BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi...

31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Setiap penelitian memerlukan kerangka teori yang digunakan untuk mendukung pernyataan dan menjadi dasar dilakukannya sebuah penelitian. Pada bab ini penulis akan memaparkan sejumlah teori yang terkait dengan penelitian ini, yakni teori tentang perempuan dalam kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori cinta menurut ahli psikologi, lingkaran kekerasan, dan teori kelekatan. A. Perempuan dan Konstruksi Sosial Manusia, baik laki-laki maupun perempuan tumbuh dalam dunia yang telah dikonstruksikan oleh lingkungan sosial sejak mereka dilahirkan. Ekspektasi sosial yang dilekatkan dalam diri laki-laki dan perempuan agar menjadi ’laki-laki seutuhnya’, atau ’perempuan seutuhnya’. ’Menjadi laki-laki seutuhnya’ kerap kali disangkutpautkan dengan kekuasaan, kekuatan, dan kemandirian, sedangkan ’menjadi perempuan seutuhnya’ seringkali dikaitkan dengan kelemahlembutan, kepatuhan, dan keibuan. Konstruksi sosial tersebut perlahan dapat membuat individu terkungkung dalam pengertian yang dibangun masyarakat tentang ’bagaimana seharusnya menjadi laki-laki’ dan ’bagaimana seharusnya menjadi perempuan’ yang mendorong individu untuk berperilaku sesuai dengan kontruksi yang dibangun baik secara sadar maupun tidak sadar. Jika ditelusuri, konstruksi tersebut tidak dapat dipisahkan dari budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Secara harafiah, patriarki artinya aturan-aturan dari ayah atau laki-laki, namun kini lebih diartikan sebagai dominasi laki-laki di bawah aturan ayah (the rule of father). Menurut Goldberg (dalam Nurdin dkk, 2006) dalam sudut pandang antropologi, hampir seluruh sistem organisasi seperti politik, finansial, ekonomi, religi yang menduduki sejumlah posisi teratas diduduki oleh kaum laki-laki. Hal tersebut menunjukkan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Setiap penelitian memerlukan kerangka teori yang digunakan

untuk mendukung pernyataan dan menjadi dasar dilakukannya sebuah

penelitian. Pada bab ini penulis akan memaparkan sejumlah teori yang

terkait dengan penelitian ini, yakni teori tentang perempuan dalam

kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori cinta menurut ahli

psikologi, lingkaran kekerasan, dan teori kelekatan.

A. Perempuan dan Konstruksi Sosial

Manusia, baik laki-laki maupun perempuan tumbuh dalam

dunia yang telah dikonstruksikan oleh lingkungan sosial sejak mereka

dilahirkan. Ekspektasi sosial yang dilekatkan dalam diri laki-laki dan

perempuan agar menjadi ’laki-laki seutuhnya’, atau ’perempuan

seutuhnya’. ’Menjadi laki-laki seutuhnya’ kerap kali disangkutpautkan

dengan kekuasaan, kekuatan, dan kemandirian, sedangkan ’menjadi

perempuan seutuhnya’ seringkali dikaitkan dengan kelemahlembutan,

kepatuhan, dan keibuan. Konstruksi sosial tersebut perlahan dapat

membuat individu terkungkung dalam pengertian yang dibangun

masyarakat tentang ’bagaimana seharusnya menjadi laki-laki’ dan

’bagaimana seharusnya menjadi perempuan’ yang mendorong individu

untuk berperilaku sesuai dengan kontruksi yang dibangun baik secara

sadar maupun tidak sadar.

Jika ditelusuri, konstruksi tersebut tidak dapat dipisahkan dari

budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Secara harafiah, patriarki artinya aturan-aturan dari ayah atau laki-laki,

namun kini lebih diartikan sebagai dominasi laki-laki di bawah aturan

ayah (the rule of father). Menurut Goldberg (dalam Nurdin dkk, 2006)

dalam sudut pandang antropologi, hampir seluruh sistem organisasi

seperti politik, finansial, ekonomi, religi yang menduduki sejumlah

posisi teratas diduduki oleh kaum laki-laki. Hal tersebut menunjukkan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

bahwa laki-laki cenderung mendominasi arena politik dan membuat

aturan-aturan yang melanggengkan kekuasaan dan superioritasnya atas

perempuan (Subono, 2001).

Tidak dapat dipungkiri, perempuan dari jaman dahulu telah

menjadi subordinat yang lemah dan harus tunduk pada laki-laki. Para

pemikir Yunani kuno semacam Plato misalnya, memiliki pandangan

bahwa perempuan dapat berpartisipasi dalam sistem pemerintahan

aristokrasi yang menurutnya ideal, namun demikian Plato sendiri

mengatakan bahwa warga yang mati dalam kondisi tidak baik akan

dikutuk menjadi perempuan. Aristoteles murid Plato justru berpendapat

bahwa perempuan memang warga kelas dua yang tidak memiliki hak

demokrasi di negara karena sifat pasif organ seksualnya (vagina yang

dimasuki oleh penis) (Prabowo, 2014). Bahkan hingga kini, di era

modern yang seolah membawa perempuan pada kesetaraan, namun

pada kenyataannya perempuan masih mengalami ketimpangan. Meski

kini perempuan telah dapat bekerja dan memasuki sektor publik, namun

dalam prakteknya perempuan masih kerap dipandang sebagai seks

kelas dua dibawah laki-laki.

B. Perempuan Dewasa Awal

Istilah adult atau dewasa awal berasal dari kata adultus yang

berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau

telah menjadi dewasa. Santrock (2002) menyatakan bahwa masa

dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan

lawan jenis dan terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya.

Kenniston (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa ada dua kriteria

yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan

dari masa dewasa awal ialah kemandirian ekonomi dan kemandirian

dalam membuat keputusan.

Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal berkisar

antara usia 18-40 tahun. Sementara itu, Dariyo (2003) menyatakan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

bahwa secara umum individu yang tergolong dewasa muda ialah

individu yang berusia 20-40 tahun. Pada rentang usia ini, individu yang

sudah tergolong dewasa memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih

besar dan tidak lagi bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun

psikologis pada orangtuanya.

C. Pemilihan Pasangan sebagai Salah Satu Tugas Perkembangan

Dewasa Awal

Pada setiap rentang perkembangan kehidupan, individu dalam

rentang usia tertentu memiliki tugas perkembangan yang sedapat

mungkin dipenuhi. Hurlock (1980) menyatakan bahwa tugas

perkembangan individu dewasa awal, antara lain ialah individu mulai

bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, memilih pasangan

hidup, mulai mempersiapkan diri untuk membina keluarga dan

mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab

sebagai warga negara, dan mencari kelompok sosial yang

menyenangkan.

Menurut Santrock (2002), pacaran merupakan salah satu cara

untuk mengupayakan pemilihan pasangan yang hendak dijadikan rekan

hidup. Pacaran memiliki fungsi utama untuk memilih dan mendapatkan

seorang pasangan. Sebelum periode ini, pacaran hanya bertujuan untuk

menyeleksi pasangan dan memerlukan pengawasan yang cermat oleh

orang tua. Para orang tua jaman dahulu biasanya saling mengunggulkan

anaknya sebagai calon pasangan dan bahkan memilihkan pasangan bagi

remajanya. Namun seiring berjalannya waktu, individu yang memasuki

masa dewasa awal kini telah memiliki kendali yang jauh lebih besar

terhadap pemilihan pasangan dan proses berpacaran menuju persiapan

pernikahan.

