BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional Cekungan Asri
Berdasarkan tinjauan geologi regional, Cekungan Asri terletak di bagian
ujung tenggara dari Lempeng Eurasia dan secara lebih spesifik merupakan bagian
dari Lempeng mikro Sunda. Pada awalnya Cekungan Asri merupakan satu bagian
dengan Cekungan Sunda. Cekungan Asri merupakan Paleogene half-graben
dengan arah N-S dan melengkung dengan ke arah barat daya, membatasi patahan
utama di wilayah timur.
Gambar 2.1 Peta lokasi Cekungan Asri terhadap South East Sumatra terhadap Indonesia (Sukanto dkk., 1998).
6
Paleogeografi Cekungan Asri pada waktu banuwati adalah delta di daerah
barat laut cekungan, fan-delta di wilayah timur cekungan, deep lacustrine di
tengah cekungan, dan system fluvial – delta di barat cekungan asri pada Zelda
bagian bawah.
Cekungan Asri di sebelah barat berbatasan dengan tinggian saleha dari
hera subbasin yang dianggap sebagai bagian dari Cekungan Sunda, di sebelah
utara dan timur dibatasi oleh Sunda shield, di sebelah selatan oleh northern
extension dari tinggian seribu.
2.1.1 Struktur Geologi dan Tektonik Cekungan Asri
Menurut Sukanto, dkk (1998), Cekungan Asri merupakan suatu foreland
basin dari cekungan busur belakang (back arc basin) yang merupakan half
graben rift serta suatu jenis cekungan ekstensional yang komplek dari
intracratonic atau disebut sag style basin. Sag exstension berkembang menjadi
graben yang simetris,kemudian half graben rift dan akhirnya berhenti.
Cekungan Asri mempunyai luas sekitar 3500 km2 dengan ketebalan
sedimen mencapai 16.000 feet dan terbentuk dari Paleosen hingga Pleistosen.
Merupakan half graben tersier yang aktif di dalam back arc basin sejak Oligosen
Awal berjarak kira-kira 200 km di utara Java Volcanic Arc dan 400 km di utara
trench subduction yang memanjang dari barat ke timur sepanjang pulau Jawa.
7
Gambar 2.2 Tatanan Tektonik Regional Cekungan Asri
Pada bagian timur dibatasi oleh sesar normal berarah utara – selatan,
bagian selatan dibatasi oleh wrench dengan trend barat laut - tenggara. Pada
bagian barat perlapisan membentuk pola onlap dan monoklin pada sisi utara
cekungan. Analisis tektonik dari pola patahan berdasarkan sand-box eksperimen
diindikasikan bahwa Asri half-graben lebih merupakan pull a part basin daripada
ekstensional rift graben. Pull a part graben ini berasal dari pergerakan NW-SE
8
dextral wrenching dari lempeng benua Sunda terhadap lempeng samudra Indo-
Australia selama paleogen awal.
Gambar 2.3 Unit Tektonik Cekungan Asri
Cekungan asri berada disebelah utara dari bagian tenggara Sumatran fault
system. Merupakan suatu half graben yang terjadi karena adanya 3 faktor: Master
fault system, deep sag, dan slope. Cekungan Asri dibagi menjadi dua bagian
yaitu asri half-graben dan west asri slope.
9
Gambar 2.4 Periode tektonik pada Cekungan Asri (Sukanto, dkk., 1998)
10
Menurut Sukanto, dkk (1998), secara umum sistem sedimentasi dan jenis
struktur yang terdapat pada Cekungan Asri dipengaruhi oleh tiga periode tektonik
yang utama, yaitu Rift Initiation, Syn Rift, dan Post Rift (Gambar 2.1.1.2).
Penjelasan mengenai masing-masing periode dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Rift Initiation (awal terjadinya rifting / pemekaran)
Subduksi lempeng Samudra hindia ke bawah lempeng benua sunda (akhir
Kapur – Paleosen) lalu pada eosen awal lempeng benua tertarik oleh pergeseran
yang mengakibatkan peregangan dan pelengkungan. Proses sagging terjadi
membentuk cekungan yang diisi oleh sediment sungai (fluvial) terus terjadi
sampai daerah sekitarnya tertutup air dan menjadi danau terendapkan sedimen
halus seperti serpih-lempungan (formasi banuwati).
Periode pertama berlangsung selama pra-Oligosen sampai Oligosen Awal
(pengendapan serpih Banuwati). Periode ini ditandai oleh pemekaran membentuk
suatu rangkaian block faulted yang umumnya paralel terhadap bidang sesar.
Dalam cekungan yang terbentuk diendapkan fanglomerat, kipas aluvial dan
terrace fault dari anggota Hariet, Formasi Banuwati.
2. Syn Rift (selama terbentuknya rift)
Litosfer patah dan membentuk rekahan dengan arah Barat Laut –
Tenggara yang kemudian membentuk suatu lengkungan dan suatu bentuk sudut
yang tajam. Rekahan- rekahan membentuk batas pembentukan cekungan half-
11
graben dan endapan kipas alluvial.
Synrift dimulai dengan terjadinya pengangkatan dan erosi. Sedimentasi
lebih banyak dipengaruhi oleh patahan utama rift sehingga sedimentasi tebal dan
tidak simetris. Setelah pergerakan patahan berhenti maka dimulailah
pengendapan batuan dalam lingkungan yang dipengaruhi psang surut air laut
karena muka air laut terus naik dari Oligosen – awal Miosen.
Periode ini berkembang selama Oligosen Awal sampai Oligosen Akhir
(pengendapan serpih Banuwati sampai Anggota Zelda bagian atas). Pemekaran
atau rifting berkembang menjadi en-echelon fault pada sayap cekungan bagian
timur dan barat. Periode ini di awali oleh cepatnya penurunan dasar cekungan
(subsidence), membentuk cekungan yang dalam Banuwati terendapkan. Selama
pengendapan Anggota Zelda bagian bawah, cekungan bagian timur membentuk
sistem sesar akibat ekstensi yang cepat sehingga terbentuk cekungan jenis half
graben.
3. Post Rift (setelah rift terbentuk)
Neogen post-rift dimulai dengan transgresi air laut, dimulai dengan
diendapkannya batuan dalam lingkungan laut (marine). Periode terakhir ini
berlangsung selama Miosen Akhir sampai Pleistosen (pengendapan Anggota Gita
atau Formasi Talang Akar dan lapisan yang lebih muda). Merupakan periode
subsidence regional dan transgresi. Orogenesa pada periode Pliosen-Pleistosen
tidak mempengaruhi cekungan asri.
12
2.1.2 Stratigrafi Cekungan Asri
Pada kolom stratigrafi Cekungan Asri (Gambar 2.1.2) menunjukkan
adanya suatu mega siklus dari base level rise (Formasi Banuwati-Gumai) dan
base level fall (Formasi Air Benakat - Cisubuh). Menurut Sukanto, dkk, (1998)
pola stratigrafi dari umur tertua sampai termuda adalah sebagai berikut:
1. Batuan Dasar (Basement)
Merupakan jenis batuan Pra-Tersier yang terdiri dari batuan beku
(granit/granodiorit) sampai batuan metamorf tingkat rendah.
2. Anggota Hariet, Formasi Banuwati
Tersier sedimen paling tua adalah pada Oligosen namun sedimen berumur
Eosen mungkin juga terdapat dibagian terdalam dari cekungan. Formasi
Banuwati merupakan stratigrafi unit terpenting di kedua Cekungan Asri maupun
Cekungan Sunda. Dikedua Cekungan ini Formasi Banuwati secara langsung
berada di atas Basement Tersier dan ditindih oleh Formasi Zelda.
Formasi ini berumur Eosen - Oligosen Awal. Formasi Banuwati
memiliki anggota klastik berasal dari fluviatil di bagian dasar dan anggota
lacustrine shale di atasnya yang merupakan batuan induk di kedua cekungan.
