BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Tidur pada Mahasiswa...
-
Upload
vuongkhanh -
Category
Documents
-
view
267 -
download
1
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Tidur pada Mahasiswa...
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Tidur pada Mahasiswa Pondok Pesantren
1. Pengertian Kualitas Tidur
Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisiologis. Tidur
adalah suatu keadaan di mana kesadaran seseorang akan sesuatu menjadi turun,
namun aktivitas otak tetap memainkan peran yang luar biasa dalam mengatur
fungsinya, seperti mengatur fungsi pencernaan, aktivitas jantung dan pembuluh
darah, serta fungsi kekebalan dalam memberikan energi pada tubuh dan dalam
pemrosesan kognitif, termasuk penyimpanan, penataan, dan pembacaan informasi
yang disimpan dalam otak, serta perolehan informasi saat terjaga (Maas, 2002).
Adapun menurut Jenni dan Dahl (2008), tidur adalah suatu kegiatan relatif tanpa
sadar yang penuh, yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan
masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan jasmaniah. Beberapa ahli
berpendapat bahwa tidur diyakini dapat memulihkan tenaga karena tidur
memberikan waktu untuk perbaikan dan penyembuhan sistem tubuh untuk
periode keterjagaan berikutnya.
Tidur berasal dari bahasa latin somnus yang berarti alami periode
pemulihan, keadaan fisiologis dari istirahat untuk tubuh dan pikiran (Erfandi,
2008). Beberapa teori-teori Sirkandian tentang tidur (circandian theories of sleep)
menyebutkan bahwa tidur bukan reaksi terhadap efek-efek disruptif bangun, tetapi
sebagai akibat mekanisme timing internal 24 jam (Circandian berarti
15
berlangsungnya kira-kira 1 hari) artinya, manusia semuanya terprogram untuk
tidur di malam hari terlepas dari apapun yang terjadi pada diri kita di siang hari.
Menurut teori ini, individu telah berevolusi untuk tidur di malam hari, karena tidur
melindungi kita dari kecelakaan dan predator di malam hari. Teori-teori
Sirkandian tentang tidur lebih difokuskan pada kapan kita tidur dari pada fungsi
tidur. Akan tetapi, salah satu versi ekstrem teori sirkandian mengatakan bahwa
tidur tidak berperan dalam fungsi fisiologis tubuh yang efisien. Menurut teori ini
manusia zaman dahulu, memiliki waktu yang cukup untuk mendapatkan
makanan, minuman, dan berproduksi selama siang hari, dan motivasi kuat mereka
untuk tidur di malam hari berevolusi untuk menghemat sumber energi dan untuk
membuat mereka terhindar terhadap kecelakaan (misalnya, predator) dikegelapan.
Teori ini mengatakan bahwa tidur seperti perilaku reproduktif, dalam arti kita
dapat termotivasi untuk melakukannya, tetapi kita tidak membutuhkannnya agar
tetap sehat (Pinel, 2009).
Tidur mempunyai fungsi restoratif, yaitu fungsi pemulihan kembali
bagian-bagian tubuh yang lelah, merangsang pertumbuhan, serta pemeliharaan
kesehatan tubuh. Proses tidur jika diberi waktu yang cukup dan lingkungan yang
tepat akan menghasilkan tenaga yang luar biasa. Lebih lanjut, tidur dapat
memulihkan, meremajakan, dan memberikan energi bagi tubuh dan otak selain itu
tidur yang baik dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit (Maas,
2002). Kurang tidur dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan
kerusakan otak, bahkan kematian. Beberapa peneliti menyakini bahwa tidur REM
16
menjalankan fungsi restoratif untuk otak, sedangkan tidur non-REM menjalankan
fungsi restoratif untuk tubuh (Prasadja, 2004).
Selain kondisi fisik, tidur juga mempengaruhi kondisi mental seseorang,
tidur yang kurang dapat mempengaruhi suasana hati seseorang (Webb, 2001).
tidur yang baik merupakan kunci untuk merasa nyaman dan bahagia. Tidur yang
buruk, sebaliknya, dapat mengakibatkan kelelahan, mudah tersinggung, mudah
marah dan depresi klinis (Khavari, 2000). periode kekurangan tidur yang panjang,
terkadang menyebabkan disorganisasi ego, halusinasi dan waham selain itu, orang
yang kekurangan tidur REM mungkin menunjukkan sikap mudah tersinggung dan
letargi (merasa kehilangan energi dan antusiasme), (Kaplan & Sadock, 1997).
Sedangkan Nashori & Diana (2005) mendefinisikan kualitas tidur adalah
sebagai suatu keadaan, di mana tidur yang dijalani seorang individu menghasilkan
kebugaran dan kesegaran pada saat terbangun. Sementara kualitas tidur menurut
Hidayat (2006), adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang
tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu
dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah,
mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau
mengantuk. Kualitas tidur yang baik sepertinya terjadi dengan sendirinya tidak
perlu menghadapinya dengan tidak bisa istirahat atau dengan kecemasan dan tidak
perlu meminum obat apapun untuk mengalaminya (Chopra, 2003).
