BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Learned...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Learned...
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Learned Helplessness
1. Pengertian Learned Helplessness
Kondisi learned helplessness menurut Abramson
et. al (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) yaitu
perasaan kurang mampu mengendalikan lingkungannya
yang membimbing pada sikap menyerah atau putus asa
dan mengarahkan pada atribusi diri yang kuat bahwa dia
tidak memiliki kemampuan. Selanjutnya menurut
Peterson, Maier, & Seligman dalam (Cemalcilar et. al,
2003), learned helplessness adalah suatu keadaan ketika
pengalaman dengan kejadian yang tidak dapat dikontrol
mengarah pada harapan bahwa kejadian – kejadian di
masa mendatang akan tidak dapat dikontrol juga.
Menurut Seligman (dalam Miller, 2006), learned
helplessness adalah kecenderungan untuk
mengatribusikan kejadian sebagai:
a. Personalisasi internal: dijelaskan bahwa semua
kejadian yang buruk disebabkan karena dirinya sendiri,
sedangkan kejadian yang baik disebabkan karena
lingkungan eksternal (ketidakberdayaan atau
helplessness bersumber dari diri sendiri).
13
b. Secara keseluruhan pervasif: dijelaskan bahwa
keyakinan akan kegagalan akan menyebabkan
kegagalan di semua aspek kehidupannya tidak
terkecuali pada situasi yang spesifik (ketidakberdayaan
atau helplessness di generalisasi pada semua situasi).
c. Permanen: dijelaskan bahwa sesuatu itu memiliki
jangka waktu dan tidak akan berubah
(ketidakberdayaan atau helplessness akan menjadi
kronik).
Berdasarkan beberapa pengertian yang
dikemukakan di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa learned helplessness adalah kondisi dimana
seseorang merasa menyerah dan putus asa terhadap
kejadian yang sedang dialaminya yang disebabkan
kegagalan yang dialami sebelumnya, ditambah lagi
dengan kecenderungan dirinya untuk mengatribusikan
kejadian tersebut sebagai sesuatu yang bersifat internal,
permanen dan menyeluruh.
2. Proses Terjadinya Learned Helplessness
Terdapat tiga komponen dasar terjadinya proses
learned helplessness, yaitu: informasi yang tidak tentu
mengenai apa yang akan terjadi, representasi kognitif
(belajar, pengharapan, persepsi dan kepercayaan) dan
perilaku terhadap apa yang akan terjadi. Berikut ini adalah
14
gambaran komponen dasar learned helplessness yang
dikemukakan oleh Seligman (1975):
Gambar.1. Proses Terjadinya learned helplessness
Individu memiliki informasi yang tidak tentu
mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa.
Informasi ini merupakan informasi yang berasal dari
lingkungan individu (informasi objektif) dimana respon
dan hasil dari respon merupakan dua hal yang berdiri
sendiri, bukan informasi yang berasal dari individu sendiri
(informasi subyektif).
Informasi yang tidak tentu tersebut selanjutnya
akan diproses dan ditransformasikan di kognitifnya.
Komponen representasi kognitif (sistem kepercayaan)
tersebut akan membangun pengharapan yang salah
mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa.
Individu merasa bahwa respon yang baik akan
menghasilkan hasil yang baik pula. Tetapi, pada
kenyataannya respon yang baik tidak selalu diiringi oleh
Informasi yang
tidak tentu
mengenai apa
yang akan
terjadi
Representasi
kognitif (belajar,
pengharapan,
persepsi dan
kepercayaan)
Perilaku
terhadap apa
yang akan
terjadi
15
hasil yang baik pula. Pengharapan yang salah tersebut
akan menyebabkan individu tidak memiliki kontrol
terhadap suatu peristiwa dimana respon dan hasil
merupakan dua hal yang bebas.
Individu yang tidak memiliki kontrol terhadap
suatu peristiwa akan mengalami penurunan motivasi,
kognitif dan emosional. Ketiga penurunan tersebut akan
memunculkan learned helplesseness (ketidakberdayaan
yang dipelajari) mengenai bagaimana perilaku individu
yang akan datang.
3. Efek Learned Helplessness
Seligman (dalam Muluk, 1995) mengemukakan
tiga hal sebagai akibat learned helplessness sebagai
berikut :
a. Jika seseorang sering mengalami kejadian-kejadian
yang tidak dapat dikontrolnya, hal ini akan berakibat
pada penurunan motivasi individu untuk bertingkah
laku dengan cara tertentu yang sebenarnya dalam
situasi tertentu dapat merubah hasil akhir dari suatu
kejadian.
b. Pengalaman masa lalu dengan kejadian yang tidak
dapat dikontrol akan mengurangi kemampuan individu
untuk belajar bahwa kejadian-kejadian tertentu dapat
diubah dengan tingkah laku tertentu pula.
16
c. Pengalaman yang berulang-ulang dengan kejadian-
kejadian yang tidak dapat dikontrol akan mengarah
pada perasaan tidak berdaya.
Individu-individu akan mengatribusikan ketidak
berdayaan pada diri mereka sendiri atau pada kejadian-
kejadian khusus dan orang-orang dilingkungan sekitarnya.
4. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Learned
Heplessness
Sebuah studi menemukan bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi tingkat learned helplessness siswa di
sekolah adalah tingkat kemarahan ketika pekerjaan
dianggap kurang berarti, kurangnya kontrol atas proses
kerja dan kurangnya interaksi yang positif di sekolah
(Mykletun, dalam Qutaiba, 2011).
Penelitian lain oleh Edelwich et al (dalam Qutaiba,
2011) menyebutkan bahwa ukuran sekolah telah dilihat
sebagai salah satu kontributor utama learned helplessness,
karena mengarah kepada perasaan kurangnya perhatian
dan keterlibatan, yang pada gilirannya dapat membawa
siswa pada tingkat learned helplessness.
Cullen dan Boersma (1982) menemukan bahwa
learned helplessness dipengaruhi oleh tindakan orang tua
maupun guru terhadap siswa. Orang tua atau guru yang
berulang kali menyampaikan pada anak bahwa
17
kegagalannya disebabkan oleh ketidakmampuannya dan
bukan karena bahwa mereka kurang berusaha untuk
mencapai yang lebih baik, akan cenderung menimbulkan
perasaan helplessness pada diri anak. Sementara itu
menurut Qutaiba (2011) bahwa ada banyak variabel yang
mempengaruhi learned helplessness diantaranya faktor
otonomi, dukungan, self-efficacy dan strategi
penanggulangan.
5. Komponen Learned Heplessness
Teori learned helplessness lebih lanjut dirumuskan
dengan menggunakan helpless attribution style. Mengacu
pada teori learned helplessness dari Martin Seligman, ada
tiga komponen yang mempengaruhi atribusi prestasi anak
di sekolah (Nolen-Hoeksema et al, 1986) yaitu:
1. Locus of control: peristiwa yang terjadi dapat
dikaitkan baik dengan faktor internal (di bawah
kontrol individu) maupun faktor ekternal (tidak di
bawah kontrol individu). Anak-anak learned
helplessness akan mengaitkan hasil positif pada faktor
eksternal (keberuntungan atau tes yang mudah) dan
hasil negatif pada faktor internal (kurangnya
kemampuan). Seorang anak yang memiliki nilai ujian
yang tinggi karena kemampuannya mencerminkan
locus of control internal sedangkan anak yang
18
memiliki nilai ujian yang baik oleh karena gurunya
memberikan instruksi dengan baik mencerminkan
locus of control eksternal. Dalam dimensi ini
diperkirakan bahwa atribusi internal untuk peristiwa-
peristiwa yang buruk akan berhubungan dengan
hilangnya harga diri berikutnya.
2. Globalitas: peristiwa yang terjadi dapat dikaitkan
untuk menjadi sangat spesifik (hanya berlaku untuk
satu atau beberapa situasi) atau menjadi global
(mempunyai efek yang luas pada kehidupan individu).
Jika anak mempersepsikan hasil buruk sebagai lebih
global, ia akan mengharapkan peristiwa negatif terjadi
lebih sering selama beberapa bidang hidupnya.
Menghubungkan peristiwa buruk dengan faktor global
akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan
beradaptasi, sedangkan menghubungkan peristiwa
untuk penyebab yang lebih spesifik akan
menyebabkan kemampuan adaptasi yang rendah bisa
dikurangi.
3. Stabilitas: peristiwa yang terjadi dapat dipersepsikan
sebagai stabil (permanen) atau tidak stabil
(sementara). Jika kegagalan seorang anak dipandang
sebagai penyebab yang stabil (kemampuan), mereka
lebih cenderung menjadi tidak berdaya. Seorang anak
yang melihat hasil buruk sebagai stabil akan juga
19
berharap hasil buruk akan terulang lagi di masa depan.
Dalam dimensi ini diperkirakan bahwa atribusi stabil
menyebabkan berkurangnya adaptasi yang kronis
akibat peristiwa buruk yang tidak terkendali.
B. Jenis Kelas
Setiap siswa mempunyai bakat dan minatnya masing-
masing, untuk itu maka mereka perlu ditempatkan pada kelas
yang tepat. Oleh karena itu dikenal adanya pengelompokan
jenis kelas dalam dunia pendidikan. Tujuannya adalah untuk
membantu para siswa agar mampu mengembangkan potensi
belajarnya berdasarkan bakat dan minat yang dimilikinya
(Munandar, 2004). Ada beberapa jenis kelas, diantaranya
kelas umum atau lebih dikenal dengan sebutan kelas reguler
dan kelas unggulan (Hisyam & Suyata, 2000). Berikut uraian
dari kedua jenis kelas tersebut.
1) Kelas Reguler
a. Pengertian Kelas Reguler
Kelas reguler adalah kelas yang berisi siswa yang
memiliki kemampuan rata-rata, dan tidak
memperoleh pelayanan secara khusus. Pelayanan
yang diperoleh sama dengan siswa yang lain, dan
tidak ada penambahan rentang waktu belajar, siswa
masuk diseleksi berdasarkan standart yang sudah ada,
tanpa ada seleksi khusus (Fauziah, 2009). Selain itu,
20
kelas reguler adalah suatu kelas yang memiliki
program pendidikan nasional yang penyelenggaraan
pendidikannya bersifat missal yaitu beorientasi pada
kualitas/ jumlah untuk dapat melayani sebanyak-
banyaknya siswa usia sekolah (Latifah, dalam
Hawadi 2004). Sebagai pendidikan nasional, kelas
regular dirancang, dilaksanakan dan dikembangkan
untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional.
