BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Malpraktik
Istilah malpraktik bisa dibilang sudah tidak asing lagi di telinga
masyarakat Indonesia. Media informasi, baik cetak maupun elektronik, banyak
kali meliput masalah ini. Hal ini akan berdampak buruk terhadap dunia kesehatan
di Indonesia. Para tenaga medis dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas
profesinya dengan hati – hati dan penuh tanggung jawab. Akan tetapi, yang
namanya manusia suatu waktu dapat melakukan kesalahan baik sengaja maupun
tidak sengaja. Hal inilah yang mengarah ke ruang lingkup malpraktik. Dari
berbagai sumber yang penulis baca, malpraktik adalah kelalaian tenaga medis
untuk menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
digunakan dalam mengobati pasien. Kelalaian yang dimaksud adalah sikap kurang
hati – hati, melakukan tindakan kesehatan di bawah standar pelayanan medik.
Kelalaian ini bukanlah suatu pelanggaran hukum jika kelalaian tersebut tidak
sampai membawa kerugian kepada orang lain dan orang tersebut dapat
menerimanya. Akan tetapi jika kelalaian tersebut mengakibatkan kerugian materi,
mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka hal ini biasa dikatakan
malpraktik. Disimpulkan bahwa malpraktik adalah kelalaian dengan kategori
berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar.
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
9
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya
demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan
adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari
seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan. Di dalam
setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma
hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari
sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami
mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum,
sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.
Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar
menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang
dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice
dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice
10
merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice
pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893)1.
Menurut Ari Yunanto,Cs2, menyebutkan istilah malpraktik dengan
malapraktik yang diartikan dengan : “praktik kedokteran yang salah, tidak
tepat,menyalahi undang-undang atau kode etik.” Istilah ini umumnya digunakan
terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan untuk
memberikan pelayanan profesional dan melakukannya pada ukuran tingkat
keterampilan dan kepandaian yang wajar oleh teman sejawat rata-rata dari
profesinya didalam masyarakat, hingga mengakibatkan luka, kehilangan, atau
kerugian pada penerima layanan yang mempercayai mereka, termasuk didalamnya
adalah sikap tindak profesi yang salah,kurang keterampilan yang tidak wajar,
menyalahi kewjiban profesi atau hukum, praktik yang sangat buruk,ilegal,atau
sikap tindak amoral.
Henry Campell black memberikan definisi malpraktik sebagai berikut
Malpractice is professional person such a physician, dentist, vetenarian,
malpractice may be the result of skill or fidelity in the performance of
professional duties, intentionally wrong doing or illegal or unethical practice (
malpraktik adalah kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai dokter, dokter
gigi, dokter hewan. Malpraktik adalah akibat dari sikap tidak peduli, kelalaian
atau kurang keterampilan, kurang hati – hati dalam melaksanakan tugas profesi,
berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum atau pelanggaran etika3.
1 http://dimensilmu.blogspot.com/2012/11/pengertian-malpraktek.html
2 Ari Yunanto,Cs., 2009. Hukum Pidana Malpraktik Medik”.ANDI.Yogyakarta.hal.27
3 Ibid. hal.28
11
Veronika menyatakan bahwa istilah malpraktik berasal dari malpractic
yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul
sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. J.
Guwandi menyebutkan bahwa malpraktik adalah istilah yang mempunyai
konotasi buruk, bersifat stigmatis, menyalahkan4. Praktik buruk dari seseorang
yang memegang suatu profesi dalam arti umum seperti dokter, ahli hukum,
akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan sebagainya . Apabila ditujukan kepada
profesi medik maka akan disebut malpraktik medik.
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan
standar profesi atau standar prosedur operasional. Untuk malpraktek dokter dapat
dikenai hukum kriminal dan hukum sipil. Malpraktek kedokteran kini terdiri dari
4 hal :
(1) Tanggung jawab kriminal;
(2) Malpraktik secara etik;
(3) Tanggung jawab sipil, dan;
(4) Tanggung jawab publik(5).
