BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Learned...

34
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Learned Helplessness 1. Pengertian Learned Helplessness Kondisi learned helplessness menurut Abramson et. al (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) yaitu perasaan kurang mampu mengendalikan lingkungannya yang membimbing pada sikap menyerah atau putus asa dan mengarahkan pada atribusi diri yang kuat bahwa dia tidak memiliki kemampuan. Selanjutnya menurut Peterson, Maier, & Seligman dalam (Cemalcilar et. al, 2003), learned helplessness adalah suatu keadaan ketika pengalaman dengan kejadian yang tidak dapat dikontrol mengarah pada harapan bahwa kejadian kejadian di masa mendatang akan tidak dapat dikontrol juga. Menurut Seligman (dalam Miller, 2006), learned helplessness adalah kecenderungan untuk mengatribusikan kejadian sebagai: a. Personalisasi internal: dijelaskan bahwa semua kejadian yang buruk disebabkan karena dirinya sendiri, sedangkan kejadian yang baik disebabkan karena lingkungan eksternal (ketidakberdayaan atau helplessness bersumber dari diri sendiri).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Learned...

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Learned Helplessness

1. Pengertian Learned Helplessness

Kondisi learned helplessness menurut Abramson

et. al (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) yaitu

perasaan kurang mampu mengendalikan lingkungannya

yang membimbing pada sikap menyerah atau putus asa

dan mengarahkan pada atribusi diri yang kuat bahwa dia

tidak memiliki kemampuan. Selanjutnya menurut

Peterson, Maier, & Seligman dalam (Cemalcilar et. al,

2003), learned helplessness adalah suatu keadaan ketika

pengalaman dengan kejadian yang tidak dapat dikontrol

mengarah pada harapan bahwa kejadian – kejadian di

masa mendatang akan tidak dapat dikontrol juga.

Menurut Seligman (dalam Miller, 2006), learned

helplessness adalah kecenderungan untuk

mengatribusikan kejadian sebagai:

a. Personalisasi internal: dijelaskan bahwa semua

kejadian yang buruk disebabkan karena dirinya sendiri,

sedangkan kejadian yang baik disebabkan karena

lingkungan eksternal (ketidakberdayaan atau

helplessness bersumber dari diri sendiri).

13

b. Secara keseluruhan pervasif: dijelaskan bahwa

keyakinan akan kegagalan akan menyebabkan

kegagalan di semua aspek kehidupannya tidak

terkecuali pada situasi yang spesifik (ketidakberdayaan

atau helplessness di generalisasi pada semua situasi).

c. Permanen: dijelaskan bahwa sesuatu itu memiliki

jangka waktu dan tidak akan berubah

(ketidakberdayaan atau helplessness akan menjadi

kronik).

Berdasarkan beberapa pengertian yang

dikemukakan di atas maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa learned helplessness adalah kondisi dimana

seseorang merasa menyerah dan putus asa terhadap

kejadian yang sedang dialaminya yang disebabkan

kegagalan yang dialami sebelumnya, ditambah lagi

dengan kecenderungan dirinya untuk mengatribusikan

kejadian tersebut sebagai sesuatu yang bersifat internal,

permanen dan menyeluruh.

2. Proses Terjadinya Learned Helplessness

Terdapat tiga komponen dasar terjadinya proses

learned helplessness, yaitu: informasi yang tidak tentu

mengenai apa yang akan terjadi, representasi kognitif

(belajar, pengharapan, persepsi dan kepercayaan) dan

perilaku terhadap apa yang akan terjadi. Berikut ini adalah

14

gambaran komponen dasar learned helplessness yang

dikemukakan oleh Seligman (1975):

Gambar.1. Proses Terjadinya learned helplessness

Individu memiliki informasi yang tidak tentu

mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa.

Informasi ini merupakan informasi yang berasal dari

lingkungan individu (informasi objektif) dimana respon

dan hasil dari respon merupakan dua hal yang berdiri

sendiri, bukan informasi yang berasal dari individu sendiri

(informasi subyektif).

Informasi yang tidak tentu tersebut selanjutnya

akan diproses dan ditransformasikan di kognitifnya.

Komponen representasi kognitif (sistem kepercayaan)

tersebut akan membangun pengharapan yang salah

mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa.

Individu merasa bahwa respon yang baik akan

menghasilkan hasil yang baik pula. Tetapi, pada

kenyataannya respon yang baik tidak selalu diiringi oleh

Informasi yang

tidak tentu

mengenai apa

yang akan

terjadi

Representasi

kognitif (belajar,

pengharapan,

persepsi dan

kepercayaan)

Perilaku

terhadap apa

yang akan

terjadi

15

hasil yang baik pula. Pengharapan yang salah tersebut

akan menyebabkan individu tidak memiliki kontrol

terhadap suatu peristiwa dimana respon dan hasil

merupakan dua hal yang bebas.

Individu yang tidak memiliki kontrol terhadap

suatu peristiwa akan mengalami penurunan motivasi,

kognitif dan emosional. Ketiga penurunan tersebut akan

memunculkan learned helplesseness (ketidakberdayaan

yang dipelajari) mengenai bagaimana perilaku individu

yang akan datang.

