BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 -...

32
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori Piston merupakan salah satu komponen penting dalam kendaraan bermotor pada proses pembakaran di ruang bakar. Sehingga material piston merupakan material spesifikasi khusus dan biasanya digunakan bijih aluminium untuk membuat paduannya. Piston dipegang oleh setang piston (connecting rod shaft) yang mendapatkan gerakan turun naik dari gerakan berputar cranksaft (Stephen, 2004). Bentuk bagian piston dapat dilihat pada Gambar 2.1. Piston bekerja tanpa henti selama mesin hidup. Komponen ini menerima temperatur dan tekanan tinggi sehingga mutlak harus memiliki daya tahan tinggi. Oleh karena itu, pabrikan kini lebih memilih paduan aluminium (Al-Si). Paduan ini diyakini mampu meradiasikan panas yang lebih efisien dibanding material lainnya. Karena paduan ini memiliki daya tahan terhadap korosi dan abrasi, koefisien pemuaian yang rendah, dan juga mempunyai kekuatan yang tinggi. Gambar 2.1. Piston dipegang oleh setang piston pada proses pembakaran dalam (www.arthursclipart.org) Piston bekerja tanpa henti selama mesin hidup dan menerima tekanan dan temperatur tinggi sehingga harus memiliki daya tahan tinggi (Delo., 2012). Pabrikan kini lebih memilih paduan aluminium (Al-Si). Paduan ini mampu meradiasikan panas yang lebih efisien, tahan korosi, abrasi dan kekuatan mekanik tinggi, tetapi koefisien muai rendah (Guohua, et.al., 2012). Penyebab utama kerusakan piston adalah aus ditampilkan pada Gambar 2.2. disebabkan gesekan dan temperatur tinggi. Kurang disiplinnya merawat kendaraan terutama

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 -...

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan teori

Piston merupakan salah satu komponen penting dalam kendaraan bermotor

pada proses pembakaran di ruang bakar. Sehingga material piston merupakan

material spesifikasi khusus dan biasanya digunakan bijih aluminium untuk

membuat paduannya. Piston dipegang oleh setang piston (connecting rod shaft)

yang mendapatkan gerakan turun naik dari gerakan berputar cranksaft (Stephen,

2004). Bentuk bagian piston dapat dilihat pada Gambar 2.1. Piston bekerja tanpa

henti selama mesin hidup. Komponen ini menerima temperatur dan tekanan tinggi

sehingga mutlak harus memiliki daya tahan tinggi. Oleh karena itu, pabrikan kini

lebih memilih paduan aluminium (Al-Si). Paduan ini diyakini mampu

meradiasikan panas yang lebih efisien dibanding material lainnya. Karena paduan

ini memiliki daya tahan terhadap korosi dan abrasi, koefisien pemuaian yang

rendah, dan juga mempunyai kekuatan yang tinggi.

Gambar 2.1. Piston dipegang oleh setang piston pada proses pembakaran dalam

(www.arthursclipart.org)

Piston bekerja tanpa henti selama mesin hidup dan menerima tekanan dan

temperatur tinggi sehingga harus memiliki daya tahan tinggi (Delo., 2012).

Pabrikan kini lebih memilih paduan aluminium (Al-Si). Paduan ini mampu

meradiasikan panas yang lebih efisien, tahan korosi, abrasi dan kekuatan mekanik

tinggi, tetapi koefisien muai rendah (Guohua, et.al., 2012). Penyebab utama

kerusakan piston adalah aus ditampilkan pada Gambar 2.2. disebabkan gesekan

dan temperatur tinggi. Kurang disiplinnya merawat kendaraan terutama

8

pengecekan oli mesin menyebabkan piston panas dan gesekan besar akibatnya

mudah aus (Uwe Schilling., 2010).

Gambar 2.2 Kerusakan piston karena aus (Uwe Schilling., 2010).

Kekerasan material piston yang rendah dan koefesien muai rendah

(Riyadh, et.al., 2011). Sekarang dikembangkan material yang lebih unggul dari

paduan alumunium dan silikon. Material baru yang diciptakan yaitu Aluminium

Matrix Composite (AMCs). Teknologi ini menciptakan kekerasan alumunium

tinggi, koefesien muai rendah, tahan aus dan meningkatkan sifat mekanisnya

(Qin, Q.D, et.al., 2008). Performa piston lokal yang rendah dikembangkan

pembuatanya dengan AMCs dari paduan Al-Si dan penguat partikel dan fiber SiC.

Fabrikasi pembuatanya melalui pengecoran tekan (Squeeze casting). Hasilnya

kekerasan meningkat, porositas rendah dan kekuatan tarik tinggi (Asano K, 2004).

Ukuran dari butir partikel dan fiber SiC sangat berpengaruh terhadap

kekerasan dan kehalusan permukaan. Semakin kecil dari ukuran partikel, maka

kekerasan dan permukaan semakin halus sehingga mengurangi friction (gesekan)

antara piston dan liner (Li Chong, et.al., 2009). Sedangkan tekanan squeeze

casting yang besar pada pembuatan piston dapat mengurangi porositas sampai 2%

(Mahadevan., 2008). Hasil piston komposit ditingkatkan dengan perlakuan panas

yang bisa memperbaiki sifat mekanik piston dengan mengubah strukturmikro

material.

2.2 Komposit Matrik Aluminium

Material terdiri dari gabungan dua atau lebih fasa yang berbeda, baik

secara fisik, kimia, dan memiliki karakteristik yang unggul dari masing-masing

komponen disebut material komposit. Material tersusun dari dua yaitu matrik dan

9

reinforced (penguat) (Reedy et,al., 2010). Terdapat 5 (lima) penguat pada material

komposit yang berpengaruh sifat mekanik mulai dari distribusi, konsentrasi,

orientasi, bentuk, dan ukuran, dimana bisa dilihat pada Gambar 2.3 (Calister,

2007).

Gambar 2.3. Penguat dalam material komposit a). konsentrasi, b). Ukuran, c)

bentuk, d). Distribusi, dan e) orientasi (Calister, 2003).

Komposit matrik logam terdiri fasa logam dan material penguat dari

senyawa keramik seperti SiC, B4C, dan karbida yang memiliki kemapuan basah

kurang baik terhadap logam cair (Engineered Material Handbook, Vol. 1, 1987).

Biasanya berbentuk partikulat dengan kadar antara 10 – 60% fraksi volume

(Calister, 2003). Komposit matrik logam (MMC) atau lebih spesifik komposit

matrik aluminium (AMC) banyak digunakan untuk pembuatan piston dengan

proses squeece casting (Asano K, 2004). MMC memiliki keunggulan pada

peningkatan kekuatan mekanik dan berat lebih ringan. Peningkatan volume

penguat pada komposit meningkatkan modulus elastis, kekuatan tarik, kekuatan

luluh, dan menurunkan densitas material (Jit et, al., 2011). Dan menurunkan

keuletan dan ketahanan patah (Devi et, al., 2011).

