BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi...

38
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreas Pankreas adalah suatu organ yang terdiri dari jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin mengeluarkan larutan encer alkalis serta enzim pencernaan melalui duktus pankreatikus ke dalam lumen saluran cerna. Dia antara sel-sel eksokrin di seluruh pankreas tersebar kelompok-kelompok atau “pulau” sel endokrin yang dikenal sebagai pulau (islets) Langerhans. Sel endokrin pankreas yang terbanyak adalah sel β (beta), tempat sintesis dan sekresi insulin, dan sel α (alfa) yang menghasilkan glukagon. Sel D (delta), yang lebih jarang adalah tempat sintesis somatostatin (Sherwood L, 2009) Gambar 2.1 Letak pankreas (Netter, 2006)

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Fisiologi Pankreas

Pankreas adalah suatu organ yang terdiri dari jaringan eksokrin dan endokrin.

Bagian eksokrin mengeluarkan larutan encer alkalis serta enzim pencernaan melalui

duktus pankreatikus ke dalam lumen saluran cerna. Dia antara sel-sel eksokrin di

seluruh pankreas tersebar kelompok-kelompok atau “pulau” sel endokrin yang dikenal

sebagai pulau (islets) Langerhans. Sel endokrin pankreas yang terbanyak adalah sel β

(beta), tempat sintesis dan sekresi insulin, dan sel α (alfa) yang menghasilkan glukagon.

Sel D (delta), yang lebih jarang adalah tempat sintesis somatostatin (Sherwood L,

2009)

Gambar 2.1 Letak pankreas (Netter, 2006)

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

7

Gambar 2.2 Struktur pankreas (Netter, 2006)

Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak dan asam amino darah serta

mendorong penyimpanan bahan-bahan tersebut. Sewaktu molekul nutrien ini masuk ke

darah selama keadaan absorptif, insulin mendorong penyerapan bahan-bahan ini oleh

sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen, trigliserida dan protein.

Insulin melaksanakan banyak fungsinya dengan mempengaruhi transpor nutrien darah

spesifik masuk ke dalam sel atau mengubah aktivitas enzim-enzim yang berperan

dalam jalur-jalur metabolik tertentu (Sherwood L, 2009).

(1) Efek pada karbohidrat

Insulin memiliki empat efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan

mendorong penyimpanan karbohidrat:

a. Insulin mempermudah trasnpor glukosa ke dalam sebagian besar sel.

b. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa di otot

rangka dan hati.

c. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa.

Dengan menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa maka insulin

cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi

pengeluaran glukosa oleh hati.

d. Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat

glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati. Insulin

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

8

melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino di darah yang tersedia

bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-enzim hati

yang diperlukan untuk mengubah asam amino menjadi glukosa.

Karena itu, insulin mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan mendorong

penyerapan glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan disimpan, dan secara

bersamaan menghambat dua mekanisme pembebasan glukosa oleh hati ke dalam

darah (glikogenolisis dan glukoneogenesis) (Sherwood L, 2009).

(2) Efek insulin pada lemak

Insulin memiliki banyak efek untuk menurunkan asam lemak darah dan

mendorong penyimpanan trigliserida (Sherwood L, 2009):

a) Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah ke dalam sel

jaringan lemak.

b) Insulin meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel jaringan lemak melalui

rekriutmen GLUT-4. Glukosa berfungsi sebagai prekursor untuk

pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk membentuk

trigliserida.

c) Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan turunan

asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigliserida.

d) Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak), mengurangi pembebasan

asam lemak dari jaringan lemak ke dalam darah.

Secara kolektif, efek-efek ini cenderung mengeluarkan asam lemak dan

glukosa dari darah dan mendorong penyimpanan keduanya sebagai trigliserida.

(3) Efek insulin pada protein

Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein

melalui beberapa efek:

a) Insulin mendorong transpor aktif asam amino dari darah ke dalam otot dan

jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan

menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein di dalam sel.

b) Insulin meningkatkan laju inkorporasi asam amino menjadi protein oleh

perangkat pembentuk protein yang ada di sel.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

9

c) Insulin menghambat penguraian protein.

Hasil keseluruhan dari efek-efek ini adalah efek anabolik protein. Karena itu,

insulin esensial bagi pertumbuhan normal (Sherwood L., 2009).

2.2. Anatomi dan Fisiologi Ginjal

2.2.1. Lokasi dan Deskripsi Ginjal

Kedua ginjal berwarna coklat kemerahan dan terletak di belakang peritoneum,

pada dinding posterior abdomen di samping kanan dan kiri columna vetebralis dan

sebagian besar tertutup oleh arcus costalis.

Gambar 2.3 Dinding posterior abdomen, memperlihatkan ren dan ureter in situ.

(Snell, 2007)

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

10

Ginjal bagian kanan terletak sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal bagian kiri,

karena adanya lobus hepatis dexter yang besar. Setiap ginjal mendapat satu arteri

renalis dan satu vena renalis, yang masing-masing masuk dan keluar ginjal di indentasi

(cekungan) media ginjal yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti kacang. Ginjal

bekerja pada plasma yang mengalir melaluinya untuk menghasilkan urin, menghemat

bahan-bahan yang akan dipertahankan di dalam tubuh dan mengeluarkan bahan-bahan

yang tidak diinginkan melalui urin.

Gambar 2.4 Ginjal (Sherwood L, 2009)

Nefron merupakan unit fungsional dasar, yang secara kolektif bertanggung

jawab untuk pembersihan sisa metabolik dan mempertahankan kesetimbangan air dan

elektrolit. Masing-masing ginjal mengandung 1 – 1,5 juta nefron. Glomerulus dari tiap

nefron bermula dalam kortek. Nefron kortikal mempunyai lengkung Henle (Loops of

Henle) pendek yang tetap berada dalam kortek, nefron juxtamedular mempunyai

lengkung henle panjang yang memanjang ke dalam medulla. Lengkung henle yang

lebih panjang membuat kemampuan nefron untuk mereabsorbsi air lebih besar,

sehingga menghasilkan urin yang lebih pekat (Shargel et al., 2005).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

11

2.2.2. Fungsi Ginjal

Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik berikut, yang sebagian besar membantu

mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal (Sherwood L, 2009).

1) Mempertahankan keseimbangan H2O di tubuh

2) Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui

regulasi keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks

osmotik masuk atau keluar sel, yang masing-masing dapat menyebabkan

pembengkakkan atau penciutan sel yang merugikan.

3) Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk natrium

(Na+), klorida (Cl-), kalium (K+), kalsium (Ca2+), ion hidrogen (H+), bikarbonat

(HCO3-), fosfat (PO4

3-), sulfat (SO42-), dan magnesium (Mg2+). Bahkan fluktuasi

kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat berpengaruh besar.

Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ CES dapat menyebabkan disfungsi

jantung yang mematikan.

4) Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang penting dalam pengaturan

jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran

regulatorik ginjal dalam keseimbangan garam (Na+ dan Cl-) dan H2O.

5) Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat dengan

menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- di urin.

6) Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme

tubuh, misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk maka

bahan-bahan sisa ini menjadi racun, terutama bagi otak.

7) Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan, pestisida,

dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.

8) Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel darah

merah.

9) Menghasilkan renin, suatu hormon enzim yang memicu suatu reaksi berantai

yang penting dalam penghematan garam oleh ginjal.

10) Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

12

2.3. Diabetes Mellitus

2.3.1. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolisme yang

ditandai dengan hiperglikemia (Dipiro et al., 2015). Hal ini dihubungkan dengan

abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin (sensitivitas) atau keduanya (Triplitt et al., 2008 dalam

Suprapti & Nilamsari, 2013). Penyakit ini merupakan penyakit tidak menular yang

memberikan kontribusi pada morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup yang buruk.

Selain itu, DM juga memberikan beban ekonomi pada sistem perawatan kesehatan

(Kumar et al., 2016)

2.3.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus

Menurut WHO, data terbaru menunjukkan sekitar 150 juta orang menderita

diabetes melitus di seluruh dunia dan dapat menjadi dua kali lipat pada tahun 2025.

Sebagian besar peningkatan ini akan terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2025

yang akan datang sementara sebagian besar penderita diabetes di negara-negara maju

berada di kelompok usia 65 tahun atau lebih, di negara-negara berkembang sebagian

besar akan berada pada kelompok usia 45-64 tahun. Bahkan jumlah penderita diabetes

mengalami peningkatan dari 108 juta pada tahun 1980 menjadi 422 juta penderita pada

tahun 2014. Selain itu, diabetes adalah penyebab utama kebutaan, gagal ginjal,

serangan jantung, stroke dan amputasi tungkai bawah.

Indonesia adalah salah satu dari 10 negara dengan jumlah penderita diabetes

terbesar (Mihardja et al., 2014). Berdasarkan data IDF (International Diabetes

Federation) tahun 2015 terdapat 10 juta kasus diabetes yang terjadi di Indonesia.

Sementara itu, data Riskesdas 2013 yang diolah oleh Pusat Data dan Informasi

Kementrian Kesehatan RI mencatat bahwa dari 28.855.895 orang dengan usia >14

tahun di Provinsi Jawa Timur, terdapat sebanyak 605.974 penduduk yang pernah

didiagnosis menderita diabetes oleh dokter dan 115.424 penduduk yang belum pernah

didiagnosis menderita diabetes oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami

gejala sering lapar, sering haus, sering buang air kecil dalam jumlah banyak dan berat

badan menurun.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

13

2.3.3. Etiologi Diabetes Mellitus

DM tipe 1 disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas

(Ozougwu et al., 2013). Sebagian besar hal ini disebabkan oleh destruksi sel β pankreas

yang dimediasi oleh sistem imun. Selain itu, kerusakan β pankreas oleh sebab yang

tidak diketahui atau proses idiopatik juga dapat terjadi, namun jarang. Proses autoimun

diperantarai oleh makrofag dan sel limfosit T dengan autoantibodi yang bersirkulasi

terhadap antigen sel β. Pengukuran autoantibodi yang lain adalah insulin autoantibodi,

antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase, insulin antobodi terhadap islet tyrosin

phosphate dan lain-lain. Lebih dari 90% pasien yang terdiagnosis DM tipe 1

mempunyai satu dari beberapa antibodi tersebut (Power, 2007; Triplitt et al., 2008

dalam Suprapti & Nilamsari, 2013).

DM tipe 2 disebabkan oleh menurunnya sesitifitas jaringan target terhadap

insulin. Menurunnya sesitivitas jaringan target terhadap insulin sering disebut

resistensi insulin yang dapat disebabkan oleh (Ozougwu et al., 2013): (1)

Obesitas/kegemukan; (2) Glukokortikoid berlebih (cushing’s syndrome atau terapi

steroid); (3) Hormon pertumbuhan berlebih (akromegali); (4) Kehamilan, diabetes

gestasional; (5) Penyakit ovarium polikistik; (6) Lipodistrofi (diperoleh atau genetik,

berhubungan dengan akumulasi lipid dalam hati); (7) Autoantibodi terhadap insulin;

(8) Mutasi dari reseptor insulin; (9) Mutasi peroxisome proliferator’s activator

receptor γ (PPAR γ); (10) Mutasi yang menyebabkan obesitas genetik (misalnya

mutasi reseptor melanocortin); (11) Hemokromatosis (penyakit keturunan yang

menyebabkan akumulasi zat besi jaringan).

Sebagian besar pasien DM tipe 2 menunjukkan obesitas abdomen, yang mana

obesitas abdomen tersebut menyebabkan resistensi insulin. Selain itu, hipertensi,

dislipidemia (peningkatan TG dan penurunan HDL), peningkatan plasminogen

activator inhibitor type 1 (PAI-1) sering menyertai pasien DM tipe 2. Sekumpulan

ketidaknormalan ini disebut insulin resistance syndrome atau metabolic syndrome.

Ketidaknormalan tersebut, menyebabkan pasien DM tipe 2 berada pada risiko yang

tinggi terkena komplikasi mikrovaskular (Triplitt et al., 2008 dalam Suprapti &

Nilamsari, 2013).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

14

2.3.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut Power dan Triplitt dalam Suprapti dan Nilamsari, berdasarkan

etiologinya, diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi empat macam (Suprapti dan

Nilamsari, 2013).

1) DM tipe 1, yaitu adanya destruksi sel beta dan menjurus pada defisiensi insulin

absolut. DM tipe 1 meliputi autoimun (immune mediated) dan idiopatik. Terjadi

5-10% kasus dari sindrom diabetes.

2) DM tipe 2, yaitu penyebabnya faktor kombinasi genetik dan non genetik yang

menyebabkan resistensi insulin dan defisiensi insulin. Gen spesifik penyebab

belum diketahui (dalam tahap penelitian), sedangkan faktor non genetik

penyebabnya meliputi usia, intake kalori berlebih, kegemukan, berat bayi lahir

rendah dan adiposit sentral. Terjadi hampir 90-95% kasus dari sindrom

diabetes.

3) DM tipe spesifik lain, yaitu disebabkan etiologi yang bervariasi dimana etiologi

tersebut telah diketahui, meliputi: (a) defek genetik fungsi sel beta, (b) defek

genetik kerja insulin, (c) penyakit eksokrin pankreas, (d) endokrinopati, (e)

karena obat/zat kimia menyebabkan perubahan pankreas, (f) infeksi, (g) sebab

imunologi yang jarang, dan (h) sindrom genetik lain yang berkaitan dengan

DM. Terjadi hampir 1-2% dari kasus sindroma diabetes.