Malpraktek secara Umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang
kelalaian melibatkan lima elemen :
(1) tugas yang mestinya dikerjakan;
(2) tugas yang dilalaikan;
(3) kerugian yang ditimbulkan;
(4) Penyebabnya, dan;
4 Ibid. Hal. 2 8
12
(5) Antisipasi yang dilakukan.
Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi
sang pemohon perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari
sendiri bukti yang mendukung tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan
oleh pemohon sampai perkara tersebut menjadi sebuah kasus yang prima fasie
dengan bukti–bukti yang cukup dihadirkan di depan pengadilan dan di hadapan
juri yang memungkinkan hakim memberikan putusan secara seksama berdasar
bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang
dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan.
Tertuduh (dokter atau rumah sakit) lalu memberikan bukti–bukti yang
menyanggah tuduhan yang dikenakan kepadanya.
Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap kasusnya
itu tidaklah cukup. Namun, terdapat sanggahan – sanggahan yang dapat diterima
yang dapat membuatnya lepas dari tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk
(1) resiko perawatan yang dilakukan telah diketahui oleh pemohon dan ia
setuju untuk tetap melanjutkan perawatan (resiko diketahui dengan
informed consent / surat tanda persetujuan tindakan);
(2) Pemohon memiliki andil pada terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri
dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau melanggar pantangan –
pantangan yang ada, atau;
(3) Bahwa luka atau kerugian disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan
merupakan dampak dari instruksi yang diberikan dokter. Penegakkan
diagnosis tanpa bantuan pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat
13
membawa kesalahan. Hal ini dianggap sebagai kelalaian dokter dalam
melakukan sesuatu yang mestinya ia lakukan contohnya saat dokter lalai
dalam menjalankan tugas yang akhirnya menyebabkan kerugian pada
pasien.
Hal ini merupakan dasar dan alasan yang penting dalam kaitan terhadap
standar praktik kedokteran yang berlaku. Pengadilan akan memberikan pengertian
terhadap hal tersebut. Kegagalan dalam menggunakan standar dan uji diagnostik
yang tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah praktik kedokteran yang
substandar. Di lain pihak, penggunaan standar dan uji diagnostik yang berlebihan
pada masa mendatang harus diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi lebih lanjut, maka
badan hukum mulai menyelidiki tagihan – tagihan yang diberikan rumah sakit,
dokter dan penyedia layanan kesehatan lain dengan lebih seksama. Penyelidikan
seksama diberikan terhadap prosedur – prosedur yang tidak dapat dibenarkan
secara medis, namun dikerjakan secara hati – hati baik sehingga dapat
membedakan hal tersebut dari tindakan yang melecehkan tanggung jawab
medikolegal. Tagihan yang tidak lazim, pembayaran tagihan yang berlebihan dan
persetujuan dokter – pasien yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi
diusulkannya peraturan – peraturan yang lebih baik di masa depan. Nampaknya
kelanjutan praktik kedokteran yang bersifat defensif akan segera menjadi bahan
perdebatan dan diskusi yang menarik serta dapat dilakukan koreksi terhadap hal
tersebut.
Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu (a)
duty, (b) adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), (c)
14
penyimpangan akan mengakibatkan kerusakan (direct caution), (d) sang dokter
akan menyebabkan kerusakan (damage).
Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah
kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap
sebagai tindakan kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman.
Hal ini dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum.
Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis,
penggunaan ilegal obat – obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter,
perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit
secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien yang
tidak sadar karena efek obat anestesi.Peraturan hukum mengenai tindak kriminal
memang tidak memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat
lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap
mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat dipercaya dan
keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien maka
hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari
tindak malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak
kriminal pembunuhan.
Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal
ini menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis
yang sesuai dan tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang
telah dilaluinya serta tidak boleh membuat keputusan yang tidak bertanggung
jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Dokter juga tidak boleh melakukan
15
tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak boleh
mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli
terhadap kesehatan pasien.
Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya
melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter
yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik,
(appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu
dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam
masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana
kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas.
Civil Malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena
pengobatannya dapat mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam
waktu yang sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat
menuntut secara pidana, tetapi pasien atau keluarganya dapat menggugat dokter
secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Tanggung jawab
dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak mampu
membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien luka atau
meningggal akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak benar
dan berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau
keluarganya dapat menggugat perdata.
Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau
korporasi. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas
16
kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa
tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.
Malpraktik secara Etik, Kombinasi antara interaksi profesional dan
aktivitas tenaga pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota
komunitas profesional lain dan menjadi perhatian penting dalam lingkup etika
medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait dengan profesi yang dijalaninya
itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada terjadinya inklusi
atau eksklusi orang – orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian dalam
menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak memiliki
dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini akan
mempengaruhi keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal
tersebut dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian
baik kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar
etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan mengabaikan
standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan komite disiplin dari
profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk pelarangan tindakan praktik
untuk sementara dan pada kasus yang tertentu dapat dilakukan tindakan
pencabutan izin praktek.
Malpraktik medik menurut Safitri Hariani yang mengutip dari pendapat
Vorstman dan Hector Treub dan juga atas rumusan komisi annsprakelijkheid dari
KNMG (IDI-nya Belanda), adalah :”Seorang dokter melakukan kesalahan profesi
jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnosis, tidak melakukan
sesuatu , atau tidak membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada
17
umumnya dan dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan
dan diagnosis serta melakukan atau membiarkan suatu tersebut.
2.2 Kategori Malpraktek
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3
kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil
malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal
malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana
yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan
perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).
c. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya
melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan
(pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263
KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
d. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
18
e. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang
hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang
lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice
apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya
sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang
dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau
korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius
liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga
19
kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Seorang dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala tenaga dokter tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu
diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya
tentang persyaratan bagi seorang dokter untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin
Kerja, Surat Ijin Praktek). Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga
kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi5.
2.3 Pola Dasar Hubungan antara Dokter dan Pasien
Mulyohadi Ali menybutkan bahwa pasien ( klien pelayanan medik )
adalah orang yang memerlukan pertolongan dokter karena penyakitnya, dan
dokter adalah orang yang dimintai pertolongan karena kemampuan profesinya
dianggap mampu mengobati penyakit. Hubungan terjadi ketika dokter bersedia
menerima klien itu sebagai pasien6.
Ketika hubungan dokter–pasien itu disertai dengan permintaan dokter
untuk mendapatkan imbalan jasa dari klien ( pasien ) dan klien ( pasien ) bersedia
memenuhinya maka terjadilah hubungan yang disebut sebagai hubungan
kontraktual. Dalam hubungan kontraktual terdapat kewajiban dan hak dari kedua
5 <http://astaqauliyah.com/2006/12/etika-kedokteran-indonesia-dan-penanganan-
pelanggaran-etika-di-indonesia/>. (28 November 2013) 6 Bahder Johan Nasution, 2005.Hukum Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.hal.28
20
belah pihak yang harus dihormati, serta tanggung jawab jika ada yang tidak
memenuhi kesepakatan tersebut. Karena sifat hubungan yang tidak seimbang
tersebut maka faktor kepercayaan memegang peran penting.
Hubungan dokter–pasien umumnya tidak setara. Ada kesenjangan diantara
keduanya dalam berbagai aspek. Biasanya pasien berada di pihak yang lemah,
yang oleh karena itu ia perlu mendapat perlindungan. Karena posisinya sebagai
pihak yang lebih kuat dalam berbagai hal, dokter perlu diberi kode etik sehingga
tidak tergoda untuk melakukan tindakan yang merugikan pasien dan
menguntungkan diri sendiri. Perlindungan bagi pasien dan rambu – rambu untuk
dokter dibina antara lain oleh :
1. Hati nurani dan moral;
2. Etika medis;
3. Disiplin profesi;
4. Hukum.
Moral dan etika medis adalah rambu – rambu paling tua untuk menjaga
hubungan antara dokter dan pasien dalam berbagai dimensi di atas, agar
berlangung dalam batas–batas yang dianggap wajar dan baik. Hukum sebagai
rambu – rambu, menyusul jauh kemudian.