2.3 Material Penyusun Aluminium Matrik Komposit (AMC)

Tiga elemen pada fabrikasi aluminium matrik komposit, untuk logam

aluminium sebagai matrik, dan partikel SiC sebagai penguat, sedangkan

magnesium sebagai wetting agent yang berfungsi meningkatkan pembasahan

antarmuka matrik dan penguat. Ketiga elemen akan dibahas sebagai berikut;

10

2.3.1. Aluminium

Aluminium merupakan logam ringan dengan massa jenis yang rendah

2,7 g/cm3 struktur kristal Face Center cubic (FCC) dengan sifat keuletan

yang tinggi. Pada AMC, aluminium berperan sebagai matrik yang berfungsi

untuk media transfer beban ke penguat, karena sedikit beban yang diterima

yang mampu ditahan matrik (Calister, 2003). Matrik pada komposit memiliki

sifat ulet dan penguat dari lingkungan (Brooks dan Charlie., 1982). Sifat fisik

dan mekanik aluminium dapat dilihat pada Tabel 2.1. Aluminium dan

panduanya ditandai berdasarkan produknya, seperti cast product (hasil cor)

atau wrought product (hasil tempa) (Altenpohl., 1982).

Tabel 2.1.Sifat fisk dan mekanik aluminium Aluminium (Lutfi & Sukron.,

2010)

Sifat Fisik Satuan Nilai

Massa jenis g/cm3 2,7

Nomor Atom - 13

Berat Atom g/mol 26,67

Struktur kristal - FCC

Titik Lebur oC 660,4

Titik Didih oC 2647

Jari-jari atom nm 0,143

Sifat Mekanis Satuan Nilai

Modulus Elastisitas Gpa 72

Poisson Ration - 0,35

Kekerasan VHN 3500

Kekuatan luluh MPa 450

Ketangguhan MPa 4,5

Macam–macam paduan aluminium dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Paduan Al-Si

Paduan Al-Si ditemukan oleh A. Pacz tahun 1921. Paduan Al-Si yang

telah diperlakukan panas dinamakan Silumin. Sifat – sifat silumin sangat

diperbaiki oleh perlakuan panas dan sedikit diperbaiki oleh unsur paduan.

Paduan Al-Si umumnya dipakai dengan 0,15% – 0,4% Mn dan 0,5 % Mg.

Paduan yang diberi perlakuan pelarutan (solution heat treatment),

quenching, dan aging dinamakan silumin , dan yang hanya mendapat

11

perlakuan aging saja dinamakan silumin . Paduan Al-Si yang

memerlukan perlakuan panas ditambah dengan Mg juga Cu serta Ni untuk

memberikan kekerasan pada saat panas. Bahan paduan ini biasa dipakai

untuk piston kendaraan (Surdia, 1992).

Gambar 2.4. Diagram fasa Al-Si (ASM International, 2004)

Pada diagram fasa Al-Si (Gambar 2.4) dapat dibagi tiga daerah yaitu:

a. Daerah Hipoeutektik

Pada daerah ini terdapat kandungan silikon < 11,7% dimana struktur

mikro akhir yang terbentuk pada fasa ini adalah fasa α – aluminium dan

eutektik (gelap) yang kaya aluminium yang memiliki kekerasan 90 HB,

Struktur mikro hipoeutektik diperlihatkan pada Gambar 2.5a

b. Daerah Eutektik

Pada komposisi ini paduan Al-Si dapat membeku secara langsung (dari

fase cair ke padat). Kandungan silikon yang terkandung didalamnya

sekitar 11.7% sampai 12.2% untuk struktur mikro eutektik bisa dilihat

pada Gambar 2.5b. Material ini memiliki kekerasan 105 HB dan uji

tarik 248 MPa sehingga banyak diaplikasikan pada komponen dengan

tekanan yang tinggi, seperti: crank case, wheel hub, cylinder barrel.

(ASM Handbook vol 15, 1998).

12

c. Daerah Hypereutectic

Struktur mikro hypereutectic pada Gambar 2.5c menunjukan

Komposisi silikon diatas 12.2% sehingga kaya akan silikon dengan fasa

eutektik sebagai fasa tambahan dan memiliki kekerasan 110 HB.

Contoh aluminium alloy jenis ini : AC8H, A.339.

Gambar 2.5 Struktur mikro paduan Al-Si (a) paduan hypoeutectic

(1.65-12.6 wt% Si). 150X. (b) paduan eutectic (12.6% Si). 400X. (c)

paduan hypereutectic (>12.6% Si) 150X (ASM International, 2004)

Tipe paduan tergantung pada presentase kandungan silikon ini akan

berpengaruh terhadap titik beku (freezing point) yang dipakai pada proses

pengecoran aluminium yang bisa dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 kandungan Si berpengaruh terhadap temperatur titik beku

paduan aluminium (ASM International, 2004)

Alloy Si conten BS alloy Typical freezing range

(oC)

Low silicon 4 - 6 % LM4 625 – 525

Medium Silicon 7,5 - 9,5 % LM25 615 – 550

Eutectic alloys 10 -13 % LM6 575 – 565

Special hypereutectic alloys > 16 % LM30 650 – 505

(a) (b) (c)

Si primer

Si

α - Al

13

2. Paduan Al-Cu dan Al-Cu-Mg

Paduan Al-Cu dan Al-Cu-Mg ditemukan oleh A. Wilm dalam usaha

mengembangkan paduan alumunium yang kuat dinamakan duralumin ini

sering diaplikasikan pada rangka sepeda motor, pulley, roda gigi, velg

mobil yang diperlihatkan pada Gambar 2.6. Paduan Al-Cu-Mg adalah

paduan yang mengandung 4% Cu dan 0,5% Mg dapat ditingkatkan

kekerasanya dengan proses natural aging setelah solution heat treatment

dan quenching. Studi tentang logam paduan ini telah banyak dilakukan

salah satunya adalah Nishimura yang telah berhasil dalam menemukan

senyawa terner yang berada dalam keseimbangan dengan Al, yang

kemudian dinamakan senyawa S dan T. Ternyata senyawa S (AL2CuMg)

mempunyai kemampuan penuaan pada temperatur biasa. Paduan Al-Cu

dan Al-Cu-Mg dipakai sebagai bahan dalam industri pesawat terbang.

Gambar 2.6. Komponen-komponen dari material duralumin (Surdia, 1992)

3. Paduan Al-Mn

Mangan (Mn) adalah unsur yang memperkuat Aluminium tanpa

mengurangi ketahanan korosi dan dipakai untuk membuat paduan yang

tahan terhadap korosi. Paduan Al-Mn dalam penamaan standar AA adalah

paduan Al 3003 dan Al 3004. Komposisi standar dari paduan Al 3003

adalah Al, 1,2 % Mn, sedangkan komposisi standar Al 3004 adalah Al, 1,2

% Mn, 1,0 % Mg. Paduan Al 3003 dan Al 3004 digunakan sebagai paduan

tahan korosi tanpa perlakuan panas.

14

4. Paduan Al-Mg

Paduan dengan 2–3% Mg dapat mudah ditempa, dirol dan diekstrusi,

paduan Al 5052 adalah paduan yang biasa dipakai sebagai bahan tempaan.

Paduan Al 5052 adalah paduan yang paling kuat dalam sistem ini, dipakai

setelah dikeraskan oleh pengerasan regangan apabila diperlukan kekerasan

tinggi. Paduan Al 5083 yang dianil adalah paduan antara (4,5% Mg) kuat

dan mudah dilas oleh karena itu sekarang dipakai sebagai bahan untuk

tangki LNG (Surdia, 1992).

