BAB II LANDASAN TEORI A. 1. Pengertian Keterampilan Sosial

33
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Keterampilan Sosial a. Pengertian Keterampilan Sosial Menurut Cartledge dan Milburn dalam Maryani (2011:17) menyatakan bahwa keterampilan sosial merupakan perilaku yang perlu dipelajari, karena memungkinkan individu dapat berinteraksi, memperoleh respon positif atau negative. Sedangkan menurut Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell (1998) Keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain. Libet dan Lewison dalam Cartledge dan Milburn (1995) mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negatif oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan. Kelly dalam Gimpel dan Merrel (1998) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Matson dalam Gimpel dan Marrel (1998) menjelaskan bahwa keterampilan sosial, baik secara langsung maupun tidak, membantu remaja untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekililingnya.

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. 1. Pengertian Keterampilan Sosial

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Keterampilan Sosial

a. Pengertian Keterampilan Sosial

Menurut Cartledge dan Milburn dalam Maryani (2011:17)

menyatakan bahwa keterampilan sosial merupakan perilaku yang perlu

dipelajari, karena memungkinkan individu dapat berinteraksi,

memperoleh respon positif atau negative.

Sedangkan menurut Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel

& Merrell (1998) Keterampilan sosial adalah kemampuan individu

untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal

maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat

itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari.

Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan

perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal,

tanpa harus melukai orang lain.

Libet dan Lewison dalam Cartledge dan Milburn (1995)

mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang

kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif

atau negatif oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan

diberikan punishment oleh lingkungan. Kelly dalam Gimpel dan Merrel

(1998) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai perilaku-perilaku

yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi

interpersonal dalam lingkungan. Matson dalam Gimpel dan Marrel

(1998) menjelaskan bahwa keterampilan sosial, baik secara langsung

maupun tidak, membantu remaja untuk dapat menyesuaikan diri

dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku

di sekililingnya.

Menurut Thompson (1996), keterampilan sosial adalah

keterampilan untuk mengatur pikiran dan perasaan yang dinyatakan

dalam suatu tindakan atau perbuatan yang tidak merugikan diri sendiri

dan orang lain. Keterampilan ini sangat diperlukan ketika anak mulai

memasuki kelompok sebaya. Sementara itu Combs and Shaby dalam

Cartledge & Milburn (1995) mengemukakan bahwa keterampilan

sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain

dalam konteks sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh

lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu,

saling menguntungkan atau menguntungkan orang lain.

Mu’tadin (2002) mengemukakan bahwa salah satu tugas

perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase

perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki

keterampilan sosial untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan

sehari-hari. Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi

kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain,

menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau

keluhan orang lain, memberi atau memberi feedback, memberi atau

menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb.

Apabila keterampilan sosial dikuasai remaja pada fase tersebut maka ia

akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini

berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek

psikososial dengan maksimal.

Keterampilan sosial adalah keterampilan untuk berinteraksi,

berkomunikasi dan berpartisipasi dalam kelompok. Keterampilan sosial

perlu didasari oleh kecerdasan personal berupa kemampuan mengontrol

diri, percaya diri, disiplin, dan tanggung jawab. Untuk selanjutnya

kemampuan berkomunikasi secara jelas, lugas, meyakinkan, dan

mampu membangkitkan inspirasi, sehingga mampu mengatasi silang

pendapat dan dapat menciptakan kerjasama. Untuk selanjutnya

persamaan pandangan, empati, toleransi, saling menolong, dan

membantu secara positif, solidaritas, menghasilkan pergaulan

(interaksi) secara harmonis untuk kemajuan bersama. Belajar memberi

dan menerima, berbagi hak dan tanggung jawab, menghormati hak

orang lain, membentuk kesadaran sosial, dan menjadi embrio bagi

keterampilan sosial (Maryani 2011:18).

Laura Cadler dalam Maryani (2011:19) menjelaskan mengenai

pentingnya keterampilan sosial dikembangkan di kelas:

Keterampilan sosial sangat diperlukan dan harus jadi prioritas

dalam mengajar. Mengajar bukan hanya sekedar

mengembangkan keterampilan akademik. Hal yang sangat

penting dalam mengembangkan keterampilan sosial adalah

dengan mendiskusikan sesama guru atau orang tua tentang

keterampilan sosial apa yang harus menjadi prioritas, memilih

salah satu keterampilan sosial, memaparkan pentingnya

keterampilan sosial, mempraktikan, merefleksi, dan akhirnya

mereview dan mempraktikannya kembali setelah diperbaiki,

merefleksi dan seterusnya sampai betul-betul terkuasai oleh

peserta didik.

Menurut Maryani (2011:20) keterampilan sosial dapat

dikelompokkan atas empat bagian, namun ketiganya saling berkaitan

yaitu:

1) Keterampilan dasar berinteraksi: berusaha untuk saling mengenal,

ada kontak mata, berbagi informasi atau material;

2) Keterampilan komunikasi: mendengar dan berbicara secara

bergiliran, melembutkan suara (tidak membentak), meyakinkan

orang untuk dapat mengemukakan pendapat, mendengarkan sampai

orang tersebut menyelesaikan pembicaraannya;

3) Keterampilan membangun tim/kelompok: mengakomodasi

pendapat orang, bekerjasama, saling menolong, saling

memperhatikan;

4) Keterampilan menyelesaikan masalah: mengendalikan diri, empati,

memikirkan orang lain, taat terhadap kesepakatan, mencari jalan

keluar dengan berdiskusi, respek terhadap pendapat yang berbeda.

Dari beberapa pengertian keterampilan sosial yang dikemukakan

para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa keterampilan

sosial adalah keterampilan dalam berinteraksi, berkomuniasi, dan

bekerjasama antara manusia dengan manusia lainnya. Keterampilan

sosial harus dimiliki oleh setiap individu karena keterampilan sosial

akan membantu setiap individu dalam mengkomunikasikan informasi

yang akan disampaiakan, keterampilan sosial akan membantu individu

bekerjasama dalam kelompoknya.

b. Ciri-Ciri Keterampilan Sosial

Gresham & Reschly dalam Gimpel dan Merrell (1998)

mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, yaitu:

1) Perilaku Interpersonal

Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut

keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi sosial

yang disebut dengan keterampilan menjalin persahabatan.

2) Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri

Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur

dirinya sendiri dalam situasi sosial, seperti: keterampilan

menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol

kemarahan dan sebagainya.

3) Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis

Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi

belajar di sekolah, seperti: mendengarkan guru, mengerjakan

pekerjaan sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang

berlaku di sekolah.

4) Penerimaan Teman Sebaya

Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan

sosial yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya,

karena mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk

perilaku yang dimaksud adalah: memberi dan menerima informasi,

dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya.

5) Keterampilan Berkomunikasi

Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial

yang baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap

lawan bicara, dan menjadi pendengar yang responsif.

c. Aspek Keterampilan Sosial

Caldarella dan Marrell dalam Gimpel dan Marrel (1998)

mengemukakan lima aspek paling umum yang terdapat dalam

keterampilan sosial, yaitu :

1) Hubungan dengan teman sebaya (Peer Relation)

Ditunjukan melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya

seperti memuji atau menasehati orang lain, menawarkan bantuan

kepada orang lain, dan bermain bersama orang lain.

2) Manajemen Diri (Self-Management)

Merefleksikan remaja yang memiliki emosional yang baik, yang

mampu untuk mengontrol emosinya, mengikuti peraturan dan

batasan-batasan yang ada, dapat menerima kritikan dengan baik.

3) Kemampuan Akademis (Academic)

Ditunjukan melalui tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas

individual, menjalankan arahan guru dengan baik.

4) Kepatuhan (Compliance) menunjukkan remaja yang dapat

mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan

baik, dan membagikan sesuatu.

5) Perilaku Assertive (Assertivation)

Didominasi oleh kemampuan yang membuat seorang remaja dapat

menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi yang diharapkan.

Tabel 1: Aspek-Aspek Keterampilan Sosial

Aspek Pola Perilaku

Hubungan dengan teman sebaya

(peer relation)

Interaksi sosial, prososial,

empati, pertisipasi sosial,

socialibility-leadership,

kemampuan sosial pada teman

sebaya

Manajemen diri (Self-management) Kontrol diri, kompetensi sosial,

tanggung jawab sosial, peraturan,

toleransi terhadap frustasi.

Kemampuan akademis (academic) Penyesuaian sekolah, kepedulian

pada peraturan sekolah, orientasi

tugas, tanggung jawab akademis,

kepatuhan di kelas, murid yang

baik

Kepatuhan (Compliance) Kerjasama secara sosial,

kompetensi, cooperation-

compliance

Perilaku Asertif (Assertivation) Keterampilan sosial asertif,

social initiation, social activator,

gutsy

Senada dengan pendapat di atas, Elksnin & Elksnin (2007)

mengidentifikasi aspek keterampilan sosial menjadi lima hal, yaitu:

1) Perilaku interpersonal, yaitu perilaku yang menyangkut

keterampilan selama melakukan interaksi sosial, misalnya

memperkenalkan diri, menawarkan bantuan, dan memberikan atau

menerima pujian.

2) Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri, yaitu perilaku yang

menyangkut keterampilan mengatur diri sendiri dalam situasi sosial,

misalnya keterampilan menghadapi stres, memahami perasaan orang

lain, mengontrol kemarahan dan lainnya.

3) Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis, yaitu

perilaku atau keterampilan yang dapat mendukung prestasi belajar

di sekolah, misalnya mendengarkan dengan tenang saat guru

menerangkan pelajaran, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan

baik, melakukan apa yang diminta oleh guru, dan semua perilaku

yang mengikuti aturan kelas.

4) Peer acceptance, yaitu perilaku yang berhubungan dengan

penerimaan teman sebaya, misalnya memberi salam, memberi dan

meminta informasi, mengajak teman terlibat dalam suatu aktivitas,

dan dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain.

5) Keterampilan komunikasi, yaitu kemampuan individu dalam

berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal terhadap orang

lain. Kemampuan ini dapat dilihat dalam beberapa bentuk perilaku,

antara lain menjadi pendengar yang responsif, mempertahankan

perhatian dalam pembicaraan, dan memberikan umpan balik

(feedback) terhadap lawan bicara.

Berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Michelson dkk (1985)

mengemukakan tiga aspek yang terdapat dalam keterampilan sosial,

yaitu :

1) Respon Verbal. Respon verbal adalah respon yang disampaikan

individu kepada orang lain secara lisan. Respon ini biasanya

dilakukan dengan berbicara atau bercakap- cakap.

2) Respon Non Verbal. Respon non verbal adalah respon individu yang

tidak diberikan secara lisan. Respon non verbal ini berupa ekspresi-

ekspresi gerak mata, gerak anggota tubuh, getaran suara, dan

ekspresi emosi lainnya yang tampil pada saat individu

berkomunikasi.

3) Proses Kognitif. Proses kognitif yang dialami individu biasanya

menyangkut pemikiran dan ide-ide mengenai tindakan atau sikap

yang menyangkut sesuatu hal. Proses kognitif ini sangat

mempengaruhi kemampuan individu melakukan komunikasi verbal

maupun non verbal.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan aspek- aspek

keterampilan sosial adalah keterampilan yang berhubungan dengan

teman sebaya, keterampilan yang berhubungan dengan diri sendiri,

keterampilan yang berhubungan dengan kesuksesan akademik,

keterampilan yang berhubungan dengan kemampuan dalam memenuhi

permintaan orang lain, dan perilaku asertif.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial

Menurut hasil studi Davis dan Forsythe dalam Mu’tadin (2002),

faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial (social skill) yaitu:

1) Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi individu dalam

mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh individu

dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi

terhadap lingkungan. Individu yang dibesarkan dalam keluarga

yang tidak harmonis (broken home) di mana individu tidak

mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka individu tersebut

akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya. Hal yang paling

penting diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan suasana

yang demokratis di dalam keluarga sehingga anak dapat menjalin

komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-

saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak

dan orang tua maka segala konflik yang timbul akan mudah di atasi.

Sebaliknya komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh

otoritas, dsb. hanya akan memunculkan berbagai konflik yang

berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional,

sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara satu sama lain

menjadi rusak.

2) Lingkungan

Sejak dini individu sudah diperkenalkan dengan lingkungan, baik

lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang meliputi

lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat luas. Hal ini

bermanfaat pada individu untuk mengetahui lingkungan sosial yang

luas sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik.

3) Kepribadian

Kepribadian individu tidak dapat dilihat dari penampilannya

sehingga penting bagi individu untuk tidak menilai seseorang

berdasarkan penampilan semata. Penanaman nilai-nilai yang

menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada

hal-hal fisik seperti materi dan penampilan akan membuat individu

mudah bergaul dengan orang lain.

