PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

24
PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Pendekatan yang biasa digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan adalah a. Pendekatan Struktural (Peran Organisasi) b. Pendekatan Prosedural dan Manajemen (Network Planning and Control/NPC; Programme Evaluation and Review Technique/ PERT). c. Pendekatan Perilaku (Behavioural) : Komunikasi, Infromasi lengkap pada setiap tahap. d. Pendekatan Politis (Aspek-aspek interdepartemental politik). Banyak pakar kebijakan menilai dari keseluruhan siklus kebijakan, implementasi kebijakan merupakan tahapan yang paling sulit. Seperti Grindle (1980) misalnya, telah mengantisipasi kesulitan tersebut sebagai berikut: “Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan- keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan”. Di sini Grindle (1980) telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle ini

Transcript of PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Page 1: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Pendekatan yang biasa digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan adalah

a. Pendekatan Struktural (Peran Organisasi)

b. Pendekatan Prosedural dan Manajemen (Network Planning and Control/NPC;

Programme Evaluation and Review Technique/ PERT).

c. Pendekatan Perilaku (Behavioural) : Komunikasi, Infromasi lengkap pada setiap

tahap.

d. Pendekatan Politis (Aspek-aspek interdepartemental politik).

Banyak pakar kebijakan menilai dari keseluruhan siklus kebijakan, implementasi

kebijakan merupakan tahapan yang paling sulit. Seperti Grindle (1980) misalnya, telah

mengantisipasi kesulitan tersebut sebagai berikut:

“Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan

mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur

rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut

masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan”.

Di sini Grindle (1980) telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan

pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari

lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle

ini adalah bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi, maka

tindakan implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat tergantung pada

implementability dari program tersebut.

Implementability suatu kebijakan, menurut Grindle (1980: 8 - 12) sangat ditentukan oleh

isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of policy). Isi kebijakan

mencakup (a) kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, (b) jenis manfaat yang

akan dihasilkan, (c) derajat perubahan yang akan diinginkan, (d) kedudukan pembuat

kebijakan, (e) siapa pelaksana program, dan (f) sumberdaya yang dikerahkan. Sedang

konteks kebijakan mencakup : (a) kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang

Page 2: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

terlibat, (b) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (c) kepatuhan serta daya tangkap

pelaksana terhadap kebijakan. Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan

yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit

kepentingan. Oleh karenanya tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak

(politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya) dalam

implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.

Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi setelah suatu kebijakan dibuat dan

dirumuskan adalah subyek dari implementasi kebijakan. Mazmanian dan Sabatier

(1983: 3 – 6) menyebutkan adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi. Yaitu

dari sudut pandang ilmu administrasi negara dan dari sudut pandang ilmu politik. Dari

sudut pandang ilmu administrasi negara, pada awalnya implementasi hanya dilihat dari

semata-mata sebagai pelaksanaan kebijakan secara efektif dan efisien. Namun

pandangan ini semakin tidak populer karena pada saat menjelang dan akhir Perang

Dunia II dari hasil berbagai penelitian administrasi negara, ternyata badan-badan

administratif tidak hanya dipengaruhi oleh perintah atau mandat resmi yang berasal dari

badan-badan pemerintah, tetapi juga oleh tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok

kepentingan, intervensi lembaga legislatif, dan oleh berbagai faktor lain di dalam

lingkungan politik mereka. Sedangkan dari sudut pandang pendekatan sistem terhadap

kehidupan politik, ternyata mematahkan perspektif organisasional dari administrasi

negara, sehingga mulai dipikirkan mengenai masukan yang berasal dari luar bidang

administrasi negara. Seperti ketentuan kebijakan administratif dan legislatif yang baru,

perubahan-perubahan preferensi publik dan teknologi baru (Mazmanian dan Sabatier,

1983: 5).

Adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi kebijakan ini juga dikemukakan

oleh Ripley (1984: 134 – 135), bahwa studi implementasi mempunyai dua foci pokok

yaitu kepatuhan (complience) dan apa yang terjadi setelah suatu kebijakan dilaksanakan

(what’s happening). Kepatuhan ini muncul dari literatur administrasi publik dan perspektif

ini lebih memusatkan perhatiannya pada apakah badan dan individu bahwahan

mematuhi perintah badan atau individu atasannya. Perspektif ini lebih merupakan

analisis karakter dan kualitas dari perilaku organisasional. Menurut Ripley (1984: 135),

paling tidak ada dua kekurangan dari perspektif ini, yaitu banyak faktor non-birokratis

yang berpengaruh dan ada program-program yang tidak disusun dengan baik

(maldesigned). Sedangkan perspektif yang kedua, yaitu perspektif what’s happpening,

Page 3: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

sangat berbeda dengan perspektif kepatuhan. Perspektif ini berasumsi adanya banyak

faktor yang dapat dan telah mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor tersebut

utamanya berasal dari lingkuangan luar kebijakan.