3. Efek Learned Helplessness

Seligman (dalam Muluk, 1995) mengemukakan

tiga hal sebagai akibat learned helplessness sebagai

berikut :

a. Jika seseorang sering mengalami kejadian-kejadian

yang tidak dapat dikontrolnya, hal ini akan berakibat

pada penurunan motivasi individu untuk bertingkah

laku dengan cara tertentu yang sebenarnya dalam

situasi tertentu dapat merubah hasil akhir dari suatu

kejadian.

b. Pengalaman masa lalu dengan kejadian yang tidak

dapat dikontrol akan mengurangi kemampuan individu

untuk belajar bahwa kejadian-kejadian tertentu dapat

diubah dengan tingkah laku tertentu pula.

16

c. Pengalaman yang berulang-ulang dengan kejadian-

kejadian yang tidak dapat dikontrol akan mengarah

pada perasaan tidak berdaya.

Individu-individu akan mengatribusikan ketidak

berdayaan pada diri mereka sendiri atau pada kejadian-

kejadian khusus dan orang-orang dilingkungan sekitarnya.

4. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Learned

Heplessness

Sebuah studi menemukan bahwa faktor-faktor

yang memengaruhi tingkat learned helplessness siswa di

sekolah adalah tingkat kemarahan ketika pekerjaan

dianggap kurang berarti, kurangnya kontrol atas proses

kerja dan kurangnya interaksi yang positif di sekolah

(Mykletun, dalam Qutaiba, 2011).

Penelitian lain oleh Edelwich et al (dalam Qutaiba,

2011) menyebutkan bahwa ukuran sekolah telah dilihat

sebagai salah satu kontributor utama learned helplessness,

karena mengarah kepada perasaan kurangnya perhatian

dan keterlibatan, yang pada gilirannya dapat membawa

siswa pada tingkat learned helplessness.

Cullen dan Boersma (1982) menemukan bahwa

learned helplessness dipengaruhi oleh tindakan orang tua

maupun guru terhadap siswa. Orang tua atau guru yang

berulang kali menyampaikan pada anak bahwa

17

kegagalannya disebabkan oleh ketidakmampuannya dan

bukan karena bahwa mereka kurang berusaha untuk

mencapai yang lebih baik, akan cenderung menimbulkan

perasaan helplessness pada diri anak. Sementara itu

menurut Qutaiba (2011) bahwa ada banyak variabel yang

mempengaruhi learned helplessness diantaranya faktor

otonomi, dukungan, self-efficacy dan strategi

penanggulangan.

5. Komponen Learned Heplessness

Teori learned helplessness lebih lanjut dirumuskan

dengan menggunakan helpless attribution style. Mengacu

pada teori learned helplessness dari Martin Seligman, ada

tiga komponen yang mempengaruhi atribusi prestasi anak

di sekolah (Nolen-Hoeksema et al, 1986) yaitu:

1. Locus of control: peristiwa yang terjadi dapat

dikaitkan baik dengan faktor internal (di bawah

kontrol individu) maupun faktor ekternal (tidak di

bawah kontrol individu). Anak-anak learned

helplessness akan mengaitkan hasil positif pada faktor

eksternal (keberuntungan atau tes yang mudah) dan

hasil negatif pada faktor internal (kurangnya

kemampuan). Seorang anak yang memiliki nilai ujian

yang tinggi karena kemampuannya mencerminkan

locus of control internal sedangkan anak yang

18

memiliki nilai ujian yang baik oleh karena gurunya

memberikan instruksi dengan baik mencerminkan

locus of control eksternal. Dalam dimensi ini

diperkirakan bahwa atribusi internal untuk peristiwa-

peristiwa yang buruk akan berhubungan dengan

hilangnya harga diri berikutnya.

2. Globalitas: peristiwa yang terjadi dapat dikaitkan

untuk menjadi sangat spesifik (hanya berlaku untuk

satu atau beberapa situasi) atau menjadi global

(mempunyai efek yang luas pada kehidupan individu).

Jika anak mempersepsikan hasil buruk sebagai lebih

global, ia akan mengharapkan peristiwa negatif terjadi

lebih sering selama beberapa bidang hidupnya.

Menghubungkan peristiwa buruk dengan faktor global

akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan

beradaptasi, sedangkan menghubungkan peristiwa

untuk penyebab yang lebih spesifik akan

menyebabkan kemampuan adaptasi yang rendah bisa

dikurangi.

3. Stabilitas: peristiwa yang terjadi dapat dipersepsikan

sebagai stabil (permanen) atau tidak stabil

(sementara). Jika kegagalan seorang anak dipandang

sebagai penyebab yang stabil (kemampuan), mereka

lebih cenderung menjadi tidak berdaya. Seorang anak

yang melihat hasil buruk sebagai stabil akan juga

19

berharap hasil buruk akan terulang lagi di masa depan.

Dalam dimensi ini diperkirakan bahwa atribusi stabil

menyebabkan berkurangnya adaptasi yang kronis

akibat peristiwa buruk yang tidak terkendali.

B. Jenis Kelas

Setiap siswa mempunyai bakat dan minatnya masing-

masing, untuk itu maka mereka perlu ditempatkan pada kelas

yang tepat. Oleh karena itu dikenal adanya pengelompokan

jenis kelas dalam dunia pendidikan. Tujuannya adalah untuk

membantu para siswa agar mampu mengembangkan potensi

belajarnya berdasarkan bakat dan minat yang dimilikinya

(Munandar, 2004). Ada beberapa jenis kelas, diantaranya

kelas umum atau lebih dikenal dengan sebutan kelas reguler

dan kelas unggulan (Hisyam & Suyata, 2000). Berikut uraian

dari kedua jenis kelas tersebut.

