BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hazard Analysis Critical ...eprints.uny.ac.id/52689/3/BAB II.pdf ·...

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem jaminan keamanan pangan yang mendasarkan kepada suatu kesadaran bahwa bahaya (hazard) berpeluang timbul pada berbagai titik atau tahap produksi, dan harus dikendalikan untuk mencegah terjadinya bahaya-bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan dan tidak mengandalkan kepada pengujian produk akhir. Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang tanpa resiko atau zero-risk akan tetapi, HACCP dirancang untuk meminimumkan risiko bahaya keamanan pangan dalam suatu proses produksi pangan. Sistem HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan sejak mulai dari produsen bahan baku utama pangan (pertanian, peternakan), penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran hingga sampai kepada pengguna konsumen (Sutrisna, 2009 a : 3). Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Good Manufacturing Practices (GMP), Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Food Safety (keamanan pangan) diartikan sebagai kondisi pangan aman untuk dikonsumsi. Food Safety secara garis besar digolongkan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hazard Analysis Critical ...eprints.uny.ac.id/52689/3/BAB II.pdf ·...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem

jaminan keamanan pangan yang mendasarkan kepada suatu kesadaran bahwa

bahaya (hazard) berpeluang timbul pada berbagai titik atau tahap produksi, dan

harus dikendalikan untuk mencegah terjadinya bahaya-bahaya tersebut. Kunci

utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang

mengutamakan kepada tindakan pencegahan dan tidak mengandalkan kepada

pengujian produk akhir. Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan

keamanan pangan yang tanpa resiko atau zero-risk akan tetapi, HACCP dirancang

untuk meminimumkan risiko bahaya keamanan pangan dalam suatu proses

produksi pangan. Sistem HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan

sejak mulai dari produsen bahan baku utama pangan (pertanian, peternakan),

penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran hingga sampai kepada pengguna

konsumen (Sutrisna, 2009a: 3).

Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan

untuk memproteksi pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi

bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik. Hazard Analysis and Critical

Control Point (HACCP), Good Manufacturing Practices (GMP), Standar Nasional

Indonesia (SNI) dan Food Safety (keamanan pangan) diartikan sebagai kondisi

pangan aman untuk dikonsumsi. Food Safety secara garis besar digolongkan

menjadi 2 yaitu aman secara rohani dan aman secara jasmani. Aman secara rohani

berhubungan dengan kehalalan, dan aman secara jasmani meliputi pangan itu bebas

dari bahaya biologi atau mikroorganisme yang membahayakan, baik cemaran fisik

dan bebas cemaran kimia.

Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi

atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Pangan yang layak adalah

pangan yang keadaannya normal tidak menimpang seperti busuk, kotor, menjijikan,

dan penyimpangan lainnya sedangkan pangan yang bermutu artinya pangan

mempunyai keunggulan nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan,

kandungan gizi dan standar perdagangan (BPOM, 2005: 1).

Bahaya biologis atau mikrobiologis terdiri dari parasit, virus dan bakteri

patogen yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam bahan pangan, sehingga

dapat menyebabkan infeksi dan keracunan pada konsumen. Bahaya kimia pada

umumnya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat menimbulkan terjadinya

intoksikasi. Bahan kimia penyebab keracunan diantaranya logam berat Cu

(tembaga), Zn (seng), As (arsen), Pb (timbal), Hg (merkuri), dan Sn (timah).

Bahaya fisik terdiri dari potongan kayu, batu, logam, rambut, dan kuku yang

kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan yang telah aus, atau

juga dari para pekerja pengolah makanan (Daulay, 2011: 10).

Surat keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/MENKES/SKJI/1978

tentang Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) mempersyaratkan

agar dilakukan pembersihan dan sanitasi dengan frekuensi yang memadai. Ada 14

point Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) yang harus diperhatikan yaitu

lingkungan produksi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, suplai air,

kegiatan higiene dan sanitasi, pengendalian hama, kesehatan dan higiene karyawan,

pengendalian proses, label pangan, penyimpanan, penanggung jawab, penarikan

produk, pencatatan/dokumentasi, dan pelatihan karyawan (BPOM, 2005: 2).

Tujuan umum HACCP yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan

cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui makanan

(Food Born Disease). Faktor-faktor utama penyebab Food Born Disease menurut

Sutrisna (2009a: 5) yaitu :

1. Pendinginan makanan yang tidak tepat

2. Membiarkan makanan selama > 12 jam (penyajian)

3. Kontaminasi makanan mentah ke dalam makanan “non-reheating”

4. Penanganan makanan oleh pekerja yang menderita infeksi

5. Proses pemasakan dan pemanasan tidak cukup

6. Penyimpanan makanan dalam keadaan hangat < 65oC

7. Pemanasan kembali makanan dimana suhu pemanasan tidak tepat

8. Makanan berasal dari sumber yang tidak aman

9. Terjadi kontaminasi silang

Penerapan HACCP di industri pangan bersifat spesifik untuk setiap jenis

produk, setiap proses, dan setiap pabrik. Penerapan HACCP dapat sukses bila

perusahaan memenuhi prasyarat dasar industri pangan yaitu, telah diterapkannya

Good Manufacturing Practices (GMP) dan Standard Sanitation Operational

Procedure (SSOP). Codex Alimentarius Commision telah menyusun pedoman

implementasi HACCP dengan langkah-langkah penerapan secara sistematis dalam

12 langkah, terdiri dari lima langkah awal persiapan dan diikuti dengan tujuh

langkah berikutnya yang merupakan tujuh prinsip HACCP. Kedua belas langkah

tersebut digambarkan sebagai suatu alur tahap penerapan HACCP sebagai berikut:

Tahap 1. Pembentukan Tim HACCP

Langkah pertama dalam penyusunan HACCP adalah membentuk tim yang

terdiri dari beberapa anggota dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman

kerja yang beragam (multi disiplin). Jumlah Tim HACCP terdiri dari 5-6 orang dari

berbagai bagian atau latar belakang keilmuan misalnya ahli mikrobiologi, sanitasi,

ahli kimia, ahli rekayasa, bagian pembelian, dan seterusnya. Orang-orang yang

dilibatkan dalam Tim yang ideal adalah meliputi : (1) Staff Quality Assurance atau

Staff Quality Control; (2) Personil Bagian Produksi (mengerti bahan baku dan

proses produksi); dan (3) Personil dari bagian Teknis/Engineering; dan (4) Ahli

Mikrobiologi (Anonim, 2006b : 9).

Tahap 2. Mendeskripsikan Produk

Langkah kedua dalam penyusunan rencana HACCP adalah

mendeskripsikan produk. Informasi yang harus ada pada saat mendeskripsikan

produk meliputi komposisi, karakteristik produk jadi, metode pengolahan yang

diterapkan kepada produk tersebut (pH, aw, kadar air), metode pengawetan yang

diterapkan kepada produk tersebut, pengemas primer, pengemas untuk transportasi,

kondisi penyimpanan, metode distribusi, umur simpan yang direkomendasikan,

pelabelan khusus, petunjuk penggunaan, pengawasan khusus dalam distribus dan

dimana produk akan dijual (Sutrisna, 2009a: 5)

Tahap 3. Identifikasi Tujuan Penggunaan Produk

Tujuan penggunaan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi apakah

produk tersebut dapat didistribusikan kepada semua usia atau hanya khusus. Cara

menangani dan mengkonsumsi produk juga penting untuk selalu memberi

perhatian, misalnya produk-produk siap santap memerlukan perhatian khusus untuk

mencegah terjadinya kontaminasi (Rusdin, 2013: 29).

Tahap 4. Diagram Alir Produk

Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan

proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk membantu tim

HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi

orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya. Diagram

alir harus meliputi seluruh tahap-tahap dalam proses secara jelas mengenai:

1. Rincian seluruh kegiatan proses termasuk inspeksi, transportasi,

penyimpanan dan penundaan dalam proses.

2. Bahan-bahan yang dimasukkan kedalam proses seperti bahan baku, bahan

pengemas, air, udara dan bahan kimia

3. Keluaran dari proses seperti limbah: pengemasan, bahan baku, product-

inprogress, produk reproses (rework), dan produk yang dibuang (ditolak)

(anonim, 2006b : 34).

Tahap 5. Verifikasi Diagram Alir di Tempat

Diagram alir proses dibuat lebih lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan di

lapangan dengan meninjau operasinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan

serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses

tersebut tidak tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi.

Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.

Diagram alir proses yang harus diverifikasi ditempat, dapat dilakukan dengan cara

mengamati aliran proses, kegiatan pengambilan sampel, wawancara, dan

mengamati operasi rutin/non-rutin (Thaheer, 2005: 45).

Tahap 6. Analisis Bahaya

Analisis bahaya meliputi kegiatan ; 1) Mengidentifikasi bahaya, 2)

Menentukan kepentingan (signifikansi) bahaya, 3) Mengidentifikasi tindakan

pencegahan. Identifikasi Bahaya dengan merujuk pada diagram alir proses, tim

HACCP mendaftarkan semua bahaya yang nyata atau potensial yang mungkin

diperkirakan layak terjadi pada setiap tahap proses. Bahaya tersebut meliputi

bahaya Biologi atau mikrobiologis, bahaya kimia dan bahaya fisik. Bahaya yang

terjadi secara sederhana dapat dinilai sebagai tinggi, sedang, atau rendah. Diagram

pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang menanyakan setiap bahaya.

Jawaban dari setiap pertanyaan akan memfasilitasi dan membawa Tim HACCP

secara logis memutuskan apakah CCP atau bukan (Anonim, 2006b : 21).

Tahap 7. Menentukan titik kendali kritis

Titik-titik kritis didefinisikan sebagai setiap tahap di dalam proses dimana

apabila tidak terawasi dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak

amannya pangan, kerusakan dan resiko kerugian ekonomi. Titik kendali kritis ini

dideterminasikan setelah tata alir proses yang sudah teridentifikasi potensi hazard

pada setiap tahap produksi dan tindakan pencegahannya. membantu menemukan

dimana seharusnya titik kritis, Codex Alimentarius Commission 1998 telah

memberikan pedoman berupa Diagram Pohon Keputusan (Decision Tree)

(Thaheer, 2005: 65).

Tahap 8. Penetapan batas kritis

Batas kritis ini tidak boleh terlampaui, karena batas-batas kritis ini sudah

merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol. Batas kritis

menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman sehingga proses

produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman. Contoh batas kritis fisik adalah

tidak adanya logam, ukuran retensi ayakan, suhu, waktu, serta unsur-unsur uji

organoleptik. Batas kritis kimia contohnya adalah kadar maksimum yang diterima

untuk mikotoksin, pH, aw, alergen, dan sebagainya (Rusdin, 2013: 47).

