BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Timbangan...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Timbangan...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Timbangan Meja
Timbangan berdasar dari prinsip – prinsip fisika . Fisika adalah
pengetahuan mengenai sifat- sifat benda, sedangkan sifat – sifat benda yang
dapat diukur disebut ― besaran‖, misalnya besaran panjang, massa / berat,
volume, kecepatan, gaya, waktu dan lain – lain.
Ilmu tentang besaran atau ilmu tentang sifat – sifat ukur atau
pengetahuan pengukuran disebut metrologi. Alat untuk mengetahui kuanta
besaran berat dipergunakan alat ukur timbang atau timbangan. Timbangan
adalah suatu alat ukur untuk menentukan massa suatu benda dengan
memanfaatkan gravitasi yang bekerja pada benda tersebut. Sedangkan
menimbang adalah pekerjaan yang dilakukan untuk mengetahui berat atau
massa suatu benda dengan cara membandingkan massa tersebut dengan
massa benda lain yang telah diketahui besarnya dengan menggunakan alat
timbang atau menimbang massa ( H. Ibrahim Tawarys, 1960 ).
Pada konstruksi Beranger atau timbangan meja , bagian tempat anak
timbangan dibuat simetris dengan bagian muatan. Anak timbangan dan
muatan ditaruh diatas daun yang terletak di atas pisau panjang, bukan daun
yang digantungkan. Timbangan meja ini dibuat sama lengan, jadi berat
muatan yang ditimbang sama denagn berat anak timbangan yang ditaruh di
daun yang lain. Dengan perkataan lain berat muatan banding berat anak
timbangan sama dengan satu banding satu seperti pada Gambar 2.1 dibawah
ini
Gambar 2.1 Timbangan Meja ( Arif Eko M, 2013)
5
Tetapi perlu diperhatikan bahwa berat muatan akan sama dengan
berat anak timbangan hanya jika pada muatan nol timbangan tersebut telah
setimbang. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hassil yang benar pada
penimbangan, harus dilihat dulu apakah timbangan dalam keadaan tidak
bermuatan telah setimbang atau tidak. Kalau tidak setimbang pada muatan
nol maka harus dibuat setimbang lebih dulu, yaitu dengan cara
menambah/mengurangi timah ditempat yang khusus diadakan yang terletak
dibawah daun tempat anak timbangan. Tempat timah itu disebut alat penyetel
nol ( H. Ibrahim Tawarys, 1960 ).
Timbangan meja dilengkapi dengan piring/daun muatan yang dapat
diangkat. Penggunaanya di atas meja, tidak memelukan tempat yang luas,
oleh karena itu, timbangan meja, termasuk timbangan yagng terbanyak
dipakai oleh pedagang Indonesia ( H. Ibrahim Tawarys, 1960 ).
Timbangan meja banyak menggunakan pisau – pisau dan bantalan,
sehingga pada saat timbangan tersebut bergerak atau berayun ada
kemungkinan terjadinya gesekan diantara keduanya. Oleh karena itu, pisau
dan bantalan harus bertumpu dengan baik, supaya tidak tejadi gesekan –
gesekan. Gesekan – gesekan bagi timbangan meja sangat mempengarui sifat
– sifat timbangannya dari kebenaran, ketetapan, dan kepekaan. Kedudukan
pisau dan bantalan harus di pasang sejajar dan simetris ( H. Ibrahim Tawarys,
1960 ).
Akibat pemakaian dan pemeliharaan yang tidak sempurna dapat
mengakibatkan korosif pada pisau dan bantalan, sehingga pisau menjadi
tumpul. Kalau pisau menjadi tumpul akan menyebabkan terjadinya
perubahan perbandingan jarak –jarak lengan tuas ( tidak lagi sebagai mana
mestiya ) dan hal tersebut akan mempengaruhi kebenaran timbangan (
momen- momen gaya tidak lagi setimbang). Selain itu harus dijaga bahwa
pemasangan komponen – komponen jangan sampai ada yang tertukar,
biasanya untuk komponen – komponen tertentu telah dibubuhi kode. ( H.
Ibrahim Tawarys, 1960 )
6
2.2 Syarat – Syarat Teknik Timbangan Meja
a. Supaya letak kedua daun kokoh dan rata maka kedua daun timbangan
meja harus bertumpu diatas 3 (tiga) titik berupa pisau sebagai mana
Gambar 2.2 dibawah ini
Gambar 2.2 Tiga titik pisau timbangan ( Arif Eko M, 2013)
Pisau – pisau tersebut dibuat rangkap atau umumnya masing – masing
dibuat berupa satu pisau panjang. Ketiga pisau itu letaknya satu sama
lain harus selalu sejajar.
b. Kekuatan menimbang timbangan meja umumnya 3 kg, 5 kg, 10 kg, 15
kg dan 25 kg, yang paling banyak digunakan adalah yang 10 kg. Tulisan
kekuatan menimbangnya diciptakan pada tuas utama.
c. Bak justir penyetel nol pada Gambar 2.3, dibuat sedemikian rupa
sehingga tidak boleh dimasuki benda – benda secara mudah. Oleh
karena itu harus diskrup dengan kuat.
Gambar 2.3 Bak justir penyetel nol ( Arif Eko M, 2013)
bak justir
3 titik pisau
timbangan
7
d. Piring / daun muatan harus terbuat dari bahan yang tahan karat, yaitu
dari bahan kuningan, alumunium atau baja tahan karat seperti pada
Gambar 2.4
Gambar 2.4 Piring atau daun muatan ( Arif Eko M, 2013)
e. pisau – pisau harus tertanam minimal sepertiga dari tingginya
pemasangannya harus kokoh dan tidak boleh ada celah yang kelihatan
antara pisau dan bahan tuas, dan tidak boleh trdapat ganjalan.
f. Dalam penggunaanya, timbangan meja harus selalu diletakkan di tempat
yang datar. ( H. Ibrahim Tawarys, 1960 )
2.3 Bagian – Bagian Timbangan Yang Mudah Aus
pada bagian pisau – pisau dan bantalan seperti pada Gambar 2.5
Gambar 2.5 Bagian Pisau dan Bantalan yang mudah aus ( Arif Eko M, 2013)
Keausan dapat didefinisikan sebagai rusaknya permukaan padatan
(Sanvik Coromant, 2003), umumnya melibatkan kehilangan material yang
progesif akibat adanya gesekan antar permukaan padatan. Keausan bukan
Bantalan
Pisau
8
merupakan sifat dasar material, melainkan respon material terhadap sistem
luar (kontak permukaan). Keausan merupakan hal yang biasa terjadi pada
setiap material yang mengalami gesekan dengan material lain.Keausan bukan
merupakan sifat dasar material , melainkan response material terhadap sistem
luar (kontak permukaan). Material apapun dapat mengalami keausan
disebabkan oleh mekanisme yang beragam. Pengujian keausan dapat
dilakukan dengan berbagai macam metode dan teknik, yang semuanya
bertujuan untuk mensimulasikan kondisi keausan aktual. Salah satunya
adalah metode Ogoshi dimana benda uji memperoleh beban gesek dari cincin
yang berputar. Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar
permukaan yang berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil
sebagian material pada permukaan benda uji. Besarnya jejak permukaan dari
material tergesek itulah yang dijadikan dasar penentuan tingkat keausan pada
material.
material jenis apapun akan mengalami keausan dengan mekanisme
yang beragam , yaitu keausan adhesive, keausan abrasive, keausanfatik , dan
keausan oksidasi (Sanvik Coromant, 2003). Mekanisme keausan terdiri dari :
1. Keausan adhesive ( Adhesive wear )
Terjadi bila kontak permukaan dari dua material atau lebih
mengakibatkan adanya perlekatan satu sama lainnya( adhesive ) serta
deformasi plastis dan pada akhirnya terjadi pelepasan / pengoyakan salah
satu material.
