BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bahwa Lalu Lintas dan...

25
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lalu Lintas dan Angkuan Jalan `Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 4 Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya, yang mana pengertian lalu lintas itu sendiri di atur di dalam UU lalu lintas dan angkutan jalan khusunya Pasal 1 ayat (1). Untuk lalu lintas itu sendiri terbagi atas Laut, darat dan udara. Lalu lintas sendiri merupakan suatu sarana transportasi yang di lalui bermacam-macam jenis kendaraan, baik itu kendaraan bermesin roda dua atau beroda empat pada umumnya dan kendaraan yang tidak bermesin contohnya sepeda, becak dan lain-lain. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah merupakan suatu dasar hukum terhadap 4 Undang-undang No.22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bab I, Pasal I.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bahwa Lalu Lintas dan...

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lalu Lintas dan Angkuan Jalan

`Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan.4 Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan

sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan,

Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya, yang mana pengertian lalu

lintas itu sendiri di atur di dalam UU lalu lintas dan angkutan jalan khusunya

Pasal 1 ayat (1). Untuk lalu lintas itu sendiri terbagi atas Laut, darat dan

udara. Lalu lintas sendiri merupakan suatu sarana transportasi yang di lalui

bermacam-macam jenis kendaraan, baik itu kendaraan bermesin roda dua

atau beroda empat pada umumnya dan kendaraan yang tidak bermesin contohnya

sepeda, becak dan lain-lain.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi

nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan

keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan

Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan

pengembangan wilayah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan adalah merupakan suatu dasar hukum terhadap

4 Undang-undang No.22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bab I, Pasal I.

7

pemberlakuan Kegiatan lalu lintas ini, dimana makin lama makin berkembang

dan meningkat sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang

terus meningkat. Kalau ditinjau lebih lanjut tingkah laku lalu lintas ini

ternyata merupakan suatu hasil kerja gabungan antara manusia, kendaraan

dan jaringan jalan.

Lalu Lintas adalah gerak kendraan dan orang diruang lalu lintas jalan.5

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan :

1) Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan angkutan jalan yang aman,

selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk

mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum,

memperkukuh persatuan dan kesatuan bangasa, serta mampu menjunjung

tinggi martabat bangsa.

2) Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa.

3) Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Lalu lintas adalah pergerakkan kendaraan, orang dan hewan di jalan.

Pergerakkan tersebut dikendalikan oleh seseorang menggunakan akal sehat. Orang

yang kurang akal sehatnya mengemudikan kenderaan dijalan, akan

mengakibatkan bahaya bagi pemakai jalan yang lain. Demikian juga hewan

dijalan tanpa dikendalikan oleh seseorang yang sehat akalnya akan

membahayakan pemakai jalan yang lain.6

5 Direktorat Lalu Lintas Polri, Ditlantas Polri, Paduan Praktis Berlalu Lintas,2009 Hlm.126 Adib Bahari, Tanya Jawab Aturan Wajib Berlalu Lintas, Pustaka Yustisia,Jakarta,2010,Hlm.28

8

2.2. Tata cara berlalu lintas antara lain :7

2.2.1. Ketertiban dan keselamatan

a.Setiap orang yang menggunakan jalan wajib :

1) Berprilaku tertib dan / atau

2) Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan

keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat

menimbulkan kerusakan jalan.

b. Setiap pengemudi kendraan bermotor dijalan wajib mematuhi ketentuan:

1) Rambu–rambu Lalu Lintas

2) Marka jalan

3) Alat Pemberi Isyarat

4) Gerakan Lalu Lintas

5) Berhenti dan Parkir

6) Peringatan dengan bunyi dan sinar.

7) Kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau

8) Tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendraan lain.

c. Pada saat diadakan pemeriksaan kendraan bermotor dijalan penegemudi

kendaraan bermotor wajib menunujukkan :

1) STNK atau STCK

2) SIM

3) Bukti lulus uji berkala;dan/atau

7 Direktorat Lalu Lintas Polri,Op.Cit,Hlm.3

9

4) Tanda bukti lain yang sah

d. Setiap pengemudi kendraan bermotor roda empat atau lebih dijalan dan

penumpang yang duduk disampingnya wajib mengenakan sabuk

keselamatan.

e. Setiap pengemudi kendraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak

dilengkapi dengan rumah–rumah dijalan dan penumpang yang duduk

disampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan

sabuk Keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar

Nasional Indonesia.

f. Setiap orang yang mengendarai dan penumpang sepeda motor wajib

menegenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.

g. Pengendara sepeda motor tanpa kereta samping dilarang membawa

penumpang lebih dari 1 (satu) Orang.