1) Kelas Reguler

a. Pengertian Kelas Reguler

Kelas reguler adalah kelas yang berisi siswa yang

memiliki kemampuan rata-rata, dan tidak

memperoleh pelayanan secara khusus. Pelayanan

yang diperoleh sama dengan siswa yang lain, dan

tidak ada penambahan rentang waktu belajar, siswa

masuk diseleksi berdasarkan standart yang sudah ada,

tanpa ada seleksi khusus (Fauziah, 2009). Selain itu,

20

kelas reguler adalah suatu kelas yang memiliki

program pendidikan nasional yang penyelenggaraan

pendidikannya bersifat missal yaitu beorientasi pada

kualitas/ jumlah untuk dapat melayani sebanyak-

banyaknya siswa usia sekolah (Latifah, dalam

Hawadi 2004). Sebagai pendidikan nasional, kelas

regular dirancang, dilaksanakan dan dikembangkan

untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional.

Seperti yang diungkapkan oleh Mudyahardjo

(2002) bahwa kelas regular merupakan keseluruhan

dari satuan-satuan pendidikan yang direncanakan,

dilaksanakan dan dikendalikan yang bertujuan untuk

menunjang tercapainya tujuan nasional. Selain itu, di

dalam satuan dan kegiatan pendidikan

diselenggarakan oleh masyarakat, pihak sekolah

memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan sesuai

ciri atau kekhususan masing-masing sekolah

sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila

sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa dan

ideologi bangsa dan negara. Selanjutnya Hawadi

(2004) menyatakan bahwa biaya yang dihabiskan

pada kelas regular tidak sebesar kelas unggulan.

Selain itu, siswa dalam kelas regular lebih heterogen,

maksudnya mempunyai potensi, bakat dan IQ yang

berbeda-beda pula.

21

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa kelas regular adalah kelas yang

menyelenggarakan program pendidikan nasional yang

penyelenggaraan pendidikannya bersifat masal dan

lebih heterogen dalam hal potensi, bakat dan IQ serta

biaya yang dikeluarkan relatif lebih murah.

b. Tujuan Kelas Reguler

Tujuan pendidikan kelas regular sama dengan

tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang RI

No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi

warga Negara yang demokratis serta bertanggung

jawab (Depdiknas, 2003).

Lebih lanjut dalam Undang-Undang RI No 20

tahun 2003 tersebut, dijelaskan bahwa pengembangan

kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standart

nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan

pendidikan nasional. Sedangkan kurikulum tersebut

disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

dengan memperhatikan:

22

1) Peningkatan iman dan taqwa

2) Peningkatan akhlak mulia

3) Peningkatan potensi, kecerdasan dan minat

peserta didik

4) Keragaman potensi daerah dan lingkungan

5) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional

6) Tuntutan dunia kerja

7) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi

dan seni

8) Agama

9) Dinamika perkembangan global dan

10) Persatuan nasional dan nilai- nilai kebangsaan

c. Karakteristik Kelas Reguler

Mudyahardji (2002) menjelaskan bahwa ada

beberapa karakteristik dalam kelas regular ini

meliputi :

1) Rentan Waktu Belajar

Waktu belajar berlangsung selama kurang

lebih 7 jam dalam sehari.

2) Lingkungan Pendidikan

Pendidikan dalam kelas regular ini

berlangsung dalam lingkungan pendidikan

yang diciptakan untuk menyelenggarakan

23

pendidikan secara teknis pendidikan ini

berlangsung di kelas/ruangan.

3) Bentuk Kegiatan

Isi pendidikan berlangsung tersusun secara

terprogram dalam bentuk kurikulum. Kegiatan

pendidikan lebih berorientasi pada kegiatan

guru sehingga guru mempunyai peranan yang

sentral. Kegiatan pendidikan terjadwal,

tertentu waktu dan tempat.

4) Bentuk Pengajaran

Dalam kelas regular ini, menggunakan bentuk

pengajaran klasikal atau group-oriented

instruction yaitu menganggap semua siswa

sama-sama memperoleh pengajaran yang sama

dan perbedaan yang ada di antara mereka

dianggap tidak penting.

5) Tujuan

Tujuan pendidikan kelas regular ini ditentukan

oleh pihak luar. Tujuan pendidikannya terbatas

pada pengembangan kemampuan dan minat

tertentu, dengan harapan untuk

mempersiapkan siswa di masa akan datang.

Namun dalam pelaksanaannya, kelas regular ini

seringkali mengalami hambatan sebab tidak

terpenuhinya semua kebutuhan siswa dan tidak

24

terakomodasinya kebutuhan serta minat siswa. Selain

itu, pengajaran klasikal menjadi siswa yng relatif

mempunyai nalar yang cepat dibanding temannya

tidak terlayani secara baik, sehingga potensi yang

dimilikinya tidak dapat berkembang secara optimal.

Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah

mengeluarkan kebijakan untuk membuat program

kelas unggulan untuk memenuhi kebutuhan peserta

didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat

istimewa.

2) Kelas Unggulan

a. Pengertian Kelas Unggulan

Silalahi (2006) menyatakan bahwa kelas

unggulan adalah kelas yang menyediakan program

pelayanan khusus bagi peserta didik dengan cara

mengembangkan bakat dan kreativitas yang

dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik

yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat

istimewa.