2. Keausan Abrasif ( Abrasive wear )
Terjadi bila suatu partikel keras dari material tertentu meluncur pada
permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau
pemotongan material yang lebih lunak . Tingkat keausan pada mekanisme ini
ditentukan oleh derajat kebebasan partikel keras.
4. Keausan Oksidasi/Korosif ( Corrosive wear )
Proses kerusakan dimulai dengan adanya perubahan kimiawi material
di permukaan oleh faktor lingkungan. Kontak dengan lingkungan ini
9
menghasilkan pembentukan lapisan pada permukaan dengan sifat yang
berbeda dengan material induk. Sebagai konsekuensinya, material akan
mengarah kepada perpatahan interface antara lapisan permukaan dan
material induk dan akhirnya seluruh lapisan permukaan itu akan tercabut.
5. Keausan Erosi ( Erosion wear )
Proses erosi disebabkan oleh gas dan cairan yang membawa partikel
padatan yang membentur permukaan material. Jika sudut benturannya kecil,
keausan yang dihasilkan analog dengan abrasive. Namun, jika sudut
benturannya membentuk sudut gaya normal ( 90 derajat ), maka keausan
yang terjadi akan mengakibatkan brittle failure pada permukaannya.
Untuk meningkatkan kualitas pada pisau - pisau dan bantalan, salah
satu cara adalah dengan menggunakan proses karburasi yaitu dengan
mengeraskan permukaannya saja. Karburasi adalah salah satu proses
perlakuan panas untuk mendapatkan kulit yang lebih keras dari
sebelumnya.
Beberapa jurnal yang telah melakukan penelitian penigkatan kualitas
pada baja karbon rendah dengan cara Pack Karburising :
1. Arianto Leman Soemowidagdo dengan judul Sekam Padi Untuk Proses
Pack Karburising, dari hasil penelitan. Baja Karbon Rendah Kekerasan
baja karbon rendah meningkat sebesar 281% dari 122 VHN menjadi 465
VHN setelah dikarburising selama 6 jam dalam media arang sekam padi
yang dilanjutkan dengan quenching dalam air.
2. Pramuko I. Purboputro dengan judul Pengaruh Waktu Penahanan
Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Pada Proses Pengkarbonan Padat Baja
Mild Steel. Temperatur yang digunakan selama proses pengarbonan
berlangsung adalah 925°C dengan vareasi waktu tahan masing-masing 3
jam; 4 jam; 7 jam; 8 jam. didapatkan kenaikan kandungan unsur karbon
untuk masing-masing waktu penahanan. Untuk waktu penahanan 3 jam
kandungan unsur karbon 0,259 % ; 4 jam kandungan unsur karbon 0,352
10
%; 7 jam kandungan unsur karbon 0,505 % ; 8 jam kandungan unsur
karbon 0,808 %.
3. Jusuf Talaperu degangan judul Analisa Komperatif Perubahan Nilai
Kekerasan BajaST 42 Pada Pack Carburizing Dengan Menggunakan
Media Alternatif Penganti Bubuk Karbon Aktif Benda uji diletakkan
dalam media karburasi pada kotak dengan ukuran (20x25x12)cm3.
Dengan perbandingan media padat dan barium karbonat sebesar (60:40)
%.. Proses karburasi dilakukan pada temperatur pemanasan sebesar 925
dengan waktu tahan selama 6 jam. Kemudian dicelupkan kedalam media
berisi oli. Media padat arang tempurung dapt digunakan sebagai
pengganti bubuk karbon aktif. Dengan besar kenaikan nilai kekerasan
terhadap baja ST 42 adalah sebesar 52,88%.
2.4. Material Pisau Timbangan
Bahan yang digunakan untuk pisau adalah Baja Karbon : Kandungan
karbon antara 0,20 ~ 0,30% dengan sejumlah kecil dari silikon, kromium,
mangan, vanadium dan untuk memperbaiki ukuran butir. Kekerasan
maksimal adalah sekitar 62 HRC. Bahan ini memiliki ketahanan aus rendah
dan kekerasan panas rendah. (Marinov, 2012) .
Baja AISI 1035 merupakan salah satu jenis baja karbon menengah
dengan unsur karbon ( C ) 0,35%, silicon (Si) 1,01 %, mangan (Mn) 0,2%
dan Besi (Fe) 90,3 %. Kegunaan baja karbon menengah ini adalah untuk
Medium Strees User, machinery part,nut and bold, shafts, gear, tabung, dan
lembaran. Apilkasi umum dari baja ini adalah untuk besi beton, besi siku dan
besi plat dll. Seperti pada table di bawah ini adalah jenis baja karbon .
Tabel 2.1 Beberapa Jenis Baja Karbon Berdasarkan Klasifikasi (AISI-SAE)
Alloy
AISI-SAE
number
Chemical
composittion
(Wt)
Condition Tenslle
strength
(kal)
(Mpa) Tield
strengt
h (ksl)
(Mpa) Elong
a
ilon,
%
Typical applications
1010 0,10C,0,40
Mn
Hot-rollerd
Cold-rolled
0-60
42-58
76-414
290-400
6-45
23-38
79-310
159-262
8-47
30-45
Sheet and strip for
drawing: wire,rod, and
nails and screws: concrete
reinfarcement bar
11
(ASM handbook vol.1:1993).
Jenis material baja juga ditentukan oleh jumlah kandungan karbon
yang terdapat didalamnya. Oleh sebab itu sebutan lainnya dikenal juga
sebagai baja karbon. Klasifikasi untuk mengelompokan jenis baja menurut
jumlah kandungan karbon dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Mengenai komposisi kimia baja karbon bisa dilihat pada Tabel 2.2.
Spesifikasi penggolongan baja karbon berdasar pada sifat, kekuatan,
kekerasan yang dimiliki tingkatan baja karbon serta memperhatikan
komposisi kimia untuk kegunaan mekanik.
Tabel 2.2 : Komposisi Kimia Baja Karbon (Ashby and jones, 1999)
Metal Typical composision
(Wt %)
Typical user
Low – carbon (―Mild) stell Fe: 0,04 – 0,3 C, 0,8 Mn Low- stell user, General
contruktionsl stell, suitable for
welding
Medium – carbon stell Fe: 0,3 – 0,7 C, 0,8 Mn Medium Strees User,
machinery part,nut and bold,
shafts, gear
High carbon stell Fe: 0,7 – 1,7 C, 0,8 Mn High-stress user: springs,
cutting tool, dies
Low – alloy stell Fe: 0,2C, 0,8 Mn, 1Cr, 2Ni High-stress user: pressure
vissels, air craft part
High –alloy (stain lest)
stell
Fe: 0,1C, 0,5Mn, 18Cr,
8Ni
High- temperature or anti
corrotion user chimical or
steam plants
Baja AISI 1035 dengan kandungan karbon 0,35 % termasuk kedalam
kelompok baja karbon menegah (Medium-Carbon Steel). Kelompok baja ini
masih mungkin untuk ditambah kandungan karbonnya, agar meningkat
kemampuannya untuk bisa dikeraskan. Mengingat penggunaannya yang
1020 0,20C,0,45
Mn
As rolled
Annealed
65
57
448
393
48
43
331
297
36
36
Steel plate and struktural
section ; shafts, gears
1040 0,40C,0,45
Mn
As rolled
Annealed
Tempered
90
75
116
621
517
800
60
51
86
414
352
593
25
30
20
Shafts, studs, high-tensitle
lubing, gear
1060 0,60C,0,65
Mn
As rolled
Annealed
Tempered
118
91
160
814
628
110
70
54
113
483
483
780
17
22
13
Spring wire, forging dies,
rollood wheels
1080 0,80C,0,80
Mn
As rolled
Annealed
Tempered
140
89
189
967
614
304
85
54
142
586
373
980
12
25
12
Music wire, helical
springs, cold chisels,
forging die blocks
12
cukup luas untuk banyak komponen konstruksi mesin, termasuk
kemungkinan sebagai material dasar komponen yang membutuhkan sifat
keras dipermukaannya. Pengukuran kekerasan permukaan baja pada
umumnya menggunakan metode Brinell, Vickers dan Rockwell.