Sebenarnya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan
keadaan sosial budaya dan penyakit pasien, menurut Szas dan hollender ( 1956 ),
dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Activity – Passivity
21
Pola hubungan ini terjadi pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam,
atau sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat,. Pola terapi terjadi
dalam keadaan pasien tidak berdaya.
2. Guidance – Cooperation
Hubungan membimbing kerja sama, seperti halnya hubungan
antara orang tua dengan remaja. Pola ini terjadi bila keadaan penyakit
pasien tidak terlalu berat, misalnya penyakit infeksi baru atau penykit akut
lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta
kemauan sendiri. Ia berusaha mencari pertolongan pengobatan dan
bersedia bekerja sama. Walaupun dokter mengetahui lebih banyak, ia tidak
mata – mata menjalankan wewenangnya, namun mengharapkan kerja
sama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat dan anjuran
dokter.
3. Mutual Participation
Filosofi dasar dari pola pendekatan ini adalah berdasarkan
pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak yang sama.
Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatan dengan
melakukan medical chek up atau pada pasien yang menderita penyakit
kroni seperti hipertensi atau diabetes melitus. Pasien secara sadar dan aktif
berperan dalam pengobatan terhadap dirinya sendiri.
2. 4 Profesi dan Dasar – Dasar Moral Etika Kedokteran
Menurut Daldiyono yang disebut profesi adalah suatu bidang atau
jenis pekerjaan yang memerlukan pendidikan khusus. Tidak semua jenis
22
pekerjaan dapat disebut profesi. Saat ini sering terjadi kerancuan atau salah
kaprah, bahwa semua jenie pekerjaan disebut profesi. Padahal suatu profesi
memiliki berbagai ciri spisifik, yaitu ;
1. Ada bidang ilmu tertentu yang jelas dan tegas yang dipelajari,
misalnya profesi kedokteran yang melaksanakan ilmu kedokteran;
2. Ada sejarahnya dan dapat diketahui pendahulu atau pionirnya;
3. Adanya suatu ikatan profesi yang bersifat independen dan berhak
mengatur anggotanya;
4. Bersifat melayani dengan mementingkan yang dilayani ( altruism )
yang diatur dalam kode etik.
Kata moral dan etika secara etimologi berasal dari kata yang sama
namun dari dua bahasa yang berbeda. Moral berasal dari kata latin moralis,
mos, moris yang berarti adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan.
Mores berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup. Etika
berasal dari kata Yunani ethikos, ethos yang juga berarti adat, kebiasaan,
praktik. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kedua kata itu mendapat
arti yang berbeda, sekalipun masih tetap terkait erat. Kedua – duanya terkait
dengan sistem nilai, sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia. Kedua
istilah itu menyiratkan hubungan antara hati nurani dan penilaian ( judgement
) dengan kegiatan praktis seseorang.
Asas etik merupakan kepercayaan atau aturan umum yang mendasar
yang dikembangkan dari sistem etik. Dari dasar etik tersebut disusun kode
etik profesi, termasuk dalam hal ini profesi kedokteran, yang meskipun
23
terdapat perbedaan aliran dan pandangan hidup serta adanya perubahan tata
nilai kehidupan masyarakat cara global, tetapi dasar etika profesi kedokteran
yang diturunkan sejak zaman Hippocrates : “ Kesehatan penderita senantiasa
akan saya utamakan “ tetap merupakan asas yang tidak pernah berubah, dan
merupakan rangkaian kata yang mempersatukan para dokter di dunia.