Pengertian lainnya dikemukakan oleh Direktorat

Pendidikan Dasar (Supriyono, 2009) bahwa kelas

unggulan adalah sejumlah anak didik yang karena

prestasinya menonjol dikelompokkan di dalam satu

kelas tertentu kemudian diberi program pengajaran

25

yang sesuai dengan kurikulum yang dikembangkan

dan adanya tambahan materi pada mata pelajaran

tertentu. Selanjutnya menurut Suhartono dan

Ngadirun (2009), kelas unggulan adalah kelas yang

dirancang untuk memberikan pelayanan belajar yang

memadai bagi siswa yang benar-benar mempunyai

kemampuan yang luar biasa.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

kelas unggulan adalah kelas yang dirancang untuk

sejumlah siswa yang memiliki kemampuan, bakat,

kreativitas dan prestasi yang menonjol dibandingkan

dengan siswa lainnya kemudian diberi program

pengajaran yang sesuai dengan kurikulum yang

dikembangkan dan adanya tambahan materi pada

mata pelajaran tertentu.

b. Dasar Konseptual Kelas Unggulan

Dasar penyelenggaraan kelas unggulan menurut

Ward (dalam Hamalik, 2002) pada dasarnya

diperuntukkan bagi anak-anak yang berbakat, dengan

alasan:

1) Persepsi demokrasi menghendaki pemberian

kesempatan yang luas bagi anak dan pemuda

berbakat dengan potensinya yang melebihi anak-

26

anak normal agar dia dapat berkembang lebih

baik.

2) Keberhasilan pendidikan bagi anak-anak dan

pemuda yang berbakat memberikan peluang yang

lebih besar kepada mereka untuk memberikan

dukungan dan sumbangan terhadap masyarakat.

3) Selama ini sistem pendidikan di sekolah-sekolah

kurang memperhatikan pendidikan bagi anak-

anak yang berbakat ini. Ketidak pedulian ini

dianggap sebagai kegagalan dalam pendidikan.

Selanjutnya menurut Munandar (1999), dasar

diselenggarakannya kelas unggulan adalah sebuah

keyakinan bahwa “sebuah pembelajaran kepada siswa

akan lebih baik jika tingkat dan kecepatan kurikulum

disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan anak”.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa dasar diselenggarakannya kelas unggulan

adalah adanya perbedaan kemampuan dari setiap

individu siswa memerlukan perlakuan yang berbeda

juga, bagi siswa yang memiliki bakat yang menonjol

tentunya diperlukan kelas khusus bagi mereka agar

kemampuan yang dimilikinya dapat tersalurkan

dengan baik dan tidak terhambat oleh kelemahan

kemampuan oleh siswa yang lainnya.

27

c. Tujuan Kelas Unggulan

Menurut Silalahi (2006), tujuan penyelenggaraan

kelas unggulan diantaranya:

1) Mengembangkan dan meningkatkan kualitas

pendidikan.

2) Menghasilkan sumber daya manusia yang

berkualitas.

3) Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan

tenaga pendidik.

4) Mengembangkan potensi yang dimiliki sekolah.

5) Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi

persaingan di dunia pendidikan dengan

menciptakan keunggulan kompetitif.

Wilardjo (2011) mengungkapkan tujuan

pelaksanaan kelas unggulan adalah ”memberi

kesempatan kepada siswa yang memiliki kecerdasan

di atas normal untuk mendapat pelayanan khusus,

sehingga mempercepat pengembangan bakat dan

minat yang dimilikinya”. Sementara itu, menurut

Sagala (2003) bahwa tujuan diselenggarakannya kelas

khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan yang

menonjol adalah:

1) Pemberian perlakuan yang berbeda dari setiap

siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda.

28

2) Ada kesempatan bagi siswa untuk

mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.

3) Menimbulkan perasaan bebas dalam belajar

sehingga terjadi hubungan yang harmonis antara

guru dengan siswa dalam belajar.

Dari pendapat-pendapat di atas, dapat

disimpulkan tujuan dari penyelenggaraan kelas

unggulan adalah:

1) Dapat mengembangkan dan meningkatkan kualitas

pendidikan.

2) Menghasilkan sumber daya manusia yang

berkualitas.

3) Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan

tenaga pendidik.

4) Mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.

5) Menimbulkan perasaan bebas dalam belajar.

d. Karakteristik Kelas Unggulan

Berdasarkan petunjuk penyelenggaraan program

kelas unggulan yang dikeluarkan oleh Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan yang ditulis kembali

oleh Suhartono dan Ngadirun (2009), kelas unggulan

harus memiliki karakteristik sebagai berikut:

29

1) Masukan diseleksi secara ketat dengan

menggunakan kriteria yang dapat dipertanggung-

jawabkan.

2) Sarana dan prasarana menunjang untuk

pemenuhan kebutuhan belajar dan penyaluran

minat dan bakat siswa.

3) Lingkungan belajar yang kondusif untuk

berkembangnya potensi keunggulan menjadi

keunggulan yang nyata.

4) Memiliki kepala sekolah dan tenaga kependidikan

yang unggul, baik dari segi penguasaan materi

pelajaran, metode mengajar, maupun komiten

dalam melaksanakan tugas.