Tahap 9. Menetapkan Prosedur Monitoring

Monitoring dalam konsep HACCP adalah tindakan dari pengujian atau

observasi yang dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan keadaan CCP (Critical

Control Points). Kegiatan ini untuk menjamin bahwa critical limit tidak terlampaui.

Pemantauan dapat berupa pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu check

list atau pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu datasheet.

Monitoring dapat dilakukan dengan pengukuran pada sampel. Ada lima cara

monitoring CCP yaitu observasi visual, evaluasi sensori, pengujian fisik, pengujian

kimia dan pengujian mikrobiologi (Anonim, 2006b : 35).

Tahap 10. Penetapan tindakan koreksi

Tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus diambil jika hasil

monitoring pada suatu titik pengontrolan kritis (CCP) menunjukkan adanya

kehilangan kontrol (loss of control). Pada saat batas kritis dilampaui, dan tindakan

koreksi tersebut digunakan, maka kegiatan tersebut harus direkam. Rekaman atau

laporan tindakan koreksi harus berisi hal-hal berikut :

1. Identifikasi produk (misalnya deskripsi produk, jumlah produk yang ditahan

dan lain-lain).

2. Deskripsi penyimpangan

3. Tindakan koreksi yang diambil, termasuk penanganan akhir produk yang

terkena dampak penyimpangan.

4. Nama individu yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan koreksi.

5. Evaluasi hasil pelaksanaan tindakan koreksi (Thaheer, 2005: 103).

Tahap 11. Menentukan prosedur verifikasi

Verifikasi adalah pemeriksaan sistem HACCP secara menyeluruh untuk

menjamin bahwa sistem seperti yang telah tertulis bahwa makanan yang diproduksi

aman untuk dikonsumsi dan mutunya bagus, benar-benar diikuti. Informasi yang

didapat melalui verifikasi harus dipakai untuk meningkatkan sistem HACCP. Pada

dasarnya verifikasi adalah aplikasi suatu metoda, prosedur, pengujian dan evaluasi

lain, yang dilakukan untuk mengetahui kesesuaiannya dengan rencana HACCP

(Rusdin, 2013:51).

Tahap 12. Dokumentasi dan rekaman yang baik

Dokumen atau Rekaman Data adalah bukti tertulis bahwa suatu tindakan

telah dilakukan. Dokumen disusun dengan menggunakan formulir/boring.

Dokumen tersebut dapat digunakan (1) untuk keperluan inspeksi dan (2) untuk

mempelajari kerusakan yang mengakibatkan penyimpangan dan menemukan

tindakan koreksi yang sesuai (Anonim, 2006b : 47).

B. Bakso Daging Sapi

Menurut SNI 3818-2014 bakso daging adalah produk makanan berbentuk

bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak

kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan

tambahan makanan yang diizinkan. Daging yang dapat digunakan untuk membuat

daging diantaranya daging sapi, daging babi, daging kelinci, daging ayam, daging

ikan, udang dan cumi (BSN, 2014 : 8)

Daging telah diketahui sebagai bahan mudah rusak, hal ini disebabkan

karena komposisi gizinya yang baik untuk manusia maupun mikroorganisme, dan

juga karena pencemaran permukaan pada daging oleh mikroorganisme perusak.

Sampai saat ini suhu rendah selalu digunakan untuk memperlambat kecepatan

berkembanngnya pencemaran permukaan dari tingkat awal sampai ke tingkat akhir

dimana terjadi kerusakan. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan

mikroorganisme semacam itu merupakan ukuran ketahanan penyimpanan

(Sutrisna, 2009b :14).

Daging yang digunakan dalam pembuatan bakso harus daging segar, yaitu

dari ternak yang baru dipotong. Sebaiknya jangan menggunakan daging yang

telah dilayukan, yaitu daging yang telah mengalami proses aging atau penuaan.

Bila menggunakan daging yang telah layu, tekstur bakso yang dihasilkan kurang

kenyal (Wibowo, 1999: 33).

Tabel 2. Komposisi Kimia Daging Sapi (dalam 100 g bahan)

Komposisi Jumlah

Kalori (kal) 207,00

Protein (g) 18,80

Lemak (g) 14,00

Hidrat arang (g) 0,00

Kalsium (mg) 11,00

Fosfor (mg) 170,00

Besi (mg) 2,80

Vitamin A (SI) 30,00

Vitamin B1 (mg) 0,00

Vitamin C (mg) 0,08

Air (g) 66,00

Sumber : (Departemen Kesehatan RI, 2000)

Daging juga mengandung mineral seperti kalsium, magnesium, kalium,

natrium, fosfor, khlor, besi, belerang, tembaga, dan mangan. Vitamin yang

terdapat pada daging terutama golongan vitamin B (B1, B12, B6, dan B2), vitamin

C, A, E, D, dan K. Selain itu daging mengandung pigmen pemberi warna merah

(mioglobin). Perubahan warna daging dari karkas menjadi merah cerah karena

pembentukan oksimioglobin dan ketika berubah menjadi coklat karena mioglobin

menjadi metmioglobin. Timbulnya warna cokelat menandakan bahwa daging telah

terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak (Sudarwati, 2007 : 28).

