BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Elektrolitrepository.poltekkes-tjk.ac.id/136/4/BAB II.pdfCairan dan...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Elektrolitrepository.poltekkes-tjk.ac.id/136/4/BAB II.pdfCairan dan...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar
1. Pengertian Kebutuhan Cairan dan Elektrolit
Cairan dan elektrolit sangat penting untuk mempertahankan keseimbangan
atau homeostasis tubuh. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
dapat memengaruhi fungsi fisiologis tubuh, sebab hampir 90% dari berat
badan total berbentuk cairan. Air memiliki presentase yang besar dari berat
badan manusia. Didalam cairan tubuh terdapat elektrolit. Elektrolit adalah
mineral bermuatan listrik yang ditemukan didalam dan diluar sel. Kadar
elektrolit dalam tubuh diatur melalui penyerapan dan pengeluaran untuk
menjaga level yang diharapkan agar fungsi tubuh optimal (Asmadi, 2009).
2. Jenis-Jenis Cairan
a. Cairan nutrient
Cairan nutrient terdiri atas :
1. Karbohidrat dan air, contoh : dextrose (glukosa), levulose (fruktosa),
invert sugar (1/2 dextrose dan ½ levulose).
2. Asam amino, contoh : amigen, aminosol, dan travamin.
3. Lemak, contoh : lipomul dan liposyn
b. Blood volume expanders
Blood volume expanders merupakan bagian dari jenis cairan yang
berfungsi meningkatkan volume pembuluh darah setelah kehilangan darah
atau Plasma. Jenis blood volume expanders antara lain : human serum
albumin dan dextran dengan konsentrasi yang berbeda. Kedua cairan ini
mempunyai tekanan osmotik, sehingga secara langsung dapat
meningkatkan jumlah volume darah.
9
3. Distribusi Cairan Tubuh
Cairan tubuh terdiri atas dua kompartemen utama yang dipisahkan
oleh membran semipermeable. Kedua kompartemen tersebut adalah
kompartemen intraseluler dan ekstraseluler.
a. Cairan intraselular (CIS)
Cairan Intraseluler merupakan cairan yang terdapat dalam sel
tubuh dan berfungsi sebagai media tempat aktivitas kimia sel
berlangsung. Cairan ini merupakan sekitar 70% dari cairan tubuh total
(total body water atau TBW). Pada individu dewasa, CIS menyusun
sekitar 40% berat tubuh atau 2/3 TBW.
b. Cairan ekstraselular (CES)
Cairan ekstraseluler adalah cairan yang terdapat di luar sel dan
menyusun 30% dari Total Body Water (TBW). Selain itu, CES juga
merupakan sekitar 20% dari berat tubuh. (Saputra, 2013)
Cairan ekstraseluler selanjutnya dibagi menjadi tiga subdivisi yaitu :
1) Cairan Interstitial adalah cairan yang terdapat pada celah antar sel
atau disebut pula cairan jaringan, berjumlah sekitar 15% dari
berat badan. Pada umumnya, cairan Interstitial berfungsi sebagai
pelumas agar tidak terjadi gesekan pada saat dua jaringan tersebut
bergerak. Contoh dari jaringan Interstitial yaitu cairan pleura,
cairan perikardial, dan cairan peritoneal.
2) Cairan Intravascular merupakan cairan yang terdapat di dalam
pembuluh darah dan merupakan plasma, berjumlah sekitar 5%
dari berat badan.
3) Cairan Transeluler yaitu air mata dan juga cairan spinal, synovial,
peritoneal, perikardial, dan pleural (2%).
(Asmadi, 2009)
4. Kebutuhan Cairan Tubuh Bagi Manusia
Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia
secara fisiologis karena memiliki proporsi besar dalam tubuh. Hampir 90%
10
dari berat badan total berbentuk cairan. Sementara itu, sisanya merupakan
bagian padat dari tubuh. Air merupakan 75% dari total berat badan bayi,
70% dari total berat badan pria dewasa, dan 55% dari total berat badan
pria lanjut usia. Pada wanita, kandungan air di dalam tubuhnya 10% lebih
sedikit dibandingkan pria karena umumnya wanita memiliki simpanan
lemak yang lebih banyak. (Saputra, 2013).
Tabel 2.1
Kebutuhan Air Berdasarkan Umur dan Berat Badan :
Kebutuhan Air
Umur Jumlah air dalam 24 jam ml/kg berat badan
3 hari 250-300 80-100
1 tahun 1150-1300 120-135
2 tahun 1350-1500 115-125
4 tahun 1600-1800 100-110
10 tahun 2000-2500 70-85
14 tahun 2200-2700 50-60
18 tahun 2200-2700 40-50
Dewasa 2400-2600 20-30
Sumber : Berhrman, RE, dkk, 1996 dalam A.Aziz Alimul H, 2009.
5. Pergerakan Cairan dan Elektrolit
Cairan dan elektrolit dalam tubuh selalu bergerak di antara ketiga
tempat cairan yaitu intraseluler, Interstitial, dan intravaskuler. Pergerakan
cairan dan elektrolit harus dipertahankan dalam keadaan seimbang. Secara
garis besar, pergerakan cairan dan elektrolit terbagi atas beberapa aspek,
antara lain :
a. Plasma, yang di dalamnya antara lain mengandung oksigen dan
nutrient, bergerak ke seluruh tubuh dalam sirkulasi.
b. Cairan Interstitial beserta komponennya bergerak di antara kapiler
darah dan sel.
c. Cairan dari Interstitial bergerak ke dalam sel.
11
Mekanisme pergerakan cairan dan elektrolit tubuh berlangsung dalam tiga
proses, yaitu :
a) Difusi
Difusi adalah perpindahan larutan atau gas dari daerah yang berkonsentrasi
tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah, di dalam tubuh, Difusi
berlangsung melalui membran kapiler yang permeable.
Kecepatan Difusi dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu :
1. Ukuran Molekul
Molekul yang berukuran besar cenderung bergerak lebih lambat
daripada molekul berukuran kecil.
2. Konsentrasi Larutan
Larutan dengan konsentrasi yang tinggi akan mempercepat pergerakan
molekul sehingga proses Difusi berjalan lebih cepat.
3. Suhu Larutan
Makin tinggi suhu larutan, makin tinggi kecepatan Difusi.
Molekul-molekul besar tidak dapat melintas dengan cara Difusi
(misalnya glukosa), tetapi sebagian molekul tersebut dapat melintas
dengan bantuan carrier atau bahan pembawa melalui proses Difusi
terbantu (dengan kemudahan). Contoh proses Difusi adalah pergerakan
oksigen dari kapiler darah ke sel. Difusi oksigen ini terjadi karena
perbedaan konsentrasi oksigen antara di kapiler dengan di sel. Arah
perpindahan yang terjadi pada proses Difusi bisa timbal balik.
b) Osmosis
Osmosis adalah perpindahan air melintasi membran semipermeable dari
daerah berkonsentrasi rendah ke daerah berkonsentrasi tinggi. Pada proses
ini, air yang berpindah akan mengencerkan larutan berkonsentrasi tinggi
hingga mencapai keseimbangan pada kedua sisi membran. Perpindahan air
ini menyebabkan volume larutan berkonsentrasi rendah akan berkurang,
sedangkan volume larutan berkonsentrasi tinggi akan bertambah. Tekanan
12
osmotik larutan disebut juga osmolalitas. Tekanan osmotik ini antara lain
dipengaruhi oleh jumlah albumin dan natrium. Proses osmosis ini sering
terjadi antara cairan intravaskuler dengan ekstravaskuler. Misalnya,
osmosis air dari Interstitial ke venule bersamaan dengan perpindahan
karbondioksida, urea, dan sampah metabolisme lainnya untuk
diekskresikan oleh tubuh.
c) Filtrasi
Tekanan filtrasi merupakan cara lain dimana air dan partikel-partikel
bergerak melewati membran. Gerakan ini terjadi akibat bobot atau tekanan
cairan lebih besar pada satu sisi membran dibandingkan dengan sisi lain.