5) Kurikulum yang diperkaya, yakni melakukan

pengembangan dan improvisasi kurikulum secara

maksimal sesuai dengan tuntutan belajar.

6) Rentang waktu belajar di sekolah yang lebih

panjang dibandingkan kelas lain dan tersedianya

asrama yang memadai.

7) Proses pembelajaran yang berkualitas dan hasilnya

selalu dapat dipertanggungjawabkan kepada siswa,

lembaga, maupun masyarakat.

8) Adanya perlakuan tambahan di luar kurikulum,

program pengayaan dan perluasan, pengajaran

remedial, pelayanan bimbingan dan konseling

30

yang berkualitas, pembinaan kreativitas, dan

disiplin, sistem asrama, serta kegiatan

ekstrakurikuler lainnya.

9) Pembinaan kemampuan kepemimpinan yang

menyatu dalam keseluruhan sistem pembinaan

siswa melalui praktik langsung dalam kehidupan

sehari-hari.

Dengan bahasa yang agak berbeda Supriyono

(2004), merincikan karakteristik kelas unggulan

adalah:

1) Masukan atau raw input adalah peserta didik yang

diseleksi secara baik dengan menggunakan kriteria

dan prosedur yang dapat dipertanggungjwabakan

yang mampu membedakan antara anak yang

memiliki potensi kecerdasan yang tinggi atau

memiliki bakat yang istimewa dengan anak yang

hanya memiliki kecerdasan normal. Kriteria yang

biasa digunakan adalah hasil belajar dan hasil

psikotest.

2) Sarana dan prasarana yang menunjang untuk

memenuhi belajar peserta didik, baik dalam

kegiatan intra maupun ekstrakurikuler.

3) Lingkungan belajar yang menunjang untuk

berkembangnya potensi keunggulan, baik

lingkungan fisik maupun sosial psikologis.

31

4) Guru dan tenaga kependidikan yang unggul dari

penguasaan materi pelajaran, penguasaan metode

mengajar dan komitmen dalam melaksanakan

tugas.

5) Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum

nasional yang diperkaya, dengan tetap berpegang

pada kurikulum nasional yang baku, dilakukan

pengayaan yang optimal sesuai dengan tuntutan

belajar peserta didik yang memiliki kecepatan dan

motivasi belajar yang tinggi.

6) Jumlah jam waktu belajar di sekolah yang lebih

lama dibandingkan kelas lain pada umumnya.

7) Proses belajar mengajar yang bermutu dan

hasilnya selalu dapat dipertanggungjawabkan

kepada peserta didik, lembaga maupun

masyarakat.

8) Pembinaan kemampuan kepemimpinan yang

menyatu dalam keseluruhan sistem pembinaan

siswa melalui praktik langsung dalam kehidupan

sehari-hari.

Secara lebih detail, Silalahi (2006) memberikan

acuan tentang karakteristik kelas unggulan sebagai

berikut:

32

1) Unggul Potensi siswa

Unggul potensi siswa maksudnya ialah ”siswa

yang tergabung dalam kelas unggulan memiliki

kapasitas sangat baik sehingga dengan suntikan

sedikit saja mereka langsung termotivasi untuk

belajar mandiri, sesuai dengan potensi

unggulannya”.

Potensi siswa bisa dilihat dari berbagai

dimensi. Perspektif paling poluler dewasa ini

adalah faktor kecerdasan. Ada beberapa kategori

kecerdasan yang lazim dikemukakan untuk

kepentingan pembelajaran:

a) Kecerdasan verbal linguistik (word smart)

adalah kemampuan menggunakan kata-kata

secara efektif.

b) Kecerdasan logis matematis (number smart),

melibatkan ketrampilan mengolah angka atau

kemahiran menggunakan logika atau akal sehat.

c) Kecerdasan spasial (picture smart) adalah

kecerdasan gambar dan visualisasi.

d) Kecerdasan kinestetik–jasmani (body smart)

adalah kecerdasan seluruh tubuh (atlet, penari,

seniman pantonim dan juga kecerdesan tangan

(montir, penjahit, tukang kayu, ahli bedah dan

lain-lain).

33

e) Kecerdasan musical (music smart) melibatkan

kemampuan menyanyikan sebuah lagu,

mengingat melodi musik, mempunyai kepekaan

akan irama atau sekedar menikmati musik.

f) Kecerdasan antar pribadi (people smart),

melibatkan kemampuan untuk memahami dan

bekerja dengan orang lain.

g) Kecerdasan intrapribadi (self smart) adalah

kecerdasan memahami diri sendiri, mengetahui

siapa diri sendiri.

h) Kecerdasan naturalis (nature smart) melibatkan

kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam di

sekitar kita, burung, bunga, pohon, hewan dan

fauna serta flora lain.

Proses menentukan siswa kelas unggulan melalui:

seleksi administratif, seleksi potensi kecerdasan

siswa, deskripsi hasil seleksi potensi, penentuan

siswa kelas unggul menyusun standar aktivitas

siswa unggulan, orientasi siswa kelas unggul,

pelaksanaan kelas unggul.