4) Rekreasi

Melalui rekreasi individu akan mendapat kesegaran baik fisik

maupun psikis, sehingga terlepas dari rasa bosan dan mendapatkan

semangat baru. Hal ini dapat menjadikan individu mampu mengatur

emosi atau keadaan psikologis berkaitan dengan hubungan sosial.

5) Pergaulan dengan lawan jenis

Pergaulan dengan lawan jenis akan memudahkan individu untuk

mengenali karakteristik individu lain tanpa membatasi perbedaan

jenis kelamin sehingga akan menciptakan hubungan sosial yang

baik.

6) Pendidikan atau sekolah

Pendidikan merupakan salah satu faktor keterampilan sosial yang

berkaitan dengan cara-cara belajar yang efisien dan berbagai teknik

belajar sesuai dengan jenis pelajaran.

7) Persahabatan dan solidaritas kelompok

Pada masa remaja peran kelompok dan teman-teman sangat besar,

bahkan kepentingan kelompok lebih penting dari pada kepentingan

keluarga. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan sosial remaja.

8) Lapangan kerja

Keterampilan sosial untuk memilih pekerjaan disiapkan di sekolah

melalui berbagai pelajaran. Proses belajar mengajar yang baik akan

membuat individu mampu menyiapkan diri dalam berhubungan

sosial di lingkungan kerja.

Cartledge & Milburn (1995) mengemukakan faktor yang

mempengaruhi keterampilan sosial yaitu:

a) Cognitive and behavioral skill deficit (gangguan pada kemampuan

kognitif dan perilaku). Individu yang memiliki gangguan pada

kemampuan kognitif dan perilaku akan lebih sulit untuk berinteraksi

dengan orang lain.

b) Umur. Faktor usia menimbulkan kesan bahwa kematangan sosial

terjadi pada usia yang lebih tua. Hal itu berarti bahwa semakin tinggi

usia individu, maka semakin tinggi pula kemampuan sosial individu.

c) Jenis kelamin. Jenis kelamin atau gender sangat mempengaruhi

keterampilan sosial. Papalia (2008: 588) menyebutkan bahwa anak

laki-laki menunjukkan perhatian lebih pada berbagai permainan

dibandingkan dengan perempuan.

d) Tingkat perkembangan. Perkembangan individu yang normal

memungkinkan individu untuk memenuhi tugas perkembangannya

untuk berinteraksi dengan orang lain.

e) Lingkungan sosial. Lingkungan dapat merangsang individu

memperoleh kesempatan untuk menggunakan kemampuan sosial

semaksimal mungkin.

Hal senada dikemukakan oleh Samanci dalam Matson (2009),

yang menjelaskan faktor-faktor perkembangan keterampilan sosial

meliputi :

a) Keluarga. Pengaruh positif keluarga bagi perkembangan

keterampilan sosial meliputi dukungan keluarga, waktu yang

berkualitas untuk individu, model perilaku positif dari orang tua,

komunikasi di rumah, lingkungan keluarga yang demokratis, dan

penerimaan penuh keluarga terhadap individu.

b) Sekolah. Sekolah menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap

perkembangan sosial dalam hal aktivitas di sekolah, sikap dan

perilaku sosial positif guru, manajemen sekolah dan kelas yang

demokratis, metode dan teknik pembelajaran yang berpusat pada

siswa, dan upaya mengurangi stres terhadap ujian.

c) Lingkungan dan masyarakat. Lingkungan yang berpengaruh positif

terhadap perkembangan keterampilan sosial meliputi waktu yang

banyak untuk kegiatan bersama teman, partisipasi aktif individu

dalam kegiatan sosial dan keluarga di lingkungannya, sering

bermain bersama teman.

d) Karakteristik individu. Karakteristik individu yang berpengaruh

terhadap perkembangan keterampilan sosial yaitu keterampilan

berbahasa dan berkomunikasi, kepercayaan diri, kemampuan untuk

mengatasi gangguan, dan kemampuan personal lainnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan

bahwa perkembangan keterampilan sosial individu dipengaruhi oleh

beberapa faktor, faktor yang pertama timbul dalam diri individu itu

sendiri, sedangkan faktor yang kedua adalah akibat dari interaksi

dengan lingkungan sosial sehingga kondisi lingkungan dapat

mempengaruhi tingkah laku seseorang.

e. Penghambat Keterampilan Sosial

Perlakuan yang salah terhadap anak akan mengakibatkan

dampak yang sangat besar bagi anak dalam kehidupan bersosialnya.

Menurut Santrock (2007:172-173) perlakuan tersebut meliputi:

kekerasan fisik, penelantaran anak, kekerasan seksual, dan kekerasan

emosional.

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik dicirikan oleh terjadinya cedera fisik yang

diakibatkan oleh pemukulan, penggigitan maupun

pembakaran.orang tua tidak bermaksud menyakiti anak atau

mencederai anak. Perlakuan fisik yang melewati batas akan

berdampak negative bagi anak

2. Penelantaran anak

Penelantaran anak dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi

kebutuhan dasar anak. Penelantaran ini bisa berupa penelantaran

fisik, pendidikan, dan emosional.

1) Penelantaran fisik meliputi penolakan, penundaan dalam

mencari perawatan kesehatan, pengusiran dari rumah atau

penolakan anak yang pergi dari rumah.

2) Penelantaran pendidikan mencakup pembiaran terhadap kasus

pembolosan anak, tidak mendaftarkan anak yang saatnya

bersekolah dan tidak memenuhi kebutuhan pendidikan anak.

3) Penelantaran emosional meliputi tindakan seperti tidak adanya

perhatian terhadap kebutuhan anak akan adanya rasa kasih

sayang atau ketidakmampuan memberikan kebutuhan psikologis

yang perlu. Dampak yang ditimbulkan dari kurangnya dari

kurangnya kasih sayang terhadap anak yaitu, anak akan mencari

aktifitasnya sendiri di luar rumah, seperti bermain play station,

video game, dsb. permainan yang dilakukan secara berlebihan

menimbulkan anak bersifat individualistic dan kurang peka

terhadap lingkungan sekitarnya yang berdampak pada

keterampilan sosial anak yang rendah.

4) Kekerasan seksual

Kekerasan seksual meliputi mempermainkan alat kelamin anak,

pemerkosaan, dan sodomi

5) Kekerasan emosional

Kekerasan emosional meliputi tindakan pengabaian oleh orang

tua yang menyebabkan masalah emosional serius bagi anak.