D. Teori Cinta Menurut Para Ahli Psikologi

Dalam relasi berpacaran, remaja seringkali melibatkan berbagai

macam jenis emosi-emosi baik positif maupun negatif yang

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

dipersepsikan sebagai bentuk cinta antara satu dengan yang lainnya.

Para tokoh psikologi turut merumuskan definisi dan pengertian

mengenai cinta agar memudahkan kita memahami konsep cinta yang

terjalin antara dua individu.

1. Teori Cinta Erich Fromm

Fromm (2005) membahas mengenai cinta dengan membedah

terlebih dahulu mengenai manusia dan eksistensinya. Fromm

memandang manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya,

mempunyai kesadaran tentang dirinya, sesama, masa lalu,

kemungkinan masa depannya dan kesadaran akan eksistensinya sebagai

sesuatu yang terpisah. Sadar akan keterpisahan ini merupakan faktor

utama munculnya kegelisahan dan kecemasan. Oleh sebab itu, Fromm

mengatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling dalam ialah

kebutuhan untuk mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara

kesendiriannya. Untuk mengatasi keterpisahan pada tiap individu,

Fromm mengungkapkan ide tentang cinta sebagai jawaban dari masalah

eksistensi manusia. Dalam cinta, terdapat jawaban utuh yang terletak

pada pencapaian penyatuan antar pribadi dan peleburan dengan pribadi

lain. Hasrat akan peleburan antar pribadi ini yang paling kuat

pengaruhnya dalam diri manusia. Terdapat empat unsur dasar dari cinta

yang diungkapkan Fromm, yakni:

a) Perhatian (Care)

Cinta adalah perhatian aktif pada kehidupan dan pertumbuhan dari

apa yang kita cintai. Implikasi dari cinta yang berupa perhatian

tulus seorang ibu kepada anaknya.

b) Tanggung jawab (Responsibility)

Tanggung jawab dalam arti sesungguhnya adalah suatu tindakan

yang sepenuhnya bersifat sukarela. Bertanggungjawab berarti

mampu dan siap menanggapi.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

c) Rasa hormat (Respect)

Rasa hormat berasal dari kata respicere yang artinya melihat. Rasa

hormat merupakan kemampuan untuk melihat seseorang

sebagaimana adanya, menyadari individualitas yang unik. Rasa

hormat berarti kepedulian bahwa seseorang perlu tumbuh dan

berkembang sebagaimana adanya.

d) Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan yang menjadi satu aspek dari cinta adalah pengetahuan

yang tidak bersifat eksternal, tetapi dapat menembus kedalaman.

Perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan

mempunyai keterkaitan satu sama lain. Semuanya merupakan

sindrom sikap yang terdapat dalam pribadi yang dewasa, yakni

pribadi yang mengembangkan potensi dirinya secara produktif.

2. Teori Segitiga Cinta Sternberg

Berbeda dengan Fromm yang menekankan pada sebab,

akibat dan aspek-aspek yang menimbulkan cinta, Sternberg lebih

menekankan pada penjelasan mengenai komponen-komponen

pembentuk cinta dan beragam jenis cinta yang dihasilkan dari

kombinasi tiap komponen. Teori tentang komponen cinta disebut

pula sebagai teori segitiga cinta karena didalamnya mengandung tiga

komponen berikut (Tambunan, 2001):

a) Keintiman (intimacy)

Keintiman adalah elemen emosi yang didalamnya terdapat

kehangatan, kepercayaan dan keinginan untuk membina

hubungan.

b) Gairah (passion)

Gairah adalah elemen motivasional yang disadari oleh dorongan

dari dalam diri yang bersifat seksual.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

c) Komitmen

Komitmen adalah elemen kognitif berupa keputusan untuk

secara berkesinambungan menjalankan suatu kehidupan

bersama.

Kombinasi dari ketiga komponen cinta tersebut dapat

membentuk 8 pola hubungan cinta sebagai berikut:

a) Liking (suka), yakni seseorang hanya mengalami komponen

keintiman saja, tanpa adanya gairah dan komitmen.

b) Infatuated (tergila-gila), yakni cinta yang muncul karena adanya

gairah tanpa disertai keintiman dan komitmen.

c) Empty love, yakni cinta yang berasal dari komitmen tanpa adanya

gairah dan keintiman.

d) Romantic love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi antara

keintiman dan gairah tanpa disertai komitmen.

e) Companionate love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi

antara keintiman dan komitmen, tapa melibatkan gairah.

f) Fatuous love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi antara

hasrat dan komitmen tanpa adanya keintiman.

g) Non love, yakni cinta yang tidak memiliki ketiga komponen ini.

h) Consummate love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi

ketiganya dan disebut juga sebagai cinta yang utuh.

E. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pacaran

1. Pengertian Kekerasan dalam Pacaran

Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah

tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan

salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya

(Sugarman & Hotaling dalam Krahe, 2001). Selain itu, menurut The

National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence

(2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun

emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008)

menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis

dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan

pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh

kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya.

Collins (dalam Marcus, 2007) mengatakan bahwa terdapat 5

hal yang dapat menjelaskan sebuah hubungan sebagai dating.

Kelima hal tersebut adalah: (1) involvement – apakah remaja tersebut

pacaran, usia dimana dia memulai pacaran, dan konsistensi serta

frekuensi pacaran (2) partner-selection – siapa yang mereka pilih

menjadi pacar mereka (apakah usianya lebih tua, sama atau dari suku

dan sosioekonomi status yang berbeda atau sama) (3) content – apa

yang dilakukan mereka bersama-sama, keberagaman dari aktivitas

yang dilakukan bersama, situasi yang dihindari ketika mereka

bersama; (4) quality – hal dimana hubungan tersebut menghasilkan

suatu pengalaman yang menguntungkan, seperti intimacy, affection,

nurturance, antagonism, and high conflict and controlling

behaviors; and (5) cognitive and emotional processes – apakah

terdapat partner yang memberikan respon emosional yang merusak,

persepsi, harapan, schema, dan atribusi.

Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault

Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott,

Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007) mendefiniskan

dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang

dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik

untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan

kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut

dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang

lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku

ini atau tidak, erilaku ini ditujukan agar sang korban tetap

bergantung atau terikat dengan pasangannya. dapat disimpulkan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

bahwa dating violence adalah ancaman atau tindakan untuk

melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan

berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh

kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya, perilaku ini bisa

dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Pacaran

Secara umum, Murray (2007) mengemukakan beberapa

bentuk kekerasan yang dikelompokkan sebagai berikut:

a) Kekerasan Verbal dan Emosional

Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman yang

dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun

mimik wajah. Menurut Murray (2007), kekerasan verbal dan

emosional terdiri dari:

1. Name calling

Nama panggilan yang diutarakan kepada pasangan merupakan

bentuk pelabelan negatif yang diberikan pacar terhadap

peasangannya. Panggilan ini seperti mengatakan pacar gendut,

jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang

menginginkannya, ingin muntah melihat sang pacar.

