pelaku cyberbullying pada

penderitaan orang lain rendah dan sering menganggap kesulitan yang orang lain

rasakan adalah hal yang biasa dan wajar.

Aspek tekanan personal merupakan perasaan takut, cemas dan gelisah

sebagai reaksi atas penderitaan yang dialami orang lain. Rasa takut, cemas dan

gelisah akan muncul ketika individu melihat orang lain ada dalam kesulitan. Rasa

takut, cemas dan gelisah ini akan mendorong individu untuk meringankan

penderitaan yang dialami orang lain yang dilihatnya. Dampak dari tekanan

personal adalah individu akan menjauhi tindakan-tindakan yang membahayakan

73

orang lain secara psikis maupun fisik misalnya dengan tidak melakukan perilaku

cyberbullying seperti : flamming, harassment, denigration, impersonation, outing,

trickery, cyberstalking dan exclusion. Pelaku memahami kesulitan, masalah yang

dirasakan korban akibat dari tindakan cyberbullying sebagai sensasi yang

menyenangkan dirinya dan tidak peduli dampak-dampak negatif yang dialami

korban (Postorino, 2014).

Secara kognitif pelaku cyberbullying tidak dapat memahami korban, tidak

dapat menjalin komunikasi yang baik (tidak mau mendengarkan) dan cenderung

bereaksi secara agresif pada kesusahan orang lain. Hal ini menunjukkan individu

tersebut mempunyai empati yang rendah. Secara afektif pelaku cyberbullying

tidak fokus pada apa yang dirasakan oleh korban, tetapi fokus pada kesenangan

yang dirasakannya. Pelaku fokus pada dirinya sendiri sehingga tidak muncul

keinginan untuk bertenggang rasa terhadap perasaan korban. Pelaku merasa

senang dengan kecemasan, kegelisahan dan ketakutan korban yang ditimbulkan

oleh macam-macam perilaku cyberbullying seperti adu argumen yang membuat

korban terpojok, hinaan dan ejekan yang memalukan korban, pelecehan dan

intimidasi melalui pesan teks atau komentar, pencemaran nama baik melalui

konten-konten yang diunggah dan juga pengucilan (Yeo, Ang, Loh, Fu & Karre,

2011).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas diperkuat dengan penelitian yang

dilakukan oleh Steffgen, Konig, Pfetsch dan Melzer (2011) menyatakan bahwa

pelaku cyberbullying yang berusia remaja cenderung memiliki kemampuan

empati yang lebih rendah dibandingkan dengan teman sebayanya yang bukan

74

pelaku cyberbullying. Penelitian lain yang mendukung adanya hubungan antara

kemampuan empati yang rendah dengan perilaku cyberbullying dilakukan oleh

Brewer & Kerslake (2015); Del Rey, Lazuras, dkk (2015) menemukan empati

memiliki hubungan negatif dengan perilaku cyberbullying. Artinya semakin

rendah kemampuan berempati remaja menunjukkan semakin tinggi perilaku

cyberbullying yang dilakukan dan sebaliknya apabila kemampuan berempati

remaja tinggi menunjukkan semakin rendah perilaku cyberbullying yang

dilakukan.

G. Landasan Teori

Pada era globalisasi, masyarakat dihadapkan pada perkembangan teknologi

yang meningkat pesat dari tahun ke tahun. Kemajuan teknologi telah merubah

struktur masyarakat dari yang bersifat lokal menuju ke arah yang berstruktur

global. Teknologi sangat bermanfaat bagi masyarakat sebagai sarana

mempermudah dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Termasuk pula dalam

berkomunikasi, manusia membutuhkan teknologi untuk mempermudah interaksi

dengan orang lain baik jarak dekat maupun jarak jauh. Adanya kemudahan dalam

teknologi yang semakin canggih juga memunculkan berbagai macam media sosial

seperti facebook, twitter, whatsapp, instagram, path, blackberry massenger dan

berbagai macam media komunikasi lainnya. Media-media tersebut sangat diminati

oleh masyarakat terutama remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Seiring

dengan perkembangannya yang semakin pesat, baik teknologi maupun

75

penggunaannya tentu membawa dampak positif dan negatif. Salah satu dampak

negatif dari perkembangan teknologi adalah tindakan cyberbullying.

Cyberbullying merupakan tindakan mengolok-olok, mengganggu orang lain

berulang kali melalui media online seperti email, pesan teks, atau memposting

konten (status/gambar) tentang orang lain yang tidak disukai (Hinduja & Patchin,

2008). Menurut Kowalski, dkk (2008) cyberbullying dapat terjadi dalam beberapa

bentuk yaitu flamming (adu argumen dengan menggunakan kata kasar, saling

ejek/menghina), harassment (mengirimkan pesan yang mengganggu/menyakiti),

denigration (pencemaran nama baik), impersonation (penyamaran), outing &

trickery (menyebarkan informasi pribadi), cyberstalking (menguntit), dan

exclusion (pengucilan).

