BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB...

19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) Kopi merupakan salah satu tanaman yang termasuk dalam familia Rubiceae yang banyak dibudidayakan di negara tropis. Jenis kopi yang pertama kali dibudidayakan di Indonesia adalah kopi arabika (Prastowo et al., 2010). Pada awal tahun 1700-an, kopi arabika mulai banyak dibudidayakan di Jawa dan menjadi komoditas perkebunan utama selama sekitar 2 abad selanjutnya. Namun karena adanya penyakit karat daun yang mengancam perkebunan kopi arabika, maka pada awal abad 19 mulai dibudidayakan kopi robusta. Pada saat ini kopi robusta banyak dibudidayakan di daerah Jawa dan Sumatera, sedangkan kopi arabika banyak dibudidayakan di daerah dataran tinggi di Bali, Sulawesi, Sumatera Utara dan beberapa tempat di Jawa Timur (van Steenis et al., 1987). 2.1.1 Morfologi Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman perdu yang mempunyai tinggi antara 2 sampai 4 meter (van Steenis et al., 1987). Tanaman kopi memiliki perakaran tungang dengan akar primer yang mampu mencapai kedalaman sekitar 50 cm. Dari akar primer tumbuh dan berkembang akar lateral dengan pajang sekitar 3 m di permukaan tanah (van Kanten et al., 2005). Oleh karena itu, tanaman kopi merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan seperti halnya tanaman perkebunan yang lain. Pohon kopi tumbuh dengan dua arah, yaitu batang tanaman yang tumbuh tegak dan biasa disebut orthotrop serta cabang primer yang tumbuh mendatar dan biasa disebut cabang plagiotrop. Cabang plagiotrop yang tumbuh horizontal berperan penting sebagai tempat munculnya bunga dan buah (Pohlan & Janssens, 2010). 10 Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner)

Kopi merupakan salah satu tanaman yang termasuk dalam familia Rubiceae

yang banyak dibudidayakan di negara tropis. Jenis kopi yang pertama kali

dibudidayakan di Indonesia adalah kopi arabika (Prastowo et al., 2010). Pada awal

tahun 1700-an, kopi arabika mulai banyak dibudidayakan di Jawa dan menjadi

komoditas perkebunan utama selama sekitar 2 abad selanjutnya. Namun karena adanya

penyakit karat daun yang mengancam perkebunan kopi arabika, maka pada awal abad

19 mulai dibudidayakan kopi robusta. Pada saat ini kopi robusta banyak dibudidayakan

di daerah Jawa dan Sumatera, sedangkan kopi arabika banyak dibudidayakan di daerah

dataran tinggi di Bali, Sulawesi, Sumatera Utara dan beberapa tempat di Jawa Timur

(van Steenis et al., 1987).

2.1.1 Morfologi Kopi

Tanaman kopi merupakan tanaman perdu yang mempunyai tinggi antara 2 sampai

4 meter (van Steenis et al., 1987). Tanaman kopi memiliki perakaran tungang dengan

akar primer yang mampu mencapai kedalaman sekitar 50 cm. Dari akar primer tumbuh

dan berkembang akar lateral dengan pajang sekitar 3 m di permukaan tanah (van Kanten

et al., 2005). Oleh karena itu, tanaman kopi merupakan tanaman yang tahan terhadap

kekeringan seperti halnya tanaman perkebunan yang lain.

Pohon kopi tumbuh dengan dua arah, yaitu batang tanaman yang tumbuh tegak

dan biasa disebut orthotrop serta cabang primer yang tumbuh mendatar dan biasa

disebut cabang plagiotrop. Cabang plagiotrop yang tumbuh horizontal berperan penting

sebagai tempat munculnya bunga dan buah (Pohlan & Janssens, 2010).

10

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

Pada cabang plagiotrop terdapat daun yang tunggal berbentuk oblongus-

lanseolatus dengan ukuran panjang antara 20 sampai 30 cm dan lebar antara 10 sampai

16 cm pada kopi robusta, sedangkan pada kopi arabika memiliki daun dengan ukuran

yang lebih kecil, panjang sekitar 5 - 18 cm dan lebar antara 2 - 5 cm (van Steenis et al.,

2008). Pangkal daun berbentuk bulat atau berbentuk baji dengan ujung daun yang

meruncing serta memiliki tangkai daun dengan ukuran sekitar 1 cm. Daun kopi

berwarna hijau dengan permukaan daun atas yang mengkilat karena adanya lapisan

epikutikular lilin yang cukup tebal.

