BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keterampilan Sosial 2.1.1 Pengertian Keterampilan Sosial · 2015. 3....

17
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keterampilan Sosial 2.1.1 Pengertian Keterampilan Sosial Penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek psikologis yang sangat perlu dikembangkan dalam kehidupan individu, mencakup penyesuain diri dengan individu lain, baik di dalam maupun di luar kelompok yang bersangkutan.Penyesuaian sosial dapat dicapai individu dengan mempelajari pola tingkah laku yang diperlukan untuk kebiasaan- kebiasaan sedemikian, sehingga tingkah laku tersebut cocok bagi kelompok di suatu lingkungan sosial. Sebagai alat untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, individu memerlukan keterampilan sosial. Secara umum pengertian keterampilan sosial adalah tingkah laku yang di pelajari dan dapat di terima oleh masyarakat yang memungkinkan individu memperolah respon positif dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghindari terhadap respon negatif dari lingkungan individu (Cartledge dan Milburn dalam Victoria, 2001). Keterampilan sosial sangat penting di dalam penyesuain sosial, individu yang memiliki keterampilan sosial yang baik akan memiliki penyesuaian diri

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keterampilan Sosial 2.1.1 Pengertian Keterampilan Sosial · 2015. 3....

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keterampilan Sosial

2.1.1 Pengertian Keterampilan Sosial

Penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek psikologis yang sangat

perlu dikembangkan dalam kehidupan individu, mencakup penyesuain diri

dengan individu lain, baik di dalam maupun di luar kelompok yang

bersangkutan.Penyesuaian sosial dapat dicapai individu dengan mempelajari

pola tingkah laku yang diperlukan untuk kebiasaan- kebiasaan sedemikian,

sehingga tingkah laku tersebut cocok bagi kelompok di suatu lingkungan

sosial.

Sebagai alat untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya,

individu memerlukan keterampilan sosial. Secara umum pengertian

keterampilan sosial adalah tingkah laku yang di pelajari dan dapat di terima

oleh masyarakat yang memungkinkan individu memperolah respon positif

dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghindari terhadap respon negatif

dari lingkungan individu (Cartledge dan Milburn dalam Victoria, 2001).

Keterampilan sosial sangat penting di dalam penyesuain sosial, individu

yang memiliki keterampilan sosial yang baik akan memiliki penyesuaian diri

12

yang baik pula, sebaliknya individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik

akan memiliki keterampilan sosial yang baik pula. Schloss dan Smith (1994).

memfokuskan keterampilan sosial dalam 2 hal yaitu: respon

keterampilan sosial yang menghasilkan, meningkatkan dan memelihara hasil

yang positif dari siswadan keterampilan sosial yang meningkatkan interaksi

positif antara siswa dengan orang lain.

Mappiare (dalam Tulak, 2010) mengartikan keterampilan sosial sebagai

kemampuan individu dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat di

lingkungannyadalam rangka memenuhi kebutuhannya untuk dapat di terima

oleh teman sebayanya baik sejenis kelamin atau lawan jenis agar ia

memperoleh rasa di butuhkan dan rasa beharga. Adapun pendapat Michelson

dkk (dalam Tulak, 2010) menyebutkan bahwa keterampilan sosial merupakan

suatu keterampilan yang di peroleh individu melalui proses belajar, mengenai

cara-cara mengatasi atau melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik.

Definisi lain di kemukakan oleh Libet dan Lewinsohn (dalam Fajar,2007) yang

menjelaskan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu kemampuan yang

kompleks untuk melakukan perbuatan yang akan di terima dan menghindari

perilaku yang akan di tolak oleh lingkungan.

Combs dan Slaby (dalam Victoria, 2001) mendefinisikan bahwa

keterampilan sosial adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam

konteks sosial dengan cara yang spisifik, yang dapat di terima oleh masyarakat,

bermanfaat secara pribadi, saling menguntungkan dan terutama bermanfaat

13

bagi orang lain. Sebaliknya menurut Eisler, Miller dan Hersen

(1973)menunjukkan bahwa individu yang memiliki keterampilan sosial akan

bersuara lebih keras, lebih cepat merespon orang lain, memberikan jawapan

yang lebih rinci, lebih peka dan memahami, lebih banyak bertukar respon,

lebih terbuka dalam mengekspresikan diri di bandingkan dengan individu yang

kurang memilikiketerampilan sosial. Bellack dan Hersen (1977)

menghubungkan keterampilan sosial sebagai alat kemampuan individu

mengekspresikan perasaan positif dan negatif dalam hubungan interpersonal

tanpa harus kehilangan konsikuen dan reinforcement sosial dalam konteks

interpersonal yang lebih luas termasuk mengatur pengiriman respon verbal

maupun nonverbal secara tepat.