Seperti yang diungkapkan oleh Mudyahardjo
(2002) bahwa kelas regular merupakan keseluruhan
dari satuan-satuan pendidikan yang direncanakan,
dilaksanakan dan dikendalikan yang bertujuan untuk
menunjang tercapainya tujuan nasional. Selain itu, di
dalam satuan dan kegiatan pendidikan
diselenggarakan oleh masyarakat, pihak sekolah
memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan sesuai
ciri atau kekhususan masing-masing sekolah
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila
sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa dan
ideologi bangsa dan negara. Selanjutnya Hawadi
(2004) menyatakan bahwa biaya yang dihabiskan
pada kelas regular tidak sebesar kelas unggulan.
Selain itu, siswa dalam kelas regular lebih heterogen,
maksudnya mempunyai potensi, bakat dan IQ yang
berbeda-beda pula.
21
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kelas regular adalah kelas yang
menyelenggarakan program pendidikan nasional yang
penyelenggaraan pendidikannya bersifat masal dan
lebih heterogen dalam hal potensi, bakat dan IQ serta
biaya yang dikeluarkan relatif lebih murah.
b. Tujuan Kelas Reguler
Tujuan pendidikan kelas regular sama dengan
tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang RI
No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (Depdiknas, 2003).
Lebih lanjut dalam Undang-Undang RI No 20
tahun 2003 tersebut, dijelaskan bahwa pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standart
nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Sedangkan kurikulum tersebut
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan:
22
1) Peningkatan iman dan taqwa
2) Peningkatan akhlak mulia
3) Peningkatan potensi, kecerdasan dan minat
peserta didik
4) Keragaman potensi daerah dan lingkungan
5) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
6) Tuntutan dunia kerja
7) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni
8) Agama
9) Dinamika perkembangan global dan
10) Persatuan nasional dan nilai- nilai kebangsaan
c. Karakteristik Kelas Reguler
Mudyahardji (2002) menjelaskan bahwa ada
beberapa karakteristik dalam kelas regular ini
meliputi :
1) Rentan Waktu Belajar
Waktu belajar berlangsung selama kurang
lebih 7 jam dalam sehari.
2) Lingkungan Pendidikan
Pendidikan dalam kelas regular ini
berlangsung dalam lingkungan pendidikan
yang diciptakan untuk menyelenggarakan
23
pendidikan secara teknis pendidikan ini
berlangsung di kelas/ruangan.
3) Bentuk Kegiatan
Isi pendidikan berlangsung tersusun secara
terprogram dalam bentuk kurikulum. Kegiatan
pendidikan lebih berorientasi pada kegiatan
guru sehingga guru mempunyai peranan yang
sentral. Kegiatan pendidikan terjadwal,
tertentu waktu dan tempat.
4) Bentuk Pengajaran
Dalam kelas regular ini, menggunakan bentuk
pengajaran klasikal atau group-oriented
instruction yaitu menganggap semua siswa
sama-sama memperoleh pengajaran yang sama
dan perbedaan yang ada di antara mereka
dianggap tidak penting.
5) Tujuan
Tujuan pendidikan kelas regular ini ditentukan
oleh pihak luar. Tujuan pendidikannya terbatas
pada pengembangan kemampuan dan minat
tertentu, dengan harapan untuk
mempersiapkan siswa di masa akan datang.
Namun dalam pelaksanaannya, kelas regular ini
seringkali mengalami hambatan sebab tidak
terpenuhinya semua kebutuhan siswa dan tidak
24
terakomodasinya kebutuhan serta minat siswa. Selain
itu, pengajaran klasikal menjadi siswa yng relatif
mempunyai nalar yang cepat dibanding temannya
tidak terlayani secara baik, sehingga potensi yang
dimilikinya tidak dapat berkembang secara optimal.
Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan untuk membuat program
kelas unggulan untuk memenuhi kebutuhan peserta
didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa.
2) Kelas Unggulan
a. Pengertian Kelas Unggulan
Silalahi (2006) menyatakan bahwa kelas
unggulan adalah kelas yang menyediakan program
pelayanan khusus bagi peserta didik dengan cara
mengembangkan bakat dan kreativitas yang
dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik
yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa.