Hal yang berhubungan dengan keselamatan pada malam hari tentu diatur

dengan penjelasan pasal terhadap Penggunaan Lampu

1. Pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama

kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada

kondisi tertentu.

2. Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud diatas wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.

Sebagai penunjang dalam berlalu lintas adalah Jalur atau Lajur

a) Dalam berlalu lintas Pengguna jalan harus menggunakan jalur jalan

sebelah kiri

10

b) Pengguna jalan selain jalur sebelah kiri hanya dapat dilakukan apabila:

1) Pengemudi bermaksud akan melewati kendaraan didepannya; atau

2) Diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

untuk digunakan sementara sebagai jalur kiri.

c) Sepeda motor, kendaraan bermotor yang kecepatannya lebih rendah,

mobil barang, dan kendaraan tidak bermotor berada pada lajur kiri

jalan.

d) Jalur kanan hanya diperuntungkkan bagi kendaraan kecepatan lebih

tinggi,akan membelok, mengubah arah, atau mendahului kendaraan

lain.

Berkendaraan tentunya harus patuh pada tata cara melewati berdasarkan

amanat Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

Angkutan Jalan, antara lain:

a) Pengemudi kendaraan bermotor yang akan melewati kendaraan lain harus

menggunakan lajur atau jalur sebelah kanan dan kendaraan yang akan

dilewati, mempunyai jarang pandang yang bebas dan tersedia ruang yang

cukup bagi kendaraan yang akan dilewati.

b) Dalam keadaan tertentu, pengemudi dapat menggunakan lajur jalan

sebelah kiri dengan tetap memperthatikan keamanan dan keselamatan Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

Tentunya pengaturan-pengaturannya terutama mengenai berlalu lintas

berpapasan, antara lain :

11

1. Pengemudi yang berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan

pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas wajib memberikan

ruang gerak yang cukup di sebelah kanan kendaraan.

2. Pengemudi sebagaimana dimaksud jika terhalang oleh suatu rintangan

atau pengguna jalan lain di depannya wajib mendahulukan kendaraan

yang datang dari arah berlawanan.

3. Apabila kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan

menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, pengemdui

sebagaimana dimaksud dilarang melewati kendaraan tersebut.

Begitu pula proses dengan tanjakan dan turunan adalah Pada saat

jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bagi

kendaraan untuk saling berpapasan, pengemudi kendaraan yang arahnya

menurun wajib memberikan kesempatan jalan kepada kendaraan yang

mendaki.

Dalam hal belokan dan turunan tentunya didasarkan pada aturan yang

berlaku:

1. Pengemudi kendaraan yang akan berbelok atau balik arah wajib

mengamati situasi lalu lintas di depan, disamping dan dibelakang

kendaraan serta memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau

isyarat tangan.

2. Pengemudi kendaraan yang akan berpindah jalur atau bergerak

kesamping wajib mengamati situasi lalu lintas di depan, disamping dan

dibelakang kendaraan serta memberikan isyarat.

12

3. Pada persimpangan jalan yang dilengkapi alat pemberi isyarat lalu lintas,

pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali

ditentukan lain oleh rambu lalu lintas atau alat pemberi isyarat lalu

lintas.

Berlalu lintas tentunya ada persimpangan sebidang yang merupakan suatu

isyarat dalam berlalu lintas, antara lain :

1. Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan alat pemberi

isyarat lalu lintas, pengemudi wajib memberikan hak utama kepada :

a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan /atau dari arah cabang

persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan rambu lalu

lintas atau marka jalan;

b. Kendaraan dari jalan utama jika pengemudi tersebut datang dari

cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari perkarangan yang

berbatasan dengan jalan;

c. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan 4 (empat) atau

lebih dan sama besar;

d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri persimpangan 3

(tiga) yang tidak tegak lurus; atau

e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus

pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus.

2. Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali lalu lintas yang

berbentuk bundaran, pengemudi harus memberikan hak utama kepada

kendaraan lain yang datang dari arah kanan.

13

Sebagai pembanding adalah perlintasan kereta api, dimana pada

perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengemudi

kendaraan wajib

1. Berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah

mulai ditutup , dan / atau ada isyarat lain ;

2. Mendahulukan kereta api; dan

3. Memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu

melintasi rel.

Suatu fasilitas baik kecepatan harus diatur dengan Undang-Undang,

antara lain pengemudi kendaraan bermotor dijalan dilarang :

1. Mengemudikan kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang di

tetapkan secara nasional dan ditentukan bedasarkan kawasan pemukiman,

perkotaan, jalan antar kota dan jalan bebas hambatan dan dinyatakan

dengan rambu lalu lintas.

2. Berbalapan dengan kendaraan bermotor lain.

3. Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan

dengan batas absolut.

Pengaturan terhadap memperlambat kendaraan yang harus

dipelajari oleh para pengendara kendaraan, antara Lain :

1. Pengemudi harus memperhatikan kendaraan sesuai dengan rambu lalu

lintas.

2. Pengemudi harus memperlambat kendaraan jika :

14

a. Akan melewati kendaraan bermotor umum yang sedang menurunkan

dan menaikkan penumpang;

b. Akan melewati kendaraan tidak bermotor yang ditarik oleh hewan-

hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring;

c. Cuaca hujan dan / atau genangan air;

d. Memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum dinyatakan dengan

rambu lalu lintas;

e. Mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kereta dan / atau

f. Melihat dan mengetahui ada pejalan kaki yang akan menyeberang.

Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus

mengamati situasi lalu lintas di samping dan di belakan kendaraan dengan

cara yang tidak membahayakan kendaraan lain. Selain kendaraan bermotor

umum dalam trayek, setiap kendaraan bermotor dapat berhenti disetiap jalan,

kecuali :

1. Terdapat rambu larangan berhenti yang bergaris utuh;

2. Pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan,

keselamatanserta menggangu ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan

angkutan jalan; dan / atau

3. Jalan Tol.

Parkir merupakan sarana umum untuk dilakukan suatu aktifitas

dalam menghubungkan antara suatu wilayah ke wilayah yang lain sehingga

cakupan terhadap parker tersebut, antara lain :

15

a) Parkir kendaraan di jalan dilakukan secara sejajar atau serong menurut

arah lalu lintas ;

b) Setiap pengemudi kendaraan bermotor wajib memasang segitiga

pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat

berhenti atau parker dalam keadaan darurat, ketentuan tidak berlaku

pengemudi motor tanpa kereta samping.

2.2.2. Tata cara berlalu lintas bagi pengemudi kendaraan bermotor

umum

Sesuai Pasal 106 ayat (4) huruf a dan e Berbunyi “Setiap orang yang

mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi

ketentuan:

a.rambu perintah atau rambu larangan;

b. Marka Jalan;

c. alat pemberi isyarat lalu lintas;

d. gerakan lalu lintas;

e. berhenti dan Parkir;

f. peringatan dengan bunyi dan sinar;

g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau

h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain.

Berlalu lintas sebagai suatu wujud pengaturan bagi pengendara

kendaraan, maka harus mentaati aturan Undang-Undang tentang berlalu

lintas dengan memperhatikan Pasal-Pasal, antara lain :

16

Pasal 169 ”Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib

mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi

Kendaraan, dan kelas jalan.

Pasal 281 “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan

yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat)

bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)”.

Pasal 287 “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di Jalan

yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu

Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau

Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak

Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)”.

Pasal 307 “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan bermotor angkutan

umum barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan,

daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat

(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda

paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)”.

2.2.3. Larangan bagi kendaraan bermotor umum

Pengemudi kendaraan bermotor umum angkutan orang dilarang:8

1). Memberhentikan kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan

8 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal 126

17

2). Menegetem selain di tempat yang telah ditentukan;

3). Menurunkan penumpang selain ditempat pemberhentian dan / atau

ditempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak ; dan/atau

4). Melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam ijin trayek.