2.5. Struktur Logam
Sifat-sifat yang dimiliki logam akan berpengaruh dalam penggunaan
logam, hal inilah yang merupakan dasar dari pemilihan bahan. Sifat-sifat
yang dimiliki setiap logam sangatlah berbeda karena adanya perbedaan
unsur-unsur penyusun serta paduan yang akan membentuk struktur
mikronya. Bentuk geometri dari persenyawaan logam besi dan baja biasanya
berupa kubus, yang tersusun dari atom-atomnya. Bentuk geometris inti
adalah BCC (Body Center Cubic), FCC (Face Center Cubic), HCP
(Hexagonal Close Pocked) Seperti terdapat pada Gambar 2.6 (Arifin, 2006)
.
Gambar 2.6 Bentuk Geometris Kristal Logam (Arifin, 2006)
2.6. Macam-macam struktur logam antara lain:
1. Struktur Austenite
Fase Austenite memiliki struktur atom FCC (Face Centered
Cubic). Dalam keadaan setimbang fase Austenite ditemukan pada
temperatur tinggi. Fase ini bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada
temperatur tinggi. Kelarutan atom karbon di dalam larutan padat Austenite
lebih besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fase
Ferrite. Secara geometri, dapat dihitung perbandingan besarnya ruang
intertisi di dalam fase Austenite (kristal FCC) dan fase Ferrite (kristal
BCC).
13
Perbedaan ini dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena
transformasi fase pada saat pendinginan Austenite yang berlangsung
secara cepat. Selain pada temperatur tinggi, Austenite pada sistem
Ferrous dapat pula direkayasa agar stabil pada temperatur ruang. Elemen-
elemen seperti Mangan dan Nikel misalnya dapat menurunkan laju
transformasi dari gamma-austenite menjadi alpha-ferrite. Dalam jumlah
tertentu elemen-elemen tersebut akan menyebabkan Austenite stabil pada
temperatur ruang. Contoh baja paduan dengan fase Austenite pada
temperatur ruang misalnya adalah Baja Hadfield (12% Mg) dan Baja
Stainless 18-8 (8%Ni).
Austenite disebut juga besi gamma (γ) seperti Gambar 2.7
dibawah, fase ini terjadi diatas tempratur 723oC, sifat dari austenite adalah
lunak, tidak magnetis, dan dapat di tempa. Austenite merupakan
pemanasan lanjut dari ferrite dan pearlite (Arifin, 2006)
Gambar 2.7 Struktur austenite (Arifin, 2006)
2. Struktur Ferrite
Ferrite adalah fase larutan padat yang memiliki struktur BCC
(body centered cubic). Ferrite dalam keadaan setimbang dapat ditemukan
pada temperatur ruang, yaitu alpha-ferrite atau pada temperatur tinggi,
yaitu delta-ferrite. Secara umum fase ini bersifat lunak (soft), ulet
(ductile), dan magnetik (magnetic) hingga temperatur tertentu, yaitu T
curie. Kelarutan karbon di dalam fase ini relatif lebih kecil dibandingkan
dengan kelarutan karbon di dalam fase larutan padat lain di dalam baja,
yaitu fase Austenite.
14
Pada temperatur ruang, kelarutan karbon di dalam alpha-ferrite
hanyalah sekitar 0,05%. Berbagai jenis baja dan besi tuang dibuat dengan
mengeksploitasi sifat-sifat ferrite. Baja lembaran berkadar karbon rendah
dengan fase tunggal ferrite misalnya, banyak diproduksi untuk proses
pembentukan logam lembaran. Dewasa ini bahkan telah dikembangkan
baja berkadar karbon ultra rendah untuk karakteristik mampu bentuk yang
lebih baik. Kenaikan kadar karbon secara umum akan meningkatkan sifat-
sifat mekanik ferrite sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Untuk
paduan baja dengan fase tunggal ferrite, faktor lain yang berpengaruh
signifikan terhadap sifat-sifat mekanik adalah ukuran butir.
Struktur ferrite sering juga disebut besi alpha (α) seperti Gambar
2.8 dibawah yang merupakan larutan karbon pada besi murni, fase ini
terjadi pada tempratur 723oC ≥ 910
oC. kandungan C sebesar 0.025, sifat
dari baja ini adalah lunak, ulet, magnetis dan baik untuk di tempa.
.
Gambar 2.8 Struktur ferrite pada baja lunak (Arifin, 2006)
3. Struktur Cementite
Cementite atau carbide dalam sistem paduan berbasis besi adalah
stoichiometric inter metallic compund Fe3C yang keras (hard) dan getas
(brittle). Nama cementite berasal dari kata caementum yang berarti stone
chip atau lempengan batu. Cementite sebenarnya dapat terurai menjadi
bentuk yang lebih stabil yaitu Fe dan C sehingga sering disebut sebagai
fase metastabil.
Namun, untuk keperluan praktis, fase ini dapat dianggap sebagai
fase stabil. Cementite sangat penting perannya di dalam membentuk sifat-
15
sifat mekanik akhir baja. Cementite dapat berada di dalam sistem besi baja
dalam berbagai bentuk seperti: bentuk bola (sphere), bentuk lembaran
(berselang seling dengan alpha-ferrite), atau partikel-partikel carbide
kecil. Bentuk, ukuran, dan distribusi karbon dapat direkayasa melalui
siklus pemanasan dan pendinginan.
Jarak rata-rata antar karbida, dikenal sebagai lintasan Ferrite rata-
rata (Ferrite Mean Path), adalah parameter penting yang dapat
menjelaskan variasi sifat-sifat besi baja. Variasi sifat luluh baja diketahui
berbanding lurus dengan logaritmik lintasan ferrite rata-rata.
Cementite disebut juga karbid besi atau Fe3C, Struktur Cementite
adalah struktur yang sifatnya sangat keras, yang mengandung 6.67% C.
sifat dari besi ini adalah keras, rapuh dan magnetis sampai pemanasan
pada suhu 210oC. (Arifin, 2006). Struktur sementite seperti pada Gambar
2.9 berikut:
Gambar 2.9 Struktur sementite pada baja karbon tinggi (Arifin, 2006)
4. Struktur Pearlite
Struktur pearlite adalah struktur yang terbentuk karena
persenyawaan antara struktur ferrite dan struktur cementite yang
seimbang, Struktur pearlite jika dipanaskan sampai suhu 723 oC akan
berubah menjadi struktur austenite. Sifat dari pearlite adalah keras, dan
lebih kuat dari pada ferrite, tetapi kurang ulet, dan tidak magnetis.
Struktur pearlite seperti terdapat pada Gambar 2.10 berikut:
16
Gambar 2.10 Struktur pearlite pada baja karbon rendah (0,25% C) (Arifin,
2006)
5. Sruktur martensite
Struktur martensite sifatnya sangat keras dengan susunan
kristalnya berbentuk kubus pusat tetragonal (BCT). Sruktur martensite
seperti terlihat pada Gambar 2.11 dibawah ini.
Gambar 2.11 Struktur Martensite Pada Baja Karbon (Arifin, 2006)
2.7 Baja
Besi atau baja dihasilkan dari campuran antara besi (Fe) dan elemen
pemadu, elemen pemadu utama besi atau karbon adalah karbon (C) dan juga
ditambahkan unsur-unsur lain (S, P, Mg, Si, dll), namun unsur-unsur ini
hanya dalam prosentase yang kecil. Kandungan karbon di dalam baja sekitar
0,1% sampai 1,7%, sedangkan unsur lainnya dibatasi oleh prosentasenya
(Amanto, 2003).
17
2.7.1 Klasifikasi Baja Karbon
Menurut persentase karbonya baja komersial diklasifikasikan
menjadi 3 jenis yaitu:
1. Baja karbon rendah
Baja ini disebut baja ringan (Mild Steel) atau baja perkakas,
baja ini bukan baja yang keras karena kandungan karbonya rendah
yaitu kurang dari 0.3%. Baja ini dapat dijadikan mur, baut, ulir
skrup dan lain-lain. Baja jenis karbon rendah mempunyai sifat tidak
terlalu keras, cukup kuat, ulet, mudah dibentuk dan ditempa, tetapi
karena kurangnya kadar karbon maka tidak dapat disepuh keras.