Bobot atau tekanan cairan ini disebut dengan tekanan hidrostatik. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa filtrasi terjadi dari daerah yang tekanan
hidrostatiknya tinggi ke daerah yang tekanan hidrostatiknya rendah.
Bergeraknya air dan solute seperti dari intravaskuler ke Interstitial, terjadi
karena tekanan hidrostatik pada intravaskuler lebih tinggi dibandingkan
dengan tekanan pada Interstitial. Dengan demikian, air beserta oksigen,
nutrient, glukosa, dan solute lainnya dapat keluar dari intravaskuler masuk
ke Interstitial, lalu ke sel.
d) Transport Aktif
Transport aktif adalah perpindahan larutan atau molekul melintasi
membran dari daerah berkonsentrasi rendah ke daerah berkonsentrasi
tinggi. Pada transport aktif terjadi pemompaan melewati membran yang
melawan gradient konsentrasi. Proses ini membutuhkan energi dalam
bentuk Adenosin Trifosfat (ATP). Ini berguna untuk keseimbangan
elektrolit. Contoh proses yang menggunakan Transport aktif adalah
pompa natrium-kalium yang berfungsi mempertahankan konsentrasi ion
natrium dan kalium di dalam ruang ekstrasel dan intrasel.
(Asmadi, 2009)
13
6. Keseimbangan Cairan Tubuh
Keseimbangan cairan dalam tubuh dihitung dari keseimbangan
antara jumlah cairan yang masuk dan jumlah cairan yang keluar.
a. Asupan Cairan
Asupan (Intake) cairan untuk kondisi normal pada orang dewasa
adalah ±2500 cc perhari. Asupan cairan dapat langsung berupa cairan atau
ditambah dari makanan lain. Apabila terjadi ketidakseimbangan volume
cairan tubuh dimana asupan cairan kurang atau adanya perdarahan, maka
curah jantung menurun, menyebabkan terjadinya penurunan tekanan
darah.
b. Pengeluaran Cairan
Pengeluaran (Output) cairan sebagai bagian dalam mengimbangi
asupan cairan pada orang dewasa, dalam kondisi normal adalah ±2300 cc.
pengeluaran cairan dapat terjadi melalui beberapa organ, misalnya ginjal,
kulit, paru-paru, dan organ-organ saluran pencernaan (gastrointestinal).
1) Ginjal
Ginjal merupakan organ pengekskresi cairan utama didalam tubuh.
Peranannya cukup besar dalam mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit. Dalam sehari, ginjal menerima sekitar 170 liter darah untuk
kemudian disaring menjadi urine. Penyaringan darah terjadi didalam
glomerulus. Dari setiap satu liter darah yang masuk ke dalam
glomerulus, 10% nya disaring keluar. Secara umum, urine diproduksi
sekitar 1 mL/kg BB/jam. Pada individu dewasa, urine diproduksi
sekitar 1,5 L/hari. Produksi urine ini dapat berubah karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain asupan cairan, suhu,
ADH, dan aldosteron.
2) Kulit
Kulit berperan dalam pengeluaran cairan karena pada kulit terdapat
kelenjar keringat. Hal ini juga terkait dengan proses pengaturan panas.
Pengeluaran keringat oleh kelenjar keringat berada dibawah
pengendalian saraf simpatik. Perangsangan kelenjar keringat untuk
14
mengeluarkan keringat dihasilkan melalui aktivitas otot, suhu
lingkungan yang tinggi, dan kondisi demam. Pada kondisi normal,
pengeluaran cairan melalui kulit berkisar 300-450 mL/hari. Jumlah
keringat yang keluar akan memengaruhi kadar natrium dalam plasma.
3) Paru
Peningkatan jumlah cairan yang keluar melalui paru merupakan
bentuk respons terhadap perubahan kecepatan dan kedalaman nafas
karena pergerakan atau kondisi demam. Jumlah cairan yang
dikeluarkan melalui paru adalah sekitar 400 mL/hari.
4) Organ Saluran Pencernaan (gastrointestinal)
Organ saluran pencernaan berperan dalam pengeluaran cairan melalui
proses penyerapan dan pengeluaran air. Air tersebut dikeluarkan
bersama dengan feses. Dalam kondisi normal, cairan yang hilang
dengan cara ini adalah sekitar 100-200 mL.
Pengeluaran cairan dalam tubuh manusia dapat dilakukan melalui tiga
cara, yaitu :
1. Insensible water loss (IWL), yaitu pengeluaran cairan melalui
penguapan diparu-paru.
2. Notikable water loss (NWL), yaitu pengekskresian cairan melalui
keringat dan urine.
3. Melalui feses, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
c. Pengaturan Keseimbangan Cairan
Pengaturan keseimbangan cairan dapat dilakukan melalui sistem
endokrin (ADH, Aldosteron, dan glukokortikoid), prostaglandin, dan
mekanisme rasa haus.
1) Hormon antidiuretik (antidiuretik hormon atau ADH)
ADH berperan dalam meningkatkan reabsorpsi air dalam tahap
pembentukan urine. Dengan demikian, hormon ini mengendalikan
keseimbangan air dalam tubuh. ADH dibentuk dihipotalamus dan
15
disimpan dalam neurohipofisis pada hipofisis posterior. Salah satu
stimulus untuk sekresi ADH adalah peningkatan osmolaritas dan
penurunan cairan ekstrasel. Ketika jumlah cairan ekstrasel berkurang,
hipotalamus akan memerintahkan hipofisis posterior untuk melepaskan
ADH. ADH kemudian meningkatkan reabsorpsi air pada duktus
pengumpul sehingga dapat menahan air. Akibatnya, volume cairan
ekstrasel dapat dipertahankan.
Sekresi ADH dapat juga terjadi pada kondisi stress, trauma,
pembedahan, nyeri, dan pada penggunaan beberapa jenis anestetik dan
obat-obatan. ADH disebut juga vasopressin karena dapat memberikan efek
vasokontriksi (penyempitan) minor pada arteriol yang dapat
mengakibatkan tekanan darah meningkat.
2) Aldosteron.
Aldosteron merupakan hormon yang disekresi oleh kelenjar adrenal.
Hormon ini bekerja di tubulus ginjal dan meningkatkan absorpsi natrium.
Retensi natrium mengakibatkan retensi air. Berarti, secara tidak langsung,
aldosteron berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan. pelepasan
aldosteron distimulasi oleh perubahan konsentrasi kalium, kadar natrium
serum, dan sistem renin-angiotensin.
3) Glukokortikoid
Glukokortikoid merupakan hormon yang disekresi oleh korteks adrenal.
Hormon ini meningkatkan reabsorbsi natrium dan air sehingga
menyebabkan volume darah meningkat dan mengakibatkan retensi
natrium.
4) Prostaglandin
Prostaglandin merupakan asam lemak alami yang terdapat di ginjal. Asam
lemak ini berperan dalam merespons radang, mengendalikan tekanan
darah dan kontraksi uterus, serta pergerakan (motilitas) gastrointestinal. Di
ginjal, prostaglandin berperan dalam mengatur sirkulasi ginjal dan
reabsorpsi natrium.
16
5) Mekanisme rasa haus
Rasa haus merupakan keinginan yang disadari terhadap kebutuhan akan
cairan. mekanisme rasa haus diawali dengan peningkatan osmolalitas
cairan ekstrasel. Hal ini merangsang ginjal untuk melepaskan renin yang
dapat mengakibatkan produksi angiotensin II. Angiotensin II merangsang
hipotalamus sehingga menghasilkan sensasi haus.