Tanaman kopi memiliki bunga majemuk berbentuk kimosa dengan anak payung

kebanyakan berbunga 3 - 5 kuntum sehingga membentuk gubahan semu yang berbunga

banyak. Setiap anak payung terdapat dua daun penumpu yang lancip dengan panjang

sekitar 5 mm (van Steenis et al., 2008). Setiap kuntum bunga berwarna putih dengan

bau yang harum dan berbentuk tabung. Tabung mahkota memiliki panjang sekitar 1,5

cm dengan petala antara 5 - 7 buah. Benang sari muncul di antara petala dengan panjang

sekitar 5 mm. Putik bercabang dua dan menjulang jauh dari benang sari sehingga

mengakibatkan sulitnya serbuk sari jatuh di kepala putik sendiri, sehingga pada

umumnya kopi melakukan penyerbukan silang. Pada umumnya, tanaman kopi mulai

berbunga ketika berumur sekitar 1 sampai 2 tahun. Setelah bunga mekar dan terjadi

penyerbukan, buah kopi akan masak setelah sekitar 6 sampai 11 bulan setelah

pembuahan (Pohlan & Janssens, 2010).

Buah tanaman kopi yang sudah masak biasanya berwana merah, agak kekuning-

kuningan, atau hitam tergantung spesiesnya. Tanaman kopi memiliki buah bertipe batu

dengan diameter berukuran antara sekitar 15 mm (van Steenis et al., 1987). Buah kopi

terdiri atas dinding buah (perikarpium), dan biji. Dinding buah kopi terdiri dari 3 lapisan

yaitu eksokarp yang menjangat, lapisan daging buah (mesokarp) yang tipis, dan lapisan

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

kulit tanduk (endokarp) yang keras dan berfungsi sebagai pelindung biji (Eira et al.,

2006).

Pada umumnya, satu buah kopi terdiri dari dua biji kopi yang berbentuk elips atau

bulat telur. Biji kopi terdiri dari dua bagian yaitu kulit biji dan endosperma. Kulit biji

merupakan selaput tipis (testa) berwarna hijau yang membalut biji dan dikenal sebagai

silver skin atau kulit ari (Gambar 2.1; Eira et al., 2006). Endosperma merupakan

jaringan yang terpenting dari biji kopi, terdiri atas bagian luar yang keras dan bagian

dalam yang lunak. Endosperma mengelilingi embrio serta banyak mengandung

polisakarida sebagai cadangan makanan. Embrio kopi berukuran sangat kecil yaitu

sekitar 3 – 4 mm yang terdiri dari axis dan kotiledon. Embrio kopi sendiri juga

mengandung cadangan makanan, namun untuk menopang pertumbuhannya, embrio

juga mendapatkan cadangan makanan dari endosperma sebelum kecambah mampu

berfotosintesis (Eira et al., 2006). Setelah biji masak, embrio kopi selanjutnya akan

berkecambah. Perkecambahan biji kopi terjadi secara perlahan, memerlukan waktu 50

sampai 60 hari setelah biji jatuh di atas tanah.

Gambar 2.1 Anatomi dan morfologi biji kopi yang menunjukkan posisi embrio zigotik pada endosperma dan morfologi embrio zigotik kopi yang tumbuh setelah 60 hari setelah proses perkecambahan dimulai (Eira et al., 2006).

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

2.1.2 Manfaat Kopi

Kopi merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat mulai dari akar, bata

ng, daun, maupun buahnya. Akar tanaman kopi yang memiliki tekstur khas

banyak dimanfaatkan menjadi benda seni yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti

miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar 2.2.A). Batang tanaman kopi banyak

dimanfaatkan untuk bahan pembuatan arang kayu atapun kayu bakar (Towaha &

Purwanto, 2014). Bonggol batang kayu tertentu juga dapat dimanfaatkan untuk diolah

menjadi berbagai kerajinan seperti meja, kursi, pigura ataupun asbak (Gambar 2.2.B).

Daun kopi juga banyak dimanfaatkan menjadi teh daun kopi (Gambar 2.2.C;

Siringoringo, 2012).

Gambar 2.2 Pemanfaat akar kopi sebagai miniatur pohon (A) (Towaha & Purwanto, 2014), pemanfaat batang kopi sebagai kursi (B) (Towaha & Purwanto, 2014), teh daun kopi (C) (Suardi, 2015), olahan dari biji kopi (D) (PJScoffea.com).

Bagian tanaman kopi yang memiliki nilai ekonomi paling tinggi adalah biji kopi.

Biji kopi dapat diolah menjadi kopi instant (Ridwansyah, 2003), kopi mix, kopi bubuk,

Decafeinated coffee, kopi non pangan, kopi sangrai (Gambar 2.2.D; Tesavrita

A B

C D C

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

&Martaleo, 2013). Biji kopi juga mengandung senyawa kafein dan asam klorogenat

yang bermanfaat bagi kesehatan. Kafein banyak digunakan untuk merangsang kerja

jantung dan meningkatkan stamina, sedangkan asam klorogenat banyak digunakan

untuk antioksidan dan menurunkan kadar asam urat (Lelyana, 2008), serta dalam bidang

pertanian banyak digunakan untuk pengendali hama penggerek buah (Firmansyah et al.,

2012).

