BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelenggaraan Makanan Institusi
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelenggaraan Makanan Institusi
8 Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyelenggaraan Makanan Institusi
Penyelenggaraan makanan merupakan kegiatan sistem yang terintegritas,
terkait satu dengan lainnya. Penyelengaraan makanan institusi dan industri adalah
program terpadu yang terdiri atas perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
pengolahan bahan makanan dan penyajian atau penghidangan makanan dalam
skala besar (Wayansari, Anwar, & Amri, 2018). Penyelenggaraan makanan adalah
suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu, perencanaan kebutuhan
bahan makanan, perencanaan anggaran belanja makanan, pengadaan/penyediaan
bahan makanan, penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan,
pemasakan bahan makanan, pendistribusian makanan kepada konsumen dan
pencatatan, pelaporan serta evaluasi dalam rangka pencapaian status kesehatan
yang optimal yang betujuan menyediakan makanan yang berkualitas sesuai
kebutuhan gizi, biaya, aman, dan dapat diterima oleh konsumen guna mencapai
status gizi yang optimal (Kemenkes RI, 2013).
Penyelenggaraan Makanan Institusi/massal (SPMI/M) adalah
penyelenggaraan makanan yang dilakukan dalam jumlah besar atau massal.
Batasan mengenai jumlah yang diselenggarakan di setiap negara bermacam-
macam, sesuai dengan kesepakatan masing-masing. Di Inggris dianggap
penyelenggaraan makanan banyak adalah bila memproduksi 1000 porsi perhari,
dan di Jepang 3000-5000 porsi sehari. Sedangkan di Indonesia penyelenggaraan
makanan banyak atau massal yang digunakan adalah bila penyelenggaraan lebih
dari 50 porsi sekali pengolahan. Sehingga kalau 3 kali makan dalam sehari, maka
jumlah porsi yang diselenggarakan adalah 150 porsi sehari (Bakri, Intiyati, &
Widartika, 2018).
9
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
Menurut Bakri, Intiyati, dan Widartika (2018) klasifikasi penyelenggaraan
makanan institusi berdasarkan sifat dan tujuannya, dibagi menjadi 2 kelompok
utama, yaitu kelompok institusi yang bersifat non atau semi komersial (service
oriented) dan kelompok institusi yang bersifat komersial (profit oriented).
Kelompok institusi yang bersifat non komersial yaitu pelayanan kesehatan,
sekolah, asrama, institusi sosial, institusi khusus, dan darurat. Sedangkan
kelompok institusi yang bersifat komersial adalah transportasi, industri atau
tenaga kerja, dan komersial. Penyelenggaraan makanan institusi yang termasuk
pada kelompok pelayanan kesehatan adalah yang dilakukan di rumah sakit,
puskesmas perawatan atau klinik perawatan. Diantara ketiga jenis pelayanan
tersebut, penyelenggaraan makanan rumah sakit merupakan yang paling kompleks
dilihat dari aspek manajemen penyelenggaraannya, karena lebih banyak jumlah
tenaga kerjanya, jumlah pasiennya dan jumlah dan jenis menu yang diolah juga
lebih banyak dan bervariasi.
Menurut Bakri, Intiyati, dan Widartika (2018) untuk dapat menyediakan
makanan yang baik bagi konsumen maka dalam pelayanan makanan, pihak
penyelenggara harus menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Makanan harus memenuhi kebutuhan gizi konsumen.
2. Memenuhi syarat higiene dan sanitasi.
3. Peralatan dan fasilitas memadai dan layak digunakan.
4. Memenuhi selera dan kepuasan konsumen.
5. Harga makanan dapat dijangkau konsumen.
Untuk dapat memenuhi kelima prinsip tersebut, pengelola
penyelenggaraan makanan institusi harus merencanakan dan menetapkan terlebih
dahulu, target konsumen yang akan dilayani sehingga dapat memperhitungkan
besar porsi yang akan disajikan untuk memenuhi kebutuhan konsumennya,
termasuk biaya yang dibutuhkan sesuai dengan kemampuan konsumennya dengan
tetap memperhatikan mutu makanan yang disajikan sehingga aman untuk
dikonsumsi.
10
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
B. Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit
Menurut Kemenkes RI (2013) penyelenggaraan makanan rumah sakit
merupakan rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu, perencanaan
kebutuhan bahan makanan, perencanaan anggaran belanja, pengadaan bahan
makanan, penerimaan dan penyimpanan, pemasakan bahan makanan, distribusi
dan pencatatan, pelaporan serta evaluasi. Tujuan dari penyelenggaraan makanan
rumah sakit yaitu menyediakan makanan yang berkualitas sesuai kebuthan gizi,
biaya aman, dan dapat diterima oleh konsumen guna mencapai status gizi yang
optimal. Dengan sasaran yaitu pasien rawat inap dan sesuai dengan kondisi rumah
sakit dapat juga dilakukan penyelenggaraan bagi karyawan.
Menurut Bakri, Intiyati, dan Widartika (2018) tujuan penyelenggaraan
makanan di rumah sakit sebagai berikut :
1. Menyediakan makanan yangs sesuai dengan kebutuhan gizi pasien dalam
upaya mempercepat penyembuhan penyakit serta memperpendek masa rawat.
2. Menyediakan makanan bagi karyawan rumah sakit untuk memenuhi
kebutuhan gizi selama bertugas.
3. Mencapai efektivitas dan efisiensi penggunaan biaya makanan secara
maksimal.
Adapun karakteristik penyelenggaraan makanan di rumah sakit yaitu :
1. Kebutuhan bahan makanan sangat dipengaruhi oleh jenis diet pasien dan
jumlahnya berubah sesuai jumlah pasien.
2. Standar makanan ditetapkan khusus untuk kebutuhan orang sakit sesuai
dengan penyakitnya kebijakan rumah sakit.
3. Frekuensi dan waktu makan, macam pelayanan dan distribusi makanan dibuat
sesuai dengan peraturan rumah sakit.
4. Makanan yang disajikan meliputi makanan lengkap untuk kebutuhan satu hari
dan makanan selingan.
5. Dilakukan dengan menggunakan kelengkapan sarana fisik, peralatn, dan
sarana penunjang lain sesuai dengan kebutuhan untuk orang sakit.