Cyberbullying dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu harga diri.

Harga diri merupakan evaluasi yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya

sendiri (Coopersmith, 1967). Penilaian ini dapat berupa penilaian yang negatif

atau positif. Harga diri merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan

perilaku individu. Setiap orang menginginkan penghargaan yang positif terhadap

dirinya. Penghargaan positif akan membuat seseorang merasakan bahwa dirinya

berharga, berhasil dan berguna bagi orang lain. Sebaliknya apabila kebutuhan

harga diri itu tidak terpenuhi maka akan membuat seseorang berperilaku negatif

(Gufron & Risnawita, 2014). Harga diri yang rendah dapat menjadi faktor yang

memengaruhi seseorang untuk lebih melakukan hal yang menurutnya ideal

meskipun dianggap tidak ideal bagi lingkungan masyarakat untuk menutupi rasa

tidak berharga dirinya (Clemes, 1995).

76

Menurut Coorpersmith (1967) aspek-aspek harga diri terdiri atas empat

aspek yaitu, keberartian (significance) menunjuk pada kepedulian, perhatian,

afeksi dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang

menunjukkan adanya penerimaan dari lingkungan sosial terhadap remaja.

Kekuasaan (power) menunjuk pada adanya kemampuan seseorang untuk dapat

mengatur dan mengontrol perilaku dan mendapat pengakuan atas perilaku tersebut

dari orang lain. Kekuasaan dinyatakan dengan pengakuan dan penghormatan yang

diterima individu dari orang lain. Kompetensi (competence) menunjuk pada

adanya performansi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai

prestasi dimana level dan tugas-tugas tersebut tergantung pada variasi usia

individu. Kebajikan (virtue) menunjuk pada adanya ketaatan untuk mengikuti

standar moral dan etika serta agama yang ditunjukkan dengan menjauhi perilaku

yang harus dihindari dan melakukan perilaku yang diizinkan oleh moral, etika dan

agama. Seseorang yang taat terhadap nilai moral, etika dan agama dianggap

memiliki sikap yang positif dan akhirnya membuat penilain positif terhadap diri

yang menandakan individu mempunyai harga diri tinggi.

Mengacu pada penjelasan di atas maka dapat dikatakan remaja yang

memiliki harga diri tinggi memiliki penerimaan dan penghormatan diri, mampu

mengatur dan mengontrol perilakunya, yakin dengan kemampuan penyelesaian

tugas-tugas dan taat terhadap nilai-nilai moral, etika dan agama. Hal ini dapat

membantu remaja untuk menjalin hubungan yang baik dengan dengan teman-

temannya, bangga dengan diri sendiri, merasa diterima oleh lingkungan keluarga

77

dan sosial, dapat menerima keadaan diri sendiri, menghargai dan menghormati

orang lain, menjaga kerukunan dengan teman-temannya sehingga remaja dapat

menghindarkan diri dari perilaku cyberbullying (Serber, 2012).

Menurut Bukhim (dalam Widiharto 2011) kurangnya pemahaman remaja

terhadap nilai diri yang positif menyebabkan remaja cenderung melakukan

berbagai perilaku menyimpang seperti perilaku cyberbullying. Remaja yang

memiliki harga diri yang rendah memandang dirinya secara negatif dan tidak

berharga yang tercermin pada rasa tidak berguna, tidak memiliki kemampuan

akademik yang baik, interaksi sosial, hubungan dengan anggota keluarga dan

keadaan fisiknya. Harga diri rendah menyebabkan remaja merasa tidak mampu

menjalin hubungan dengan temannya sehingga remaja menjadi mudah marah.

Akibatnya remaja melakukan tindakan yang dapat menyakiti orang lain seperti

perilaku cyberbullying.

Faktor lain yang mempengaruhi cyberbullying adalah empati. Menurut

Hoffman (dalam Steffgen, dkk 2011), Empati merupakan kemampuan untuk ikut

merasakan emosi yang dirasakan orang lain dan menunjukkan kasih sayang serta

mampu terlibat dalam perasaan emosional tersebut, namun tidak membuat

individu menyatu dengan perasaan emosional yang dialami oleh orang tersebut,

misalnya seseorang akan bersedih ketika melihat temannya berada dalam suasana

dukacita. Empati merupakan cara seseorang yang merasakan dan menghayati apa

yang dialami oleh orang lain, sehingga empati dianggap sebagai suatu cara yang

efektif dalam usaha mengenal, memahami dan mengevaluasi orang lain. Dengan

78

berempati terhadap orang lain, seseorang dimungkinkan untuk memahami orang

lain dengan masalah dan keadaannya (Gunarsa, 2009).

