BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Kebijakan KTR …

13
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Kebijakan KTR di Pelabuhan Perda nomor 10 tahun 2011 tentang KTR di Propinsi Bali telah ditetapkan dan diundangkan oleh Gubernur Bali pada tanggal 29 Nopember 2011. Dalam Ketentuan Umum pasal 1 perda tersebut didefinisikan bahwa KTR merupakan ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Dalam BAB II pasal 2 KTR meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lain yang ditetapkan. Tempat umum yang dimaksud dalam pasal 2 tersebut meliputi: pasar modern, pasar tradisional, tempat wisata, tempat hiburan, hotel, restoran, tempat rekreasi, halte, terminal angkutan umum, terminal angkutan barang, pelabuhan, dan bandara. Pelabuhan merupakan salah satu tempat umum yang diisyaratkan dalam Perda KTR tersebut. Sebagaimana implementasi KTR di tempat umum, implementasi KTR di pelabuhan berbeda dengan implementasi KTR di tempat pendidikan dan fasilitas pelayanan kesehatan, dimana di pelabuhan boleh menyediakan smoking zoneyaitu suatu area khusus untuk merokok. Hal ini berbeda pada fasilitas pendidikan dan fasilitas pelayanan kesehatan sama sekali tidak boleh ada “ smoking zone. Ukuran keberhasilan dari implementasi kebijakan KTR ini adalah dengan penilaian terhadap tingkat kepatuhan berdasarkan analisa hasil inspeksi wilayah

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Kebijakan KTR …

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi Kebijakan KTR di Pelabuhan

Perda nomor 10 tahun 2011 tentang KTR di Propinsi Bali telah ditetapkan

dan diundangkan oleh Gubernur Bali pada tanggal 29 Nopember 2011. Dalam

Ketentuan Umum pasal 1 perda tersebut didefinisikan bahwa KTR merupakan

ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan memproduksi,

menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Dalam BAB

II pasal 2 KTR meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar

mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja,

tempat umum, dan tempat lain yang ditetapkan. Tempat umum yang dimaksud

dalam pasal 2 tersebut meliputi: pasar modern, pasar tradisional, tempat wisata,

tempat hiburan, hotel, restoran, tempat rekreasi, halte, terminal angkutan umum,

terminal angkutan barang, pelabuhan, dan bandara. Pelabuhan merupakan salah

satu tempat umum yang diisyaratkan dalam Perda KTR tersebut.

Sebagaimana implementasi KTR di tempat umum, implementasi KTR di

pelabuhan berbeda dengan implementasi KTR di tempat pendidikan dan fasilitas

pelayanan kesehatan, dimana di pelabuhan boleh menyediakan “smoking zone”

yaitu suatu area khusus untuk merokok. Hal ini berbeda pada fasilitas pendidikan

dan fasilitas pelayanan kesehatan sama sekali tidak boleh ada “smoking zone”.

Ukuran keberhasilan dari implementasi kebijakan KTR ini adalah dengan

penilaian terhadap tingkat kepatuhan berdasarkan analisa hasil inspeksi wilayah

10

KTR, dengan indikator-indikator kunci sebagai berikut: tidak tercium asap rokok,

tidak terdapat orang merokok, tidak terdapat asbak/korek api/pemantik, tidak

ditemukan puntung rokok, terdapat tanda atau stiker “KTR” atau larangan

merokok di pintu masuk utama atau pada tempat-tempat strategis di depan lobby,

tidak ditemukan ada indikasi merek rokok atau sponsor, promosi, dan iklan rokok

di area KTR, tidak ditemukan penjualan rokok, penjualan rokok tidak dipajang.

Ketentuan pidana dari yang melanggar KTR dapat berupa denda paling banyak Rp

50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau pidana kurungan paling lama tiga bulan

(Pemerintah Provinsi Bali, 2011).