Dengan berdasarkan Undang–Undang ini maka berlaku pula untuk

membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas Angkutan Jalan yang aman, selamat,

tertib, dan lancar melalui :

a. Kegiatan gerak pindah kendraan, orang, dan/atau barang dijalan.

b. Kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas

pendukung lalu lintas dan angkutan jalan; dan

c. Kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi kendraan

bermotor dan pengemudi pendidikan berlalu lintas, manajemen dan

rekayasa lalu lintas, serta penegakan hukum lalu lintas dan angkutan

jalan.

Lalu lintas dan angkutan jalan yang mempunyai karakteristik dari

keunggulan tersendiri perlu dikembangkan dan dimanfaatkan sehingga mampu

menjangkau seluruh wilayah pelosok daratan dengan mobilitas tinggi dan mampu

memadukan modal transportasi lain.

Pengembangan lalu lintas dan angkutan jalan yang ditata dalam satu

kesatuan sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan

unsur–unsurnya yang terdiri dari jaringan transportasi jalan, kenderaan beserta

pengemudinya, serta peraturan–peraturan, prosedur dan metode sedemikian rupa

18

sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdaya guna dan berhasil guna.

Untuk mencapai daya guna dan hasil guna nasional yang optimal,

Berdasarkan penjelasan panduan praktis berlalu lintas9 Bahwa manusia

memegang peranan penting dalam hal terjadinya kecelakaan lalu lintas ini dilihat

banyaknya kecelakaan yang terjadi bersumber dari manusia itu sendiri. Ini

merupaan bentuk kebiasaan dan tingkah laku manusia dalam mengemudikan

kendaraan di jalan raya, yang tidak mengindahkan peraturan lalu lintas yang telah

di berlakukan.

2.3. Pengertian Kendaraan Bermotor

Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang di gerakkan oleh peralatan

teknik untuk pengereakkannya, dan digunakan untuk transportasi darat.

Kendaraan adalah suatu yang digunakan untuk untuk di kendarai atau dinaiki

seperti kuda,kereta,mobil dan lain-lain.10

Bermotor adalah alat untuk mengadakan kekuatan penggerak dengan jalan

dan sebagainya seperti sepeda motor dijalankan dengan mesin atau mobil dan

sebagainya.11

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 kendaraan adalah Suatu sarana

angkut dijalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan kendaraan tidak

bermotor.

9Direktorat Lalu Lintas Polri,Op.Cit.Hlm.310 Hoetomo, Kamus LengkapBahasa Idonesia,Penerbit Mitra Belajar, Surabaya, 2005, Hlm.25411 Ibid.,

19

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Kendaraan Bermotor12 adalah

Setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain

kendaraan yang berjalan diatas rel.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 bahwa kendaraan Bermotor Umum adalah

Setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan

dipungut bayaran.13

2.4. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas

Sedangkan menurut Djajoesman menyatakan bahwa kecelakaan adalah14

kejadian yang tidak disengaja atau tidak disangka-sangka dengan akibat kematian,

luka-luka atau kerusakan benda-benda.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan Pasal 1 mengatakan Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu

peristiwa jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan

dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia/atau

kerugian harta benda.

Kecelakaan Lalu lintas merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan

yang melibatkan paling sedikit satu kendaraan bermotor pada suatu ruas jalan dan

mengakibatkan kerugian materil dan bahkan sampai menelan korban jiwa.15

12 Undang-Undang Lalu Lintas No.22 Tahun 2009,Bab I,Pasal I.13Ibid.,14 Umbang.blogspot.com/2012/06/Pengertian-Lalu-lintas.html. Di Akses Pada Tanggal 20/8/2012

20

2.5. Pengertian Perbuatan Pidana

Menurut Moeljatno bahwa Perbuatan Pidana adalah16 perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi siapa, asal dikatakan bahwa perbuatan yang dikatakan

bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum yang

dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan

ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaa atau kejadian yang ditimbulkan

oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya di tujukan kepada orang yang

menimbulkan kejadian itu.

Dalam hukum pidana, kedudukan sifat melawan hukum sangat khas.

Umumnya telah terjadi kesepahaman di kalangan para ahli dalam sifat melihat

melawan hukum apabila dihubungkan dengan tindak pidana. Bersifat melawan

hukum apabila dihubungkan dengan pidana.