(Amanto, 2003).
2. Baja karbon sedang
Baja karbon sedang merupakan baja dengan kandungan
karbon 0,3–0,6%, cukup keras dibandingkan dengan baja karbon
rendah. Baja ini memungkinkan untuk dikeraskan sebagian dengan
pengerjaan panas (heat treatment) yang sesuai. Baja karbon sedang
digunakan untuk roda gigi, poros engkol, sekrup dan sebagainya.
(Amanto, 2003).
3. Baja karbon tinggi
Baja karbon tinggi mempunyai kandungan karbon 0,6–1,5%,
baja ini sangat keras namun keuletannya rendah, biasanya
digunakan untuk alat potong seperti gergaji, pahat, kikir, pegas dan
lain sebagainya. Karena baja karbon tinggi sangat keras, maka jika
digunakan untuk produksi harus dikerjakan dalam keadaan panas.
(Amanto, 2003).
2.8 Pengaruh Unsur Paduan Terhadap Baja
Baja yang hanya mengandung unsur C tidak akan memiliki sifat
seperti yang diinginkan, dengan penambahan unsur-unsur paduan seperti Si,
Mn, Ni, Cr, V, W, dan lain sebagainya dapat menolong untuk mencapai sifat-
sifat yang diinginkan (Amanto, 2003).
18
Penambahan beberapa unsur paduan spesifikasi terhadap sifat baja
antara lain (Amanto, 2003) :
a. Unsur Silikon (Si)
Silikon merupakan unsur paduan yang ada pada setiap baja dengan jumlah
kandungan lebih dari 0,4% yang mempunyai pengaruh kenaikan tegangan
tarik dan menurunkan kecepatan pendinginan kritis (laju pendinginan
minimal yang dapat menghasilkan 100% martensite)
b. Unsur Mangan (Mn)
Unsur Mangan dalam proses pembuatan baja berfungsi sebagai deoxider
(pengikat O2) sehingga proses peleburan dapat berlangsung baik. Kadar
Mn yang rendah dapat menurunkan kecepatan pendinginan kritis.
c. Nikel (Ni)
Nikel memberi pengaruh sama seperti Mn yaitu menurunkan suhu kritis
dan kecepatan pendinginan kritis. Ni membuat struktur butiran menjadi
halus dan menambah keuletan.
d. Unsur Krom (Cr)
Unsur krom meningkatkan kekuatan tarik dan keplastisan, kekerasan,
mungurangi korosif dan tahan suhu tinggi.
e. Unsur Vanadium (V) dan Wolfram (W)
Unsur Vanadium dan Wolfram membentuk karbida yang sangat keras dan
meningkatkan keekrasan baja, kemampuan potong dan daya tahan panas,
untuk pahat potong dengan kecepatan tinggi.
2.9 Pengerasan Permukaan
Pengerasan permukaan disebut juga case hardening, dapat juga
dikatakan sebagai suatu proses laku panas yang diterapkan pada suatu
logam agar memperoleh sifat – sifat tertentu. Dalam hal ini hanya
pengerasan permukaannya saja. Dengan demikian lapisan permukaan
mempunyai kekerasan yang tinggi, sedangkan bagian yang dalam tetap
seperti semula, yaitu dengan kekerasan rendah tetapi keuletan atau
ketangguhannya tinggi.
19
Dalam pemakaian suatu bagian mesin atau perkakas sering kali
diperlukan permukaan yang keras dan tahan aus dengan bagian inti
yang relatif lunak dan ulet atau tangguh. Baja yang dikeraskan dengan
cara konvensional memang dapat menghasilkan permukaan yang keras
dan tahan aus, tetapi kurang ulet. Pengerasan permukaan dimaksudkan
untuk mengeraskan bagian permukaannya saja, sedang bagian inti tetap
lunak dan ulet, sehingga secara keseluruhan benda masih cukup ulet
tetapi sekarang permukaan menjadi lebih keras dan tahan aus.
Untuk itu pengerasan permukaan atau case hardening adalah
merupakan salah satu jalan keluar yang cukup baik. Dengan pengerasan
permukaan akan diperoleh permukaan yang lebih baik dari sebelumnya.
Dengan pengerasan pada permukaan akan menyebabkan lapisan
permukaan menjadi kuat atau keras dan pada lapisan permukaan itu
terjadi tegangan sisa yang berupa tegangan tekan. Karena hal tersebut
maka benda kerja menjadi lebih tahan terhadap kelelahan, atau fatigue
limitnya menjadi naik. Biasanya proses perlakuan panas ini dilakukan
terhadap roda gigi, pahat, cetakan (dies), alat – alat potong, alat – alat
pada kontruksi, dan lain - lain.
Perlakuan panas (heat treatment) didifinisikan sebagai kombinasi
operasi pemanasan dan pendinginan yang terkontrol dalam keadaan padat
untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu pada baja/logam atau paduan.
Terjadinya perubahan sifat tersebut dikarenakan terjadi perubahan struktur
mikro selama proses pemanasan dan pendinginan, di mana sifat baja/logam
atau paduan sangat dipengaruhi oleh struktur mikronya. (Arifin, 2006).
Secara umum perlakukan panas (Heat treatment) diklasifikasikan dalam 2
jenis (Suhardi, 2011) :
1. Near Equilibrium (Mendekati Kesetimbangan)
Tujuan umum dari perlakuan panas jenis Near Equilibrium ini
diantaranya adalah untuk : melunakkan struktur kristal, menghaluskan
butir, menghilangkan tegangan dalam dan memperbaiki machineability.
20
2. Non Equilirium (Tidak setimbang)
Tujuan umum dari perlakuan panas jenis Non Equilibrium ini
adalah untuk mendapatkan kekerasan dan kekuatan yang lebih tinggi.
Jenis dari perlakukan panas Non Equibrium, misalnya : Hardening,
Martempering, Austempering, Surface Hardening (Carburizing, Nitriding,
Cyaniding, Flame hardening, Induction hardening)
Karena banyaknya cara proses pengerasan permukaan
diantaranya adalah :
2.10 Karburasi (Carburising)
Perlakuan panas kimiawi merupakan proses yang digunakan untuk
memperoleh sifat yang berbeda pada permukaan dan bagian tengah
komponen (Rajan, dkk., 1997). Kondisi demikian kadang diperlukan pada
komponen yang harus keras permukaannya dan tahan aus, tetapi bagian
tengahnya lebih liat dan tangguh. Kombinasi sifat ini menjamin komponen
memiliki ketahanan aus yang cukup untuk memberi umur pakai lebih lama di
samping cukup tangguh terhadap kejutan.
Metode pertama dikenal sebagai perlakuan termokimia karena
komposisi kimia permukaan baja diubah dengan difusi karbon dan atau
nitrogen (seperti karburising dan nitriding) dan terkadang dengan elemen
lainnya. Metode kedua melibatkan transformasi fasa pemanasan dan
pendinginan cepat permukaan luar.
Pada suatu komponen mesin dari baja adakala nya diperlukan keras
dan tahan aus pada permukaannya saja, sedangkan pada inti atau bagian
dalam tetap dalam keadaan lunak dan ulet. Hal ini akan memberikan
kombinasi yang serasi antara bagian luar atau permukaan benda kerja yang
keras dan tahan menerima beban, serta tahan aus dengan inti yang lunak dan
ulet. Karburising adalah proses menambahkan karbon ke permukaan benda,
dilakukan dengan memanaskan benda kerja dalam lingkungan yang banyak
mengandung karbon aktif, sehingga karbonberdifusi masuk ke permukaan
baja (Wahid Suherman, 1998: 147). Pada temperatur karburising, media
karbon terurai menjadi CO yang selanjutnya terurai menjadi karbon aktif
21
yang dapat berdifusi masuk ke dalam baja dan menaikkan kadar karbon pada
permukaan baja seperti pada Gambar 2.12. Pada proses perlakuan panas,
termasuk karburising selalu mengacu pada diagram fase yang berdasarkan
pada karbon dari baja. Baja pada dasarnya adalah paduan besi dan karbon
(Fe-C), besi dan karbon selain dapat membentuk larutan padat juga dapat
membentuk senyawa karbid besi (sementit, Fe3C).