5. Paduan Al-Mg-Si

Sebagai paduan Al-Mg-Si dalam sistem klasifikasi AA dapat diperoleh

paduan Al 6063 dan Al 6061. Paduan dalam sistem ini mempunyai

kekuatan kurang sebagai bahan tempaan dibandingkan dengan paduan–

paduan lainnya, tetapi sangat liat, sangat baik mampu bentuknya untuk

penempaan, ekstrusi dan sebagainya. Paduan 6063 dipergunakan untuk

rangka–rangka konstruksi, maka selain dipergunakan untuk rangka

konstruksi juga digunakan untuk kabel tenaga (Surdia, 1992).

6. Paduan Al-Mn-Zn

Di Jepang pada permulaan tahun 1940 Iragashi dan kawan-kawan

mengadakan studi dan berhasil dalam pengembangan suatu paduan dengan

penambahan kira–kira 0,3% Mn atau Cr dimana butir kristal padat

diperhalus dan mengubah bentuk presipitasi serta retakan korosi tegangan

tidak terjadi. Pada saat itu paduan tersebut dinamakan ESD atau duralumin

super ekstra. Selama perang dunia ke dua di Amerika serikat dengan

maksud yang hampir sama telah dikembangkan pula suatu paduan yaitu

suatu paduan yang terdiri dari: Al, 5,5 % Zn, 2,5 % Mn, 1,5% Cu, 0,3 %

Cr, 0,2 % Mn sekarang dinamakan paduan Al-7075. Pengggunaan paduan

ini paling besar adalah untuk bahan konstruksi pesawat udara, disamping

itu juga digunakan dalam bidang konstruksi (Surdia, 1992).

2.3.2. Silikon Karbida

Salah satu jenis keramik yang sering digunakan sebagai penguat dalam

aluminium matrik komposit adalah silikon karbida (SiC). Diproduksi dengan

15

silika reaktif dari tanah dan karbon dari proses pemanasan pada temperatur

2400oC didalam dapur listrik. Silikon karbida memiliki kekerasan dan

modulus elastis yang tinggi, mampu meningkatkan sifat mekanis pada

aplikasi material komposit (Ortega et, al, 2007). Meningkatnya fraksi volume

partikel SiC pada matrik aluminium dapat meningkatkan kekuatan dan

kekakuan MMC sesuai dengan hukum pencampuran atau Rule of mixture

(Devi et, al., 2011). Aluminium silikon karbida komposit memiliki kekuatan

khusus yang sangat baik, modulus spesifik, dan ketahanan aus. Koefisien

ekspansi termal menurun secara linear dengan peningkatan konten SiC

(Mahadevan and R Gopal, 2008).

Salah satu jenis keramik yang sering digunakan sebagai penguat dalam

aluminium matrik komposit adalah silikon karbida (SiC). Diproduksi dengan

silika reaktif dari tanah dan karbon dari proses pemanasan pada temperatur

2400oC didalam dapur listrik. Silikon karbida memiliki kekerasan dan

modulus elastis yang tinggi, mampu meningkatkan sifat mekanis pada

aplikasi material komposit (Ortega et, al, 2007). Sifat fisik dan mekanik

silikon karbida ditampilkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Sifat fisk dan mekanik silikon karbida (Lutfi & Sukron., 2010)

Sifat Fisik Satuan Nilai

Massa jenis g/cm3 3,15

Berat Atom g/mol 40,1

Warna - Hitam

Struktur kristal - HCP

Titik Lebur oC 2700

Titik Didih oC 2972

Sifat Mekanis Satuan Nilai

Modulus Elastisitas Gpa 410

Poisson Ration - 0,14

Kekerasan VHN 3500

Kekuatan Tekan MPa 3900

Kekuatan luluh MPa 450

Ketangguhan MPa 4,5

Meningkatnya fraksi volume partikel SiC pada matrik aluminium dapat

meningkatkan kekuatan dan kekakuan MMC sesuai dengan hukum

16

pencampuran atau Rule of mixture (Devi et, al., 2011). Aluminium silikon

karbida komposit memiliki kekuatan khusus yang sangat baik, modulus

spesifik, dan ketahanan aus. Koefisien ekspansi termal menurun secara linear

dengan peningkatan konten SiC (Mahadevan and R Gopal, 2008).

2.3.3. Magenesium

Pembuatan komposit, Magnesium (Mg) berfungsi sebagai wetting agent

untuk meningkatkan pembasahan antara matrik dan penguat dengan cara

menurunkan tegangan permukaaan antara keduanya. Sifat fisik dan mekanik

magnesium ditampilkan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Sifat fisk dan mekanik Magnesium (Lutfi & Sukron., 2010)

Sifat Fisik Satuan Nilai

Massa jenis g/cm3 1,74

Berat Atom g/mol 24,305

Warna - Putih keperakan

Struktur kristal - HCP

Titik Lebur oC 650

Titik Didih oC 1090

Sifat Mekanis Satuan Nilai

Poisson Ration - 0,22

Kekerasan BHN 260

Kekuatan luluh MPa 45

2.4 Efek Penambahan Silikon Karbida (SiC) pada Aluminium Matrik

Komposit

Penambahan penguat SiC pada aluminium matrik komposit meningkatkan

kekuatan dan modulus kekakuan tinggi, menghasilkan material komposit

dengan sifat makanik diantara matrik dan penguat (Singla et, al, 2009).

Penambahan penguat SiC dalam jumlah fraksi volume lebih dari 10%

memberikan pengaruh karakteristik dan sifat mekanik matrik aluminium pada

AMC (Zainuri dkk, 2008). Seperti modolus elastis, kekuatan tarik, dan

kekuatan luluh (Jit et, al., 2011). Namun menurunkan densitas, keuletan, dan

17

ketahanan patah (Devi et, al., 2011). Pengurangan densitas karena

terbentuknya porositas disebabkan gas yang terperangkap dan particle pull

out void. Porositas disebabkan particle pull out void disebabkan antarmuka

yang tidak terbentuk optimal, sehingga partikel SiC bisa lepas dari matrik

aluminium (Yandouzi et,al., 2009). Peningkatan komposisi penguat komposit

berbanding lurus dengan level porositas, dimana bisa dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Perbandingan kadar penguat SiC dengan porositas komposit Al-

SiC (Yandouzi et,al., 2009)

Starting powder Porosity

(%)

SiC (Vol.%)

in the coating

Hardness

(HV300)

Shear force/bond

strength

Al-12%sSi alloy 0,78±0,52 N/A 112±5 (1522±266)N/(21,7±3,

8) MPa

Al-12%sSi +

20%SiCp 1,30±0,74 14,5±2,7 158±12 (1465±303)N/(20,9±4,

3) MPa Al-12%sSi +

40%SiCp 2108±0,85 27,7±3,5 212±16 (1167±233)N/(16,7±3,

6) MPa Al-12%sSi +

60%SiCp 6,30±2,15 41,0±4,3 198±27 -

Pengaruh porositas terhadap kekuatan mekanik komposit melalui

berkurangnya daerah penahanan beban dari luar dan adanya konsentrasi

tegangan daerah sekitar porositas, sehingga mengurangi kemampuan

komposit akan gaya luar (Gupta et, al., 1995). Kekuatan mekanis dipengaruhi

oleh poros, oreintasi poros, dan volume poros. Efek fraksi volume porositas

dalam kaitanya dengan kekuatan komposit. Porositas material komposit bisa

diminimalisir seperti Gambar 2.7, dengan meningkatnya fraksi volume

penguat, maka nilai densitas semakin naik, begitu juga sebaliknya

(Widysatutik dkk., 2008).