6. Menggunakan tenaga khusus di bidang gizi dan kuliner yang kompeten.
11
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
Menurut Kemenkes (2013) kegiatan penyelenggaraan makanan untuk
konsumen rumah sakit sebagai berikut :
1. Penetapan Peraturan Pemberian Makanan Rumah Sakit
Peraturan Pemberian Makanan Rumah Sakit (PPMRS) adalah suatu
pedoman yang ditetapkan pimpinan rumah sakit sebagai acuan dalam
memberikan pelayanan makanan pada pasien dan karyawan yang sekurang –
kurangnya mencakup ketentuan macam konsumen yang dilayani, kandungan
gizi, pola menu dan frekuensi makan sehari, serta jenis menu. Dengan tujuan
tersedianya ketentuan tentang macam konsumen, standar pemberian
makanan, macam dan jumlah makanan konsumen sebagai acuan yang berlaku
dalam penyelenggaraan makanan rumah sakit.
2. Penyusunan Standar Bahan Makanan Rumah Sakit
Standar bahan makanan sehari adalah acuan/patokan macam dan
jumlah bahan makanan (berat kotor) seorang sehari, disusun berdasarkan
kecukupan gizi pasien yang tercantum dalam Penuntun Diet dan disesuaikan
dengan kebijakan rumah sakit. Dengan tujuan tersedianya acuan macam dan
jumlah bahan makanan seorang sehari sebagai alat untuk merancang
kebutuhan macam dan jumlah bahan makanan dalam penyelenggaraan
makanan.
3. Perencanaan Menu
Perencanaan menu adalah serangkaian kegiatan menyusun dan
memadukan hidangan dalam variasi yang serasi, harmonis yang memenuhi
kecukupan gizi, cita rasa yang sesuai dengan selera konsumen/pasien, dan
kebijakan institusi. Dengan tujuan tersusunnya menu yang memenuhi
kecukupan gizi, selera konsumen serta untuk memenuhi kepentingan
penyelenggaraan makanan di rumah sakit.
4. Perencanaan Kebutuhan Bahan Makanan
Serangkaian kegiatan menetapkan macam, jumlah dan mutu bahan
makanan yang diperlukan dalam kurun waktu tertentu, dalam rangka
mempersiapkan penyelenggaraan makanan rumah sakit. Dengan tujuan
12
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
tersedianya taksiran macam dan jumlah bahan makanan dengan spesifikasi
yang ditetapkan, dalam kurun waktu yang ditetapkan untuk pasien rumah
sakit.
5. Perencanaan Anggaran Bahan Makanan
Perencanan anggaran belanja makanan adalah suatu kegiatan
penyusunan biaya yang diperlukan untuk pengadaan bahan makanan bagi
pasien dan karyawan yang dilayani. Dengan tujuan tersedianya rancangan
anggaran belanja makanan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
macam dan jumlah bahan makanan bagi konsumen/pasien yang dilayani
sesuai dengan standar yang ditetapkan.
6. Pengadaan Bahan Makanan
Kegiatan pengadaan bahan makanan meliputi penetapan spesifikasi
bahan makanan, perhitungan harga makanan, pemesanan dan pembelian
bahan makanan dan melakukan survei pasar. Spesifikasi bahan makanan
adalah standar bahan makanan yang ditetapkan oleh unit/ Instalasi Gizi sesuai
dengan ukuran, bentuk, penampilan, dan kualitas bahan makanan. Survei
pasar adalah kegiatan untuk mencari informasi mengenai harga bahan
makanan yang ada dipasaran, sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan
sebagai dasar perencanaan anggaran bahan makanan. Dari survei tersebut
akan diperoleh perkiraan harga bahan makanan yang meliputi harga terendah,
harga tertinggi, harga tertimbang dan harga perkiraan maksimal.
7. Pemesanan dan Pembelian Bahan Makanan
Pemesanan bahan makanan adalah penyusunan permintaan (order)
bahan makanan berdasarkan pedoman menu dan rata-rata jumlah
konsumen/pasien yang dilayani, sesuai periode pemesanan yang ditetapkan
dengan tujuan tersedianya daftar pesanan bahan makanan sesuai menu, waktu
pemesanan, standar porsi bahan makanan dan spesifikasi yang ditetapkan.
Pembelian bahan makanan merupakan serangkaian kegiatan penyediaan
macam, jumlah, spesifikasi bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan
konsumen/pasien sesuai ketentuan/ kebijakan yang berlaku. Pembelian bahan
13
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
makanan merupakan prosedur penting untuk memperoleh bahan makanan,
biasanya terkait dengan produk yang benar, jumlah yang tepat, waktu yang
tepat dan harga yang benar.
8. Penerimaan Bahan Makanan
Suatu kegiatan yang meliputi memeriksa, meneliti, mencatat,
memutuskan dan melaporkan tentang macam dan jumlah bahan makanan
sesuai dengan pesanan dan spesifikasi yang telah ditetapkan, serta waktu
penerimaannya. Dengan tujuan diterimanya bahan makanan sesuai dengan
daftar pesanan, waktu pesan dan spesifikasi yang ditetapkan.
9. Penyimpanan dan Penyaluran Bahan Makanan
Penyimpanan bahan makanan adalah suatu tata cara menata,
menyimpan, memelihara jumlah, kualitas, dan keamanan bahan makanan
kering dan segar di gudang bahan makanan kering dan dingin/beku. Dengan
tujuan tersedianya bahan makanan yang siap digunakan dalam jumlah dan
kualitas yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Penyaluran bahan makanan
adalah tata cara mendistribusikan bahan makanan berdasarkan permintaan
dari unit kerja pengolahan makanan. Dengan tujuan tersedianya bahan
makanan siap pakai dengan jumlah dan kualitas yang tepat sesuai dengan
pesanan dan waktu yang diperlukan.
10. Persiapan Bahan Makanan
Persiapan bahan makanan adalah serangkaian kegiatan dalam
mempersiapkan bahan makanan yang siap diolah (mencuci, memotong,
menyiangi, meracik, dan sebagainya) sesuai dengan menu, standar resep,
standar porsi, standar bumbu dan jumlah pasien yang dilayani.
11. Pemasakan Bahan Makanan
Pemasakan bahan makanan merupakan suatu kegiatan mengubah
(memasak) bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan,
berkualitas, dan aman untuk di konsumsi. Dengan tujuan :
a. Mengurangi resiko kehilangan zat-zat gizi bahan makanan.
b. Meningkatkan nilai cerna.
14
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
c. Meningkatkan warna, rasa, keempukan dan penampilan makanan.
d. Bebas dari organisme dan zat yang berbahaya untuk tubuh.
12. Distribusi Makanan
Distribusi makanan adalah serangkaian proses kegiatan penyampaian
makanan sesuai dengan jenis makanan dan jumlah porsi pasien yang dilayani.