Yang pertama terbentuk adalah banuwati clastic kemudian terbentuk banuwati
shale. Merupakan endapan serpih hitam dari lakustrin sebagai kontak antara
serpih lakustrin dan klastik banuwati, terbentuk pada Oligosen Awal.
13
3. Anggota Zelda, Formasi Talang Akar
Terletak selaras di atas anggota shale Banuwati dan terbentuk pada
jaman Oligosen Tengah - Akhir, merupakan satuan terrigenous pada bagian
bawahnya dan pada umumnya tersusun oleh mudstone yang tebal, siltstone dan
batupasir halus, dan secara lokal dijumpai lapisan tipis batubara. Endapan
tersebut diinterpretasikan sebagai endapan lingkungan diluar danau dangkal-
fluvial-delta. Bagian atas unit ini merupakan lapisan tebal dari multistory fluvial.
Batupasir Anggcta Zelda bagian tengah sampai atas merupakan hasil subsidence
yang perlahan (slowdown subsidence). Pengendapan secara bertahap berubah
dari lingkungan non marine lakustrin dan fluvial menjadi coastal plain.
3. Anggota Gita, Formasi Talang Akar
Anggota Gita terbentuk pada Miosen Awal dan terdiri dari mudstone
transgressive, shale dan batubara serta batupasir channel estuarine. Batupasir
menyerupai lembaran (sheetlike) yang tersebar dan merupakan channelized.
Anggota Gita mempunyai tebal 335 m dengan lingkungan pengendapan
supratidal - intertidal dan diendapkan secara selaras di atas Anggota Zelda.
4. Formasi Baturaja
Pada awal Miosen terjadi transgresi yang menenggelamkan lower delta
plain dan membentuk endapan batugamping neritik tengah laut (Fm. Baturaja).
Formasi Baturaja diendapkan selaras dengan Formasi Talang Akar tersusun atas
batupasir laut dangkal, mudstone dan secara local dijumpai batugamping.
14
Formasi Baturaja terbentuk pada jaman Miosen Awal dan diendapkan
selaras di atas Formasi Talang Akar, terdiri dari batupasir shallow marine,
mudstone dan secara lokal dijumpai batugamping yang berkembang kurang baik.
5. Formasi Gumai
Formasi Gumai diendapkan selaras di atas Formasi Baturaja pada jaman
Miosen Awal di lingkungan laut dangkal – laut dalam. Terdiri dari lempung yang
disisipi batugamping dan batupasir yang tipis. Shale Gumai terletak selaras di
atas Formasi Air Benakat.
6. Formasi Air Benakat
Berkurangnya kedalaman air pada Kala Miosen menghasilkan endapan
tebal batupasir glaukonit yang termasuk dalam formasi air benakat. Formasi Air
Benakat yang merupakan suatu unit regresi yang berlangsung selama Miosen
Awal - Tengah, terdiri dari perselingan lempung, batupasir dan batugamping
yang tipis di lingkungan neritik dan berangsur-angsur menjadi laut dangkal dan
prodelta.
7. Formasi Parigi
Formasi Parigi terbentuk pada Miosen Akhir dan terdiri atas batugamping
pasiran dan batulempung serta sedikit sisipan batubara. Di beberapa tempat
lapisan formasi ini diendapkan sangat tipis sekali atau menghilang.
15
8. Formasi Cisubuh
Formasi Cisubuh yang terdiri dari clay marine, lapisan tipis batupasir dan
siltstone, dan terbentuk pada Miosen Akhir - Pliosen.
Gambar 2.5 Stratigrafi Cekungan Asri
16
2.1.3 Petroleum System Cekungan Asri
Gambar 2.7 Petroleum System Cekungan Asri
Petroleum system merupakan elemen yang mempengaruhi keterdapatan
hidrokarbon yang terdiri dari batuan induk (source rock), batuan reservoar,
batuan penutup (seal), overburden, migrasi, jebakan dan sejarah perkembangan
dari migrasi dan akumulasi hidrokarbon (Magoon, LB. et al., 1994 dalam
Sukanto dkk., 1998), dapat dilihat pada gambar 2.1.3.
Sukanto, dkk (1998) membagi petroleum system Formasi Banuwati -
Talang Akar di Cekungan Asri sebagai berikut:
17
1. Batuan Induk (source rock)
Anggota serpih banuwati adalah serpih hitam lacustrine, merupakan
batuan sumber utama dari hidrokarbon di Cekungan Asri. Suhu maksimum antara
430° - 440° C, merupakan serpih yang early mature dengan kedalaman
maksimum sekitar 12.000 ft. Serpih lakustrin yang lebih tebal pada Formasi
Banuwati mengandung kerogen yang melimpah.
Dengan post-rift subsidence yang terus menerus dan aliran panas yang
tinggi. Paleogen sequence mengandung shale lacustrin yang tebal pada Formasi
Banuwati merupakan oil-prone source rock yang sangat bagus terutama sumur
yang dikembangkan karena batas derajat cekungan yang tinggi.
Ketebalan lacustrine shale banuwati mencapai beberapa ratus feet dan
mengandung kerogen tipe I yang mampu menghasilkan minyak yang banyak dan
sedikit gas. Kematangan dicapai pada miosen awal dan present oil window
diperkirakan sekitar 3000 m dibawah laut.
2. Batuan Reservoar
Reservoir utama dari kedua cekungan ini adalah Fluvial, Delta fan
sandstones dan shallow marine karbonat pada Oligosen sampai Miosen awal.
Banyaknya patahan yang saling mempengaruhi dan permeabilitas jalur migrasi,
kualitas reservoir yang bagus, sumber dan penutup facies di dalam daerah
dengan aliran panas yang tinggi menjadi faktor untuk cadangan akumulasi yang
besar dari minyak bumi di Cekungan Asri dan Cekungan Sunda.
18
Anggota Zelda dan Gita bagian atas (Formasi Talang Akar) terdiri dari
batupasir multistory fluvial, berupa batupasir fluvial, distributary atau estuarine
ribbon sand bodies sampai delta merupakan reservoar utama pada Cekungan
Asri.
3. Batuan Penutup (seal)
Batuan utama pada Cekungan Asri adalah serpih laut dangkal yang
merupakan Anggota Gita bagian atas dengan ketebalan antara 150 -350 ft. Serpih
marine Formasi Baturaja dan Gumai merupakan puncak batuan penutup secara
regional di Cekungan Asri.
4. Beban (overburden)
Total ketebalan overburden mencapai 11500 ft pada waktu maturity
sampai 14000 ft sampai dengan saat ini.
5. Jenis Migrasi
Migrasi fluida di Cekungan Asri sebagian besar dikontrol oleh geometri
lapisan pembawa, yaitu batupasir Anggota Zelda. Migrasi lateral terjadi dari
serpih Formasi Banuwati menuju Anggota Zelda bagian tengah karena sedikitnya
struktur sesar dan rendahnya SSR. Migrasi vertikal mencapai Anggota Gita
melalui sesar-sesar normal.
19
Gambar 2.8 Jalur migrasi Cekungan Asri
Migrasi Vertikal terjadi dekat dengan kedalaman Cekungan, melalui
banyaknya patahan yang aktif sejak Oligosen dan migrasi sering kembali terjadi
dari depocenter terutama diatas patahan yang bedekatan dengan cekungan.
Migrasi lateral melalui beberapa puluh kilometer dan sepanjang
pelapukan basement, melalui sistem channel sandstones, dan karstifikasi yang
melubangi batuan karbonat. Awal migrasi lateral didominasi oleh batupasir dari
Formasi Talang Akar di atas Shale Gumai.
20
2.2 Teori Dasar
2.2.1 Konsep Dasar Geokimia Minyak Bumi
Geokimia minyak bumi merupakan aplikasi dari prinsip kimia untuk
mempelajari asal-usul, migrasi, akumulasi, dan alterasi dari petroleum serta
penggunaannya dalam mengeksplorasi dan memperoleh petroleum (Hunt, 1996).