Gambar 2.12. Pemodelan terjadinya proses difusi: (a) Secara Interstisi, (b)
Secara Substitusi (Budinski dan Budinski, 1999: 303).
Pada proses pengerasan permukaan dengan metode karburasi
dapat dibagi menjadi 2 tahap :
2.10.1 Penambahan Karbon
Penambahan karbon yang disebut carburizing atau karburasi,
dilakukan dengan cara memanaskan pada temperatur yang cukup tinggi
yaitu pada temperatur austenit dalam lingkungan yang mengandung
atom karbon aktif, sehingga atom karbon aktif tersebut akan berdifusi
masuk ke dalam permukaan baja dan mencapai kedalaman tertentu.
Ada 3 cara dalam penambahan karbon atau karburasi
(carburizing), yaitu :
a. Menggunakan medium padat atau Pack Carburizing seperti pada
Gambar 2.13
22
Benda kerja dimasukkan ke dalam kotak yang berisi bubuk
karbon dan ditutup rapat kemudian dipanaskan pada temperatur
austenit, yaitu antara 8250
C – 9250
C selama waktu tertentu. bahan
carburising terdiri dari bubuk karbon aktif 60 %, ditambah BaCO3
(Barium Carbonat) atau NaCO3 (Natrium Carbonat) sebanyak 40 %
sebagai energizer atau activator yang mempercepat proses
karburisasi. Namun biasanya BaCO3 yang dipakai karena lebih
mudah terurai dari pada NaCO3. Sebenarnya tanpa energizerpun
dapat terjadi proses carburising karena temperatur sangat tinggi,
maka karbon teroksidasi oleh oksigen yang terperangkap dalam
kotak menjadi CO2, reaksi dengan karbon bereaksi terus hingga
didapat ;
CO2 + C 2 CO
Dengan temperatur yang semakin tinggi keseimbangan reaksi
makin cenderung ke kanan, makin banyak CO. Pada permukaan
baja CO akan terurai ;
2 CO CO2 + C
Dimana C yang terbentuk ini berupa atom karbon yang
dapat masuk berdifusi ke dalam fase austenit dari baja.
Dengan adanya energizer proses akan lebih mudah
berlangsung karena meskipun udara yang terperangkap sedikit,
tetapi energizer menyediakan CO2 yang akan segera mulai
mengaktifkan reaksi - reaksi selanjutnya.
Reaksi dekomposisi NaCO3 ;
NaCO3 Na O + CO2
Dengan temperatur tinggi baja mampu melarutkan banyak
karbon, maka dalam waktu singkat permukaan baja dapat menyerap
karbon hingga mencapai batas jenuhnya.
23
Gambar 2.13 Pack Carburizing ( Budinski, 1999)
Maksudnya bila baja yang dikeraskan permukaannya
mengalami pemanasan hingga temperatur tinggi atau temperatur
austenit maka difusi karbon dapat mencapai batas jenuhnya yang
berdifusi melebihi batas Acm maka akan terjadi atau tumbuh fasa
baru yaitu sementit.
Tebal lapisan permukaan yang mengalami penambahan
karbon (Case Depth) tergantung pada temperatur pemanasan dan
lamanya waktu penahanan pada temperatur pemanasan tersebut.
Semakin tinggi karbon dan semakin lama holding time maka
semakin banyak penyerapan karbon yang masuk kedalam spesimen.
Keuntungan dari proses ini adalah dapat digunakan pada
proses pengerasan permukaan yang relatif tebal. Sedangkan
kerugiannya adalah jika lapisan terlalu tebal, pada saat pendinginan
(quenching) akan retak atau terkelupas, benda uji tersebut
mengalami shock karena pendinginan yang tiba - tiba.
b. Menggunakan medium cair atau Liquid Carburizing seperti pada
Gambar 2.14 di bawah ini
24
Garam Cair
Koil PemanasBenda Kerja
Steel Currible
Batu Tahan Api
Udara
Gambar 2.14 Liquid Carburizing ( Budinski , 1999)
Pada karburasi yang menggunakan medium cair atau Liquid
Carburizing biasanya pemanasan benda kerja menggunakan garam
cair (salt bath) yang terdiri dari campuran sodium cyanide (NaCN)
atau potasium cyanide (KCN) yang berfungsi sebagai karburasi
agent yang aktif, dengan natrium carbonat (Na2CO3) yang berfungsi
sebagai energizer dan penurun titik cair garam. Dalam praktek,
NaCN lebih banyak digunakan karena relaitif lebih murah, lebih
banyak menagndung karbon dan titik cair relatif lebih rendah (5000
C).
Pada temperatur karburasi (antara 8500 C - 900
0 C), cyanida
akan bereaksi :
2 NaCn + O2 2 NaCNO
4 NaCNO 2 NaCN + Na2CO3 + 2 N + CO
3 Fe + 2 CO Fe3C + CO2
2 CO CO2 + C
Dari reaksi tersebut tampak bahwa disamping atom karbon,
atom nitrogen ikut juga berdifusi masuk ke dalam baja karbon.
Karena nitrogen di dalam baja akan bereaksi membentuk nitrida.
Banyaknya karbon dan nitrogen yang terserap tergantung pada
temperatur pemanasan dan kadar cyanide yang berada di dalam
garam cair.
Garam cair atau salt bath untuk liquid carburizing biasanya
mengandung 40 % - 50 % garam cyanide. Selama pemakaian
25
kandungan cyanide akan berkurang, karena itu komposisi garam
cair harus sering – sering diperiksa. Pada garam cair proses difusi
berlangusng sangat cepat dan permukaan benda kerja tetap bersih
sehingga dapat langung didinginkan. Hanya saja setelah selesai
proses benda kerja harus dibersihkan dari sisa – sisa garam untuk
menghindari terjadinya korosi dan selain itu garam cyanide adalah
senyawa yang sangat beracun.
Keuntungan dari proses ini adalah dapat mengeraskan baja
tetapi tidak lebih dari 0,5 mm, dapat juga untuk benda kerja yang
kecil, dan juga proses oksidasi dan dekarbonisasi dapat dicegah.
c. Menggunakan medium gas atau Gas Carburizing dapat dilihat pada
Gambar 2.15
Pada proses karburasi meggunakan medium gas atau gas
carburizing, baja dipanaskan didalam dapur pemanas dengan
tekanan (atmosfer) yang banyak mengandung gas CO dan gas
hydrokarbon misalnya methana, ethana, propana, dan lain – lain.
Proses ini dilakukan pada tungku pit (pit furnace). Pemanasan
dilakukan pada temperatur 9000 C - 940
0 C.
Pada temperatur tinggi gas – gas tersebut terdekomposisi menjadi :
2 CO C + CO2
CH4 C + 2H2
CO + H2 C + H2O
Pada karburasi gas ini lapisan hypereutectoid dapat
dihilangkan dengan memberikan suatu difusi period, yaitu dengan
menghentikan pengaliran gas karburasi, tetapi mempertahankan
temperatur pemanasan. Dengan demikian karbon akan berdifusi
lebih ke dalam atau lapisan pada kulit lebih merata.
Disamping itu benda kerja lebih bersih sehingga langsung
dapat di dinginkan. Untuk melakukan proses karburasi gas
diperlukan suatu dapur yang kedap udara, yang dapat mencegah
26
masuknya udara ke dalam dapur karena masuknya udara ke dalam
dapur akan mempengaruhi konsentrasi gas yang terkaburisasi.