Perubahan-perubahan yang terjadi pada daging yang mengalami kebusukan

adalah perubahan bau yang disebabkan oleh produksi produk akhir volatil,

perubahan warna disebabkan oleh produksi pigmen bakteri atau karena oksidasi

alami komponen daging seperti oksidasi mioglobin, perubahan tekstur menjadi

lunak karena protenaise, akumulasi gas yang disebabkan oleh produksi CO2, H2,

H2S, keluar lendir yang disebabkan oleh produksi dekstran, eksopolisakarida atau

karena banyaknya sel mikroba yang tumbuh (Sri, 2012: 13).

Bahan yang diperlukan dalam membuat bakso terdiri atas bahan utama

(daging), bahan pendukung (bahan pengisi, air es/es), serta bumbu atau penyedap

(garam, merica). Fungsi, sifat, dan konsentrasi bahan dijelaskan sebagai berikut :

1. Daging

Berdasarkan kandungan protein dan lemaknya, daging sapi

digolongkan sebagai daging merah (dark or red meat), dimana kandungan

lemaknya tinggi dengan kandungan proteinnya relatif rendah. Mioglobin

merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna

daging segar. Hampir semua daging dapat digunakan untuk membuat bakso

namun jenis daging yang sering digunakan antara lain daging penutup,

pendasar gandik, lamusir, paha depan dan iga. Umumnya daging yang

digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang segar, yaitu yang

diperoleh segera setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses

penyimpanan atau pelayuan. Protein daging berperan dalam pengikatan

hancuran daging selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga produk

menjadi empuk, kompak dan kenyal (Anonim, 2006a : 76).

2. Bahan pengisi

Bahan pengisi berfungsi memperbaiki atau menstabilkan emulsi,

meningkatkan daya mengikat air, memperkecil penyusutan, menambah

berat produk, dan dapat menekan biaya produksi. Bahan pengisi yang umum

digunakan adalah tepung pati, misalnya tepung tapioka dan tepung pati aren.

Tepung tersebut mengandung karbohidrat 86,55%, air 13,12%, protein

0,13%, lemak 0,04%, dan abu 0,16%. Kandungan pati yang tinggi pada

tepung membuat bahan pengisi mampu mengikat air tetapi tidak dapat

mengemulsi lemak. Penggunaan tepung tapioka untuk menghasilkan bakso

yang berkualitas baik disarankan maksimal 50% apabila semakin banyak

tapioka yang ditambahkan, kekenyalan bakso makin menurun dan

kandungan proteinnya makin rendah karena daging makin sedikit dan

kandungan karbohidrat makin tinggi (Anonim, 2006a : 78).

3. Air es

Penambahan es/air es dapat mempengaruhi tekstur bakso.

Penambahan es/air es bertujuan: 1) melarutkan garam dan

mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging; 2)

memudahkan ekstraksi protein serabut otot; 3) membantu pembentukan

emulsi; dan 4) mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat

pemanasan selama proses pembuatan bakso tinggi (Litbang, 2009 : 14).

4. Bumbu

Bumbu berfungsi meningkatkan cita rasa dan mengawetkan bakso.

Bumbu yang ditambahkan bergantung pada cita rasa yang diinginkan.

Garam berfungsi mengekstraksi protein miofibril daging dan meningkatkan

daya simpan karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk.

Garam juga menentukan tekstur bakso karena dapat meningkatkan

kelarutan protein daging. Garam yang ditambahkan tidak kurang dari 2%

atau sesuai selera. Jika garam kurang, protein yang terlarut rendah. Rempah-

rempah bermanfaat untuk meningkatkan cita rasa bakso. Rempah-rempah

juga berfungsi sebagai antioksidan yang dapat mengurangi ketengikan dan

sebagai antimikroba yang dapat memperpanjang umur simpan bakso.

rempah-rempah yang ditambahkan antara lain adalah lada dan bawang

putih.

C. Pembuatan Bakso

Daging segar yang telah dipilih dihilangkan lemak dan uratnya kemudian

dipotong kecil untuk memudahkan proses penggilingan. Es dimasukkan pada waktu

penggilingan untuk menjaga elastisitas daging, sehingga bakso yang dihasilkan

akan lebih kenyal. Daging yang telah lumat dicampur dengan tapioka dan bumbu-

bumbu yang telah dihaluskan atau digiling kembali sehingga daging, tapioka, dan

bumbu dapat tercampur homogen membentuk adonan yang halus. Adonan yang

terbentuk dituang ke dalam wadah, siap untuk dicetak berbentuk bulatan bola kecil.

Cara mencetak dapat dilakukan dengan tangan, yaitu dengan cara mengepal-

ngepal adonan dan kemudian ditekan sehingga adonan yang telah memadat akan

keluar berupa bulatan dapat juga digunakan sendok kecil untuk mencetaknya.

Pemasakan bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, bakso

dipanaskan dalam panci berisi air hangat sekitar 60 oC sampai 80 oC, sampai bakso

mengeras dan mengambang di permukaan air. Pada tahap selanjutnya, bakso

dipindahkan ke dalam panci lainnya yang berisi air mendidih, kemudian direbus

sampai matang, biasanya sekitar 10 menit (Sutrisna, 2009b: 19).

Tekstur dan keempukan produk bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya.

Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es,

supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Air berfungsi untuk

melarutkan garam dan menyebarkan secara merata keseluruhan bagian masa

daging, memudahkan eksraksi protein dari daging dan membantu dalam

pembentukan emulsi. Jumlah penambahan air biasanya berkisar antara 20-50% dari

berat daging yang digunakan. Jumlah penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah

tepung yang ditambahkan. Tekstur adonan yang sama dihasilkan dengan semakin

banyak menambahan tepung maka semakin banyak air yang harus ditambahkan

(Anonim, 2006a: 76).

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Bakso

D. Syarat Mutu Bakso

Lima parameter utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau,

rasa dan tekstur, seperti yang tercantum pada Tabel 3.

Daging sapiPenghancuran

kasarPenggilingan

Pencampuran bumbu dan

tepung

Pencetakan bakso

Perebusan

Penirisan Penyimpanan

Tabel 3. Parameter Sensoris Bakso Daging

Parameter Keterangan

Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan

cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak

berjamur atau berlendir.

Warna Cokelat muda cerah atau sedikit kemerahan atau

cokelat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna

tersebut merata tanpa warna lainnya yang mengganggu.

Bau Bau khas daging segar rebus dominan tanpa bau tengik,

masam (basi) atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.

Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu

cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat

rasa asing yang mengganggu.

Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau

membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah

berair dan tidak rapuh.

(Sumber : Diana, 2011: 24).

Menurut Badan Standarisasi Nasional, bakso daging diklasifikasikan

menjadi 2 yaitu bakso daging dan bakso daging kombinasi. Bakso daging

merupakan bakso dengan kandungan daging minimal 45% sedangkan bakso daging

kombinasi merupakan bakso daging dengan kandungan daging minimal 20%.

Berikut ini syarat mutu bakso daging dan bakso daging kombinasi tersaji dalam

tabel 4 dan tabel 5.

Tabel 4. Syarat Mutu Bakso Daging

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Bakso daging Bakso daging kombinasi

1 Bau - Normal, khas daging Normal, khas daging

2 Rasa - Normal khas bakso Normal khas bakso

3 Warna - Normal Normal

4 Tekstur - Kenyal Kenyal

Sumber : (SNI, 3818.2014 : 2)

Tabel 5. Syarat Mutu Bakso Daging Dilihat Dari Cemaran Mikroba

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Bakso daging Bakso daging kombinasi

1 Angka Lempeng

Total

Koloni/g Maks 1x10-5 Maks. 1x10-5

2 Koliform APM/g Maks. 10 Maks. 10

3 Escherichia coli APM/g < 3 < 3

4 Salmonella sp - Negatif/25 g Negatif/25 g

5 Staphylococcus

aureus

Koloni/g Maks. 1x10-2 Maks. 1x10-2

6 Clostridium

perfringens

Koloni/g Maks. 1x10-2 Maks. 1x10-2

(Sumber : SNI 3818. 2014 : 3)

E. Analisis Total Mikroba

Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba yang ada

pada suatu sampel, umumnya dikenal dengan Angka Lempeng Total (ALT) dan

Angka Paling Mungkin atau Most Probable Number (MPN). Uji Angka Lempeng

Total (ALT) dan lebih tepatnya ALT aerob mesofil atau anaerob mesofil

menggunakan media padat dengan hasil akhir berupa koloni yang dapat diamati

secara visual dan dihitung, interpretasi hasil berupa angka dalam koloni (cfu) per

ml/g atau koloni/100 ml. Cara yang digunakan antara lain dengan cara tuang, cara

tetes dan cara sebar. Angka Paling Mungkin (APM) menggunakan media cair

dengan tiga replikasi dan hasil akhir berupa kekeruhan atau perubahan warna dan

atau pembentukan gas yang juga dapat diamati secara visual, dan interpretasi hasil

dengan merujuk kepada tabel MPN. Dikenal dua cara yaitu metode 3 tabung dan

metode 5 tabung (BPOM, 2008: 4).

Metode perhitungan jumlah bakteri yang umum digunakan adalah metode

hitungan cawan yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup

akan berkembang menjadi satu koloni sehingga jumlah koloni yang muncul pada

cawan merupakan satu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup yang

terkandung dalam sampel. Persyaratan statistik yang harus dipenuhi yaitu cawan

yang dipilih untuk perhitungan koloni ialah yang mengandung antara 25-250 atau

30-300 koloni. Jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam sampel asal ditentukan

dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor pengenceran pada

cawan yang bersangkutan. Metode hitung cawan merupakan metode paling sensitif

untuk menghitung jumlah mikroorganisme. Untuk menghitung jumlah bakteri yang

terdapat pada cawan, digunakan rumus sebagai berikut:

N = jumlah koloni per cawan x 1

faktor pengenceran

Total plate count (TPC) merupakan suatu metode pendugaan jumlah koloni

mikroorganisme secara keseluruhan dalam suatu bahan pangan maupun hasil

olahannya. Koloni yang tumbuh menunjukkan jumlah seluruh mikroorganisme

yang ada di dalam bahan pangan seperti bakteri, kapang dan khamir. Metode ini

dapat menggambarkan kualitas mikrobiologi pada bahan pangan, apabila nilai TPC

tinggi maka kualitas mikrobiologi pangan dianggap rendah karena tingginya nilai

TPC pada pangan mengindikasikan jumlah mikroorganisme yang banyak, sehingga

dapat membahayakan konsumen. Sejumlah sampel 0,1 ml atau 1 ml dari

pengenceran yang dikehendaki dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian

ditambahkan agar cair steril yang telah didinginkan sampai 47 oC -50 oC sebanyak

15-20 ml dan dicampur serata mungkin, supaya contoh menyebar rata. Setelah

inkubasi, perhitungan jumlah koloni yang tumbuh dapat dilakukan menggunakan

“Quebec Colony Counter”. Ketelitian akan lebih tinggi jika dilakukan penanaman

secara duplo yaitu menggunakan dua cawan petri untuk setiap pengenceran. Metode

ini termasuk paling peka, sampai sejumlah 20 sel/ml masih dapat dihitung (BPOM,

2008: 6).

Bahan pemadat yang paling banyak digunakan adalah agar, karena bila

agar-agar sudah menjadi padat masih dapat dicairkan kembali untuk digunakan.

Suspensi agar-agar 1,5-2 % dalam air juga dapat larut pada suhu 100 oC dan tidak

menjadi padat sebelum suhu turun di bawah 45oC kemudian media agar didinginkan

dengan cepat sehingga menjadi padat tanpa merusak sel-sel tersebut. Sekali menjadi

padat, agar tidak dapat mencair kembali, kecuali jika dipanaskan di atas 80 oC.

Metode lempeng tuangan, suatu suspensi sel dicampur dengan agar-agar cair pada

suhu 50 oC dituang pada cawan petri. Bila agar-agar telah mengeras, sel tidak akan

bergerak lagi dan tumbuh menjadi koloni sangat besar kemungkinannya berasal

dari satu sel yang sama (Srikandi, 1992: 118).

Most Probable Number (MPN) berbeda dengan metode hitungan cawan,

dimana digunakan medium padat, dalam metode MPN digunakan medium cair di

dalam tabung reaksi, perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif

yaitu yang ditumbuhi mikroba setelah inkubasi pada suhu dan waktu tertentu.

Pengamatan tabung positif dapat dilihat dengan mengamati timbulnya kekeruhan,

atau terbentuknya gas di dalam tabung kecil (tabung Durham) yang diletakkan pada

posisi terbalik, yaitu untuk mikroba pembentuk gas. Setiap pengenceran pada

umumnya digunakan tiga atau lima seri tabung. Lebih banyak tabung yang

digunakan menunjukkan ketelitian yang lebih tinggi, tetapi alat gelas yang

gidunakan juga lebih banyak. Metode MPN dari setiap pengenceran dimasukkan 1

ml masing-masing ke dalam tabung yang berisi mediium, dimana untuk setiap

pengenceran digunakan 3 seri tabung atau 5 seri tabung setelah diinkubasi, pada

suhu dan waktu tertentu dihitung jumlah tabung yang positif yaitu tabung yang

ditumbuhi mikroba yang dapat ditandai dengan timbulnya kekeruhan, misalnya

pada pengenceran pertama, ketiga tabung menghasilkan pertumbuhan positif, pada

pengenceran kedua dua tabung positif, pada pengenceran ketiga 1 tabung posisif,

dan pada pengenceran terakhir tidak ada tabung yang positif. Kombinasinya

menjadi 3, 2, 1, 0 dan jika diambil 3 pengenceran yang pertama kombinasunya akan

menjadi 3, 2, 1. Angka kombinasi ini kemudian dicocokan dengan tabel MPN dan

nilai MPN sampel dapat dihitung sebagai berikut :

MPN sampel = Nilai MPN dari tabel x 1

Pengenceran tabung tengah

(Srikandi, 1992: 126).

F. Mikroba Patogen

1. Escherichia coli

Escherchia coli merupakan flora normal yang terdapat pada saluran

pencernaan hewan dan manusia. Escherichia coli merupakan bakteri gram

negatif yang banyak menimbulkan gangguan kesehatan manusia.

Escherichia coli merupakan bagian flora normal saluran usus, namun

Escherichia coli merupakan penyebab penyakit diare mulai dari tingkat

sedang hingga gawat yang kadang-kadang timbul pada manusia dan hewan

melalui dua mekanisme yaitu pertama dengan produksi enterotoksin yang

secara tidak langsung menyebabkan kehilangan cairan, dan kedua dengan

invasi yang sebenarnya lapisan epitelium dinding usus, yang menyebabkan

peradangan dan kehilangan cairan (Volk, 1989: 34).

Escherichia coli dapat berasal dari berbagai faktor yaitu sumber air

yang digunakan oleh pedagang tercemar oleh kotoran feses manusia atau

hewan, terjadinya kontaminasi silang melalui tangan, permukaan alat-alat,

tempat-tempat masakan dan peralatan lainnya ke makanan yang telah

matang. Bakteri dibiakkan dalam bahan berisi nutrisi yang disebut media.