Bentuk-bentuk perlakuan yang salah seperti di atas

mengakibatkan keterampilan sosial anak yang kurang baik bagi

kehidupannya kelak. Masalah yang ditimbulkan akibat perlakuan

tersebut meliputi hubungan yang tidak baik dengan peer grup,

pengendalian emosi yang buruk, kesulitan beradaptasi, dll. Kesulitan

beradaptasi disekolah membuat anak tidak dapat berinteraksi dengan

baik terhadap guru maupun dengan teman-temannya, sehingga anak

akan dikucilkan sekolahnya.

f. Bentuk- Bentuk Keterampilan Sosial

Stephen & Arnold dalam Cartledge dan Milburn (1995)

mengelompokkan perilaku keterampilan sosial ke dalam empat bentuk

perilaku, diantaranya:

1) Self related behavior, yaitu perilaku sosial yang dimunculkan karena

adanya pertimbangan dan penghayatan dalam diri individu.

Beberapa bentuk perilakunya seperti menerima konsekuensi dari

perbuatannya, berperilaku sesuai dengan norma masyarakat,

mengekspresikan perasaan, dan bersikap positif terhadap diri

sendiri.

2) Task related behavior, yaitu perilaku sosial yang dimunculkan

karena adanya tuntutan dan kewajiban yang harus dilakukan untuk

mendapatkan penghargaan sosial. Contoh bentuk perilakunya seperti

perilaku berpartisipasi, mengikuti perintah, bertanya dan menjawab

pertanyaan, dan mengikuti aktivitas kelompok.

3) Environmental behavior, yaitu perilaku sosial yang dimunculkan

karena adanya pengaruh pandangan orang-orang yang ada di sekitar

individu sesuai dengan norma yang dianut pada lingkungan tertentu.

Bentuk perilakunya seperti mampu menyesuaikan diri, berbuat

untuk lingkungan sekitar, dan peduli dengan lingkungan.

4) Interpersonal behavior, yaitu perilaku sosial yang berlangsung

antara dua orang atau lebih yang mencirikan proses-proses yang

timbul sebagai hasil dari interaksi secara positif. Bentuk perilakunya

antara lain menyapa orang lain, membantu orang lain, menerima

kepemimpinan, bersikap positif terhadap orang lain.

Sedangkan menurut Walker & Mc. Connell dalam Gimpel &

Merrell (1998) menyebutkan bentuk perilaku keterampilan sosial yaitu:

1) Perilaku sosial dasar dalam interaksi sosial umum, meliputi kontak

dan komunikasi, simpati dan empati, kompromi dan kerjasama, serta

perilaku mengatasi masalah yang meliputi merespon gangguan dan

masalah, dan mengatasi dorongan perilaku agresi.

2) Interaksi berteman di luar pembelajaran, meliputi penerimaan

teman, perilaku interaksi berteman, adaptasi, perilaku membantu,

inisiatif, dan bakat positif yang ditunjukkan melalui perilakunya.

3) Penyesuaian diri terhadap aktivitas pembelajaran, meliputi

kemampuan manajemen waktu, mengikuti arahan, kemampuan

berkarya, dan respon terhadap pebelajaran.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

bentuk-bentuk keterampilan sosial meliputi perilaku yang berhubungan

dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan sekitar, dan terhadap

tuntutan serta kewajiban.

g. Manfaat Keterampilan Sosial

Gilay, dkk dalam Hertinjung (2008: 10) menjelaskan manfaat

keterampilan sosial untuk mendukung pembelajaran individu, yaitu

mendukung keterampilan komunikasi, keberhasilan akademik, adaptasi

di sekolah, hubungan pertemanan, dan mendukung lingkungan

pembelajaran yang positif. Seven & Yolda dalam Matson (2009)

menyebutkan keterampilan sosial diperlukan untuk berbagi ide,

berkomunikasi sederhana, perilaku patuh pada peraturan, dan

mengikuti arahan, kemampuan menyusun target dan membuat

keputusan.

Sorias dalam Hersen & Bellack (2007) menyebutkan manfaat dari

keterampilan sosial bagi individu adalah untuk mengekspresikan emosi

yang sesuai dengan konteks sosial, memperoleh hak dengan cara yang

baik dan tidak mengganggu hak orang lain, meminta bantuan orang lain

apabila membutuhkan, serta menolak permintaan atau ajakan yang

tidak baik.

Menurut Samaci dalam Matson (2009) keterampilan sosial sangat

penting untuk beradaptasi dengan baik dan untuk melakukan proses

sosialisasi dengan lingkungan. Sementara itu Gresam dalam Matson

(2009) menyatakan manfaat keterampilan sosial untuk meningkatkan

penerimaan dan penilaian orang lain.

Sedangkan Johnson dan Johnson (1999) mengemukakan 6

manfaat memiliki keterampilan sosial bagi individu, yaitu :

1. Perkembangan Kepribadian dan Identitas

Keterampilan sosial dapat mengembangkan kepribadian dan

identitas karena kebanyakan dari identitas masyarakat dibentuk dari

hubungannya dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi

dengan orang lain, individu mempunyai pemahaman yang lebih baik

tentang diri sendiri.

2. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan

Kesuksesan Karir

Keterampilan sosial dapat mengembangkan kemampuan kerja,

produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan

umum yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Hal ini karena

keterampilan sosial dapat digunakan untuk mengajak orang lain

untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi situasi yang

kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain yang

berhubungan dengan dunia kerja.

3. Meningkatkan Kualitas Hidup

Keterampilan sosial dapat meningkatkan kualitas hidup karena

setiap individu membutuhkan hubungan yang baik, dekat, dan intim

dengan individu lainnya.

4. Meningkatkan Kesehatan Fisik

Keterampilan sosial dapat meningkatkan kesehatan fisik karena

hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi

kesehatan fisik. Johnson & Johnson (1999) mengatakan penelitian

menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi berhubungan

dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat dari sakit.

5. Meningkatkan Kesehatan Psikologis

Keterampilan sosial dapat meningkatkan kesehatan psikologis

karena kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh hubungan

positif dan dukungan dari orang lain. Ketidakmampuan

mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif

dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi,

dan kesepian.

6. Kemampuan Mengatasi Stress

Memiliki keterampilan sosial berguna untuk mengatasi stres.

Hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi

stres dengan memberikan perhatian, informasi, dan feedback.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan manfaat

memiliki keterampilan sosial adalah individu mampu menyesuaikan

diri dengan lingkungan sosialnya, mengembangkan kepribadian dan

identitas, mengembangkan kemampuan karir, meningkatkan kualitas

hidup, meningkatkan kesehatan, serta mampu mengatasi stres.

2. Hasil Belajar

a. Pengertian Hasil Belajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 787) hasil adalah

sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan, dsb). Sedangkan belajar

menurut Ahmadi dan Supriyono (2003: 128) belajar merupakan suatu

proses perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan

lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hilgard dan Bower dalam Sutikno dan Fatuhurrohman (2007:5)

mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah

laku seserorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh

pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana

perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar

kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan

sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya).

Jika definisi hasil dan belajar kita padukan maka akan diperoleh

suatu definisi hasil belajar seperti yang dikemukakan oleh Reigeluth

dalam Rusmono (2014:7) Semua akibat yang dapat terjadi dan dapat

dijadikan sebagai indikator tentang nilai sebagai penggunaan suatu

metode dibawah kondisi yang berbeda.

Hasil belajar menurut Snelbecker dalam Rusmono (2014:8)

mengatakan bahwa perubahan atau kemampuan baru yang diperoleh

siswa setelah melakukan perbuatan belajar adalah merupakan hasil

belajar, karena belajar pada dasarnya adalah bagaimana perilaku

seseorang berubah sebagai akibat dari pengalaman.

Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi

yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar

merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila

dibandingkan pada saat sebelum belajar (Dimyati dan Mudjiono, 1999:

250-251). Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-

jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru,

hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran. Hasil

juga bisa diartikan adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi

perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu

menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti (Oemar

Hamalik, 2006:30).

Hasil belajar diukur melalui bagaimana proses itu dilakukan,

apakah sesuai dengan prosedur atau kaidah yang benar, bukan pada

produk saat itu, karena proses yang benar, kelak akan menghasilkan

sesuatu yang bermanfaat ketika kembali ke masyarakat sebagai

outcome/keluaran (M.Hosnan 2014:98)

Tentunya bahwa hasil belajar ini diharapakan akan sesuai dengan

tujuan belajar. Tujuan diperlukan agar hasil perencanaan nantinya dapat

mengembangkan kompetensi yang akan menolong pelajar agar dapat

berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat, selain itu, tujuan mesti

mengenal perubahan dalam kebutuhan pelajar dan keterkaitannya

dengan apa yang seharusnya diberikan pada siswa (Ahmad Fauzi,

2014:74)

Berdasarkan pendapat dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa

hasil belajar merupakan penilaian akhir dari suatu proses pembelajaran,

hasil belajar bisa dilihat dari perubahan siswa tersebut baik itu bersifat

kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Hasil belajar tentunya akan

sesuai dengan proses yang sudah dilewatinya, karena hasil belajar

merupakan penilaian dari proses belajar itu sendiri.

b. Macam-Macam Hasil Belajar

Gagne dalam Dahar (2011:118) mengemukakan lima macam

hasil belajar, tiga diantaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan

satu lagi bersifat psikomotorik. Adapun lima macam hasil belajar

tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Keterampilan Intelektual

Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang

berinteraksi dengan lingkungannya dengan penggunaan simbol-

simbol atau gagasan-gagasan. Aktivitas belajar keterampilan

intelektual ini dimulai sejak tingkat pertama sekolah dasar (sekolah

taman kanak-kanak) dan dilanjutkan sesuai dengan perhatian dan

kemampuan intelektual seseorang.

Selama bersekolah, banyak sekali jumlah keterampilan

intelektual yang dipelajari oleh seseorang. Keterampilan-

keterampilan intelektual ini, untuk bidang studi apa pun, dapat

digolongkan berdasarkan kompleksistasnya.

2) Strategi kognitif

Suatu macam keterampilan intelektual khusus yang

mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir disebut

strategi kognitif. Dalam teori belajar modern, suatu strategi

kognitif merupakan suatu proses kontrol, yaitu suatu proses

internal yang digunakan siswa (orang yang belajar) untuk memilih

dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar,

mengingat, dan berpikir.

3) Informasi Verbal

Informasi verbal juga disebut; menurut teori pengetehauan

verbal ini disimpan sebagai jaringan proporsi-proporsi. Nama lain

untuk pengetahuan verbal ini ialah pengetehuan deklaratif.

Informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar di sekolah dan

juga dari kata-kata diucapkan orang, membaca dari radio, televise,

dan media lainnya.

4) Sikap

Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat

mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian-

kejadian, atau mahluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang

penting ialah sikap kita terhadap orang lain. Oleh karena itu, Gagne

juga memperhatikan bagaimana siswa-siswa memperoleh sikap-

sikap sosial ini.

5) Keterampilam Motorik

Keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik,

melainkan juga kegiatan motorik yang digabung dengan

keterampilan intelektual, misalnya membaca, menulis, memainkan

sebuah instrument musik, atau dalam pelajaran, sains,

menggunakan berbagai macam alat seperti mikroskop dan berbagai

alat listrik.

c. Indikator Hasil Belajar

Menurut Bloom yang dikutip oleh Sudjana (2010: 22-31) hasil

belajar adalah perubahan tingkah laku yang didapat setelah proses

belajar dan dapat diamati melalui tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah

afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil

belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau

ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah

afektif berkenaan dengan dengan sikap yang berkenaan dengan sikap

yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban, atau reaksi,

penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotorik berkenaan

dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada

enam aspek ranah psikomotorik, yakni gerakan reflek, keterampilan

gerakan dasar, kemampuan keharmonisan atau ketepatan, gerakan

keterampilan kompleks, dan gerakan ekspretif dan interpretative. Dari

ketiga ranah tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Ranah Kognitif

Tujuan ranah kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang

mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana yaitu

mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang

menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan

beberapa id, gagasan, metode atau prosedur yang di pelajarai untuk

memecahkan masalah tersebut. Ada enam tingkatan dalam ranah

kognitif ini, yaitu:

a. Tingkatan pengetahuan (knowledge), pada tahap ini menuntut

siswa untuk mampu mengingat (recall) berbagai informasi yang

telah diterima sebelumnya. Misalnya fakta, rumus, terminology

strategy dan sebagainya.

b. Tingkat pemahaman (comprehension), pada tahap ini kategori

pemahaman dihubungkan dengan kemampuan untuk

menjelaskan pengetahuan informasi yang telah diketahui kata-

kata sendiri. Pada tahap ini peserta didik diharapkan

menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar

kata-kata sendiri.