Dengan tujuan konsumen/pasien mendapat makanan sesuai diet dan ketentuan
yang berlaku.
C. Keamanan Pangan
Menurut Kemenkes RI (2013) keamanan pangan adalah kondisi dan upaya
yang diperlukan untuk mencegah terjadinya cemaran biologis, kimiawi, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan. Makanan
yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan food borne
disease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi makanan yang
mengandung atau tercemar bahan/senyawa beracun atau organisme patogen.
Menurut BPOM (2015), Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan tiga cemaran, yaitu
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Pangan
olahan yang diproduksi harus sesuai dengan Cara Pembuatan Pangan Olahan yang
Baik untuk menjamin mutu dan keamanannya. Selain itu pangan harus layak
dikonsumsi yaitu tidak busuk, tidak menjijikkan, dan bermutu baik, serta bebas
dari Cemaran Biologi, Kimia dan Cemaran Fisik.
1. Cemaran Biologi
Cemaran biologi yang terdapat di pangan dapat berupa bakteri,
kapang, khamir, parasit, virus dan ganggang. Pertumbuhan mikroba ini bisa
menyebabkan pangan menjadi busuk sehingga tidak layak untuk dimakan dan
menyebabkan keracunan pada manusia bahkan kematian.
15
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
2. Cemaran Kimia
Cemaran kimia merupakan bahan kimia yang tidak diperbolehkan
untuk digunakan dalam pangan. Cemaran kimia masuk ke dalam pangan
secara sengaja maupun tidak sengaja dan dapat menimbulkan bahaya.
3. Cemaran Fisik
Cemaran fisik berupa benda-benda yang tidak boleh ada dalam
pangan seperti rambut, kuku, staples, serangga mati, batu atau kerikil,
pecahan gelas atau kaca, logam dan lain-lain. Benda-benda ini jika termakan
dapat menyebabkan luka, seperti gigi patah, melukai kerongkongan dan perut.
Benda tersebut berbahaya karena dapat melukai dan atau menutup jalan nafas
dan pencernaan. Cara pencegahan cemaran Fisik yaitu perhatikan dengan
seksama kondisi pangan yang akan dikonsumsi.
D. GMP (Good Manufacturing Practices)
GMP adalah cara produksi yang baik dan benar untuk menghasilkan
produk yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan. GMP merupakan
kelayakan dasar yang harus dapat dilaksanakan secara baik sebelum dapat
menerapkan HACCP. Ruang lingkup GMP meliputi kegiatan saat pra panen,
pemanenan atau penangkapan, penanganan awal, cara pengengkutan ke tempat
konsumen, cara penanganan bahan baku dan cara pengolahan menjadi produk
pangan, cara pengemasan, cara penyimpanan, cara distribusi, dan cara
pengendalian kondisi lingkungan (Pudjirahaju, 2018). GMP merupakan kaidah
cara pengolahan makanan yang baik dan benar untuk menghasilkan
makanan/produk akhir yang aman, bermutu dan sesuai dengan selera konsumen
(Kemenkes RI, 2013). Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa GMP adalah
suatu pedoman cara dalam produksi makanan yang baik dan benar untuk
menghasilkan makanan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan dan
sesuai dengan selera konsumen.
Menurut Pudjirahaju (2018) tujuan utama penerapan GMP adalah
menghasilkan produk pangan sesuai standar mutu dan memberikan jaminan
keamanan pangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, semua tahapan dalam
kegiatan produksi pangan harus dilaksanakan secara baik dan benar, berdasarkan
16
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
prinsip GMP. Penerapan GMP secara benar, diperlukan landasan ilmu
pengetahuan dan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Ilmu
pengetahuan mutlak diperlukan agar proses penanganan dan pengolahan bahan
pangan menjadi produk pangan dapat dilakukan dengan benar. Sedangkan standar
diperlukan dalam menentukan apakah hasil pekerjaan sudah baik. Indonesia telah
memiliki standar yang dapat digunakan, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI).
Tujuan dari perlunya penerapan sistem GMP adalah untuk melindungi
konsumen dari produksi makanan yang tidak aman dan tidak memenuhi syarat,
memberikan jaminan kepada konsumen bahwa makanan yang diproduksi sudah
aman dan layak konsumsi, dan mempertahankan serta meningkatkan kepercayaan
terhadap makanan yang disajikan. Pada hakekatnya GMP tidak terlepas dari
higiene dan sanitasi. Higiene dan sanitasi mempunyai pengertian dan tujuan yang
hampir sama yaitu mencapai kesehatan yang prima. Higiene adalah usaha
preventif yang menitik beratkan kegiatannya kepada usaha kesehatan individu.
Sedangkan sanitasi adalah usaha kesehatan lingkungan lebih banyak
memperhatikan masalah kebersihan untuk mencapai kesehatan (Kemenkes RI,
2013).
Sanitasi makanan merupakan salah satu upaya untuk pencegahan yang
menitik beratkan pada kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan
makanan dan minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu atau merusak
kesehatan mulai dari sebelum makanan diproduksi, selama proses pengolahan,
penyiapan, pengangkutan, sampai pada saat makanan tersebut siap untuk
dikonsumsi kepada konsumen. Higiene tenaga penjamah yaitu berupa kebersihan
dan kesehatan penjamah makanan merupakan kunci kebersihan dalam pengolahan
makanan yang aman dan sehat, karena tenaga penjamah makanan juga merupakan
salah satu faktor yang dapat mencemari bahan pangan baik berupa cemaran fisik,
kimia, maupun biologis (Kemenkes RI, 2013).
Menurut Pudjirahaju (2018) terdapat beberapa ruang lingkup penerapan
sistem GMP pada produksi makanan yaitu keadaan lokasi/lingkungan produksi,
bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, suplai air, fasilitas dan kegiatan
higiene dan sanitasi, pengendalian hama, kesehatan dan higiene karyawan,
17
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
pengendalian proses, penyimpanan bahan dan produk, serta pelatihan karyawan.
Ruang lingkup penerapan sistem GMP pada produksi makanan sebagai berikut :
1. Lokasi/Lingkungan Produksi
Menurut Kemenperin (2010) tentang GMP bahwa untuk menetapkan
letak tempat produksi, perlu mempertimbangkan lokasi dan keadaan
lingkungan yang bebas dari sumber pencemaran dalam upaya melindungi
pangan olahan yang diproduksi. Tempat produksi harus jauh dari daerah
lingkungan yang tercemar atau daerah tempat kegiatan industri yang
menimbulkan pencemaran terhadap pangan olahan. Jalan menuju tempat
produksi tidak menimbulkan debu atau genangan air, dengan disemen, dan
dibuat saluran air yang mudah dibersihkan. Tempat produksi seharusnya jauh
dari tempat pembuangan sampah umum, limbah atau permukiman penduduk
kumuh, tempat rongsokan dan tempat-tempat lain yang dapat menjadi sumber
cemaran.