Pengertian lainnya dikemukakan oleh Direktorat
Pendidikan Dasar (Supriyono, 2009) bahwa kelas
unggulan adalah sejumlah anak didik yang karena
prestasinya menonjol dikelompokkan di dalam satu
kelas tertentu kemudian diberi program pengajaran
25
yang sesuai dengan kurikulum yang dikembangkan
dan adanya tambahan materi pada mata pelajaran
tertentu. Selanjutnya menurut Suhartono dan
Ngadirun (2009), kelas unggulan adalah kelas yang
dirancang untuk memberikan pelayanan belajar yang
memadai bagi siswa yang benar-benar mempunyai
kemampuan yang luar biasa.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kelas unggulan adalah kelas yang dirancang untuk
sejumlah siswa yang memiliki kemampuan, bakat,
kreativitas dan prestasi yang menonjol dibandingkan
dengan siswa lainnya kemudian diberi program
pengajaran yang sesuai dengan kurikulum yang
dikembangkan dan adanya tambahan materi pada
mata pelajaran tertentu.
b. Dasar Konseptual Kelas Unggulan
Dasar penyelenggaraan kelas unggulan menurut
Ward (dalam Hamalik, 2002) pada dasarnya
diperuntukkan bagi anak-anak yang berbakat, dengan
alasan:
1) Persepsi demokrasi menghendaki pemberian
kesempatan yang luas bagi anak dan pemuda
berbakat dengan potensinya yang melebihi anak-
26
anak normal agar dia dapat berkembang lebih
baik.
2) Keberhasilan pendidikan bagi anak-anak dan
pemuda yang berbakat memberikan peluang yang
lebih besar kepada mereka untuk memberikan
dukungan dan sumbangan terhadap masyarakat.
3) Selama ini sistem pendidikan di sekolah-sekolah
kurang memperhatikan pendidikan bagi anak-
anak yang berbakat ini. Ketidak pedulian ini
dianggap sebagai kegagalan dalam pendidikan.
Selanjutnya menurut Munandar (1999), dasar
diselenggarakannya kelas unggulan adalah sebuah
keyakinan bahwa “sebuah pembelajaran kepada siswa
akan lebih baik jika tingkat dan kecepatan kurikulum
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan anak”.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa dasar diselenggarakannya kelas unggulan
adalah adanya perbedaan kemampuan dari setiap
individu siswa memerlukan perlakuan yang berbeda
juga, bagi siswa yang memiliki bakat yang menonjol
tentunya diperlukan kelas khusus bagi mereka agar
kemampuan yang dimilikinya dapat tersalurkan
dengan baik dan tidak terhambat oleh kelemahan
kemampuan oleh siswa yang lainnya.
27
c. Tujuan Kelas Unggulan
Menurut Silalahi (2006), tujuan penyelenggaraan
kelas unggulan diantaranya:
1) Mengembangkan dan meningkatkan kualitas
pendidikan.
2) Menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas.
3) Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan
tenaga pendidik.
4) Mengembangkan potensi yang dimiliki sekolah.
5) Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi
persaingan di dunia pendidikan dengan
menciptakan keunggulan kompetitif.
Wilardjo (2011) mengungkapkan tujuan
pelaksanaan kelas unggulan adalah ”memberi
kesempatan kepada siswa yang memiliki kecerdasan
di atas normal untuk mendapat pelayanan khusus,
sehingga mempercepat pengembangan bakat dan
minat yang dimilikinya”. Sementara itu, menurut
Sagala (2003) bahwa tujuan diselenggarakannya kelas
khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan yang
menonjol adalah:
1) Pemberian perlakuan yang berbeda dari setiap
siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda.
28
2) Ada kesempatan bagi siswa untuk
mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.
3) Menimbulkan perasaan bebas dalam belajar
sehingga terjadi hubungan yang harmonis antara
guru dengan siswa dalam belajar.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat
disimpulkan tujuan dari penyelenggaraan kelas
unggulan adalah:
1) Dapat mengembangkan dan meningkatkan kualitas
pendidikan.
2) Menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas.
3) Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan
tenaga pendidik.
4) Mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.
5) Menimbulkan perasaan bebas dalam belajar.
d. Karakteristik Kelas Unggulan
Berdasarkan petunjuk penyelenggaraan program
kelas unggulan yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan yang ditulis kembali
oleh Suhartono dan Ngadirun (2009), kelas unggulan
harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
29
1) Masukan diseleksi secara ketat dengan
menggunakan kriteria yang dapat dipertanggung-
jawabkan.
2) Sarana dan prasarana menunjang untuk
pemenuhan kebutuhan belajar dan penyaluran
minat dan bakat siswa.
3) Lingkungan belajar yang kondusif untuk
berkembangnya potensi keunggulan menjadi
keunggulan yang nyata.
4) Memiliki kepala sekolah dan tenaga kependidikan
yang unggul, baik dari segi penguasaan materi
pelajaran, metode mengajar, maupun komiten
dalam melaksanakan tugas.
5) Kurikulum yang diperkaya, yakni melakukan
pengembangan dan improvisasi kurikulum secara
maksimal sesuai dengan tuntutan belajar.
6) Rentang waktu belajar di sekolah yang lebih
panjang dibandingkan kelas lain dan tersedianya
asrama yang memadai.
7) Proses pembelajaran yang berkualitas dan hasilnya
selalu dapat dipertanggungjawabkan kepada siswa,
lembaga, maupun masyarakat.
8) Adanya perlakuan tambahan di luar kurikulum,
program pengayaan dan perluasan, pengajaran
remedial, pelayanan bimbingan dan konseling
30
yang berkualitas, pembinaan kreativitas, dan
disiplin, sistem asrama, serta kegiatan
ekstrakurikuler lainnya.