Fraksi volume penguat dipengaruhi jenis partikel panguat, ukuran,

bentuk yang memungkinkan terjadi agglomerat (Hashim et,al., 2002). Nilai

kekerasan komposit dipengaruhi volume fraksi penguat dan distribusi, tanpa

dipengaruhi oleh ukuran partikel (Al-Rubaie et, al., 1999). Kondisi partikel

penguat ditambahkan ke komposit terlalu banyak menimbulkan retak mikro

menyebabkan turunnya kekuatan mekanik (Gupta et, al., 1995).

18

Gambar 2.7 Jenis-jenis porositas yang terjadi pada material (Madsen et, al,

2006)

2.5 Rekayasa Permukaan Aluminum Matrik Komposit Terhadap SiC

2.5.1 Antarmuka Matrik dan penguat Material komposit

Antarmuka (interface) aluminium matrik komposit menentukan sifat

mekanis, diantaranya kekakuan, ketahanan patah, fatik, koefesien ekspansi

panas, mulur, dan konduktifitas panas. Partikel penguat tergantung pada

ikatan yang baik antara matrik dan penguat (Sanggahaleh et, al., 2009).

Antarmuka material komposit berpengaruh sifat mekanik (Vahlas et, al.,

1999), karena menjadi sarana transmisi tegangan dari luar menunju matrik

dan penguat (Widyastuti dkk., 2008). Pada penguat SiC dapat menahan

indentasi pada pengujian kekerasan, sehingga nilai kekerasan komposit

Al/SiC sangat potensial pada aplikasi struktural di industri transportasi.

Tetapi material tersebut memiliki keuletan dan ketangguhan yang rendah

diakibatkan ikatan interfece yang lemah (Ortega et, al., 2007). Antarmuka

alumunium matrik komposit dengan penguat SiC untuk ketebalanya

mempengaruhi sifat mekanik, dimana bisa dilihat pada lapisan MgAL2O4

di Gambar 2.8.

19

Gambar 2.8 Pembasahan penguat SiC oleh magnesium pada fasa spinel

(Singla et, al, 2009)

2.5.2 Mampu Basah (Wettebelity) Material Komposit

Mampu basah antamuka penguat terhadap matrik merupakan aspek

penting dalam menentukan kekuatan material komposit (Vahlas et, al.,

1999). Mampu basah membentuk ikatan kimia yang kuat pada antarmuka

dan perilaku mampu basah dapat diketahui dengan menghitung sudut

kontak dan tegangan permukaan, seperti Gambar 2.9. Pembasahan

permukaan padat terhadap permukaan cair dapat diketahui dengan

persamaan young.

γSL = γSV – γLY cos θ (2.1)

Gambar 2.9 Skematik sudut kontak a). Terjadi pembasahan, b). Tidak

terjadi pembasahan (Lutfi & Sukron., 2010)

20

Dimana γSV : energi bebas per unit area pada permukaan pada dan gas, γLY

: tegangan permukaan antara permukaan cair dan gas, γSL : energi

interfacial, θ : sudut kontak. Berdasarkan persamaan diatas, sudut kontak

(θ) menurun apabila terjadi peningkatan energi permukaan padatan (γSL),

penurunan energi interfacial cait atau padat dengan penurunan tegangan

permukaan cairan (γLY). Lelehan logam dikatakan membasahi partikel

penguat apabila θ < 90o yaitu ketika γSV > γSL.

2.5.3 Penambahan Unsur Magnesium

Penambahan magnesium (Mg) pada pembuatan aluminium matrik

komposit dapat meningkatkan pembasahan dan daya lekat antara matrik dan

penguat dengan membentuk fasa spinel MgAl2O4 dan MgO pada daerah

antarmuka matrik aluminium dan panguat SiC (Sanggahaleh et,al., 2009). Fasa

spinel dapat meruduksi tegangan permukaan antara matrik dan penguat, sehingga

dapat meningkatkan daya lekatnya. Daya lekat antara matrik dan penguat

berkaitan dengan kemampuan komposit mendistribusikan gaya luar dari matrik

menuju penguat secara merata. Daya lekat dipengaruhi penambahan Mg untuk

meningkatkan sifat mekanis aluminium matrik komposit (Geng lin et.al., 2010).

Reaksi penambahan Mg pada aluminium matrik komposit dijelaskan sebagai

berikut;

2SiO2(s) + 2Al(l) + Mg(l) MgAl2O4(s) + 2Si(l in Al) (2.2)

2.5 Stir Casting

Kendala proses pembuatan aluminium matrik komposit adalah pada

pendistribusian partikel penguat dalam matrik yang homogen berpengaruh

terhadap sifat mekanik MMC. Permasalahan dapat diminimaliser melalui metode

stir casting, tetapi dipengaruhi oleh parameter proses (Hashim et.al., 2002). Stir

casting melakukan pengadukan mekanik pada aluminium dan partikel penguat

pada temperatur lebur dilanjutkan penuangan ke cetakan (Jie et,al., 2011) yang

ditampilkan pada Gambar 2.10.

21

Partikel penguat dimasukan ke logam cair kemudian diaduk dengan batang

penggaduk selanjutnya ditunag kedalam cetakan untuk meminimaliser

terbentuknya cluster-cluster penguat SiC (Vugt van L dan L.Froyen., 2000).

Posisi pengaduk yang tenggelam dalam lelehan material 35% berada dibawah dan

65% material berada diatasnya (Singla et,al., 2009). Porositas komposit Al/SiC

dapat terbentuk clustering partikel penguat, akibatnya lelehan aluminium matrik

komposit tidak dapat menginfiltrasi celah ditengah cluster SiC dan terbentuk

poros (Gupta, et, al., 1995).

Gambar 2.10 Proses stir casting dan penuangan material komposit (Recep C.

et,al, 2012)

Penguat dan matrik logam memiliki kencenderungan untuk mengikat pada

keadaan meleleh dan makin cepat terbentuk. Agglomerat terjadi karena tanpa

proses pengadukan dan pendistribusian partikel tidak merata. Namun diperhatikan

pada penuangan terdapt gas yang terperangkap menimbulkan poros gas yang

menyelubungi partikel penguat (Hashim et, al., 2002).

2.6 Squeeze Casting

Proses squeeze casting piston menggunakan cetakan logam dari baja perkakas

atau H13 (John., 1994), meliputi: pembuatan cetakan, persiapan dan peleburan

logam, penuangan logam cair kedalam cetakan, pembersihan coran, mashining

dan proses perakitan cetakan. Alur pembuatan cetakan ditunjukan pada Gambar

2.11. Pengecoran Squeeze pertama kali diperkenalkan oleh Chernov seorang

berkebangsaan Rusia pada tahun 1878. Pengecoran Squeeze sering disebut juga 3

22

penempaan logam cair (liquid metal forging), yaitu suatu proses dimana logam

cair didinginkan sambil diberikan tekanan. Proses ini pada dasarnya

mengkombinasikan keuntungan – keuntungan pada proses forging dan casting.