Dalam pemilihan lokasi produksi harus sebelumnya dipilih
sedemikian rupa sehingga mampu melindungi pangan dan segala ancaman
kontaminasi dari luar. Lokasi sebaiknya jauh dari kawasan yang
lingkungannya berpolusi, rawan banjir, daerah yang banyak peluang
terjadinya masuk dan berkembangnya hama, serta kawasan dimana limbah
padat maupun cair tidak dapat disingkirkan/dibuang secara efektif (Winarno,
FG. 2011).
2. Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan ruangan dibuat berdasarkan perencanaan yang
memenuhi persyaratan teknik dan higiene sesuai dengan jenis pangan olahan
yang diproduksi serta sesuai urutan proses produksi, sehingga mudah
dibersihkan, mudah dilakukan kegiatan sanitasi, mudah dipelihara dan tidak
terjadi kontaminasi silang diantara produk. Bagian dalam ruangan dan tata
letak pabrik/tempat produksi seharusnya dirancang sehingga memenuhi
persyaratan higiene pangan olahan yang mengutamakan persyaratan mutu dan
keamanan pangan olahan, dengan cara baik, mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta melindungi makanan atau minuman dari kontaminasi silang
18
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
selama proses. Struktur ruangan harus terbuat dari bahan yang tahan lama,
mudah dipelihara dan dibersihkan atau didesinfeksi. Struktur ruangan pabrik/
tempat produksi pengolahan pangan meliputi: lantai, dinding, atap, pintu,
jendela, ventilasi dan permukaan tempat kerja serta penggunaan bahan gelas,
sesuai dengan persyaratan (Kemperin, 2010).
Menurut Winarno, FG (2011) bangunan dirancang dan dibangun
untuk memastikan kemungkinan terjadinya kontaminasi minimal. Struktur
bangunan didalam gedung bangunan harus dibuat dari bahan yang awet dan
kuat. Kontruksi tersebut harus mudah dan murah maintenance-nya, serta
mudah secara pembersihannya dan bila mungkin juga mudah cara
disinfektasinya. Bangunan ruangaan produksi makanan harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. Bangunan tempat produksi harus dirancang sehingga memenuhi
persyaratan higiene yang mengutamakan persyaratan mutu dan
keamanan pangan olahan dengan cara mudah dibersihkan dan
didesinfeksi serta melindungi makanan atau minuman dari
kontaminasi silang selama proses.
b. Lantai pada ruangan harus kedap air, tahan terhadap garam, basa,
asam/bahan kimia lainnya, permukaan rata, halus tetapi tidak licin,
dan mudah dibersihkan.
c. Dinding pada ruangan produksi makanan terbuat dari bahan tidak
beracun, rata, halus, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah
mengelupas, dan mudah dibersihkan, serta tidak menyerap air, tahan
terhadap garam, basa, asam/bahan kimia lainnya.
d. Langit-langit terbuat dari bahan tahan lama, tahan terhadap air, dan
tidak bocor. Terbuat dari bahan yang tidak mudah terkikis dan tidak
mudah retak serta tidak berlubang. Langit-langit rata, berwarna
terang, dan mudah dibersihkan.
e. Pintu harus terbuat dari bahan tahan lama, kuat, tidak mudah pecah,
rata, halus, berwarna terang, mudah dibersihkan. Pintu harus
membuka keluar agar tidak masuk debu atau kotoran dari luar.
19
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
f. Jendela dan ventilasi harus terbuat dari bahan tahan lama, tidak
mudah pecah, rata, halus, berwarna terang, mudah dibersihkan.
jendela harus setinggi minimal 1 meter untuk memudahkan menutup
dan membuka, dsn jumlah serta ukuran jendela seharusnya sesuai
dengan luas bangunannya.
g. Permukaan tempat kerja yang kontak langsung dengan bahan pangan
olahan harus dalam kondisi baik, tahan lama, mudah dipelihara dan
dibersihkan.
3. Peralatan Produksi
Baik mesin dan peralatan harus terbuat dari bahan yang tidak beracun,
dapat dilepas dan dipasang kembali untuk memberikan peluang melakukan
pembersihan dan peninjauan. Mesin harus dipasang agak jauh dari dinding
agar memindahkan proses pembersihan untuk mencegah investasi hama.
Pembersihan terhadap debu dan khusunya lemak yang menempel dialat
dilakukan dengan bantuan sabun dan detergent (Winarno, FG. 2011).
Mesin/peralatan yang kontak langsung dengan bahan pangan olahan
didesain, dikonstruksi dan diletakkan sehingga menjamin mutu dan keamanan
produk yang dihasilkan. Mesin/peralatan yang dipergunakan dalam proses
produksi seharusnya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Sesuai dengan jenis produksi.
b. Permukaan yang kontak langsung bahan pangan halus, tidak
berlubang, tidak mengelupas, tidak menyerap air dan tidak berkarat.
c. Tidak menimbulkan pencemaran terhadap produk oleh jasad renik,
bahan logam yang terlepas dari peralatan, minyak pelumas, bahan
bakar dan bahan-bahan lain yang menimbulkan bahaya.
d. Mudah dilakukan pembersihan dan pemeliharaan untuk mencegah
pencemaran terhadap bahan pangan olahan.
e. Terbuat dari bahan yang tahan lama, tidak beracun, mudah dibongkar
pasang, sehingga memudahkan pemeliharaan dan pengendalian hama.
(Kemenperin, 2010).