Dengan menggunakan ilmu ini, maka akan dapat diketahui secara pasti berbagai
faktor yang mengontrol pembentukan, proses migrasi, dan akumulasi minyak
bumi.
Geokimia minyak bumi harus diintegrasikan dengan geologi minyak bumi
(analisis cekungan) agar dapat memberikan makna dalam eksplorasi hidrokarbon.
Geologi-Geofisika-Geokimia merupakan suatu trinitas dalam eksplorasi
hidrokarbon.
2.2.2 Tinjauan Material Organik dan Kerogen
Komposisi utama material organik yang terkandung dalam sedimen
adalah bakteri, fitoplankton, zooplankton (terutama foraminifera dan sejenis
udang-udangan) juga tumbuhan tingkat tinggi (higher plant). Pada dasarnya
semua organisme mempunyai kandungan kimia yang sama, antara lain lipid,
protein, karbohidrat dan lignin pada tumbuhan tingkat tinggi, namun terdapat
beberapa perbedaan karakteristik pada sejumlah kandungan utamanya dan pada
detail struktur kimianya.
21
Kandungan terpenting dalam pembentukan minyak bumi adalah lipid.
Lipid terdiri dari substansi lemak, lilin dan komponen lain yang menyerupai lipid
seperti pigmen terlarut dalam minyak, terpenoid, steroid, sterol, dan lemak yang
kompleks.
Proses utama dalam pembentukan dari material organik yaitu fotosintesis
dan oksidasi sebagai pemicu siklus karbon di bumi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi komposisi material organik diantaranya karena perubahan iklim,
tingkat salinitas, pasokan nutrisi, oksigen dan predator, selain itu faktor lain
diantaranya proses geokimia yang melibatkan karbohidrat, protein, polyphenol,
dan lipida (zat lemak). Untuk dapat mengetahui asal material organik yang
terkandung dalam suatu batuan sedimen diperlukan pemahaman mengenai daur
karbon (gambar 2.8) karena hakekat dari konsentrasi material organik adalah
luputnya sejumlah kecil fraksi karbon organik dari daur karbon yang terus
berulang.
Gambar 2.9 Dua siklus utama dari karbon organik dibumi (setelah Welte, 1970)
22
Pada dasarnya pembentukan hidrokarbon merupakan salah satu bagian
dari proses diagenesis pada material organik yang berasal dari tumbuhan darat,
alga, bakteri dan mikro-organisme yang tumbuh dan terakumulasi di suatu tempat
atau terbawa dari tempat lain, komposisi dari masing-masing material organik itu
dipengaruhi oleh kondisi lokal di tempat mereka tumbuh.
Faktor-faktor lokal yang mempengaruhi komposisi material organik
adalah perubahan iklim, tingkat salinitas, pasokan nutrisi, oksigen dan predator.
Di samping itu adanya proses biokimia yang melibatkan karbohidrat, protein,
polyphenol dan lipida (zat lemak) dalam bentuk biopolimer tunggal maupun
kompleks juga turut memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap
perbedaan komposisi material organik.
Dalam sedimen dan tanah proses biokimia ini selalu berulang kembali,
pada umumnya terdegradasi dan teroksidasi oleh organisme lainnya menjadi CO2
yang terjadi setelah organisme mati dan selama proses penguraian oleh bakteri
sebagai transformasi dari bentuk biopolimer menjadi geomonomer. Pada saat
biopolimer dan geomonomer terurai terjadi suatu reaksi yang menghasilkan
struktur polimer acak pada material organik yang berasal dari geosfer dan
terendapkan pada tempat reaksi terjadi, sehingga disebut dengan geopolimer yang
relatif stabil terhadap penguraian oleh bakteri.
Sebagian besar organisme terdiri dari beberapa macam polimer (selulosa,
protein, lignin) sehingga peluruhan tersebut dapat dianggap sebagai suatu
transformasi dari biopolimer ke geomonomer.
23
Biopolimer dan geomonomer dapat mengalami peluruhan akibat faktor
mikrobiologis dan nonbiologis. Biopolimer akan meluruh oleh akibat aktivitas
bakteri sedangkan geomonomer akan cepat terurai dengan sendirinya. Sebagai
contoh gula dan asam amino dapat segera terurai oleh mikroorganisme dan
karena itu sangat sulit mendeteksi zat tersebut di dalam sedimen.
Geopolimer terdiri dari beberapa macam jenis, salah satu yang paling
penting bagi studi ini adalah kerogen yang tersebar secara luas dalam batuan
sedimen. Batubara merupakan contoh litologi yang paling kaya akan
keterdapatan kerogen dan terbentuk dari jenis tumbuhan tertentu dengan
lingkungan pengendapan tertentu pula. Selain kerogen, masih terdapat suatu
bagian material organik yang larut dalam pelarut organik biasa dan diperoleh
dengan cara ekstraksi. Bagian ini disebut dengan bitumen atau Extractable
Organic Matter (EOM).
Untuk dapat membentuk batuan yang kaya akan material organik
diperlukan syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu terdapatnya jumlah material
organik yang sangat besar yang terendapkan dan terlindungi dari perusakkan
akibat proses diagenesis. Sedangkan jumlah material organik dikontrol oleh dua
faktor penting, yaitu produktivitas dan preservasi yang masing – masing masih
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang juga tidak kalah pentingnya. Faktor
yang mempengaruhi tingkat produktivitas material organik dalam suatu batuan
sedimen adalah terpenuhinya pasokan nutrisi, intensitas cahaya matahari,
temperatur hangat, pasokan karbonat, oksigen dan kondisi kimia air. Adapun
faktor pengontrol tingkat preservasi material organik antara lain adalah pasokan
24
oksigen, tipe material organik yang diendapkan dan kecepatan akumulasi
sedimen yang berkaitan erat dengan sejarah penimbunan.
Faktor oksigen sangat berperan dalam preservasi material organik karena
berhubungan dengan kondisi lingkungan material tersebut diendapkan. Kondisi
anoksik (kandungan O2 < 0.2 ml/l) sangat baik untuk proses preservasi material
organik dalam batuan sedimen. Laju sedimentasi dan penimbunan (burial) yang
cepat juga dapat meningkatkan preservasi material organik, tetapi jika laju
sedimentasi terlalu tinggi justru dapat mereduksi nilai karbon organik (TOC)
karena proses pelarutan (dilution) akan menyebarkan material organik ke seluruh
volume batuan sehingga konsentrasi karbon organik akan lebih sedikit.
Setelah proses pengendapan, material organik tersebut kemudian
mengalami proses-proses perubahan komposisi. Proses-proses tersebut meliputi
diagenesis, katagenesis dan metagenesis. Berikut ini akan dibahas mengenai
ketiga proses tersebut.
Diagenesis merupakan serangkaian proses pada suatu sistem dalam
mencapai keseimbangan pada kondisi penimbunan (burial) dangkal sedimen
tersebut menjadi terkompakkan, biasanya kedalamannya dapat mencapai
beberapa ratus meter dengan peningkatan temperatur dan tekanan yang tidak
terlalu besar dan perubahan (transformasi) terjadi pada kondisi yang tidak terlalu
ekstrim, selain itu perubahan kimia biasanya terjadi akibat proses polikondensasi
dan insolubilisasi.
25
Pada awal diagenesis agen utama dari proses perubahan ini adalah
aktivitas mikroorganisme anaerob yang mengkonsumsi oksigen bebas dan sulfat.
Energi akibat dekomposisi material organik tersebut diubah menjadi
karbondioksida, amonia dan air. Didalam sedimen itu sendiri material organik
berubah untuk mencapai keseimbangan berupa perubahan polimer atau
biopolimer (protein dan karbohidrat) menjadi struktur polikondensat yang baru
(geopolimer) yang kemudian menjadi kerogen oleh aktivitas mikroorganisme
selama sedimentasi dan awal diagenesis. Hidrokarbon yang terbentuk pada proses
diagenesis ini adalah metana, akhir dari diagenesis material organik pada
sedimen ditandai oleh berkurangnya ekstrak asam humik/humus kelompok
karboksil telah dihilangkan.