Harapan dari implementasi KTR di pelabuhan adalah untuk mewujudkan

wilayah pelabuhan sehat sesuai dengan Permenkes nomor 44 tahun 2014, yaitu

suatu kondisi pelabuhan yang bersih, aman, nyaman dan sehat untuk komunitas

pekerja dan masyarakat pelabuhan dalam melaksanakan aktifitasnya. Kebijakan

nasional yang ada di pelabuhan antara lain: UU Kesehatan, UU Karantina, UU

Kepelabuhan, serta UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Semua

kebijakan nasional tersebut bertujuan untuk menciptakan pelabuhan yang bersih,

aman, nyaman, dan sehat sehingga tercipta kepuasan bagi pengguna jasa

pelabuhan yang pada akhirnya akan memberi citra yang positif bagi pelabuhan itu

sendiri (Kemenkes RI, 2014) .

Amanat dari Permenkes No. 44 tahun 2014, dalam mengembangkan

lingkungan pelabuhan sehat maka langkah-langkah yang dilakukan adalah

membentuk Komite Pelabuhan Sehat yang anggotanya terdiri dari seluruh stake

holder yang ada di pelabuhan, yaitu: pekerja, penumpang/pengunjung pelabuhan,

11

Kantor Kesehatan Pelabuhan, Otoritas Pelabuhan (KSOP) dan Administrator

Pelabuhan (Pelindo), serta para pengusaha swasta di lingkungan pelabuhan.

Komite ini berperan sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator bagi instansi

dan komunitas yang ada di pelabuhan. Upaya untuk mewujudkan pelabuhan sehat

adalah dengan promosi, sosialisasi, advokasi, menyusun rencana kerja, koordinasi

pelaksanaan dan membangun jejaring kerja dan sistem informasi dari antar

anggota komite (Kemenkes RI, 2014).

Di Pelabuhan Benoa sendiri telah terbentuk Komite Pelabuhan Sehat yang

diprakarsai oleh Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas II

Benoa, dengan SK No. KP.109/1/1/KSOP.BNA-2016 pada tanggal 14 Juni 2016.

Dalam hal ini sebagai pembina dari Komite Pelabuhan Sehat di Benoa adalah

Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Benoa

dan Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas I Denpasar. Sedangkan

yang ditunjuk sebagai Ketua Komite Pelabuhan Sehat di Benoa adalah General

Manager PT. Pelindo III (Persero) Cabang Benoa. Anggota dari Komite

Pelabuhan Sehat terdiri dari unsur instansi pemerintahan di wilayah Pelabuhan

Benoa, Dewan Pimpinan Cabang Assosiasi Perusahan Bongkar Muat Indonesia

Pelabuhan Benoa, Assosiasi Tuna Long Line Indonesia Bali, Assosiasi Angkutan

Wisata Laut Indonesia Pelabuhan Benoa. Salah satu program kesehatan untuk

mewujudkan pelabuhan sehat ini adalah pengawasan terhadap KTR di wilayah

Pelabuhan Benoa. Tujuannya adalah terciptanya lingkungan yang bersih, nyaman,

aman, dan sehat bebas dari polusi asap rokok.

Sejak diterbitkannya Perda Propinsi Bali no 10 tahun 2011 tentang KTR,

12

telah dilakukan sosialisasi perda oleh Dinas Kesehatan Propinsi Bali di Pelabuhan

Benoa. Pada tahun 2015 Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Denpasar

mengadakan sosialisasi kembali tentang Perda KTR di Pelabuhan Benoa.

Kegiatan pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2016 dilakukan kegiatan monitoring

dan evaluasi dampak dari kegiatan sosialisasi tahun sebelumnya. Selanjutnya

dilakukan advokasi ke komunitas pelabuhan untuk melaksanakan perda KTR.

Pihak – pihak yang paling berperan (sebagai leader) dalam pengawasan KTR di

Pelabuhan Benoa antara lain: (1) Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Denpasar

sebagai otorita dibidang kesehatan di wilayah pelabuhan, (2) KSOP Kelas II

Benoa, sebagai pelaksana penyusun rencana induk pelabuhan, daerah lingkungan

kerja, lingkungan kepentingan pelabuhan serta pengawasan penggunaannya, (3)

PT. Pelindo III (Persero) Cabang Benoa, sebagai Badan Usaha Milik Negara

(BUMN), PT. Pelindo mempunyai tugas untuk melaksanakan pengusaha jasa

kepelabuhan dalam rangka menunjang kelancaran arus kapal, arus penumpang,

dan arus barang yang menyediakan sarana dan prasarana penunjang untuk

terciptanya pelabuhan sehat.