Philips (1978) mengemukakan suatu definisi keterampilan sosial yang

menekankan pada elemen makro dalam hubungan sosial di tinjau dari sudut

interaksi antar individu. Dia menyimpulkan bahwa seorang dianggap memiliki

keterampilan sosial apabilaseseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain

dalam cara yang memenuhi hak, kebutuhan, kepuasan dan keperluan-keperluan

untuk hal-hal yang dapat di terima tanpa menggangu hak-hak orang lain,

kebutuhan, kepuasan dan keperluan orang lain dan diharapkan terdapat suasana

bebas dan terbuka dalam berelasi dengan orang lain. Definisi ini mengacu pada

konsep yang lebih luas dan komplek, sebab menyangkut situasi sosial yang

bermacam-macam dan luas serta sulit diprediksi oleh individu.

Menurut Greesham dan Elliot (1987), keterampilan sosial dikaitkan

dengan penerimaan teman sebaya.Individu yang di terima dan populer di antara

14

teman sebaya di katakan memiliki keterampilan sosial yang baik.Keterampilan

sosial juga dikaitkan pada tingkah laku khusus yang bersifat situasional yang

memaksimalkan pemeliharaan atau mengurangi hukuman/menghentikan

reinforcement tertentu pada perilaku sosial. Disamping itu Gresham juga

mengatakan bahwa keterampilan seseorang adalah perilaku dalam situasi

tertentu, memprediksikan suatu hasil interaksi sosial yang penting bagi

individuyaitu penerimaan teman sebaya, popularitas, penilaian orang lain

(misalnya guru, dosen) tentang keterampilan sosial, prestasi akademik dan

tingkah laku sosial yang berkorelasi secara konsisten.

Pada hakekatnya keterampilan sosial adalah tingkah laku kompleks

yang terdiri atas berbagai perilaku sosial tunggal.Philips (1978)

mengemukakan keterampilan sosial pada elemen makro dalam hubungan sosial

di tinjau dari sudut interaksi antar individu. Dia menyimpulkan seseorang yang

mempunyai keterampilan sosial adalah individu yang dapat berkomunikasi

dengan orang lain dengan cara yang memenuhi hak, kebutuhan, kepuasan dan

kepeluan-keperluan untuk hal-hal yang dapat di terima tanpa menggangu hak-

hak, kebutuhan, kepuasan dan keperluan-keperluan orang lain dan diharapkan

terdapat suasana bebas dan terbuka dalam berelasi dengan orang lain. Definisi

ini mengacu pada konsep keterampilan sosial yang sangat luas dan komplek,

sebab menyangkut situasi sosial yang bermacam- macam dan luas yang sulit di

prediksi oleh individu.

Berdasarkan berbagai pendapat dan definisi di atas dapat disimpulkan

bahwa keterampilan sosial keterampilan yang berinteraksi dengan orang lain

15

dalam konteks sosial baik secara spisifik maupun nonspisifik, yang dapat

diterima oleh masyarakat, individu, dan lingkungan yang bermanfaat bagi

sesama.

2.1.2 Konstruk Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial adalah konstruk psikologis yang bersifat

multidimensional. Menurut Gresham (dalam Victoria, 2001) merupakan

serangkaian tingkah laku interpersonal yang bersifat kompleks karena terdiri

dari tingkah laku interpersonal (keterampilan berbicara/percakapan,

bekerjasama, menolong orang lain), tingkah laku yang berhubungan dengan

diri sendiri (mengekspresikan perasaan, perilaku, moral, bersikap positif

terhadap diri sendiri)serta tingkah laku yang berkaitan dengan tugas (mengikuti

instruksi atau petunjuk, kerja mandiri dan sebagainya).

