BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB...

15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 Biologi Kelapa Kopyor Kelapa kopyor merupakan kelapa dengan buah yang unik, yaitu memiliki endosperma (daging buah) yang terlepas dari tempurungnya (Prasetyo & Rachmat, 2003; Mashud, 2010). Warisno (1998) menyebutkan bahwa secara morfologi, kelapa kopyor sulit dibedakan dengan kelapa normal, akan tetapi dengan cara menggoyang - goyang buahnya, suara yang gemericik dari air kelapa di dalam buah dapat digunakan untuk membedakan antara kedua jenis kelapa tersebut. Kelapa kopyor dapat dibedakan dengan mudah setelah buah kelapa dibelah (Gambar 2.1) (Mashud, 2010). Salah satu penyebab lepasnya endosperma dari tempurung pada kelapa kopyor diduga karena adanya defisiensi enzim α-D-Galaktosidase (Sukendah, 2009). Enzim tersebut merupakan salah satu enzim yang dibutuhkan dalam proses pembentukan endosperma pada tanaman kelapa (Sukendah, 2009). Adanya defisiensi enzim tersebut menyebabkan putusnya hubungan jaringan endosperma dengan embryo sehingga secara alami endosperma tidak mampu mendukung pertumbuhan embryo (Maskromo & Novarianto, 2007). 7 Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Kopyor

2.1.1 Biologi Kelapa Kopyor

Kelapa kopyor merupakan kelapa dengan buah yang unik, yaitu memiliki

endosperma (daging buah) yang terlepas dari tempurungnya (Prasetyo &

Rachmat, 2003; Mashud, 2010). Warisno (1998) menyebutkan bahwa secara

morfologi, kelapa kopyor sulit dibedakan dengan kelapa normal, akan tetapi

dengan cara menggoyang - goyang buahnya, suara yang gemericik dari air kelapa

di dalam buah dapat digunakan untuk membedakan antara kedua jenis kelapa

tersebut. Kelapa kopyor dapat dibedakan dengan mudah setelah buah kelapa

dibelah (Gambar 2.1) (Mashud, 2010).

Salah satu penyebab lepasnya endosperma dari tempurung pada kelapa

kopyor diduga karena adanya defisiensi enzim α-D-Galaktosidase (Sukendah,

2009). Enzim tersebut merupakan salah satu enzim yang dibutuhkan dalam

proses pembentukan endosperma pada tanaman kelapa (Sukendah, 2009). Adanya

defisiensi enzim tersebut menyebabkan putusnya hubungan jaringan endosperma

dengan embryo sehingga secara alami endosperma tidak mampu mendukung

pertumbuhan embryo (Maskromo & Novarianto, 2007).

7

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

8

Gambar 2.1. Perbedaan endosperma buah kelapa yang dibelah (A) pada kelapa

normal dan (B) kelapa kopyor. (Mashud, 2010).

Menurut Maskromo & Novarianto (2007) kelapa kopyor muncul secara

alami dan bersifat diturunkan dengan gen resesif. Sifat kopyor akan muncul

apabila saat penyerbukan bunga betina atau bakal buah yang memiliki gen resesif

kopyor (k) bertemu dengan bunga jantan yang memiliki gen resesif (k) baik

dalam satu pohon maupun yang berbeda pohon. Dengan demikian peluang

terbentuknya buah kopyor dalam satu pohon atau tandan tergantung pada peluang

penyerbukan yang melibatkan sifat kopyor pada bunga jantan atau betina tanaman

kelapa tersebut. Pada kelapa tipe Dalam, persentase kelapa kopyor yang terbentuk

secara alami tidak lebih dari 20 %, sedangkan kelapa tipe Genjah dapat mencapai

40 % (Maskromo et al., 2007; Mashud, 2008). Hal ini disebabkan kelapa kopyor

tipe Dalam melakukan penyerbukan silang sedangkan pada tipe Genjah

melakukan penyerbukan sendiri sehingga peluang untuk bertemunya gen resesif

antara bunga jantan dan bunga betina lebih besar (Mashud & Manaroinsong,

2007).