2.2 Pendekatan Sosioekologi untuk Memahami Determinan pada

Implementasi Kebijakan

Salah satu pendekatan yang dipakai untuk memahami determinan dalam

implementasi kebijakan dan promosi kesehatan, memahami isu-isu kesehatan

masyarakat adalah pendekatan sosioekologi. Sampai saat ini pendekatan

sosioekologi ini masih sangat efektif dalam upaya promosi kesehatan (Glanz and

Bishop, 2010). Pendekatan sosioekologi merupakan pendekatan yang tidak hanya

13

berbasis pada satu disiplin ilmu atau teori, melainkan pada paradigma yang luas

dan menyeluruh yang menjembatani beberapa perspektif bidang ilmu yang

berbeda. Istilah ekologi mengacu pada istilah yang digunakan dalam studi tentang

hubungan yang kompleks antara organisme dan lingkungannya. Pendekatan

sosioekologi ini memberi perhatian yang besar pada konteks sosial, kelembagaan,

budaya dan lingkungan hidup masyarakat dibandingkan dengan versi ekologi

manusia sebelumnya yang berfokus utama pada proses biologi dan lingkungan

geografi (Stokols, 1996). Model sosioekologi ini mengembangkan kerangka pikir

bahwa berbagai tingkatan dalam lapisan masyarakat termasuk diantaranya

keluarga, komunitas, dan lingkungan kerja dapat mempengaruhi terjadinya

penyakit dan masalah kehidupan (McLeroy et al., 1988) .

Pendekatan sosioekologi mengembangkan pemahaman faktor resiko

melalui analisa dalam kerangka kontekstual bahwa manusia itu hidup dan bekerja,

dimana ada interaksi sosial antara manusia dan lingkungannya. Secara sederhana,

pendekatan sosioekologi didasarkan pada tiga prinsip yaitu; (1) lingkungan dan

manusia saling berinteraksi sehingga mengakibatkan kejadian kesehatan dan

kesakitan yang berjalan secara dinamis dan saling berinteraksi, (2) lingkungan

yang dimaksud tidak hanya lingkungan fisik, tetapi mencakup lingkungan sosial

yang dibedakan atas tingkatan individu (personal), keluarga, interaksi personal

dan komunitas, institusi dan organisasi sosial, dan tatanan yang lebih luas

ditingkat menengah, kebijakan tingkat kota, lokal, dan nasional yang berkaitan

dengan lingkungan fisik dan sosial; (3) perubahan individu secara kontekstual dan

bersamaan lebih efektif dalam mencapai sasaran dibandingkan dengan hanya

14

pendekatan individu (Surjadi, 2012). Secara sederhana model sosioekologi

tersebut dapat digambarkan sebagai berikut

Gambar 2.1 Model pendekatan sosioekologi

Sumber: McLeroy et al., 1988

Dalam menerapkan pendekatan sosioekologi, faktor yang dianalisa

dibedakan atas faktor individu, hubungan interpersonal, masyarakat, situasi

lingkungan kerja, kebijakan dan kondisi makro struktural. Uraian dari hal di atas

dapat dilihat di tabel berikut:

Individu (intrapersonal factor)

Hubungan antar keluarga, teman (interpersonal factor)

Situasi kehidupan dan kerja (institutional factor)

Hubungan antar organisasi/institusi (community factor)

Kebijakan lokal dan nasional (public policy)

15

Tabel 2.1 Faktor Penentu Pendekatan Sosioekologi

No Faktor penentu Uraian

1 Individu

(Intrapersonal

factors)

Pengetahuan, perilaku, sikap, kebiasaan, konsep

pribadi, kemampuan, perkembangan pribadi.