4) DM Gestasional, yaitu disebabkan adanya resistensi dan defisiensi insulin

relatif yang menyertai proses kehamilan. Terjadi hampir 3-5% kasus pada

kehamilan.

2.3.5. Patofisiologi Diabetes Mellitus

Destruksi autoimun sel beta pankreas menyebabkan defisiensi sekresi insulin

yang mengakibatkan gangguan metabolik yang terkait dengan IDDM. Selain hilangnya

sekresi insulin, fungsi sel α juga tidak normal dan terdapat sekresi glukagon yang

berlebihan pada pasien IDDM. Pada kondisi normal, hiperglikemia menyebabkan

berkurangnya sekresi glukagon, namun pada pasien dengan IDDM sekresi glukagon

tidak ditekan oleh hiperglikemia. Sebagai akibat dari peningkatan kadar glukagon,

memperburuk kerusakan metabolik akibat defisiensi insulin. Contoh yang paling

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

15

menonjol dari gangguan metabolisme ini adalah pasien dengan IDDM dapat

berkembang cepat menjadi diabetik ketoasidosis dengan tidak adanya pemberian

insulin. Meskipun kekurangan insulin adalah masalah utama dalam IDDM, ada juga

masalah dalam pemberian insulin. Ada beberapa mekanisme biokimia yang

menjelaskan penurunan respon jaringan terhadap insulin. Kekurangan insulin

menyebabkan lipolisis yang tidak terkendali dan peningkatan kadar asam lemak bebas

dalam plasma yang menekan metabolisme glukosa di jaringan perifer seperti otot

skeletal. Hal ini mengganggu penggunaan glukosa dan kekurangan insulin juga

menurunkan tanggapan dari sejumlah gen yang diperlukan jaringan target untuk

memberikan respon secara normal terhadap insulin seperti glukokinase di hati dan

transporter glukosa GLUT 4 dalam jaringan adiposa (Ozougwu et al., 2013).

Pada individu dengan NIDDM, kadar insulin yang beredar dapat dideteksi tidak

seperti pasien dengan IDDM. Berdasarkan oral glucose tolerance test (OGTT),

elemen-elemen penting dari NIDDM dapat dibagi menjadi empat kelompok berbeda:

1. Penderita dengan toleransi glukosa normal

2. Chemical diabetes (disebut gangguan toleransi glukosa)

3. Diabetes dengan hiperglikemia puasa minimal (glukosa plasma puasa kurang

dari 140 mg/dL)

4. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan hiperglikemia puasa yang jelas

(glukosa plasma puasa lebih besar dari 140 mg/dL)

Individu dengan gangguan toleransi glukosa memiliki hiperglikemia meskipun

memiliki kadar insulin plasma paling tinggi, hal ini menunjukkan bahwa terjadi

resistensi terhadap aksi insulin. Dalam perkembangan dari gangguan toleransi glukosa

menuju diabetes mellitus, tingkat penurunan insulin menunjukkan bahwa pasien

dengan NIDDM mengalami penurunan sekresi insulin. Resistensi insulin dan defisiensi

insulin adalah hal umum yang terjadi pada rata-rata pasien NIDDM (Ozougwu et al.,

2013).

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

16

2.3.6. Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis diabetes mellitus terdiri dari empat kriteria:

1) Hemoglobin A1c (HbA1c) ≥ 6,5% (≥ 0,065; ≥ 48 mmol/mol Hb).

2) Glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (≥ 7 mmol/L)

3) Glukosa darah 2 jam dari 75 g oral glucose tolerance test (OGTT) ≥ 200

mg/dL (≥ 11,1 mmol/L)

4) Gula darah acak ≥ 200 mg/dL (≥ 11,1 mmol/L) dengan gejala

hiperglikemia.

Dengan tidak adanya hiperglikemia yang jelas, kriteria 1 sampai 3 harus

dikonfirmasi dengan tes ulang (Dipiro, et. al., 2015).

2.3.7. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus

Tujuan utama dari manajemen terapi DM adalah untuk mengurangi risiko

komplikasi mikrovaskular makrovaskular, mengurangi gejala, menurunkan angka

kematian dan meningkatkan kualitas hidup. Kadar gula darah mendekati normal akan

menurunkan risiko perkembangan komplikasi mikrovaskular, tetapi manajemen

agresif faktor risiko kardiovaskular tradisional (sebagai contoh: penghentian merokok,

terapi dyslipidemia, kontrol tekanan darah secara intensif dan terapi antiplatelet)

diperlukan untuk menurunkan kemungkinan perkembangan komplikasi makrovaskular

(Triplitt et al., 2008 dalam Suprapti & Nilamsari, 2013).

2.3.7.1. Terapi Non Farmakologi

Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien.. Untuk DM tipe 1,

berfokus pada fisiologis yang mengatur pemberian insulin dengan diet seimbang untuk

mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat. Rencana makan harus

moderate pada karbohidrat dan rendah pada lemak jenuh dengan fokus pada makanan

seimbang. Pasien dengan DM tipe 2 sering membutuhkan pembatasan kalori untuk

meningkatkan berat badan. Latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin

dan kontrol glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko kardiovaskular, kontribusi

untuk penurunan berat badan atau pemeliharaan dan meningkatkan kesehatan (Dipiro

et al., 2015).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

17

2.3.7.2. Terapi Farmakologi

2.3.7.2.1. Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM

tipe 1, sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas rusak, sehingga tidak lagi dapat

memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita membutuhkan insulin

eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat

berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM tipe 2 tidak memerlukan

terapi insulin, namun hampir 30% memerlukan terapi insulin disamping terapi

hipoglikemik oral (Depkes RI., 2005).

2.3.7.2.1.1. Indikasi Pemberian Insulin

Berikut adalah indikasi pemberian insulin menurut Pharmaceutical Care Untuk

Penyakit Diabetes Mellitus.

1. Semua penderita DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin

endogen oleh sel-sel beta kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak ada.

2. Penderita DM tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin apabila

terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.

3. Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark

miokard akut atau stroke.

4. DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin, apabila

diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.

5. Ketoasidosis diabetik.

6. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia

hyperosmolar non-ketotik.

7. Penderita DM yang mendapat nutrisis parenteral atau yang memerlukan suplemen

tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energy yang meningkat, secara bertahap

memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah

mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan

kebutuhan insulin.

8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

9. Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO (Obat Hipoglikemik Oral).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

18

2.3.7.2.1.2. Penggolongan Insulin

1) Insulin masa kerja singkat (Short Acting), disebut juga insulin regular.