Katagenesis terjadi karena peningkatan temperatur dan tekanan selama
penimbunan (burial) pada cekungan sedimen, kedalamannya mencapai beberapa
kilometer dan tektonik juga berperan dalam proses ini. Peningkatan ini
menyebabkan sistem membutuhkan keseimbangan lagi yang akhirnya membawa
pada perubahan yang baru. Perubahan tersebut antara lain komposisi dan tekstur
pada fase mineral akan terubah terutama pada fraksi lempung, kandungan air
akan terus berkurang, porositas dan permiabilitas menurun juga salinitas dari air
tanah akan meningkat, namun yang paling utama adalah degradasi termal pada
kerogen. Akhir dari katagenesis ditandai oleh hilangnya rantai aliphatik karbon
pada kerogen dan perkembangan dari orde kerogen akan dimulai.
26
Tahap katagenesis dapat dibagi 2 berdasarkan suhu hidrokarbon dapat
terbentuk yaitu :
a. Tahap katagenesis lemah atau oil window
Pada tahap ini, berlangsung pada suhu 50–1200C, terjadi
perubahan kerogen menjadi hidrokarbon biasanya berupa
hidrokarbon cair.
b. Tahap kategenesis lanjut atau gas window
Tahap ini berlangsung pada suhu diatas 1200C. Proses yang terjadi adalah
penghancuran ikatan antar atom karbon dan menghasilkan hidrokarbon yang
lebih ringan seperti gas.
Tahap akhir dari evolusi sedimen dinamakan metagenesis dengan tingkat
kedalaman yang tinggi, temperatur dan tekanan mencapai nilai yang tinggi juga
dipengaruhi oleh magma dan hidrotermal. Beberapa mineral terubah pada kondisi
tersebut misalnya mineral lempung akan mencapai tahap tinggi dari kristalinitas,
proses disolusi tekanan dan rekristalisasi akan muncul seperti pada pembentukan
kuarsit dan dapat mengakibatkan menghilangnya struktur asli dari batuan, namun
akan menjadi tahap awal pembentukan fase mineral greenschist dan amfibolit.
Pada tahap ini material organik akhirnya hanya terdiri atas metana dan residu
karbon.
27
Gambar 2.10. Modifikasi diagram Tissot and Welte, 1984. Petroleum formation and occurrence, Springer –Verlag, 699 pp.
Kerogen didefinisikan sebagai material organik yang terdapat dalam
batuan sedimen yang tidak larut dalam pelarut organik biasa dan larutan alkali
(NaOH) karena molekulnya berukuran besar (Tissot dan Welte, 1984).
Kerogen merupakan sumber dari sebagian besar minyak dan gas bumi,
karena mampu memproduksi hidrokarbon dengan dipengaruhi oleh factor sejarah
diagenesis dan katagenesis kerogen, juga kondisi alami organik penyusunnya.
28
Karakteristik fisika dan kimia dari kerogen sangat dipengaruhi oleh
macam-macam molekul biogenik material asal dan transformasi akibat diagenesis
molekul organik. Kematangan kerogen ditentukan melalui dua faktor utama yaitu
suhu dan waktu, pada suhu yang tinggi dengan waktu yang singkat ataupun pada
suhu yang rendah namun pada waktu yang lama kedua parameter tersebut
mengakibatkan kerogen dapat terubah menjadi hidrokarbon.
Klasifikasi kerogen sangatlah berfariasi, dapat dibagi berdasarkan analisis
mikroskopis dan material organik (maseral), analisis kimia (elemental) dan
produk dari pemecahan kerogen (breakdown).
Berdasarkan analisis mikroskopis dari material organik (maseral), maka
kerogen dapat dibagi kedalam 4 kelompok:
a) Grup alginit
Didominasi oleh maseral alginit yang merupakan alga air tawar,
bersifat menghasilkan minyak (oil-prone)
b) Grup eksinit
Didominasi oleh maseral eksinit (spora, pollen), kutinit (kutikula
tumbuhan darat), resinit, liptinit. Bersifat oil-gas prone.
c) Grup vitrinit
Didominasi maseral vitrinit (material selulosa dari tumbuhan
berkayu) bersifat gas-prone.
29
d) Grup Inertinit
Didominasi oleh arang kayu (charcoal), material organik yang
teroksidasi dan terbawa dari tempat lain (reworked), sulit
menghasilkan hidrokarbon.
Berdasarkan analisis kimia, Institut Francais du Petrole (IFP) membagi
kerogen menjadi 4 tipe yaitu :
a) Tipe I
Sangat jarang, berasal dari alga danau. Kehadiran kerogen tipe ini
terbatas pada danau yang anosik dan jarang dilingkungan laut.
Kerogen tipe ini memiliki kapasitas yang tinggi untuk
menggenerasikan hidrokarbon cair.
b) Tipe II
Berasal dari beberapa sumber yang berbeda, yaitu alga laut, polen,
dan spora, lapisan lilin tanaman, dan fosil resin. Kebanyakan
kerogen tipe II ditemukan dalam sedimen laut dengan kondisi
reduksi. Kerogen tipe II dapat dibandingkan dengan jenis exinit
dari batubara dan biasa menghasilkan hidrokarbon cair dan gas.
30
c) Tipe III
Terdiri dari material organik darat, sedikit zat lilin atau lemak.
Selulosa dan lignin lebih dominan. Kerogen tipe ini mempunyai
kapasitas produksi hidrokarbon cair lebih rendah daripada kerogen
tipe II, dan jika tanpa campuran kerogen tipa II biasanya kerogen
tipe III ini menghasilkan gas.
d) Tipe IV
Berasal dari rombakan material teroksidasi yang berasal dari
berbagai sumber. Tidak memilik potensi menghasilkan
hidrokarbon.
Berdasarkan produk yang dihasilkan, kerogen dapat digolongkan menjadi:
a. Oil-prone kerogen
Kerogen yang kaya akan komponen lipid dan hidrogen serta
cenderung menggenerasikan minyak (C6+) ketimbang gas (C1-5),
suhunya berkisar antara 100-1500C dibawah permukaan bumi.
b. Gas-prone kerogen
Kerogen yang didominasi lignin dan miskin hidrogen serta cenderung
menggenerasikan gas (C1-5) pada suhu berkisar antara 150-2300C
dibawah permukaan bumi.
31
Kematangan material organik dikontrol oleh dua faktor utama yaitu suhu
dan waktu. Pengaruh suhu tinggi dalam waktu yang singkat atau sebaliknya akan
mengakibatkan kerogen terubah menjadi hidrokarbon. Selain dua faktor tersebut,
umur batuan juga terlibat karena kaitannya dengan proses pemanasan dan jumlah
panas yang diterima batuan induk. Kematangan material organik pada umumnya
ditentukan dengan:
a. Pemantulan vitrinit (Ro %)
Analisis ini didasari pada suatu pengertian bahwa kematangan pada
kerogen akan mengakibatkan perubahan pada fisik kerogen yang dibarengi
dengan kemampuannya memantulkan cahaya. Vitrinit sendiri adalah jenis
maseral utama penyusun batubara yang juga tersebar luas pada sedimen.
Peningkatan pantulan vitrinit akan meningkat seiring panambahan kematangan
dan kedalaman.
b. Skala alterasi termal (Thermal Alteration Scale-TAS)
Merupakan salah satu analisis penentuan kematangan material organik
yang berbasis pada adanya pengaruh kematangan termal terhadap perubahan fisik
pada fosil dari kelompok spora dan polen.