c. Tingkat penerapan (application). Penerapan merupkan

kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi

yang telah di pelajarai ke dalam situasi yang baru, serta

memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan.

d. Tingkat analisis (analysis), analisis merupakan kemampuan

mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-

komponen atau elemen suatu faktu, konsep, pendapat, asumsi

hipotesa, atau kesimpulan dan memeriksa setiap komponen

tersebut untuk melihat ada atau tidaknya kontradiksi. Dalam

tingkat ini peserta didik diharapkan menunjukkan hubungan

diantara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan

tersebut dangan standar, prinsip atau prosedur yang telah

dipelajari.

e. Tingkat sintesis (synthesis), sintesis merupakan kemampuan

seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen

dan unsur pengetahuan. Tingkat evaluasi (evaluation) evaluasi

merupakan level tertinggi yang mengharapkan peserta didik

mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu

gagasan, metode, produk, atau benda dengan menggunakan

kriteria tertentu.

2. Ranah Afektif

Life skill merupakan bagian dari kompetensi lulusan sebagai hasil

proses pembelajaran. Menurut Pophan menyatakan bahwa ranah

afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Artinya ranah

afektif sangat menentukan keberhasilan seorang peserta didik untuk

mencapai ketuntasan dalam proses pembelajaran. Ada lima

tingkatan dalam ranah afektif, yaitu:

a. Menerima (attending) peserta didik memiliki keinginan untuk

memperhatikan suatu fenomena khusus (stimulus). Misalnya

keadaan kelas, berbagai kegiatan sekolah (kegiatan musik,

ekstrakulikuler). Disini guru hanya bertugas mengarahkan

perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek

pembelajaran afektif.

b. Tanggapan (responding) merupakan partisipasi aktif peserta

didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkatan ini

peserta didik tidak hanya memperhatikan fenomena khusus tetapi

juga beraksi terhadap fenomena yang ada. Serta peringkat

tertinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang

menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktifitas

khusus. Misalnya senang bertanya, senang membaca buku,

senang membantu sesame dan lain sebagainya.

c. Menilai (valuing) melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau

sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen.

Derajat senangnya mulai dari menerima sesuatu misalnya

keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat

komitmen. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan

perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas.

Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini di klasifikasi sebagai

sikap apresiasi.

d. Organisasi (organization) antara nilai yang satu dengan nilai yang

lain dikaitkan dan konflik antar nilai di selesaikan, serta mulai

membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil belajar

pada peringkat ini, misalnya pengembangan filsafat hidup.

e. Karakterisasi (characterization) pada peringkat ini peserta didik

memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada

suatu waktu tertentu hingga terbentuk pola hidup hasil belajar

pada peringkat ini adalah berkaitan dengan pribadi, emosi, dan

rasa sosialis.

3. Ranah Psikomotorik

Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk keterampilan

(skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkat

keterampilan, yakni:

a. Gerakan reflex (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar).

b. Keterampilan pada gerak-gerak dasar.

c. Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan

visual, membedakan auditif motoris, dan lain-lain.

d. Kemampuan dibidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan,

dan ketepatan.

e. Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai

pada keterampilan yang kompleks.

f. Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive,

seperti gerakan ekspresif dan interpretative.

Hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPS yang diukur dalam

penelitian ini adalah hasil belajar yang meliputi aspek kognitif, afektif,

dan psikomotorik.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hamalik (2006:31) menjelaskan ada beberapa faktor yang

mempengaruhi hasil belajar, diantaranya adalah:

1) Faktor dari luar

Faktor dari luar terdiri dari dua bagian penting yakni:

a) Faktor environmental input (lingkungan)

Kondisi lingkungan juga mempengaruhhi proses dan hasil

belajar. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik/alam dan

lingkungan sosial.

b) Faktor-faktor instrumental

Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan

penggunaannya dirancangkan sesuai hasil belajar yang

diharapkan.

Faktor-faktor instrumental ini dapat berwujud faktor-faktor

keras (hardware), seperti:

(1) Gedung perlengkapan belajar

(2) Alat-alat praktikum

(3) Perpustakaan, dan sebagainya.

Maupun faktor-faktor lunak (software), seperti:

(1) Kurikulum

(2) Bahan/program yang harus dipelajari

(3) Pedoman-pedoman belajar dan sebagainya

2) Faktor dari dalam

Faktor dari dalam adalah kondisi individu atau anak yang belajar

itu sendiri. Faktor individu dapat dibagi menjadi dua bagian

a) Kondisi fisiologis anak

b) Kondisi psikologis anak

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi proses dan hasil

belajar, maka sebenarnya kondisi individu si pelajar/anaklah yang

memegang peranan paling menentukan, baik itu kondisi fisiologis

maupun psikologis.

3. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

a. Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial

Ilmu Pengetahuan Sosial atau yang lebih dikenal dengan IPS

merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti

sosiologi, ekonomi, geografi, dan sejarah. Ilmu Pengetahuan Sosial

dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan

satu pendekatan interdisipliner dari aspek cabang-cabang ilmu-ilmu

sosial (Trianto, 2014:171).

Menurut Sapriya (2014:7) istilah IPS di Indonesia mulai dikenal

sejak tahun 1970-an sebagai hasil kesepakatan komunitas akademik dan

secara formal mulai digunakan dalam sistem pendidikan nasional dalam

kurikulum 1975. Dalam dokumen kurikulum tersebut IPS merupakan

salah satu nama mata pelajaran yang diberikan pada jenjang pendidikan

sekolah dasar dan menengah. Mata pelajaran IPS merupakan sebuah

nama mata pelajaran integrasi dari mata pelajaran Sejarah, Geografi,

dan Ekonomi serta mata pelajaran lainnya.

Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Study) menurut NCSS dalam

Maryani (2011:10) merupakan kajian integrasi dari ilmu sosial dan

humanities (antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum,

politik, filsafat, psikologi, agama, dan sosiologi), untuk

memperkenalkan kompetensi warga masyarakat. Melalui program

sosial, social studies menjadi koordinasi dan sintetis ilmu-ilmu sosial

dengan tujuan utama menolong generasi muda untuk mengembangkan

kemampuan dalam mengambil keputusan secara rasional, sehingga

menjadi warga Negara yang baik, dapat hidup dalam keragaman

budaya, masyarakat yang demokratis, dan dunia yang serba

ketergantungan.