Insulin regular adalah insulin zinc kristal yang larut air yang saat ini dibuat dengan

teknik rekombinan DNA untuk menghasilkan molekul yang identik insulin manusia

(Katzung dalam Suprapti dan Nilamsari., 2013). Insulin regular memiliki onset

relatif lambat ketika diberikan secara subkutan, membutuhkan injeksi 30 menit

sebelum makan untuk mencapai kontrol glukosa postprandial yang optimal dan

mencegah hipoglikemia postmeal yang tertunda (Dipiro et al., 2015)

2) Insulin masa kerja sedang (Intermediate Acting)

Insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn) adalah insulin yang absorpsi dan mula

kerjanya ditunda dengan cara mengkombinasikan insulin dengan protamine

sehingga tidak satupun yang berbentuk “uncomplexed atau isophane”. Setelah

injeksi subkutan, enzim proteolitik jaringan akan mendegradasi protamine sehingga

memudahkan absorpsi insulin. Insulin NPH memiliki mula kerja 2-5 jam dan lama

kerja 4-12 jam. Biasanya insulin ini dicampur dengan insulin lispro, aspart atau

glulisin dan diberikan 2-4 kali sehari. Aksi insulin ini tidak dapat diprediksi, dan

variabilitas absorpsi lebih dari 50%. Penggunaan klinis insulin ini mengalami

penurunan karena farmakokinetiknya yang tidak terperediksi dan disamping itu

karena ketersediaan insulin lama kerja panjang yang lebih terperediksi dan

mendekati aksi insulin endogen (Katzung dalam Suprapti dan Nilamsari., 2013).

3) Insulin Kerja Cepat (Rapid Acting)

Terdapat tiga jenis insulin kerja cepat yaitu insulin lispro, insulin aspart dan insulin

glulisin. Insulin kerja cepat ini lebih menyerupai insulin prandial yang dikeluarkan

secara fisiologis dibandingkan insulin regular, karena mula kerjanya yang cepat dan

waktu puncaknya yang cepat menyerupai insulin prandial. Insulin kerja cepat juga

mempunyai keuntungan tambahan yaitu dapat disuntikkan segera sebelum makan

tanpa memperburuk kontrol glukosa. Lama kerja insulin ini jarang lebih dari 4-5

jam, dengan demikian menurunkan risiko hipeglikemi (Katzung dalam Suprapti dan

Nilamsari., 2013).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

19

4) Insulin masa kerja panjang (Long Acting)

Insulin yang termasuk long acting adalah insulin glargine dan detemir. Insulin

glargine adalah insulin analog kerja panjang yang tidak mempunyai puncak

(peakless) dan larut. Produk ini didesain untuk menghasilkan insulin yang

reprodusibel dan nyaman.Sedangkan insulin detemir merupakan analog insulin

kerja panjang yang dikembangkan akhir-akhir ini. Asam amino treonin dihilangkan

dari posisi B30 dan asam miristat dipasangkan pada posisi B29 lisisn. Modifikasi

ini memperpanjang ketersediaan insulin dengan meningkatkan kemampuan

agregasi dan pengikatan oleh albumin secara reversibel. (Katzung dalam Suprapti

dan Nilamsari., 2013 dan Dipiro et al., 2015).

5) Insulin Campuran

Oleh karena insulin dengan masa kerja menengah memerlukan waktu beberapa jam

untuk mencapai kadar terapeutik yang memadai, penggunaannya pada diabetes

memerlukan suplemen insulin kerja cepat atau insulin kerja panjang. Insulin lispro,

aspart dan glulisin dapat dicampurkan segera sebelum injeksi dengan injeksi NPH

tanpa memengaruhi kecepatan absorpsinya. Namun sediaan premix diketahui tidak

stabil. Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini dikembangkan insulin kerja menengah

dengan cara mencampur insulin lispro dengan protamine, begitu juga dengan insulin

aspart. Insulin kerja menengah ini disebut NPL (Neutral Protamine Lispro) dan

NPA (Neutral Protamine Aspart) dan mempunyai lama kerja yang sama dengan

insulin NPH. Kedua insulin ini mempunyai keuntungan yaitu dapat diformulasi

sebagai premix/campuran yaitu kombinasi NPL dengan insulin lispro kombinasi

NPA dengan insulin aspart. Kedua campuran tersebut telah menunjukkan keamanan

dan efektifitasnya. FDA telah menyetujui kombinasi NPL dengan insulin lispro

50%/50% dan 75%/25%, campuran kombinasi NPA dengan insulinaspart

70%/30%. Insulin detemir dan insulin glargine tidak boleh dicampur baik segera

(akut) sebelum injeksi maupun dalam bentuk premix dengan insulin lain (Katzung

dalam Suprapti dan Nilamsari., 2013).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

20

2.3.7.2.1.3. Farmakokinetik Insulin Dengan Pemberian Secara Subkutan

Tabel II.1 Farmakokinetik Insulin Subkutan

Tipe

Insulin Onset

Waktu

Puncak

(jam)

Durasi

(Lama

Kerja)

Lama

Kerja

Maksimal

Penampakan

fisik

Insulin Kerja Cepat

Aspart 15 – 30 menit 1 - 2 3 – 5 5 – 6 Jernih

Lispro 15 – 30 menit 1 - 2 3 – 4 4 – 6 Jernih

Glulisine 15 – 30 menit 1 - 2 3 - 4 5 - 6 Jernih

Insulin Kerja Pendek

Reguler 30 – 60 menit 2 - 3 3 - 6 6 - 8 Jernih

Insulin Kerja Menengah

NPH 2 – 4 jam 4 - 6 8 - 12 14 - 18 Berkabut

Insulin Kerja Panjang

Detemir 2 jam 6 - 9 14 - 24 24 Jernih

Glargine 4 – 5 jam - 22 - 24 24 Jernih

(Dipiro et al., 2015)

2.3.7.2.2. Terapi Obat Hipoglikemik Oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan

pasien DM tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan

keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi

pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu

jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen

hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes

(tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-

penyakit lain dan komplikasi yang ada (Depkes RI., 2005).

Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi

menjadi 3 golongan, yaitu:

a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik

oral golongan sulfoniurea dan glinida (metilglinida dan turunan fenilalanin).

b) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel

terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

21

tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin

secara lebih efektif.

c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor alfa-glukosidase yang

bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk

mengendalikan hiperglikemia postprandial. Disebut juga “starch-blocker”.

Tabel II.2. Golongan, Contoh senyawa dan mekanisme Obat Hipoglikemik Oral

Golongan Contoh Senyawa Mekanisme kerja

Sulfonilurea

Gliburida/

Glibenclamida

Merangsang sekresi insulin di kelenjar

pankreas, sehingga hanya efektif pada

penderita diabetes yang sel-sel beta

pankreasnya masih berfungsi dengan

baik.

Glipizida

Glikazida

Glimepirida

Glikuidon

Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin kelenjar

pancreas

Turunan fenilalanin Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis insulin

oleh pancreas

Biguanida Metformin

Bekerja langsung pada hati (hepar),

menurunkan produksi glukosa hati. Tidak

merangsang sekresi insulin oleh kelenjar

pancreas

Tiazolidindion

Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap

insulin. Berikatan dengan PPARy

(peroxisome proliferator activated

receptror-gamma) di otot, jaringan lemak

dan hati untuk menurunkan resistensi

insulin

Troglitazone

Pioglitazone

Inhibitor glukosidase

Acarbose Menghambat kerja enzim-enzim

pencernaan yang mencerna karbohidrat,

sehingga memperlambat absorpsi

glukosa ke dalam darah.