32
Gambar 2.11 Model Pembentukan hidrokarbon dari berbagai tipe kerogen yang
menunjukkan jenis cairan dan gas yang dihasilkan pada berbagai variasi harga reflektansi vitrinit (Waples, 1985).
c. Penentuan temperature maksimum (Tmax) dan indeks produksi
minyak (Oil Production Index-OPI).
Tmax merupakan suhu maksimum pada saat pembentukan hidrokarbon
yang terjadi selama pirolisis kerogen, sedangkan indeks produksi adalah rasio
antara hidrokarbon dalam batuan dan hidrokarbon yang dihasilkan sebagai akibat
perubahan kerogen menjadi bitumen selama pembentukan hidrokarbon.
33
Tabel 2.1 Klasifikasi tingkat kematangan material organik berdasarkan analisis mikroskopis dan Rock-Eval Pyrolisis (Peters & Cassa, 1994)
2.2.3 Batuan Induk
Pembentukan minyak bumi umumnya terjadi karena penumpukan
material organik terutama plankton pada dasar laut yang tertimbun dengan
sedimen halus kemudian terawetkan. Proses ini terjadi di cekungan sedimen
terdapat suatu ambang dari laut terbuka, dengan sedimentasi yang cepat,
dibarengi dengan penurunan. Suatu urut – urutan batuan serpih yang kaya akan
zat organik dan berwarna hitam yang disebut source rock atau batuan induk.
Batuan induk didefinisikan sebagai batuan sedimen berukuran halus yang
telah menghasilkan dan melepaskan hidrokarbon untuk membentuk akumulasi
minyak dan gas yang komersil (Hunt, 1979), atau dapat juga didefinisikan
sebagai batuan sedimen yang membentuk, akan membentuk, atau pula telah
membentuk hidrokarbon (Tissot dan Welte, 1984). Hal tersebut dipengaruhi oleh
faktor tingkat produktifitas biologis yang cukup untuk material organic dengan
kuantitas cukup dan kondisi pengendapan yang sesuai untuk akumulasi dan
pengawetan material organic tersebut.
34
Batuan induk secara umum memiliki ciri karakteristik pada mayoritas
batuan induk diantaranya merupakan batuan serpih berwarna gelap, kaya akan
material organik, dan biasanya terendapkan dalam lingkungan laut atau danau.
Batuan induk dibedakan menjadi 3 macam, antara lain:
a) Batuan induk efektif, batuan sedimen yang telah menghasilkan
hidrokarbon.
b) Batuan induk berpeluang, batuan sedimen yang potensinya belum
dievaluasi tapi kemungkinan telah menghasilkan hidrokarbon.
c) Batuan induk potensial, batuan sedimen belum matang yang
diyakini akan menghasilkan hidrokarbon jika mempunyai
temperatur pematangan yang lebih tinggi.
Kualitas batuan induk diartikan pada jumlah dan tipe dari kerogen dan
bitumen juga tingkat kematangannya. Peter dan Cassa (1994) menyatakan bahwa
untuk keperluan identifikasi batuan induk maka parameter yang dapat dinilai di
dalam menginterpretasinya adalah:
a. Kuantitas yang diperoleh dengan mengetahui persentase jumlah
material organik dalam batuan sedimen.
b. Kualitas, kualitas (tipe) diketahui dengan indeks Hidrogen yang
dimiliki batuan induk, dengan mengetahuinya maka tipe
kerogennya pun dapat diketahui sehingga dapat diketahui produk
yang dihasilkan pada puncak pematangan.
35
c. Kematangan. Dengan mengetahui tingkat kematangan suatu
batuan maka dapat diperkirakan kemampuan batuan tersebut
untuk menggenerasikan minyak atau gas bumi.
2.2.4 Komposisi Kimia Petroleum
Hidrokarbon merupakan senyawa yang hanya terdiri dari hidrogen dan
karbon. Sedangkan petroleum merupakan campuran dari senyawa hidrokarbon
dengan senyawa lain yang mengandung nitrogen, sulfur, oksigen dan elemen
lainnya.
Ada tiga golongan utama dari senyawa yang terdapat pada petroleum,
yaitu: hidrokarbon jenuh, hidrokarbon aromatik dan golongan resin dan aspal
atau yang lebih sering disebut NSO karena didominasi oleh nitrogenm sulfur,
oksigen dan lainnya.
Hidrokarbon jenuh atau yang disebut juga dengan hidrokarbon jenis
parafin atau alkana adalah senyawa hidrokarbon ikatan antar atomnya merupakan
ikatan tunggal. Dalam minyak mentah, hidrokarbon jenis ini selalu dijumpai
dengan hidrokarbon tak jenuh dan merupakan senyawa terpenting penyusun
minyak bumi. Dalam minyak mentah, senyawa ini terbagi menjadi 3 kelompok,
yaitu normal alkana, isoalkana dan sikloalkana.
Hidrokarbon tak jenuh atau aromatik, yaitu senyawa hidrokarbon dengan
satu atau lebih cincin benzena. Senyawa hidrokarbon ini dapat dibagi menjadi 3,
yaitu aromatic, nafteno-aromatik dan alkena.
36
a. Normal alkana atau n-parafin
Meliputi hidrokarbon jenuh dengan satu rantai lurus dan memiliki rumus
kimia CnH2n+2. Alkana tersebut meliputi kurang lebih rantai yang panjang
mulai dari C1 sampai dengan C40. Hidrokarbon ini terdapat dalam tiga bentuk,
yaitu : gas (C1-C4), cair (C5-C15) dan padat (>C16). N-parafin dengan nomor
atom ganjil biasanya lebih disintesis oleh organisme hidup dan ini digunakan
sebagai biomarker.
b. Isoalkana
Merupakan alkana dengan rantai bercabang, biasanya terdapat dalam
fraksi ringan (C17-C20). Untuk seri diatas C20, konsentrasinya dalam minyak
bumi semakin berkurang dan jarang dijumpai, dengan demikian alkana ini tidak
membentuk zat padat. Pada seri diatas C14 dapat dijumpai struktur isoprenoid,
yaitu suatu rantai panjang dengan cabang metil pada setiap nomor atom karbon
tertentu. Adanya isoprenoid dalam minyak bumi menunjukkan bahwa minyak
bumi terbentuk dari zat organik. Hal ini disebabkan karena seri isoprenoid secara
genetik berhubungan dengan beberapa macam pigmen. Contohnya adalah pristan
(C19) dan fitan (C20) yang merupakan turunan dari molekul yang ada pada
makhluk hidup (rantai fitil dari klorofil).
c. Sikloalkana
Sering disebut naften atau alkana dengan rantai tertutup (siklik) dengan
rumus kimia CnH2n. Biasanya beberapa seri sikloalkana terdiri dari 5 sampai 6
37
siklik atau kombinasinya dalam struktur polisiklik. Hidrokarbon tak jenuh atau
aromatik, yaitu senyawa hidrokarbon dengan satu atau lebih cincin benzena.
Senyawa hidrokarbon ini dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Aromatik
Molekul yang dibentuk oleh cincin aromatik. Biasanya terdiri dari 4 atau
5 cincin yang merupakan cincin benzena yang paling sederhana.
b. Nafteno-aromatik
Terdiri dari satu atau lebih cincin kondensat yang dikombinasi dengan
cincin alkil dan naftenik hidrokarbon. Banyak terdapat pada minyak yang belum
matang atau minyak yang mengalami tahap katagenesis lanjut.
c. Alkena
Molekul ini sering disebut hidrokarbon asiklik tak jenuh, molekul ini
tidak stabil dan jarang dijumpai. Resin dan aspal merupakan senyawa molekul
berat yang kaya akan kandungan nitrogen, sulfur dan oksigen juga nikel dan
vanadium. Senyawa tersebut terbentuk dari rantai can cincin poliaromatik dan
nafteno-aromatik. Resin lebih mudah larut dibandingkan dengan aspal dalam
pelarut organik dan alkana ringan. Senyawa seperti ini banyak dijumpai pada
minyak mentah yang belum matang serta melimpah pada minyak yang
mengalami biodegradasi.