Gas Carburizing
Furnace
Inlet Port for
Carburizing Gas
Part to be
Case Hardened
Gambar 2.15 Gas Carburizing ( Budinski, 1999)
2.10.2 Pendinginan (Quenching)
Media pendingin yang lazim digunakan untuk mendinginkan
spesimen pada proses pengerasan baja yang akan digunakan yaitu Oli
Mesran SAE 40, dengan alasan media pendingin tersebut digunakan sesuai
dengan kemampuannya untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
Penggunaan pelumas sebagai mediapendingin akan menyebabkan tibulnya
selaput karbon pada spesimen tergantung dari besarnya viskositas pelumas.
Atas dasar tujuan untuk memperbaiki sifat baja tersebut, maka peneliti
memilih perlakuan panas temper dengan quenching media Oli Mesran SAE
40.
Media pendingin yang digunakan untuk mendinginkan baja
bermacam macam. Berbagai bahan pendingin yang digunakan dalam proses
perlakuan panas antara lain :
1. Air
Pendinginan dengan menggunakan air akan memberikan daya
pendinginan yang cepat. Biasanya ke dalam air tersebut dilarutkan garam
dapur sebagai usaha mempercepat turunnya temperatur benda kerja dan
mengakibatkan bahan menjadi keras.
27
2. Minyak
Minyak yang digunakan sebagai fluida pendingin dalam perlakuan panas
adalah yang dapat memberikan lapisan karbon pada kulit (permukaan)
benda kerja yang diolah. Selain minyak yang khusus digunakan sebagai
bahan pendingin pada proses perlakuan panas, dapat juga digunakan
minyak bakar atau solar.
3. Udara
Pendinginan udara dilakukan untuk perlakuan panas yang membutuhkan
pendinginan lambat. Untuk keperluan tersebut udara yang disirkulasikan
ke dalam ruangan pendingin dibuat dengan kecepatan yang rendah. Udara
sebagai pendingin akan memberikan kesempatan kepada logam untuk
membentuk kristal – kristal dan kemungkinan mengikat unsur – unsur lain
dari udara.
4. Garam
Garam dipakai sebagai bahan pendingin disebabkan memiliki sifat
mendinginkan yang teratur dan cepat. Bahan yang didiginkan di dalam
cairan garam yang akan mengakibatkan ikatannya menjadi lebih keras
karena pada permukaan benda kerja tersebut akan meningkat zat arang.
Kemampuan suatu jenis media dalam mendinginkan spesimen bisa
berbeda beda, perbedaan kemapuan media pendingin di sebabkan oleh
temperatur, kekentalan, kadar larutan dan bahan dasar media pendingin.
Pelumas adalah minyak yang mempunyai sifat untuk selalu melekat dan
menyebar pada permukaan-permukaan yang bergeser, sehingga membuat
pengausan dan kenaikan suhu kecil sekali (Soedjono, 1978).viskositas Oli,
dan bahan dasar Oli membawa pengaruh dalam mendinginkan sepesimen.
Bahan dasar minyak dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu minyak yang
berasal dari hewan diperoleh dengan cara merebus atau memasak tulang
belulang atau lemak babi, minyak pelumas dari tumbuhan dan minyak
pelumas mineral diperoleh dengan cara penyulingan (destilasi) minyak bumi
secara bertahap. Minyak pelumas mineral merupakan campuran beberapa
organik, terutama hidro karbon. Dalam minyak bumi mengandung parafin
28
(CnH2n-2), siklik parafin naftena (CnH2n) dan aromatik (CnHn), jumlah
susunan tergantung jumlah minyaknya.
Aromatik mempunyai sifat pelumasan yang baik tetapi tidak tahan
oksidasi. Parafin dan naftena lebih stabil tetapi tidak dapat menggantikan
aromatik secara keseluruhan. Karena tipe aromatik tertentu bertindak sebagai
penghalang oksidasi dan parafin murni tidak mempunyai sifat pelumasan
yang baik. Perbedaan yang lain yaitu aromatik mempunyai viskositas rendah,
naftena mempunyai viskositas sedang dan parafin mempunyai viskositas
tinggi.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi viskositas, yaitu komposisi,
suhu dan tekanan. Angka viskositas biasanya ditijau dengan SAE (Society of
Automotive Engine) dan disertai angka. Angka menunjukkan pada kelompok
mana viskositas itu termasuk.
Dalam perdagangan ada dua macam viskositas, misalnya SAE 10W
dan 40. SAE 10W tidak begitu peka terhadap temperatur, sedangkan Oli
SAE 40 peka terhadap temperatur. Indek kekentalan diikuti huruf W yang
menunjukkan kekentalan pada suhu 200C, sedangkan kekentalan yang tidak
diikuti huruf W menyatakan kekentalan pada suhu 1000C, dengan adanya
perkembangan teknologi lebih dari satu tingkat klasifikasi viskositasnya yang
dikenal dengan minyak pelumas multigrande. Penulisan angka viskositas
misalnya SAE 10W – 40 dengan maksud standar Olinya SAE 10 pada suhu
100C dan standar sampai SAE 40 pada suhu 1000C, sehingga minyak
pelumas ini bila digunakan dilingkungan suhu dingin akan bersikap sebagai
pelumas SAE 10W sedangkan bila digunakan dilingkungan suhu panas akan
bersikap sebagai minyak pelumas SAE 50W. Dalam penelitian ini
menggunakan pelumas mesran SAE 40.
Adapun proses pengerasan (quenching) dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu :
a) Pendinginan langsung (Direct Quenching) di tunjukkan pada Gambar
2.16 adalah pendinginan secara langsung dari media karburasi.
29
Efek yang timbul adalah kemungkinan adanya pengelupasan pada
benda kerja. Pada pendinginan langsung ini diperoleh permukaan
benda kerja yang getas.
Te
mp
era
tur
Temperatur
Austenit
Time
Pendinginan
Gambar 2.16 Proses Pendinginan Langsung atau Direct Quencinh
(Suherman Wahid, 1988)
b) Pendinginan tunggal (Single Quenching) di tunjukkan pada Gambar
2.17 adalah pemanasan dan pendinginan dari benda kerja setelah
benda kerja tersebut di karburasi dan telah didinginkan pada suhu
kamar.Tujuan dari metode ini adalah untuk memperbaiki difusisitas
dari atom – atom karbon, dan agar gradien komposisi lebih halus.
Tem
pera
tur
Temperatur
Austenit
Time
Pendinginan
Gambar Grafik 2.17 : Proses Pendinginan Tunggal
Atau Single Quenching (Suherman Wahid,1988)
c) Double Quenching sperti pada gambar Gambar 2.18 adalah proses
pendinginan atau pengerasan pada benda kerja yang telah di
30
karburasi dan didinginkan pada temperatur kamar kemudian
dipanaskan lagi diluar kotak karbon pada temperatur kamar lalu
dipanaskan kembali pada temperatur austenit dan baru didinginkan
cepat.
Tujuan dari metode ini untuk mendapatkan butir struktur yang lebih
halus.
Te
mp
era
tur
Temperatur
Austenit
Time
Pendinginan
Gambar 2.18 Proses Double Quenching (Suherman Wahid, 1988)
2.11 Transformasi Fase Pada Saat Pemanasan
Transformasi fase yang terjadi pada saat pemanasan dapat
dipelajari dari diagram keseimbangan / diagram fase seperti pada Gambar
2.19 besi karbida – baja. Baja karbon rendah pada diagram fase terletak
dibawah ini, termasuk dalam baja hypoutektoid.
Pada temperatur kamar baja karbon rendah terdiri dari butir –
butir kristal ferit dan perlit dengan jumlah butir ferit lebih banyak dari
butir perlit. Perbandingan jumlah buntir ferit dan perlit tersebut sesuai
dengan jumlah kadar karbon yang terkandung dalam baja karbon rendah
tersebut. Semakin banyak jumlah kadar karbon semakin sedikit jumlah
butir ferit dan semakin banyak butir perlitnya.