Shepherd (1983) mengatakan keterampilan sosial terdiri dari 2 komponen

yaitu komponen pengetahuan dan komponen perilaku. Komponen pengetahuan

mengacu pada keterampilan berfikir yang menentukan arah tindakan yang

masuk akal dalam berbagai situasi sosial. Komponen perilaku dapat di amati

dan dapat diukur. Komponen pengetahuan merupakan komponen kognitif,

bersifat covert dan merupakan mediator bagi munculnya keterampilan

sosial.Komponen kognitif meliputi keterampilan mempersepsi dan

mengiterpretasi situasi sosial yang dihadapi, serta menentukan perilaku atau

tindakan yang harus dimunculkan dalam situasi sosial yang sedang di

hadapi.Komponen ini mengacu pada perilaku atau respon-respon sosial yang

16

terdiri dari respon verbal dan nonverbal yang dapat diamati.Philip dalam

(L’Abate dan Milan, 1985), mengatakan bahwa konsep keterampilan sosial

sangat luas dan kompleks, karena menekankan elemen makro dalam hubungan

sosial di tinjau dari sudut interaksi antar individu serta menyangkut situasi

sosial yang bermacam- macam dan luas yang sulit dipredikisi oleh individu.

Dalam perkembangannya, Marlowe (1986) mengatakan bahwa

keterampilan sosial merupakan subkonstruk dari kecerdasan sosial. Ada 4

subkonstruk dari kecerdasan sosial yaitu minat sosial (social interest), kemauan

individu untuk berperilaku sosial (social self-efficacy), empati dan

keterampilan sosial (social skill). Social interest berhubungan dengan minat

atau kemauan individu untuk menaruh perhatian (concern) pada orang lain.

Social self-efficacy berkaitan dengan kemauan individu untuk berperilaku

sosial sebagaimana diharapkan.Empathy skill berkaitan dengan kemampuan

individu untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain. Social skillmengacu

pada kemampuan individu untuk menunjukkan perilaku-perilaku sosialnya

dalam bentuk perilaku yang dapat diamati. Menurut Marlowe, konstruk

keterampilan sosial merupakan bagian dari kecerdasan sosial (berakar dari

pendapat Thorndike tentang kecerdasan sosial, 1920), lebih mengacu pada

perilaku tampak/over dalam berelasi dengan orang lain, serupa dengan

pendapat Shepherd.

Riggio (1986) berpendapat lain mengenai konstruk keterampilan sosial

yang terdiri dari sejumlah subkonstruk. Keterampilan sosial terdiri atas 2

domain yaitu domain emosi dan domain sosial.Domain emosi terdiri dari 3

17

kategori yaitu ekspresi emosi, kepekaan emosi dan kontrol emosi.Domain

sosial terdiri dari 3 kategori yang akhirnya berkemang menjadi 4 kategori yaitu

ekspresi sosial, kepekaan sosial, kontrol sosial dan manipulasi sosial.Emotional

expressive (ekspresi emosi) adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara

non verbal, khusus dalam mengirimkan pesan-pesan emosional termasuk

mengekspresikan kondisi perasaan, sikap dan orientasi personalnya. Emotional

sensitivy (kepekaan emosi) mengacu pada keterampilan untuk menerima dan

menginterpretasikan komunikasi non verbal, termasuk sikap dan keyakinan

orang lain. Individu yang mempunyai kepekaan emosi dikatakan sebagai

individu yang memiliki kemampuan untuk mengempati kondisi orang lain.

Keterampilan ini di tandai dengan adanya keterampilan memperhatikan dan

keterampilan dengan menginterpretasikan sinyal-sinyal emosional orang lain.

Emotional control (kontrol emosi) adalah kemampuan untuk mengontrol dan

mengatur penampakan emosi (emotional display),termasuk kemampuan untuk

menunjukkan dan menyembunyikan perasaan tertentu dalam bentuk “topeng”.

Social expressivity (ekspresi sosial) mengacu pada kemampuan verbal

seseorang dalam mengekspresikan dirinya, misalnya hal-hal yang dirasakan

dan dipikirkan.

Orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam ekspresi sosial

biasanya terampil dalam memulai, mengarahkan dan mengakhiri suatu

pembicaraan dalam berbagai topik.Social sensitivity (kepekaan sosial) adalah

kemampuan untuk menerima dan menginterpretasikan komunikasi verbal

orang lain serta sensitif dan memahami norma-norma yang berkenaan dengan

18

perilaku sosial yang tepat. Social control (kontrol sosial) juga ditunjukan

dengan kemampuan mengarahkan dan memimpin komunikasi dalam suatu

interaksi sosial.Kontrol sosial meliputi juga kemampuan bermain peran,

kemampuan mengatur dan mengontrol perilaku verbal.Sosial manipulation(

manipulasi sosial) menunjukkan kemampuan individu untuk memanipulasi

orang lain atau mengubah situasi untuk mendapatkan suatu hasil dari kontak

sosial. Sebagai contoh, seseorang memikul kesalahan atau tanggung jawap

untuk melindungi orang lain (sikap berkorban untukorang lain).

Dalam penelitian ini, pengukuran keterampilan sosial mengacu pada

konstruk keterampialn sosial menurut Riggio (1986) yang terdiri atas 2 domain

yaitu domain emosi dan domain sosial.Domain emosi terdiri dari 3 kategori

yaitu ekspresi emosi, kepekaan sosial dan kontrol emosi.Domain sosial terdiri

dari 3 kategori yang akhirnya berkembang menjadi 4 kategori yaitu ekspresi

sosial, kepekaan sosial, kontrol sosial dan manipulasi sosial.

2.2. Bermain Peran (Role Play)

2.2.1. Pengertian Bermain Peran (Role Play)

Peran (role) bisa diartikan sebagai cara seseorang berperilaku dalam

posisi dan situasi tertentu. Gangel (1986) mengatakan bahwa Metode role play

adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan

imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan

dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati.

Pandangan senada dikemukakan oleh Blatner (2002) menurutnya role play

19

adalah sebuah metode untuk mengekspresikan hal-hal yang menyangkut situasi

sosial kompleks.

Role Play (bermain peran) merupakan suatu teknik pembelajaran untuk

menghadapi proses pemikiran dan perasaan yang majemuk secara efektif (Reni

Akbar- Hawadi dkk, 2001). Sedangkan pengertian metode Role Playmenurut

kiranawati (2007) adalah “suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran

melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa”.

Role play adalah suatu cara penguasaan bahan pelajaran melalui

pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan

penghayatan itu dilakukan siswa dengan memerankanya sebagai tokoh hidup

atau tokoh mati.Permainan ini pada umumnya di lakukan oleh lebih dari satu

orang. Hal ini tergantung kepada apa yang diperankan (Depdikbud, 1987 : 34).

Menurut Djahiri, Kosasih : 1980 pembelajaran bermain peran adalah

salah satu bentuk permainan pendidikan (Edu cational Game) yang di pakai

untuk menjelaskan perasaan, sudut pandang dan cara berfikir orang lain

(membayangkan diri sendiri dalam keadaan orang lain).

Menurut Yamin Martinis,(2005; 152) menyebutkan bahwa metode

bermain peran adalah metode yang melibatkan interaksi antara dua siswa atau

lebih tentang topik atau situasi. Siswa menerangkan masing-masing tokoh

sesuai tokoh yang ia lakoni, siswa berinteraksi dengan mereka yang melakukan

peran terbuka.

20

Menurut Bennet (Romlah,2001) bermain peran adalah suatu alat belajar

yang menggambarkan keterampilan-keterampilan dan pengertian-pengertian

mengenai hubungan antar mannusia dengan jalan memerankan situasi-situasi

yang pararel dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya.

Bannet menyebutkan ada dua macam permainan peranan, yaitu

sosiodrama dan psikodrama:

1. Sosiodrama

Sosiodrama adalah permainan peranan yang di tujukan untuk

memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia.

Langkah-langkah pelaksanaan sosiodrama adalah sebagai berikut :

a) persiapan, pemimpin kelompok mengemukakan masalah dan

tema yang akan disosiodramakan, dan tujuan permainan.

b) membuat skenario sosiodrama

c) menenukan kelompok penonton dan menjelaskan tugasnya.