2.2.5 Korelasi Geokimia Batuan Induk dan Hidrokarbon
Dalam mengkorelasi minyak dengan batuan induk, perlu diidentifikasi
perubahan komposisi yang terjadi baik pada batuan induk maupun minyak
38
setelah minyak meninggalkan batuan induknya serta membuat kompensasi dari
perubahan tersebut yaitu pada saat belum terjadi perubahan komposisi.
Suatu korelasi batuan induk dengan minyak yang baik harus dapat
memperkirakan volume minyak yang dihasilkan serta menentukan jalur
migrasinya. Apabila peta – peta lokasi dan geokimia minyak baik yang didapat
dari indikasi permukaan (oil seep), sumur dan akumulasi minyak yang komersial
tersebut dibandingkan dan ternyata memiliki kesamaan, maka dapat disimpulkan
bahwa seluruh minyak yang terdapat di lokasi tersebut berasal dari sumber yang
sama. Apabila data geokimia mengindikasikan hubungan genetik antara minyak
dengan batuan induk, atau jika hasil korelasinya positif maka dapat ditentukan
arah petroleum system di suatu tempat.
Oil-source correlation didefinisikan sebagai hubungan kausal antara
minyak dengan fasies batuan sumbernya berdasarkan integrasi data geologi dan
geokimia (Jones, 1987). Hubungan kausal ini didasarkan pada kondisi saat batuan
induk menghasilkan minyak, bukan didasarkan pada perubahan yang terjadi
terhadap komposisi batuan induk dan minyak.
Seorang ahli geokimia dalam melakukan oil-source correlation adalah
untuk mengisolasi dan mengidentifikasi perubahan komposisi yang terjadi baik
pada batuan induk maupun minyak setelah minyak meninggalkan batuan
induknya serta membuat kompensasi dari perubahan tersebut yaitu pada saat
sebelum terjadi perubahan komposisi (Curiale, 1993).
Apabila data geokimia mengindikasikan hubungan genetik antara minyak
dengan batuan induk, atau jika hasil korelasinya positif, maka dapat
39
ditentukanlah petroleum system di suatu tempat. Teknik korelasi geokimia secara
garis besar dapat dibagi menjadi 2 metode utama yaitu bulk methods dan
molecular methods. Bulk methods meliputi karakteristik fisik, fraksinasi
komposisi, konsentrasi elemen dan rasio isotop. Sedangkan molecular methods
melibatkan parameter fosil geokimia atau yang sering disebut biomarker datanya
diperoleh dari hasil analisis Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS).
Karakteristik fisik meliputi warna, nilai API gravity (American
Petroleum Institute) dan viskositas. Penggunaan parameter karakteristik fisik
sebagai alat korelasi memiliki keterbatasan karena bersifat sangat kasar dan
sangat terpengaruh oleh efek non-genetik seperti biodegradasi, maturasi, migrasi
dan water washing.
Dari keseluruhan parameter korelasi dengan bulk methods, maka rasio
isotop adalah parameter yang paling dapat dipercaya. Rasio isotop karbon yang
stabil pada minyak, ekstrak batuan induk, kerogen dan fraksi kromatografi gas
merupakan alat korelasi yang baik. Ada aturan yang mengatakan bahwa minyak
harus lebih ringan secara isotopis sekitar 0,5 – 1,5% dibandingkan kerogen
sumbernya (Peters et al, 1989). Rasio isotop karbon dari fraksi komponen yang
bersifat soluble seperti hidrokarbon aromatik relatif tidak terpengaruh oleh
migrasi dan biodegradasi ringan sampai sedang, sedangkan rasio isotop karbon
dari fraksi yang lain seperti hidrokarbon alifatik dapat bervariasi karena
dipengaruhi oleh proses non genetik.
Sedangkan molecular methods yang merupakan metode yang cukup
terpercaya dalam melakukan korelasi melibatkan penggunaan biomarker yang
40
diperoleh dari Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS). Pada dasarnya,
parameter biomarker untuk korelasi haruslah mudah diisolasi dan dikarakterisasi,
tetapi memiliki properti fisika dan kimia yang serupa seperti polaritas, kelarutan
dan berat molekul. Steroid dan triterpenoid merupakan biomarker yang cukup
dapat dipercaya untuk melakukan korelasi.
Untuk meyakinkan hasil korelasi menggunakan bulk methods dan
molecular methods dilakukan pula korelasi menggunakan statistik korelasi.
Derajat atau tingkat hubungan antara dua variabel diukur dengan indeks korelasi,
yang disebut koefisien korelasi. Korelasi yang sering digunakan dalam penelitian,
yaitu: korelasi produk momen dari Pearson, korelasi rank Spearman dan korelasi
biserial.
2.2.6 Biomarker
Biomarker adalah komponen kompleks yang terdiri dari karbon, hidrogen
dan elemen lainnya yang biasa ditemukan pada minyak, ekstrak batuan dan
sedimen, yang mempertahankan struktur yang sama dengan komponen yang
dihasilkan organisme hidup serta merupakan produk alterasi diagenetik dari
komponen alamiah tersebut khususnya komponen kerangka karbonnya.
Biomarker dapat diketegorikan secara umum, tergantung darimana
sumbernya berasal. Masing – masing kategori dari biomarker dapat memberikan
informasi tentang proses yang bervariasi dan bersifat temporal tiap anggotanya,
namun dalam hal ini yang akan dibahas adalah n- Alkana, Isoprenoid, Terpana
dan Sterana.
41
2.2.6.1 Alkana Normal
Alkana normal berasal dari alga, mikroba, dan tanaman keras. Secara
umum alkana dengan jumlah karbon 12 hingga 22 berasal dari alga atau mikroba,
sedangkan alkana dengan jumlah karbon lebih dari 32 berasal dari mikroba atau
tanaman keras (Hunt, 1973). n-Alkana digunakan luas dalam eksplorasi
hidrokarbon karena konsentrasinya yang tinggi dalam persampelan geokimia,
sehingga digunakan kromatografi gas (GC) dalam bentuk UCM (unresolved
comlex mixture).
Distribusi n-alkana baik dalam batuan sedimen maupun minyak bumi
memperlihatkan variasi yang tinggi dari distribusi atom karbon, sehingga lebih
sering digunakan untuk menentukan sumber material organik (Hunt, 1994).
Namun akibat tingkat pematangan yang tinggi, biodegradasi dan migrasi dapat
mengurangi distribusi n-alkana ini sehingga diperlukan data geokimia lain untuk
melengkapinya.
2.2.6.2 Isoprenoid
Istilah isoprenoid yang digunakan dalam geokimia adalah deskripsi dari
molekul jenuh rantai lurus dan bercabang dengan gugus metil (CH3) pada posisi
nomor atom karbon setiap kelipatan empat. Senyawa isoprenoid yang sering
dideteksi dalam minyak bumi dan ekstrak batuan induk adalah yang mempunyai
struktur ikatan head to tail termasuk didalamnya adalah pristan dan fitan.
42
Isoprenoid mudah dideteksi dengan kromatografi gas dan digunakan untuk
menafsirkan lingkungan pengendapan.
Perbandingan antara pristan dan fitan (Pr/Ph) pada isoprenoid telah lama
digunakan sebagai indikator kondisi reduksi – oksidasi dari lingkungan
pengendapan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pristan dan fitan terbentuk
dari fitil pada klorofil, maka di dalam lingkungan dengan kondisi oksidasi akan
terjadi transformasi firol menjadi asam fitanoat (Phytanic Acis) dan dilanjutkan
dekarbonisasi menjadi pristan, sementara dalam kondisi reduksi terjadi proses
perubahan fitol menjadi dihidrofitol dan mengurangi fitan. Namun nilai Pr/Ph
tidak dapat begitu saja digunakan untuk menafsirkan kondisi reduksi, karena
adanya pengaruh peningkatan temperatur terhadap perubahan nilai rasio tersebut.