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

9

2.1.2 Manfaat dan Nilai Ekonomi Kelapa Kopyor

Kelapa kopyor memiliki daging buah dengan tekstur buah yang lunak, cita

rasa yang khas dan gurih (Mahmud, 2009). Menurut Hutapea et al. (2007), kelapa

kopyor biasa dipasarkan dalam bentuk buah segar maupun siap saji seperti es

kopyor dan es campur. Selain itu, kelapa kopyor juga dapat diolah terlebih dahulu

untuk menghasilkan produk dengan nilai ekonomis lebih tinggi seperti es cream

kopyor, selai kopyor ataupun permen kopyor. Di samping itu endosperma kelapa

kopyor memiliki nilai gizi lebih tinggi jika dibandingkan dengan endosperma

kelapa normal (Sukendah, 2009).

Permintaan kelapa kopyor dilaporkan sangat tinggi terutama pada waktu –

waktu tertentu seperti saat bulan puasa dan menjelang lebaran. Akibat permintaan

yang meningkat maka harga buah kopyor dapat meningkat hingga dua sampai

tiga kali lipat dari harga biasa (Mahmud, 2009). Walaupun sampai saat ini belum

pernah dilakukan survei untuk mengetahui secara pasti keseluruhan kebutuhan

kelapa kopyor, tetapi survei pada beberapa daerah sentra kelapa kopyor seperti

Lampung dan Sumenep menunjukan bahwa kebutuhan kelapa kopyor di

Indonesia terutama kota besar di Jawa seperti Jakarta sangat tinggi sedangkan

kelapa kopyor yang dihasilkan jumlahnya terbatas (Maskromo et al., 2007).

2.1.3 Budidaya Kelapa Kopyor

Buah kopyor tidak dapat berkecambah secara alami karena endospermanya

tidak mampu menyokong pertumbuhan embryo (Prasetyo & Rachmat, 2003).

Akibatnya pembibitan kelapa kopyor dilakukan dengan cara menyemaikan buah

kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

10

kopyor. Pembibitan dengan cara tersebut kurang efektif untuk dilakukan karena

tidak semua pohon yang dipelihara akan menghasilkan buah kopyor. Kelapa

kopyor tipe Dalam yang diperoleh melalui pembibitan secara alami tersebut hanya

akan menghasilkan buah kopyor sekitar 3 - 25 % (Maskomo et al., 2007),

sedangkan pada tipe Genjah dapat mencapai 30 – 50 % (Mashud, 2008).

Salah satu teknik untuk mengatasi permasalah tersebut adalah dengan

menggunakan teknik kultur embryo. Tanaman kelapa kopyor hasil kultur embryo

berpotensi sangat besar dalam menghasilkan buah kopyor yaitu mencapai 90 –

100% (Hutapea et al., 2007).

2.2 Kultur Embrio Kelapa Kopyor

Kultur embryo adalah teknik untuk menumbuhkan embryo zigotik pada

kondisi aseptis dalam medium tertentu sehingga diperoleh bibit tanaman

(Raghavan, 2003). Kultur embryo biasa dilakukan untuk menyediakan bibit suatu

tanaman dengan alasan tertentu, seperti penyelamatan spesies tanaman budidaya

hasil persilangan yang tidak dapat bertahan hidup apabila ditumbuhkan secara

alami (Burun & Poyrazoglu, 2002) maupun dapat digunakan untuk

menyelamatkan dan menumbuhkan embryo yang memiliki kebutuhan khusus

(Raghavan, 2003).

Pada tanaman kelapa, teknik kultur embryo telah banyak dilakukan dengan

berbagai macam tujuan antara lain untuk koleksi dan pengiriman plasma nutfah

kelapa (Mashud, 2008), penyelamatan plasma nutfah serta perbaikan bibit

tanaman kelapa (Mashud & Manaroinsong, 2007). Khusus pada kelapa unggul

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

11

seperti kelapa kopyor dan kelapa kenari, kultur embryo digunakan untuk

menghasilkan bibit unggul yang mampu menghasilkan buah unggul dengan

persentase yang lebih tinggi (Mashud, 2008).

Aplikasi kultur embrio untuk menghasilkan bibit kelapa telah banyak

dilakukan di beberapa negara seperti Sri Lanka, Filipina, India dan Indonesia.

Tingkat keberhasilan kultur embryo di setiap negara bervariasi, seperti di Sri

Lanka dan Filipina sangat tinggi (94 -98 %; Weerakoon, 2002; Rillo et al., 2002).

Namun di Indonesia dan India memiliki keberhasilan yang lebih rendah (61 – 67

%; Karun et al., 2002; Mashud, 2002).