9) Pembinaan kemampuan kepemimpinan yang
menyatu dalam keseluruhan sistem pembinaan
siswa melalui praktik langsung dalam kehidupan
sehari-hari.
Dengan bahasa yang agak berbeda Supriyono
(2004), merincikan karakteristik kelas unggulan
adalah:
1) Masukan atau raw input adalah peserta didik yang
diseleksi secara baik dengan menggunakan kriteria
dan prosedur yang dapat dipertanggungjwabakan
yang mampu membedakan antara anak yang
memiliki potensi kecerdasan yang tinggi atau
memiliki bakat yang istimewa dengan anak yang
hanya memiliki kecerdasan normal. Kriteria yang
biasa digunakan adalah hasil belajar dan hasil
psikotest.
2) Sarana dan prasarana yang menunjang untuk
memenuhi belajar peserta didik, baik dalam
kegiatan intra maupun ekstrakurikuler.
3) Lingkungan belajar yang menunjang untuk
berkembangnya potensi keunggulan, baik
lingkungan fisik maupun sosial psikologis.
31
4) Guru dan tenaga kependidikan yang unggul dari
penguasaan materi pelajaran, penguasaan metode
mengajar dan komitmen dalam melaksanakan
tugas.
5) Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
nasional yang diperkaya, dengan tetap berpegang
pada kurikulum nasional yang baku, dilakukan
pengayaan yang optimal sesuai dengan tuntutan
belajar peserta didik yang memiliki kecepatan dan
motivasi belajar yang tinggi.
6) Jumlah jam waktu belajar di sekolah yang lebih
lama dibandingkan kelas lain pada umumnya.
7) Proses belajar mengajar yang bermutu dan
hasilnya selalu dapat dipertanggungjawabkan
kepada peserta didik, lembaga maupun
masyarakat.
8) Pembinaan kemampuan kepemimpinan yang
menyatu dalam keseluruhan sistem pembinaan
siswa melalui praktik langsung dalam kehidupan
sehari-hari.
Secara lebih detail, Silalahi (2006) memberikan
acuan tentang karakteristik kelas unggulan sebagai
berikut:
32
1) Unggul Potensi siswa
Unggul potensi siswa maksudnya ialah ”siswa
yang tergabung dalam kelas unggulan memiliki
kapasitas sangat baik sehingga dengan suntikan
sedikit saja mereka langsung termotivasi untuk
belajar mandiri, sesuai dengan potensi
unggulannya”.
Potensi siswa bisa dilihat dari berbagai
dimensi. Perspektif paling poluler dewasa ini
adalah faktor kecerdasan. Ada beberapa kategori
kecerdasan yang lazim dikemukakan untuk
kepentingan pembelajaran:
a) Kecerdasan verbal linguistik (word smart)
adalah kemampuan menggunakan kata-kata
secara efektif.
b) Kecerdasan logis matematis (number smart),
melibatkan ketrampilan mengolah angka atau
kemahiran menggunakan logika atau akal sehat.
c) Kecerdasan spasial (picture smart) adalah
kecerdasan gambar dan visualisasi.
d) Kecerdasan kinestetik–jasmani (body smart)
adalah kecerdasan seluruh tubuh (atlet, penari,
seniman pantonim dan juga kecerdesan tangan
(montir, penjahit, tukang kayu, ahli bedah dan
lain-lain).
33
e) Kecerdasan musical (music smart) melibatkan
kemampuan menyanyikan sebuah lagu,
mengingat melodi musik, mempunyai kepekaan
akan irama atau sekedar menikmati musik.
f) Kecerdasan antar pribadi (people smart),
melibatkan kemampuan untuk memahami dan
bekerja dengan orang lain.
g) Kecerdasan intrapribadi (self smart) adalah
kecerdasan memahami diri sendiri, mengetahui
siapa diri sendiri.
h) Kecerdasan naturalis (nature smart) melibatkan
kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam di
sekitar kita, burung, bunga, pohon, hewan dan
fauna serta flora lain.
Proses menentukan siswa kelas unggulan melalui:
seleksi administratif, seleksi potensi kecerdasan
siswa, deskripsi hasil seleksi potensi, penentuan
siswa kelas unggul menyusun standar aktivitas
siswa unggulan, orientasi siswa kelas unggul,
pelaksanaan kelas unggul.
2) Unggul Kompetensi Guru
Unggul kompetensi guru maksudnya ialah
”bahwa guru yang mengajar di kelas unggulan
pribadi dengan memiliki alat pendidikan,
kewibawaan, kasih sayang yang tulus, keteladanan,
34
penguatan ketegasan yang mendidik, serta
menguasai secara teknis alat-alat pembelajaran
seperti, kurikulum, teknologi pendidikan, alat
bantu pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan
peni-laian hasil pembelajaran. Keunggulan
kepribadian guru terletak pada terdapat tidaknya
alat pendidikan dalam karakternya. Sifat-sifat guru
dengan alat pendidikan ini memantapkan dirinya
sebagai pendidik. Alat pendidikan ini sangat
mendukung keberhasil-annya mewujudkan
kompetensi menguasai alat pembelajaran.