2 Keluarga dan

hubungan antar

pribadi

(Interpersonal

factors)

Jejaring sosial dan dukungan sosial, keluarga, jejaring

kerja, kebiasaan masyarakat, kebersamaan yang

mencangkup dalam sosial kapital.

3 Situasi lingkungan

kerja (Institutional

factors)

Lingkungan gedung dan fasilitas yang tersedia, status

pekerjaan dan posisi sosioekonomi dan akses pada

pengambilan keputusan.

4 Komunitas

(Community

factors)

Hubungan antar organisasi yang ada di masyarakat,

institusi dan jejaring informal dalam batas tertentu.

5 Kebijakan dan

kondisi makro

struktural (Public

policy)

Kondisi dan kebijakan lokal, nasional, dan global

yang berkaitan dengan lingkungan ekonomi, sosial,

dan budaya.

Sumber : (Surjadi, 2012)

Dalam tabel di atas faktor intrapersonal merupakan karakteristik dari

faktor individu seperti pengetahuannya tentang Perda KTR dan isi dari Perda,

pengetahuannya terhadap sanksi dari Perda KTR tersebut, sikapnya terhadap

KTR, dan perilakunya terhadap perda KTR itu sendiri (McLeroy et al., 1988).

Faktor interpersonal digambarkan sebagai hubungan sosial yang

merupakan aspek yang sangat penting dalam identitas sosial. Hubungan

interpersonal ini menyediakan sumber daya sosial yang penting, termasuk

16

dukungan emosional, informasi, akses ke kontak sosial baru dan peraturan sosial,

serta pendampingan sosial. Hubungan interpersonal ini sangat penting dan

biasanya selalu dihubungkan dengan dukungan sosial. Hubungan interpersonal ini

juga merupakan mediator dan komponen yang sangat penting untuk mengatasi

tekanan hidup dengan perbaikan secara keseluruhannya. Walaupun pengaruh

dari hubungan interpersonal pada kesehatan berhubungan dengan tingkah laku

individu, namun dalam promosi kesehatan yang menggunakan strategi

interpersonal yang difokuskan pada perubahan individual dengan pengaruh sosial

memberikan hasil yang lebih baik, sehingga terjadi perubahan norma atau

kelompok sosial dimana individu itu berada (McLeroy et al., 1988). Dalam

konteks implementasi KTR, terhadap individu yang merokok, bagaimana

hubungan individu tersebut didalam keluarga dekatnya, bagaimana penerimaan

keluarga dekat, teman dekat di lingkungan kerjanya dengan kebiasaan merokok

individu tersebut.

Pada faktor institusi menggambarkan bagaimana karakteristik

institusi/organisasi dapat digunakan untuk mendukung perubahan tingkah laku

individu maupun kelompok, yang menyangkut kebijakan dari kantor/perusahaan,

fasilitas dari kantor/perusahaan. Pentingnya perubahan institusi/organisasi sebagai

sebuah target dari kegiatan implementasi kebijakan dan promosi kesehatan serta

pentingnya konteks institusi/organisasi dalam penyebaran implementasi kebijakan

dan program promosi KTR. Institusi dapat memberikan dampak positif dan

negatif pada kesehatan anggotanya sebab institusi menyediakan sumber daya

ekonomi dan sosial yang penting. Institusi juga merupakan sumber daya yang

17

penting dan penghubung dari nilai dan norma sosial khususnya melalui kerja

kelompok dan sosialisasi pada budaya organisasi. Sebagai sebuah konteks untuk

kegiatan dan program promosi kesehatan, institusi khususnya tempat kerja

menyediakan kesempatan untuk meningkatkan akses kepada group/kelompok

yang lebih besar dimana mereka banyak menghabiskan waktu. Institusi

menyediakan kesempatan untuk membangun dukungan sosial kepada perubahan

tingkah laku khususnya tingkah laku yang merupakan norma sebuah kelompok.