2) Unggul Kompetensi Guru

Unggul kompetensi guru maksudnya ialah

”bahwa guru yang mengajar di kelas unggulan

pribadi dengan memiliki alat pendidikan,

kewibawaan, kasih sayang yang tulus, keteladanan,

34

penguatan ketegasan yang mendidik, serta

menguasai secara teknis alat-alat pembelajaran

seperti, kurikulum, teknologi pendidikan, alat

bantu pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan

peni-laian hasil pembelajaran. Keunggulan

kepribadian guru terletak pada terdapat tidaknya

alat pendidikan dalam karakternya. Sifat-sifat guru

dengan alat pendidikan ini memantapkan dirinya

sebagai pendidik. Alat pendidikan ini sangat

mendukung keberhasil-annya mewujudkan

kompetensi menguasai alat pembelajaran.

Penguasaan pembelajaran tanpa alat pendidikan

mengakibatkan pembelajaran tidak efektif

membangun karakter positif maupun motivasi

belajar siswa”.

3) Unggul Program Pembelajaran

Unggul program pembelajaran maksudnya

ialah rancangan pembelajaran efektif mewujudkan

hasil belajar prima sesuai dengan tujuan kelas

unggulan.

4) Unggul Sarana Prasarana

Unggul saran dan prasarana maksudnya ialah

tersedianya sarana dan prasarana yang memadai

serta pemanfaatannya dengan baik untuk

mendukung kegiatan pembelajaran. Penyediaan

sarana prasaran dilakukan secara kontinu sesuai

35

dengan perkembangan teknologi informasi.

Tersedia ruangan perpustakaan, ruang baca yang

memadai, ruang diskusi, ruang multimedia,

laboratorium sesuai kebutuhan, serta sarana

prasarana lain yang dibutuhkan untuk kegiatan

pembelajaran, seni dan olah raga.

5) Unggul Kemitraan

Unggul kemitraan maksudnya ialah sekolah,

masyarakat, komite sekolah, maupun pemerintah

memiliki visi dan semangat yang sama untuk

membangun pendidikan bermutu di sekolah.

6) Unggul Dukungan Dana

Unggul dukungan dana maksudnya ialah

tersedianya dana serta penggunaan yang relevan

untuk kepentingan dukungan kegiatan dan tujuan

kelas unggulan.

Dari beberapa pendapat tentang karakteristik

kelas unggulan di atas, dapat disimpulkan

karakteristik kelas unggulan adalah:

1) Siswa di dalam kelas merupakan siswa terpilih

hasil seleksi.

2) Kelas memiliki fasilitas yang menunjang untuk

memenuhi kebutuhan belajar siswa.

3) Kelas memiliki kondisi yang kondusif bagi siswa

dalam belajar.

36

4) Kepala sekolah di kelas unggulan merupakan

kepala sekolah yang profesional.

5) Guru yang mengajar memiliki kemampuan dalam

melaksanakan tugas mengajar.

6) Kurikulum kelas unggulan dikembangkan untuk

menunjang belajar siswa.

7) Kelas unggulan memiliki rentang waktu belajar

yang lebih panjang.

8) Dalam kelas unggulan, proses pembelajaran

memiliki kualitas yang tinggi.

9) Kelas unggulan mendapatkan dukungan dari

orang tua siswa.

10) Kelas unggulan ditunjang dengan pendanaan

yang memadai.

11) Siswa diberikan perlakuan tambahan di luar jam

belajar.

12) Siswa diberikan pembinaan kemampuan

kepemimpinan.

13) Siswa diberikan evaluasi untuk mengukur hasil

belajar.

37

C. Siswa Yang Memiliki Prestasi Akademik Rendah

1. Pengertian Siswa Yang Memiliki Prestasi Akademik

Rendah

Winkel (1996) memberikan definisi prestasi

belajar yaitu suatu bukti keberhasilan belajar atau

kemampuan siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya

sesuai dengan bobot yang dicapainya. Sedangkan menurut

Nasution (1996), prestasi belajar adalah kesempurnaan

yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan

berbuat. Menurut Gunarso (1993), prestasi belajar adalah

usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah

melaksanakan usaha-usaha belajar, usaha belajar tersebut

kemudian akan menunjukkan hasil belajar bisa tinggi bisa

rendah.

Prestasi belajar di bidang pendidikan adalah hasil

dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi

faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti

proses pembelajaran yang diukur rmenggunakan

instrumen test yang relevan (Djuwariyah, 2008). Jadi

prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian

usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf

maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah

dicapai oleh setiap anak pada periode teretentu. Menurut

Kismawati (2012), prestasi belajar dikatakan sempurna

atau tinggi apabila memenuhi tiga aspek yaitu: kognitif,

38

afektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan memiliki

prestasi akademik rendah jika seseorang belum mampu

memenuhi target dalam ketiga kriteria tesebut. Sementara

itu menurut Akbar (1998), prestasi belajar dikatakan

rendah adalah bila seseorang memiliki peringkat 10

terbawah dari siswa satu kelas.

Prestasi belajar dapat diukur melalui tes prestasi

belajar. Menurut Anwar (2005), tes prestasi belajar bila

dilihat dari tujuannya yaitu mengungkap keberhasilan

seseorang dalam belajar. Tes pretasi belajar berupa tes

yang disusun secara terencana untuk mengungkap

performasi maksimal subyek dalam menguasai bahan-

bahan materi yang telah diajarkan. Dalam kegiatan

pendidikan formal tes prestai belajar dapat berbentuk

ulangan harian, tes formatif, tes sumatif ataupun UAN.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa prestasi belajar yang rendah tersebut

merupakan keberhasilan minimal yang telah dicapai oleh

siswa. Seorang siswa akan mendapatkan hasil prestasi

akademik rendah apabila siswa tersebut tidak

melaksanakan usaha belajar yang sebaik mungkin. Hal

tersebut ditandai dengan masuknya siswa tersebut pada

peringkat 10 terbawah dari siswa satu kelas.