Menurut Kemnkes RI (2013) Peralatan yang akan kontak dengan
makanan memiliki syarat-syarat yaitu :
20
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
a. Peralatan masak dan peralatan makan harus terbuat dari bahan tara
makanan (food grade) yaitu peralatan yang aman dan tidak berbahaya
bagi kesehatan.
b. Lapisan permukaan peralatan tidak larut dalam suasana asam/basa
atau garam yang lazim terdapat dalam makanan dan tidak
mengeluarkan bahan berbahaya dan logam berat beracun seperti
Timah hitam (Pb), Arsenikum (As), Tembaga (Cu), Seng (Zn),
Cadmium (Cd), dan Antimon (Stibimum).
c. Talenan terbuat dari bahan selain kayu, kuat, dan tidak melepaskan
bahan yang beracun.
d. Perlengkapan pengolahan seperti kompor, tabung gas, lampu, kipas
angin harus bersih, kuat dan berfungsi dengan baik, tidak menjadi
sumber pencemaran dan tidak menyebabkan sumber kecelakaan.
e. Peralatan yang bersih siap pakai tidak boleh dipegang di bagian
kontak langsung dengan makanan.
f. Kebersihan alat artinya tidak boleh mengandung Eschericia coli dan
kuman lainnya yang dapat menyebabkan kontaminasi.
g. Keadaan peralatan harus utuh, artinya tidak cacat, tidak retak, tidak
gompal dan mudah dibersihkan.
h. Wadah penyimpanan yang digunakan harus mempunyai tutup yang
dapat menutup sempurna dan dapat mengeluarkan udara panas dari
makanan untuk mencegah pengembunan.
i. Wadah penyimpanan terpisah untuk setiap jenis makanan, makanan
jadi/masak serta makanan basah dan kering.
4. Suplai Air
Setiap air yang masuk dan akan bersentuhan dengan bahan pangan
harus memenuhi persyaratan mutu air minum (PAM). Harus terjamin
kecukupan suplai air minum dan telah dilengkapi dengan fasilitas yang baik,
untuk penyimpanan, distribusi dan pengendalian suhu. Air minum harus
memenuhi persyaratan terkini sesuai pedoman kementrian kesehatan atau
BPOM yang memenuhi selayaknya air minum. Air yang tidak ditujukan
sebagai air minum (potable water) harus menggunakan sistem distibusi dan
21
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
penyimpanan yang terpisah. Selama proses, keran saluran air dan semua
peluang akan menjadi sumber kontaminasi harus dirancang atau didesign agar
mampu mencegah terjadinya air balik (Winarno, FG. 2011).
5. Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi
Industri pengolahan pangan seharusnya mempunyai sarana hygiene
karyawan untuk menjamin kebersihan karyawan guna mencegah kontaminasi
terhadap bahan pangan olahan yaitu fasilitas untuk cuci tangan, fasilitas ganti
pakaian dan fasilitas pembilas sepatu kerja (Kemenperin, 2010). Fasilitas
higiene harus tersedia dengan baik untuk memastikan bahwa tingkat higiene
karyawan dapat dijamin setiap saat. Fasilitas yang baik meliputi peralatan
yang cukup untuk melakukan pencucian tangan dan penegringan tangan
secara higiene, suplai air minum secara terus menerus kapan saja, dan jumlah
toilet yang cukup untuk memenuhi keperluan bagi seluruh karyawan.
Fasilitas-fasilitas tersebut harus dirancang dengan benar dan ditempatkan
dengan benar (Winarno, FG. 2011).
Menurut Kemenperin (2010) fasilitas sanitasi pada bangunan tempat
produksi dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik
dan higiene. Fasilitas sanitasi tersebut meliputi sarana penyediaan air, sarana
pembuangan air dan limbah, sarana pembersihan/pencucian, dan sarana toilet.
Untuk sarana penyediaan air seharusnya dilengkapi dengan tempat
penampungan air dan pipa-pipa untuk mengalirkan air, serta sistem pemipaan
seharusnya dibedakan antara air minum atau air yang kontak langsung dengan
bahan pangan olahan dengan air yang tidak kontak langsung dengan bahan
pangan olahan, misalnya dengan tanda atau warna berbeda. Untuk sarana
pembuangan air dan limbah seharusnya didesain dan dikonstruksi sehingga
dapat mencegah resiko pencemaran pangan olahan, air minum dan air bersih.
Untuk sarana pembersihan seharusnya dilengkapi dengan sumber air bersih
dan apabila memungkinkan dapat dilengkapi dengan suplai air panas dan
dingin untuk tujuan disinfeksi peralatan. Dan sarana toilet seharusnya
didesain dan dikonstruksi dengan memperhatikan persyaratan higiene,
sumber air yang mengalir dan saluran pembuangan dan dengan jumlah yang
sesuai.
22
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
6. Pengendalian Hama
Hama (binatang pengerat, serangga, unggas dan lainnya) merupakan
penyebab utama menurunnya mutu dan keamanan pangan olahan. Praktek
higiene yang baik harus diterapkan untuk mencegah masuknya hama ke
dalam pabrik. Program pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi
kemungkinan serangan hama melalui :
a. Program sanitasi yang baik
b. Pengawasan terhadap bahan-bahan yang masuk ke dalam tempat
produksi
c. Memantau atau mengurangi penggunaan pestisida, insektisida dan
rodentisida yang dapat mencemari produk.
Untuk mencegah masuknya hama ke dalam tempat produksi
seharusnya dilakukan tindakan seperti tempat produksi dalam keadaan
terawat dengan kondisi baik, lubang yang memungkinkan masuknya hama
dalam keadaan tertutup, dan Jendela, pintu dan ventilasi dilapisi dengan kasa
dari kawat. Sarang hama seharusnya segera dimusnahkan. Pembasmian hama
dengan bahan kimia, bahan biologi atau secara fisik seharusnya dilakukan
tanpa mempengaruhi mutu dan keamanan produk (Kemenperin, 2010).
7. Kesehatan dan Higiene Karyawan
Higiene dan kesehatan karyawan yang baik akan memberikan jaminan
bahwa pekerja yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan
yang diolah tidak akan mencemari produk (Kemenperin, 2010). Untuk
menjadi seorang karyawan (penjamah makanan) harus memenuhi beberapa
syarat. Syarat seorang penjamah makanan dalam Permenkes RI No. 1096
Tahun 2011 :
a. Seorang penjamah makanan memiliki sertifikat kursus higiene sanitasi
makanan
b. Berbadan sehat dibuktikan dengan surat keterangan dokter
c. Tidak mengidap penyakit menular seperti tipus, kolera, TBC, hepatitis
dan lain-lain atau pembawa kuman (carrier)
d. Setiap karyawan harus memiliki buku pemeriksaan kesehatan yang
berlaku
23
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
e. Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara
terlindung dari kontak langsung dengan tubuh
Kesehatan dan kebersihan diri penjamah makanan merupakan kunci
kebersihan dalam pengolahan makanan yang aman dan sehat, karena
penjamah makanan juga merupakan salah satu vektor yang dapat mencemari
bahan pangan baik berupa cemaran fisik, kimia, maupun biologis (Kemenkes
RI, 2013). Adapun syarat-syarat dari higiene penjamah makanan menurut
Kemnkes RI (2013) adalah sebagai berikut :
a. Kondisi kesehatan : tidak menderita penyakit yang mudah menular,
seperti batuk, pilek, influenza, diare, penyakit menular lainnya. Kalau
ada luka maka luka harus ditutup.