Menurut Davis (1983) empati mempunyai aspek-aspek berikut: Perspective

taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang

lain secara spontan. Perspective Taking secara psikologis dan sosial penting bagi

keharmonisan interaksi antar individu. Perspective taking dapat menurunkan

stereotype dan pandangan buruk terhadap orang lain secara lebih efektif

dibandingkan dengan melakukan penekanan terhadap stereotype. Apabila konsep

perspective taking ini dikaitkan dengan theory of mind, dimana seseorang dapat

menyimpulkan kondisi mental orang lain, memahami dari perspektif mereka, dan

dapat pula menginterpretasikan serta memprediksi perilaku selanjutnya dari orang

lain. Kunci pokoknya adalah dimana seseorang dapat mengoptimalkan

kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan

sikap dan perilaku yang terlihat.

Fantasy, merupakan kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke

dalam perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan yang terdapat pada

buku-buku, layar kaca, bioskop, maupun dalam permainan-permainan. Aspek ini

akan melihat kecenderungan individu menempatkan diri dan hanyut dalam

perasaan dan tindakan aktor. Empathic Concern, merupakan orientasi seseorang

terhadap orang lain berupa perasaan simpati, kasihan dan peduli terhadap orang

lain yang ditimpa kemalangan. Empathic Concern sebagai cermin dari perasaan

kehangatan dan simpati, erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap

79

orang lain. Personal distress, merupakan orientasi seseorang terhadap dirinya

sendiri yang meliputi perasaan cemas dan gelisah pada saat melihat orang lain

dalam kesusahan. Kegelisahan dan kecemasan ini kemudian mendorong individu

untuk bersimpati kepada orang yang mengalami kesulitan.

Dari penjelasan empati di atas maka dapat dikatakan remaja yang

mempunyai rasa empati yang tinggi akan menunjukkan kemampuan dalam

memahami sudut pandang orang lain, mampu membayangkan dan menempatkan

diri pada posisi orang lain, mempunyai rasa simpati, kasihan dan peduli terhadap

orang lain dan merasa cemas dan gelisah saat melihat orang lain mengalami

kesusahan. Kemampuan-kemampuan ini akan mendorong individu untuk

menjauhi perilaku negatif seperti perilaku cyberbullying yang dapat menyakiti,

mengancam dan membahayakan orang lain. Hal ini disebabkan remaja dengan

rasa empati yang tinggi mampu untuk memahami pandangan orang lain sehingga

dapat menecgah terjadinya pertengkaran secara langsung maupun di dunia maya.

Remaja dengan rasa empati yang tinggi juga mampu untuk membayangkan

perasaan sakit yang dialami orang lain akibat dari tindakan cyberbullying yang

diterima orang lain, sehingga remaja akan menghindari tindakan cyberbullying

(Taufik 2012). Sementara remaja yang memiliki empati yang rendah cenderung

tinggi melakukan perilaku cyberbullying, karena individu tidak mampu

memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh korban, (Steffgen & Konig,

2009; Topcu & Baker, 2012; Ang & Goh, 2010).

80

Berdasarkan penjalasan di atas dapat diketahui bahwa perilaku

cyberbullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresif melalui media digital

yang terjadi terus menerus dan mengakibatkan korban. Cyberbullying dapat

terjadi karena pelaku mempunyai tingkat harga diri dan empati yang rendah yang

membuat pelaku tidak mempunyai belas kasihan terhadap korban dan tindakan

cyberbullying sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan.

Dengan demikian, hubungan antara variabel independen yaitu harga diri

(X1) dan empati (X2) dengan variabel dependen yaitu cyberbullying (Y) menjadi

fokus penulis dalam penelitian ini. Hubungan itu akan diperjelas dengan kerangka

teori berikut ini

1

3

2

Gambar 1. Dinamika hubungan antar variabel

Harga Diri (X1) :

a. Power

b. Significance

c. Virtue

d. Competence

Cyberbullying (Y) :

a. Flamming

b. Harassment

c. Denigration

d. Impersonation

e. Outing

f. Trolling

g. Cyberstalking

h. Exclusion

empati (X2) :

a. Perspective taking

b. Fantasy

c. Emphatic concern

d. Personal distress

81

Keterangan :

Panah 1 menunjukkan hubungan X1 dengan Y.

Panah 2 menunjukkan hubungan X2 dengan Y.

Panah 3 menunjukkan hubungan X1 dan X2 dengan Y

H. Hipotesis

Ada tiga hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini, yakni:

1. Ada hubungan antara harga diri dan empati dengan perilaku cyberbullying

pada remaja.

2. Ada hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku cyberbullying

remaja. Semakin tinggi harga diri remaja maka semakin rendah perilaku

cyberbullying yang dilakukan. Sebaliknya semakin rendah harga diri

remaja, maka semakin tinggi perilaku cyberbullying yang dilakukan.

3. Ada hubungan negatif antara empati dengan perilaku cyberbullying pada

remaja. Semakin tinggi empati remaja, maka semakin rendah perilaku

cyberbullying yang dilakukan. Sebaliknya jika empati rendah, maka

semakin tinggi perilaku cyberbullying yang dilakukan.