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli,
peneliti menyimpulkan bahwa kualitas tidur merupakan suatu keadaan di mana
saat seseorang terbangun dari tidurnya dapat merasakan suatu kebugaran,
17
kesegaran, dan kepuasan terhadap tidur tanpa seseorang meminum obat apapun
untuk mendapatkannya. Sehingga apabila seseorang sudah terpenuhi kualitas
tidurnya, maka tidak akan muncul perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah,
lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva
merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap
atau mengantuk.
2. Kualitas Tidur pada Mahasiswa Pondok Pesantren
Setiap manusia memiliki kebiasaan tidur yang berbeda-beda. Salah
satunya tergantung dari aktifitas yang dilakukan. Keunikan justru terjadi pada
masa usia dewasa muda (usia 16 – 30 tahun) dimana terjadi pergeseran irama
sirkadian sehingga jam tidur pun bergeser akibat dari perubahan hormonal yang
terjadi pada akhir masa pubertas. Saat orang lain mulai mengantuk pada pukul
21.00 atau 22.00, pada usia dewasa muda justru bersemangat untuk berkarya, baik
itu belajar maupun menyelesaikan pekerjaannya. Sementara di pagi hari sudah
harus bangun lebih awal untuk mempersiapkan diri ke sekolah, kuliah, maupun
bekerja. Pada umumnya, dewasa muda mengalami kekurangan tidur sehingga
tidak mengherankan jika banyak fenomena pelajar atau mahasiswa yang tertidur
saat jam pelajaran dimulai (Marpaung, dkk., 2013).
Mahasiswa pondok pesantren berada pada masa dewasa muda yaitu pada
rentang usia 16-30 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andriani
(2016), menunjukkan bahwa banyak dari mahasiswa yang mengantuk dan tertidur
di pagi hari pada saat pelajaran berlangsung dan aktivitas – aktivitas lainnya saat
18
di kampus. Dikarenakan malam harinya mereka disibukkan untuk menyelesaikan
tugas – tugas dari kampus serta kebiasaan sebelum tidur seperti megerjakan tugas,
mendengarkan musik dan bermain gadget. Hal ini akan menyita waktu tidur
mahasiswa dan mempengaruhi jam tidur serta tidak konsentrasi saat belajar.
Terlebih lagi pada mahasiswa yang sedang meyelesaikan Tugas Akhir. Hal ini
sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti bahwa mahasiswa
pondok pesantren sering memulai tidur saat larut malam sehingga mempengaruhi
bangun pada keesokan harinya bahkan mahasiswa memilih untuk menunda waktu
tidurnya demi untuk belajar, mengaji dan mengerjakan tugas yang belum
terselesaikan serta mahasiswa pondok pesantren hampir setiap harinya tidur
sekitar 4-5 jam, sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa pondok pesantren
memiliki kualitas tidur yang rendah.
3. Aspek-Aspek Kualitas Tidur
Aspek-aspek kualitas tidur menurut pendapat ahli-ahli psikologi moderen
dan pandangan Islam (dalam Nashori dan Subandi, 2010), ada lima yaitu:
a. Nyenyak selama tidur, sebenarnya orang tidur melalui beberapa fase tidur,
mulai dari fase tidak nyenyak, nyenyak, hingga tidak nyenyak dalam tidur.
Berkaitan dengan kenyenyakan ini para ahli menggambarkan tahap tidur
menjadi enam tahap. Seseorang yang nyenyak tidur tidak akan mengalami
gangguan internal maupun eksternal yang menjadikan tidurnya tidak
nyenyak. Termasuk gangguan internal adalah mudah terbangun karena ingin
kencing, suhu tubuh yang panas, sakit dan sebagainya. Termasuk gangguan
19
eksternal adalah suara gaduh (seperti ketukan pintu, suara mobil, adanya
pukulan di tembok, dan sebagainya). Sekalipun kenyenyakan yang paling
baik adalah kenyenyakan yang natural (alamiah). Kenyenyakan yang tidak
alamiah, misalnya dengan memakan obat tidur, tetap memiliki implikasi yang
kurang baik bagi tubuh.
b. Waktu tidur yang cukup (minimal enam jam dalam sehari), bila seseorang
dapat tidur dalam waktu yang cukup, maka seseorang akan siap melakukan
aktivitas-aktivitas yang harus dikerjakannya saat tersadar. Tentang waktu
tidur yang cukup, diungkapkan oleh (Maas, 2002), bahwa setiap orang
mempunyai rekening hutang tidur. Setiap orang perlu menyimpan cukup tidur
dalam rekening tersebut agar dapat menjaga kondisi homeostatis tidur tetap
stabil, suatu hal yang akan membuatnya awas sepanjang siang. Tidur yang
terjadi dalam diri seseorang adalah tabungan atau aset, setiap jam terjaga
adalah penarikan tabungan atau utang. Seperti apakah neraca rekening tidur
rata-rata orang? Ternyata setengah hari penduduk dewasa memiliki utang
tidur yang cukup besar, karena setiap jam yang dilewatkan seseorang untuk
terjaga menambah utang tidurnya, maka seseorang harus terus menerus
menabung tidur dalam rekeningnya. Sebagian orang perlu menabung sekitar
delapan jam dalam rekeningnya untuk menghapus utang tidur yang
diakibatkan oleh enam belas jam terjaga terus-menerus. Kita perlu
memperoleh sejumlah tidur setiap malam sehingga tidak membuat atau tetap
mempunyai utang tidur, jika tidak, orang akan utang dan mengantuk setiap
hari.