2. Intimidating looks

Pacar menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan

alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya, jadi

pihak laki-laki atau perempuannya mengetahui apakah pacarnya

marah atau tidak hanya dilihat dari ekspresi wajahnya, tanpa

mendapatkan penjelasan.

3. Use of pagers and cell phones

Seorang pacar ada yang memberikan ponsel kepada pacarnya,

supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap bisa menghubungi

pacarnya. Alat komunikasi ini memampukan pacarnya untuk

memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau. Ada juga

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

dari mereka yang tidak memberikan ponsel kepada pacarnya,

namun baik yang memberikan ponsel maupun yang tidak

memberikan ponsel tersebut akan marah ketika orang lain

menghubungi pacarnya. Individu ini harus mengetahui siapa

yang menghubungi pacarnya dan mengapa orang tersebut

menghubungi pacarnya.

4. Making a boy/girl wait by the phone

Seorang pacar berjanji akan menelepon pacarnya pada jam

tertentu, akan tetapi sang pacar tidak menelepon juga. Pacar yang

dijanjikan akan ditelepon, terus menerus menunggu telepon dari

pasangannya, membawa teleponnya kemana saja di dalam

rumah, misalnya pada saat makan bersama keluarga. Hal ini

terjadi berulangkali, sehingga membuat si pacar tidak menerima

telepon dari temannya, tidak berinteraksi dengan keluarganya

karena menunggu telepon dari pacarnya.

5. Monopolizing a girl’s/ boy`s time

Korban kekerasan dalam pacaran juga cenderung kehabisan

waktu untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk

mengurus keperluan dirinya sendiri karena mereka selalu

menghabiskan waktu bersama dengan pacarnya. Sang pacar

memonopoli hampir seluruh waktu pasangannya.

6. Making a girl`s/ boy`s feel insecure

Seringkali orang yang melakukan dating violence memanggil

pacarnya dengan mengkritik, dan mereka mengatakan bahwa

semua hal itu dilakukan karena mereka sayang pada pacarnya

dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya. Padahal mereka

membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika pacar

mereka terus menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa

semua yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau

kesempatan untuk meninggalkan pasangannya.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

7. Blaming

Kekerasan ini dilakukan dengan melimpahkan akar dari seluruh

permasalahan kepada pasangannya. Semua kesalahan yang

terjadi adalah perbuatan pasangannya, bahkan mereka sering

mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang belum tentu

disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan perselingkuhan.

8. Manipulation/ making himself look pathetic

Kekerasan ini biasanya terwujud dalam bentuk perkataan tentang

sesuatu hal yang konyol, misalnya pacarnyalah orang yang satu-

satunya mengerti dirinya, atau mengatakan kepada pacarnya

bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya lagi.

9. Making threats

Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini, maka

saya akan melakukan sesuatu padamu. Ancaman mereka bukan

hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua,

dan teman mereka.

10. Interrogating

Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur, cenderung

menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang,

siapa yang bersama mereka, berapa orang laki-laki atau wanita

yang bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas

pesan mereka.

11. Humiliating her/ him in public

Mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya

kepada pacarnya di depan teman-temannya. Atau memper-

malukan pacarnya di depan teman-temannya.

12. Breaking treasured items

Tidak memperdulikan perasaan atau barang-barang milik pacar

mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka menganggap

hal itu sebuah kebodohan.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

b) Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan

kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak

menghendakinya (Murray, 2007). Pria lebih sering melakukan tipe

kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & Boney-

McCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007). Menurut Murray

(2007), kekerasan seksual dapat mencakup perkosaan (melakukan

hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau tanpa sepengetahuan

pasangannya), sentuhan yang tidak diinginkan, dan ciuman yang

tidak diinginkan.

c) Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar

terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan

sebagainya (Murray, 2007). Wanita juga melakukan kekerasan tipe

ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang

dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria

terhadap wanita. (Cantos, Neidig, & O’Leary, 1994; Cascardi,

Langhinrichsen, & Vivian, 1992; Stets & Straus, dalam Heatrich &

O`Learry, 2007).

3. Perempuan sebagai Korban Kekerasan dalam Pacaran

Dalam relasi berpacaran, perempuan seringkali menjadi

korban kekerasan dalam relasi tersebut. Kate Millet (1998)

berpendapat bahwa akar dari penindasan kaum perempuan ada

dalam sistem gender yang sangat patriarkis. Menurutnya, seks

merupakan alat politis dalam relasi laki-laki dan perempuan yang

menjadikan laki-laki memiliki kekuasaan dalam pembentukan nilai-

nilai, emosi serta logika yang mengontrol kehidupan akademi, religi,

dan keluarga. Hal ini berakibat pada rasa inferioritas yang muncul

dalam diri perempuan terhadap dominasi laki-laki. Di dalam relasi

patriarki, laki-laki adalah pihak yang dianggap lebih kuat belajar

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

mengendalikan dan mengontrol perempuan sehingga perempuan

dilihat sebagai objek kepunyaan laki-laki.

4. Lingkaran Kekerasan dalam Perspektif Psikologi

Kekerasan yang kerap terjadi dalam relasi intim dua individu

membentuk suatu pola tarik menarik dan terhubung erat seperti

lingkaran antara korban dan pelaku kekerasan. Walker (1979)

merumuskan sebuah lingkaran kekerasan yang terjadi antara pelaku

dan korban kekerasan yang disebut dengan “battering cycle”.

Lingkaran ini dijelaskan melalui tiga fase yang tergantung pada

intensitas dan frekuensi kemunculan kekerasan, yakni: 1) The

tension-building phase; 2) The explosion of acute battering phase; 3)

The contrition phase. Pada fase pertama, pelaku membentuk

tegangan dan melakukan berbagai bentuk kekerasan yang pernah

dilakukan seperti perlakuan posesif, pelecehan secara verbal,

intimidasi, dan pengekangan kebebasan. Pada situasi ini, korban

dengan otomatis melakukan pembelaan diri dan menahan marah atas

perlakuan pelaku. Pada situasi ini, pelaku menjadi sangat waspada

akan kemungkinan berbagai bentuk pertentangan atau perlawanan

yang ditunjukkan korban. Oleh karena pelaku terus-menerus

memproyeksikan kemarahannya kepada orang lain, pelaku tidak

dapat menyadari dan memahami kondisi kritis yang sesungguhnya

ada di dalam dirinya. Fase pembentukan tegangan ini cenderung

terus berlanjut hingga titik kekerasan fisik terjadi terhadap korban.

Zimbardo (1979) – seorang psikolog sosial – menegaskan

bahwa perilaku kekerasan hanya dapat diberhentikan oleh pelaku,

bukan korban. Hal ini disebabkan karena sistem tubuh pelaku sendiri

memberikan reward atau penguatan di setiap tindak kekerasan yang

dilakukan. Dengan kata lain, pengulangan perilaku kekerasan seperti

serangan, pukulan, hinaan, mendapatkan penguatan. Sumber

penguatan tersebut ialah umpan balik dari reaksi tubuh pelaku itu

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

sendiri berupa pelepasan tegangan melalui setiap bentuk kekerasan

yang dilakukan. Pada fase kedua, yakni pemunculan kekerasan,

pelaku terus menunjukkan berbagai bentuk agresi seperti memukul,

menendang, mendorong hingga pelaku sampai pada titik kelelahan

dan kehabisan energi. Pelepasan energi yang besar membuat

tegangan dalam diri pelaku semakin rendah. Pelepasan tegangan ini

merupakan situasi melegakan yang dirasakan oleh pelaku. Rasa lega

yang dialami pelaku selepas melakukan tindak kekerasan membuat

pelaku menjadi adiksi atau kecanduan dengan rasa lega tersebut,

sehingga perilaku kekerasan terus diulang.