Pada baja karbon rendah jika dipanaskan hanya sampai
temperatur dibawah temperatur krisis A1, maka belum tampak adanya
perubahan struktur mikro. Dalam struktur mikro masih terlihat butir
ferit dan perlit. Tetapi bila pemanasan dilanjutkan hingga tepat pada
temperatur kritis A1, maka perlit akan mengalami reaksi eutektoid.
31
Dimana butir ferit dan sementit dari perlit akan bereaksi menjadi
austenit.
Reaksi eutektoid pada saat pemanasan :
Ferit + Fe3C austenit
Reaksi autektoid ini berlangsung pada temperatur konstan dan
temperatur tidak akan naik sebelum reaksi eutektoid selesai atau seluruh
ferit dan sementit didalam perlit habis menjadi austenit. Setelah perlit
habis dan mulai terjadi kenaikan temperatur, maka ferit – preutektoid
akan mulai mengalami transformasi allotropik, ferit yang mempunyai
bentuk struktur kristal BCC (body centre cubic) akan berubah menjadi
austenit yang FCC (face centre cubic). Transformasi ini berlangsung
bersamaan dengan naiknya temperatur. Makin tinggi temperatur
pemanasan makin banyak ferit yang bertransformasi menjadi austenit.
Tranformasi dari ferit ke austenit selesai ditunjukan pada garis A3, jadi
diatas A3 struktur yang terjadi adalah austenit dengan bentuk kristal
FCC (face center cubic).
Gambar 2.19 : Diagram Fe – C (ASM Hanbook, 1990)
2.12 Difusi
Difusi karbon terjadi karena atom bergerak ke dalam material
secara penyisipan (interstisi) di batas butir. Laju difusi tergantung pada
32
jenis atom yang berdifusi, jenis atom tempat difusi berlangsung dan
ditentukan oleh koefisien difusi. Dan koefisien difusi tergantung pada
temperatur, makin tinggi temperatur makin besar pula difusi yang
berlangsung (Suherman Wahid,1988)
Jarak tempuh difusi akan tergantung pada lamanya waktu yang
tersedia untuk berlangsungnya difusi . Pada daerah suhu austenit atom –
atom besi menyusun diri menjadi bentuk kristal FCC . Dan struktur
kristal FCC ini mempunyai bentuk kristal FCC. Dan struktur kristal
FCC ini mempunyai kemampuan melarutkan karbon yang lebih besar
daripada logam dengan struktur kristal BCC seperti pada Gambar 2.20
karena kecuali struktur kristal FCC seperti pada Gambar 2.21 mempunyai
kerapatan atom lebih besar daripada BCC, juga karena pengaruh
temperatur. Bila suhu atau temperatur naik, atom – atom bergerak
dengan energi yang lebih besar sehingga atom mampu untuk pindah
dari tempatnya.
a
a
a
Gambar 2.20 Bentuk Struktur Kristal BCC (Suherman Wahid, 1988)
a
a
a
Gambar 2.21 Bentuk Struktur Kristal FCC (Suherman Wahid, 1988)
33
Jadi bila karbon ditambahkan kedalam besi, karena atom karbon
sangat kecil dibandingkan atom besi, maka atom - atom karbon akan
terdistribusi pada ruangan disela – sela antara atom – atom besi atau
disebut larutan padat interstisi.
Kelarutan karbon pada proses case hardening yaitu pada
temperatur pemanasan 800 0C – 950
0C akan mencapai maksimum
ditujukan oleh garis Acm. Bila kadar karbon yang dilarutkan melebihi
batasan maksimum, maka akan terbentuk fasa lain yaitu austenit +
sementit (Fe3C).
Untuk mengetahui kadar karbon dari hasil difusi pada kedalaman
x dapat diketahui dengan menggunakan rumus :
0Cx - C = ( C - C )10 1 - erf (
2 ( Dt )
X)
dimana Cx = kadar karbon material pada kedalaman x
C0 = kadar karbon spesimen
C1 = kadar karbon permukaan spesimen
x = kedalaman diffusi karbon (cm)
D = koefisien diffusi karbon (cm2/s)
t = waktu (holding time) (s)
erf = fungsi error (error function) (tabel)
harga koefisien diffusi dicari dengan cara :
0D = D expQ
RT
Dimana : D0 = faktor frekuensi (cm2/s) (tabel)
Q = energi aktivasi (cal/mol/K) (tabel)
T = temperatur pemanasan (0K)
R = konstanta gas (1,987 cal/ mol)
2.13 Transformasi Fase Pada Saat Pendinginan
Dalam suatu proses perlakuan panas, setelah pemanasan
mencapai temperatur yang ditentukan dan diberi waktu penahanan
( 2.1 )
( 2.2 )
34
panas (Holding time) secukupnya maka dilakukan pendinginan dengan
laju tertentu. Struktur mikro yang terjadi setelah pendinginan akan
tergantung pada laju pendinginan. Karena sifat mekanik dari baja
setelah akhir suatu proses perlakuan panas akan ditentukan oleh laju
pendinginan seperti pada Gambar 2.22..
Transformasi austenit pada pendinginan memegang peranan
penting terhadap sifat dari baja karbon. Austenit dari baja hypoutektoid
bila didinginkan secara lambat pada temperatur A3 mulai membentuk
inti kristal austenit. Transformasi ini terjadi karena perubahan allotropik
dari besi gamma (austenit) ke alpha (ferrit). Karena ferit hanya dapat
melarutkan karbon dalam jumlah yang sangat kecil maka kandungan
karbon dalam austenit akan semakin besar bila ferit yang tumbuh
banyak (dengan makin turunnya temperatur). Besarnya kandungan
karbon dalam temperatur kritis A3, sehingga pada saat temperatur
mencapai temperatur kritis A1, komposisi austenit sama dengan
komposisi eutektoid dan pada waktu itu austenit berdeformasi menjadi
perlit.
Tumbuhnya perlit diawali dengan tumbuhnya inti sementit pada
batas butir austenit. Untuk tumbuhnya sementit diperlukan sejumlah
besar karbon yang akan diperoleh dari austenit sekitarnya. Sehingga
austenit disekitar sementit miskin karbon dan menjadi ferit. Perpindahan
atom ini berlangsung secara difusi, oleh karena itu memerlukan waktu
yang cukup.
Pada proses case hardening bila austenit didinginkan secara
cepat, maka transformasi sementit (karbida besi) tidak terjadi dan
produk transformasi austenit akan berubah menjadi fasa baru yang
dikenal sebagai bainit dan martensit. Bainit terbentuk bila austenit
didinginkan dengan cepat hingga mencapai temperatur tertentu.
Transformasi bainit ini disebabkan sebagian karena proses difusi dan
sebagaian lagi karena proses tanpa difusi.
35
Tem
pera
tur
Austenit (Stable)
Waktu
Coorse Peorlite R/C 15
Medium Peorlite R/C 30
Fine Peorlite R/C 40
Martensite R/C 64
Upper Boinete R/C 40
Lower Boinete R/C 60Austenite
(Unstable)
M1
M2
A + F + C
CCR25 %
A1
A3
A2
A4A5
A5
A6 A5
A1
Gambar 2.22 Kurva Pendinginan (Suherman Wahid, 1988)
Martensit dapat terjadi bila austenit didinginkan cepat sekali
hingga temperatur dibawah temperatur pembentukan bainit. Martensit
terbentuk karena transformasi tanpa difusi. Keadaan ini menimbulkan
distorsi dan kekerasan yang terjadi sangat tergantung pada kadar
karbon.