(Dimas eka H.P. 2013)

Gambar 2.11 Proses pembuatan piston komposit (Stephen, 2004)

Perlengkapan proses antara lain: dapur pemanas, mekanisme press, punch,

dan die (direct), pouring hole, injection chamber plunger dan gating system

(indirect). Kontak logam cair dengan permukaan die memungkinkan terjadinya

perpindahan panas yang cukup cepat, sehingga menghasilkan strukturmikro yang

homogen dengan sifat mekanik yang baik. Berdasarkan mekanisme pengisian

logam cair ke dalam die, pengecoran squeeze dikategorikan menjadi dua jenis,

yaitu pengisian langsung (direct squeeze casing) dan pengisian tidak langsung

(indirect squeeze casting).

2.6.1 Metode Direct Squeeze Casting (DCS)

Direct Squeeze Casting (DCS) atau sering juga disebut dengan roses

pengecoran liquid metal forging, squeeze forming, extrusion casting dan

pressure crystallisation merupakann istilah yang diberikan untuk proses

pengecoran dimana logam cair didinginkan dengan disertai pemberian

tekanan secara langsung. Dengan harapkan mampu mencegah munculnya

Pengecekan akhir piston

Penuangan kedalam cetakan Pengambilan dari cetakan

Piston komposit

1 2

5 4

3

Squeeze Casting

6

Machining

23

porositas gas dan penyusutan pada hasil coran. Berikut merupakan

Gambar 2.12. Mekanisme proses Direct Squeeze Casting (DCS).

Gambar 2.12. Mekanisme proses Direct Squeeze Casting (DCS)

( Dimas Eka H P, 2013 )

Keterangan gambar diatas adalah :

1. Punch

2. Cetakan ( Moulding )

3. Inti ( Produk yang dihasilkan)

4. Plunger Pendorong ( Ejector )

2.6.2 Indirect Squeeze Casting (ISC)

Istilah indirect dipakai untuk menggambarkan proses injeksi logam

ke dalam rongga cetakan dengan bantuan piston berdiameter kecil dimana

mekanisme penekan ini dipertahankan sampai logam cair membeku.

Keuntungan utama ISC adalah kemampuannya untuk menghasilkan

produk cor dengan bentuk yang lebih kompleks dan tingkat presisi yang

lebih baik, dengan memberikan beberapa sistem pengeluaran inti (core

pull). Proses ini sebetulnya merupakan proses cangkokan antara low

pressure dan high pressure die casting. Berikut merupakan Gambar 2.13.

Mekanisme proses Indirect Squeeze Casting (ICS)

24

Gambar 2.13. Mekanisme proses Indirect Squeeze Casting (ICS)

( Dimas Eka H P, 2013 )

Keterangan gambar diatas adalah :

1. Plunyer Pendorong ( Ejector )

2. Cetakan ( Moulding )

3. Pouring hole

4. Gating system

5. Benda cetak

2.7 Peleburan (melting)

Untuk Peleburan paduan aluminium dapat dilakukan pada tanur krus besi

cor, tanur krus dan tanur nyala api. Logam yang dimasukan pada dapur terdiri dari

sekrap (remelt) dan aluminium ingot. Kebanyakan kontrol analisa didapatkan dari

analisis pengisian yang diketahui, yaitu ketelitian pemisahan tuang ulang dan

ingot aluminium baru. Ketika perlu ditambahkan elemen pada aluminium, untuk

logam yang mempunyai titik lebur rendah seperti seng dan magnesium dapat

ditambahkan dalam bentuk elemental. Untuk menghemat waktu peleburan dan

mengurangi kehilangan karena oksidasi lebih baik memotong logam menjadi

potongan kecil yang kemudian dipanaskan untuk di jadikan ingot. Kalau bahan

sudah mulai mencair, fluks harus ditaburkan untuk mengurangi oksidasi dan

absorbsi gas. Bentuk oksidasi tergantung Selama pencairan, permukaan harus

ditutup fluk dan cairan diaduk pada jangka waktu tertentu untuk mencegah segresi

(ASM Handbook Vol 15,1998).

25

Selama pencairan, permukaan harus ditutup fluks dan cairan diaduk pada

jangka waktu tertentu untuk mencegah segresi (surdia, 1991). Kemudian kotoran

yang muncul di ambil dan dibuang. Setelah pada suhu kurang lebih 725oC

aluminium di tuang ke dalam cetakan. Adapun untuk remelting, material hasil

peleburan di atas dilebur kembali.

2.8 Pembuatan Cetakan

Cetakan berfungsi untuk menampung logam cair yang akan menghasilkan

benda cor. Cetakan piston dibuat dari logam, sehingga sekali membuat cetakan

dapat dipakai untuk selamanya. Cetakan logam harus terbuat dari bahan yang

lebih baik dan lebih kuat dari logam coran, karena dengan adanya bahan yang

lebih kuat maka cetakan tidak akan terkikis oleh logam coran yang akan di tuang.

Pengecoran cetakan permanen menggunakan cetakan logam yang terdiri dari dua

bagian untuk memudahkan pembukaan dan penutupannya. Pada umumnya

cetakan ini dibuat dari bahan baja atau besi tuang (John, 1994). Logam yang biasa

dicor dengan cetakan ini antara lain aluminium, magnesium, paduan tembaga, dan

besi tuang. Pengecoran dilakukan melalui beberapa tahapan seperti ditunjukkan

dalam Gambar 2.14.

Gambar 2.14 Tahapan pengecoran dengan cetakan permanen (Surdia, 1982)

26

2.9 Karakteristik dan Sifat Mekanik Piston

2.9.1 Komposisi Kimia

Uji komposisi merupakan pengujian yang berfungsi untuk mengetahui

seberapa besar atau seberapa banyak jumlah suatu kandungan yang terdapat

pada suatu logam, baik logam ferro maupun logam non ferro. Uji komposisi

biasanya dilakukan ditempat pabrik-pabrik atau perusahaan logam yang jumlah

produksinya besar, ataupun juga terdapat di Instititut pendidikan yang khusus

mempelajari tentang logam.

Proses pengujian komposisi berlangsung dengan pembakaran bahan

menggunakan elektroda dimana terjadi suhu rekristalisasi, dari suhu

rekristalisasi terjadi penguraian unsur yang masing-masing beda warnanya.

Penentuan kadar berdasar sensor perbedaan warna. Proses pembakaran elektroda

ini tidak lebih dari tiga detik. Pengujian komposisi dapat dilakukan untuk

menentukan jenis bahan yang digunakan dengan melihat persentase unsur yang

ada. Untuk mengetahui komposisi logam cair dilakukan inspeksi logam cair.

Alat uji yang digunakan CE meter atau spektrometer. Seperti yang dijelaskan

sebelumnya setelah diketahui komposisi logam cair dengan pengujian komposisi

dilakukan proses penyesuaian untuk mencapai komposisi yang sesuai dengan

standar. Ada tiga bagian utama proses pengujian komposisi yaitu (Hendri, 2002).

1. Furnace berisi logam cair yang dilebur dari beberapa raw material

2. Standar material yang menentukan kandungan komposisi masing-masing

unsur yang ditetapkan

3. Proses pengujian komposisi yang menggunakan CE meter dan

Spectrometer.