Miglitol

(Depkes RI., 2005)

Terdapat pula beberapa rekomendasi terapi berdasarkan bukti (evidence based)

oleh ADA (American Diabetes Association) (tabel II.3 dan tabel II.4).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

22

1) Diabetes mellitus tipe 1

Tabel II.3 Rekomendasi terapi untuk DM Tipe 1

American Diabetes Association. 2016

2) Diabetes mellitus tipe 2

Tabel II.4 Rekomendasi terapi untuk DM Tipe 2

Rekomendasi Terapi Evedence

Level

Metformin, jika tidak terdapat kontraindikasi dan jika ditoleransi, adalah

agen farmakologis awal yang lebih disukai untuk DM tipe 2 A

Pertimbangkan memulai terapi insulin (dengan atau tanpa agen tambahan)

pada pasien dengan DM tipe 2 yang baru didiagnosis dan memiliki gejala

yang jelas dan/atau terjadi peningkatan kadar glukosa darah atau A1c

E

Jika monoterapi insulin pada dosis toleransi maksimum tidak mencapai atau

mempertahankan target A1c lebih dari 3 bulan, maka selanjutnya tambahkan

second oral agent, glucagon-like peptide 1 receptor agonist atau insulin

basal.

A

Pendekatan yang berpusat pada pasien (patient-centered) harus digunakan

sebagai pedoman pemilihan agen farmakologis. Pertimbangan termasuk

efikasi, biaya, efek samping potensial, berat badan, morbiditas, resiko

hipoglikemia dan preferensi pasien

E

Untuk pasien dengan DM tipe 2 yang tidak mencapai tujuan glikemik,

terapi insulin tidak seharusnya ditunda B

American Diabetes Association. 2016

Rekomendasi Terapi Evedence

Level

Kebanyakan orang dengan diabetes tipe 1 harus ditangani dengan injeksi

insulin multiple-dose (tiga atau empat injeksi per hari untuk insulin basal

dan prandial) atau infusi insulin subkutan yang kontinu

A

Pertimbangkan untuk mengedukasi individu dengan DM tipe 1 dalam hal

menyesuaikan dosis insulin prandial untuk asupan karbohidrat, glukosa

darah pra-makan dan antisipasi aktivitas.

E

Kebanyakan individu dengan DM tipe 1 harus menggunakan insulin

analog untuk mengurangi risiko hipoglikemia A

Individu yang telah berhasil menggunakan infusi insulin subkutan yang

kontinu harus terus menggunakannya hingga usia 65 tahun E

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

23

2.3.8. Komplikasi Diabetes Mellitus

Pada penyakit diabetes mellitus terdapat dua komplikasi yakni komplikasi

mikrovaskular dan komplikasi makrovaskular. Komplikasi makrovaskular meliputi

penyakit jantung koroner, stroke, dan peripheral vascular disease. Sedangkan

komplikasi mikrovaskular meliputi retinopati, neuropati dan nefropati (Dipiro, et. al.,

2015).

2.4. Nefropati Diabetik

2.4.1. Definisi Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik atau diabetic kidney disease (DKD) adalah sindrom yang

ditandai oleh adanya ekskresi albumin dalam urin dalam jumlah patologis, diabetik lesi

glomerulus, dan menurunnya laju filtrasi glomerulus (GFR) pada penderita diabetes

(Lim, 2014). Nefropati diabetik juga dikenal sebagai sindrom Kimmelstiel-Wilson atau

nodular diabetic lomerulosclerosis atau intercapillary glomerulonephritis. Nefropati

diabetik yang ditandai dengan albuminuria persisten adalah penyebab utama penyakit

ginjal stadium akhir (Pathak dan Dass, 2015).

2.4.2. Faktor Resiko Nefropati Diabetik

Menurut penelitian, beberapa faktor resiko pada nefropati diabetik yang

signifikan yakni: jenis kelamin laki-laki, penurunan literasi, diabetes durasi panjang,

riwayat keluarga nefropati diabetik dan kontrol glikemik yang buruk (HbA1c tinggi)

(Alrawahi et al., 2012). Sementara itu, penelitian lain yang dilakukan pada populasi

perkotaan di India Selatan menunjukkan bahwa durasi/lama menderita diabetes, A1c

dan tekanan darah sistolik merupakan faktor risiko umum pada nefropati dan

mikroalbuminuria (Unnikrishnan et al., 2007).

2.4.3. Tingkatan Nefropati Diabetik

Pada jurnal The Stages in Diabetic Renal Disease. With Emphasis on the Stage

of Incipient Diabetic Nephropathy, Mogensen et al menyebutkan ada lima tingkatan

dalam perkembangan perubahan ginjal pada diabetes. Tingkatan tersebut kemudian

dibahas kembali oleh Roshan dan Stanton (2013) sebagai berikut:

(1) Tingkat 1 Hiperfiltrasi Glomerulus. Observasi paling awal pada

perkembangan nefropati adalah peningkatan GFR hingga 50%. Pada tahap ini,

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

24

hiperfiltrasi glomerulus tidak berdampak pada berkembangnya

mikroalbuminuria pada diabetes tipe 1 selama hampir 15 tahun follow up.

(2) Tingkat 2 Penebalan basement membrane (BM) kapiler glomerulus

ditemukan secara histologi.

(3) Tingkat 3 Perkembangan mikroalbuminuria (20-200 mcg/min atau 30 – 300

mg/24 jam, tidak terdeteksi dengan dipstik urin rutin)

(4) Tingkat 4 Nefropati diabetik dan makroalbuminuria (>200 mcg/min atau >300

mg/24 jam, terdeteksi dengan dipstik urin rutin).

(5) Tingkat 5 Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) (biasanya 25-30 tahun setelah

didiagnosis) dengan penutupan glomerulus dan penurunan resultan

proteinuria)

2.4.4. Patofisiologi Nefropati Diabetik

Patogenesis dimulai dengan penyakit pembuluh darah kecil. Patofisiologi

kompleks, melibatkan glikosilasi protein, secara hormonal dipengaruhi pelepasan

sitokin (misalnya, mengubah growth factor-beta), deposisi matriks mesangial dan

perubahan hemodinamik glomerulus. Hiperfiltrasi, kelainan fungsional awal, hanya

prediktor relatif untuk perkembangan gagal ginjal. Hiperglikemia menyebabkan

glikosilasi protein glomerulus, yang mungkin bertanggung jawab untuk poliferasi sel

mesangial dan ekspansi matriks dan kerusakan endotel vaskular. Membran basal

(basement membrane) menjadi menebal (Jaipaul, 2016).