39

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Siswa Memiliki

Prestasi Akademik Rendah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa

memiliki prestasi akademik yang rendah. Faktor-faktor

itu antara lain (Suharnini dan Purwandari, 1999):

a. Kondisi fisik

Kondisi fisik siswa yang tidak menunjang dalam

mencapai prestasi belajar, seperti gangguan

penglihatan dan pendengaran, gangguan persepsi,

penyakit dan mal-nutrisi.

b. Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan yang tidak menunjang anak

belajar, antara lain keadaan keluarga, masyarakat dan

keadaan serta pengajaran di sekolah yang tidak

memadai. Kurangnya perhatian dan kurangnya waktu

belajar, kondisi lingkungan yang kurang sehat juga

merupakan faktor yang dapat menyebabkan siswa

mempunyai prestasi belajar yang rendah.

c. Kondisi psikologis

Kondisi psikologis yang berhubungan dengan tinggi

rendahnya prestasi belajar pada prinsipnya dapat

digolongkan menjadi 3 aspek, yaitu aspek kognitif

(misalnya inteligensi), aspek afektif (misalnya perasaan

dan emosi) dan aspek psikomotor (misalnya kesiapan

diri, aktivitas dan tindakan yang dilakukan).

40

D. Learned Helplessness Siswa Yang Memiliki Prestasi

Akademik Terendah Di Kelas Reguler Dan Kelas

Unggulan

Sekolah sebagai lembaga pendidikan (formal)

berusaha memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas

bagi siswanya. Dengan melakukan pengelompokan beberapa

jenis kelas di dunia pendidikan, maka akan membantu siswa

dalam mengembangkan potensi belajarnya berdasarkan bakat

dan minat yang dimilikinya (Munandar, 2004). Ada beberapa

jenis kelas di dunia pendidikan, diantaranya kelas umum atau

lebih dikenal dengan sebutan kelas reguler dan kelas

unggulan (Hisyam & Suyata, 2000). Dengan pengelompokan

kelas ini diharapkan setiap proses pembelajaran dapat

berhasil secara optimal, yaitu ditandai dengan hasil belajar

yang tinggi (Surakhmad, 2001).

Kelas unggulan adalah kelas yang dirancang secara

khusus untuk memenuhi kebutuhan siswa berdasarkan bakat

dan kemampuannya, dengan harapan siswa dapat

menyalurkan bakat dan kemampuannya dengan semaksimal

mungkin dengan rentang waktu belajar yang lebih lama.

Sebuah kelas unggulan berisikan siswa-siswa yang memiliki

kemampuan yang luar biasa (Suhartono dan Ngadirun,

2009). Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum

nasional yang diperkaya, dengan tetap berpegang pada

kurikulum nasional yang baku, dilakukan pengayaan yang

41

optimal sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang

memiliki kecepatan dan motivasi belajar yang tinggi

(Supriyono, 2004).

Sebuah kelas unggulan merupakan kelas yang berisi

siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Siswa yang masuk pada kelas unggulan ini, sebelumnya

merupakan siswa yang memang memiliki prestasi belajar

atau hasil belajar yang tinggi. Siswa yang memiliki hasil

belajar yang tinggi biasanya memiliki efikasi diri yang

tinggi. Hal ini disebabkan karena efikasi diri akan

berpengaruh pada motivasi akademik, belajar dan prestasi

(Pajares dan Schunk, 2002). Selain itu efikasi diri

berpengaruh pada cara bagaimana orang berpikir, merasakan,

memotivasi diri mereka, dan bagaimana bertindak (Bandura,

1994). Mereka dengan efikasi diri yang tinggi akan memiliki

rasa percaya diri yang tinggi saat memperoleh keberhasilan

dalam belajar. Mereka percaya bahwa hal itu disebabkan oleh

kerasnya usaha dan kegigihan. Oleh karena itu, mereka akan

memandang tugas yang sulit bukanlah ancaman melainkan

sebuah tantangan dan mereka merasa mampu untuk

melakukan tugas tersebut.

Siswa yang masuk ke kelas unggulan akan bertemu

dengan siswa yang sama-sama pintar atau memiliki prestasi

belajar yang sama baiknya. Mengingat ada pemeringkatan

prestasi di setiap kelas termasuk di kelas unggulan, maka

42

mereka bisa saja berada pada prestasi akademik terendah di

dalam kelas, atau berada pada peringkat 10 terendah. Siswa

yang memiliki prestasi akademik terendah di kelas unggulan

ketika mengalami sebuah kegagalan, ia akan merespon

kegagalan tersebut sebagai motivasi untuk lebih giat dalam

belajar, tetap berpikir positif dan menghadapi kegagalan

sebagai sebuah tantangan dan sebagai kesempatan (Sunawan,

2005). Hal ini dikarenakan ia memiliki efikasi diri yang

tinggi. Dengan adanya efikasi diri yang tinggi tersebut

selanjutnya akan mengarahkan siswa tersebut untuk

mengatribusi keberhasilan atau kegagalan mereka dalam

belajar, pada kurangnya usaha dan rendahnya kemampuan.