Fase yang terakhir dari lingkaran kekerasan ini ialah

contrition phase, yakni suatu fase yang menempatkan pelaku pada

perasaan sedih karena berdosa atas pelepasan tegangan melalui

perilaku kekerasan terhadap korban. Pada fase ini, pelaku akan

mendekati korban dan membujuk agar korban dapat bertahan dalam

relasi intim dan memaafkannya. Pelaku cenderung mengumbar janji

tentang perbaikan diri dan mengajak orang-orang terdekatnya untuk

turut membujuk korban kembali kepada dirinya. Pelaku juga berjanji

mengikuti konseling, berhenti minum alkohol, berselingkuh, atau

apapun yang diinginkan korban. Pelaku juga dapat membawakan

bunga, hadiah, kartu permintaan maaf, atau apapun yang

membuatnya dapat dimaafkan oleh korban. Pada intinya, pelaku

mengambil celah di rasa bersalah korban dengan meyakinkan korban

bahwa korban merupakan satu-satunya perempuan yang dapat

menyelamatkan dirinya, cinta yang ada dapat menaklukan setiap

perilaku buruk pelaku, pelaku mengancam bunuh diri jika korban

tidak menerimanya lagi. Hasilnya, korban terbujuk oleh rasa

tanggung jawab untuk menolong pelaku dan berharap ada peluang

positif akan harapan yang lebih baik dari hubungan tersebut.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

Gambar 2.1 Lingkaran Kekerasan

Melalui Gambar 2.1, dapat dilihat bahwa lingkaran

kekerasan terus bergulir dengan pola yang sama antara pelaku dan

korban. Pola tersebut seringkali berhasil membuat korban tetap

bertahan dalam hubungan. Pelaku dan korban turut meyakinkan satu

sama lain bahwa ketika keduanya bersama-sama, baik pelaku

maupun korban merasa dapat mengalahkan dunia. Agama, tradisi

kuno tentang perempuan, rasa bersalah berkonspirasi untuk membuat

perempuan bertahan dalam hubungan tersebut.

F. Kajian Teori Kelekatan pada Perempuan Korban Kekerasan

dalam Pacaran

Sejarah kelekatan dan pengasuhan anak di masa lampau

merupakan pendahulu yang membentuk relasi positif di antara

pasangan muda (Sroufe, Egeland, dan Carlson, 1999). Bayi yang

RESPONS KORBAN: Melindungi diri sebisa

mungkin, Pihak keamanan dihubungi oleh tetangga, teman, keluarga. Berusaha menenangkan pasangan, atau pergi

2. BATTERING

Mendorong, memukul,

mencekik, memperkosa, menggunakan senjata

3. CONTRITION STAGE

Moody, afeksi

tumpul, berteriak,

berkata-kata kasar,

menghancurkan benda

1. TENSION BUILDING

POWER & CONTROL

DENIAL

Meminta maaf,

mohon ampun, Berjanji akan

berubah, Pergi ke gereja, mengirim bunga,

hadiah, “Aku tidak akan

melakukannya lagi”, mengajak

bercinta, menangis, menyatakan cinta

RESPONS KORBAN: Mendekati dan

menenangkan pasangan,

Diam/ talkactive. Menjauh dari keluarga

dan teman. Pasif.

Memahami RESPONS KORBAN: Sepakat untuk kembali mempercayai. Menerima pasangan

kembali, Menghentikan proses hukum. Merasa

senang dan penuh harapan.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

memiliki kelekatan tidak aman (menimbulkan rasa cemas) kepada

pengasuhnya cenderung tidak dapat mengembangkan relasi yang positif

dengan pasangannya di masa remaja. Remaja yang memiliki sejarah

kelekatan yang aman lebih mampu mengendalikan emosinya secara

lebih baik dan lebih nyaman untuk membuka dirinya dalam relasi

berpacaran. Kelekatan dibahas lebih mendalam melalui kajian etologis

yang dikemukakan oleh John Bowlby.

Etologi sendiri adalah studi mengenai tingkah laku hewan dan

manusia dalam konteks evolusi. Perspektif etologi klasik diperkenalkan

oleh Darwin (1859) yang menyatakan bahwa beragam spesies memiliki

nenek moyang yang sama dan spesies dapat berubah untuk memenuhi

persyaratan lingkungan mereka yang berubah. Tidak semua spesies

dapat bertahan saat menghadapi keadaan lingkungan yang berubah

sehingga dalam teorinya, Darwin mencetuskan teori seleksi alam, yakni

sebuah anggapan bahwa alam memilih siapa-siapa saja yang mampu

beradaptasi paling baik dengan lingkungan mereka. Mereka yang

beradaptasi paling baik adalah mereka yang akan bertahan hidup.

Untuk dapat beradaptasi, hampir semua spesies mendekatkan diri pada

kelompoknya sehingga kelompok mereka menjadi kuat untuk

menghadapi predator yang sewaktu-waktu mungkin menyerang

mereka.

Pandangan ini kemudian digunakan Bowlby untuk menjelaskan

pentingnya kelekatan antara bayi dan figur lekat utama (biasanya ibu).

Asumsi dasar dari teori kelekatan ialah oleh karena ketidakmatangan

bayi yang sangat ekstrim pada saat dilahirkan, bayi dapat bertahan

dengan bantuan berupa perlindungan dan perhatian dari orang dewasa.

Oleh sebab itu, tingkah laku bayi seperti menangis atau tersenyum

merupakan simbol yang dimunculkan bayi untuk menjaga kedekatan

dengan figur lekat. Bayi menangis ketika ditinggal pergi oleh sang ibu

menunjukkan kecemasan saat harus menghadapi dunia ini seorang diri.

Bayi memerlukan kehadiran ibu untuk melindunginya dari ancaman

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

dan bahaya. Karenanya, bayi akan terus menangis ketika membutuhkan

pertolongan ibunya. Ibu sebagai pemberi perhatian (caregiver) dan bayi

saling melengkapi proses pembentukan sistem perilaku lekat

(attachment behavioral system) yang berkontribusi dalam pembentukan

ikatan emosi antara anak dan figur lekat.

Gambar 2.2 Sistem Perilaku Lekat

Kelekatan merupakan salah satu sistem perilaku yang mencakup

dasar eksplorasi, pemberian perhatian, relasi, dan pemenuhan

kebutuhan fisik. Selama anak merasa aman, sistem kelekatan akan

stabil, dan sistem perilaku lain dapat diaktifkan. Secara berkelanjutan,

sistem kelekatan ini akan membuat anak yang bertumbuh menjadi

remaja atau individu dewasa merasa aman untuk mengeksplorasi dunia

luar.

1. Tahap Pembentukan Kelekatan

Bowlby (1980) menyatakan bahwa seorang anak membentuk

kelekatan dengan figur lekat dengan perilaku seperti mencari

Rasa aman,

dicintai,

percaya diri

Ya Apakah figur

lekat responsif,

terjangkau?