Nefropati diabetik dimulai dengan hiperfiltrasi glomerulus (GFR meningkat);

GFR umumnya dengan cedera ginjal awal dan hipertensi ringan, yang memburuk dari

waktu ke waktu. Selanjutnya terjadi mikroalbuminuria, ekskresi albumin dalam kisaran

30 – 300 mg albumin/hari. Albumin urin pada konsentrasi tersebut disebut

mikroalbuminuria karena deteksi proteinuria dengan dipstick pada urinalisis rutin

biasanya > 300 mg albumin/hari. Mikroalbuminuria berkembang menjadi

makroalbuminuria (proteinuria > 300 mg/hari), biasanya lebih dari setahun. Sindrom

nefrotik (proteinuria ≥ 3 g/hari) mendahului penyakit ginjal stadium akhir, rata-rata,

sekitar 3 sampai 5 tahun, tapi waktu tersebut juga sangat bervariasi (Jaipaul, 2016).

Patofisiologi lebih detail dibahas oleh Lim dan Toth-Manikowski & Atta melibatkan

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

25

faktor hemodinamik, faktor metabolik, faktor inflamasi, dan faktor-faktor lain.

Korelasi antar kedua jurnal dapat dilihat pada gambar 2.6 dan 2.7 (Lim., 2014 dan Toth-

Manikowski & Atta., 2015).

2.4.4.1. Jalur Hemodinamik

Aktivasi RAS menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II yang kemudian

menyebabkan eferen vasokonstriksi arteri. Peningkatan kadar angiotensin II berkaitan

dengan peningkatan albuminuria dan nefropati baik pada manusia dan tikus. ACEI dan

ARB memiliki track record panjang dalam mengurangi dua kali lipat kadar kreatinin,

albuminuria, dan pengembangan menjadi nefropati, ESRD, dan kematian.

Vasokonstriktor kuat lain dari arteriol eferen adalah endotelin-1 (ET-1). ET-1 memiliki

berbagai fungsi fisiologis di dalam ginjal yang meniru RAS termasuk mediasi

vasokonstriksi dan karenanya memainkan peran pada hipertensi, disfungsi endotel,

peradangan, dan fibrosis. Peningkatan ET-1 dan urotensin II juga berkontribusi pada

terjadinya vasokonstriksi. Selain itu, peningkatan ET-1 mengaktifkan kaskade sinyal

yang mengarah ke mesangial hipertrofi sel dan proliferasi serta matriks ekstraselular

produksi (ECM). Hal ini juga mengaktifkan reseptor yang secara langsung

meningkatkan permeabilitas glomerulus, sehingga menyebabkan memburuknya

albuminuria dan perkembangan nefropati diabetik (Lim., 2014 dan Toth-Manikowski

& Atta., 2015).

2.4.4.2. Jalur Metabolik

Jalur ini pertama kali dijelaskan detail oleh Brownlee di Nature pada tahun 2001.

Hiperglikemia menyebabkan peningkatan glikolisis yang kemudian meregulasi empat

entitas yang berbeda: jalur poliol, jalur hexosamine, produksi advanced glycation end

products (AGEs), dan aktivasi protein kinase C (PKC). Glikolisis adalah jalur biokimia

di mana glukosa dipecah oleh sel untuk membuat energi. glukosa intraseluler pertama

dipecah menjadi glukosa-6-fosfat dan kemudian fruktosa-6-fosfat. Kemudian

gliseraldehida-3-fosfat menjadi 1,3-difosfogliserat dengan bantuan dehidrogenase

gliseraldehida-3-fosfat (GADPH) (Gambar 2.5). Hal ini penting karena GADPH

dihambat oleh kelebihan superoksida yang dihasilkan oleh rantai transpor elektron

yang terjadi pada pengaturan hiperglikemia. Penghambatan GADPH mencegah

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

26

glikolisis dan menyebabkan peningkatan regulasi komponen hulu glikolisis, khususnya

glukosa, glukosa-6-fosfat, dan fruktosa-6-fosfat (Gambar 2.6) (Toth-Manikowski &

Atta., 2015).

Gambar 2.5 Glikolisis pada kondisi normoglikemia (Toth-Manikowski & Atta.,

2015)

2.4.4.2.1. Jalur Polyol (Polyol Pathway)

Jalur poliol diregulasi sebagai akibat dari kelebihan hiperglikemia. Glukosa

pertama dikonversi menjadi sorbitol melalui enzim NADPH-dependent, reduktase

aldosa; sorbitol kemudian diubah menjadi fruktosa menggunakan NAD+ sebagai

kofaktor (Gambar 2.6). Penurunan glukosa menjadi sorbitol menyebabkan tingkat

NADPH intraseluler menurun, kofaktor yang terlibat dalam regenerasi antioksidan,

menurunkan glutation (GSH). Penurunan tingkat GSH dianggap berkontribusi untuk

peningkatan stres oksidatif intraseluler yang pada gilirannya menyebabkan

peningkatan stres sel dan apoptosis. Selain itu, oksidasi sorbitol menjadi fruktosa

menyebabkan peningkatan rasio NADH intraseluler : NAD + yang juga menghambat

aktivitas GADPH, sehingga menyebarkan penghambatan glikolisis. Peningkatan rasio

NADH : NAD+ juga meningkatkan pembentukan methylglyoxal dan diasilgliserol,

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

27

prekursor dari AGE dan jalur PKC yang dibahas pada bagian selanjutnya. Akhirnya,

produk akhir dari jalur poliol, fruktosa, juga baru-baru muncul sebagai nephrotoxin

potensial. Dalam murine model diabetes, produksi endogen dari fruktosa melalui jalur

poliol menyebabkan peningkatan proteinuria, mengurangi GFR, dan meningkatkan

cedera glomerulus dan tubulus proksimal bila dibandingkan dengan tikus dengan

tingkat fruktosa endogen yang lebih rendah (Toth-Manikowski & Atta., 2015).

Gambar 2.6 Reaksi pada kondisi hiperglikemia (Toth-Manikowski & Atta., 2015)

2.4.4.2.2. Jalur Hexosamine (Hexosamine Pathway)

Jalur hexosamine berasal dari langkah ketiga dari glikolisis, fruktosa-6-fosfat,

yang diubah menjadi glukosamin-6-fosfat oleh enzim glutamin: amidotransferase

fruktosa-6-fosfat (GFAT) (Gambar 2.6). Glukosamin-6-fosfat kemudian digunakan

sebagai substrat untuk meningkatkan transkripsi inflammatory cytokines tumor

necrosis factor-𝛼 (TNF-α) dan mengubah faktor pertumbuhan-β1 (TGF-β1).

Peningkatan kadar TGF-β1 diketahui dapat mendorong hipertrofi sel ginjal dan

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

28

meningkatkan komponen matriks mesangial, dua ciri patologis dari DKD, sedangkan

TNF-α merupakan sitokin inflamasi (Toth-Manikowski & Atta., 2015).