2.2.6.3 Triterpana (m/z 191)
Menurut Ourison et al (1982) dalam Peters dan Moldowan (1993)
sebagian besar prekursor biomarker terpana dalam minyak bumi dan sedimen
adalah bakteri. Hal ini dikarenakan banyaknya struktur kimia dan terpana yang
terdiri dari kelompok –OH dan ikatan rangkap yang meruapakn karakter dari
komponen membran sel bakteri. Senyawa terpana mencakup beberapa seri
homolog seperti trisiklik, tetrasiklik dan pentasiklik (misalnya hopana).
Biomarker terpana merupakan kontributor utama pada sidik jari terpana (m/z
191) sering digunakan untuk mengetahui hubungan antara minyak bumi dan
batuan induk (Seifert et al. 1980 dalam Peters dan Moldowan 1993).
43
1. Trisiklik Triterpana
Biomarker trisiklik terpana telah banyak ditemukan pada sampel minyak
bumi dan ekstrak batuan induk dengan kisaran C19 C29, seri homolog dari
trisiklik terpana (Viii); 13β (H), 14α (H) – keilantana. Bagian dari membran
prokariotik dipercaya sebagai pertanda (prekursor) biomarker trisiklik terpana.
Terdapat beberapa pola yang dapat dibedakan pada triterpana trisiklik mulai C19-
C26. Minyak yang berasal dari lingkungan pengendapan laut didominasi C23
ekstrim, kehadiran C26atau yang lebih besar, C21> C20 > C19. Minyak yang
berasal dari lingkungan pengendapan darat memiliki C23 tidak dominan, C19
lebih dominan terhadap C 21.
2. Tetrasiklik Triterpana
Tetrasiklik terpana berkisar antara C24-C27 yang tampaknya merupakan
hopana yang terdegradasi. Karena tetrasiklik terpana lebih resistan terhadap
biodegradasi dan pematangan daripada hopana. Tetrasiklik terpana biasanya
merupakan indikasi daerah darat.
3. Pentasiklik Triterpana
Pentasiklik terpana didasarkan pada struktur hopana (IX) merupakan
bioamrker yang dapat ditemukan diberbagai perrconto minyak bumi dan ekstrak
batuan induk. Selain hopana, senyawa penting lainnya yang termasuk dalam
kelompok pentasiklik terpana adalah oleanana (X-XI) dan gasmaserana.
44
a. Oleanana
Oleanana (XI) dan senyawa biomarker lainnya yang berasosiasi
dengannya seperti spiroterpana dan oleanoid lainnya meskipun strukturnya belum
begitu jelas, dapat digunakan sebagai indikator biomarker material organik asal
tumbuhan tingkat tinggi yang memproduksi resin yang tinggi (Ekweozor dan
Udo, 1998 dalam Machihara dan Waples, 1991). Prekursor dari oleanana adalah
Betulin atau merupakan turunan dari angiosperma yang terdapat di dalam
pentasiklik terpana lainnya. Proporsi kelimpahan relatif biomarker oleanana
terhadap hopana atau sering disebut indeks oleanana oleanana/C30hopana) dapat
digunakan untuk mengindikasikan umur relatif suatu sedimen dengan kisaran
Kapur atau yang lebih muda dan dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi
lingkungan pengendapan dikarenakan rasio ini sangat peka terhadap perubahan
yang diakibatkan oleh kenaikan temperatur (Peters dan Moldowan, 1993).
Kenaikan kematangan termal akan menyebabkan nilai rasio Oleanana/Hopana ini
meningkat.
b. Gammaserana
Mewakili marker yang berasal dari lingkungan pengendapan laut yang
tinggi salinitasnya dan bukan laut. Gamaserana berasal dari lipid yang
menggantikan steroid pada membran dibeberapa protozoa (Ourison dkk, 1987
dalam Peters dan Moldowan 1993) atau kemungkinan organisma lain.
Melimpahnya gamaserana mengindikasikan kondisi lingkungan yang sangat
reduktif, hipersalin selama pengendapan dari material organik.
45
c. Extended Hopana (homohopana)
Extended hopana C31-C35 merupakan hopana yang seluruhnya
kemungkinan didapatkan dari C 35 bacteriohopaneterol (Peters dan Moldowan,
1993). Penyebaran yang banyak secara bersamaan, dengan penurunan regular
pada puncaknya dari C 31 hingga C 35 mengindikasikan bahwa selalu hadir
fasies klastik.
2.2.6.4 Sterana (m/z 217)
Sterana merupakan salah satu kelompok biomarker yang banyak dijumpai
dalam ekstrak batuan induk. Prekursor biologinya adalah sterol yang tersebar luas
dalam tumbuhan tingkat tinggi dan alga (Volkman, 1986, 1988 dalam Machihara
dan Wapples, 1991). Terkecuali kehilangan gugus –OH dan hidrogenasi ikatan
rangkap, struktur sterana dan prekursor sterol adalah identik.
Pada tahap awal konversi sterol, stanol atau senyawa prekursor lainnya
akibat aktivitas mikroba dan reaksi kimia menghasilkan senyawa sterana yang
tidak stabil. Proses epimerisasi sterana mengubah menjadi tiga epimer sterana
(IV-VI), diasterana (VII). Kompleksitas dari sidik jari biomarker sterana dalam
perconto geologi ditentukan oleh dua proses, antara lain : perbedaan sumber asal
material dan variasi stereokimia akibat perbedaan kematangan termal.
Proporsi relatif berbagai C27-C29 sterana dalam batuan induk dan
minyak bumi sering digunakan sebagai indikator material sumber. Berdasarkan
penelitian Huang dan Meischen (1976) dalam Macihara dan Waples (1991),
46
dapat diketahui bahwa plankton marin didominasi oleh C 27 dan C 28 sterol
sedangkan untuk tumbuhan tingkat tinggi dan binatang lainnya konsentrasi C
28 dan C 29 melimpah. Oleh karena itu C27 sterana kerap digunakan sebagai
indikator material organik asal laut, dan C29 sterana adalah indikator tumbuhan
tingkat tinggi.
2.2.6.5 Aplikasi Biomarker dalam Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi
Penelitian dalam bidang biomarker telah berkembang dengan pesat dan
hingga saat ini diketahui mengenai struktur molekul, komposisi isotop,
keterdapatannya dan kelimpahan di alam, yang kemudian hal tersebut dapat
digunakan dalam penelitian ilmu pengetahuan terutama dalam bidang geokimia.
Biomarker memiliki banyak kegunaan dalam eksplorasi hidrokarbon,
yaitu :
a. Identifikasi jumlah relatif antara material organik yang bersifat oil-prone
dan gas-prone pada kerogen
b. Identifikasi lingkungan pengendapan
c. Identifikasi kematangan termal
d. Korelasi hidrokarbon dengan batuan induk
Biomarker dapat dikategorikan secara umum, tergantung darimana
sumbernya berasal. Masing – masing kategori dari biomarker dapat memberikan
informasi tentang proses yang bervariasi dan bersifat temporal tiap angotanya.
47
2.2.7 Isotop Karbon
Isotop adalah unsur – unsur yang mempunyai jumlah proton yang sama,
tetapi jumlah neutron berbeda. Di dalam geokimia petroleum, isotop yang
dipergunakan adalah isotop karbon, hidrogen, sulfur dan nitrogen. Isotop yang
digunakan adalah isotop yang stabil karena proporsi dua isotop untuk suatu unsur
bervariasi dari sampel ke sampel sebagai akibat efek isotop tersebut.