(Saputra, 2013)
7. Fungsi Cairan Tubuh
Komponen yang paling besar dalam tubuh manusia adalah air yang
mempunyai fungsi yang sangat besar. Fungsi cairan antara lain :
a. Transportasi : nutrient, partikel kimiawi, partikel darah, energi, dan
lain-lain.
b. Sebagai pengatur suhu tubuh.
c. Pembentuk struktur tubuh.
Kekurangan cairan tubuh dapat menyebabkan kematian sel. Sementara
unit dasar fungsional tubuh adalah sel. Sel-sel inilah yang membentuk
struktur tubuh. Dengan demikian, keberlangsungan proses
pembentukan atau perbaikan jaringan tubuh tidak terlepas dari peranan
cairan tubuh.
d. Memfasilitasi reaksi kimia dalam tubuh, misalnya metabolisme tubuh.
8. Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Faktor yang memengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit antara lain
adalah :
a. Usia
Pertambahan usia memengaruhi kerja atau aktivitas organ, misalnya
ginjal dan paru. Hal ini memengaruhi jumlah kebutuhan cairan dan
elektrolit.
17
b. Suhu Lingkungan
Suhu yang tinggi merangsang pengeluaran keringat oleh kulit.
Akibatnya, banyak cairan tubuh yang hilang melalui keringat.
c. Sakit
Kondisi sakit menimbulkan ketidakseimbangan sistem dalam tubuh,
misalnya ketidakseimbangan hormonal yang dapat mengganggu
keseimbangan kebutuhan cairan. Contoh kondisi sakit yang dapat
memengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit adalah luka bakar,
demam, dan gagal ginjal.
d. Stress
Kondisi stress dapat memicu pelepasan antidiuretik hormone (ADH)
oleh kelenjar hipofisis. Akibatnya, metabolisme tubuh meningkat dan
terjadi glikolisis otot. Hal ini dapat menimbulkan retensi natrium dan
air sehingga produksi urine menurun.
e. Diet
Tubuh memerlukan asupan nutrisi yang adekuat. Jika asupan nutrisi
yang diterima tidak sesuai dengan kebutuhan, tubuh akan memecah
cadangan makanannya sehingga nutrisi yang dibutuhkan akan bergerak
dari cairan interstisial ke cairan interselular. Hal ini berpengaruh pada
jumlah pemenuhan kebutuhan cairan.
9. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
a. Ketidakseimbangan Cairan
Gangguan volume cairan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
kekurangan volume cairan (Hipovolemia atau dehidrasi) dan kelebihan
cairan (Hipervolemia).
1. Hipovolemia
Hipovolemia adalah kondisi ketidakseimbangan yang ditandai dengan
defisiensi cairan dan elektrolit di ruang ekstraselular, tetapi proporsi
antara kedua (cairan dan elektrolit) mendekati normal. Hipovolemia
dikenal juga dengan sebutan dehidrasi atau defisit volume cairan
18
(fluid volume defisit atau FVD). Pada saat tubuh kekurangan cairan
dan elektrolit, tekanan osmotik mengalami perubahan sehingga cairan
interstisial kosong dan cairan intrasel masuk ke dalamnya.
Hipovolemia dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya
kekurangan asupan cairan dan kelebihan asupan zat terlarut (misalnya
protein dan klorida atau natrium). Kelebihan asupan zat terlarut dapat
menyebabkan ekskresi atau pengeluaran urine secara berlebih serta
pengeluaran keringat yang banyak dalam waktu lama.
Dehidrasi dapat terjadi pada pasien yang mengalami gangguan
pada hipotalamus, kelenjar gondok dan ginjal. Selain itu, dehidrasi
juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami diare dan muntah
secara terus menerus.
Secara umum, dehidrasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a. Dehidrasi isotonic, yaitu jumlah cairan yang hilang sebanding
dengan jumlah elektrolit yang hilang.
b. Dehidrasi hipertonik, yaitu jumlah cairan yang hilang lebih besar
dari pada jumlah elektrolit yang hilang.
c. Dehidrasi hipotonik, yaitu jumlah cairan yang hilang lebih sedikit
dari pada jumlah elektrolit yang hilang.
Kehilangan cairan ekstrasel secara berlebihan dapat menyebabkan
penurunan volume ekstrasel (Hipovolemia) dan perubahan hematokrit.
Berdasarkan derajat keparahan dehidrasi dapat dibagi menjadi :
a. Dehidrasi ringan
Pada dehidrasi ringan, tubuh kehilangan cairan sebesar 5% dari
berat badan atau sekitar 1,5-2 L. kehilangan cairan yang berlebihan
dapat berlangsung melalui kulit, saluran pencernaan, saluran
kemih, paru, atau pembuluh darah.
b. Dehidrasi sedang
Pada dehidrasi sedang tubuh kehilangan cairan sebesar 5-10% dari
berat badan atau sekitar 2-4 L. natrium serum dalam tubuh
19
mencapai 152-158 mEq/L. salah satu ciri-ciri fisik dari penderita
dehidrasi sedang adalah mata cekung.
c. Dehidrasi berat
Pada dehidrasi berat tubuh kehilangan cairan sebesar 4-6 liter atau
lebih dari 10% dari berat badan. Natrium serum mencapai 159-166
mEq/L. penderita dehidrasi berat dapat mengalami hipotensi,
oliguria, turgor kulit buruk, serta peningkatan laju pernafasan.
2. Hipervolemia
Hipervolemia adalah kondisi ketidakseimbangan yang ditandai dengan
kelebihan (retensi) cairan dan natrium diruang ekstraseluler.
Hipervolemia dikenal juga dengan sebutan overhidrasi atau defisit
volume cairan (fluid volume ecces atau FVE). Kelebihan cairan
didalam tubuh dapat menimbulkan dua manifestasi yaitu peningkatan
volume darah dan edema. Edema dapat dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu edema perifer atau edema pitting, edema non pitting, dan edema
anasarka.
Edema pitting adalah edema yang muncul didaerah perifer.
Penekanan pada daerah edema akan membentuk cekungan yang tidak
langsung hilang ketika tekanan dilepaskan. Hal ini disebabkan oleh
perpindahan cairan dari jaringan melalui titik tekan. Edema pitting
tidak menunjukkan kelebihan menyeluruh.
Pada edema non pitting, cairan didalam jaringan tidak dapat
dialihkan kedaerah lain melalui penekanan jari. edema non pitting
tidak menunjukkan kelebihan cairan ekstrasel karena umumnya
disebabkan oleh infeksi dan trauma yang menyebabkan pengumpulan
serta pembekuan cairan dipermukaan jaringan.
Edema anasarka adalah edema yang terdapat diseluruh tubuh.
Pada edema anasarka, tekanan hidrostatik meningkat sangat tajam
sehingga menekan sejumlah cairan hingga ke membran kapiler paru.
Akibatnya, terjadilah edema paru dengan manifestasi berupa
20
penumpukan sputum, dyspnea, batuk dan terdengar suara nafas ronchi
basah.
Kelebihan cairan ekstrasel memiliki manifestasi sebagai berikut :
1. Edema perifer atau edema pitting
2. Asites
3. Kelopak mata bengkak
4. Suara nafas ronchi basah
5. Penambahan berat badan tidak normal.
b. Ketidakseimbangan Elektrolit
1. Hiponatremia
Hiponatremia adalah keadaan kurang natrium dalam cairan ekstrasel
yang menyebabkan perubahan tekanan osmotik. Pada kondisi ini kadar
natrium serum < 136 mEq/L dan berat jenis urine <1,010. Penurunan
kadar natrium menyebabkan cairan berpindah dari ruang ekstrasel ke
cairan intrasel sehingga sel menjadi bengkak. Hiponatremia
disebabkan oleh kehilangan cairan tubuh secara berlebihan, misalnya
ketika terjadi diare atau muntah terus menerus dalam jangka waktu
lama. Tanda dan gejala Hiponatremia meliputi rasa haus berlebihan,
denyut nadi cepat, hipotensi postural, konfulsi, membran mukosa
kering, cemas, postural dizziness, mual, muntah dan diare.