20
c. Tidur lebih awal dan bangun lebih awal. Keteraturan tidur dan terjaga adalah
sesuatu yang sangat penting, namun yang tak kalah penting dalam keteraturan
itu adalah perlunya seseorang tidur awal dan bangun lebih awal. Hal tersebut
diperkuat oleh Maas (2002) bahwa penting bagi setiap orang untuk menjaga
jam biologisnya agar tetap selaras sepenuhnya dengan rutinitas hariannya.
Dengan demikian, jam-jam yang telah dilaluinya dengan tidur akan sesuai
dengan fase mengantuk irama sirkandiannya, dan jam-jam yang telah
dilewatkan di luar kamar tidur akan sesuai dengan fase terjaga irama
sirkandiannya. Satu-satunya cara untuk melakukan hal di atas adalah dengan
menjaga jadwal tidur yang teratur, mulai dari tidur pada jam yang sama setiap
malam dan bangun pada waktu yang sama setiap harinya.
d. Merasa segar ketika terbangun, saat terbangun dari tidur yang cukup
seseorang semestinya merasakan rasa segar atau bugar saat terbangun.
Dengan kebugarannya itu, seseorang siap melakukan berbagai aktivitas
sepanjang hari secara efektif dan efisien, (Maas, 2002). Namun, tidak semua
orang yang tidur merasa bugar saat terbangun. Banyak orang yang merasakan
badannya tidak bugar, persendiannya yang ngilu-ngilu saat terbangun,
matanya ingin tertutup saja dan sebagainya.
e. Tidak bermimpi buruk, tidur yang berkualitas ditandai oleh tiadanya mimpi
buruk yang hadir dalam tidur seseorang. Seseorang yang memiliki
pengalaman yang tidak menyenangkan dalam kehidupan sehari-harinya bisa
saja mengalami mimpi buruk bila dapat menyikapinya dengan positif, atau
kalau seseorang mampu mengungkapkan kegundahan hatinya kepada orang
21
lain. Sebaliknya, pengalaman buruk yang dipersepsi secara buruk, lebih-lebih
bila orang tidak melakukan pengungkapan diri, akan mengakibatkan
seseorang hadirnya pengalaman tersebut dalam tidur seseorang berupa mimpi
buruk.
Adapun menurut Mass (2002), aspek-aspek dari kualitas tidur ada lima
yaitu:
a. Tidur dalam keadaan miring ke kanan, karena memiliki implikasibiologis
bagi seseorang. Dalam posisi miring ke kanan lambung dalam posisi yang
lebih bebas untuk menjalankan fungsinya.
b. Badan dalam keadaan rileks (tidak ada aktivias yang berat sesaat menjelang
tidur), dianjurkan tidak melakukan aktivitas yang berat sesaat menjelang
tidur, seperti aktivitas olahraga yang terlalu dekat dengan waktu tidur karena
akan menghadirkan pengaruh berupa terganggunya tidur seseorang.
c. Nyenyak selama tidur, seseorang yang nyenyak tidur tidak akan mengalami
gangguan internal maupun eksternal. Gangguan internal seperti, mudah
terbangun karena ingin kencing, dan suhu tubuh panas. Gangguan eksternal
seperti, suara gaduh (suara mobil, pukulan di tembok, dan ketukan pintu).
d. Waktu tidur yang cukup (minimal enam jam dalam sehari), setiap orang
mempunyai rekening utang tidur, setiap orang perlu menyimpan cukup tidur
dalam rekening agar dapat menjaga kondisi homeostatis tidur tetap stabil,
suatu hal yang akan membuatnya awas sepanjang siang.
22
e. Merasa segar ketika terbangun, saat terbangun dari tidur yang cukup
seseorang merasakan rasa segar atau bugar saat terbangun, dan siap
melakukan berbagai aktivitas sepanjang hari secara efektif dan efisien.
f. Nyaman secara psikologis. Keadaan lain yang dipandang mempengaruhi
kualitas tidur adalah kenyamanan secara psikologis. Boleh jadi seseorang
dalam keadaan menghadapi masalah, namun yang terpenting adalah
bagaimana seseorang menanggapi masalah tersebut. Bila seseorang tetap
optimis dalam memandang berbagai macam masalah, yakin akan adanya
jalan keluar, maka seseorang dapat menjalani tidurnya dengan baik.
Sebaliknya, kalau seseorang dibebani oleh berbagai macam hal menjelang
tidurnya, misalnya dipenuhi ketajutan, maka tidurnya kemungkinan lebih
mudah terganggu.
Adapun menurut Wolniczak (2013), bahwa aspek-aspek dari kualitas tidur
yaitu;
a. Durasi tidur (lamanya waktu tidur),
b. Gangguan saat tidur seperti pencahayaan dan kebisingan,
c. Atency (interval waktu antara respon yang diharapkan),
d. Efisiensi tidur.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek-
aspek kualitas tidur menurut Wolniczak (2013) adalah durasi tidur, gangguan saat
tidur, atency, efisience tidur, sedangkan menurut Maas (2002) dapat dilihat dari
enam aspek yakni, tidur dalam keadaan miring ke kanan, badan dalam keadaan
rileks, nyenyak selama tidur, waktu tidur yang cukup, merasa segar saat
23
terbangun, nyaman secara psikologis, sedangkan menurut Nashori (2002) dapat
dilihat dari lima aspek yakni, nyenyak selama tidur, waktu tidur yang cukup, tidur
dan bangun lebih awal, merasa segar ketika terbangun, tidak bermimpi buruk.