Kelompok penonton adalah anggota kelompok lain yang ikut

menjadi pemain, tugasnya adalah untuk mengobservasi

pelaksanaan permainan.

d) melaksanakan sosiodrama. Dalam permainan ini diharapkan

terjadi identifikasi antara pemain dan penonton dengan peran-

peran yang dimainkannya.

e) evaluasi dan diskusi. Setelah selesai permainan diadakan diskusi

mengenai pelaksanaan permainan berdasarkan hasil observasi dan

tanggapan-tanggapan penonton.

21

f) ulangan permainan. Dari hasil diskusi dapat ditentukan apakah

perlu diadakan permainan ulang atau tidak.

2. Psikodrama

Menurut Corey (Romlah,2001) psikodrama merupakan permainan

yang dimaksudkan agar individu yang bersangkutan dapat memperoleh

pengertian yang lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep

dirinya,menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan reaksi

terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya.

Langkah-langkah pelaksanaan psikodrama terdiri dari tiga tahap

yaitu persiapan, pelaksanaan dan diskusi atau tahap berbagi pendapat dan

perasaan. Tahap persiapan dilakukan untuk memotivasi anggota

kelompok agar mereka siap berpartisipasi secara aktif dalam permainan,

dan menciptakan perasaan sama dan saling percaya antar kelompok.

Tahap pelaksanaan terdiri dari kegiatan dimana pemain utama dan

pemain pembantu memperagakan permainannya. Dengan bantuan

pemimpin kelompok dan anggota kelompok lain. Tahap diskusi atau

tahap bertukar pendapat dan kesan, para anggota kelompok diminta

untuk memberikan tanggapan dan sumbangan pikiran terhadap

permainan yang dilakukan pemain utama. Tahap diskusi ini penting

karena merupakan rangkaian proses perubahan perilaku pemeran utama

kearah keseimbangan pribadi.

Bermain peran (Role Play) merupakan salah satu model

pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah

22

yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal

relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.

Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan

kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian. Melalui

bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-

hubungan antar manusia dengan cara memperagakan dan

mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat

mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai,dan berbagai

strategi pemecah masalah.

Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, E. Mulyasa (2003)

mengemukakantahapan pembelajaran bermain peran meliputi :

a. menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik;

b. memilih peran;

c. menyusun tahap-tahap peran;

d. menyiapkan pengamat;

e. menyiapkan format pengamat;

f. tahap pemeranan;

g. diskusi dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I;

h. pemeranan ulang; dan

i. diskusi dan evaluasi tahap II;

j. membagi pengalaman dan pengambilan keputusan

pada metode ini, siswa memainkan peran sehingga dapat

menghayati sesuatu. Role Playmemang di maksutkan untuk melakukan

23

analisis kompetensi berdasarkan pengamatan dan penilaian terhadap

sejumlah orang yang melakukan peran tertentu.Melalui kegiatan ini di

harapkan di peroleh sejumlah peran tertentu yang ada di dalam

masyarakat, sebagai bahan untuk mengidentifikasi kompetensi yang perlu

di kembangkan dan dimiliki oleh siswa. Moedjiono dan Dimyati (1991)

menyatakan bahwa : bermain peran (Role Play), yakni memainkan

peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu,

yang dimaksudkan untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan

kejadian masa yang akan datang, menciptakan peristiwa mutakhir yang

dapat di percaya, atau mengkhayalkan situasi pada suatu tempat dan atau

waktu tertentu.

Role Play juga perlu di terapkan dalam pembelajaran, Slameto

(1991) juga berpendapat sebagai berikut: Gunakan Role play : jika peserta

perlu mengatahui lebih banyak tentang pandangan yang berlawanan, jika

peserta mempunyai kemampuan untuk memakainya, pada waktu

membantu peserta “memahami” sesuatu masalah, jika ingin mencoba

mengubah sikap, jika pengaruh emosi dapat membantu dalam penyajian

masalah.

Role play tidak di rancang dengan niat menjadi suatu pertunjukkan

publik. Meskipun demikian, siswa sulit untuk menghilangkan kecemasan

tersebut.Di samping itu, guru perlu mengemukakan tujuan pembelajaran

dari role play supaya dapat mengugah motivasi siswa untuk kreatif dalam

mengambangkan perannya. Pola organisasi role play di sesuaikan dengan

24

tujuan-tujuan yang menuntut bentuk partisipasi tertentu. Seperti yang di

ungkapkan oleh hamalik (1990) menyatakan “ ada 3 pola organisasi Role

Play yaitu tunggal, jamak dan ulangan”. Penjelasannya dapat diuraikan

sebagai berikut :

1. bermain peran tunggal (single role play). Dalam hal ini mengantar siswa

bertindak sebagai pengamat terhadap permainan yang sedang

dipertunjukkan.