b. Menjaga kebersihan diri : mandi teratur dengan sabun dan air bersih,
menggosok gigi dengan pasta dan sikat gigi secara teratur, paling
sedikit dua kali dalam sehari, membiasakan membersihkan lubang
hidung, lubang telinga, dan sela jari secara teratur, mencuci
rambut/keramas secara rutin minimal dua kali dalam seminggu, serta
kebersihan tangan seperti, memotong kuku, kuku tidak di cat atau
kutek dan bebas luka.
c. Kebiasaan mencuci tangan : sebelum menjamah atau memegang
makanan, sebelum memegang peralatan makan, setelah keluar dari wc
atau kamar kecil, setelah meracik bahan mentah, setelah mengerjakan
pekerjaan lain seperti bersalaman, menyetir kendaraan, memperbaiki
peralatan, memegang uang, dan lain-lain.
d. Perilaku penjamah makanan dalam melakukan kegiatan pelayanan
penanganan makanan : tidak menggaruk–garuk rambut, lubang hidung
atau sela–sela jari/kuku, tidak merokok, menutup mulut saat bersin
atau batuk, tidak meludah sembarangan diruang pengolahan makanan,
tidak menyisir rambut sembarangan terutama dalam ruang
pengolahan, tidak memegang/mengambil/mencicipi makanan
langsung dengan tangan (tanpa alat), tidak memakan permen dan
sejenisnya pada saat pengolahan makanan.
24
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
e. Penampilan penjamah makanan : selalu bersih dan rapi, memakai
celemek, memakai penutup kepala, memakai alas kaki yang tidak
licin, tidak memakai perhiasan dan memakai sarung tangan jika
diperlukan.
Menurut Winarno, FG (2011) karyawan yang berhubungan dengan
produksi makanan harus :
a. Dalam keadaan sehat
b. Bebas dari luka, penyakit kulit, atau hal lain yang diduga .dapat
mengakibatkan pencemaran terhadap hasil produksi
c. Diteliti dan diawasi kesehatannya secara berkala
d. Mengenakan pakaian kerja, termasuk sarung tangan, tutup kepala dan
sepatu yang sesuai
e. Mencuci tangan di bak cuci tangan sebelum melakukan pekerjaan
f. Menahan diri untuk tidak makan, minum, merokok, meludah atau
melakukan tindakan lain selama melakukan pekerjaan yang dapat
mengakibatkan pencemaran terhadap produk makanan dan tidak
merugikan karyawan Iain.
Perusahaan yang memproduksi makanan harus menunjuk dan
menetapkan penanggung jawab untuk bidang produksi dan pengawasan mutu
yang memiliki kwalifikasi sesuai densan tugas dan tanggung jawabnya.
Seyogyanya penanggung jawab bidang produksi tidak nrerangkap sebagai
penanggung jawab pengawasan mutu.
8. Pengendalian/Pengawasan Proses
Untuk mengurangi terjadinya produk yang tidak memenuhi syarat
mutu dan keamanan, perlu tindakan pencegahan melalui pengawasan yang
ketat terhadap kemungkinan timbul bahaya pada setiap tahap proses.
Pengendalian yang dilakukan yaitu berupa pengawasan proses, pengawasan
bahan, pengawasan terhadap kontaminasi, dan pengawasan proses khusus.
Pengawasan proses dimaksudkan untuk menghasilkan pangan olahan yang
aman dan layak untuk dikonsumsi dengan memformulasikan persyaratan-
persyaratan yang berhubungan dengan bahan baku, komposisi, proses
pengolahan dan distribusi dan mendesain, mengimplementasi, memantau dan
25
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
mengkaji ulang sistem pengawasan yang efektif. Pengawasan bahan berupa
bahan yang akan digunakan diperiksa terlebih dahulu secara organoleptik dan
juga diuji secara kimia dan mikrobiologi di laboratorium serta perusahaan
seharusnya memelihara catatan mengenai bahan yang digunakan.
Pengawasan terhadap kontaminan berupa proses produksi harus diatur
sehingga dapat mencegah masuknya bahan kimia berbahaya dan bahan asing
ke dalam pangan yang diolah, misalnya bahan pembersih, pecahan kaca,
potongan logam, kerikil dan Iain-lain. Pengawasan proses khusus dilakukan
pada proses produksi khusus atau tahap lainnya yang dapat menimbulkan
bahaya pada pangan olahan harus mendapat pengawasan misalnya proses
iradiasi, penutupan hermetis pada pengalengan, dan pengemasan vakum
(Kemenperin, 2010).
Menurut Winarno, FG (2011). Pengawasan proses memiliki beberapa
aspek yaitu sebagai berikut :
a. Formula Dasar
Untuk setiap jenis produk harus ada formula dasar yang
menyebutkan :
1) Jenis bahan yang digunakan, baik bahan baku, bahan tambahan
maupun bahan penolong, serta persyaratan mutunya
2) Jumlah bahan untuk satu kali pengolahan
3) Tahap-tahap proses pengolahan
4) Langkah-langkah yang perlu diperhati.kan selama proses
pengolahan dengan mengingat faktor waktu, suhu, kelembaban,
tekanan dan sebagainya, sehingga tidak mengakibatkan peruraian,
pembusukan, kerusakan dan pencemaran pada produk akhir
5) Jumlah hasil yang diperoleh untuk satu kali pengolahanl
6) Uraian mengenai wadah, Iabel serta cara pewadahan dan
pembungkusan
7) Cara pemeriksaan bahan, produk antara dan produk akhir
8) Ha1 lain yang dianggap perlu sesuai dengan jenis produk, untuk
menjamin dihasilkannya produk yang memenuhi persyaratan.
26
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
b. Protokol Pembuatan
Untuk setiap satuan pengolahan harus ada instruksi tertulis dalam
beirtuk protkol pembuatan yang menyebutkan :
1) Nama makanan
2) Tanggal pembuatan dan nomor kode
3) jenis dan jumlah bahan yang digunakan
4) Tahap-tahap pengolahan dan haI:hal yang perlu diperhatikan
selama proses pengolahan
5) Jumlah hasil pengolahan
6) Hal lain yang dianggap perlu.