Karakteristik institusi/organisasi seperti misalnya pemberian insentif, dukungan

manajemen dan supervisor, mengubah peraturan larangan merokok di tempat

kerja, dan lain sebagainya. Semua itu dapat digunakan untuk mendukung

perubahan tingkah laku atau kebiasaan merokok. Adanya insentif misalnya dapat

digunakan untuk mendukung kebijakan KTR di tempat kerja dan menyediakan

Klinik Berhenti Merokok untuk anggotanya (McLeroy et al., 1988)

Konsep komunitas telah diindentifikasi sebagai bagaimana hubungan

antara organisasi dengan jejaring kerja lainnya. Dalam banyak program

implementasi kebijakan, untuk merealisasikan program kebijakan perlu hubungan

baik antar instansi dan organisasi terkait, terutama dalam komunikasi dan

koordinasi (McLeroy et al., 1988). Untuk meningkatkan implementasi KTR di

pelabuhan, institusi Kantor Kesehatan Pelabuhan sebagai otorita kesehatan di

pelabuhan yang mengawasi implementasi KTR telah membangun jejaring dengan

institusi lainnya. Dalam kegiatan Monitoring dan Evaluasi pengawasan KTR di

pelabuhan ini, KKP Kelas I Denpasar juga berkoordinasi dengan KSOP dan

Pelindo. Untuk kegiatan tersebut KKP telah mengalokasikan sumber daya berupa

18

dana, pendampingan staf, dan material lainnya dalam setahun sebanyak dua kali

kegiatan.

Faktor kebijakan pemerintah (public policy) ini, meliputi kondisi

lingkungan sosial budaya, politik, dan ekonomi dari kebijakan KTR ini. Sejauh

mana elite-elite politik dan kelompok kepentingan memberi dukungan terhadap

kebijakan KTR ini. Sampai saat ini pemerintah belum meratifikasi perjanjian

international mengenai tobacco control karena masih mengutamakan kepentingan

ekonomi nasional bangsa Indonesia (Yuska and Waluyo, 2014).

2.3 Kajian Hasil Penelitian terkait Implementasi KTR

Beberapa hasil kajian penelitian tentang implementasi KTR yang

dilakukan di institusi pendidikan Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Muhamadyah Surakarta secara kualitatif oleh Nugroho tahun 2015,

dimana tujuannya mencari faktor pendukung dan penghambat implementasi KTR

di institusi pendidikan itu. Hasil penelitian menunjukkan faktor pendukung dari

keberhasilan KTR adalah adanya SK Dekan mengenai Kawasan Tanpa Rokok,

adanya teguran bagi yang merokok di kampus, adanya Klinik Berhenti Merokok

(KBM) dan dukungan dana bagi KBM merupakan faktor pendukung dari KTR.

Sedangkan yang menjadi faktor penghambatnya adalah kurang maksimalnya

sosialisasi, edukasi, dan fungsi KBM, masih ditemukan mahasiswa yang merokok

dan belum adanya juru anti rokok (Nugroho, 2015).

Penelitian dari Nasyruddin pada tahun 2013 secara deskriptif dengan

pendekatan kualitatif dilakukan di SMP Negeri 21 Semarang menunjukkan

implementasi KTR di institusi pendidikan tersebut belum optimal, hal tersebut

19

disebabkan karena adanya beberapa faktor penghambat yaitu pengetahuan dari

subyek penelitian yang kurang, sumber daya pendukung KTR yang minim,

belum terbentuknya Standar Operasional Prosedur dalam implementasi KTR,

komitmen sekolah yang kurang, belum ada pembinaan dan pengawasan yang

dilakukan oleh instansi terkait (Nasyruddin, 2013).