Kelima aspek dari Nashori (2002) tersebut nantinya akan peneliti gunakan sebagai
acuan dalam penyusunan alat ukur guna mengungkap kualitas tidur, karena
penjelasan dan contohnya lebih kongkrit sehingga memudahkan penulis dalam
menyusun aitem Skala Kualitas Tidur.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur menurut Alimul (2015)
ada enam yaitu:
a. Penyakit, setiap penyakit menyebabkan ketidaknyamanaan fisik yang
menyebabkan masalah pada tidur. Seseorang dengan masalah pernafasan
dapat mengganggu tidurnya, nafas yang pendek membuat orang sulit tidur
dan orang yang memiliki kongesti di hidung dan adanya drainase sinus
mungkin mengalami gangguan untuk bernafas dan sulit untuk tidur.
b. Lingkungan, tingkat cahaya dapat mempengaruhi seseorang untuk tidur, ada
yang bisa tidur dengan cahaya lampu ada juga yang bisa tidur apabila lampu
dimatikan atau dalam keadaan gelap. Ketidaknyamanan dari suhu lingkungan
dan kurangnya ventilasi dapat mempengaruhi tidur.
c. Latihan fisik dan kelelahan, kelelahan yang berlebihan akibat kerja yang
meletihkan mempunyai REM yang pendek tidur siang dapat mengganggu
waktu tidur malam dan harus dihindari jika seseorang mengalami insomnia.
24
d. Obat-obatan dan zat-zat kimia, Hypnotics atau obat tidur dapat mengganggu
tidur NREM tahap 3 dan 4 serta dapat menekan REM. Beta blockers dapat
menyebabkan insomnia dan mimpi buruk. Narkotik seperti morfin, dapat
menekan tidur REM dan meningkatkan frekuensi bangun dari tidur dan
mengantuk. Orang yang minum alkohol dalam jumlah banyak sering
mengalami gangguan tidur dan mimpi buruk.
e. Diet dan kalori, kehilangan berat badan berkaitan dengan penurunan waktu
tidur total, terganggunya tidur dan bangun lebih awal. Sedangkan kelebihan
berat badan akan meningkatkan waktu tidur total.
f. Stres psikologis, stres psikologis mempengaruhi tidur dengan dua cara, yang
pertama orang mengalami stres merasa sulit untuk merasakan tidur yang
nyaman sesuai dengan yang dibutuhkan. Kedua, tidur REM berkurang dalam
jumlah yang cenderung menambah kecemasan dan stres. Salah satu jenis stres
yang sering ditemukan di kalangan mahasiswa ialah stres akademik. Stres
akademik dapat terjadi di lingkungan sekolah atau pendidikan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur menurut Nashori,
dan Etik (2016) ada empat yaitu,
a. Bersuci, berdo’a dan berdzikir sebelum tidur. Menjelang tidur, aktivitas yang
dipandang ikut berperan serta mempengaruhi kualitas tidur adalah bersuci,
berdo’a dan berdzikir sebelum tidur. Bersuci yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah menyucikan jasad dan ruhani, dengan berwudlu. Aktifitas berwudlu
sebelum tidur adalah aktifitas yang dianjurkan oleh ajaran islam. Aktifitas
lain yang dianjurkan adalah berdo’a menjelang tidur. Inti dari berdo’a adalah
25
penyerahan diri manusia kepada Allah, dzat yang menghidupkan dan
mematikan manusia. Islam juga menganjurkan umatnya untuk berdzikir atau
mengingat Allah sebelum tidur. Sebuah hadits Nabi Muhammad
menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan aktifitas berdzikir sebelum
tidurnya, maka sepanjang tidurnya dinilai berdzikir. Kalau selama tidur
seseorang berdzikir, maka tentu saja secara spiritual tidur seseorang
berkualitas atau bermutu tinggi
b. Tidur dalam keadaan miring ke kanan dan menghadap kiblat. Aktifitas lain
yang dipandang mempengaruhi kualitas tidur adalah posisi tidur dalam
keadaan miring ke kanan dan menghadap kiblat. Sementara yang dimaksud
menghadap kiblat adalah mengarahkan tubuh ke baitullah (rumah Allah),
yaitu Ka’bah yang berada di Kota Makkah. Artinya seseorang secara sadar
mengarahkan dirinya kepada Allah. Keadaan ini membawa implikasi bagi
seseorang, yaitu ruh, jiwa dan raganya terarah kepada Allah. Posisi ke arah
kiblat dengan sendirinya menjadikan posisi tubuh seseorang selaras dengan
alam. Kepala lurus dengan kutub utara, kakinya lurus dengan kutub selatan.
Miring ke kanan adalah simbol yang baik. Kanan dalam pandangan Islam,
sering diistilahkan ash-habul yamin, adalah posisi yang baik. Tidak kurang
dari itu, miring ke kanan ternyata memiliki implikasi biologis bagi seseorang.