Berdasarkan kedua perspektif ini, maka kajian terhadap implementasi kebijakan

haruslah memperhatikan faktor eksternal dari kebijakan yang diimplementasikan

(lingkungan non organisasional dan non birokrasi), maupun faktor internal. Hal ini seperti

ditunjukkan oleh Meter dan Horn (1975: 462 - 474), bahwa kinerja implementasi

kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat tercapainya standar dan

sasaran tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan. Untuk mewujudkan

standar dan sasaran tersebut, terdapat beberapa variabel penting yang

mempengaruhinya, yaitu: (a) ukuran dan tujuan kebijakan, (b) sumber-sumber

kebijakan, (c) karakteristik badan atau lembaga pelaksana, (d) komunikasi

antarorganisasi terkait dan aktivitas pelaksanaan, (e) kondisi ekonomi, sosial dan politik,

dan (f) sikap para pelaksana kebijakan.

Sedang Sabatier dan Mazmanian (1986: 9 – 11) melihat implementasi kebijakan

merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik masalah, (b) struktur

manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang

mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktor-faktor di luar peraturan kebijakan.

Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu kegiatan

implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana mematuhi apa yang

telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya model ini sering disebut

sebagai model top-down.

Model implementasi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Edward III (1980), yang

menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh faktor

(a) komunikasi; (b) sumberdya; (c) sikap implementor (disposisions); dan (d) struktur

birokrasi pelaksana. Lebih lanjut Edward III (1980: 147 – 148) mengemukakan faktor-

faktor komunikasi, sumberdaya, sikap implementor, dan struktur birokrasi dapat secara

langsung mempengaruhi implementasi kebijakan. Di samping itu secara tidak langsung

faktor-faktor tersebut mempengaruhi implementasi melalui dampak dari masing-masing

faktor. Dengan kata lain, masing-masing faktor tersebut saling pengaruh mempengaruhi,

kemudian secara bersama-sama mempengaruhi implementasi kebijakan.

Page 4: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Beberapa model implementasi kebijakan di atas menunjukkan bahwa tidak ada variabel

tunggal dalam suatu kegiatan implementasi kebijakan. Keberhasilan implementasi

kebijakan sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik menyangkut kebijakan yang

diimplementasikan, pelaksana kebijakan, maupun lingkungan di mana kebijakan

tersebut diimplementasikan (kelompok sasaran). Namun demikian, melihat berbagai

model di atas nampaknya faktor lingkungan (kondisi sosial, ekonomi dan politik) di mana

kebijakan itu diimplementasikan, komunikasi antarorganisasi dan birokrasi pelaksana

menjadi faktor dominan bagi penentu keberhasilan implementasi kebijakan.

http://mulyono.staff.uns.ac.id/2009/05/02/pendekatan-implementasi-kebijakan/

Page 5: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Model-model Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)

Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul.

Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi

seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika

diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.

Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi

adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol

urutan tahapan dalam sebuah sistem. 

Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa

implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar.

Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif

top down adalah sebagai berikut : 

1. Van Meter dan Van Horn

Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi kebijakan berjalan

secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa

variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai berikut : 

1. Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi 

2. Karakteristik agen pelaksana/implementor 

3. Kondisi ekonomi, social dan politik 

4. Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor

2. George Edward III 

Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi

implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang

dikemukakan sebagai berikut, yaitu : 

Page 6: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

1. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ? 

2. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi

kebijakan?

Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward III, mengusulkan 4

(empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu

:

1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk

menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk

menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu

adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang

disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan

informasi 

2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan

memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana

sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud

adalah : 

a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk

melaksanakan kebijakan 

b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi 

c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan 

d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan. 

3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam

mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk

mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana

wewenang yang dimilikinya 

4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan

beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan

koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan

implementasi. 

3. Mazmanian dan Sabatier 

Page 7: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai upaya

melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka : 

“Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a

statute but wich can also take the form of important executives orders or court decision.

Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a vaiety of ways,

‘structures’ the implementation process”. 

Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga variable,

yaitu (Nugroho, 2008) : 

a. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan

dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan

perubahan seperti apa yang dikehendaki. 

b. Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan

proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujuan

c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses implementasi

yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan

public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen

dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana

5. Model Grindle 

Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan ditentukan oleh

isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah

kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.

Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. 

Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut : 

1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan 

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan 

3. Derajat perubahan yang diinginkan

4. Kedudukan pembuat kebijakan 

5. Pelaksana program 

6. Sumber daya yang dikerahkan 

Page 8: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Sementara itu, konteks implementasinya adalah : 

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 

2. Karakteristik lembaga dan penguasa 

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang

menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di

antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang

diperlukan.

Implementasi Kebijakan Bottom Up

Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap

model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang

benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan

dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses

sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons

(2006), model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di

lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. 

Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif

bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001),

implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini

memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti

perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan

untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok

sasaran. 

Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat

variable, yaitu : 

1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan

tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk

melaksanakannya 

2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat

mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan.

Page 9: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan

dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan

3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab

dalam implementasi kebijakan. 