9. Penyimpanan Bahan dan Produk
Menurut Kemenperin (2010) penyimpanan bahan yang digunakan
dalam proses produksi (bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, BTP)
dan produk akhir dilakukan dengan baik sehingga tidak mengakibatkan
penurunan mutu dan keamanan pangan olahan. Cara penyimpanan meliputi :
a. Penyimpanan Bahan dan Produk Akhir
Penyimpanan bahan seharusnya menggunakan sistem kartu
yang menyebutkan: nama bahan, tanggal penerimaan, asal bahan,
tanggal pengeluaran, jumlah pengeluaran dan informasi lain yang
diperlukan. Penyimpanan produk akhir seharusnya menggunakan
sistem kartu yang menyebutkan nama produk, tanggal produksi, kode
produksi, tanggal pengeluaran, jumlah pengeluaran dan informasi lain
yang diperlukan.
b. Penyimpanan Bahan Berbahaya
Penyimpanan bahan berbahaya (disinfektan, insektisida,
pestisida, rodentisida, bahan mudah terbakar/meledak dan bahan
berbahaya lainnya) harus dalam ruangan tersendiri dan diawasi agar
tidak mencemari bahan dan produk akhir, serta tidak membahayakan
karyawan.
27
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
c. Penyimpanan Wadah dan Pengemas
Penyimpanan wadah dan pengemas harus rapih, di tempat bersih
dan terlindung agar saat digunakan tidak mencemari produk.
d. Penyimpanan Label
Label seharusnya disimpan secara rapih dan teratur agar tidak
terjadi kesalahan dalam penggunaannya.
e. Penyimpanan Mesin/Peralatan Produksi
Penyimpanan mesin/peralatan produksi yang telah dibersihkan
tetapi belum digunakan harus dalam kondisi baik.
10. Pelatihan Karyawan
Pelatihan dan pembinaan merupakan hal penting bagi industri
pengolahan pangan dalam melaksanakan sistem higiene. Kurangnya pelatihan
dan pembinaan terhadap karyawan merupakan ancaman terhadap mutu dan
keamanan produk yang dihasilkan. Pembina dan pengawas pengolahan harus
mempunyai pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan praktek higiene
pangan olahan agar mampu mendeteksi resiko yang mungkin terjadi dan bila
perlu mampu memperbaiki penyimpangan yang terjadi. Program pelatihan
yang diberikan seharusnya dimulai dari prinsip dasar sampai pada praktek
cara produksi yang baik, meliputi pelatihan/ penyuluhan yang terkait dengan :
a. Dasar-dasar higiene karyawan dan higiene pangan olahan kepada
petugas pengolahan
b. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan mutu dan kerusakan
pangan olahan termasuk yang mendukung pertumbuhan jasad renik
patogen dan pembusuk
c. Faktor-faktor yang mengakibatkan penyakit dan keracunan melalui
pangan olahan
d. Cara produksi pangan olahan yang baik termasuk penanganan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan dan pengangkutan
e. Prinsip-prinsip dasar pembersihan dan sanitasi mesin/peralatan dan
fasilitas lainnya
28
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
f. Penanganan bahan pembersih atau bahan kimia berbahaya bagi
petugas.
(Kemenperin, 2010).
Penilaian GMP pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
lembar checklist formulir observasi penerapan GMP terhadap tiap-tiap unsur
dalam komponen GMP. Menurut Pudjirahaju (2018) GMP terdiri atas 10
komponen, di mana jumlah unsur-unsur tiap komponen berbeda-beda
meliputi :
1. Lokasi/Lingkungan Produksi
2. Bangunan dan Fasilitas
3. Peralatan Produksi
4. Suplai Air
5. Fasilitas Higiene dan Sanitasi
6. Pengendalian Hama
7. Kesehatan dan Higiene Karyawan
8. Pengendalian Proses
9. Penyimpanan
10. Pelatihan Karyawan
Langkah-langkah penilaian GMP menjadi tiga. Pertama, penilaian
dimulai dari unsur-unsur yang terdapat dalam kesepuluh komponen. Kedua,
penilaian dilanjutkan untuk tiap komponen dan kelompok. Ketiga, setelah
penilaian tiap unsur dan semua komponen serta kelompok selesai dilakukan,
dilanjutkan dengan menilai pelaksanaan penerapan GMP secara keseluruhan.
Penilaian kelompok dilakukan terhadap komponen utama yang meliputi 4
(empat) komponen yang dianggap lebih penting yaitu suplai air, pengendalian
hama, kesehatan dan higiene karyawan, dan pengendalian proses
dibandingkan dengan 6 (enam) komponen penunjang yaitu lokasi/lingkungan
produksi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi fasilitas dan kegiatan
higiene dan sanitasi, penyimpanan, dan pelatihan karyawan.
Pada penilaian setiap unsur diberikan nilai dengan jawaban “Baik”
diberi skor 3, jawaban “Cukup” diberi skor 2, dan jawaban “Kurang” diberi
skor 1. Bobot penilaian diberikan berdasarkan kriteria sebagaimana tercantum
29
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
dalam formulir observasi penilaian GMP. Kemudian dilakukan penilaian tiap-
tiap komponen GMP yang ditentukan dari nilai rata-rata setiap unsur di dalam
komponen tersebut.
Selanjutnya, penilaian keseluruhan pelaksanaan penerapan GMP
didasarkan atas hasil penilaian kesepuluh komponen. Penilaian diberikan
dalam bentuk penilaian kualitatif sebagai berikut :
a. Baik : Jika semua komponen dalam kelompok utama mendapat
nilai B (Baik) dan komponen penunjang maksimum 2 (dua) yang
mendapat nilai K (Kurang)
b. Cukup : Jika nilai komponen dalam kelompok utama B (Baik)
atau C (Cukup) dan komponen penunjang minimal 5 (lima) yang
mendapat nilai C (Cukup)
c. Kurang : Jika tidak memenuhi kriteria “Cukup”
30
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
E. Kerangka Teori
Gambar 1.
Kerangka Teori
Sumber : Pudjirahadju, 2018
Good
Manufacturing
Practices
Kualitas
Lokasi/Lingkunga
n Produksi
Bangunan dan
Fasilitas
Peralatan
Produksi
Suplai
Air
Fasilitas Higiene
dan Sanitasi
Pengendalian
Hama
Kesehatan dan
Higiene Karyawan
Pengendalian/
Pengawasan
Penyimpanan
Pelatihan
Karyawan
31
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
F. Kerangka Konsep
Ket :
= Diteliti
= Tidak diteliti
Gambar 2.