2.1.3 Spesies Kopi

Sebagai salah satu famili Rubiceae, jumlah spesies kopi mencapai lebih dari 70

spesies, namun terdapat 2 (dua) spesies utama yang paling banyak diperdagangkan yaitu

Coffea arabica L. (64%) dan C. canephora Pierre ex A. Froehner (35 %) (Pohlan &

Janssens, 2010).

Coffea arabica L. merupakan tanaman perdu yang dapat tumbuh di daerah tropis

maupun sub tropis (25oLU – 24oLS) pada dataran tinggi dengan ketinggian antara 1.200

sampai 2.200 di atas pemukaan laut (dpl) serta tumbuh optimum pada temperatur antara

18 – 22 oC. Kopi arabika mulai berbunga pada umur antara 1 sampai 2 tahun, dan

menjadi buah matang setelah 6 sampai 11 bulan setelah pembuahan. Kopi arabika

termasuk tanaman yang dapat menyerbuk sendiri (Pohlan & Janssens, 2010).

Secara morfologi, buah kopi arabika yang sudah masak akan berwarna merah

dengan berbentuk lonjong (ovoid-ellipsoidal) dengan ukuran panjang 12-18 mm dan

diameter 8 -15 mm (van der Vossen et al., 2000). Di dalam satu buah kopi arabika

biasanya terdiri dari 2 biji. Satu kilogram biji kopi arabika terdapat sekitar 450 biji kopi

per kilogram (Pohlan & Janssens, 2010). Kopi arabika merupakan tanaman tetraploid

(4n=44) yang memiliki cita rasa paling enak dibandingkan dengan jenis kopi yang lain

dengan kadar kafein yang rendah (Pohlan & Janssens, 2010). Namun demikian, kopi

arabika tidak tahan terhadap penyakit busuk daun.

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

Coffea canephora merupakan tanaman perdu yang dapat tumbuh baik di daerah

tropis (15oLU - 12oLS) pada dataran rendah dengan ketinggian sampai 800 dpl serta

tumbuh optimum pada temperatur antara 22 – 30oC. Tanaman kopi tersebut akan mulai

berbunga pada umur antara 1 sampai 2 tahun dan melakukan penyerbukan silang

dengan bantuan angin atau serangga (Pohlan & Janssens, 2010). Tidak seperti kopi

arabika, kopi jenis ini memiliki tangkai putik yang menjulang jauh dengan panjang

sekitar 3 cm (Backer & Bakuizen van den Brink, 1965), sedangkan benang sari

tertancap diantara petala dengan panjang hanya sekiar 5 mm (van Steenis et al., 2008).

Oleh karena itu, sewaktu bunga mekar akan sulit untuk melakukan penyerbukan sendiri

(Pohlan & Janssens, 2010). C. canephora merupakan spesies diploid (2n = 22) yang

memiliki cita rasa yang lebih rendah dibandingkan dengan C. arabica sehingga

memiliki nilai jual yang lebih murah. Namun demikian, C. canephora bersifat tahan

terhadap penyakit busuk daun serta memiliki produktivitas yang lebih tinggi

dibandingkan dengan C. arabica (Pohlan & Janssens, 2010). Oleh karena itu, C.

canephora banyak dibudidayakan di dataran rendah di Indonesia termasuk di daerah

Jawa Tengah dan sekitarnya. C. canephora memiliki banyak varietas dan yang paling

terkenal adalah Robusta yang banyak dibudidayakan di Indonesia dan varietas Conilon

yang banyak dibudidayakan di Brazil (Pohlan & Janssens, 2010).

Secara morfologi, biji C. canephora berbentuk bulat telur dengan ukuran lebih

pendek dibandingkan dengan C. arabica (C. Arabica dengan panjang 8-16 mm

dibandingkan C. canephora dengan panjang 12-18 mm) dan diameter sekitar 15 – 18

mm (Gambar 2.3; van der Vossen et al., 2000). Biji C. canephora memiliki kadar

kafein yang lebih tinggi dibandingkan dengan C. arabica. Kadar kafein biji C.

canephora mencapai 2.0 – 2.5 %, sedangkan kadar kafein C. Arabica hanya mencapai

1.0 - 1.5 % (Pohlan & Janssens, 2010).

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

Gambar 2.3 Perbandingan biji C. Arabica dengan C. canephora var.robusta yang

menunjukkan kopi arabika memiliki bentuk lebih lonjong dibandingkan kopi robusta (Ciptaningsih, 2012).

2.2 Budidaya Kopi dan Permasalahannya 2.2.1 Produksi Kopi Dunia dan Indonesia

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan di dunia termasuk Indonesia.