Ceria,

eksplorasi,

bersosialisasi,

tersenyum

Tidak

Perilaku Lekat:

1. Mencari figur

lekat

2. Memberikan

kontak mata,

memanggil

3. Bergerak ke arah

figur lekat

Menghindari

kontak,

defensif,

eksplorasi

Takut,

Cemas Defensif

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

kedekatan, menjamin keselamatan, mencari rasa aman dan

perlindungan, sedangkan seorang figur lekat menjadi terikat dengan

anak melalui komitmen, pemberian perhatian, tanggung jawab, dan

mencintai anak. Berikut ialah tahapan kunci dalam pembentukan

kelekatan antara anak dan orang tua sebagai figur lekat:

a) Usia 0-3 bulan: Respons tak terpilah kepada manusia

Selama bulan pertama di awal kehidupannya, bayi

menunjukkan beragam jenis respons kepada orang disekitarnya,

namun respons ini tidak terpilah dan sama kepada semua orang,

seperti senyuman, tangisan, genggaman tangan. Pada usia 5 minggu,

senyum sosial paling serius dimulai karena bayi mulai dapat melihat

wajah manusia secara utuh dan mampu melakukan kontak mata.

Senyum ini menjadi simbol kelekatan dengan pengasuh atau figur

lekatnya. Begitupun tangisan yang juga merupakan hasil dari

kedekatan pengasuh dan anak yang menjadi seperti teriakan bahaya

sebagai tanda bayi memerlukan pertolongan.

b) Usia 3-6 bulan: Fokus kepada orang-orang yang dikenal

Sejak usia 3 bulan tingkah laku bayi mulai berubah, respons

sosial bayi mulai menjadi selektif. Selama fase ini, bayi

mempersempit respons mereka kepada orang-orang yang dikenal

saja. Figur lekat utama biasanya ibu, namun tidak selalu demikian.

Bayi tampak mengembangkan kelekatan paling kuat pada seseorang

yang paling sigap menangkap sinyal mereka dan yang terlibat

dengan interaksi yang paling menyenangkan bagi mereka.

c) Usia 6 bulan-3 tahun: Kelekatan yang intens dan pencarian

kedekatan yang aktif

Sejak usia 6 bulan, kelekatan bayi pada orang tertentu menjadi

semakin intens dan ekslusif. Yang paling menyolok ialah bayi

menangis keras ketika figur ibu meninggalkan ruangan,

memperlihatkan adanya kecemasan terhadap perpisahan. Para

pengamat juga mencatat intensitas bayi menuambut ibunya setelah

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

ditinggalkan untuk sementara waktu. Ketika ibunya kembali dan

memeluknya, maka bayi akan balas memeluk ibunya dan tersenyum

senang. Ibu juga menunjukkan kebahagiaan atas pertemuan kembali

tersebut. Bayi mulai mengekspresikan emosi-emosi yang kuat dan

mulai merayap mengikuti orang tua yang berjalan meninggalkannya.

Bayi akan membuat usaha paling maksimal untuk memperoleh

kembali kontak dengan orang tua. Ini sangat menjelaskan bahwa

bayi menggunakan pengasuhnya sebagai basis aman untuk

eksplorasi dan mencetak konsep figur lekat yang akan dibawa terus

sepanjang kehidupannya.

d) Usia 3-5 tahun: Pembentukan ‘internal working models’

Pada usia ini, anak membawa pola kelekatan ini keluar dari

keluarga, biasanya ke lingkungan sekolah. Keseimbangan antara

kelekatan dan kesempatan ekplorasi berdampak pada pembelajaran,

perilaku anak, dan pola persahabatan yang dijalinnya dengan teman

sebaya. Konsep terkait rasa aman telah tersimpan dalam proses

mental anak yang berguna untuk mengatasi situasi sulit. Pada

tahapan ini, kecemasan terhadap perpisahan dan kehilangan mulai

menyatu dengan kecemasan tentang harga diri dan relasi dengan

teman sebaya. Ketika seorang anak memiliki memori tentang rasa

aman dan model internal yang positif, anak cenderung lebih dapat

menghadapi tantangan dan mengatasi kegagalan atau penolakan.

Sebaliknya, anak yang insecure cenderung menyangkal perasaannya

dan menjadi agresif atau depresif.

e) Usia Remaja-Dewasa

Individu di usia ini mulai berpisah dengan figur lekat dan

menjadi mandiri. Individu yang secure dengan harga diri dan

kompetensi yang tinggi lebih berhasil mengatasi tantangan. Orang

tua sebagai figur lekat masih sangat diperlukan pada tahap ini untuk

berbagi pengalaman dan regulasi emosi untuk mencapai konsep diri

yang koheren dan fleksibel. Relasi kelekatan awal dengan orang tua

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

berlangsung lama dan kelekatan yang baru mulai terbentuk dalam

persahabatan dan hubungan percintaan.

2. Komponen Kunci Kelekatan

Pola kelekatan yang terjalin antara anak dan figur lekat dapat

dilihat melalui tiga komponen kunci yang diamati dari perilaku dua

arah antara anak terhadap figur lekat dan respons figur lekat terhadap

perilaku anak. Berikut ialah tiga komponen kunci dalam kelekatan

(Bowlby, 1973):

Gambar 2.3 Komponen Kunci Kelekatan

a) Proximity Maintenance (Memelihara Kedekatan)

Proximity maintenance dapat mencakup perilaku anak

yang terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara

kedekatan tersebut. Perilaku ini biasanya ditunjukkan oleh anak

jika anak sedang berada dalam situasi yang membuatnya takut

atau tertekan karena alasan tertentu. Pemeliharaan kedekatan

dengan figur lekat ini diupayakan anak untuk terhindar dari rasa

cemas tentang faktor-faktor ketidakmatangan yang dimiliki anak

(seperti usia atau emosi) dalam menghadapi situasi yang

dianggap mengancam. Pencapaian pada komponen proximity

maintenance ini menghasilkan rasa aman dan dicintai. Menurut

Bowlby (1982), perilaku yang dimunculkan pada proximity

Proximity Maintenance Mencari kedekatan dan

menolak perpisahan Secure Base Menjadi dasar

eksplorasi dunia luar KELEKATAN

(Attachment)

Safe Haven Pemberian rasa nyaman, dukungan, jaminan,dll

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

maintenance ialah mencari kedekatan dengan individu dewasa

yang dijadikan figur lekat dan menunjukkan protes terhadap

situasi terpisah dengan figur lekat.

Sebagai contoh, seorang bayi yang merasa lapar hanya

dapat menangis karena bayi tersebut tidak dapat mengambil

makan sendiri sehingga menangis merupakan upaya yang

dilakukan bayi untuk mendapatkan pertolongan dari figur lekat.