Dasar tersebut dapat dijabarkan menjadi 6 asas etik yang bersifat
universal, yang juga tidak akan berubah dalam etik profesi kedokteran yaitu :
1. Asas menghormati otonomi pasien ( principle of respect to the
pateint’s autonomy )
Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh dokter serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya
sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup.
Pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak
boleh dipaksa. Untuk itu maka perlu adanya informed consent.
2. Asas kejujuran ( principle of veracity )
Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara
jujur, serta akibat / resiko yang dapat terjadi. Informasi yang diberikan
hendaknya disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien. Selain jujur
kepada pasien, dokter juga harus jujur kepada diri sendiri.
3. Asas tidak merugikan ( principle of non – maleficence )
Dokter yang berpedoman primum non nocere ( first of all do no
harm), tidak melakukan tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan
tindakan yang tidak merugikan pasien, serta mengupayakan resiko fisik,
24
resiko psikologi, marupakan resiko sosial akibat tindakan tersebut
seminimal mungkin.
4. Asas manfaat ( principle of beneficence )
Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus
bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau
memperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana
perawatan/tindakan yang berlandaskan pada pengetahuan yang sahih
dan dapat berlaku secara umum. Kesejahteraan pasien perlu mendapat
perhatian yang utama. Resiko yang mungkin timbul dikurangi sampai
seminimal mungkin. Sementara manfaatnya harus semakimal mungkin
bagi pasien.
5. Asas kerahasiaan ( principle of confidentiality )
Dokter harus menghormati kerahasiaan pasein, meskipun pasien
tersebut setelah meninggal dunia.
6. Asas keadilan ( principle of justice )
Dokter harus berlaku adil, tidak memandang kedudukan atau
kepangkatan, tidak memandang kekayaan, dan tidak berat sebelah
dalam merawat pasien.
Dari asas etik tersebut kemudian disusun peraturan kode etik
kedokteran yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil
keputusan etik dalam melakukan tugas profesinya sebagai seorang
dokter.
25
2. 5 Hak dan Kewajiban Dokter – Pasien
2. 5.1 Hak Pasien
Dahulu hubungan antara dokter dan pasien bersifat
paternalitik, dimana pasien lalu mengikuti apa yang dilakukan dokter
tanpa bertanya apapun. Sekarang dokter adalah partner pasien dan
keduanya memiliki kedudukan yang sama secara hukum. Cara umum
pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi dan perawatan yang
bermutu7.
Pasal 52 dan pasal 53 Undang – undang No. 29 Tahun 2004
tentang praktik kedokteran mengatur tentang hak dan kewajiban pasien
dalam hubungannya dengan kontrak terapeutik, dimana pasien
mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Pada Pasal 52, tentang hak
pasien, disebutkan bahwa dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, pasien mempunyai hak :
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentanng tindakan medik
sebagaimana di maksud dalam pasal 45 ayat (3) ;
2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain ;
3. Mendapatkan pelayanann sesuai dengan kebutuhan medik ;
4. Menolak tindakan medik ;
5. Mendapatkan isi rekap medik ;
Dalmy Iskandar menyebutkan rincian hak pasien yang antara
lain adalah sebagai berikut :
7 Ta’adi, 2012. Hukum Kesehatan “Sanksi & Motivasi Bagi Perawat”.EGC.Yogyakarta.hal.23
26
1. Hak memperoleh pelayanan kesehatan yang manusiawi sesuai
standar profesi ;
2. Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari
dokter yang bertanggung jawab terhadap perawatannya ;
3. Menolak keikutsertaan dalam penlitian kedoktran ;
4. Kerahasiaan atas catatan medisnya ;
5. Hak untuk dirujuk kalau diperlukan ;
6. Hak memproleh penjelasan tentang penlitian kliniknya ;
7. Hak memproleh perawatan lanjutan dengan informasi tentang
nama/alamat dokter selanjutnya ;
8. Hak berhubungan dengan keluarga, rohaniwan, dan sebagainya ;
9. Hak mendapatkan penjelasan tentang perincian rekening
( perawatan, obat, pemriksaan laboratorium, rontgen, USG, biaya
kamar bedah, imbalan jasa, dan sebagainya ) ;
10. Hak memperoleh penjelasan tentanng peraturan – peraturan rumah
sakit ;