Setiap tahun, rata-rata produksi kopi dunia mencapai sekitar 8,7 juta ton yang dihasilkan

dari lahan seluas hampir 10 juta Ha (FAO, 2015). Dari total produksi tersebut,

Indonesia menyumbang sekitar 7 % total produksi kopi dunia dengan angka mencapai

700 ribu ton per tahun. Angka tersebut hanya berada di bawah Brasil mencapai 2.9 juta

ton per tahun (33 %) dan Viet Nam mencapai 1.4 juta ton per tahun (16%) (Gambar

2.4; FAO, 2015). Komoditas tersebut menyumbang devisa bagi Indonesia mencapai

lebih dari 1.2 milyar US$ atau hampir mencapai 5 % dari total devisa yang dihasilkan

oleh sektor perkebunan (27 milyar US$) (BPS, 2014). Nilai ekspor biji kopi tersebut

menempatkan kopi sebagai komoditas penyumbang devisa terbesar ke – 3 di bawah

kelapa sawit (17 milyar US$) dan karet (6.9 milyar US$).

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

Gambar 2.4 Nilai produksi kopi rata-rata per tahun dari empat negara pengahasil kopi terbesar di dunia pada tahun 2010 - 2013 (FAO, 2015).

2.2.2 Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia

Selama 30 tahun terakhir, luas perkebunan kopi di Indonesia menunjukkan

peningkatan yang cukup signifikan. Total luas area perkebunan kopi pada tahun 1980

hanya mencapai sekitar 500 ribu ha, sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi

hampir 1.3 juta ha (FAO, 2015). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai urutan

ke - 2 di dunia setelah Brazil dengan perkebunan kopi seluas 2 juta ha.

Namun demikian, upaya ekstensifikasi yang telah dilakukan dalam budidaya

kopi tersebut kurang diimbangi dengan upaya-upaya intensifikasi budidaya. Hal ini

terbukti dengan masih rendahnya produktivitas kopi yang dimiliki Indonesia. Sejak

tahun 1980, produktivitas kopi di Indonesia tidak pernah meningkat dari tahun ke tahun,

yaitu hanya mampu memproduksi biji kopi sekitar 500 kg untuk setiap hektar lahan per

tahunnya. Angka tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lain

seperti tampak pada (Gambar2.5; FAO, 2015). Negara-negara seperti Malaysia, Viet

Nam, Sierra Leone memiliki produktivitas kopi yang sangat tinggi, mencapai 4 kali

lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas kopi di Indonesia.

0.

750000.

1500000.

2250000.

3000000.

3750000.

Brazil Viet Nam Indonesia Colombia

Pro

du

ksi (

ton

)

Negara

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

Gambar 2.5 Produktivitas perkebunan kopi di Indonesia dibandingkan dengan tiga negara yang memiliki produktivitas kopi terbesar di dunia dalam kurun waktu tahun 1980 - 2013 (FAO, 2015).

Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas kopi di

Indonesia seperti kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Soemarno, 2011), tata kelola

perkebunan yang masih dilakukan secara tradisional dengan tenaga kerja, modal, dan

teknologi yang terbatas (Rubiyo et al., 2013), maupun teknik budidaya yang masih

dilakukan secara sederhana, seperti penanaman, penaungan, pemangkasan, pemupukan,

pemberantasan hama dan penyakit yang belum optimal (Choiri & Sunartomo, 2008).

Faktor lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas

perkebunan kopi di Indonesia adalah terbatasnya ketersediaan bibit unggul (Santoso &

Raharjo, 2011). Sebagian besar petani di Indonesia khususnya di Jawa Tengah

membudidayakan tanaman kopi robusta dengan menggunakan bibit yang berasal dari

biji (Santoso & Raharjo, 2011). Kopi robusta dikenal sebagai spesies yang melakukan

penyerbukan silang (Pohlan & Janssens, 2010). Menurut Hartati & Sudarsono (2014),

salah satu akibat dari penyerbukan silang adalah meningkatnya kemungkinan

munculnya alel-alel resesif. Jika gen-gen tersebut mengendalikan sifat yang kurang baik

maka akan memungkinkan terjadinya penurunan nilai karakter bibit yang dihasilkan.

0.

750.

1500.

2250.

3000.

3750.

1980 1990 2000 2010 2013

kg/

Ha

Tahun

Malaysia

Viet Nam

Sierra Leone

Indonesia

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

Oleh karena itu, tanaman induk kopi robusta yang unggul tidak dapat menghasilkan biji

kopi yang seragam sehingga tidak dapat digunakan sebagai benih kopi yang unggul.