Pelaksanaan kultur embryo kelapa pada umumnya dilakukan melalui 4

tahap, yaitu (1) koleksi embryo dari lapang (2) persiapan media (3) teknik aseptik

(4) aklimatisasi (Mashud & Manaroinsong, 2007). Tahap koleksi embryo dari

lapang terdiri atas tahap pemanenan buah kelapa sebagai sumber embryo,

pengupasan dan pengambilan silinder endosperma, pemisahan embryo dari

endosperma (Gambar 2.2; Mashud et al., 2003).

Tahap persiapan media tanam untuk kultur embryo, media tanam yang

umum digunakan terdiri atas unsur hara makro, mikro, vitamin, zat pengatur

tumbuh, arang aktif dan sukrosa sebagai sumber energi (Mashud, 2010). Beberapa

medium tanam yang banyak digunakan untuk menumbuhkan embryo kelapa

secara in vitro meliputi medium CPCRI (Central Plantation Crops Research

Institute; Damasco, 2002; Karun et al., 2002; Mashud, 2002; Rillo et al., 2002),

medium UPLB (University of Phillipine Los Banos; Karun et al., 2002; Mashud,

2002; Rillo, 2002; Weerakon et al., 2002). medium PCA (Phillipine Coconut

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

12

Authority; Rillo et al., 2002), serta medium HEC (Hybrid Embryo Culture ;

Rillo, 2004).

Gambar 2.2. Pengupasan buah kelapa (A) dilanjutkan dengan pengambilan

silinder endosperma (B) kemudian embryo di isolasi dari silinder

endosperma (C) (Mashud et al., 2004).

Tahap selanjutnya merupakan tahap yang paling penting dalam kultur

jaringan yaitu tahap teknik aseptik. Teknik aseptik terdiri dari persiapan embryo

steril dan pemeliharaan embryo secara in vitro (Mashud et al., 2003). Pada

tahapan ini umumnya eksplan disterilkan dengan menggunakan larutan aseptik

seperti larutan hipoklorit (Weerakon et al., 2002). Embryo yang telah disterilkan

kemudian ditanam pada media tanam (Mashud, 2008) dan dipelihara pada

temperatur 28 - 30 ºC dalam kondisi terang dengan periode 14 jam cahaya, 10 jam

tanpa cahaya (Adkins, 2008).

Tahap aseptik selanjutnya adalah tahap induksi akar. Pada kelapa biasa,

keberhasilan induksi akar bervariasi antara 26 - 70 % tergantung media yang

digunakan (Karun et al., 2002). Namun, pada kelapa kopyor tingkat keberhasilan

induksi akar masih sangat rendah. Prasetyo & Rachmat (2003) melaporkan

bahwa induksi akar dengan menggunakan medium dasar Murashige dan Skoog

(MS, 1962) hanya mampu menginduksi akar sekitar 11 %, sedangkan Sukendah et

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

13

al., (2008) melaporkan tingkat keberhasilan induksi akar yang lebih tinggi (45 %).

Tingkat keberhasilan induksi akar yang lebih tinggi, yaitu 100 % telah dilaporkan

oleh Risnani (2012).

Tahap terakhir dalam penyediaan bibit kelapa adalah tahap aklimatisasi.

Aklimatisasi adalah tahap penyesuaian bibit dari kondisi kultur (in vitro) ke

kondisi lingkungan luar (ex vitro) di screen house atau lapang yang mengharuskan

bibit tumbuh secara autotrofik (Mashud et al., 2004). Pada kelapa kopyor, tingkat

keberhasilan pada tahap ini masih rendah yaitu kurang dari 20 % (Sukendah,

2005; Mashud, 2010). Hal ini disebabkan karena bibit mengalami shock dan tidak

mampu beradaptasi dengan lingkungan luar (Mashud et al., 2004). Hal inilah

yang menjadi penyebab belum banyak dikembangkannya budidaya kelapa kopyor

dengan persentase buah kopyor tinggi melalui teknik kultur embryo.

2.3. Aklimatisasi dan Permasalahannya

Aklimatisasi merupakan tahapan yang sangat penting untuk memindahkan

planlet hasil kultur in vitro yang tumbuh secara fotomikotrofik ke lingkungan ex

vitro di screen house atau lapang yang mengharuskan bibit tumbuh secara

autotrofik (Mashud et al., 2004; Wardani et al., 2008; Handayani, 2011).

Aklimatisasi dibutuhkan waktu selama beberapa minggu atau beberapa bulan

untuk menyesuaikan tanaman secara perlahan dengan lingkungannya.