Sedangkan menurut Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan

Pengembangan Depdiknas (2006), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

merupakan integrasi dari cabang ilmu-ilmu sosial dirumuskan atas

dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan

interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial.

Berdasarkan pendapat para ahli mengenai pengertian mata

pelajaran IPS tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa mata pelajaran

IPS adalah mata pelajaran perpaduan antara ilmu-ilmu sosial

diantaranya sosiologi, geografi, sejarah, dan ekonomi. Adanya

keterpaduan mata pelajaran IPS maka dapat meningkatkan

keterampilan siswa untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah

sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi

dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.

b. Tujuan Pembelajaran llmu Pengetahuan Sosial

Tujuan utama Ilmu Pengetahuan sosial ialah untuk

mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial

yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap positif terhadap perbaikan

segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah

yang terjadi seharihari, baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang

menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-

program pelajaran lPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Mutakin

dalam Trianto (2014:176) merinci rumusan tujuan tersebut sebagai

berikut:

1) Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau

lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan

kebudayaan masyarakat.

2) Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan

metode yang diadaptasi dari imu-ilmu sosial yang kemudian dapat

digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial

3) Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta

membuat keputusan untuk menyelesakan isu dan masalah yang

berkembang di masyarakat.

4) Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah masalah sosial, serta

mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil

tindakan yang tepat.

5) Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu

membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung

jawab membangun masyarakat.

6) Memotivasi seseorang untuk bertindak berdasarkan moral.

7) Fasilitator di dalam suatu lingkungan yang terbuka dan tidak bersifat

menghakimi

8) Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam

kehidupan nya 'to prepare students to be well-functioning citizens in a

democratic society” dan mengembangkan kemampuan siswa

mengunakan penalaran dalam mengambil keputusan pada setiap

persoalan yang dihadapinya.

9) Menekankan perasaan, emosi, dan derajat penerimaan atau penolakan

siswa terhadap materi Pembelajaran lPS yang diberikan.

Di samping itu, juga bertujuan bagaimana sikap siswa terhadap

pelajaran berupa: penerimaan, jawaban atau sambutan, penghargaan,

pengorganisasian, karakteristik nilai, dan menceritakan.

c. Karakteristik Ilmu Pengetahuan Sosial

Menurut Maryani (2011:14) ruang lingkup mata pelajaran IPS

meliputi aspek-aspek (1) Manusia, Tempat, dan Lingkungan; (2) Waktu,

Keberlanjutan, dan Perubahan; (3) Sistem Sosial dan Budaya; (4)

Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan. Adapun karakteristik mata

pelajaran IPS SMP/MTs antara lain sebagai berikut:

1) Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan dari unsur-unsur

geografi, sejarah, ekonomi, hokum dan politik, kewarganegaraan,

sosiologi bahkan bidang humaniora, pendidikan dan agama.

2) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS berdasar dari struktur

ilmu geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, yang dikemas sedemikian

rupa sehingga menjadi pokok bahasan atau topik (tema) tertentu.

3) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar juga menyangkut

berbagai masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan

interdisipliner dan multidisipliner.

4) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dapat menyangkut

peristiwa atau perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab

akibat, kewilayahan, adaptasi dan pengelolaan lingkungan, struktur,

proses dan maslah sosial serta upaya-upaya perjuangan hidup agar

survive seperti pemenuhan kebutuhan, kekuasaan, keadilan, dan

jaminan keamanan.

d. IPS Jenjang SMP/MTs

Untuk jenjang SMP/MTs, pengorganisasian mata pelajaran IPS

menganut pendekatan korelasi (correlated), artinya materi pelajaran

dikembangkan dan disusun mengacu pada beberapa disiplin ilmu secara

terbatas kemudian dikaitkan dengan aspek kehidupan nyata (Faktual/real)

peserta didik sesuai sesuai dengan karakteristik usia, tingkat

perkembangan berfikir dan kebiasaan bersikap dan berperilaku. Dalam

dokumen Permendiknas (2006) dikemukakan bahwa IPS untuk

SMP/MTs memiliki kesamaan dengan IPS SD/MI yakni mengkaji

sepereangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan

dengan isu sosial. Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat

materi geografi, sejarah, sosiologi, dan ekonomi. Dari ketentuan ini maka

secara konseptual, materi pelajaran IPS di SMP belum mencakup dan

mengakomodasi seluruh disiplin ilmu sosial. Namun, ketentuannya sama

bahwa melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat

menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan beranggung jawab,

serta warga dunia yang cinta damai (Sapriya, 2014: 200-201).

Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan

terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan

dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan

peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan

mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan.

Menurut Sapriya (2014: 201) tujuan mata pelajaran IPS

SMP/MTs sama dengan IPS SD/MI sebagai berikut:

1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan

masyarakat dan lingkungannya.

2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin

tahu, inquiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam

kehidupan sosial.

3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan

kemanusiaan.

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi

dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat local, nasional, dan

global.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang keterampilan sosial sebelumnya sudah banyak

dilakukan. Diantaranya adalah.

Penelitian oleh Nurhamidah (2013) dengan judul skripsi “Pengaruh

Metode Bercerita Terhadap Keterampilan Sosial Anak Usia Prasekolah di TK

Siaga Tunas Kelapa Ngalangan Sardonoharjo Ngaglik Sleman”. Penelitian ini

menggunakan metode kuantitatif dengan subjek penelitian anak prasekolah,

dalam penelitiannya Nurhamidah berusaha mencari tahu pengaruh metode

bercerita terhadap keterampilan sosial anak prasekolah dan hasilnya adalah ada

perbedaan skor keterampilan sosial subjek pada pre-test dan post-test. Ada

pengaruh metode bercerita dalam meningkatkan keterampilan sosial anak usia

prasekolah. Persamaan penelitian Nurhamidah dengan peneliti adalah sama-

sama menggunakan metode kuantitatif namun perbadaannya adalah pada hasil

yang ingin dicapai dalam penelitiannya, jika Nurhamidah mencari angka

pengaruh sedangkan peneliti mencari angka korelasi, selain itu perbedaan juga

pada subjek penelitian jika Nurhamidah menggunakan anak usia prasekolah

sedangkan peneliti menggunakan siswa SMP sebagai subjek penelitian.