Salah satu alternatif yang bias dilakukan untuk menyediakan bibit kopi unggul

dan seragam secara genetik adalah dengan menggunakan teknik vegetatif. Teknik

pembibitan dengan cara vegetatif mampu menghasilkan bibit dengan sifat genetik yang

stabil dan seragam, sama dengan induknya serta lebih cepat berbunga dan berbuah

(Prastowo et al., 2006). Salah satu teknik pembibitan tanaman secara vegetatif yang

praktis dan mudah dilakukan yaitu stek (Gambar 2.6.A; Prastowo et al., 2006). Stek

dilakukan dengan cara menanam cabang yang masih muda pada medium tanam. Setelah

7 bulan tanam, bibit kopi siap untuk ditanam ke lahan (Prastowo et al., 2010). Tingkat

keberhasilan teknik stek untuk produksi bibit kopi juga cukup tinggi, yaitu sekitar 90 %

(Sumirat et al., 2013). Teknik ini mampu menghasilkan bibit dengan cepat, murah dan

mudah serta memiliki sifat genetika yang indentik dengan induknya sehingga akan

dihasilkan bibit yang unggul secara genetik apabila tanaman induk yang digunakan juga

memiliki sifat yang unggul (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, pembibitan

dengan menggunakan stek hanya mampu menghasilkan bibit yang memiliki akar

serabut sehingga mudah roboh serta rentan terhadap kekeringan (Prastowo et al., 2006).

Disamping itu, teknik pembibitan ini tidak dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang

banyak serta akan merusak tanaman induknya.

Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit unggul

dalam jumlah yang banyak serta memiliki akar tunggang sehingga tanaman lebih tahan

terhadap kekeringan adalah menggunakan teknik okulasi (Gambar 2.6.B). Teknik

okulasi dilakukan dengan menempelkan mata tunas dari pohon induk unggul ke batang

bawah yang berasal dari pembibitan dengan menggunakan biji. Setelah 15 bulan, bibit

yang dihasilkan akan siap ditanam di lahan (Prastowo et al., 2006). Teknik okulasi

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

tergolong murah dan mudah dilakukan. Namun demikian, teknik ini memiliki

kekurangan berupa bibit yang dihasilkan masih terbatas karena merusak tanaman

induknya (Santoso & Raharjo, 2011), serta memerlukan waktu yang relatif lama untuk

menghasilkan bibit siap tanam (15 bulan) (Prastowo et al., 2006).

Alternatif yang tersedia untuk mempersingkat waktu guna menghasilkan bibit

siap tanam adalah dengan menggunakan teknik sambung pucuk (Gambar 2.6.C). Sama

seperti teknik okulasi, teknik sambung pucuk dilakukan dengan cara menyambungkan

cabang yang masih muda pada batang bawah yang berasal dari biji (Prastowo et al.,

2010). Bibit dari hasil sambung pucuk siap di pindah ke lahan setelah bibit dipelihara

selama 6 – 8 bulan atau setengah waktu dari yang dibutuhkan untuk menghasilkan bibit

dengan menggunakan teknik okulasi (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, teknik

sambung pucuk juga masih memiliki keberhasilan yang belum sempurna (90 %)

(Pranowo & Supriadi, 2013), jumlah bibit yang dihasilkan terbatas karena terbatasnya

jumlah pucuk yang disambung serta dapat merusak pohon induknya (Oktavia et al.,

2003). Oleh karena itu, alternatif pembibitan yang dapat digunakan untuk menghasilkan

bibit kopi robusta yang unggul sangat dibutuhkan guna meningkatkan produktivitas

perkebunan kopi di Indonesia.

Gambar 2.6 Perbanyakan kopi secara vegetatif, stek (A) (kopimalabarindoneisa.com,

2016), okulasi (B) (Fikriyadi, 2013), dan sambung pucuk (C) (kopimalabarindonesia.com, 2016).

A B C

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

2.3 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik pada Tanaman Kopi

Salah satu teknik yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam rangka

menghasilkan bibit kopi yang bersifat unggul, memiliki sifat genetik yang seragam,

jumlah yang massal tanpa merusak tanaman indukya serta bibit yang dihasilkan

memiliki akar tunggang sehingga kuat dan tahan terhadap kekeringan adalah dengan

menggunakan teknik embriogenesis somatik (Deo et al., 2010).

Embriogenesis somatik adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara

menginduksi embrio dari sel somatik tanpa adanya fusi gamet dan dilakukan pada

lingkungan yang aseptik (Purnamaningsih, 2002). Teknik tersebut telah berhasil

diaplikasikan untuk produksi bibit berbagai tanaman seperti tanaman Psidium guajava

L. (Rivai et al., 2014), Glycine max L. (Fauziyyah et al., 2012 ), Elaeis guineensis Jacq.

(Sianipar et al., 2001), Shorea pinanga Scheff. (Yelnititis, 2013),lengkeng (Roostika et

al., 2009).