Dalam posisi demikian, lambung berada dalam posisi yang lebih bebas untuk
menjalankan fungsinya sehingga proses pencernaan dalam lambung manusia
berlangsung optimal (Maas, 2002).
26
c. Nyaman secara psikologis. Keadaan lain yang dipandang mempengaruhi
kualitas tidur adalah kenyamanan secara psikologis. Boleh jadi seseorang
dalam kehidupan kesehariannya menghadapi beragam masalah, namun yang
terpenting adalah bagaimana sikapnya dalam menanggapi masalah tersebut.
Bila seseorang telah optimis dalam memandang berbagai macam masalah,
yakin akan adanya jalan keluar, maka ia dapat menjalani tidurnya dengan
baik. Sebaliknya, kalau seseorang dibebani oleh berbagai macam hal
menjelang tidurnya, misalnya dipenuhi ketakutan, maka tidurnya
kemungkinanan lebih mudah terganggu.
d. Tidak melakukan aktifitas tidur yang berat menjelang tidur. Secara fisik,
aktifitas yang dianjurkan adalah tidak melakukan aktifitas fisik yang berat
sesaat menjelang tidur. Dikatakan oleh Maas (2002) bahwa menjelang tidur
seseorang sebaiknya tidak melakukan aktifitas olahraga. Aktifitas olahraga
yang terlalu dekat dengan waktu tidur akan menghadirkan pengaruh berupa
terganggunya tidur seseorang. Sementara yang dianjurkan adalah di sore hari,
sekurang-kurangnya lima jam sebelum tidur, seseorang olahraga. Ototnya
telah memperoleh kesempatan untuk relaksasi, sehingga saat tidur seseorang
dapat menjalaninya secara pulas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas tidur
pada mahasiswa pondok pesantren terjadi karena beberapa faktor meliputi
penyakit, lingkungan, latihan fisik dan kelelahan, diet dan kalori, obat-obatan dan
zat kimia, stres akademik, bersuci, berdo’a, dan berdzikir, memulai tidur dalam
keadaan miring ke kanan dan menghadap ke kiblat, nyaman secara psikologis, tak
27
ada aktifitas fisik yang berat menjelang tidur. Pada penelitian ini, peneliti akan
menggunakan faktor-faktor yang menyebabkan kualitas tidur dari Alimul (2006)
yaitu stres akademik, karena stres akademik adalah salah satu faktor dari kualitas
tidur, dikarenakan hal yang paling pertama dihadapi oleh mahasiswa pondok
pesantren ialah stres akademik yang nantinya akan mempengaruhi pada kualitas
tidurnya. Dalam penelitian ini, faktor yang mempengaruhi kualitas tidur adalah
stres akademik yang terdapat dalam faktor yang mempengaruhi kualitas tidur
menurut Alimul (2015) yaitu penyakit, lingkungan, latihan fisik dan kelelahan,
diet dan kalori, obat-obatan dan zat-zat kimia dan stres akademik.
B. Stres Akademik
1. Pengertian Stres Akademik
Stres merupakan kondisi yang disebabkan oleh jarak interaksi individu
dengan lingkungan. Sarafino dan Smith (2014), menyatakan bahwa stres adalah
kodisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan,
menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi
biologis, psikologis dan sosial. Lazarus dan Folkman (1984), menyatakan bahwa
munculnya stres bergantung pada dua faktor, yaitu individu itu sendiri dan situasi
lingkungan di sekitarnya.
Persepsi antara individu dengan lingkungan muncul sebagai akibat dari
keadaan yang menekan. Damayanti (2013), menyatakan bahwa stres adalah suatu
keadaan yang menekan baik secara fisik maupun psikologis. Hal tersebut
dikarenakan adanya tuntutan terhadap sistem yang menunjukkan ketegangan,
28
kecemasan, kebutuhan energi yang memerlukan usaha fisiologis dan psikologis
secara ekstra (Sunberg, Winebarger. & Taplin 2007). Sehingga apabila tidak
melakukan manajemen stres yang baik akan menekan terus menerus.
Stres tidak hanya sebagai stimulus dan respon, namun merupakan sebuah
proses. Stres adalah sebuah proses yang menjadikan individu sebagai agen yang
aktif untuk dapat dipengaruhi oleh dampak keadaan atau situasi yang memicu
stres (stressor) itu sendiri, seperti perubahan kognitif, perilaku, fisiologis dan
emosional/afektif (Sarafino & Smith, 2014). Proses itu akan berlangsung secara
terus menerus dan akan membentuk dalam suatu penyesuaian antara individu
dengan lingkungannya dengan dipengaruhi oleh hal lain.
Adapun stres akademik merupakan suatu kondisi yang menekan akibat
dari academic stressor. Menurut Heiman dan Kariv (2005), menyatakan bahwa
stres akademik adalah stres yang disebabkan academic stressor dalam proses
belajar dan berhubungan dengan kegiatan belajar. Munculnya academic stressor
tersebut berasal dari persepsi individu terhadap banyaknya pengetahuan yang
harus dikuasai dan ketidakcukupan waktu untuk melakukan hal tersebut (Carveth,
dalam Misra & McKean, 2000). Sehingga menimbulkan stres pada mahasiswa
akibat perasaan tidak mampu dalam memenuhi tuntutan akademik.