2. Hipernatremia
Hipernatremia adalah kelebihan kadar natrium dalam cairan ekstrasel
yang menyebabkan peningkatan tekanan osmotik ekstrasel. Pada
kondisi ini, kadar natrium serum >144 mEq/L dan berat jenis urin
>11,30. Peningkatan kadar natrium menyebabkan cairan bergerak
keluar sel. Tanda dan gejala hipernatremia meliputi kulit dan mukosa
bibir kering, turgor kulit buruk, permukaan kulit membengkak,
oliguria atau anuria, konvulsi, suhu tubuh tinggi dan lidah kering serta
kemerahan. Hipernatremia dapat disebabkan oleh asupan natrium
yang berlebihan, kerusakan sensasi haus, diare, disfagia, polyuria
21
karena diabetes insipidus, dan kehilangan cairan berlebihan dari paru-
paru.
3. Hipokalemia
Hipokalemia adalah keadaan kekurangan kadar kalium dalam cairan
ekstrasel yang menyebabkan kalium berpindah keluar sel. Pada
kondisi ini, kadar kalium serum < 3,5 mEq/L. pada pemeriksaan EKG
terdapat gelombang T datar dan depresi segmen ST. hipokalemia
ditandai dengan kelemahan, keletihan, dan penurunan kemampuan
otot. Selain itu kondisi ini juga ditandai dengan distensi usus,
penurunan bising usus, denyut jantung (aritmia) tidak beraturan,
penurunan tekanan darah, tidak nafsu makan, dan muntah-muntah.
4. Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah keadaan kelebihan kadar kalium dalam cairan
ekstrasel. Pada kondisi ini, nilai kalium serum > 5 mEq. Pada
pemeriksaan EKG terdapat gelombang T memuncak, QRS melebar,
dan PR memanjang. Tanda dan gejala Hiperkalemia meliputi rasa
cemas, iritabilitas, hipotensi, parastesia, mual, hiperaktivitas sistem
pencernaan, kelemahan, dan aritmia. Hiperkalemia ini berbahaya
karena dapat menghambat transmisi impuls jantung dan menyebabkan
serangan jantung.
5. Hipokalsemia
Hipokalsemia adalah kondisi kekurangan kadar kalsium dalam cairan
ekstrasel. Pada kondisi ini, kadar kalsium serum < 4,5 mEq/L serta
terjadi pemanjangan interval Q-T pada pemeriksaan EKG.
Hipokalsemia ditandai dengan terjadinya kram otot dan kram perut,
kejang (spasme) dan tetani, peningkatan motilitas gastrointestinal,
gangguan kardiovaskular, dan osteoporosis.
6. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia adalah kondisi kelebihan kadar kalsium pada cairan
ekstrasel. Pada kondisi ini, kadar kalsium serum >5,8 mEq/L serta
terjadi peningkatan BUN akibat kekurangan cairan. Hiperkalsemia
22
ditandai dengan penurunan kemampuan otot, mual, muntah,
anoreksia, kelemahan dan letargi, nyeri pada tulang, dan serangan
jantung. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang mengalami
pengangkatan kelenjar gondok dan mengonsumsi vitamin D secara
berlebihan.
7. Hipomagnesia
Hipomagnesia adalah kondisi kekurangan kadar magnesium dalam
darah. Pada kondisi ini, kadar magnesium serum ≥ 1,4 mEq/L.
Hipomagnesia ditandai dengan iritabilitas, tremor, hipertensi,
disorientasi, konvulsi, halusinasi, kejang, kram pada kaki dan tangan,
reflex tendon profunda yang hiperaktif, serta Takikardia. Kondisi ini
umumnya disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan,
malnutrisi, gagal hati, absorpsi usus yang buruk, dan diabetes
mellitus.
8. Hipermagnesia
Hipermagnesia adalah kondisi kelebihan kadar magnesium dalam
darah. Pada kondisi ini, kadar magnesium serum > 3,4 mEq/L.
hipermagnesia ditandai dengan depresi pernapasan, aritmia jantung,
dan depresi reflex tendon profunda.
9. Hipokloremia
Hipokloremia adalah kondisi kekurangan ion klorida dalam serum.
Pada kondisi ini, nilai ion klorida ≥ 95 mEq/L. Hipokloremia ditandai
dengan gejala menyerupai alkalosis metabolik, yaitu kelemahan,
apatis, gangguan mental, pusing, dan kram. Kondisi ini dapat terjadi
karena tubuh kehilangan sekresi gastrointestinal secara berlebihan,
misalnya karena muntah, diare, diuresis, atau pengisapan nasogastric.
10. Hiperkloremia
Hiperkloremia adalah kondisi kelebihan ion klorida dalam serum.
Pada kondisi ini, nilai ion klorida > 105 mEq/L. hiperkloremia sering
dikaitkan dengan hipernatremia, terutama pada kasus dehidrasi dan
masalah ginjal. Hiperkloremia menyebabkan penurunan bikarbonat
23
sehingga menyebabkan ketidakseimbangan asam basa. Jika
berlangsung lama, kondisi ini akan menyebabkan kelemahan, letargi,
dan pernapasan kusmaul.
11. Hipofosfatemia
Hipofosfatemia adalah kondisi penurunan kadar ion fosfat didalam
serum. Pada kondisi ini, nilai ion fosfat < 2,8 mg/dl. Hipofosfatemia
antara lain ditandai dengan anoreksia, parastesia, kelemahan otot, dan
pusing. Kondisi ini dapat terjadi karena pengonsumsian alkohol secara
berlebihan, malnutrisi, hipertiroidisme, dan ketoasidosis diabetes.
12. Hiperfosfatemia
Hiperfosfatemia adalah kondisi peningkatan kadar ion fosfat di dalam
serum. Pada kondisi ini, nilai ion fosfat >4,4 mg/dl atau >3,0 mEq/L.
hiperfosfatemia antara lain ditandai dengan peningkatan eksitabilitas
sistem saraf pusat, spasme otot, konvulsi dan tetani, peningkatan
gerakan usus, gangguan kardiovaskular, dan osteoporosis. Kondisi ini
dapat terjadi pada kasus gagal ginjal atau pada kadar parathormon
menurun.
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai
sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.
Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu (klien). Oleh karena itu
pengkajian yang benar, akurat, lengkap, dan sesuai dengan kenyataan
sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosis keperawatan dan dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan respons individu,
sebagaimana yang telah ditentukan dalam standar praktik keperawatan dari
American Nursing Association (ANA). (Nursalam, 2009)
24
Tipe data pada pengkajian keperawatan dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu data subjektif dan data objektif. Data subjektif adalah data yang
didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan
kejadian. Data tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat secara
independent tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi. Data subjektif
diperoleh dari riwayat keperawatan termasuk persepsi klien, perasaan, dan
ide tentang status kesehatannya. Data yang diperoleh dari sumber lainnya,
seperti dari keluarga, konsultan, dan profesi kesehatan lainnya juga dapat
dikategorikan sebagai data subjektif jika didasarkan pada pendapat klien.