Penguasaan pembelajaran tanpa alat pendidikan
mengakibatkan pembelajaran tidak efektif
membangun karakter positif maupun motivasi
belajar siswa”.
3) Unggul Program Pembelajaran
Unggul program pembelajaran maksudnya
ialah rancangan pembelajaran efektif mewujudkan
hasil belajar prima sesuai dengan tujuan kelas
unggulan.
4) Unggul Sarana Prasarana
Unggul saran dan prasarana maksudnya ialah
tersedianya sarana dan prasarana yang memadai
serta pemanfaatannya dengan baik untuk
mendukung kegiatan pembelajaran. Penyediaan
sarana prasaran dilakukan secara kontinu sesuai
35
dengan perkembangan teknologi informasi.
Tersedia ruangan perpustakaan, ruang baca yang
memadai, ruang diskusi, ruang multimedia,
laboratorium sesuai kebutuhan, serta sarana
prasarana lain yang dibutuhkan untuk kegiatan
pembelajaran, seni dan olah raga.
5) Unggul Kemitraan
Unggul kemitraan maksudnya ialah sekolah,
masyarakat, komite sekolah, maupun pemerintah
memiliki visi dan semangat yang sama untuk
membangun pendidikan bermutu di sekolah.
6) Unggul Dukungan Dana
Unggul dukungan dana maksudnya ialah
tersedianya dana serta penggunaan yang relevan
untuk kepentingan dukungan kegiatan dan tujuan
kelas unggulan.
Dari beberapa pendapat tentang karakteristik
kelas unggulan di atas, dapat disimpulkan
karakteristik kelas unggulan adalah:
1) Siswa di dalam kelas merupakan siswa terpilih
hasil seleksi.
2) Kelas memiliki fasilitas yang menunjang untuk
memenuhi kebutuhan belajar siswa.
3) Kelas memiliki kondisi yang kondusif bagi siswa
dalam belajar.
36
4) Kepala sekolah di kelas unggulan merupakan
kepala sekolah yang profesional.
5) Guru yang mengajar memiliki kemampuan dalam
melaksanakan tugas mengajar.
6) Kurikulum kelas unggulan dikembangkan untuk
menunjang belajar siswa.
7) Kelas unggulan memiliki rentang waktu belajar
yang lebih panjang.
8) Dalam kelas unggulan, proses pembelajaran
memiliki kualitas yang tinggi.
9) Kelas unggulan mendapatkan dukungan dari
orang tua siswa.
10) Kelas unggulan ditunjang dengan pendanaan
yang memadai.
11) Siswa diberikan perlakuan tambahan di luar jam
belajar.
12) Siswa diberikan pembinaan kemampuan
kepemimpinan.
13) Siswa diberikan evaluasi untuk mengukur hasil
belajar.
37
C. Siswa Yang Memiliki Prestasi Akademik Rendah
1. Pengertian Siswa Yang Memiliki Prestasi Akademik
Rendah
Winkel (1996) memberikan definisi prestasi
belajar yaitu suatu bukti keberhasilan belajar atau
kemampuan siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya
sesuai dengan bobot yang dicapainya. Sedangkan menurut
Nasution (1996), prestasi belajar adalah kesempurnaan
yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan
berbuat. Menurut Gunarso (1993), prestasi belajar adalah
usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah
melaksanakan usaha-usaha belajar, usaha belajar tersebut
kemudian akan menunjukkan hasil belajar bisa tinggi bisa
rendah.
Prestasi belajar di bidang pendidikan adalah hasil
dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi
faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti
proses pembelajaran yang diukur rmenggunakan
instrumen test yang relevan (Djuwariyah, 2008). Jadi
prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian
usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf
maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah
dicapai oleh setiap anak pada periode teretentu. Menurut
Kismawati (2012), prestasi belajar dikatakan sempurna
atau tinggi apabila memenuhi tiga aspek yaitu: kognitif,
38
afektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan memiliki
prestasi akademik rendah jika seseorang belum mampu
memenuhi target dalam ketiga kriteria tesebut. Sementara
itu menurut Akbar (1998), prestasi belajar dikatakan
rendah adalah bila seseorang memiliki peringkat 10
terbawah dari siswa satu kelas.
Prestasi belajar dapat diukur melalui tes prestasi
belajar. Menurut Anwar (2005), tes prestasi belajar bila
dilihat dari tujuannya yaitu mengungkap keberhasilan
seseorang dalam belajar. Tes pretasi belajar berupa tes
yang disusun secara terencana untuk mengungkap
performasi maksimal subyek dalam menguasai bahan-
bahan materi yang telah diajarkan. Dalam kegiatan
pendidikan formal tes prestai belajar dapat berbentuk
ulangan harian, tes formatif, tes sumatif ataupun UAN.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar yang rendah tersebut
merupakan keberhasilan minimal yang telah dicapai oleh
siswa. Seorang siswa akan mendapatkan hasil prestasi
akademik rendah apabila siswa tersebut tidak
melaksanakan usaha belajar yang sebaik mungkin. Hal
tersebut ditandai dengan masuknya siswa tersebut pada
peringkat 10 terbawah dari siswa satu kelas.