Stres akademik terjadi sebagai akibat dari gagalnya efektifitas koping
penyesuaian diri terhadap tuntutan akademik. Feldt dan Updegraff (2013), dalam
penelitiannya menyatakan bahwa stres akdemik ialah stres yang terjadi pada
mahasiswa akibat gagalnya mengembangkan efektifitas koping untuk memenuhi
tuntutan akademik maupun sosial. Gagalnya efektifitas koping tersebut dapat
29
dikarenakan kurangnya menyesuaikan diri terhadap tuntutan akademiknya
(Cristyanti, Mustami’ah & Sulistiani, 2010).
Selanjutnya menurut Liaou (2011), stres akademik dapat muncul karena
adanya tuntutan akademiknya, kesulitan untuk mengimbangi tuntutan
akademiknya dan gagalnya untuk berprestasi yang tidak sesuai harapan. Hal
tersebut merupakan tantangan dari sistem kuliah, konflik ketika belajar, dan
berteman sehingga mengakibatkan reaksi mental dan perilaku terhadap segala
jenis tuntutan baik dalam diri individu maupun tugas formal yang berhubungan
dengan tugas kuliah.
Berdasarkan dari definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa
ahli peneliti menyimpulkan bahwa stres akademik merupakan stres yang
disebabkan adanya tekanan akademik dalam proses belajar ataupun kegiatan
belajar. Sementara adanya tekanan itu akibat perasaan yang tidak mampu dalam
memenuhi tuntutan akademik, serta kurangnya menyesuaikan diri dan
mengimbangi terhadap tuntutan akademik.
2. Aspek-Aspek Stres Akademik
Aspek-aspek stres akademik menurut Robotham (2008) ada empat, yaitu:
kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku.
a. Dilihat dari fungsi kognitif, kondisi stres disebabkan oleh adanya kesulitan
memusatkan perhatian dalam proses belajar dan memiliki pikiran negatif
terhadap diri sendiri dari lingkungan sekitarnya. Contohnya, kebingungan,
tidak mampu berkonsentrasi, dan performansi pengumpulan tugas-tugas yang
30
buruk, daya ingat mudah menurun (mudah lupa), dan muncul pemikiran yang
tidak biasa.
b. Dilihat dari fungsi emosional/afektif, meliputi perasaan yang negatif dan
percaya diri yang rendah akibat stres. Seperti kecemasan, ketakutan, mudah
marah, sedih yang mendalam, tertekan, merasa ragu-ragu, dan merasa malu,
kemampuan atau potensi yang dimiliki rendah, sehingga merasa tidak mampu
untuk memenuhi tuntutan akademik.
c. Dilihat dari fungsi fisiologis, respon fisiologis akibat stres yang biasanya
terjadi adalah merasa sakit pada tubuh dan kebugaran fisik menurun. Seperti
sakit kepala, gangguan pencernaan, nafsu makan menghilang, tidur tidak
nyenyak dan bermimpi buruk, dan peningkatan produksi keringat. Secara
fisik kondisi stres muncul dengan muka memerah, pucat, badan terasa lemah
dan merasa tidak sehat, jantung berdebar-debar, gemetar, sakit perut, pusing,
badan kaku dan berkeringat dingin.
d. Dilihat dari fungsi perilaku, meliputi berperilaku negatif dan mulai
menghindari orang-orang di sekitarnya (anti sosial). Seperti mudah
menyalahkan orang lain, mencari kesalahan orang lain, bersikap acuh,
pelanggaran norma, jarang berkumpul dengan teman dan melakukan
penundaan tugas atau pekerjaan, melakukan penundaan tugas dan kewajiban,
dan mulai terlibat dalam kegiatan mencari kesenangan secara berlebihan dan
berisiko.
Adapun aspek-aspek stres akademik menurut Hardjana (1994) dibagi
menjadi empat aspek yaitu :
31
a. Dilihat dari segi aspek fisik, aspek fisik antara lain adalah individu
mengalami sakit kepala, pusing, pening, tidur tidak teratur, insomnia (sulit
tidur) ketika akan menghadapi ujian, tidur larut, bangun tidur terlalu awal,
sakit pinggang, rentan bagian bawah, diare saat akan menghadapi ujian,
radang usus besar, sembelit, gatal-gatal pada kulit, otot tegang-tegang
terutama pada leher dan bahu, terganggu pencernaan, bisulan, tekanan darah
tinggi, serangan jantung, berkeringat saat akan melakukan presentasi didepan
kelas, selera makan berubah, kelelahan, banyak melakukan kekeliruan atau
kesalahan dalam pekerjaan atau kesehari-hariannya.
b. Dilihat dari segi aspek emosional, individu dengan aspek ini akan sering
menunjukkan perilaku yang sering gelisah atau cemas mengenai masa depan,
sedih karena takut gagal mempertahankan prestasi yang telah dicapai, depresi,
mudah menangis ketika mendapat hasil belajar yang rendah, merana jiwa dan
hati, mood sering berubah-ubah, mudah tersinggung dan marah ketika ada
yang menegur kesalahan yang dilakukan, gugup, rasa harga diri menurun atau
merasa tidak aman jika harus bersang dengan teman yang lebih pintar, terlaku
peka atau sensitif, mudah menyerang orang lain atau agresif, menunjukkan
sikap permusuhan terhadap orang yang lebih pintar, emosi mongering, atau
kehabisan sumber daya mental.