Contoh lainnya, ketika anak memasuki usia 3-5 tahun dan

kehilangan sosok figur lekat di sebuah tempat pebelanjaan, anak

tersebut akan menangis atau mungkin berlari mencari-cari figur

lekat tersebut. Semakin anak bertumbuh besar dan memasuki

usia sekolah, remaja, atau dewasa, anak akan berusaha

menjangkau figur lekat dengan cara apapun ketika berada dalam

situasi sulit.

b) Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan)

Safe haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh

figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak

yang mencari kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam

berbentuk pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau

jaminan akan keselamatan pada waktu anak membutuhkan

karena pada dasarnya, kecemasan anak akan jauh berkurang

ketika anak menyadari bahwa figur lekat ada disekitarnya dan

dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan anak untuk

diperhatikan dan dilindungi. Selain itu, figur lekat berperan

untuk memahami bahwa kebutuhan anak untuk diperhatikan

perlu didukung pula oleh apreasiasi atau dorongan untuk anak

dapat mengambil keputusannya secara mandiri. Safe hafen yang

dibangun oleh figur lekat ini memberikan ‘batas aman’ agar anak

dapat belajar untuk bernegosiasi dengan situasi, mengupayakan

keberhasilan, dan mengatasi kegagalannya sendiri.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

Sebagai contoh, ketika anak menunjukkan perilaku

proximity maintenance di saat yang mencemaskan, figur lekat

dengan sesegera mungkin membantu anak dengan menyediakan

kebutuhan anak sehingga kecemasan anak tersebut dapat

direduksi dan anak dapat kembali melakukan eksplorasi dengan

lingkungannya. Contoh lain, ketika anak telah dewasa, figur

lekat tetap menjadi sosok yang mau mendengarkan keluh-kesah

anak atau bahkan memberikan beberapa alternatif solusi yang

dapat membantu sang anak menyelesaikan persoalannya.

c) Secure Base (Menjadi Basis Aman)

Secure base juga merupakan perilaku yang ditunjukkan

oleh figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak

yang mencari kedekatan dengannya. Respons yang ditunjukkan

berupa kepekaan dalam menanggapi perilaku anak. Figur lekat

yang peka melihat dunia dari sudut pandang anak dan

memperlakukan anak dengan pemahaman yang mendalam,

pemberian kebutuhan dan kasih sayang. Respons ini juga

mereduksi kecemasan anak dan membantu anak untuk

mengembangkan kemampuan dalam mengenai dan mengatur

emosi serta perilakunya. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan

respons menerima anak secara utuh karena anak yang merasa

diterima dan dihargai sebagai individu yang unik dengan

kelebihan dan kekurangan yang khusus, akan berkembang

menjadi individu yang seimbang, realistis, konsep diri yang

positif, dan harga diri yang baik.

Sebagai contoh, figur lekat tetap menunjukkan keinginan

untuk dekat dan memenuhi kebutuhan anak meskipun sang anak

sedang mengalami kegagalan. Meskipun anak merasa sedih atau

kecewa dengan kegagalan yang dialaminya, namun karena figur

lekat tetap memberikan dukungan dan rasa aman kepada anak,

maka anak dapat lebih cepat meregulasi emosi sedih dan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

kecewanya dan anak dapat kembali mengeksplorasi

lingkungannya tanpa rasa takut.

Pola kelekatan yang terjalin dari anak masih bayi dengan orang

tua sebagai figur lekat terus mengalami proses peralihan dalam

sepanjang rentang kehidupannya satu per satu. Berikut ini ialah proses

peralihan pola kelekatan:

TARGET PERILAKU LEKAT

Fase Perkembangan Orang Tua Teman Sebaya/

Pasangan

Bayi Proximity maintenance

Safe haven

Secure base

Anak-Anak Awal

Safe haven

Secure base

Proximity maintenance

Anak-Anak Akhir/ Awal

Remaja

Secure base

Proximity maintenance

Safe haven

Masa Dewasa Proximity maintenance

Safe haven

Secure base

Tabel 2.1 Proses Peralihan Kelekatan

3. Tipe-Tipe Kelekatan

Konsep yang lebih lengkap mengenai kelekatan diungkapkan

oleh Ainsworth (1969) yang menyatakan bahwa kelekatan adalah

ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain

yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang

bersifat kekal sepanjang waktu. Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall

(dalam Fraley dan Spieker, 2003; Cummings, 2003, Sroufe, 2003;

Cassidy, 2003; Waters dan Beauchaine, 2003) membuat sebuah

eksperimen untuk melihat tingkah laku lekat dengan metode ‘situasi

terpisah’. Pada eksperimen ini, anak ditempatkan dalam ruangan yang

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

dirancang dengan lingkungan fisik yang tidak familiar, adanya

perpisahan dengan pengasuh, dan adanya kontak dengan orang asing.

Kombinasi dari ketiga aspek tersebut dengan sengaja diciptakan untuk

melihat reaksi anak. Berdasarkan eksperimen tersebut diperoleh dua

kategori utama, yakni kelekatan aman (secure) dan tidak aman

(insecure).

a) Kelekatan Aman (Secure Attachment)

Relasi orang tua-anak dapat dianggap sebagai prototip bagi

relasi lain yang dibangun anak di masa depan. Relasi ini merupakan

relasi pertama yang digunakan anak sebagai dasar yang akan

diterapkan dalam pengalaman relasi berikutnya. Singkatnya, kualitas

dari relasi orangtua-anak ini merupakan prediktor kesuksesan relasi

anak dengan figur lekat pengganti di masa remaja dan dewasa

(Gearity, 2005). Pada kelekatan aman ini, ibu digunakan sebagai

dasar eksplorasi, anak berada dekat ibu untuk beberapa saat kemudian

melakukan eksplorasi, anak kembali pada ibu ketika ada orang asing,

tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya (Cicchetti dan

Toth, 1995). Ainsworth dkk (1978) mendeskripsikan bahwa anak

yang merasa secure seringkali menunjukkan protes ketika ditinggal

bersama dengan orang lain oleh figur lekat di tempat yang asing.

Protes dapat berupa stres, keengganan bermain dan eksplorasi,

penolakan terhadap upaya orang lain untuk menghiburnya. Ketika

figur lekat datang, anak akan menyambut dengan hangat dan

menunjukkan keinginan untuk melakukan kontak fisik dengan figur

lekat sebelum melanjutkan eksplorasinya.

Gearity (2005) menyatakan bahwa relasi yang terjalin antara

orangtua-anak harus mencapai dua tujuan dasar sebagai pondasi relasi

yang sehat dengan orang lain di masa mendatang, yakni 1)

pembentukan rasa percaya pada dunia, “ketika saya membutuhkan

kamu, kamu ada”; 2) pengembangan regulasi emosi – anak belajar

mengekspresikan perasaan yang sedang dirasakan. Ketika dua tujuan

dasar ini tercapai, anak mengalami relasi lekat yang baik dan

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

cenderung mengeksplorasi lingkungan sekitarnya dengan meyakini

bahwa figur lekat akan selalu ada ketika dibutuhkan sehingga anak

merasa aman. Melalui eksplorasi ini, anak yang secure memiliki

kompetensi yang lebih baik dan tumbuh sebagai anak yang mandiri di

kemudian hari. Kestenbaum et al., (1989) menemukan bahwa kualitas

dari kelekatan anak-orangtua berpengaruh pada kapasitas empati,

regulasi emosi, perkembangan kognitif, dan kontrol perilaku anak di

relasi-relasi berikutnya.