Penelitian oleh Rohman Pambudi (2013) dengan judul skripsi

“Meningkatkan Keterampilan Sosial Melalui Permainan Bola Kasti Siswa

Kelas IV A SD N Nogopuro, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman Tahun

Pelajaran 2012/2013”. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas

dimana teknik analisi datanya menggunakan deskriptif kualitatif dan

kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, angket,

wawancara, dan dokumentasi dengan subjek penelitiannya adalah siswa SD

kelas IV. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permainan bola kasti dapat

meningkatkan keterampilan sosial pada siswa kelas IV A SD N Nogopuro

Tahun Ajaran 2012/2013 dengan melakukan tindakan berupa memberikan

pemahaman kepada siswa mengenai manfaat bermain, melakukan pembagian

tim secara seimbang dan dengan komposisi secara heterogen. Perbedaan

penelitian Rohman Pambudi dengan peneliti adalah pada jenis penelitian, jika

Rohman Pambudi termasuk ke dalam Penelitian Tindakan Kelas sedangkan

peneliti termasuk ke dalam penelitian korelasional yakni mencari hubungan

antara variabel X dan Y, selain itu terdapat juga perbedaan pada subjek

penelitian yakni jika Rohman Pambudi menggunakan siswa SD kelas IV

sebagai subjeknya maka peneliti menggunakan siswa SMP sebagai subjeknya.

Penelitian oleh Ursa Majorsy, Annes Dwininta, Inge Andriani, dan

Warda Lisa (2013) dengan judul “Hubungan Antara Keterampilan Sosial dan

Kecanduan Situs Jejaring Sosial Pada Masa Dewasa Awal”. Penelitian ini

menggunakan metode kuantitatif yakni mencari korelasi antara keterampilan

sosial dan kecanduan situs jejaring sosial pada masa dewasa awal. Hasil yang

didapat adalah terdapat hubungan antara keterampilan sosial dan kecanduan

situs jejaring sosial pada masa dewasa awal dengan arah negatif, dimana

semakin tinggi keterampilan sosial yang dimiliki seseorang maka kecanduan

jejaring sosial akan semakin rendah, sebaliknya semakin rendah keterampilan

sosial seseorang maka akan semakin tinggi kecanduan situs jejaring sosial.

Persamaan penelitian oleh Ursa Majorsy, Annes Dwininta, Inge Andriani, dan

Warda Lisa dengan peneliti adalah pada metode kuantitatif serta sama-sama

mencari angka korelasi dengan keterampilan sosial sebagai variabel X, selain

persamaan terdapat juga perbedaan antara penelitian Ursa Majorsy, Annes

Dwininta, Inge Andriani, dan Warda Lisa dengan penelitian yang dilakukan

oleh peneliti yakni pada variabel Y, jika Ursa Majorsy, Annes Dwininta, Inge

Andriani, dan Warda Lisa menggunakan kecanduan situs jejaring sosial pada

masa dewasa awal sebagai variabel Y sedangkan peneliti menggunakan hasil

belajar sebagai variabel Y.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa penelitian tentang

keterampilan sosial sudah dilakukan. Akan tetapi, penelitian dengan judul

“Hubungan Keterampilan Sosial Siswa Dengan Hasil Belajar Pada Mata

Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial“ belum pernah dilakukan. Penelitian ini

berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dalam subjek dan lokasi

penelitian. Tema yang digunakan dalam penelitian ini adalah keterampilan

sosial pada siswa SMP. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

Caldarella dan Marrell mengenai keterampilan sosial. Subjek penelitian ini

adalah siswa kelas VII C SMP Negeri 7 Kota Cirebon.

C. Kerangka Pemikiran

Untuk memperjelas tentang hubungan keterampilan sosial siswa

dengan hasil belajar, penulis menggambarkan kerangka berfikir sebagai

berikut:

Gambar 1: Alur Pikir Penelitian

Penggambaran kerangka pemikiran tersebut, akan membantu penulis

dalam menghubungkan antara keterampilan sosial yang dimliki oleh siswa

dengan hasil belajar siswa.

Untuk menyusun kerangka pemikiran penulis menggunakan teori dari

Caldarella dan Marrell tentang aspek-aspek keterampilan sosial. Menurut

Caldarella dan Marrell ada lima aspek paling umum dalam keterampilan sosial,

Keterampilan

Sosial

Peer Relation

Self-Management

Academic

Compliance

Assertivation

Hasil

Belajar

yakni hubungan dengan teman sebaya (Peer Relation), manajemen diri (Self-

Management), kemampuan akademis (Academic), Kepatuhan (Compliance),

dan Perilaku Asertive (Assertivation). Untuk mengetahui sejauh mana

keterampilan sosial yang dimiliki oleh seseorang maka kita dapat melihatnya

dengan kelima aspek tersebut sebagai indikatornya.

Seorang siswa yang mampu menjaga hubungan dengan baik dengan

teman-temannya serta mampu bekerja sama maka ini termasuk kedalam aspek

yang pertama yakni Peer Relation. Ada juga seorang siswa yang mampu

mengendalikan dirinya dengan baik maka itu termasuk kedalam aspek yang

kedua yakni Self-Management. Kemudian ada seorang siswa yang rajin dalam

menjalankan tugas dari guru serta mampu menyelesaikan tugas yang menjadi

tanggung jawabnya, maka siswa tersebut dapat dikatakan memiliki

keterampilan sosial, sesuai dengan aspek yang ketiga. Sedangkan untuk aspek

yang keempat contohnya adalah seorang siswa yang mampu mengikuti

peraturan dan dapat memanfaatkan waktu yang ada. Kemudian yang kelima

adalah perilaku asertif, yakni ketika seorang siswa yang sudah mampu tampil

percaya diri ketika berhadapan dengan lawan jenis.

Dalam hal ini penulis berusaha untuk menghubungkan antara

keterampilan sosial yang dimiliki oleh siswa dengan hasil belajar karena setiap

siswa memiliki tingkat keterampilan sosial yang berbeda maka hasil belajarpun

akan berbeda, namun belum diketahui apakah hubungan antara keterampilan

sosial dengan hasil belajar mempunyai hubungan yang signifikan.

D. Hipotesis Penelitian

Tujuan penelitian mengajukan hipotesis adalah agar dalam kegiatan penelitian

tersebut terfokus hanya pada informasi atau data yang diperlukan bagi

pengujian hipotesis. Untuk itu peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keterampilan sosial siswa

dengan hasil belajar pada mata pelajaran IPS siswa kelas VII C di SMP

Negeri 7 Kota Cirebon

Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara keterampilan sosial siswa

dengan hasil belajar pada mata pelajaran IPS siswa kelas VII C di SMP

Negeri 7 Kota Cirebon