Salah satu penelitian tentang implementasi KTR di tempat umum pada

hotel berbintang di Kabupaten Badung, Bali tentang pengaruh faktor pengelola

terhadap kepatuhan pelaksanaan Perda KTR yang dilakukan oleh Devhy tahun

2014 menunjukkan hasil bahwa implementasi KTR di hotel berbintang tersebut

masih rendah dimana faktor yang paling menentukan adalah kurangnya dukungan

dari pengelola hotel, sebanyak 21,2% pengelola hotel tersebut mempunyai

kebiasaan merokok. Perilaku atau kebiasaan merokok pengelola menghambat

kepatuhan terhadap Perda KTR. Peningkatan pengetahuan dan himbauan dari

organisasi PHRI Cabang Bali berpengaruh secara bermakna terhadap dukungan

pengelola dalam implementasi kebijakan KTR (Devhy, Astuti and Duarsa, 2014).

Penelitian Implementasi KTR pada angkutan umum (studi kasus di

Terminal Penggaron) di kota Semarang dilakukan oleh Adriani tahun 2016

didapatkan hasil implementasi KTR di terminal tersebut belum berjalan efektif,

dimana sosialisasi KTR belum dapat menjangkau supir dan kernet angkutan

umum sehingga mereka tidak faham dengan kebijakan KTR tersebut. Pemberian

stiker tanda KTR tidak dilakukan secara menyeluruh pada sopir dan kernet

angkutan sehingga tidak semua angkutan terpasang stiker KTR. Petugas pengawas

di UPTD Terminal Penggaron mengadakan pengawasan kepada sopir dan kernet

20

kemudian sopir dan kernet melakukan pengawasan kepada penumpang, tetapi

kebanyakan sopir dan kernet sendiri yang melakukan pelanggaran (Simaibang and

Kismartini, 2016).

Penelitian tentang Implementasi KTR di Station Kereta Api Poncol Kota

Semarang, memakai kerangka konsep pendekatan Top-Down yang

dikembangkan oleh (George C. Edward III) dimana ada empat faktor yang

mempengaruhi program KTR yaitu: (1) Komunikasi; adanya penyampaian

program yang intensif dari Dinas Kesehatan selaku pelaksana program ke

pemegang program di Stasiun Kereta Api Poncol kota Semarang, (2) Sumber

daya; adanya sumber daya berupa SDM, dukungan sarana dan prasarana, dana,

pengadaan dan pemanfaatan “smoking room” , (3) Disposisi; komitmen pelaksana

program dalam melaksanakan program KTR, (4) Struktur birokrasi; Adanya

SOP mengenai program KTR yang sistematis dan mudah dipahami oleh pelaksana

program. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa implementasi kebijakan KTR

ini dikatakan berhasil walaupun belum optimal. Faktor – faktor pendukungnya

antara lain adanya instruksi yang jelas dalam internal Stasiun Poncol, kesiapan

masyarakat dalam memahami dan ikut serta menjadi bagian dari program KTR

ini, dan adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya program KTR tersebut

sehingga mendapat dukungan dan respon yang positif. Ada beberapa perubahan

positif yang dirasakan oleh pegawai stasiun, maupun oleh masyarakat. Perubahan

positif itu antara lain stasiun menjadi lebih rapi dan nyaman, berkurangnya polusi

udara karena paparan asap rokok, berkurangnya sampah puntung rokok yang

berserakan, dan berkurangnya iklan rokok. Faktor penghambat dari implementasi

21

KTR di Stasiun Poncol berupa adanya masalah dalam prosedur penerapan

program tersebut karena bantuan dari pemerintah dalam memberikan standar cara

pelaksanaan KTR yang baik dan benar kurang, dan tidak adanya monitoring

program KTR secara rutin dari Dinas Kesehatan Kota Semarang (Akbar,

Purnaweni and Rengga, 2016).

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, setiap tempat umum

mempunyai faktor penghambat yang berbeda-beda. Pada hotel berbintang faktor

penghambatnya adalah sikap pengelola, pada angkutan umum kurangnya

sosialisasi, sedangkan di stasiun kereta api yang menjadi faktor penghambat

implementasi adalah komunikasi penyampaian program, sumber daya, disposisi

komitmen pelaksana program, dan struktur birokrasi. Demikian juga dengan di

pelabuhan. Sepanjang pengetahuan peneliti, publikasi tentang hambatan KTR di

pelabuhan masih minimal.