Banyak tanaman hasil kultur in vitro berhasil diaklimatisasi dengan mudah

seperti pada tanaman Aronia arbutifolia L. (Colun-Guasp et al., 1996), kacang

tanah (Sinaga, 1998), sambung nyawa (Kristina et al., 2005), krisan (Muhit,

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

14

2007), Rauvolfia serventina L. (Baksha, 2007), anggrek (Wardani et al., 2008),

Vitis vinifera (Gago et al., 2009), anyelir (Rohayati & Marlina, 2009), Eucalyptus

globulus L. (Pinto et al., 2010), Stevia rebaudiana (Verna, 2011), dan Bambusa

tulda. Roxb (Mishra et al., 2011). Namun pada tanaman yang lain seperti kelapa

sawit (Meiriani, 2002), anthurium (Marlina, 2004; Gantaif & Madal, 2010), dan

Dendrobium lituiflorum (Vyas et al., 2011) tahap aklimatiasi sulit untuk

dilakukan.

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab gagalnya proses aklimatiasi

tanaman hasil kultur jaringan di antaranya adalah perbedaan lingkungan tanaman

yang sangat kontras antara lingkungan in vitro dengan lingkungan ex vitro.

Perbedaan lingkungan tersebut seperti kelembapan udara di dalam botol yang

sangat tinggi (di atas 95 %) dengan intensitas cahaya yang rendah serta

ketersediaan gas CO2 yang sangat terbatas, sedangkan di lingkungan ex vitro

memiliki kelembapan udara yang relatif lebih rendah (sekitar 60 - 80 %) dengan

intensitas cahaya dan kadar gas CO2 yang relatif tinggi (Pospisilova et al., 1999;

Pospisilova et al, 2007). Hal inilah yang menjadi penyebab tanaman mengalami

shock dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan luar (Mashud et al.,

2004).

2.3.1 Kadar Air

Air berperan penting untuk keberlangsungan hidup semua makhluk hidup

termasuk tumbuhan, karena air merupakan penyusun sel yang kadarnya bervariasi

kisaran antara 60 – 85 % tergantung pada jenis jaringan selnya (Salisbury & Ross,

2005). Air memiliki peran sebagai sistem pelarut di dalam sel, mempertahankan

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

15

tekanan turgor serta berperan penting dalam pengangkutan unsur hara dan mineral

dari akar menuju ke daun (Hsiao, 1973). Akibatnya, air mutlak dibutuhkan

tumbuhan dan harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu air

sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman

(Taiz & Zaiger, 2002).

Kehilangan air dapat menyebabkan terganggunya proses pertumbuhan dan

perkembangan tanaman dengan efek lebih jauh dapat menyebabkan kematian bagi

tanaman (Mark et al., 1995). Pada bibit tanaman yang baru dipindahkan dari

kondisi lingkungan in vitro ke lingkuangan ex vitro sering kali mengalami

kelayuan pada daun sebagai akibat dari hilangnya air dari sel daun ke lingkungan

ex vitro.

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab hilangnya kadar air pada

daun sewaktu terjadi proses aklimatisasi di antaranya adalah lapisan epikutikular

lilin. Menurut Esau (1977) epikutikular lilin merupakan senyawa lipid yang

terdapat di luar permukaan epidermis, bersifat kedap air dan berfungsi sebagai

pengatur kadar air di dalam sel-sel yang berada di bawahnya Secara anatomis

semakin tebal lapisan epikutikular lilin pada daun maka tanaman tersebut akan

relatif lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang

memiliki lapisan epikutikular lilin tipis.

Menurut Imaningsih (2006), ketebalan lapisan epikutikular lilin merupakan

salah satu cara tumbuhan untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Lapisan

epikutikular lilin merupakan lapisan pelindung pada tumbuhan yang berada di atas

lapisan epidermis daun yang memiliki fungsi sebagai pelindung daun dari

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

16

penguapan. Tanpa adanya lapisan pelindung tersebut, maka hilangnya uap air

melalui permukaan daun akan berlangsung sangat cepat sehingga tumbuhan akan

layu dan mati (Salisbury & Ross, 2005). Epikutikular lilin juga merupakan

lapisan pertahanan pertama bagi tumbuhan untuk menghadapi kondisi lingkungan

ekternal seperti perlindungan terhadap radiasi sinar matahari maupun serangan

patogen (Mark et al., 1995; Matthew, 1995).