4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi

implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.

http://forester-rimbawan.blogspot.com/2009/05/model-model-implementasi-

kebijakan.html

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn

disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini

merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang

pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan

yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini

Page 10: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan

politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja

kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel

tersebut yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan

2. Sumber daya

3. Karakteristik organisasi pelaksana

4. Sikap para pelaksana

5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van

Horn dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan

tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana

kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan

sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998)

mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan

standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja

kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan

sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah

penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para

pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan

kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para

pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap

standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin

bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak

mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

2. Sumber daya

Page 11: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan

memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang

terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap

implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan

pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain

sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting

dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study suggest that

the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the

program”.

Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:

”Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi.

Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar

administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau

insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan.

Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan,

adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”

3. Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal

yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja

implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok

dengan para agen pelaksananya. Hal  ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang

akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat

dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan

persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam

menentukan agen pelaksana kebijakan.

Menurut Edward III, 2 (buah) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-

prosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan fragmentasi.

1. Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai respon

internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan

Page 12: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang

kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi tipikal

di masa lalu mungkin mengambat perubahan dalam kebijakan karena tidak

sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi

implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru

atau tipe-tipe personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin

besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu

organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward

III, 1980).

2. Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit

birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan,

pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang

mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran

tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit

organisasi. “fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy area

among several organizational units.” (Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-

aktor dan badan-badan yang terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin

saling berkaitan keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan

keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin

koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin

kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980).

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan  Van

Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para

individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan

kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.

Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan

tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and

uniformity) dari berbagai sumber informasi.

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan

tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa

dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang

Page 13: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik,

pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan

komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu

organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan

(distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda

memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan

tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan

pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan

suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.

Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh

komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy

and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu,

koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin

baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi

kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.

5. Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): ”sikap

penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi

keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin

terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat

yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi

kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil

keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau

permasalahan yang harus diselesaikan”.

Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap suatu kebijakan dan cara

melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan

kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan

disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali  penyaringan (befiltered) lebih dahulu

melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu

dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi

kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri

Page 14: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension

and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima,

netral atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas

terhadap kebijakan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah

penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi

gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap

standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap

standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap

standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin

bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang

menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan

kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan

tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan

implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada

akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi

pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini,

akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah

sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik.

Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber

masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi

kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn dapat

dijelaskan dalam gambar berikut ini:

Page 16: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Model-model Implementasi Kebijakan Pemerintah

Model implementasi kebijakan pemerintah digunakan untuk menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang menjadi fokus analisis.Model-model implementasi kebijakan pemerintah itu, antara lain:1. Model "The top down approach" menurut Brian W. Hogwood dan Lewis A, Gunn, yaitu implementasi kebijakan pemerintah yang dilaksanakan dapat sempurna, dengan persyaratan:a. Kondisi eksternal yang dihadapi Badan Pelaksana tidak akan menimbulkan kendala serius.b. tersedianya waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai untuk melaksanakan program.c. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.d. kebijakan yang akan di implementasikan disadari oleh suatu hubungan kausalitas yang ada.e. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.f. hubungan saling ketergantungan harus kecil.g. pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuanh. tugas-tugas diperinci dalam urutan yang tepati. komunikasi dan koordinasi yang tepat.j. pihak-pihak yang berwenang dapat menentukan dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

2. Model Proses Implementasi kebijakan, menurut Van Meter dan Van Horn, yaitu perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang bersangkutan. Implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, dan kesepakatan terhadap tujuan, terutama yang terlibat di lapangan relatif tinggi. Sehingga perlu tipologi kebijakan yang dibedakan berdasarkan:a. jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan;b. jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat.3. Model Kerangka Analisis Implementasi, menurut D. Mazmanian dan P.A. Sabatier, yaitu nilai penting analisis implementasi kebijakan pemerintah adalah untuk mengidentifikasikan variabel-variabel itu terbagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu:a. mudah tidaknya masalah ( yang akan dipecahkan) dikendalikan;b. kemampuan keputusan untuk menstrukturkan proses implementasi secara tepat;c. pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Dunsire, Andrew. (1978). Implementation in Bureaucracy, Martin Robertson, Oxford.

________, (1980). Implementation Theory, Block 3, Implementa¬tion, Evaluation and

Page 17: PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Change, Open University.

Grindle, M., (ed) (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton University Press.

Hogwood, Brian W., and Gunn, Lewis A. (1986). Policy Analysis for the Real World, Oxford: University Press.

Jones, Charles O. (1970). An Introduction to the Study of Public Policy, Wadsworth, Belmont, CA.

Mazmanian, Daniel, and Sabatier, Paul (eds). (1981). Effective Policy Implementation, Lexington, Mass., D.c., Heath.

Majone, G., and Wildavsky A., (1978). Implementation as Evaluation, in Policy Studies Review Annual, H. Freeman (ed), Sage, Beverly Hills, CA.

Pressman, J., and Wildavsky, (1979). A Implementation, University of California Press, Berkely.

Udoji, Chief J.O. (1981). The African Public Servant as a Public Maker, Public Policy in Africa, African Association for Public Administration and Management, Addis Abeba.

Van Meter, D.S., and Van Horn, C.E. (1978). The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework, Administration and Society.