2.3.1 Embriogenesis Somatik Kopi dan Permasalahannnya Pada umumnya, pembibitan kopi dengan menggunakan teknik embriogenesis

somatik dilakukan dengan 4 tahap, yaitu tahap induksi kalus, induksi embrio,

perkecambahan dan aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002). Tahap induksi kalus

dilakukan dengan cara menanam eksplan daun yang telah disterilkan pada medium

induksi kalus dengan penambahan zat pengatur tumbuh berupa kinetin konsetrasi

rendah yang dikombinasikan dengan auksin konsentrasi tinggi dan dilakukan dalam

kondisi aseptik (Gambar 2.7.A-B; Murni, 2010). Tahapan induksi kalus pada

umumnya dilakukan selama 4 minggu (Sumaryono, 2014). Sampai saat ini, tahapan

induksi kalus kopi telah dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan yang sangat tinggi

(100 %) (Murni, 2010).

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

Tahap selanjutnya setelah berhasil menginduksi kalus embrionik yaitu tahap

induksi embrio. Tahap induksi embrio dilakukan dengan cara mensubkultur kalus ke

dalam medium induksi embrio yang mengandung sitokinin konsentrasi tinggi dan

dikombinasikan dengan auksin konsentrasi rendah serta dilakukan pada kondisi yang

aseptik (Purnamaningsih et al., 2002). Dalam perkembangannya embrio somatik dapat

melalui empat tahap, yaitu mulai dari embrio globular (Gambar 2.7.C), selanjutnya

embrio tahap hati (Gambar 2.7.D), embrio tahap torpedo (Gambar 2.7.E), embrio

tahap pra kotiledon (Gambar 2.7.F), sampai kepada embrio tahap kotiledon (Gambar

2.7.G). Pada tahap ini membutuhan waktu sekitar 8 bulan dengan persentase

keberhasilan yang relatif tinggi yaitu mencapai 75 % (Priyono, 2004).

Gambar 2.7 Tahap Perkembangan Embrio Somatik ; induksi kalus embriogenik (A-B), induksi embrio globular (C), embrio tahap hati (D), embrio tahap torpedo (E), pra kotiledon (F), embrio tahap kotiledon (G), pertumbuhan membentuk tunas dan akar (H) (Afreent et al., 2002a).

Embrio yang sudah terinduksi selanjutnya masuk ke dalam tahap

perkecambahan. Tahap perkecambahan merupakan tahapan memunculkan tunas dan

akar yang diakukan pada medium perkecambahan dengan penambahan ZPT dengan

konsentrasi yang sangat rendah bahkan tidak ditambahkan ZPT sama sekali dan

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

dilakukan pada kondisi yang aseptik (Purnamaningsih et al., 2002). Sampai saat ini,

tahap perkecambahan membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk menghasilkan planlet

yang siap untuk diaklimatisasi. Pada tahap ini, telah menunjukan tingkat persentase

keberhasilan yang cukup tinggi yaitu mencapai 75 % (Oktavia et al., 2003).

Tahapan yang paling akhir dari teknik embriogenesis somatik yaitu tahapan

aklimatisasi. Tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dilakukan pada lingkungan baru

yaitu dari kondisi in vitro ke kondisi ex vitro dengan penurunan kelembaban dan

peningkatan intesitas cahaya (Purnamaningsih et al., 2002). Sampai saat ini, tahap

aklimatisasi dilaporkan membutuhkan waktu sekitar 3 bulan dengan persentasi

keberhasilan yang belum maksimal yaitu 90 % (Priyono et al, 2004).

Salah satu kendala dalam aplikasi teknik embriogenesis somatik untuk produksi

bibit kopi adalah perlu ditingkatkannya keberhasilan induksi embrio somatik. Beberapa

cara telah dikembangkan untuk memproduksi bibit kopi yang unggul. Beberapa

penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan produksi bibit seperti

dengan menggunakan berbagai jenis eksplan. Eksplan daun telah dicobakan untuk

diinduksi pembentukan embrio somatik seperti yang telah dilaporkan oleh Rezende et al.

(2012);Arimarsetyowati (2011); Lubabali (2014); Ibrahim et al. (2013); Oktavia et al.

(2003); Murni (2010); maupun Ismail et al. (2003). Eksplan yang lain juga telah

dicobakan untuk meningkatkan keberhasilan produksi bibit menggunakan teknik

embriogenesis somatik seperti batang (Priyono,1991), eksplan anther dan polen

(Carneiro, 1999), eksplan axillary bud (Carneiro, 1999; Ismail et al., 2003), eksplan

meristem apikal (Carneiro, 1999; Ismail et al., 2003), eksplan epikotil (Oktavia et al.,

2003), eksplan hipokotil (Oktavia et al., 2003), eksplan akar (Oktavia et al., 2003),

maupun protoplas (Ismail et al., 2003). Namun demikian, di antara semua eksplan yang

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

telah dilaporkan, eksplan daun merupakan eksplan terbaik yang dapat digunakan untuk

pembibitan kopi melalui teknik embriogenesis somatik (Oktavia et al., 2003).