2.15 Pengujian Kekerasan
Kekerasan yaitu ketahanan bahan terhadap indentasi secara kualitatif
menunjukan kekuatannya (Shackelford, 1976). Skala yang lazim dalam
pengujian kekerasan antara lain skala Brinell, Vickers, Rockwell dan Knop
a. Uji kekerasan Brinell
Pengujian kekerasan Brinell merupakan pengujian standard secara
industri, tetapi karena penekannya memakai bola baja yang diperkeras
(hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu,
sebagaimana penekanan bola baja ditunjukkan oleh Gambar 2.22 di
halaman selanjutnya. Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran
bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus
pengukur jejak. Sedangkan pengukuran nilai kekerasan suatu material hitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
BHN = (2.3)
36
dimana P : Beban (kg)
D : Diameter indentor (mm)
d : Diameter jejak (mm)
Gambar 2.23 Ilustrasi Indentasi Metode Brinell (Akhmad, 2009)
Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk
setiap material dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai
kekerasan suatu material yang dinotasikan dengan ‗HB‘ tanpa tambahan
angka di belakangnya menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor
bola baja 10 mm Gambar 2.24 dibawah, beban 3000 kg selama waktu 1—15
detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti angka-angka yang
menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB 10/500/30 menyatakan nilai
kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu pengujian dengan
indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik.
Gambar 2.24 Hasil Indentasi Brinell Berupa Jejak Berbentuk Lingkaran Dengan
Ukuran Diameter Dalam Skala Mm. (Akhmad, 2009)
37
b. Metode Rockwell
Metode Rockwell Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers
dimana kekerasan suatu bahan dinilai dari diameter atau diagonal jejak yang
dihasilkan maka metode Rockwell merupakan uji kekerasan dengan
pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak dipakai dalam
industri karena pertimbangan praktis. Variasi dalam beban dan indetor yang
digunakan membuat metode ini memiliki banyak macamnya.
Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B dengan
referensi ASTM E 18 memakai indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan
beban 100 kg dan Rockwell C memakai indentor intan dengan beban 150kg.
Sedangkan untuk bahan lunak menggunakan penetrator yang digunakan
adalah bola Baja (Ball) yang kemudian dikenal dengan skala B dan untuk
bahan yang keras penetrator
yang digunakan adalah kerucut intan (Cone) dengan sudut puncak 1200,
yang
bisa dilihat pada Gambar 2.25 di bawah, kemudian dikenal dengan skala C.
Gambar 2.25 Identer Kerucut Pada Ujung Diamon (ASM Vol.8, 2008)
Walaupun demikian metode Rockwell lainnya juga biasa dipakai.
Oleh karenanya skala kekerasan Rockwell suatu material harus
dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang menyatakan
material diukur dengan skala B. Indentor 1/6 inci dan beban 100 kg. Berikut
ini diberikan Tabel 2.3 yang memperlihatkan perbedaan skala dan range uji
dalam skala Rockwell.
Dalam pengujian kekerasan Rockwell perlu memperhatikan nilai
minimum ketebalan material pengujian. nilai ketebalan minimum material
pengujian mengikuti rasio 1:10 tetapi ini berdasarkan akumulasi data
38
pengujian untuk berbagai macam ketebalan pada baja karbon rendah, tinggi
dan baja temper.
Tabel 2.3 Skala Pada Metode Uji Kekerasan Rockwell (ASM Vol.8, 1998)
Skala Beban
Mayor (Kg) Tipe Indentor
Tipe Material Uji
A 60 1/16‖ bola intan
kerucut Sangat keras, tungsten, karbida
B 100 1/16‖ bola
Kekerasan sedang, baja karbon
rendah dan sedang, kuningan,
perunggu
C 150 Intan kerucut
Baja keras, paduan yang
dikeraskan, baja hasil
tempering
D 100 1/8‖ bola Besi cor, paduan alumunium,
magnesium yg dianealing
E 100 Intan Kerucut Baja kawakan
F 60 1/16‖ bola Kuningan yang dianealing dan
tembaga
G 150 1/8‖ bola Tembaga, berilium, fosfor,
perunggu
H 60 1/8‖ bola Pelat alumunium, timah
K 150 ¼‖ bola Besi cor, paduan alumunium,
timah
L 60 ¼‖ bola Plastik, logam lunak
M 100 ¼‖ bola Plastik, logam lunak
R 60 ¼‖ bola Plastik, logam lunak
S 100 ½‖ bola Plastik, logam lunak
V 150 ½‖ bola Plastik, logam lunak
Pengujian kekerasan Rockwell memiliki tiga metode yang biasa digunakan yaitu:
1) Metode dengan Kerucut (HRC)
Pada percobaan dengan metode ini menggunakan identer kerucut
untuk penekanan ke material diperlihatkan pada Gambar 2.26 dibawah,
dengan besar nilai kekerasan HRC. Skala HRC memiliki nilai kekerasan 0
sampai 100.
39
Gambar 2.26 Ilustrasi Uji Kekerasan Rockwell (ASM Vol.8, 1998)
Namun pengujian untuk material tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan mesin khusus yang memiliki kapasitas beban 1-30 kg. Metode
ini hanya cocok untuk bahan-bahan dengan susunan yang homogen.
Gambar 2.27 dibawah menunjukan bagan pengujian Rockwell Cone atau
HRC:
Gambar 2.27. Bagan Pengujian HRC(Akhmad, 2009)
2) Metode dengan Peluru (HRB)
Metode ini pada dasarnya sama dengan metode kerucut. Hanya saja
metode ini menggunakan penetrator sebuah peluru. Berikut ini adalah bagan
pengujian Rockwell Ball atau HRB yang dilustrasikan pada Gambar 2.28
sebagai berikut:
40
Gambar 2.28. Bagan Pengujian HRB (Akhmad, 2009)
3) Metode Rockwell Superficial
Perbedaannya dengan Rockwell biasa adalah dalam beban minor dan
beban mayor. Pada Rockwell Superficial, beban minor adalah 3 kg,
sedangkan beban mayor adalah 15, 30 dan 45 kg untuk mengetahui besarnya
beban dan dan jenis identor bisa dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4. Skala Superficial Rockwell (ASM Vol.8, 1998)
Simbol Identor Besar beban
(Kg)
15 N Diamond 15
30 N Diamond 30
45 N Diamond 45
15 T 1/16 in ball 15
30 T 1/16 1n ball 30
45 T 1/16 in ball 45
15 W 1/8 in ball 15
30 W 1/8 in ball 30
45 W 1/18 in ball 45
41
c. Metode Vickers
Banyak masalah metalurgi yang membutuhkan penentuan kekerasan
pada permukaan yang sangat kecil misalnya penentuan kekerasan pada
permukaan terkarburasi, daerah sambungan, daerah difusi dua material yang
berbeda dan penentuan kekerasan pada part jam tangan. Untuk pengujian
spesimen-spesimen sangat kecil ini, mengunakan uji Vickers dan untuk
prosedur pengujian menggunakan referensi ASTM E 384
Pada metode ini, digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan
sudut 136o, seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.29. Prinsip pengujian
adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan
berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala
pada mikroskop pengujur jejak. Untuk menghitung nilai kekerasan suatu
material menggunakan rumus sebagai berikut:
VHN = (2.4)
Dimana P = Besar beban (kg)
d = Rata-rata diameter pijakan identer d1 dan d2 (mm)
Gambar 2.29 Indentasi Dengan Metode Vickers (Akhmad, 2009)
42
Keuntungan dari metode pengujian Vickres :
a. Dengan benda penekan yang sama baik kekerasan bahan yang keras
maupun yang lunak dapat diketahui hasilnya.
b. Penekanan yang kecil (kira – kira 0,5 mm) pada benda kerja yang
harus diukur, hanya menyebabkan kerusakan kecil saja.
c. Penentuan kekerasan pada benda kerja tipis adalah dengan memilih
gaya yang kecil.
Sedangkan kerugian – kerugian dari metode pengujian Vickers adalah :
a. Bahan – bahan tidak homogen (sejenis), seperti besi tuang dan
perunggu tidak dapat dipertanggung jawabkan untuk diukur dengan
metode Vickers.
b. Dibandingkan dengan pengukuran kekerasan menurut Rockwell,
metode ini cukup memakan waktu lama karena adanya dua
penanganan yang terpisah yaitu pelaksanaan indentasi dan
pengukuran.
c. Permukaan benda uji harus benar – benar halus, sehubungan dengan
penekanan yang sangat kecil.