39
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Siswa Memiliki
Prestasi Akademik Rendah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa
memiliki prestasi akademik yang rendah. Faktor-faktor
itu antara lain (Suharnini dan Purwandari, 1999):
a. Kondisi fisik
Kondisi fisik siswa yang tidak menunjang dalam
mencapai prestasi belajar, seperti gangguan
penglihatan dan pendengaran, gangguan persepsi,
penyakit dan mal-nutrisi.
b. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan yang tidak menunjang anak
belajar, antara lain keadaan keluarga, masyarakat dan
keadaan serta pengajaran di sekolah yang tidak
memadai. Kurangnya perhatian dan kurangnya waktu
belajar, kondisi lingkungan yang kurang sehat juga
merupakan faktor yang dapat menyebabkan siswa
mempunyai prestasi belajar yang rendah.
c. Kondisi psikologis
Kondisi psikologis yang berhubungan dengan tinggi
rendahnya prestasi belajar pada prinsipnya dapat
digolongkan menjadi 3 aspek, yaitu aspek kognitif
(misalnya inteligensi), aspek afektif (misalnya perasaan
dan emosi) dan aspek psikomotor (misalnya kesiapan
diri, aktivitas dan tindakan yang dilakukan).
40
D. Learned Helplessness Siswa Yang Memiliki Prestasi
Akademik Terendah Di Kelas Reguler Dan Kelas
Unggulan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan (formal)
berusaha memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas
bagi siswanya. Dengan melakukan pengelompokan beberapa
jenis kelas di dunia pendidikan, maka akan membantu siswa
dalam mengembangkan potensi belajarnya berdasarkan bakat
dan minat yang dimilikinya (Munandar, 2004). Ada beberapa
jenis kelas di dunia pendidikan, diantaranya kelas umum atau
lebih dikenal dengan sebutan kelas reguler dan kelas
unggulan (Hisyam & Suyata, 2000). Dengan pengelompokan
kelas ini diharapkan setiap proses pembelajaran dapat
berhasil secara optimal, yaitu ditandai dengan hasil belajar
yang tinggi (Surakhmad, 2001).
Kelas unggulan adalah kelas yang dirancang secara
khusus untuk memenuhi kebutuhan siswa berdasarkan bakat
dan kemampuannya, dengan harapan siswa dapat
menyalurkan bakat dan kemampuannya dengan semaksimal
mungkin dengan rentang waktu belajar yang lebih lama.
Sebuah kelas unggulan berisikan siswa-siswa yang memiliki
kemampuan yang luar biasa (Suhartono dan Ngadirun,
2009). Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
nasional yang diperkaya, dengan tetap berpegang pada
kurikulum nasional yang baku, dilakukan pengayaan yang
41
optimal sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang
memiliki kecepatan dan motivasi belajar yang tinggi
(Supriyono, 2004).
Sebuah kelas unggulan merupakan kelas yang berisi
siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Siswa yang masuk pada kelas unggulan ini, sebelumnya
merupakan siswa yang memang memiliki prestasi belajar
atau hasil belajar yang tinggi. Siswa yang memiliki hasil
belajar yang tinggi biasanya memiliki efikasi diri yang
tinggi. Hal ini disebabkan karena efikasi diri akan
berpengaruh pada motivasi akademik, belajar dan prestasi
(Pajares dan Schunk, 2002). Selain itu efikasi diri
berpengaruh pada cara bagaimana orang berpikir, merasakan,
memotivasi diri mereka, dan bagaimana bertindak (Bandura,
1994). Mereka dengan efikasi diri yang tinggi akan memiliki
rasa percaya diri yang tinggi saat memperoleh keberhasilan
dalam belajar. Mereka percaya bahwa hal itu disebabkan oleh
kerasnya usaha dan kegigihan. Oleh karena itu, mereka akan
memandang tugas yang sulit bukanlah ancaman melainkan
sebuah tantangan dan mereka merasa mampu untuk
melakukan tugas tersebut.
Siswa yang masuk ke kelas unggulan akan bertemu
dengan siswa yang sama-sama pintar atau memiliki prestasi
belajar yang sama baiknya. Mengingat ada pemeringkatan
prestasi di setiap kelas termasuk di kelas unggulan, maka
42
mereka bisa saja berada pada prestasi akademik terendah di
dalam kelas, atau berada pada peringkat 10 terendah. Siswa
yang memiliki prestasi akademik terendah di kelas unggulan
ketika mengalami sebuah kegagalan, ia akan merespon
kegagalan tersebut sebagai motivasi untuk lebih giat dalam
belajar, tetap berpikir positif dan menghadapi kegagalan
sebagai sebuah tantangan dan sebagai kesempatan (Sunawan,
2005). Hal ini dikarenakan ia memiliki efikasi diri yang
tinggi. Dengan adanya efikasi diri yang tinggi tersebut
selanjutnya akan mengarahkan siswa tersebut untuk
mengatribusi keberhasilan atau kegagalan mereka dalam
belajar, pada kurangnya usaha dan rendahnya kemampuan.