Media dapat berupa cairan seperti kaldu dan dapat pula berupa padatan

seperti agar dan gelatin. Media pengkaya adalah media yang dapat

menunjang pertumbuhan bakteri yang memiliki persyaratan nutrisi yang

rumit agar dapat tumbuh dengan optimal, contohnya adalah Tryptic Soy

Broth (TSB), MacConkey Broth (MCB), dan Lactose Broth (LB). Media

diferensial merupakan media yang dapat menumbuhkan beberapa jenis

bakteri dan menyebabkan koloni-koloni suatu bakteri tertentu mendapatkan

bentuk yang khas, contohnya adalah Eosin Methylene Blue Agar (EMBA)

yang dapat menumbuhkan bakteri kelompok Enterobacteriaceae, salah

satunya adalah E. coli yang akan tumbuh dengan membentuk koloni

berwarna hijau dengan kilap logam (Widodo, 2010: 98).

Prinsip kerja pengujian dengan metode ini menggunakan medium

EMBA merupakan media diferensial untuk Escherichia coli. Koloni

spesifik tumbuh dengan ciri-ciri bentuk bulat, diameter 2-3 mm, warna hijau

dengan kilap logam dan bintik biru kehijauan di tengahnya. Medium EMBA

merupakan media padat yang mengandung eosin dan methylen blue yang

dapat dipergunakan untuk menentukan jenis bakteri coli dengan

menggunakan hasil tes positif di dalam cawan petri. Escherichia coli akan

tampak dengan warna hijau metalik dengan titik hitam. Media ini

merupakan media selektif untuk bakteri Gram negatif dan mempunyai

keistimewaan mengandung laktosa dan berfungsi untuk memilah mikroba

yang memfermentasikan laktosa seperti Escherichia coli. Mikroba yang

memfermentasikan laktosa menghasilkan koloni dengan inti berwarna gelap

dengan titik hitam (metalik), adanya eosin dan methylene blue membantu

mempertajam perbedaan dengan koloni yang lain (Pelczar, 2014: 73).

2. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk

bulat (koksi), susunannya bergerombol, nonmotil, nonkapsular dan tidak

membentuk spora. Sel bakteri mati pada suhu 66 oC selama 12 menit dan

pada suhu 72 oC selama 15 detik. Bakteri S. aureus merupakan bakteri

fakultatif anaerobik, tetapi tumbuh cepat pada kondidi aerobik. Bakteri ini

merupakan bakteri mesofilik, tumbuh cepat pada suhu 20-37 oC, dapat

tumbuh pada aw rendah (0,86), pH rendah (4,8), dapat tumbuh pada

konsentrasi garam dan gula tinggi serta adanya NO2. Oleh karena itu

S.aureus dapat tumbuh pada berbagai jenis pangan. Bakteri ini dapat

ditemukan berada dalam hidung, tenggorokan, kulit, rambut, dan bulu

ternak termasuk unggas dan manusia. Toksin stafilokokal adalah toksin

enterik dan menyebabkan gastroentritis pada manusia dewasa yang

mengonsumsi sekitar 30/g atau /ml pangan yang mengandung 100-200 ng

toksin yang dihasilkan oleh 106-117 sel /g atau /ml. Gejala sakit dapat

terlihat dalam waktu 2-4 jam. Pangan yang mengandung kadar protein

tinggi apabila tidak ditangani dan disimpan pada suhu penyimpanan yang

tepat dapat menyebabkan gastroentritis stafilokokal (Tatang, 2014: 391).

Staphylococcus aureus tumbuh pada media cair dan padat seperti

Nutrien Agar (NA), MSA dan Blood Agar Plate (BAP) dan dengan aktif

melakukan metabolisme, mampu fermentasi karbohidrat dan menghasilkan

bermacam-macam pigmen dari putih hingga kuning. Salah satu metode

untuk mengetahui keberadaan bakteri Staphylococcus aureus secara

kuantitatif adalah dengan menggunakan metoda hitung cawan. Isolasi

bakteri dengan cara tuang ini umumnya dilakukan untuk menentukan

perkiraan jumlah bakteri hidup dalam suatu cairan, misalnya air, susu, kemis

atau biakan bulyon (Lutfi, 2014: 75).

Uji Staphylococcus dilakukan, karena bakteri ini adalah salah satu

yang dapat menghasilkan toksin berbahaya bagi manusia. Media yang

digunakan untuk isolasi bakteri ini pada sampel makanan-minuman dipilih

medium Mannitol Salt Agar (MSA) dimana media ini merupakan media

selektif dan differensial media bersifat yang bersifat khusus (bakteri

tertentu), untuk mendeteksi bakteri Staphylococcus patogen

(Staphylococcus aureus ) (Srikandi, 1992: 64).

Manitol Salt merupakan media selektif karena memiliki konsentrasi

NaCl sangat tinggi (7,5%). Kebanyakan bakteri tidak dapat bertahan hidup

di lingkungan kadar garam sangat tinggi (hipertonik). Genus

Staphylococcus mungkin sudah beradaptasi dengan lingkungan tinggi kadar

garam dan tumbuh baik di media ini. Produk yang dihasilkan bakteri adalah

asam organik, mengubah indikator pH di MSA dari merah ke kuning cerah.

Staphylococcus patogen, seperti Staphylococcus aureus, adalah fermentor

manitol, dan ketika tumbuh pada Manitol Salt Agar, dapat merubah warna

merah media MSA menjadi kuning cerah. Staphylococcus nonpathogenik

seperti Staphylococcus epidermidis flora normal yang tumbuh pada kulit

manusia, tidak fermentasi manitol, dan apabila Staphylococcus epidermidis

tumbuh di MSA maka warna alami dari agar-agar tidak berubah (tetap

oranye pink) karena S. epidermidis tidak makan manitol sehingga tidak

memproduksi asam organik (Pelczar, 2014: 56).