c. Dilihat dari segi aspek intelektual, aspek intelektual antara lain adalah sulit
berkonsentrasi atau memusatkan perhatian saat mengikuti kegiatan
perkuliahan, sulit membuat keputusan, mudah lupa, pikiran menjadi kacau
saat mempunyai masalah, daya ingat menurun, melamun secara berlebihan
32
saat menjelang ujian akhir, pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja, kehilangan
sense of humor yang sehat, produktifitas atau prestasi menurun, mutu kerja
rendah.
d. Dilihat dari segi aspek interpersonal, aspek interpersonal antara lain adalah
kehilangan kepercayaan kepada orang lain sehingga tidak mau terlibat dengan
kelompok atau diskusi kelompok, mudah menyalahkan orang lain jika tidak
bisa mengerjakan tugas tepat waktu, mudah membatalkan janji atau tidak
memenuhi janji, suka mencari-cari kesalahan orang lain, menyerang orang
lain dengan kata-kata (agresi verbal), bersikap terlalu membentengi diri atau
mempertahankan diri dan mendiamkan orang lain saat mempunyai masalah
ataupun tidak mau bergaul ketika menjelang ujian akhir.
Berdasarkan uraian aspek stres akademik di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa aspek stres akademik terdiri atas: fisik, emotional, intelektual,
interpersonal, kognitif, afektif, fisiologis, perilaku. Dari kedua teori tersebut
peneliti memilih untuk menggunakan aspek stres akademik dari Robotham (2008)
yaitu kognitif, afektif (emotional) fisiologis dan perilaku untuk mengungkap stres
akademik pada mahasiswa pondok pesantren, karena aspek stres akademik yang
dikemukakan tersebut menurut peneliti isinya lengkap dan dapat digunakan untuk
melihat masalah dan dapat mengungkap variabel kualitas tidur pada mahasiswa
pondok pesantren.
33
C. Hubungan Stres Akademik dengan Kualitas Tidur Pada
Mahasiswa Pondok Pesantren.
Kehidupan di Pondok Pesantren sangat berbeda dengan kehidupan di luar
pondok pesantren. Mahasiswa diwajibkan untuk tinggal di dalam asrama pondok
pesantren dengan kegiatan yang padat setiap harinya seperti mengaji Al-qur’an,
mengaji kitab kuning dan kajian keagamaan lainnya (Geertz, 1964). Selain
terdapat kegiatan di dalam pondok pesantren mahasiswa juga memiliki kegiatan
setiap harinya di lingkungan kampus seperti mengikuti perkuliahan, adanya
tuntutan dan tugas yang harus segera diselesaikan serta mengikuti keorganisasian.
Bagi yang berminat. Hal tersebut sudah menjadi konsekuensi mahasiswa yang
mau tinggal dalam naungan pesantren, mau tidak mau mahasiswa yang
memutuskan tinggal dalam pesantren mengikuti semua kegiatan, tugas serta
peraturan yang ada di pesantren, seiring padatnya jam kegiatan yang ada di
pesantren maupun di luar pesantren santri memiliki jam tidur 4-5 jam dalam
sehari, sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan mahasiswa pondok pesantren
mengalami stres akademik yang nantinya berdampak pada kualitas tidurnya
(buletin santri, 2015).
Stres akademik menurut Heiman & Kariv (2005) adalah stres yang
disebabkan academic stressor dalam proses belajar dan berhubungan dengan
kegiatan belajar. Lebih lanjut munculnya academic stressor tersebut berasal dari
persepsi individu terhadap banyaknya pengetahuan yang harus dikuasai dan
ketidakcukupan waktu untuk melakukan hal tersebut (Carveth, dalam Misra &
McKean, 2000). Adapun aspek stres akademik menurut Robotham (2008), yaitu
34
kognitif, emosional, fisiologis dan perilaku. Aspek stres akademik ini akan
dibahas satu persatu dalam kaitannya dengan kualitas tidur pada mahasiswa
pondok pesantren. Jika mahasiswa pondok pesantren mempersepsikan stres
akademik positif maka kualitas tidur pada mahasiswa pondok pesantren akan
meningkat, sebaliknya jika mahasiswa mempersepsikan negatif maka kualitas
tidur akan menurun. Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwartika,
(2014) bahwa semakin tinggi stres akademik pada mahasiswa pondok pesantren,
maka kualitas tidurnya semakin rendah, begitupun sebaliknya semakin rendah
stres akademik pada mahasiswa pondok pesantren maka semakin tinggi kualitas
tidurnya.