2.9.2 Uji Metalurgrafi

Sampel strukturmikro diambil dari bagian yang diperkuat dan bagian tanpa

perkuat pada piston komposit untuk dianalisa dengan pembesaran 200, 500,

1000 dan 2000X. Keseragam wilayah distribusi penguat dalam matriks Al-Si

eutectics dapat diamati (Mahadevan., 2008). Scanning Electron Microscope

(SEM) digunakan untuk menganalisa strukturmikro sampai topografi permukaan

dengan pembesaran sampai 300.000 kali dan resolusi 4–9 nm. Prinsip kerja SEM

27

menggunakan tumbukan elektron untuk menganalisis objek yang

ditransformasikan menjadi gambar. Spesimen piston komposit dihaluskan

kemudian divakum sampai kering sampai bebas dari H2O. Spesimen dilapisi

(sputter) dengan emas atau platina kemudian ditempatkan pada holder untuk

direkam (ASM vol 9., 2004).

Permukaan material yang disinari atau terkena sinar electron akan

memantulkan kembali berkas electron atau dinamakan berkas electron sekunder

ke segala arah. Tetapi dari semua berkas electron yang dipantulkan terdapat satu

berkas electron yang dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detector yang

terdapat di dalam SEM akan mendeteksi berkas electron berintensitas tertinggi

yang dipantulkan oleh benda atau material yang dianalisis (Yudi Prasetyo,

2011). SEM (Scanning Electron Microscope) memiliki resolusi yang lebih tinggi

dari pada mikroskop optic. Hal ini di sebabkan oleh panjang gelombang de

Broglie yang memiliki electron lebih pendek daripada gelombang optic. Karena

makin kecil panjang gelombang yang digunakan maka makin tinggi resolusi

mikroskop. Prinsip kerja SEM ( Scanning Electron Microscope ).

Gambar 2.15. Secondary Electron (SE). Back Scattered Electron (BSE)

(www.microscopy.ethz. ch)

1. Elctron dari spesimen difokuskan oleh elektroda elektrostatik pada

skintilator ( pengelips ) bias.

2. Cahaya yang dihasilkan ditrnasmisikan lewat tabung cahaya Prespex ke

pengganda foto dan siyal untuk memodulasi kecerahan bercak osiloskop.

28

Kemudian raster yang sinkron dengan berkas elektron pada permukaan

spesimen.

3. Ketika electron mengenai sampel, maka akan terjadi hamburan elektron,

baik Secondary Electron (SE) atau Back Scattered Electron (BSE) dari

permukaan sampel dan akan dideteksi oleh detektor dan dimunculkan

dalam bentuk gambar pada monitor CRT. Berikut ini merupakan Gambar

2.15. Electron (SE) atau Back Scattered Electron (BSE) dan secara

lengkap skema SEM diterangkan oleh Gambar 2.16. dibawah ini:

Gambar 2.16. Mekanisme SEM (Scanning Electron Microscope)

(www.microscopy.ethz. ch)

2.9.3 Pengujian EDS ( Electron Dispersive Spectroscopy )

EDS (Electron Dispersive Spectroscopy) adalah sebuah teknik analisis

yang digunakan, untuk elemen analisis atau karakterisasi kimia sampel. Ini

adalah salah satu varian dari fluoresensi sinar-X spektroskopi yang bergantung

pada penelitian sampel melalui interaksi antara radiasi elektromagnetik dan

materi. Analisis sinar-X yang dipancarkan oleh materi dalam menanggapi

kontak dengan partikel bermuatan. Secara umum ketelitian analisis mencapai

±0,1 %

29

Kemampuan karakterisasi EDS (Electron Dispersive Spectroscopy) karena

sebagian besar prinsip dasar bahwa setiap elemen, kombinasi spesimen yang

transparan terhadap electron, dengan hamburan elastis sudut besar terbatas dan

probe electron yang kecil. Menghasilkan perbaikan berarti pada resolusi spasial

mikroanalisis, disamping itu, antar fasa spektrometer tanpa kehilangan energi

dapat mendeteksi dan mengukur elemen ringan, sehingga analisis mikrokimiawi

electron kini menjadi sarana yang berguna untuk karakterisasi meterial untuk

didefinisikan sesuai karakteristik yang ada. (R.E. Smallman & R.J.Bishop, 2000)

Terdiri empat komponen utama dari setup EDS yaitu sumber sinar,

detector sinar – X, prosesor, dan analisa. Sejak 1960-an mereka telah dilengkapi

dengan kemampuan analisis unsur. Sebuah detektor digunakan untuk

mengkonversi sinar – X energi ketegangan sinyal, Informasi ini dikirim ke

prosesor, yang mengukur sinyal dan menuju ke sebuah analiser untuk

menampilkan data dan analisis sesuai dengan karakterisasi yang ada pada

spesimen benda uji.

Faktor yang mempengaruhi Akurasi dari EDS spectrum. Antara lain

Jendela di depan detektor dapat menyerap energi rendah sinar – X. EDS detektor

tidak dapat mendeteksi unsur – unsur dengan umur atom kurang dari 4, yaitu H,

Dia, dan Li. Over – voltage di EDS mengubah puncak ukuran – meningkatkan

over – tegangan pada SEM peregeseran spektrum ke energi yang lebih besar,

membuat energi yang lebih tinggi dan lebih rendah, lebih besar puncak – puncak

energi yang lebih kecil. Banyak unsur akan memiliki puncak yang tumpang

tindih (misalnya, Ti K α β dan VK, Mn, dan Fe β K Kα ). Keakuratan spektrum

juga dapat dipengaruhi oleh sifat sampel.

a. Prinsip Kerja EDS ( Electron Dispersive Spectroscopy )

Electron Dispersive Spectroscopy (EDS) analisis adalah alat yang

berharga untuk analisis kuantitatif dan kualitatif elemen. Metode ini cepat dan

analisis kimia non-destruktif dengan resolusi spasial dalam rezim

mikrometer. Hal ini didasarkan pada analisis spektral radiasi sinar-X

karakteristik yang dipancarkan dari atom sampel pada iradiasi dengan berkas

elektron difokuskan dari SEM. Dalam sistem kami spektroskopi dari foton

30

sinar-X dipancarkan dilakukan oleh detektor-Li Si dengan resolusi energi

sekitar 150 eV pada 5 mm jarak kerja (Martinez, 2010 ).

b. Karakterisasi Sinar - X

Bila sebuah elektron ditolak dari kulit dalam atom oleh interaksi

dengan berkas elektron energi tinggi, hasilnya adalah ion tersebut berada pada

tingkat eksitasi. Setelah melalui proses relaksasi atau de-eksitasi, ion

tereksitasi ini memancarkan energi untuk dapat kembali ke tingkat normal

yaitu keadaan dasar (ground state). 3 Instrumen berkas elektron perlu diukur

antara lain : Panjang gelombang atau energi yang dikeluarkan sinar – X ,

kehilangan energi dari electron cepat ( EELS) dan Enargi dari electron yang

dilepas ( AES ).

c. Intensitas Sinar-x Karakteristik

Intensitas sinar-x karakteristik yang terdeteksi tergantung pada 3

faktor. Pertama, nomor atom dari atom teradiasi dan juga atom

lingkungannya. Kedua, probabilitas terabsorpsinya sinar-x sebelum terlepas

keluar dari sampel. Ketiga, fluoresen sekunder yang juga merupakan salah

satu akibat terabsorpsinya sinar-x tersebut. Sinar – X merupakan suatu radiasi

elektromagnetik dengan panjang gelombang ( λ ≈ 0,1 nm ) yang lebih pendek

dibandingkan gelombang cahaya ( λ ≈ 400 – 800 nm ). Sebagai contoh, suatu

sinar-x karakteristik energi tinggi dari unsur A mungkin diabsorpsi oleh atom

unsur B, karenanya merangsang sebuah emisi karakteristik dari unsur kedua

dari energi yang lebih rendah.