Kerangka Konsep
Good Manufacturing Practices
pada penyelenggaraan makanan
1. Lokasi/lingkungan produksi
2. Bangunan dan fasilitas
3. Peralatan produksi
4. Suplai air
5. Fasilitas higiene dan sanitasi
6. Pengendalian Hama
7. Kesehatan dan higiene karyawan
8. Pengendalian proses
9. Penyimpanan
10. Pelatihan karyawan
Mutu keamanan makanan
di Rumah Sakit
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang 32
G. Definisi Operasional
Tabel 1.
Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Komponen
lokasi/lingku
ngan
produksi
Keadaan lokasi dan lingkungan dimana
kegiatan produksi makanan dilakukan
yang terdiri dari unsur pencemaran,
kebersihan lingkungan, sarang hama,
pemukiman, sampah dan selokan.
Observasi Cheklist Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
untuk nilai komponen dengan
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
Ordinal
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang 33
2. Komponen
bangunan dan
fasilitas
Keadaan bangunan dan fasilitas produksi
dimana kegiatan produksi makanan
dilakukan yang terdiri dari unsur ruang
produksi meliputi luas ruang produksi,
tata letak, kebersihan dan kontruski
ruangan; kelengkapan ruang produksi
meliputi penerangan dan perlengkapan
P3K; dan tempat penyimpanan meliputi
tempat penyimpanan bahan, produk, dan
bahan bukan pangan.
Observasi Cheklist Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
untuk nilai komponen dengan
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
Ordinal
3. Komponen
peralatan
produksi
Keadaan peralatan produksi yang
digunakan dalam kegiatan produksi
makanan yang terdiri dari unsur
kontruksi, tata letak, dan kebersihan.
Observasi Cheklist Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
Ordinal
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang 34
untuk nilai komponen dengan
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
4 Komponen
suplai air
Keadaan suplai air yang digunakan dalam
kegiatan produksi makanan yang terdiri
dari unsur sumber air, penggunaan air,
dan air yang kontak langsung dengan
pangan.
Observasi Cheklist Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
untuk nilai komponen dengan
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
Ordinal
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang 35
5 Komponen
fasilitas dan
kegiatan
higiene dan
sanitasi
Keadaan fasilitas dan kegiatan higiene
dan sanitasi dalam kegiatan produksi
makanan yang terdiri dari unsur alat
pembersih meliputi ketersediaan alat;
unsur fasilitas higiene karyawan meliputi
tempat cuci tangan dan toilet; dan unsur
kegiatan higiene dan sanitasi meliputi
penanggung jawab dan penggunaan
deterjen dan disinfektan.
Observasi Cheklist Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
untuk nilai komponen dengan
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
Ordinal
6 Komponen
pengendalian
hama
Kegiatan pengendalian hama penyebab
menurunnya mutu dan keamanan
makanan yang dilakukan dalam kegiatan
produksi makanan yang terdiri dari unsur
ada tidaknya hewan peliharaan, upaya
pencegahan masuknya hama, dan
pemberantasan hama.
Observasi Cheklist Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
untuk nilai komponen dengan
Ordinal
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang 36
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
7 Komponen
kesehatan
dan higiene
karyawan
Keadaan kesehatan dan higiene karyawan
dalam kegiatan produksi makanan yang
terdiri dari unsur kesehatan karyawan
meliputi pemeriksaan kesehatan dan
keadaan kesehatan karyawan; unsur
kebersihan karyawan meliputi kebersihan
badan, kebersihan pakaian kerja,
pemakaian perlengkapan kerja,
kebersihan tangan dan perawatan luka;
dan unsur kebiasaan karyawan meliputi
perilaku karyawan, penggunaan asessoris,
memegang makanan, dan mencicipi
makanan.
Observasi Checklist Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
untuk nilai komponen dengan
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
Ordinal
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang 37
8 Komponen
pengendalian/
pengawasan
proses
Cara penanganan dalam produksi
makanan yang terdiri dari unsur
pengontrolan suhu meliputi kegiatan
pengontrolan suhu dan alat pengukur
suhu; unsur suhu penyimpanan bahan
makanan meliputi suhu penyimpanan
dingin, suhu penyimpanan panas, dan
suhu penyimpanan; unsur pencucian
bahan makanan meliputi kegiatan
mencuci bahan makanan sebelum diolah,
mencuci dengan air mengalir, dan
mencuci bahan makanan yang dimakan
mentah; unsur pemilihan bahan makanan
meliputi pemeriksaan bahan makanan;
unsur bahan kemasan meliputi kegiatan
pemeriksaan bahan kemasan dan
keamanan bahan kemasan; unsur control
dan supervise; dan unsur catatan proses
pengolahan.
Observasi Cheklist Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
untuk nilai komponen dengan
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
Ordinal
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang 38
9 Komponen
penyimpanan
Keadaan penyimpanan bahan dan produk
dalam kegiatan produksi makanan yang
terdiri dari unsur penyimpanan bahan dan
produk, unsur tata cara penyimpanan, dan
unsur penyimpanan bahan berbahaya.
Observasi Checklist Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
untuk nilai komponen dengan
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
Ordinal
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang 39
10 Komponen
pelatihan
karyawan
Karyawan yang terlibat dalam kegiatan
produksi makanan mengikuti
pelatihan/penyuluhan tentang GMP
Observasi Checklist
Setiap unsur diberikan skor
dengan jawaban :
“Baik” skor = 3
“Cukup” skor = 2
“Kurang” skor = 1
Kemudian dihitung rata-rata
untuk nilai komponen dengan
kategori :
“Baik” nilai = 2,6 - 3
“Cukup” nilai = 1,6 – 2,5
“Kurang” nilai = 1 - 1,5
Sumber : Pudjirahaju, 2018
Ordinal
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang 40
11 Penilaian
penerapan
GMP secara
keseluruhan
Penilaian keseluruhan pelaksanaan
penerapan GMP didasarkan atas hasil
penilaian kesepuluh komponen
Observasi Checklist
Penilaian diberikan dalam
bentuk penilaian kualitatif
dengan kategori :
a. Baik : Jika semua komponen
dalam kelompok utama
mendapat nilai B (Baik) dan
komponen penunjang
maksimum 2 yang mendapat
nilai K (Kurang).
b. Cukup : Jika nilai komponen
dalam kelompok utama
mendapat nilai B (Baik) atau
C (Cukup) dan komponen
penunjang minimal 5 yang
mendapat nilai C (Cukup).
c. Kurang : Jika tidak
memenuhi kriteria “Cukup”
Sumber : Pudjirahaju, 2018
Ordinal