(lyer et al.,dalam (Nursalam, 2009)). Sedangkan data objektif adalah data
yang dapat diobservasi dan diukur oleh perawat. Data ini diperoleh melalui
kepekaan perawat (senses) selama melakukan pemeriksaan fisik melalui 2S
(sight, smell) dan HT (hearing, touch/taste). Contoh data objektif adalah
frekuensi pernapasan, tekanan darah, adanya edema, berat badan
(Nursalam, 2009).
Menurut (Muttaqin & Sari, 2012) hasil pengkajian yang dapat
ditemukan pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit meliputi :
a) Keluhan Utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine
output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan
kesadaran, tidak selera makan (anoreksi), mual, muntah, mulut terasa
kering, rasa lelah, napas berbau (ureum), dan gatal pada kulit.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan
pola napas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan perubahan
pemenuhan nutrisi. Kaji sudah kemana saja klien meminta pertolongan
untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan apa.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,
payah jantung, penggunaan obat-obatan nefrotoksik, benign prostatik
hiperplasia, dan prostatektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu
25
saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit
diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang
menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap
jenis obat.
d) Pemeriksaan Fisik
Pengkajian fisik yang menyeluruh harus dilakukan karena
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat memengaruhi seluruh
sistem tubuh. Data yang didapatkan selama pengkajian fisik
memberikan validasi dan memberikan tambahan informasi yang
dikumpulkan melalui riwayat kesehatan klien.
Tabel 2.2.
Pengkajian fisik pada gangguan keseimbangan cairan & elektrolit
Pengkajian Ketidakseimbangan
Perubahan berat badan
a. Kehilangan sebesar 2-5%
b. Kehilangan sebesar 5-8%
c. Kehilangan sebesar 8-15%
d. Kehilangan sebesar > 15% e. Penambahan sebesar 2%
f. Penambahan sebesar 5-8%
Kepala
Riwayat :
a. Sakit kepala
b. Pusing
Observasi :
a. Iritabilitas
b. Letargi
c. Bingung, disorientasi
Mata Riwayat :
a. Pandangan kabur
Inspeksi :
a. Mata cekung
b. Konjungtiva kering
c. Air mata berkurang tidak ada
d. Edema periorbital
e. Papilledema
Tenggorokan dan mulut
Inspeksi :
a. Lengket b. Mukosa kering
a. Defisit volume cairan ringan
b. Defisit volume cairan sedang
c. Defisit volume cairan berat
d. Kematian e. Kelebihan volume cairan ringan
f. Kelebihan volume cairan sedang
hingga berat
a. Defisit volume cairan ringan
b. Defisit volume cairan ringan
a. Ketidakseimbangan Hiperosmolar
b. Defisit volume cairan ringan
c. Defisit volume cairan ringan
a. Kelebihan volume cairan
a. Defisit volume cairan
b. Defisit volume cairan
c. Defisit volume cairan
d. Kelebihan volume cairan
e. Kelebihan volume cairan
a. Defisit volume cairan, hipernatremia
26
c. Bibir pecah-pecah dan kering
d. Air liur berkurang
e. Alur lidah longitudinal
Sistem kardiovaskular
Inspeksi :
a. Vena leher datar
b. Distensi vena jugularis
Palpasi :
a. Edema : bagian tubuh yang
bergantung (kaki, sacrum,
punggung)
b. Disritmia (juga disertai dengan perubahan EKG)
c. Denyut nadi meningkat
d. Denyut nadi menurun
e. Denyut nadi melemah
f. Pengisian kapiler berkurang
g. Denyut nadi kencang Auskultasi :
a. Tekanan darah rendah atau disertai
perubahan ortostatik
b. Bunyi jantung ketiga (kecuali pada
anak-anak)
c. Hipertensi
Sistem respirasi
Inspeksi :
a. Laju pernapasan berkurang
b. Dyspnea
Auskultasi : a. Krekles
Sistem gastrointestinal
Riwayat :
a. Anoreksia
b. Kram abdominal
Inspeksi :
a. Abdomen cekung
b. Distensi abdomen
c. Muntah
d. Diare
Auskultasi :
a. Bunyi “mengeram” kuat karena
hiperperistaltis disertai diare, atau
bunyi usus tidak ada karena
hipoperistaltis.
Sistem perkemihan
Inspeksi :
a. Oliguria atau anuria
a. Defisit volume cairan
b. Kelebihan volume cairan
a. Kelebihan volume cairan
b. Asidosis metabolik, alkalosis dan asidosis respiratorik,
ketidakseimbangan kalium,
hipomagnesemia
c. Alkalosis metabolik, asidosis
respiratorik, Hiponatremia, defisit
volume cairan, kelebihan volume
cairan, hipomagnesemia
d. Alkalosis metabolik, hipokalemia
e. Defisit volume cairan, hipokalemia
f. Defisit volume cairan
g. Kelebihan volume cairan
a. Defisit volume cairan, Hiponatremia,
Hiperkalemia, hipermagnesemia
b. Kelebihan volume cairan
c. Kelebihan volume cairan
a. Kelebihan volume cairan, alkalosis
respiratorik, asidosis metabolik
b. Kelebihan volume cairan
a. Kelebihan volume cairan
a. Asidosis metabolik
b. Asidosis metabolik
a. Defisit volume cairan
b. Sindrom ruang ketiga
c. Defisit volume cairan, Hiperkalsemia,
Hiponatremia, Hipokloremia, alkalosis
metabolik d. Hiponatremia, asidosis metabolik
a. Defisit volume cairan, hipokalemia
a. Defisit volume cairan, kelebihan
27
b. Diuresis (jika ginjal normal)
c. Meningkatnya berat jenis urine
Sistem neuromuscular
Inspeksi :
a. Kebas, kedut
b. Kram otot, tetani
c. Koma
d. Tremor Palpasi :
a. Hipotonisitas
b. Hipertonisitas
Kulit
Suhu tubuh :
a. Meningkat
b. Berkurang
Inspeksi :
a. Kering, memerah Palpasi :
a. Turgor kulit tidak elastis, kulit
dingin dan lembap basah
volume cairan
b. Kelebihan volume cairan
c. Defisit volume cairan
a. Asidosis metabolik, hipokalemia,
ketidakseimbangan kalium
b. Hipokalsemia, alkalosis metabolik atau
respirasi
c. Ketidakseimbangan hiperosmolar atau
hipoosmolar, Hiponatremia
d. Asidosis respiratorik, hipomagnesemia
a. Hipokalemia, Hiperkalsemia
b. Hipokalsemia, hipomagnesemia,
alkalosis metabolik
a. Hipernatremia, ketidakseimbangan
hiperosmolar, asidosis metabolik
b. Defisit volume cairan
a. Defisit volume cairan, hipernatremia, asidosis metabolik
a. Defisit volume cairan
e) Mengukur Intake dan Output Cairan
Pengertian :
Pengukuran Intake dan Output cairan merupakan suatu tindakan yang
dilakukan untuk mengukur jumlah cairan yang masuk kedalam tubuh
(Intake) dan jumlah cairan yang keluar dari tubuh (Output).
Tujuan :
a. Menentukan status keseimbangan cairan tubuh klien.
b. Menentukan tingkat dehidrasi ataupun tingkat kelebihan cairan klien.
Prosedur :
a. Tentukan jumlah cairan yang masuk kedalam tubuh. Cairan yang
masuk kedalam tubuh melalui air minum, air dalam makanan, air hasil
oksidasi (metabolisme), dan cairan intravena.
b. Tentukan jumlah cairan yang keluar dari tubuh klien. Cairan yang
keluar dari tubuh terdiri atas urine, insensible water loss (IWL), feses,
dan muntah.