11. Hak menarik diri dari kontrak terapeutik.
2.5.2 Kewajiban Pasien
Mengenai kewajiban pasien, undang – Undang No. 29 Tahun
2004 Tentang praktik kedokteran. Kedokteran pasal 53 menyebutkan
bahwa pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran
mempunyai kewajiban sebagai berikut:
27
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannnya ;
2. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi lain ;
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan, dan;
4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.
Dalmy Iskandar menyebutkan rincian kewajiban pasien sebagai berikut :
1. Memberikan informasi yang benar, berupa keterangan mengenai
keluhan utama, keluhan tambahan, riwayat penyakit. Pada saat
dilakukan pemeriksaan fisik, jika ada keluhan, pasien harus
menyampaikannya agar dokter dapat lebih tepat dalam
menegakkan diagnosisnya ;
2. Mematuhi petunjuk atau nasehat dokter dalam proses
penyembuhan ataupun dalam upaya penegakkan diagnosis ;
3. Menghormati kerahasiaan diri dan kewajiban tenaga kesehatan
untuk mnyimpan rahasia kedokteran serta kesendiriannya
(privacy);
4. Memberikan imbalan terhadap jasa–jasa profesional yang telah
diberikan oleh tenaga kesehatan ;
5. Memberikan ganti rugi apabila tindakan – tindakan pasien
merugikan tenaga kesehatan ;
6. Berterus terang apabila timbul masalah ( dalam hubungan tenaga
kesehatan dan rumah sakit, baik yang langsung maupun tidak
langsung ) .
28
2. 5. 3. Hak dan Kewajiban Dokter
2. 5. 3.1 Hak Dokter
Pasal 50 Undang – Undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran menyebutkan hak dokter dalam menjalankan tugas profesinya
yaitu ;
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melakasanakan
tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
oprasional. Dalam hal ini dokter yang melakukan praktik
sesuai dengan standar tidak dapat disalahkan dan
bertanggung jawab secara hukum atas kerugian atau cidera
yang diderita pasien karena kerugian dan cidera tersebut
bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian dokter. Perlu
diketahui bahwa kerugian atau cidera yang dialami pasien
dapat saja terjadi karena perjalanan penyakitnya sendiri atau
resiko medis yang dapat diterima dan telah disetujui pasien
dalam informed concent.
2. Melakukan praktik kedokteran sesuai standar profesi dan
standar prosedur oprasional. Dokter diberi hak untuk
menolak permintaan pasien atau keluarganya yang
dianggapnya melanggar standar profesi atau standar prosedur
oprasional.
3. Memproleh informasi yang jujur dan lengkap dari pasien atau
keluarganya. Dokter tidak hanya memerlukan informasi
29
kesehatan dari pasien, melainkan juga informasi pendukung
yang berkaitan dengan identitas pasien dan faktor – faktor
kontribusi yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit
dan penyembuhan penyakit.
4. Menerima imbalan jasa. Hak atas imbalan jasa adalah hak
yang timbul sebagai akibat hubungan dokter dengan pasien,
yang pemenuhannya merupakan kewajiban pasien. Dalam
keadaan darurat atau dalam kondisi tertentu, pasien tetap
dapat dilayani dokter tanpa mempertimbangkan aspek
financial8.