Thompson (2000) juga menyatakan bahwa anak yang secure

cenderung tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan resilien

ketika menghadapi tekanan dari teman sebaya. Hal ini membawa

individu pada kesejahteraan psikologis dan ketahanan terhadap

tekanan. Schore (2001) menegaskan bahwa anak yang secure

memiliki kapasitas psikologi dan neurologi yang baik untuk mengatur

emosi, khususnya dalam menghadapi stresor dari lingkungan

eksternal yang didapatkannya di masa mendatang.

b) Kelekatan Tidak Aman (Insecure attachment)

Tipe lain yang dapat muncul dari relasi lekat orangtua-anak

ialah kelekatan tidak aman (insecure attachment). Pada umumnya,

tipe ini menunjukkan penolakan terhadap kehadiran ibu,

menampakkan permusuhan, kurang tertarik dengan kehadiran ibu,

mengacuhkan dan kurang mengekspresikan emosi negatif. Seorang

anak yang tidak mendapatkan rasa aman dari figur lekat cenderung

menunjukkan kurang berkembangnya kapasitas diri untuk

menghadapi situasi sulit sepanjang hidup. Bowlby (1940)

menegaskan bahwa kegagalan pembentukan kelekatan antara anak

dan ibu memiliki konsekuensi yang serius seperti pertumbuhan yang

lambat, agresivitas, kecemasan akan rasa bergantung, hambatan

intelektual, penyimpangan perilaku sosial, tumpunya afeksi, depresi,

dan munculnya perilaku delikuen. Menurut Gearity (2005), kegagalan

dalam mencapai dua tujuan dasar kelekatan menempatkan anak pada

kesulitan dalam membangun relasi-relasi berikutnya sepanjang hidup.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

Sebagai contoh, ketiadaan basis aman sebagai pembentukan rasa

percaya dapat membatasi kompetensi dan keberanian anak untuk

mengeksplorasi lingkungan karena anak merasa dunia bukan tempat

yang aman. Di samping itu, Barnett dan Butler (1999)

mengemukakan bahwa anak yang tidak secure memiliki potensi

untuk menjadi individu yang sangat rapuh terhadap tekanan teman

sebaya dan komentar negatif dari orang lain. Lebih lanjut, Waters dan

Cummings (2000), kerapuhan ini membuka ruang bagi berbagai

emosi negatif seperti keraguan pada diri sendiri yang berujung pada

kecemasan, depresi, dan respons negatif terhadap pengalaman sosial

yang baru. Melalui eksperimen yang dilakukan terkait respons anak

terhadap situasi terpisah dengan orang tua sebagai figur lekat,

Ainsworth (1978) membagi tipe kelekatan tidak aman ke dalam dua

jenis sebagai berikut ini:

1. Avoidant Attachment

Avoidant attachment merupakan strategi yang dikembangkan oleh

anak dengan orang tua yang tidak mendukung terjalinnya kontak

afeksi dan tidak menunjukkan simpati maupun rasa nyaman

(Karen, 1994). Anak yang tergolong dalam avoidant attachment

jarang menangis ketika dikondisikan terpisah dari figur lekat dan

menghindari kontak ketika figur lekat kembali (Papalia et al,

1999). Anak tidak menunjukkan protes terhadap kepergian ibu,

melainkan anak cenderung mengalihkan perhatian dari perginya

ibu, secara aktif mengeksplor lingkungan ketika sang ibu tidak ada.

Anak juga tidak menyadari kembalinya ibu dan menunjukkan

perilaku menghindar jika sang ibu mendekatinya (Lyons-Ruth &

Zeanah, 1993).

2. Ambivalence Attachment

Pola kelekatan insecure ini muncul dari pengalaman anak dengan

pengasuhan yang tidak konsisten oleh orang tua sehingga anak

tidak pernah yakin apakah ekspresi kecemasan atau stress yang

dirasakannya perlu untuk ditunjukkan. Ada hambatan dari pola

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

pengasuhan dan perlindungan yang konsisten oleh orang tua

sehingga muncul perasaan pada anak bahwa mengeksplorasi dunia

dan lingkungan sekitar bukanlah pilihan yang tepat. Hal ini

berdampak pada rendahnya stres yang dimiliki anak, namun

rendah pula kepercayaan diri di masa mendatang. Ketika anak

merasa bingung dan mendekatkan diri pada figure lekat, anak

hanya hanya menunjukkan emosi marahnya dan menolak terjadi

kontak fisik. Pola ini dapat terbawa hingga sang anak dewasa yang

turut berkontribusi dalam membentuk perilaku histeria, yakni

seperti lari dari keintiman, memiliki banyak tuntutan terhadap

orang lain, tidak matang dan mudah terbawa begitu dalam oleh

emosi yang dirasakannya (Karen, 1994).

4. Kelekatan Tidak Aman sebagai Dasar Perilaku Kekerasan

Kelekatan tidak aman (insecure attachment) antara anak

dan orang tua yang berlanjut ke hubungan romantis masa dewasa

dapat mengarah pada pemunculan tindak kekerasan pada pasangan.

Hal itu disebabkan karena pola kelekatan tidak aman ini membuat

anak merasa terpisah dan tertolak oleh figur lekat yang berujung

pada rasa marah yang diekspresikan maupun dipendam. Melalui

studi yang dilakukan pada kelekatan romantis dewasa, ditemukan

bahwa anak yang memiliki kelekatan insecure-ambivalent

terasosiasi dengan beberapa respons perilaku seperti mudah jatuh

cinta, menjadi sangat pencemburu, menjadi sumber ketakutan,

kecemasan, kesepian meskipun berada dalam suatu hubungan,

memiliki harga diri yang rendah (Collins & Read, 1990; Feeney &

Noller, 1990). Individu ini juga menunjukkan kebutuhan akan

kedekatan intim secara berlebihan dan berfokus pada perasaan dan

kebutuhannya sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan dan

kebutuhan pasangannya (Daniels & Shaver, 1991).

Berbanding terbalik, individu yang insecure-avoidant

secara konsisten menunjukkan respons yang stabil. Individu ini

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

mengembangkan strategi untuk merasa aman dengan menghindari

kontak dengan lingkungan sosial secara intim, khususnya dalam

situasi yang penuh tekanan. Dalam relasi romantis yang dijalinnya,

individu dengan insecure-avoidant ini melihat hubungan dengan

pesimis dan cenderung menghindari penyelesaian masalah dalam

hubungan. Selain itu, tampak pula penyangkalan atas

kebutuhannya berkenaan dengan kontak fisik dan juga

menghindari pasangannya atau tampak tidak nyaman ketika

pasangannya melakukan kontak fisik dengannya (Hazan & Shaver,

1987). Berikut ialah dinamika yang muncul dari kelekatan yang

tidak aman sebagai dasar dari perilaku kekerasan:

a) Perpisahan dan Kemarahan

Marah adalah respons terhadap perpisahan dengan figur

ibu. Bowlby (1973) menyebutkan bahwa hasil observasi

terhadap anak yang mengalami perpisahan dan tidak mengalami

perpisahan dengan ibu menunjukkan perbedaan yang signifikan

dalam permainan peran. Anak yang mengalami situasi terpisah

dari sang ibu terlihat melakukan tindak agresi atau kekerasan

terhadap ‘boneka dengan rupa ibu mereka’. Rasa marah

terhadap orang tua ini seringkali diekspresikan hanya sesekali

dan diselingi dengan rasa sayang. Situasi seperti ini dinamakan

Bowlby sebagai ambivalence. Anak yang ambivalence insecure

ini menunjukkan ambivalensinya hingga 20 minggu setelah

pertemuan kembali dengan orang tua. Emosi marah yang

ditunjukkan pada situasi tersebut memiliki dua fungsi, yakni

untuk membantu anak dalam mengatasi hambatan saat terjadi

pertemuan kembali dan membuat orang yang dicintainya (figur

lekat) tidak meninggalkannya lagi.