Media Baird Parker Agar (BPA) juga merupakan media diferensial

untuk isolasi S.aureus. Media BPA mengandung karbon dan nitrogen

sumber kebutuhan pertumbuhan S. aureus. Glisin, lithium klorida, dan

potassium tellurite berperan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme

lain selain staphylococcus. Staphylococcus aureus memproduksi koloni

abu-abu gelap hampir hitam karena mereduksi potassium tellurite.

Staphylococcus aureus mengandung lesitinase memecah egg yolk dan

menyebabkan zona bening disekitar koloni. Sebuah zona opak juga

terbentuk karena aktivitas lipase (Nurul, 2014: 5).

G. Formalin dan Boraks

1. Formalin

Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat

menusuk. Formalin mengandung sekitar 37 % formaldehid dalam air,

biasanya ditambah methanol hingga 15% sebagai pengawet. Formalin

dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan

dalam industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene

aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols,

Methanal, Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith

(Saparinto dan Hidayati, 2006: 42).

Berat molekul formalin adalah 30,03 dengan Rumus Molekul

HCOH. Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan

distribusinya ke dalam sel tubuh. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat

aktif, dapat bereaksi dengan gugus –NH2 dari protein yang ada pada tubuh

membentuk senyawa yang mengendap (Riandhini, 2008: 33).

Gambar 2. Rumus Formalin

Formalin biasanya mengandung metanol 10-15%, yang berfungsi

sebagai stabilisator untuk mencegah polimerisasi formaldehid menjadi

paraformaldehid yang bersifat sangat beracun. Formalin dapat

menimbulkan efek langsung seperti iritasi, alergi, kemerahan, mata berair,

mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut, pusing dan bila dikonsumsi

menahun dapat menyebabkan kanker (Saparinto dan Hidayati, 2006: 37).

Analisis kualitatif dapat dilakukan untuk menyatakan ada tidaknya

formalin dalam suatu bahan yang diuji namun uji kualitatif ini tidak dapat

menunjukkan jumlah kadar formalin dalam bahan tersebut. Analisis

kualitatif paling mudah untuk dilakukan yaitu dengan cara menambahkan

zat kimia (pereaksi) tertentu pada bahan yang diduga mengandung formalin,

sehingga dihasilkan suatu perubahan warna khas. Analisis kualitatif tidak

memerlukan waktu lama, dan lebih praktis. Uji seperti ini disebut spot test

(Ade, 2009: 25).

Cairan dari bahan pangan yang diduga mengandung formalin diambil

sebanyak 10 ml, kemudian ditetesi dengan 1 tetes larutan KMnO4 0,1 N.

Warna campuran yang mengalami perubahan dari ungu menjadi bening

menunjukkan bahan mengandung formalin namun apabila selama 1 jam

tidak mengalami perubahan warna berarti bahan tidak mengandung

formalin (Cahyadi, 2006: 32).

2. Boraks

Asam borat atau boraks (boric acid) merupakan zat pengawet

berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan

makanan. Boraks adalah senyawa kimia dengan rumus Na2B4O7.10H2O

berbentuk kristal putih, tidak berbau, dan stabil pada suhu dan tekanan

normal. Boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat dalam

air. Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa boron dikenal juga dengan

nama boraks di Jawa Barat dikenal dengan nama bleng, di Jawa Tengah dan

Jawa Timur dikenal dengan nama pijer. Boraks digunakan atau

ditambahkan ke dalam pangan / bahan pangan sebagai pengental ataupun

sebagai pengawet. Efek boraks yang diberikan pada makanan dapat

memperbaiki struktur dan tekstur makanan contohnya bila boraks diberikan

pada bakso dan lontong akan membuat bakso/lontong tersebut sangat kenyal

dan tahan lama (Dahrul, 2005: 26).

Boraks sebenarnya berfungsi sebagai pembersih, fungisida,

herbisida, dan insektisida bersifat toksik atau meracun untuk manusia.

Boraks juga berfungsi untuk menghaluskan gelas dan juga sebagai

pengontrol kecoa. Kondisi toksik yang kronis (karena mengalami kontak

dalam jumlah sedikit demi sedikit namun dalam jangka waktu yang

panjang) dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata dan saluran respirasi,

gagal ginjal, mengganggu kesuburan dan janin. Boraks bukan pengawet

makanan namun sering digunakan sebagai pengawet makanan. Boraks

sering disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai makanan seperti

bakso, mie basah, pisang molen, siomay, lontong, ketupat dan pangsit.

Boraks juga dapat membuat tekstur makanan menjadi lebih kenyal dan

memperbaiki penampilan makanan (Saparinto dan Hidayati, 2006: 34).

Sedikit boraks dicampurkan dengan 1 mL asam sulfat pekat 5 ml

methanol atau etanol (yang pertama lebih disukai karena lebih mudah

menguap) dalam sebuah cawan porselen kecil, dan alkohol dinyalakan maka

alkohol akan terbakar dengan nyala yang pinggirannya hijau, disebabkan

oleh pembentukan metilborat B(OCH3)3 atau etil borat B(OC2H5)3. Kedua

ester ini beracun (Svehla, 1985: 44).

H. Kerangka Berpikir

Gambar 3. Skema Konsep Berpikir