Menurut Gilly et al., (1997) dan Seelye et al., (2003), bibit tanaman yang

dihasilkan dari teknik perbanyakan secara in vitro memiliki lapisan epikutikular

lilin yang lebih tipis dibandingkan dengan bibit yang dihasilkan melalui teknik

konvensional. Akibatnya bibit yang dihasilkan dari perbanyakan secara in vitro

akan kehilangan air secara cepat pada waktu dipelihara di lingkungan ex vitro.

Maka banyak tanaman yang dihasilkan dari teknik in vitro akan mati sewaktu

dilakukan aklimatisasi.

Faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap hilangnya kadar air pada sel-

sel daun selama terjadinya proses aklimatisasi adalah struktur stomata. Stomata

berfungsi sebagai tempat berlangsungnya pertukaran gas (CO2, O2) dan tempat

keluarnya uap air (transpirasi) antara jaringan tumbuhan dengan lingkungannya

(Cha-um et al., 2010 ). Menurut Pospisilova et al., (1999) bibit tanaman yang

dihasilkan dari teknik perbanyakan secara in vitro pada umumnya memiliki

stomata yang lebih banyak terbuka dibandingkan dengan bibit yang dihasilkan

melalui teknik konvensional (Gambar 2.3). Akibatnya bibit yang dihasilkan dari

perbanyakan secara in vitro akan mengalami penguapan dengan cepat sewaktu

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

17

dilakukan aklimatisasi. Akibatnya banyak tanaman yang mati pada tahapan

tersebut.

Gambar 2.3 Perbandingan stomata bibit in vitro dengan bibit normal

(Pospisilova et al.,1999).

2.3.2 Faktor Fotosintesis

Fotosintesis adalah suatu proses pengubahan zat – zat anorganik H2O dan

CO2 oleh kloroplas diubah menjadi zat organik karbohidrat (C6 H12 O6) dengan

bantuan energi cahaya (Gambar 2.4. Taiz & Zaiger, 2002). Fotosintesis

merupakan aktivitas kompleks, dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor

eksternal. Faktor internal meliputi kondisi jaringan dan organ fotosintetik,

kandungan klorofil, umur jaringan daun, aktivitas fisiologi seperti transpirasi,

respirasi dan adaptasi fisiologis. Faktor eksternal seperti suhu, kelembaban,

kecepatan angin, hujan, cahaya, konsentrasi CO2, air (H2O) dan penyebab

timbulnya stress seperti ketersediaan air, ada polutan biosida dan zat-zat beracun

lain (Taiz & Zaiger, 2002; Suyitno, 2006; Cha-um et al., 2010).

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

18

Gambar 2.4 Rumus Reaksi Fotosintesis (Taiz & Zaiger, 2002).

Selama proses aklimatisasi, bibit yang dihasilkan dari perbanyakan secara in

vitro memiliki laju fotosintesis yang lebih rendah dibandingkan dengan bibit yang

dihasilkan melalui teknik konvensional (Minocha et al., 2009). Akibatnya selama

proses tersebut bibit in vitro memiliki laju pertumbuhan yang lebih rendah

(Wellburn, 1994).

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya laju fotosintesis

pada tanaman in vitro di antaranya adalah ketebalan daun tanaman. Daun

memiliki dua permukaan yaitu permukaan yang menghadap ke atas (adaxial) dan

permukaan yang menghadap ke bawah (abaxial). Secara umum, kelapa

merupakan tanaman monokotil yang memiliki susunan daun dari atas ke bawah

secara berurutan adalah epidermis atas, jaringan mesofil dan epidermis bawah

(Gambar 2.5. Santana et al., 2010; Noblick, 2013). Pada umumnya epidermis

atas dilindungi oleh lapisan epikutikular lilin guna memperkecil terjadinya

penguapan (Santana et al., 2010). Jaringan mesofil umumnya tersusun atas

jaringan tiang (palisade), jarignan bunga karang (spons) maupun ikatan pembuluh

(Noblick, 2013, Moya et al., 2013). Pada jaringan mesofil inilah banyak

ditemukan kloroplas yang mengandung klorofil sehingga bagian tersebut

berwarna hijau.

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

19

Gambar 2.5 Perbandingan penampang melintang daun kelapa in vitro (A dan B)

dengan bibit kelapa yang dipelihara secara ex vitro (C dan D). T

(tebal daun); KT (kutikula); Ep. A (epidermis atas); MS (jaringan

mesofil, MS. Kl (jaringan mesofil dengan kloroflas); Ep. B

(epidermis bawah) (Santana et al., 2010; Noblick, 2013).