Upaya lain yang telah dilakukan untuk meningkatan keberhasilan aplikasi

embriogenesis somatik untuk produksi bibit kopi adalah dengan menggunakan medium

tanam yang tepat. Sampai saat ini medium tanam yang banyak digunakan untuk

produksi bibit kopi melalui teknik embriogenesis somatik adalah dengan menggunakan

medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) dengan penambahan zat pengatur

tumbuh khususnya indole butyric acid (IBA) dan furfuryl amino purin (kinetin) ke

dalam medium tanam dengan konsentrasi rendah (Yenitasari et al., 2015; Yusnita et al.,

2013; Balakrishnan & Gupta, 2011).

Kendala lain yang dihadapi untuk mengaplikasikan teknik embriogenesis somatik

untuk produksi bibit kopi adalah biaya produksi bibit yang relatif mahal. Biaya produksi

bibit menggunakan teknik embriogenesis somatik dapat mencapai sekitar Rp20.000,00 /

bibit, sedangkan dengan menggunakan teknik konvensional melalui biji dapat

menghemat biaya sampai lima kali lebih murah, atau hanya sekitar Rp4.000,00 / bibit

(Etienne et al., 2010). Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masih sedikitnya

petani kopi di Indonesia yang menggunakan bibit unggul hasil kultur jaringan.

Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya biaya produksi bibit kopi melalui

teknik embriogenesis somatik adalah lamanya proses kultur yang dilakukan secara

aseptik pada kondisi in vitro yang dapat mencapai sekitar 12 bulan mulai dari tahap

induksi kalus sampai tahap perkecambahan. Proses kultur pada kondisi in vitro yang

relatif lama tersebut dapat meningkatkan biaya produksi seperti penggunaan tenaga

kerja untuk mensubkultur yang relatif banyak (Savangikar, 2004), penggunaan listrik

yang lebih tinggi, maupun medium tanam yang semakin banyak (Ahloowalia & Prakash,

2004). Resiko lain yang dihadapi dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk kultur

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

in vitro adalah meningkatnya resiko kontaminasi yang mengakibatkan menurunnya

jumlah produksi bibit yang dihasilkan (Ahloowalia & Savangikar, 2004).

2.3.2 Aklimatisasi Embrio Somatik Secara Langsung (Direct Sowing)

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mempersingkat lama waktu

kultur dalam kondisi in vitro adalah dengan menggunakan teknik direct sowing. Teknik

direct sowing merupakan teknik yang dikembangkan untuk mengaklimatisasikan

embrio somatik secara langsung ke lingkungan ex vitro. Teknik ini memiliki kelebihan

di antaranya dapat mengurangi waktu kultur pada kondisi in vitro (Kubota, 2002).

Dengan menggunakan teknik ini, teknik kultur embriogenesis somatik yang pada

umumnya terdiri dari 4 tahap, yaitu induksi kalus, induksi embrio somatik,

perkecambahan dan aklimatisasi, dapat diringkas menjadi 3 tahap dengan cara

menggabungkan tahap aklimatisasi yang dilakukan secara bersamaan dengan tahap

perkecambahan.

Teknik direct sowing sudah mulai banyak dicobakan untuk diaplikasikan dalam

produksi bibit tanaman melalui teknik embriogenesis somatik dengan tingkat

keberhasilan yang bervarisasi. Pada tanaman Theobroma cacao L., embrio somatik

dipelihara secara langsung pada kondisi eksternal selama 2 (dua) bulan. Namun aplikasi

teknik tersebut masih memiliki tingkat keberhasilan yang rendah, yaitu sekitar 10%

(Niemenak et al., 2008). Pada tanaman Magnolia pyramidata embrio somatik yang

berhasil terinduksi kemudian dipelihara pada lingkungan eksternal selama 5 minggu.

Tingkat keberhasil teknik tersebut juga tergolong masih relatif rendah yaitu kurang dari

40 %. Namun demikian, teknik direct sowing mampu mengurangi waktu kultur in vitro

dari 11 minggu menjadi 5 minggu (Merkle et al., 1994). Aplikasi teknik direct sowing

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

untuk produksi bibit pada tanaman Kalopanax septemlobu memiliki tingkat

keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 70 % (Kim et al, 2011).

Pada tanaman kopi arabika, aplikasia teknik direct sowing untuk produksi bibit

memiliki persentase keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 80% (Barry-Etienne

et al., 1999). Pada kopi robusta, persentase keberhasilan teknik direct sowing untuk

produksi bibit masih relatif rendah, yaitu sekitar 50 % (Yenitasari, 2015).