Dokter memiliki hak yang berasal dari hak asasi manusia seperti :
1. Hak atas privasinya;
2. Hak untuk diperlakukan secara layak;
3. Hak untuk beristirahat;
4. Hak untuk secara bebas memilih pekerjaan;
5. Hak untuk terbebas dari intervensi, ancaman dan kekerasan, dan
lain – lain waktu menolong pasien;
2. 5. 3.2. Kewajiban Dokter
Pasal 51 tentang kewajiban dokter dalam undang – undang
yang sama menyebutkan bahwa dokter dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai kewajiban untuk :
8 Bahder J. Nasution. 2005. Hukum Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Hal.31
30
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar oprasional;
2. Merujuk ke dokter yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan setelah pasien itu meninggal dunia;
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya;
5. Menambah ilmu pengtahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran.
Kewajiban dokter terhadap pasien menurut Leenen meliputi
beberapa hal, antara lain :
1. Kewajiban yang timbul dari sifat pelayanan medis, dimana
dokter harus bertindak sesuai dengan standar profesi medis atau
menjalankan praktik kedokterannya secara lege artis;
2. Kewajiban untuk menghormati hak – hak pasien yang bersumber
dari hak asasi dalam bidang kesehatan;
3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan.
31
2.6 Tinjauan Tentang Resiko Medik
Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada resiko yang harus
dihadapi. Satu – satunya jalan untuk menghindari resiko adalah dengan tidak
berbuat sama sekali. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya resiko yang
tidak diharapkan, seorang profesional harus selalu berfikir cermat dan
bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi resiko yang mungkin terjadi.
Perbuatan malpraktik medik akan berdampak luas secara yuridis, baik dalam
hukum pidana, perdata dan hukum administras9.
Untuk hasil yang tidak diharapkan terjadi didalam praktik kedokteran
sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit yang tidak
ada hubungannya dengan tindakan medik yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu resiko yang tidak dapat dihindari, yaitu :
a. Resiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya. Resiko seperti ini
dimungkinkan didalam ilmu kedoktran oleh karena sifat ilmu yang
empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat berfariasi serta rentan
terhadap pengaruh eksternal. Sebagai contoh adalah syok anafilaktik.
b. Resiko yang telah diketahui sebelumnya tetapi dianggap dapat
diterima, dan telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui
oleh pasien untuk dilakukan, yaitu :
1. Resiko yang sederajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil,
dapat diantisipasi, diperhitungkan, atau dapat dikendalikan,
9 Ari Yunanto, 2009. Hukum Pidana Malpraktik Medik. Andi. Yogyakarta. Hal.42
32
misalnya efek samping obat, pendarahan, dan infeksi pada
pembedahan,dan lain-lain.
2. Resiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada
keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medik yang beresiko
tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang
harus ditempuh, terutama dalam keadaan gawat darurat.
World medical association statement on medical malpractice, yang
diadaptasi dari world medical assmbly marbela – Spain, September 1992, yang
dikutip oleh Herkutanto, menyebutkan bahwa resiko medik atau yang lajim
dibuat sebagai untoward result adalah “suatu kejadian luka / resiko yang
terjadi bagi akibat dari tindakan medik yang oleh karena suatu hal yang tidak
dapat diperkirakan sebelumnya dan bukan akibat dari ketidakmampuan atau
ketidaktahuan, untuk hal ini secara hukum dokter tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya. Tiap tindakan medik lalu mengandung resiko, sekecil
apapun tindakannya tetap saja dapat menimbulakan resiko yang baru, sehingga
pasien menderita kerugian / cilaka. Dalam hal terjadi resiko, baik yang dapat
diprediksi maupun yang tidak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya.
Dalam ilmu hukum terdapat adagium volontie non fit injura atau
asumpsion of risk. Maksud adagium tersebut adalah apabila seseorang
menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya yang sudah ia ketahui, maka ia
tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pada orang lain apabila resiko itu
benar-benar terjadi. Tidak dapat menuntut pertanggungjawaban seseorang
33
karena resiko terjadi bukan karena kasalahan baik sengaja maupun kelalaian.
Apabila resiko muncul pada saat palayanan medis, maka pasien tidak dapat
menuntut pertanggungjawaban pidana pada seorang tenaga medik.