Pada tanaman yang dipelihara secara in vitro jaringan mesofil banyak

mengalami keabnormalan dibandingkan dengan tanaman yang dipelihara secara

ex vitro (Gambar 2.5. Santana et al., 2010). Keabnormalan jaringan mesofil pada

tanaman in vitro nampak dengan bentuk jaringan palisade yang kurang beraturan

dan berukuran sangat panjang dengan kandungan kloroplas yang lebih sedikit. Hal

ini berbeda dengan tanaman ex vitro yang memiliki bentuk jaringan palisade yang

kompak dengan ukuran lebih pendek dan mengandung banyak kloroplas (Santana

et al., 2010). Akibat sedikitnya jaringan yang mengandung kloroplas pada

tanaman in vitro tersebut akan menyebabkan rendahnya laju fotosintesis sehingga

Mesofil Abnormal

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

20

menyebabkan pertumbuhan tanaman lambat (Willburn, 1999; Minocha et a.,

2009).

Faktor lain yang diduga mempengaruhi proses fotosintesis adalah kadar

klorofil. Klorofil merupakan pigmen penyerap cahaya pada proses fotosintesis

yang terdapat pada tumbuhan, alga dan bakteri fotosintetik. Senyawa ini yang

berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan dengan menyerap dan mengubah

energi cahaya matahari menjadi energi kimia (Taiz & Zaiger, 2002). Pada

tumbuhan tingkat tinggi terdapat dua macam jenis klorofil yaitu klorofil a

(C55H72O5N4Mg) yang berwarna hijau tua dan klorofil b (C55H70O6N4Mg) yang

berwarna hijau muda, keduanya dibedakan oleh gugus methyl (CH3) pada klorofil

a dan gugus aldehid (CHO) pada klorofil b (Gambar 2.6).

Gambar 2.6. Rumus bangun klorofil a dan klorofil b (Taiz & Zaiger, 2002).

Pada umumnya tanaman yang dipelihara secara in vitro memiliki kadar

klorofil a dan kadar klorofil b serta klorofil total yang lebih rendah dibandingkan

dengan tanaman yang dipelihara secara ex vitro (Pospisilova et al., 1998;

Pospisilova et al., 1999; Pospisilova et al., 2007). Akibatnya kecepatan

fotosintesis pada tanaman yang dipelihara secara in vitro jauh lebih rendah

dibandingkan dengan tanaman ex vitro (Pospisilova et al., 1999). Selama proses

aklimatisasi, kadar klorofil a, kadar klorofil b, klorofil total maupun kecepatan

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Kopyor 2.1.1 …repository.ump.ac.id/233/3/M. Efendi_BAB II.pdf · kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

21

fotosintesis akan meningkat dengan bertambahnya waktu (Pospisilova et al.,

1999; Minocha et al, 2009).

2.4 Upaya Perbaikan Teknik Aklimatisasi Kelapa Kopyor

Pada kelapa kopyor, tingkat keberhasilan pada tahap aklimatisasi masih

rendah (Mashud & Manaroinsong, 2007; Sukendah et al., 2008). Teknik yang

digunakan untuk aklimatisasi pada penelitian-penelitian tersebut adalah dengan

menggunakan teknik konvensional yaitu tanaman disungkup dengan

menggunakan plastik guna menjaga kelembaban. Hasil yang diperoleh dengan

teknik tersebut masih sangat rendah, yaitu kurang dari 20 % (Mashud &

Manaroinsong, 2007; Sukendah et al., 2008). Hal ini disebabkan karena bibit

mengalami shock dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan luar (Mashud

et al., 2004).

Teknik penelitian yang lebih baik dilaporkan oleh Risnani (2012) dengan

menggunakan kotak aklimatisasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

keberhasilan yang lebih tinggi, yaitu di atas 90 %. Namun demikian, pada

penelitian tersebut belum dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perubahan

anatomi dan fisiologi bibit kelapa kopyor yang berhasil diaklimatisasikan dan

dipelihara di lingkungan luar. Oleh karena itu pada skripsi ini akan dilaporkan

hasil analisis anatomi dan morfologi daun bibit yang dipelihara secara in vitro

dibandingkan dengan bibit selama aklimatisasi maupun yang telah dipelihara di

lingkungan ex vitro selama sekitar 2 tahun.

Perbandingan Anatomi dan Fisiologi..., M. Efendi, FKIP UMP, 2014