Terlihat pada gambar di atas, Terdapatnya unsur A dan B dalam

sampel yang sama akan menaikkan intensitas dari emisi karakteristik, dari

unsur B dan mengurangi emisi karakteristik dari unsur A. Inilah yang disebut

sebagai efek matriks (matrix effect), yaitu sebuah efek yang tergantung pada

matriks sampel, karena membutuhkan perlakuan khusus selama analisa

kuantitatif. Sedangkan mekasime kontras dari backscattered electron

dijelaskan dengan gambar dibawah ini yang secara prinsip atom – atom

dengan densitas atau berat molekul lebih besar akan memantulkan lebih

banyak elektron sehingga tampak lebih cerah dari atom berdensitas rendah.

31

Maka teknik ini sangat berguna untuk membedakan jenis atom. Gambar

2.17. Mekanisme Proses Kontras Hasil EDS.

Gambar 2.17. Mekanisme Proses Kontras Hasil EDS

(www.mse.iastate.edu/microscopy/college.html)

Untuk mengenali jenis atom dipermukaan yang mengandung multi

atom para peneliti lebih banyak mengunakan teknik EDS (Energy Dispersive

Spectroscopy). Sebagian besar alat SEM dilengkapi dengan kemampuan ini,

namun tidak semua SEM punya fitur ini. EDS dihasilkan dari Sinar X

karakteristik, yaitu dengan menembakkan sinar X pada posisi yang ingin kita

ketahui komposisinya.

d. Analisa

Setelah ditembakkan pada posisi yang diinginkan maka akan muncul

puncak – puncak tertentu yang mewakili suatu unsur yang terkandung dalam

sebuah spesimen. Dengan EDS kita juga bisa membuat elemental mapping,

pemetaan elemen dengan memberikan warna berbeda – beda dari masing –

masing elemen di permukaan bahan. EDS bisa digunakan untuk menganalisa

secara kunatitatif dari persentase masing – masing elemen. Gambar 2.18.

Contoh dari aplikasi EDS digambarkan pada diagram dibawah ini. Analisis

kualitatif adalah proses indentifikasi unsur-unsur yang ada dalam sampel.

Analisis kuantitatif bertujuan untuk menjawab berapa banyak unsur X, Y dan

Z yang ada dalam sampel. Rumusan yang sederhana, analisis kualitatif

dilakukan dengan cara menentukan energi dari peak yang ada dalam

32

spektrum dan membandingkan dengan table energi emisi sinar-x dari unsur-

unsur yang sudah diketahui.

Gambar 2.18. Contoh dari aplikasi grafik EDS ( sumber: umich.edu )

Dalam peralatan modern hal ini tidak perlu dilakukan karena

komputer secara otomatis akan memberikan simbol unsur untuk setiap peak

pada spektrum. Analisa kuantitatif tidak hanya menjawab unsur apa yang ada

dalam sampel tetapi juga konsentrasi unsur tersebut. Untuk melakukan

analisa kuantitatif maka perlu dilakukan beberapa proses seperti: meniadakan

background, dekonvolusi peak yang bertumpang tindih dan menghitung

konsentrasi unsur yang ada pada sampel.

2.9.4 Uji Kekerasan

Keseragaman distribusi penguat berpengaruh terhadap kekerasan piston.

Kekuatan dan kekerasan yang sama untuk berbagai arah (isotropik) dapat

meningkatkan performa piston (Deng, 2006). Nilai kekerasan berkaitan dengan

kekuatan luluh logam karena selama identasi mengalami deformasi plastis

(Surdia., 1991). Untuk pengujian piston komposit menggunakan vickershardness

test dan Rockwell hardness test dengan standar pengujuan ASTM E 92 dan

ASTM E18. Pengujian vickershardness menggunakan Indentor intan berbentuk

piramida dengan sudut 136o. Jejak indentor berbentuk bujur sangkar

berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop untuk

33

menghitung nilai kekerasan piston. Sedangkan pengujian Rockwell hardness test

menggunakan bola baja atau kerucut diamon.

Kekerasan merupakan ketahanan suatu material terhadap perubahan. Pada

dasarnya Terdapat tiga jenis umum mengenai ukuran kekerasan yang tergantung

pada cara melakukan pengujian. Ketiga jenis tersebut adalah kekerasan goresan,

kerasan lekukan dan kekerasan pantulan. Akan tetapi pengujian yang sering

dilakukan adalah pengujian penekanan. Pada pengujian penekanan terdapat

beberapa alat uji yang dapat digunakan, antara lain alat uji Brinell, Vickers,

Rockwell dan Microhardness. Berikut merupakan Tabel 2.6. Macam – macam

Teknik Pengujian Kekerasan.

Tabel 2.6. Macam – Macam Teknik Pengujian Kekerasan (Wiliam D. Calister,Jr.)

Banyak masalah metalurgi yang membutuhkan penentuan kekerasan pada

permukaan yang sangat kecil misalnya penentuan kekerasan pada permukaan

terkarburasi, seperti daerah difusi dua material yang berbeda dan penentuan

kekerasan pada komponen yang kecil seperti komponen jam tangan. Untuk

pengujian spesimen-spesimen sangat kecil ini, metode yang paling digunakan

adalah Vickershardness test untuk prosedur pengujian menggunakan (ASM

Metals Handbook, Vol 8- Mechanical Testing and Evaluation, 2000).Pada

metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o,

34

seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.19. Prinsip pengujian adalah sama dengan

metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar

berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengukur

jejak. Untuk menghitung nilai kekerasan suatu material menggunakan rumus

sebagai berikut :

...........................................................................( 2.1)

Dimana P = Besar beban (Kg)

d = Rata-rata diameter pijakan identer d1 dan d2

Gambar 2.19. a. Indentasi dengan metode Vickers dan b. Sekema bekas

pijakan indenter menggunakan Vickers Hardnest ( ASM. Vol 8, 2000 )

2.9.5 Uji Porositas

Porositas adalah suatu cacat atau void pada produk cor yang dapat

menurunkan kualitas piston. Pengujian porositas untuk mengetahui pori-pori

benda tuang dengan mencari volume pori-pori terbuka dari prosentase total

volume material. Pengukuran porositas piston menggunakan injeksi merkuri.

Piston direndam dalam merkuri untuk dilakukan tekanan, merkuri tidak bisa

masuk ke pori-pori piston. Perpindahan digunakan untuk menghitung volume

massal dari piston. Porositas kemudian dapat dihitung dari volume curah dan

volume pori (Paul G., 2010).

35

Pengukuran densitas (berat jenis) menggunakan metode pemindahan

fluida. Metode ini mencatat perpindahan cairan pada skala ukur ketika sampel

ditempatkan dalam wadah yang berisi cairan. Cairan non-pembasahan seperti

merkuri, atau dengan cairan lainnya dengan sampel telah jenuh. Perpindahan

mercuri dilakukan dalam pyknometer. Pengukuran densitas menggunakan

referensi standar ASTM B923.

Cacat produk cor dapat dikategorikan atas: Major difect dan minor difect.