2.2.7.1 Aplikasi Isotop Karbon dalam Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi
Kandungan isotop biasanya ditulis dalam bentuk suatu rasio isotop berat
terhadap isotop ringan. Harga rasio tersebut selalu dibandingkan dengan suatu
standar untuk memperkecil kesalahan pengukuran. Perbedaan (delta, δ) antara
dua sampel dinyatakan dalam bagian per seribu atau permil (‰). Rumus
perhitungan δ 13 C adalah sebagai berikut : δ13C (‰) = (13C/12C) sampel
(13C/12 C) standar × 1000 ( 13C/12C) standar 38
Rasio isotop diukur dengan alat spektrometer massa. Variasi alami rasio
isotop cukup besar dan keakuratan pengukuran ternyata cukup baik sehingga
penggunaan korelasi berdasarkan isotop dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Lewan (1986) membagi dua golongan isotop karbon dari hasil
pengamatannya terhadap komposisi isotop dari prekursor kerogen amorf sebagai
berikut :
a. Isotop ringan (light), “l-amorphous” dengan nilai δ13C berkisar antara
-25 hingga -35 ‰ yang berasosiasi dengan fitoplankton yang hidup di lingkungan
air dangkal (<200 m) yang terstratifikasi pada cekungan dengan sirkulasi yang
48
tertutup (restricted) serta laut epikontinental sumber karbon pada daerah forik
didominasi oleh CO2organik yang terdaur-ulang dari dekomposisi material
organik di dasar cekungan.
b. Isotop berat (heavy), “h-amorphous” dengan nilai δ 13C berkisar
antara -20 hingga -24 ‰ yang berasosiasi dengan fitoplankton yang hidup di
lingkungan airdalam (>500 m) pada suatu silled basin sumber karbon didominasi
oleh CO2 atmosferik.Kebanyakan kerogen dan minyak bumi memiliki harga
δ13C antara -20 dan -30 ‰. Secara klasik dikatakan bahwa kerogen
yangmemiliki isotop berat kemungkinan berasal dari lingkungan laut, sedangkan
yang berisotop ringan menunjukkan lingkungan daratan. Hal ini karena material
organik laut secara isotop lebih berat daripada material organik tumbuhan tingkat
tinggi.
2.2.8 Migrasi
Migrasi adalah pergerakan hidrokarbon di bawah permukaan. Migrasi
yang dikenal adalah migrasi primer dan migrasi sekunder. Migrasi primer adalah
fasa pertama dari sebuah proses migrasi, melibatkan ekspulsi hidrokarbon dari
batuan induk berbutir halus dan permeabilitas rendah ke dalam lapisan yang
berpermeabilitas tinggi. Migrasi sekunder adalah pergerakan hidrokarbon di
dalam lapisan penyalur atau pergerakan hidrokarbon di dalam carrier bed/lapisan
pembawa.
49
2.2.8.1 Migrasi Primer
Teori tentang migrasi primer ini diketahui melalui beberapa cara, yaitu
melalui difusi, ekspulsi fasa minyak dan larutan dalam gas. Teori yang paling
populer tentang migrasi primer ini adalah ekspulsi hidrokarbon dalam fasa
hidrofobik (minyak). Menurut teori ini migrasi hidrokarbon dapat terjadi dalam
tiga cara, dan yang paling umum terjadi adalah terjadinya ekspulsi karena adanya
rekahan mikro akibat tekanan berlebih selama pembentukan hidrokarbon.
Tekanan tersebut menekan batuan sehingga pada saat tekanan besarnya
melebihi tahanan geser batuan, rekahan – rekahan mikro terjadi, terutama
disepanjang bidang lemah lapisan. Batuan induk yang berlapis kemungkinan
akan mengeluarkan hidrokarbon dengan efisiensi yang lebih besar daripada
batuan masif. Cara kedua dapat terjadinya ekspulsi fasa minyak adalah dari
batuan yang kaya akan material organik yang terjadi pada saat sebelum mulainya
pembentukan hidrokarbon. Proses ini diperkirakan berupa pelepasan tekanan
dalam batuan. Material organik yang dikeluarkan didominasi oleh lemak (lipid)
yang terdapat pada sedimen pada saat pengendapan, sehingga proses ini
diperkirakan hanya terjadi pada batuan induk yang memiliki kandungan material
organik lemak (lipid) yang tinggi.
Cara lainnya ekspulsi fasa hidrofobik ini terjadi apabila bitumen
membentuk jaringan menerus yang menggantikan air sebagai media pembasuk
dalam batuan induk. Tipe ekspulsi ini sepertinya hanya terjadi pada batuan induk
yang sangat kaya material organik pada saat fasa utama pembentukan minyak.
Jarak yang ditempuh oleh hidrokarbon selama migrasi primer cukup pendek.
50
Migrasi primer ini cukup sulit dan mempunyai kecepatan yang sangat lambat
karena hidrokarbon harus melalui batuan yang memiliki permeabilitas yang
rendah. Setelah hidrokarbon tersebut melewati batuan yang memiliki
permeabilitas yang tinggi, maka hidrokarbon tersebut akan dibawa oleh cairan
yang menjadi media migrasi. Jadi, migrasi primer ini berakhir apabila
hidrokarbon telah mencapai lapisan batuan yang permeabel.
2.2.8.2 Migrasi Sekunder
Migrasi ini terjadi setelah hidrokarbon mengalami proses migrasi primer,
yaitu setelah hidrokarbon memasuki lapisan pembawa. Proses migrasi ini
dipengaruhi oleh daya apung (berat jenis). Hidrokarbon hampir selalu
mempunyai daya apung yang lebih kecil daripada daya apung air formasi.
Sehingga hidrokarbon dapat memaksa air turun dan menggantikan posisinya
diatas. Migrasi jarak jauh merupakan hal yang langka, karena untuk migrasi jarak
jauh diperlukan suatu kondisi geologi yang mendukung. Kondisi geologi tersebut
seperti tektonik yang stabil, dan kondisi stratigrafi yang tidak menjadi
penghalang dalam proses migrasi jarak jauh tersebut.
2.2.9 Volume Hidrokarbon Dalam Batuan Induk
Salah satu cara dalam menyelesaikan masalah dari perhitungan cadangan
yang terdapat dalam suatu cekungan ialah dengan membagi kedalam beberapa
tahap, yaitu: Generation, expulsion, migration, entrapment, dan preservation
(Moshier dan Waples, 1985). Hal dasar paling utama yang berguna dalam
generasi hidrokarbon adalah tiga buah data geokimia, yaitu: nilai kandungan
organik (TOC), nilai generasi hidrokarbon (PY), dan kematangan (Maturity).
51
Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi jumlah dari hidrokarbon yang telah
tergenerasi, perhitungan yang dapat kita gunakan seperti berikut:
Nilai kandungan material organik (TOC) diberikan dalam nilai persentasi
berat (w%), Indeks Hidrogen diberikan dalam nilai aslinya (mg HC/g TOC), dan
kematangan diperilhatkan sebagai fraksi f diantara 0 (sangat tidak matang) – 1
(Sangat matang). Nilai dari f sama dengan (G0 – G)/G0 , sedangkan nilai k
memberikan gambaran jika batuan induk yang terdapat merupakan shale atau
serpih, maka dapat diberi nilai 0.7 sedangkan jika batuan induknya merupakan
batuan karbonat, maka dapat diberikan nilai 0.78. Setelah kita mengetahui dari
volum hidrokarbon, kita dapat mengetahui nilai dari volume hidrokarbon yang
terdapat dalam suatu cekungan, dengan menggunakan perhitungan sebagai
berikut:
Volume total = ( Volume of HC) ( Volume Source Rock)
Nilai volume total ini merupakan nilai asli dari suatu batuan induk, belum
dihitung dengan kemungkinan – kemungkinan lainnya lagi seperti halnya expulsi,
migrasi, dan preservasi dari Hidrokarbon itu sendiri. Secara kasar, kita dapat
menghitung nilai HC yang terperangkap pada suatu batuan induk menuju
Reservoir dengan dikalikan 10% dari volume total. Hal ini dikarenakan,
kemungkinan hidrokarbon telah hilang semasa perjalanannya menuju reservoir
dikarenakan oleh migrasi dan lainnya.
52