28
c. Tentukan keseimbangan cairan tubuh klien dengan rumus :
Balance Cairan = Intake-Output + IWL (Insensible Water Loss)
Hal yang perlu diperhatikan :
a. Rata-rata Intake cairan per hari :
1. Air minum : 1500-2500 ml
2. Air dari makanan : 750 ml
3. Air hasil metabolisme oksidatif : 300 ml
b. Rata-rata Output cairan per hari :
1. Urine : 1-2 cc/kgBB/jam
2. Insensible water loss (IWL) :
- Dewasa : 10-15 cc/kgBB/hari
- Anak-anak : 30-umur (th) cc/kgBB/hari
- Bila ada kenaikan suhu : 200 (suhu sekarang-36,80C)
3. Feses : 100-200 ml
(Asmadi, 2009).
c. Insensible Water Loss (IWL) yaitu jumlah cairan tubuh yang keluarnya
tidak disadari dan sulit dihitung, seperti jumlah keringat dan uap
pernafasan.
1. Rumus perhitungan Insensible Water Loss (IWL) dengan suhu
tubuh normal.
IWL = (15 x BB) = ….. cc/jam
24 jam
*jika dalam 24 jam, maka hasilnya dikali dengan 24 jam.
2. Rumus perhitungan Insensible Water Loss (IWL) dengan kenaikan
suhu tubuh.
IWL = [10% x Intake) x jumlah kenaikan suhu] + IWL Normal = …cc/jam
24 jam
*jika dalam 24 jam, maka hasilnya dikali dengan 24 jam.
(Fatonah, 2016).
29
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga, dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(PPNI, 2017).
Menurut buku SDKI tahun 2017, diagnosa yang muncul pada kasus
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit yang berkaitan dengan kondisi
klinis Gagal Ginjal Kronik adalah :
a. Hipervolemia
Definisi :
peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau
intraselular.
Penyebab :
1) Gangguan mekanisme regulasi
2) Kelebihan asupan cairan
3) Kelebihan asupan natrium
4) Gangguan aliran balik vena
5) Efek agen farmakologis (mis. Kortikosteroid, chlorpropamide,
tolbutamide, vincristine, tryptilinescarbamazepine).
Gejala dan Tanda Mayor :
Data Subjektif :
1) Ortopnea
2) Dyspnea
3) Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
Data Objektif :
1) Edema anasarka dan/atau edema perifer
2) Berat badan meningkat dalam waktu singkat
3) Jugular Venous Pressure (JVP) dan/atau Central
4) Refleks hepatojugular positif.
30
Gejala dan Tanda Minor :
Data Subjektif :
(tidak tersedia)
Data Objektif :
1) Distensi vena jugularis
2) Terdengar suara nafas tambahan
3) Hepatomegaly
4) Kadar Hb/Ht turun
5) Oliguria
6) Intake lebih banyak dari Output (balance cairan positif)
7) Kongesti paru
Kondisi klinis terkait :
1) Penyakit ginjal : gagal ginjal akut/kronis, sindrom nefrotik
2) Hipoalbuminemia
3) Gagal jantung kongestif
4) Kelainan hormon
5) Penyakit hati (mis. Sirosis, asites, kanker hati)
6) Penyakit vena perifer (mis. Varises vena, thrombus vena, phlebitis)
7) Imobilitas
b. Risiko Ketidakseimbangan Elektrolit
Definisi :
Berisiko mengalami perubahan kadar serum elektrolit
Faktor risiko :
1) Ketidakseimbangan cairan (mis. Dehidrasi dan intoksikasi air)
2) Kelebihan volume cairan
3) Gangguan mekanisme regulasi (mis. Diabetes)
4) Efek samping prosedur (mis. Pembedahan)
5) Diare
6) Muntah
31
7) Disfungsi ginjal
8) Disfungsi regulasi endokrin
Kondisi klinis terkait :
1) Gagal ginjal
2) Anoreksia nervosa
3) Diabetes melitus
4) Penyakit Chron
5) Gastroenteritis
6) Pankreatitis
7) Cedera kepala
8) Kanker
9) Trauma multiple
10) Luka bakar
11) Anemia sel sabit
32
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian
klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan. Berikut rencana tindakan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal
kronik dengan diagnosa keperawatan hipervolemia (PPNI T. P., 2018)
No. Diagnosa
keperawatan
Tujuan dan
kriteria hasil
Intervensi Utama Rasional
1. Hipervolemia
b.d gangguan
mekanisme
regulasi.
Tujuan :
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan
Hipervolemia dapat
teratasi.
Kriteria Hasil :
1. Terbebas dari
edema, efusi,
anasarka. 2. Bunyi nafas
bersih, tidak
ada dypsneu/
ortopneu
3. Terbebas dari
distensi vena
jugularis
4. Tanda-tanda
vital dalam
batas normal
Manajemen hypervolemia
Observasi :
1. Periksa tanda dan gejala Hipervolemia (mis.
Ortopnea, dyspnea, Edema, JVP/CVP
meningkat, refleks hepatojugular positif,
suara napas tambahan).
2. Identifikasi penyebab Hipervolemia
3. Monitor status hemodinamik (mis.
Frekuensi jantung, tekanan darah, MAP,
CVP, PAP, PCWP, CO, CI), jika tersedia.
4. Monitor Intake dan Output cairan
Manajemen Hipervolemia
Observasi :
1. Peningkatan menunjukkan adanya
Hipervolemia. Kaji bunyi jantung dan napas,
perhatikan S3 dan/atau gemericik, ronchi.
Kelebihan volume cairan berpotensi gagal
jantung kongestif/ edema paru
2. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
Hipervolemia yaitu gagal jantung kongestif,
infark miokard, penyakit katup jantung,
sirosis hati, dan gagal ginjal. 3. Takikardia dan hipertensi terjadi karena (1)
kegagalan ginjal untuk mengeluarkan urine,
(2) pembatasan cairan berlebihan selama
mengobati Hipervolemia/hipertensi atau
perubahan fase oliguria gagal ginjal,
dan/atau (3) perubahan pada system renin-
angiotensin. Catatan : pengawasan invasive
diperlukan untuk mengkaji volume
Intravascular, khususnya pada pasien
dengan fungsi jantung buruk.
4. Pada kebanyakn kasus, jumlah aliran harus
sama atau lebih dari jumlah yang dimasukkan. Keseimbangan positif
33
5. Monitor tanda hemokonsentrasi (mis. Kadar
natrium, BUN, hematocrit, berat jenis
urine).
6. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik
plasma (mis. Kadar protein dan albumin
meningkat)
7. Monitor kecepatan infus secara ketat.
8. Monitor efek samping Diuretik (mis.
Hipotensi ortortostatik, Hipovolemia,
hipokalemia, Hiponatremia).
Terapeutik : 1. Timbang berat badan setiap hari pada waktu
yang sama.
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Tinggikan kepala tempat tidur 30-400
menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih
lanjut.
5. Kadar natrium tinggi dihubungkan dengan
kelebihan cairan, edema, hipertensi, dan
komplikasi jantung. Ketidakseimbangan
dapat mengganggu konduksi elektrikal dan
fungsi jantung.
6. Terjadinya peningkatan tekanan onkotik
plasma mengakibatkan terjadinya edema.
7. Mencegah terjadinya intake cairan
berlebihan sehingga memperparah keadaan kelebihan volume cairan.
8. Diuretik berfungsi membuang kelebihan
garam dan air dari dalam tubuh melalui
urine. Jumlah garam, terutama natrium yang
diserap kembali oleh ginjal akan dikurangi.
Natrium tersebut akan ikut membawa cairan
yang ada didalam darah, sehingga produksi
urin bertambah. Akibatnya, cairan tubuh
akan berkurang dan tekanan darah akan
turun.
Terapeutik : 1. Membantu mengevaluasi status cairan
khususnya bila dibandingkan dengan berat
badan. Peningkatan berat badan antara
pengobatan harus tidak lebih dari 0,5 kg/hari.