Gambar 2.7 Gambaran jalur patologis pada nefropati diabetik (Lim., 2014)

2.4.4.2.3. Advanced Glycation End Products (AGEs)

Advanced glycation end products (AGEs) adalah hasil dari glikasi protein

ireversibel yang terjadi ketika terdapat hiperglikemia intraseluler. Tiga jalur utama

yang bertanggung jawab untuk produksi prekursor AGE: oksidasi glukosa untuk

membuat glyoxal, degradasi produk Amadori, dan glikolisis menyimpang yang

melangsir gliseraldehida-3-fosfat menjadi pembentuk methylglyoxal (Gambar 2.6).

Setelah terbentuk, AGEs merusak sel dengan memodifikasi atau merusak fungsi dari

kedua protein intraseluler dan ekstraseluler. Sebagai contoh, AGE memodifikasi baik

laminin dan kolagen tipe IV dan ditunjukkan untuk meningkatkan permeabilitas

glomerular basement membrane (GBM). Selain itu peningkatan konsentrasi AGE

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

29

diketahui secara dosis-dependen meningkatkan ekspresi fibronectin dan kolagen tipe I

dan IV yang diduga menyebabkan peningkatan kepadatan dan perluasan matriks

ekstraselular (Toth-Manikowski & Atta., 2015).

2.4.4.2.4. Jalur PKC (PKC Pathway)

Jalur PKC, seperti jalur AGE, berasal dari langkah keempat dalam glikolisis

(Gambar 2.6). Hiperglikemia mendorong konversi gliseraldehida-3-fosfat menjadi

dihidroksiaseton fosfat (DHAP) dan akhirnya diasilgliserol (DAG) yang merupakan

kofaktor untuk aktivasi PKC. Pada kondisi adanya hiperglikemia, DAG secara kronis

diregulasi dan memberikan kontribusi pada aktivasi PKC berkelanjutan. PKC diduga

berkontribusi DKD dalam berbagai cara. Hal ini meningkatkan level aktivitas

prostaglandin E2 dan oksida nitrat menyebabkan vasodilatasi dari arteriol aferen dan

pembesaran tindakan angiotensin II pada arteriol eferen; tindakan ini secara kolektif

berkontribusi pada hiperfiltrasi glomerulus. Pada stadium akhir dari nefropati diabetik,

ada keadaan defisiensi progresif pada nitric oxide yang telah dikaitkan dengan

proteinuria berat, penurunan fungsi ginjal, dan hipertensi. PKC juga menengahi VEGF

yang, seperti disebutkan di atas, terkait dengan aliran darah intrarenal abnormal dan

permeabilitas kapiler dan diduga berperan dalam pengembangan mikroalbuminuria.

Aktivasi PKC juga meningkatkan kadar CTGF dan TGF-β serta produksi fibronektin

dan kolagen tipe IV dan memberikan kontribusi untuk penebalan GBM dan akumulasi

ECM (Toth-Manikowski & Atta., 2015).

2.4.4.3. Jalur Inflamasi

Jalur inflamasi mendukung gagasan bahwa DKD bukan semata-mata hasil dari

hemodinamik yang tidak terkontrol dan hiperglikemia tetapi juga merupakan

konsekuensi dari sistem kekebalan tubuh bawaan yang diaktifkan secara kronis dan

keadaan low-grade inflammatory pada pasien dengan diabetes. NF-kB merupakan

faktor transkripsi yang mengatur ekspresi beberapa gen yang berhubungan dengan

peradangan, kekebalan, apoptosis, dan chemoattractant protein-1, antara lain, dan

melokalisasi ke glomerulus, interstitial, dan sel-sel epitel tubular di ginjal manusia.

kondisi hiperglikemik diketahui meningkatkan ekspresi NF-kB. Pada DKD, aktivasi

NF-kB berkorelasi dengan proteinuria dan infiltrasi sel interstitial. Proteinuria

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

30

diketahui lebih merangsang NF-kB dan memberikan kontribusi untuk proteinuria

persisten secara siklik. Janus kinase/sinyal transduser dan aktivator transkripsi (JAK /

STAT) signaling pathway adalah cara untuk sinyal kimia di luar sel yang akan

disampaikan kepada promotor gen pada tingkat DNA. JAK2 hadir dalam jaringan

ginjal dan pembuluh darah. Hal ini diaktifkan oleh ROS yang disebabkan oleh tahap-

tahap hiperglikemik dan berhubungan dengan hipertrofi sel mesangial. Berthier et al.

menunjukkan bahwa tingkat JAK2 mRNA berbanding terbalik dengan perkiraan laju

filtrasi glomerulus (eGFR) pada pasien dengan nefropati diabetik. Sitokin inflamasi

seperti TNF-α dan interleukin 1, 6, dan 18 (IL-1, IL-6, dan IL-18, resp.) disajikan dalam

proporsi yang lebih besar pada model ginjal diabetes jika dibandingkan dengan kontrol

nondiabetes. Dalam model tikus diabetes, peningkatan ekspresi TNF-α dan IL-6 juga

dikaitkan dengan peningkatan berat badan ginjal dan ekskresi albumin urin. Pada

pasien dengan DKD, serum IL-18 dan TNF-α tingkat yang lebih tinggi pada pasien

dengan diabetes dibandingkan kontrol nondiabetes. IL-18 dan tingkat TNF-α juga

berkorelasi positif dengan tingkat albuminuria pada pasien dengan diabetes. Pada

tingkat sel, sitokin ini diyakini akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sel

endotel, berkontribusi hypercellularity glomerulus dan GBM penebalan, menginduksi

apoptosis sel endotel, dan bisa langsung racun bagi sel-sel ginjal (Toth-Manikowski &

Atta., 2015).

2.4.5. Penatalaksanaan Terapi Nefropati Diabetik

Pengobatan untuk menunda perkembangan nefropati diabetik melibatkan kontrol

yang adekuat pada kelainan metabolik dan hemodinamik. Seara praktis, ini berarti

menurunkan glukosa darah yang memadai dan kontrol hipertensi. Adapun treatment

untuk nefropati diabetik dibagi ke dalam kelompok pembahasan sebagai berikut (Lim.,

2014) :

2.4.5.1. Kontrol Glikemik

Kontrol glikemik yang baik efektif dalam menurunkan komplikasi

mikrovaskular dari diabetes. Suatu studi DCCT yang mencakup 1,365 pasien DM tipe

1 dan normoalbuminuria menunjukkan bahwa setelah hampir 10 tahun, pasien dengan

kontrol glukosa intensif memiliki insiden yang lebih rendah untuk terjadinya

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

31

mikroalbuminuria dan makroalbuminuria. Penelitian lain pada penderita dengan

diagnose awal DM tipe 2 yang mendapatkan perawatan glukosa intensif cenderung

tidak berkembang menjadi gagal ginjal. Pada penelitian yang membandingkan HbA1C

pada pasien DM tipe 2, menunjukkan pasien dengan terapi intensif (mean HbA1C ≤

6,5%) juga menurunkan insiden terjadinya nefropati dibandingkan dengan kontrol

standar (mean HbA1C 7,3%) (Lim, 2014).