Menurut Roeslan menyatakan, memidana sesuatu yang tidak bersifat

melawan hukum tidak ada artinya, sementara itu, Andi Zainal Abidin mengatakan,

salah satu unsur ensensial delik ialah sifat melawan hukum (wederrechtelikheid)

dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam hukum suatu pasal Undang-undang

Pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan

dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya tersebut harus

15https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:6p1xsu1n4x4J:digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-13841-3105100017-Presentation. pdf+&hl=id &pid=bl&srcid =ADGEESixMmDQGT921jZyfS5IEVAdTWJdA906tqpL3Eeo5i0BMXgmsIkhu64LVDg59lcV7nlvxINvmBerA64CdI_zqKHpThxYsy_X8wptcn5XUkZeH8zaIJVHhQeJM91QOklBU628HEg9&sig=AHIEtbRrkHwDtSFlkHr01odsswrsnHVcEg di Akses pada Tanggal 14/01/2013

16 Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta.2008, Hlm.59

21

bersifat melawan hukum. Orang yang melakukan suatu perbuatan pidana harus

adanya suatu sifat melawan hukum dan orang yang lelakukan suatu sifat melawan

hukum dapat dikenai sanksi sesuai apa yang telah diperbuat.17

2.6. Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Moeljatno18 bahwa Pertanggungjawaban seseorang yang

melakukan tindak pidana biasa dihukum apabila sipelaku sanggup

mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah

penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas

pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas tidak dipidana tanpa ada

kesalahan Geen straf zonder schuld untuk menentukan apakah seorang pelaku

tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan

dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai

kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang

tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya

hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan

sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan

perbuatan pidana.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah

melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah

17 Chairul Huda,Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban pidana Tanpa ada Kesalahan,Media Group,Jakarta,2008,Hlm.51

18 Moeljatno,Op.Cit,Hlm.171.

22

ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang,

akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang

mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada

umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari

beberapa hal yaitu:

1. Keadaan Jiwanya

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.

b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya)

c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan

sebagainya).

2. Kemampuan Jiwanya :

a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.

b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah

dilaksanakan atau tidak.

c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Menurut Moeljatno19 seseorang baru bisa diminta pertanggungjawabannya

apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara

kemasyarakatan adalah dilarang.

19 Ibid.,Hlm.178

23

2. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya

tersebut.

Selain itu menurut, doktrin untuk menentukan kemampuan

bertanggungjawab harus ada dua hal yaitu adanya kemampuan untuk

membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum

dan yang bertentangan dengan hak. Adanya kemampuan untuk menentukan

kehendaknya menurut keinsafannya tentang baik buruknya perbuatan yang

dilakukan. Sementara itu berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung

jawab KUHP tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara

negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu

mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan.

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP seseorang tidak dapat

dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu:20

1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya.

2. Jiwanya terganggu karena penyakit.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena

itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggung

jawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya

unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu

dan biaya, maka dalam praktek dipakai yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu

bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain.

20 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,Pasal 44 Ayat 1

24

Keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian

pertanggung jawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko

dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

2.8. Pengertian Kesalahan

Menurut Moeljatno21 bahwa berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu

Geen straf zonder schuld, tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka

pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban

tindak pidana.

Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya

perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan

perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat

tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga

mempunyai kesalahan. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur

kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang

terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam

suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut

dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua

unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.

Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk

melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa

perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung

21 Moeljatno,Op.Cit,Hlm.59

25

pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en

wetens. Penjelasan yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan

suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau

haruslah menghendaki apa yang telah diperbuat dan memenuhi unsur wettens atau

haruslah mengetahui akibat dari apa yang telah diperbuat.

Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel

maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja22 adalah

kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu

akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud

dari dilakukannya perbuatan itu.

Unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya

dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil

karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara

materiil, maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan

tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat

dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan

keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu melakukan perbuatan melanggar

hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.

Unsur kesengajaan di atas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian

atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai

kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau

22 Chairul Huda,Op.Cit,Hlm.19

26

bewuste schuld. Dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat

menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.

Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini

dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan

perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan

dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak

menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak

melakukan perbuatan itu sama sekali.

Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku

mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat

membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau

dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu

akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-

undang.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan

antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada

hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan

akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku

atas perbuatan pidananya itu. Dalam teori pemisahan tindak dan

pertanggungjawaban pidana, maka tindak pidana merupakan sesuatu yang bersifat

eksternal dan pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana

merupakan syarat eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal

27

untuk adannya kesalahan ada pula syarat. Dalam hal ini persyarat yang justru

terletak pada pembuat. Kongkretnya, kondisi pembuat yang dapat dipersalahkan

atas suatu tindak pidana. Syarat (internal) tersebut karenanya merupakan unsur

pertanggungjawaban pidana.

Kesalahan selalu bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan

adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat

lain. dicelannya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya

dapat dilakukan terhadap mereka yang keadaan batinya normal. Dengan kata lain,

untuk adannya kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin

yang normal. Moeljatno mengatakan, hanya terhadap orang-orang yang keadaan

jiwanya normal saja, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya.23

2.9. Pengertian Kesengajaan

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada tahun 1809

dicantumkan: ”Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak

melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-

undang.”

Menurut Menteri Kehakiman sewaktu mengajukan Crimineel Wetboek

tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia tahun

1915), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar berkendak

untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (debewuste richting van den wil op een

beppald misdriff).

23 Ibid.,Hlm.105

28

Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara Mengutarakan24 bahwa

yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah

Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki

(willen) perbuatan itu harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat

perbuatan itu.

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet,

bukan unsur culpa. Hal ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman

pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Pada Hakikatnya

sengaja berarti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ternyata apabila itu

sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan.25

2.9.Pengertian Kealpaan

Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya

kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari padanya di tentukan bahwa di samping

kesengajaan itu orang sudah dapat dipidana bila mana kesalahannya berbentuk

kealpaan. Misalnya Pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan

matinya orang lain karena kealpaannya. Ini di samping pasal 338 KUHP : “dengan

sengaja menyebabkan matinya orang lain”

Berdasarkan Moeljatno26 Bahwa mengenai kealpaan keterangan resmi dari

pihak pembentuk W.v.S (smidt 1-825) adalah sebagai berikut: “pada umumnya

bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan

24 Leden Marpuang,Asas-Teori- Hukum-Pidana,Sinar Grafika,Jakarta,2009,Hlm.1325 Andi Hamzah,Asas-asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta,2008,Hlm.10826 Moeljatno,Op.Cit,Hlm.214

29

pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali itu keadaan

yang dilarang itu mungkin berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang

atau barang dan jika menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak

pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati atau teledor.

Menunrut Simons27 bahwa kealpaan umumnya terdiri atas dua bagian

yaitu tidak berhati-hati melakukan perbuatan, di samping dapat menduga akibat

perbuatan itu. Namun, Meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati,

masih mungkin terjadinya kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa

dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-

undang.

Menurut Laden Marpaung28 kealpaan terdapat apabila seseorang tetap

melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahuhi atau menduga akibatnya.

Dapat diduganya suatu akibat yang akan timbul terlebih dahulu oleh si pelaku

adalah suatu isyarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu

tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan. Jika dalam

suatu peristiwa kecelakaan terdapat unsur kealpaan, maka dijatuhkan pidana yang

terdapat pada Pasal 359 dan 360 KUHP.

Pasal 359 KUHP Berbunyi :

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaan) menyebabkan orang lain mati,

diancam dengan pidana kurungan paling lama lima tahun atau pidana kurungan

paling lama satu tahun

27 Ibid.,Hlm.6328 Leden Marpaung,Op.Cit,Hlm.25

30

Pasal 360 KUHP Berbunyi:

(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang

lain mendapat luka-luka berat diancam dengan pidana paling lama lima

tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selamwa waktu tertentu,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana

kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat

ratus rupiah.

Adapun menurut Laden Marpaung bahwa Pada umumnya kealpaan (culpa) di

bedakan atas :29

1. kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini pelaku

telah membahayakan atau menduga akan timbulnya suatu akibat,

tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, toh timbul juga akibat

tersebut.

2. kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste shculd). Dalam ini, pelaku tidak

membahayakan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang

dilarang dan di ancam hukuman oleh undang-undang. sedangkan

sesorang seharusnya memperhintungkan akan timbulnya suatu akibat.

29 Ibid.,Hlm.26