2. Menjaga agar kelebihan cairan tidak
bertambah parah. Garam dapat mengikat air
sehingga akan memperparah kelebihan
cairan.
3. Klien dengan kelebihan volume cairan juga
mengalami gangguan pernafasan seperti
takipnea, dispnea, peningkatan
34
Edukasi :
1. Anjurkan melapor jika haluaran urine <0,5
mL/kg/jam dalam 6 jam
2. Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1
kg dalam sehari.
3. Ajarkan cara mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran cairan.
4. Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian diuretic
2. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium
akibat diuretik
3. Kolaborasi pemberian continuous renal
replacement therapy (CRRT), jika perlu.
frekuensi/kedalaman (pernapasan Kussmaul).
Edukasi :
1. Ini menandakan terjadi retensi sisa
metabolik.
2. Peningkatan BB > 1 kg dalam sehari
mengindikasikan kelebihan volume cairan
dalam tubuh.
3. Pentingnya pengukuran intake dan output
cairan agar terdokumentasi sepenuhnya.
4. Pembatasan cairan membutuhkan kerjasama
dari berbagai pihak termasuk pasien dan
keluarga. Kolaborasi :
1. Diuretik dapat meningkatkan laju aliran
urine sehingga produksi urine meningkat
guna mengurangi kelebihan volume cairan
dalam tubuh.
2. Peningkatan aliran urin dan natrium
ditubulus distal dapat meningkatkan sekresi
kalium di tubulus distal sehingga
menyebabkan hipokalemia.
3. Merupakan terapi yang menggantikan fungsi
penyaringan darah normal dari ginjal.
2. Resiko ketidakseimba
ngan elektrolit
b.d disfungsi
ginjal
Tujuan : Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan resiko
ketidakseimbangan
elektrolit dapat
teratasi.
Kriteria Hasil :
1. Terbebas dari
Edema, efusi,
Observasi : 1. Identifikasi kemungkinan penyebab
ketidakseimbangan elektrolit.
2. Monitor kadar elektrolit serum.
3. Monitor mual, muntah dan diare.
Observasi : 1. Beberapa kondisi yang mungkin
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit
yaitu diare/muntah, luka bakar, gagal ginjal,
efek obat. Setelah penyebab diketahui
perawat akan mudah dalam menentukan
tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan.
2. Elektrolit sebagai indikator keadaan status
cairan dalam tubuh.
3. Mual, muntah dan diare merupakan keadaan
yang dapat menyebabkan gangguan
35
anasarka.
2. Bunyi nafas
bersih, tidak
ada dypsneu
/ortopneu
3. Kadar elektrolit
dalam tubuh
normal.
4. Tanda-tanda
vital dalam
batas normal
4. Monitor kehilangan cairan, jika perlu.
5. Monitor tanda dan gejala hipokalemia (mis.
Kelemahan otot, interval QT memanjang,
gelombang T datar atau terbalik, depresi
segmen ST, gelombang U, kelelahan,
parestesia, penurunan refleks, anoreksia,
konstipasi, motilitas usus menurun, pusing,
depresi pernapasan).
6. Monitor tanda dan gejala Hiperkalemia (mis. Peka rangsang, gelisah, mual, muntah,
Takikardia, mengarah ke bradikardia,
fibrilasi/Takikardia ventrikel, gelombang T
tinggi, gelombang P datar, kompleks QRS
tumpul, blok jantung mengarah asistol).
7. Monitor tanda dan gejala Hiponatremia
(mis. Disorientasi, otot berkedut, sakit
kepala, membran mukosa kering, hipotensi
postural, kejang, letargi, penurunan
kesadaran).
8. Monitor tanda dan gejala hipernatremia (mis. Haus, demam, mual, muntah, gelisah,
peka rangsang, membran mukosa kering,
takikardia, hipotensi, letargi, konfusi,
kejang)
9. Monitor tanda dan gejala Hipokalsemia
(mis.peka rangsang, tanda Chvostek [spasme
otot wajah], tanda Trousseau [spasme
karpal], kram otot, interval QT memanjang).
10. Monitor tanda dan gejala Hiperkalsemia
(mis. Nyeri tulang, haus, anoreksia, letargi,
kelemahan otot, segmen QT memendek).
keseimbangan elektrolit.
4. Kehilangan cairan berlebih juga berpengaruh
terhadap keseimbangan elektrolit dalam
tubuh.
5. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
dan tepat dapat mencegah terjadinya
kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
hipokalemia.
6. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat dan tepat dapat mencegah terjadinya
kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
Hiperkalemia.
7. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
dan tepat dapat mencegah terjadinya
kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
Hiponatremia.
8. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat dan tepat dapat mencegah terjadinya
kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
hipernatremia.
9. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
dan tepat dapat mencegah terjadinya hal
yang tidak diinginkan akibat Hipokalsemia.
10.Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
dan tepat dapat mencegah terjadinya
kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
36
11. Monitor tanda dan gejala hipomagnesemia
(mis. Depresi pernapasan, apatis, tanda
Chvostek, tanda Trousseau, konfusi,
disritmia).
12. Monitor tanda dan gejala Hipermagnesemia
(mis. Kelemahan otot, hiporefleks,
bradikardia, depresi SSP, letargi, koma,
depresi)
Terapeutik :
1. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan.
Hiperkalsemia.
11.Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
dan tepat dapat mencegah terjadinya
kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
hipomagnesemia.
12.Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
dan tepat dapat mencegah terjadinya
kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
Hipermagnesemia.
Terapeutik :
1. Pemantauan berkala penting guna mengetahui perkembangan kondisi klien.
2. Dokumentasi sebagai dasar hukum tindakan
keperawatan yang telah dilakukan dan
sebagai alat komunikasi antar tenaga
kesehatan.
Edukasi :
1. Pasien dan keluarga mengetahui dan
mengerti tujuan dan prosedur pemantauan
yang dilakukan
2. Pasien dan keluarga mengetahui
perkembangan keadaan klien.
37
4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi keperawatan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang
mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping. Fokus tahap implementasi asuhan
keperawatan adalah kegiatan implementasi dari perencanaan intervensi
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. Pemenuhan kebutuhan
fisik dan emosional bervariasi, tergantung dari individu dan masalah yang
spesifik, tetapi ada beberapa komponen yang terlibat dalam implementasi
asuhan keperawatan yaitu pengkajian yang terus menerus, perencanaan, dan
pengajaran (Nursalam, 2009).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan,
rencana intervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi pada proses
keperawatan meliputi kegiatan mengukur pencapaian tujuan klien dan
menentukan keputusan dengan cara membandingkan data yang terkumpul
dengan tujuan dan pencapaian tujuan. Dengan mengukur perkembangan
klien dalam mencapai suatu tujuan maka perawat dapat menentukan
efektivitas asuhan keperawatan (Nursalam, 2009).
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan
asupan makanan normal. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan
gagal ginjal yang progresif dan lambat pada setiap nefron (biasanya
berlangsung beberapa tahun dan tidak reversible). (Nurarif & Kusuma,
2015).
38
Gagal ginjal kronis yang juga disebut penyakit ginjal kronis (CKD;
Chronic Kidney Disease) adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi
penumpukkan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah. (Muttaqin &
Sari, 2012)
2. Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya
gagal ginjal kronis. Akan tetapi, apapun sebabnya respon yang terjadi
adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Gagal ginjal kronik dapat
disebabkan oleh ginjal itu sendiri dan dari luar ginjal. (Muttaqin & Sari,
2012).