2. Bermain peran jamak (multiple role play). Para siswa dibagi menjadi

beberapa kelompok dengan banyak anggota yang sama dan

penentuanya di sesuaikan dengan banyaknya peran yang dibutuhkan..

3. Peranan ulangan (role play repetition).Peranan utama suatu drama atau

simulasi dapat dilakukan oleh setiap siswa secara bergiliran.

2.2.2. Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Play

Sebagaimana dengan metode-metode pembelajaran yang lain, metode

role play memiliki kelebihan dan kelemahan. Penggunaannya di dalam proses

pembelajaran dapat dikolaborasikan, bergantung dari karakteristik materi

pokok pelajaran yang diajarkan kepada siswa. Kelebihan metode role play

sebagaimana dijelaskan Sudjana (2009) dan kelemahan dijelaskan Wahab

(2007) adalah sebagai berikut :

2.2.2.1 Kelebihan Metode Role Play

Menurut Sudjana (2009) kelebihan metode role play antara lain :

25

1) Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa dan

merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sayang untuk

dilupakan.

2) Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi

dinamis dan penuh antusias.

3) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta

menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang

tinggi.

4) Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan

dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalam cerita yang

dimainkan dengan penghayatan siswa sendiri.

5) Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan

dapat menumbuhkan/membuka kesempatan bagi lapangan pekerjaan.

2.2.2.2. Kelemahan Metode Role Play

Menurut Wahab (2007) kelemahan metode role play antara lain :

1) Apabila siswa tidak dipersiapkan secara baik ada kemungkinan siswa

tidak melakukan role play secara sungguh-sungguh.

2) Role play mungkin tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas

tidak mendukung.

26

3) Role play tidak selamanya menuju arah yang diharapkan seseorang

yang memainkannya. Bahkan juga mungkin akan berlawanan dengan

apa yang diharapkan.

4) Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara

baik, khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan

baiksiswa perlu mengenal dengan baik apa yang di perankannya.

2.2.3. HasilPenelitian Yang terkait dengan Teknik Bermain Peran (role

play)

Hasil penelitian Sulistiana yang berjudul “Meningkatkan Keterampilan

Sosial Siswa Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Pada Siswa Kelas VIII

SMP Negeri 3 Juwana Tahun Pelajaran 2009/2010 menunjukkan bahwa tingkat

keterampilan sosial siswa sebelum mendapatkan layanan bimbingan kelompok

tergolong dalam kategori rendah dengan persentase 61,2%, setelah

mendapatkan layanan bimbingan kelompok meningkat menjadi 75,9% dalam

kategori tinggi. Dengan demikian mengalami peningkatan sebesar 24%. Hasil

uji t, menunjukan t hitung = 5,485 & t tabel = 2,262 jadi nilai t hitung > t tabel

dengan demikian, keterampilan sosial siswa dapat ditingkatkan melalui layanan

bimbingan kelompok.

Hasil penelitian Eni Kurniati yang berjudul “Efektifitas Layanan

Bimbingan Kelompok Dalam Meningkatkan Ketrampilan Sosial Siswa Kelas

VII G SMP Negeri 9 Salatiga Tahun Ajaran 2011/2012” menunjukkan bahwa

ada peningkatan keterampilan sosial yang signifikan dari 15 orang siswa yang

27

menjadi kelompok eksperimen atau yang menjadi subjek penelitian siswa kelas

VII G SMP Negeri 9 Salatiga. hasil menunjukkan sebesar 0,049 < 0,050 yang

artinya ada perbedaan yang signifikan antara skor kelompok kontrol dan

kelompok eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan yang

signifikan dalam keterampilan sosial siswa kelas VII G SMP Negeri 9 Salatiga

setelah mengikuti layanan bimbingan kelompok.

2.3. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

“ Teknik bermain peran (role play) dapat digunakan untuk meningkatkan

keterampilan sosial siswa kelas X C SMA Negeri 1 Suruh tahun ajaran 2013/2014