2.4 Fase Perkembangan Embrio Somatik dalam Teknik direct Sowing

Teknik direct sowing pada umumnya dilakukan dengan cara menanam embrio

somatik pada medium tanam ketika embrio somatik memasuki fase perkembangan

tertentu (Ducos et al, 2007). Pada T. cacao, embrio somatik yang telah berada pada fase

kotiledon dapat diaklimatisasi secara langsung ke dalam lingkungan eksternal

(Niemenak et al., 2008). Hal yang sama juga dilakukan pada M. pyramidata, (Merkle et

al., 1994). Namun, pada K. Septemlobu, aklimatisasi baru dapat dilakukan setelah

embrio somatik memasuki fase berkecambah (Kim et al, 2011). Pada kopi arabusta,

aklimatisasi dilakukan pada medium tanam ketika embrio somatik memasuki fase

kotiledon (Barry-Etienne et al., 1999).

Pada kopi robusta, embrio somatik yang dapat diaklimatisasi juga membutuhkan

tingkat kematangan tertentu. Embrio somatik yang di aklimatisasi ke medium tanam

ketika berada pada fase torpedo menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih rendah

(20 %) bila dibandingkan dengan embrio somatik yang ditanam ketika berada pada fase

kotiledon (60 %) (Uno et al., 2003).

Tingkat keberhasilan direct sowing yang berbeda ketika menggunakan embrio

somatik pada fase perkembangan yang berbeda diduga berkaitan erat dengan

kemampuan adaptasi embrio yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan ex vitro.

Menurut Afreen et al. (2002a), meskipun embrio somatik yang berada pada fase torpedo

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

telah berwarna hijau dan memiliki klorofil sehingga siap untuk melakukan fotosintesis,

tetapi kadar klorofil yang dimiliki oleh embrio somatik fase tersebut masih sangat

rendah. Pada fase torpedo, kadar klorofil-a hanya sekitar 80 -1g µg , sedangkan kadar

klorofil-b hanya 50 -1g µg . Akibatnya, fotosintesis yang dihasilkan dari klorofil tersebut

tidak mampu menopang pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik (Afreen et al.,

2002a). Sebaliknya, ketika embrio somatik berada pada fase kotiledon telah memiliki

klorofil-a dengan kadar lebih dari dua kali lipat, yaitu sebesar 270 -1g µg dan kadar

klorofil b mencapai 100 -1g µg . Dengan tingginya kadar klorofil tersebut, embrio

somatik diduga mampu melakukan fotosintesis yang mampu menopang pertumbuhan

dan perkembangan embrio sehingga tingkat keberhasilan direct sowing menjadi lebih

tinggi. Kadar klorofil yang meningkat juga diamati ketika embrio somatik berada pada

fase perkecambahan dengan kadar klorofil-a mencapai 380 -1g µg dan kadar klorofil b

mencapai 130 -1g µg (Afreenet al., 2002a). Oleh karena itu, embrio somatik pada fase

perkecambahan mampu bertahan hidup lebih baik ketika diaklimatisasikan pada

lingkungan ex vitro dibandingkan dengan embrio somatik yang berada pada fase-fase

perkembangan sebelumnya.

Faktor lain yang dilaporkan diduga menjadi penyebab berbedanya tingkat

keberhasilan direct sowing ketika menggunakan embrio pada fase perkembangan yang

berbeda adalah adanya fase perkembangan stomata dan jumlah stomata yang berbeda

pada fase-fase perkembangan tersebut. Pada tahap torpedo, stomata yang teramati

belum berkembang dengan baik, sedangkan embrio somatik fase kotiledon telah

memiliki stomata yang telah sempurna dengan jumlah mencapai sekitar 150 buah

stomata /mm (Afreen et al., 2002a).

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea …repository.ump.ac.id/2234/3/BAB II_SETYANING SUCI MEITRI R._BIOLOGI... · miniatur pohon yang menyerupai bonsai (Gambar

Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, aplikasi teknik direct sowing untuk

perkecambahan dan aklimatisasi embrio somatik kopi robusta secara langsung terhadap

lingkungan ekstenal juga telah dilaporkan. Embrio somatik yang berada pada fase

kecambah (Gambar 2.8) telah berhasil diaklimatisasikan dengan cara ditanam pada

medium arang sekam dan disiram dengan menggunakan medium makro dan

mikronutrien MS dengan penambahan ZPT Kinetin konsentrasi M dikombinasikan

dengan IBA konsetrasi M selama 12 minggu (Yenitasari, 2015). Namun demikian,

tingkat keberhasilan direct sowing tersebut masih relatif rendah, yaitu sekitar 50 %. Uji

pengaruh fase perkembangan embrio terhadap keberhasilan aklimatisasi embrio somatik

kopi robusta sampai ini masih belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, pada

penelitian ini dilakukan uji pengaruh perkebangan embrio terhadap keberhasilan

aklimatisasi melalui teknik direct sowing.

Gambar 2.8 Embrio somatik kopi robusta fase kecambah pada hari pertama

aklimatisasi (Yenitasari, 2015).

Pengaruh Fase Perkembangan…, Setyaning Suci Meitri Rahayu, FKIP UMP, 2016