Menurut Robotham (2008), stres akademik dari segi afektif atau emosional
yaitu kondisi stres disebabkan oleh adanya kesulitan memusatkan perhatian dalam
proses belajar dan memiliki pikiran negatif terhadap diri sendiri dari lingkungan
sekitarnya, seperti, kecemasan dapat mempengaruhi kualitas tidur berupa merasa
segar ketika terbangun. Menurut Alimul (2015) kecemasan akan menyebabkan
gangguan pada frekuensi tidur sehingga dapat mengakibatkan tidak merasa segar
saat terbangun. Hal ini dikarenakan pada saat kondisi cemas akan meningkatkan
norepinefrin darah melalui system saraf simpatis, zat ini akan mengurangi tahap
IV NREM dan REM. Hal ini juga sependapat dengan teori Potter dan Perry
(2006), yang menyatakan bahwa kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi
dapat mengganggu tidur. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kaplan dan
Sadock (1997), menjelaskan bahwa orang yang mampu menjaga kesehatan fisik
dan kesehatan mental seperti kecemasan maka akan memiliki kualitas tidur yang
35
baik, karena kualitas tidur yang baik dan teratur menyebabkan aktifitas tubuh dan
aktifitas keseharian akan berjalan normal. Sebaliknya, orang yang mengalami
gangguan tidur seperti insomnia akan berpengaruh buruk terhadap aktifitas
kesehariannya.
Menurut Robotham (2008), stres akademik dari segi fisiologis yaitu respon
fisiologis akibat stres yang biasanya terjadi yang meliputi merasa sakit pada tubuh
dan kesegaran tubuh menurun dapat mempengaruhi kualitas tidur seperti tidur
tidak nyenyak dan mengalami mimpi buruk. Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan oleh Suwartika (2014) terhadap 10 mahasiswa, didapatkan 8 mahasiswa
mengalami sering sakit kepala, mengeluh stres akibat jadwal perkuliahan yang
dianggap terlalu padat, praktek lapangan yang disertai penugasan yang banyak
serta deadline tugas yang dirasakan sangat singkat, sehingga dapat menyebabkan
sering bermimpi buruk dan yang paling banyak dirasakan adalah tidak nyenyak
selama tidur, bahkan sulit untuk tertidur. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan
oleh Sulistyani (2012), mengatakan bahwa apabila seseorang dapat mengatur
waktu dengan baik sehingga semua beban tugas tidak terbengkalai dan dapat
dikerjakan dengan baik maka akan mendapatkan kualitas tidur yang baik. Karena
yang dimaksud dengan kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk dapat
tetap tidur, tidak hanya mencapai jumlah atau lamanya tidur. Kualitas tidur
menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah
istirahat yang sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Robotham (2008), stres akademik dari segi kognitif yaitu kondisi
stres disebabkan oleh adanya kesulitan memusatkan perhatian dalam proses
36
belajar dan memiliki pikiran negatif terhadap diri sendiri dari lingkungan
sekitarnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Salmah (2014), menunjukkan
bahwa seseorang yang memiliki pikiran negatif sebelum tidur dapat
mempengaruhi kualitas tidur yang buruk seperti waktu tidur terlambat dan tidur
lebih pendek. Lebih lanjut, sebuah studi terhadap 100 mahasiswa Universitas
Binghamton menemukan bahwa seseorang yang memiliki pikiran negatif sebelum
tidur seperti pikiran yang tidak diinginkan, merugikan dan menyedihkan yang
berulang-ulang seperti merasa bahwa hidup ini sia-sia, maka akan menyebabkan
tidur lebih pendek dan terlambat tidur. Sebaliknya, menurut penelitian yang
dilakukan oleh Yulianto (2015), menunjukkan bahwa seseorang yang dapat
mengendalikan pikiran negatif pasti akan mendapatkan waktu tidur yang cukup.
Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Perkasa (2016), menunjukkan
bahwa berpikir positif tak hanya memiliki dampak baik untuk mood dan keadaan
psikologis seseorang, tetapi juga dapat meningkatkan kesehatan seseorang seperti
meningkatkan kualitas tidur. Karena Setiap orang perlu istirahat dan
menenangkan diri sesekali. Istirahat bisa saja berarti memelankan langkah ketika
berjalan, merenung sejenak tentang apa yang sudah dilakukan, serta menyegarkan
pikiran dari rasa khawatir dan cemas.
Menurut Robotham (2008), stres akademik dari segi perilaku yaitu mulai
menghindari orang-orang di sekitarnya (anti sosial) dan berperilaku negatif seperti
perilaku mengkonsumsi kafein. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Purdiani
(2014) menunjukkan bahwa perilaku mengkonsumsi kafein telah terbukti
berdampak negatif pada kualitas tidur dan mengakibatkan rasa kantuk di siang
37
hari. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh Sianturi (2001) menunjukkan
bahwa perilaku mengkonsumsi kafein bermanfaat untuk memulihkan tingkat
kewaspadaan atau tingkat terjaga seseorang dalam mengimbangi kemampuan
kognitif yang berkurang sebagai akibat dari kurang tidur. Sehingga dari beberapa
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa stres akademik dapat
mempengaruhi kualitas tidur pada mahasiswa pondok pesantren.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukam dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif
antara stres akademik dengan kualitas tidur pada mahasiswa pondok pesantren. ini
berarti, semakin rendah stres akademik pada mahasiswa pondok pesantren maka
semakin tinggi kualitas tidur mahasiswa, sebaliknya semakin tinggi stres
akademik pada mahasiswa pondok pesantren maka semakin rendah kualitas tidur
mahasiswa.