Major difect yaitu cacat produk cor yang tidak dapat diperbaiki, sedangkan

minor defect adalah cacat yang masih dapat diperbaiki dengan perbaikan

ekonomis. Cacat porositas termasuk dalam major defect, penyebab utama

timbulnya cacat porositas pada proses pengecoran adalah: (Surdia, T. dan

Chijiwa K., 1991 ). Skema pengujian porositas dapat dilihat pada Gambar 2.20a

tentang pengukuran diudara dan Gambar 2.20b pengukuran didalam air.

1. Temperatur penuangan yang tinggi

2. Gas yang terserap dalam logam cair selama proses penuangan.

3. Temperatur cetakan yang terlalu tinggi

4. Kelarutan hidrogen yang tinggi

5. Kurangnya tekanan pada proses pengecoran

Gambar 2.20. Pengukuran porositas, a) di udara, dan b) di air (Sri Harmanto,

2012 )

(a) (b)

36

Untuk menghitung besarnya porositas suatu material, menggunakan rumus

sebagai berikut.

Mencari densitas terukur :

.............................(2.2)

Dimana :

= Densitas terukur

W udara = Berat di Udara

W fluida = Berat didalam Air

= Massa jenis fluida

Mencari Porositas :

P % = (

) ..........................................(2.3)

Dimana :

P % = Porositas

= Densitas terukur

= Densitas teoritis

2.10 . Penelitian Yang Relevan

Penelitian tentang aluminium piston telah banyak dilakukan oleh peneliti-

peneliti terdahulu, antara lain: Anastasiou (2002), Syrcos (2002), Tsoukalas dkk

(2004) dan Norwood dkk (2007). Anastasiou (2002) melakukan penelitian pada

paduan Al-9Si-3Cu (wt%), Norwood (2007) meneliti paduan Al-8Si-3Cu(wt%).

Semua penelitian tersebut dilakukan dengan berdasar metode Taguchi.

Anastasiou (2002) menggunakan parameter temperatur tuang 800ºC, temperatur

cetakan 350ºC dan tekanan 350 bar. Syrcos (2002) dan Tsoukalas (2004)

menggunakan parameter temperatur tuang 730ºC, temperatur cetakan 270 ºC dan

tekanan 280 bar. Norwood (2007) menggunakan parameter temperatur tuang

750ºC temperatur cetakan 180ºC dan tekanan 105 bar

Tsoukalas (2004) telah meneliti tingkat porositas dari hasil coran dengan

metode High Pressure Die Casting (HPDC). Syrcos (2002) meneliti pengaruh

proses parameter terhadap densitas hasil coran. Norwood dkk (2007) telah

meneliti pengaruh temperatur cetakan pada pengecoran HPDC. Penelitian tentang

37

pembuatan piston dengan metode die casting telah dilakukan oleh peneliti-peneliti

terdahulu, diantaranya adalah: metode pembuatan dengan proses gravity die

casting (Doehler, 1951), dengan proses powder forging (Park, 2001), proses

squeeze casting (Duskiardi, 2002), pembuatan piston dengan metode thixoforging

(Choi, 2005).

Park (2001) menggunakan bahan 89,8%wt Al, 2%wt Si, 4,5%wt Cu,

2,0%wt Ni, 0,5%wt Mn, 0,5%wt Mg dan 1,2%wt unsur lainnya. Duskiardi (2002)

menggunakan bahan 12,62 wt% Si, 2,83 wt% Cu, 1.58 wt% Ni, 0,89 wt% Mg,

0,38 wt% Fe, 0,15 wt% Mn dan sisanya Al. Choi (2005) menggunakan bahan 7,0

wt% Si, 0,2 wt% Cu, 0,2 wt% Ti, 0,35 wt% Mg, 1,2 wt% Fe, 0,1 wt% Mn, 0,1

wt% Zn dan sisanya Al.

Doehler (1951) telah mematenkan alat untuk memproduksi piston secara

masal dengan menggunakan production die casting machine. Mesin ini sampai

sekarang masih dipakai dalam pembuatan piston, bahkan 90% proses pembuatan

piston menggunakan teknik ini. Park (2001) membuat piston dengan cara serbuk

yang sudah ditekan disinter pada suhu 580ºC selama 25 menit. Duskiardi (2002)

melebur bahan pada suhu 700ºC, dituang pada cetakan yang dipanaskan terlebih

dahulu pada suhu 400ºC dan dilakukan squeeze casting. Choi (2005) memanaskan

cetakan pada suhu 275 ºC, ditekan dengan beban sebesar 200 ton dan ditahan

selama 60 detik. Choi (2005)

Penelitian Park dkk (2001) menghasilkan piston dengan kekerasan sebesar

77.5 HRB dan kekuatan tarik sebesar 630 MPa. Penelitian Duskiardi (2002)

menghasilkan piston dengan kekerasan sebesar 115 BHN. Penelitian Choi (2005)

menghasilkan piston dengan harga kekerasan sebesar 52 HRB. Solechan (2010),

dari beberapa pengujian yang memiliki sifat mekanik paling optimal pada

komposisi 25% Pb + 75% ADC 12 + suhu penuangan 700°C + penyisip besi cor.

Nilai kekerasan daur ulang piston (113.2 HVN) piston original Daihatsu (139

HVN) masih dibawahnya, Si 8,7% (Piston daur ulang) dan Si 10,7% (piston

Daihatsu). Karena sifat mekanik daur ulang piston masih dibawah standar maka

perlu dilakukan perlakuan panas (heat treatment).

Nurhadi (2010), kekerasan pengecoran limbah piston masih dibawah

piston Daihatsu, penambahan ADC 12 dapat meningkatkan kekuatan piston dari

38

sifat mekaniknya, tempteratur penuangan semakin rendah, kekerasan tinggi,

porositas dan kekerasan semakin rendah, semakin rendah tempteratur penuangan

butiran Si semakin halus dan kecil, penambahan ADC 12 mampu alir material

semakin besar. Fuad Abdillah (2010), temperatur perlakuan panas yang paling

optimal pada suhu 155°C dan yang paling rendah kekerasan pada temperature

100°C, semakin lama waktu penahanan maka kekerasan mengalami kenaikan,

dimana waktu penahanan yang paling bagus pada 5 jam, sifat mekanik paling

optimal pada temperature aging 155°C dengan penahanan 5 jam. Jamaliah Idris,

dkk (2003), rintangan aus komposit matrik aluminium yang dihasilkan melalui

kaidah metalorgi serbuk meningkat bila peratusan meningkat pada 20 ke – 40%

berat bahan partikel SiC. Sifat kekerasan bahan juga mengalami peningkatan

dengan pertambahan 20% ke 40% partikel SiC dapat disimpulkan aus spesimen

Al/SiC/40p adalah lebih baik dibanding spesimen Al/SiC/20p.

Ahmad Zamheri (2011), fraksi volume (VF) partikel SiC mempunyai

pengaruh yang cukup berarti terhadap sifat mekanis (kekerasan), dan struktur

mikro dari produk casting. Nilai kekerasan tertinggi pada 116,56 HB dengan

waktu aduk 15 menit dan persen Vf 15 %. Semakin besar fraksi volume partikel

maka kekerasan metal matrik composit semakin meningkat. Kevorkijan V. (1995),

partikel lebih kecil umumnya lebih sulit untuk basah dari pada partikel yang lebih

besar karena luas permukaan lebih besar dan partikel lebih kecil umumnya

memberikan MMC dengan sifat mekanik lebih unggul.