Seorang siswa dengan efikasi diri yang tinggi cenderung

untuk percaya akan kemampuan yang ia miliki dan itu

tercermin melalui performa mereka dalam proses belajar

(Sunawan, 2005).

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka siswa

yang memiliki prestasi akademik terendah di kelas unggulan

cenderung memilki tingkat learned helplessness yang

rendah. Deiner dan Dweck (dalam Slavin, 2006) menyatakan

bahwa learned helplessness mempengaruhi aktivitas siswa

dalam mempelajari sesuatu. Siswa yang berada pada kondisi

learned helplessness yang rendah akan berusaha melakukan

hal-hal dengan lebih baik. Mereka akan berusaha karena

mereka memiliki persepsi bahwa usahanya tersebut kelak

43

akan mendatangkan kesuksesan di kemudian hari, kondisi

seperti ini berpengaruh pada prestasi belajar selanjutnya.

Hal berbeda dapat saja diperlihatkan pada kelas

reguler yang berisi siswa yang memiliki kemampuan rata-

rata, dan tidak memperoleh pelayanan secara khusus.

Pelayanan yang diperoleh sama dengan siswa yang lain, dan

tidak ada penambahan rentang waktu belajar, siswa masuk

diseleksi berdasarkan standar yang sudah ada, tanpa ada

seleksi khusus (Fauziah, 2009). Dalam kelas reguler ini

kegiatan pendidikan sudah terjadwal ,tertentu waktu dan

tempat, bentuk pengajaran yang digunakan adalah klasikal

atau group-oriented instruction yaitu menganggap semua

siswa sama-sama memperoleh pengajaran yang sama dan

perbedaan yang ada diantara mereka dianggap tidak penting

(Mudyahardji 2002).

Siswa yang masuk ke kelas reguler merupakan siswa

yang memiliki prestasi belajar rata-rata atau biasa saja, tidak

berprestasi tinggi. Siswa yang memiliki hasil belajar yang

biasa saja itu cenderung akan memiliki efikasi diri yang

rendah. Seperti halnya di kelas unggulan, siswa yang masuk

ke kelas reguler-pun akan bertemu dengan siswa yang sama-

sama mempunyai prestasi belajar biasa saja atau tidak tinggi

prestasi belajarnya. Mengingat ada pemeringkatan prestasi di

setiap kelas termasuk di kelas reguler, maka mereka bisa saja

berada pada prestasi akademik terendah di dalam kelas, atau

44

berada pada peringkat 10 terendah. Siswa yang memiliki

prestasi akademik terendah di kelas reguler ketika

mengalami sebuah kegagalan, ia akan merespon kegagalan

tersebut dengan kurang atau tidak termotivasi untuk lebih

giat dalam belajar (Sunawan, 2005). Hal ini dikarenakan ia

memiliki efikasi diri yang rendah. Ia akan memiliki tingkat

frustrasi dan frekwensi menyerah lebih tinggi (Marhaeni,

2008). Ini menunjukkkan bahwa siswa tersebut memiliki

tingkat learned helplessness yang tinggi. Hal ini didukung

dengan pendapat Elliot (2000) yang menyatakan bahwa

learned helplessness menempatkan individu pada kondisi

frustrasi dan mereka akan menyerah dengan begitu saja

setelah kegagalan yang berulang.

Setiap siswa baik kelas reguler maupun kelas

unggulan mendapatkan perlakukan yang sama di dalam kelas

namun prestasi belajar masing-masing siswa tidak akan

pernah sama (Sudijono, 1996). Di dalam suatu kelas baik

kelas reguler maupun kelas unggulan pasti ada siswa yang

memiliki prestasi akademik terendah atau memiliki peringkat

10 terbawah di kelasnya. Rendahnya prestasi akademik yang

telah diperoleh sebelumnya haruslah diperbaiki agar tidak

terulang kembali di waktu mendatang. Namun terkadang

tidak semua siswa yang telah gagal tersebut meresponnya

dengan positif untuk dapat berhasil di kesempatan

berikutnya. Ada diantara mereka yang mungkin saja

45

menyerah dan merasa bahwa apa yang dilakukan tidak akan

membawa perubahan yang lebih baik. Perasaan menyerah

dengan cepat yang disebabkan kegagalan yang dialami

sebelumnya ini sering disebut dengan istilah learned

helplessness (Marhaeni, 2007). Seperti yang telah diuraikan

sebelumnya, maka secara singkat dapat disimpulkan bahwa

siswa yang berprestasi akademik terendah di kelas unggulan

mempunyai kecenderungan learned heplessness yang lebih

rendah dibandingkan dengan siswa yang berprestasi

akademik terendah di kelas reguler.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan kajian teori yang

telah dijabarkan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis

empirik penelitian sebagai berikut: ”Terdapat perbedaan

tingkat learned helplessness siswa yang memiliki prestasi

akademik terendah di kelas reguler dan kelas unggulan.”

Adapun hipotesa statistiknya adalah sebagai berikut:

Ha : Terdapat perbedaan yang signifikan learned

helplessness siswa yang memiliki prestasi akademik

terendah di kelas reguler dan kelas unggulan.

Ho : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan learned

helplessness siswa yang memiliki prestasi akademik

terendah di kelas reguler dan kelas unggulan.