Tabel 2.3
Klasifikasi penyebab Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
Penyakit peradangan Glomerulonephritis
Penyakit vaskuler hipertensif Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan ikat Lupus eritematosus sistemik, Poliarteritis
nodosa
Gangguan Kongenital dan Herediter Penyakit ginjal polikistik, Asidosis tubulus
ginjal
Penyakit metabolic Diabetes melitus, Goat,
Hiperparatiroidisme, Amyloidosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesic, Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas : batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal.
Traktus urinarius bagian bawah : hipertrofi prostat struktur uretra, anomaly congenital,
leher vesika urinaria dan uretra
Sumber : (Nurarif & Kusuma, 2015).
3. Pathogenesis dan Patofisiologis
a. Pathogenesis
Patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai pada fase awal gangguan,
keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat
39
sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit.
Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis
gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang
sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa
meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta
mengalami hipertrofi.
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron
yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-
nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus
kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron
yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat
penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan
parut dan aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan
meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat
menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal
ginjal, dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi protein-protein
plasma. Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin banyak
terbentuk jaringan parut sebagai respons dari kerusakan nefron dan
secara progresif fungsi ginjal menurun drastik dengan manifestasi
penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari
sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan
banyak manifestasi pada setiap organ tubuh.
40
b. Patofisiologis
Gambar 2.1. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
(Sumber : Nurarif & Kusuma, 2015)
41
4. Stadium Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR.
Stadium-stadium gagal ginjal kronik didasarkan pada tingkat GFR yang
tersisa, diantaranya adalah sebagai berikut :
Tabel 2.4. klasifikasi National Kidney Foundation tentang penyakit ginjal kronis.
Stadium Deskripsi Istilah lain yang
digunakan
GFR
(ml/menit/1,73 m3)
1 Kerusakan ginjal
dengan tingkat filtrasi glomerulus (GFR)
normal
Berada pada resiko >90
2 Kerusakan ginjal
dengan penurunan
GFR ringan
Kelainan ginjal kronis
(chronic renal insufficiency
–CRI)
60-89
3 Penurunan GFR
sedang
CRI, gagal ginjal kronis
(chronic renal failure-
CRF)
30-59
4 Penurunan GFR parah CRF 15-29
5 Gagal ginjal Penyakit ginjal stadium
akhir (End-stage renal
disease-ESRD)
<15
(Sumber : Black & Hawks, 2014)
5. Manifestasi Klinis
Menurut perjalanan klinisnya :
1. Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat
menurun hingga 25% dari normal.
2. Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria dan
nokturia, GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar creatinin serum
dan BUN sedikit meningkat diatas normal.
3. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik pasien
merasa lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic
frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma. Ditandai dengan GFR
kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum creatinin dan BUN meningkat
tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejala yang kompleks.
42
Gejala komplikasinya antara lain yaitu hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida) (Nurarif & Kusuma,
2015).
6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
a. Laju Endap Darah meninggi yang diperberat oleh adanya anemia
dan hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah
retikulosit yang rendah.
b. Ureum dan kreatinin meninggi, biasanya perbandingan antara
ureum dan kreatinin kurang lebih 20:1. Perbandingan dapat
meninggi oleh karena perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar
luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih.
Perbandingan ini berkurang dengan ureum lebih kecil dari
kreatinin pada diet rendah protein, dan tes klirens kreatinin yang
menurun.
c. Hiponatremi umumnya terjadi karena kelebihan cairan, sedangkan
Hiperkalemia biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersamaan
dengan menurunnya diuresis.
d. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia dapat terjadi karena
berkurangnya sintesis vitamin D3 pada Gagal Ginjal Kronik.
e. Phosphate alkaline meninggi akibat gangguan metabolisme tulang,
terutama Isoenzim fosfatase lindi tulang.
f. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia umumnya disebabkan
oleh gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
g. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat
pada gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada
jaringan perifer)
43
h. Hipertrigliserida akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
oleh peninggian hormon insulin dan menurunnya lipoprotein
lipase.
i. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH
yang menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2
yang menurun, semuanya disebabkan oleh retensi asam-asam
organik pada gagal ginjal.
2. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya
batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk
keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
3. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada
keadaan tertentu, misalnya : usia lanjut, diabetes melitus, dan nefropati
asam urat.
4. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih dan prostat.
5. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vascular, parenkim, ekskresi), serta sisa fungsi ginjal.
6. EKG untuk melihat kemungkinan : hipertropi ventrikel kiri, tanda-
tanda pericarditis, aritmia, gangguan elektrolit (Hiperkalemia).
7. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik juga dapat memicu munculnya penyakit lainnya.
Komplikasi dari gagal ginjal kronik yang dimaksud diantaranya adalah
sebagai berikut.
1. Hiperkalemia
Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic,
katabolisme, dan masukan diet berlebihan.
44
2. Pericarditis.
Pericarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak kuat.
3. Hipertensi.
Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
reninangiostensin-aldosteron.
4. Anemia.
Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan
kehilangan darah selama hemodialysis.
5. Penyakit tulang.
Penyakit tulang serta klasifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan
peningkatan kadar alumunium.
(Ariani, 2016).
8. Penatalaksanaan
Menurut (Tanto, 2014)
1. Terapi spesifik terhadap penyakitnya.
Waktu yang paling tepat adalah sebelum terjadi penurunan LFG
sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal
yang masih normal secara USG, biopsy dan pemeriksaan hispatologi
dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid.
Perlu pencatatan kecepatan penurunan LFG untuk mengetahui kondisi
komorbid. Faktor komorbid antara lain yaitu gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan kontras atau
peningkatan penyakit dasarnya.
45
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal.
Faktor utama yaitu hiperfiltrasi glomerulus, ada dua cara untuk
menguranginya.
a. Terapi farmakologis.
Pemakaian Obat Anti Hipertensi (OAH) terutama Angiotensin-
converting enzyme inhibitor (ACEI) sebagai obat antihipertensi
dan antiproteinuria.
b. Terapi non farmakologis.
Pembatasan protein yang mulai dilakukan saat LFG ≤ 60 ml/menit.
Protein diberikan hanya 0,6-0,8/kgBB/hari dengan jumlah
pengaturan asupan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari. Pembatasan
Lemak, karbohidrat, garam NaCl, kalsium, besi, magnesium asam
folat Pasien dan pembatasan cairan sesuai dengan balance cairan
klien.
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Meliputi pengendalian DM, hipertensi, dyslipidemia, anemia,
hiperfosfatemia dan terapi kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.
a. Anemia.
Defisiensi eritropoetin, defisiensi besi, kehilangan darah
(perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat hemolysis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh uremic, proses inflamasi akut atau kronik. Evaluasi
anemia dimulai saat Hb ≤ 10% atau Ht ≤ 30%. Meliputi evaluasi
status besi (kadar besi serum/serum iron), kapasitas ikat besi total,
ferritin serum dengan sasaran Hb 11/12 gr/dL.
b. Osteodistrofi renal.
Mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol.
46
c. Hiperfosfatemia.
Pembatasan fosfat (diet rendah fosfat, tinggi kalori, rendah protein
dan rendah garam). Asupan fosfat 600-800 mg/hari.
d. Pemberian kalsitriol.
Kadar fosfat normal, kadar hormon paratiroid (PTH) >2,5x normal.
e. Pembatasan cairan dan elektrolit.
Pembatasan cairan dan elektrolit disesuaikan dengan hasil dari
Balance Cairan klien yang dihitung dengan cara.
Balance Cairan = Intake-Output + IWL (Insensible Water Loss)
f. Terapi pengganti ginjal.
Hemodialysis, peritoneal dialysis / transplantasi ginjal pada gagal
ginjal stadium 3 dengan LFG < 15 ml/menit.
Gambar 2.2.
Contoh lembar observasi intake dan output cairan.
(Sumber : Hegner & Caldwell, 2003).