Bowlby juga menandai dugaan bahwa kecemasan

tentang perpisahan merupakan dasar dari emosi marah dalam

hubungan romantis dewasa. Bowlby mengamati bahwa remaja

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

usia 15-18 tahun yang mengalami gangguan perilaku cenderung

didisplinkan oleh orang tua dengan cara ditinggalkan ketika

remaja tidak berperilaku baik. Bowlby juga menambahkan

bahwa emosi marah merupakan tahap pertama sebagai reaksi

atas perpisahan dan manifestasi dari rasa takut terhadap

kehilangan. Rasa marah ini dirancang untuk mengambil kembali

objek yang hilang atau mencengah kehilangan tersebut. Ini

adalah bentuk dari isyarat dan kontrol. Namun, pada

kenyataannya, emosi marah itu sendiri justru menyebabkan

jarak dengan figur yang bersangkutan. Jarak yang muncul saat

emosi marah berlangsung dapat memperbesar rasa keterpisahan

yang berujung pada rasa marah yang lebih besar. Selain itu, jika

rasa takut dan marah semakin ekstrim, maka akan muncul

perilaku kekerasan atau menaruh rasa dendam terhadap figur

yang bersangkutan. Oleh karena alasan inilah, rasa marah

sebagai respons terhadap keterpisahan dapat memproduksi

muatan-muatan emosi yang memuncak pada ledakan

kemarahan. Jadi, rasa marah yang dilahirkan dari rasa takut

(anger born of fear) merupakan sumber penting yang

mengawali ledakan kemarahan.

Jika dikaitkan dengan hubungan romantis dewasa, ketika

relasi dengan orang yang dicintai terancam perpisahan, emosi

yang muncul ialah kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai

respons atas risiko kehilangan, kecemasan dan kemarahan ini

berlangsung bergantian. Ketika pasangan mulai terlihat

menjauh, pemanggilan memori atas kejadian-kejadian positif

yang membuat individu mencintai dan peduli terhadap pasangan

tersebut dapat memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Pada

situasi, waktu, dan level yang tepat, kemarahan bukan hanya

menjadi hal yang wajar, namun sangat diperlukan karena dapat

menghalangi munculnya perilaku yang berbahaya, mengusir

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

emosi-emosi negatif, dan lainnya yang bertujuan untuk

mempertahankan hubungan dengan orang yang dianggap

spesial. Beberapa tipe relasi yang berpotensi melibatkan emosi

marah ialah: 1) relasi antar pasangan seksual – pacar, suami,

atau istri; 2) relasi anak-orang tua; 3) relasi keluarga antar

generasi. Ketika relasi-relasi tersebut terancam, individu yang

ada di dalam ikatan relasi tersebut mengalami kecemasan dan

mungkin kemarahan bisa terjadi (Brisch, 2012).

b) Penolakan dan Kemarahan

Bowlby (dalam Dutton, 1999) menyatakan bahwa

penolakan yang terjadi dalam relasi anak dan ibu dapat

mengganggu sistem kelekatan. Satu-satunya cara untuk

memulihkan sistem tersebut ialah dengan menjalin kontak fisik

dengan figur lekat. Jika ibu sesekali menolak kontak fisik

dengan anak namun beberapa waktu setelahnya mengijinkan

adanya kontak fisik, maka konflik yang terjadi tidak

berlangsung lama. Berbeda halnya dengan ibu yang

menganggap kontak fisik dengan anak merupakan hal yang

tidak menyenangkan, anak cenderung merasa tertolak dan

konflik berlangsung berkepanjangan. Konflik tersebut dapat

menjadi mendalam, serius, dan tidak terkatakan. Anak yang

mengalami penolakan secara fisik oleh orang tua cenderung

mengalami kemarahan dan penarikan diri dalam setiap situasi

yang melibatkan cinta dan kelekatan.

Ketika seorang individu memiliki keyakinan bahwa

figur lekat akan selalu ada saat dibutuhkan, individu tersebut

tidak akan memiliki ketakutan yang kronis dibandingkan

dengan individu yang tidak percaya bahwa figur lekat akan

tersedia saat dibutuhkan. Keyakinan bahwa figur lekat dapat

atau tidak dapat dijangkau oleh individu, perlahan akan

membentuk suatu model perilaku yang diaktifkan selama masa

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

ketidakmatangan – bayi, kanak-kanak, remaja – dan berbagai

ekspektasi apapun yang muncul dalam proses perkembangan

setelah itu sulit untuk mengubah model perilaku yang telah

terbentuk dan relatif menetap. Ekspektasi ini yang disebut

dengan istilah “working models” atau “internal representations”

tentang diri dan pasangan, merupakan komponen sentral dari

kepribadian yang mengatur tentang aspek kesadaran dan

ketidaksadaran tentang pengaturan dan pemaknaan informasi

terkait dengan kelekatan, pengalaman kelekatan, dan perasaan

(Main, Kaplan & Casidy, 1985). Representasi internal tersebut:

1) berisi tentang model dari konsep diri terkait layak atau tidak

layak individu mendapatkan cinta atau perhatian; 2)

menghasilkan ekspektasi yang tidak disadari tentang

konsekuensi dari kelekatan masa lampau; 3) menyediakan pola

dalam membangun relasi sosial di masa mendatang.

G. Paradoks Cinta Pada Perempuan Korban Kekerasan dalam

Pacaran: Antara Pengorbanan dan Perpisahan

Berdasarkan paparan teori di atas, maka dapat disusun

sebuah kerangka teoritis untuk dapat memahami fenomena

kekerasan perempuan dalam pacaran, yakni terkait dengan

konstruksi sosial yang memetakan peran dan fungsi gender seiring

bertambahnya usia memasuki dewasa, tugas perkembangan yang

perlu dipenuhi perempuan di masa remaja akhir menuju dewasa

awal, pola kelekatan perempuan dengan orang tua di masa lampau

dan pola kelekatan perempuan dengan pacar saat ini.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perempuan dan Konstruksi Sosialrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/2/T2_832013016_BAB II... · kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori

Gambar 2.4 Kerangka Pikir Teori

INSECURE SECURE

POLA KELEKATAN

ANAK ORANGTUA

proximity maintenance, safe haven, secure base

Rasa aman, dicintai,

percaya diri,

mengeksplorasi

Menghindari kontak,

merasa cemas, merasa

tidak aman

PERILAKU LEKAT

Resilien terhadap tekanan,

kesejahteraan psikologis,

mengatur emosi

Rapuh terhadap tekanan,

keraguan pada diri sendiri,

sulit mengambil keputusan

PERILAKU LEKAT

DI MASA DEWASA

LINGKARAN

KEKERASAN BERTAHAN

(STAY)

PERGI

(LEAVE)

ANAK PACAR ANAK PACAR