Seorang siswa dengan efikasi diri yang tinggi cenderung
untuk percaya akan kemampuan yang ia miliki dan itu
tercermin melalui performa mereka dalam proses belajar
(Sunawan, 2005).
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka siswa
yang memiliki prestasi akademik terendah di kelas unggulan
cenderung memilki tingkat learned helplessness yang
rendah. Deiner dan Dweck (dalam Slavin, 2006) menyatakan
bahwa learned helplessness mempengaruhi aktivitas siswa
dalam mempelajari sesuatu. Siswa yang berada pada kondisi
learned helplessness yang rendah akan berusaha melakukan
hal-hal dengan lebih baik. Mereka akan berusaha karena
mereka memiliki persepsi bahwa usahanya tersebut kelak
43
akan mendatangkan kesuksesan di kemudian hari, kondisi
seperti ini berpengaruh pada prestasi belajar selanjutnya.
Hal berbeda dapat saja diperlihatkan pada kelas
reguler yang berisi siswa yang memiliki kemampuan rata-
rata, dan tidak memperoleh pelayanan secara khusus.
Pelayanan yang diperoleh sama dengan siswa yang lain, dan
tidak ada penambahan rentang waktu belajar, siswa masuk
diseleksi berdasarkan standar yang sudah ada, tanpa ada
seleksi khusus (Fauziah, 2009). Dalam kelas reguler ini
kegiatan pendidikan sudah terjadwal ,tertentu waktu dan
tempat, bentuk pengajaran yang digunakan adalah klasikal
atau group-oriented instruction yaitu menganggap semua
siswa sama-sama memperoleh pengajaran yang sama dan
perbedaan yang ada diantara mereka dianggap tidak penting
(Mudyahardji 2002).
Siswa yang masuk ke kelas reguler merupakan siswa
yang memiliki prestasi belajar rata-rata atau biasa saja, tidak
berprestasi tinggi. Siswa yang memiliki hasil belajar yang
biasa saja itu cenderung akan memiliki efikasi diri yang
rendah. Seperti halnya di kelas unggulan, siswa yang masuk
ke kelas reguler-pun akan bertemu dengan siswa yang sama-
sama mempunyai prestasi belajar biasa saja atau tidak tinggi
prestasi belajarnya. Mengingat ada pemeringkatan prestasi di
setiap kelas termasuk di kelas reguler, maka mereka bisa saja
berada pada prestasi akademik terendah di dalam kelas, atau
44
berada pada peringkat 10 terendah. Siswa yang memiliki
prestasi akademik terendah di kelas reguler ketika
mengalami sebuah kegagalan, ia akan merespon kegagalan
tersebut dengan kurang atau tidak termotivasi untuk lebih
giat dalam belajar (Sunawan, 2005). Hal ini dikarenakan ia
memiliki efikasi diri yang rendah. Ia akan memiliki tingkat
frustrasi dan frekwensi menyerah lebih tinggi (Marhaeni,
2008). Ini menunjukkkan bahwa siswa tersebut memiliki
tingkat learned helplessness yang tinggi. Hal ini didukung
dengan pendapat Elliot (2000) yang menyatakan bahwa
learned helplessness menempatkan individu pada kondisi
frustrasi dan mereka akan menyerah dengan begitu saja
setelah kegagalan yang berulang.
Setiap siswa baik kelas reguler maupun kelas
unggulan mendapatkan perlakukan yang sama di dalam kelas
namun prestasi belajar masing-masing siswa tidak akan
pernah sama (Sudijono, 1996). Di dalam suatu kelas baik
kelas reguler maupun kelas unggulan pasti ada siswa yang
memiliki prestasi akademik terendah atau memiliki peringkat
10 terbawah di kelasnya. Rendahnya prestasi akademik yang
telah diperoleh sebelumnya haruslah diperbaiki agar tidak
terulang kembali di waktu mendatang. Namun terkadang
tidak semua siswa yang telah gagal tersebut meresponnya
dengan positif untuk dapat berhasil di kesempatan
berikutnya. Ada diantara mereka yang mungkin saja
45
menyerah dan merasa bahwa apa yang dilakukan tidak akan
membawa perubahan yang lebih baik. Perasaan menyerah
dengan cepat yang disebabkan kegagalan yang dialami
sebelumnya ini sering disebut dengan istilah learned
helplessness (Marhaeni, 2007). Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, maka secara singkat dapat disimpulkan bahwa
siswa yang berprestasi akademik terendah di kelas unggulan
mempunyai kecenderungan learned heplessness yang lebih
rendah dibandingkan dengan siswa yang berprestasi
akademik terendah di kelas reguler.
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan kajian teori yang
telah dijabarkan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis
empirik penelitian sebagai berikut: ”Terdapat perbedaan
tingkat learned helplessness siswa yang memiliki prestasi
akademik terendah di kelas reguler dan kelas unggulan.”
Adapun hipotesa statistiknya adalah sebagai berikut:
Ha : Terdapat perbedaan yang signifikan learned
helplessness siswa yang memiliki prestasi akademik
terendah di kelas reguler dan kelas unggulan.
Ho : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan learned
helplessness siswa yang memiliki prestasi akademik
terendah di kelas reguler dan kelas unggulan.