2.4.5.2. Antihipertensi

Pada sebuah penelitian rertrospektif, dinyatakan bahwa ARB (Losartan dan

Telmisartan) lebih efektif dalam menunda perkembangan nefropati diabetik dan juga

dalam memberikan efek renoprotektif jika dibandingkan dengan ACE inhibitor

(Ramipril). Selain itu, ARB juga menurunkan tekanan darah sistolik dan albuminuria

bila dibandingkan dengan ACE inhibitor (Ramipril) (Pathak dan Dass, 2015).

2.4.5.2.1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

ACEI memiliki track record yang kuat dalam memperlambat perkembangan penyakit

pada DM tipe 1 dan DM tipe 2. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ACEI adalah

Benazepril, Captopril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril, Moexipril, Perindopril,

Quinapril dan Ramipril. Pada tahun 1990-an, captopril menunjukkan kemampuan

inhibitor ACE dalam mengurangi perkembangan albuminuria dan penurunan fungsi

ginjal pada penderita DM tipe 1, independen dari penurunan tekanan darah. Pada

sebuah Collaborative Study Group trial pada 409 pasien DM tipe 1, terapi captopril

mengurangi risiko dua kali lipat dari kreatinin serum sebesar 48% dan mengurangi hasil

gabungan dari kematian, dialysis dan transplantasi sebesar 50% dibandingkan dengan

placebo. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa remisi berkelanjutan nephrotic-range

proteinuria adalah mungkin dengan ACEI (Lim, 2014).

2.4.5.2.2. Angiotensin Receptor Blocker

Obat-obat yang termasuk dalam golongan ARB adalah Candesartan, Eprosartan,

Irbesartan, Losartan, Omesartan, Telmisartan dan Valsartan. Dalam percobaan IDNT,

1,715 pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan nefropati secara random diberikan terapi

irbesartan, amlodipine atau placebo. Irbesartan menurunkan resiko ESRD atau

doubling serum kreatinin dengan 20% - 30% dibandingkan dengan amlodipine atau

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

32

placebo. Pada percobaan lain, losartan menurunkan resiko ESRD atau doubling serum

kreatinin 25% - 28% dibandingkan dengan placebo. Seperti studi penggunaan captopril

pada DM tipe 1, penurunan level albuminuria dihubungkan dengan penurunan resiko

ESRD. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa olmesartan lebih efektif dalam

menunda onset mikroalbuminuria dibandingkan dengan placebo. Namun, olmesartan

hanya sedikit menurunkan tekanan darah dan terdapat tingkat yang lebih tinggi dari

kejadian kardiovaskular fatal pada pasien dengan riwayat penyakit arteri koroner (Lim,

2014).

2.4.5.3. Anti-lipid Agent

Pada sebuah penelitian pada pasien DM tipe 2, level apolipoprotein B dan

kolesterol HDL adalah faktor risiko independen untuk progresi yang mengarah ke

nefropati dalam 7 tahun follow up. Menurut data Joslin Diabetes Center dari 439 DM

tipe 1 juga menunjukkan bahwa kadar kolesterol tinggi (>220 mg/dL) dikaitkan dengan

perkembangan nefropati diabetik. Saat ini, obat golongan statin sudah

direkomendasikan untuk nefropati diabetik di atas usia 40 tahun, terlepas dari tingkat

lipid dasar mereka. Hal ini terutama untuk kepentingan kardiovaskular daripada

penyakit ginjal (Lim, 2014).

2.4.5.4. Transplantasi

Transplantasi pankreas / ginjal simultan adalah treatment yang efektif untuk

penderita DM tipe 1 dengan ESRD, dengan sebagian besar mencapai insulin

independence dan mencegah kekambuhan nefropati diabetik pada allograft. Pada

pasien dengan CKD setelah 10 tahun transplantasi pankreas saja, pasien dengan

normoglikemia berkelanjutan menunjukkan penurunan albuminuria dan pembalikan

lesi nefropati diabetik pada biopsi serial, termasuk regresi penebalan membran basal

glomerulus dan deposisi matriks mesangial. Beberapa manfaat tersebut dapat

diimbangi dengan fibrosis interstisial fibrosis dan arteriol hyalinosis karena

penggunaan calcineurin inhibitor (misalnya, siklosporin). Namun, perlu dicatat bahwa

remodeling turbulointerstitial pada 10 tahun telah diperbaiki beberapa deposisi kolagen

interstitial dicatat pada 5 tahun, meskipun perubahan vaskular tidak terpengaruh (Lim,

2014).

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

33

Selain itu, terdapat beberapa rekomendasi terapi berdasarkan bukti (evidence

based) oleh ADA (American Diabetes Association) sebagai berikut:

Tabel II.5 Rekomendasi terapi untuk nefropati diabetik

Rekomendasi Terapi Evedence

Level

Optimalkan kontrol glukosa untuk mengurangi risiko atau memperlambat

perkembangan penyakit Diabetic Kidney Disease A

Optimalkan kontrol tekanan darah (< 140/90 mmHg) untuk mengurangi

risiko atau memperlambat perkembangan penyakit Diabetic Kidney Disease A

Untuk pasien dengan Diabetic Kidney Disease nondialysis-dependent,

asupan protein harus 0,8 g/kg berat badan per hari. Untuk pasien yang

menjalani dialysis, asupan protein dengan tingkat yang lebih tinggi harus

dipertimbangkan.

A

Baik ACE inhibitor atau ARB direkomendasikan untuk terapi pada pasien

yang tidak hamil dengan diabetes dan peningkatan ekskresi albumin dalam

urin (30-299 mg/hari)

B

Baik ACE inhibitor atau ARB sangat direkomendasikan untuk pasien

dengan ekskresi albumin dalam urin ≥ 300 mg/hari dan/atau taksiran GFR

< 60 mL/min/1,73 m2

A

Monitoring secara periodik serum kreatinin dan kadar kalium untuk

mengetahui adanya peningkatan kreatinin atau perubahan pada kadar

kalium ketika ACE inhibitor, ARB atau diuretik digunakan.

E

Monitoring secara berkelanjutan rasio albumin-kreatinin urin pada pasien

dengan albuminuria yang diterapi dengan ACE inhibitor atau ARB adalah

hal yang rasional untuk menilai respon terhadap terapi dan perkembangan

penyakit Diabetic Kidney Disease

E

ACE inhibitor dan ARB tidak direkomendasikan untuk prevensi primer

pada DKD pada pasien dengan diabetes yang memiliki tekanan darah

normal, rasio albumin kreatini normal (< 30 mg/g) dan taksiran GFR yang

normal.

B

Ketika taksiran GFR < 60 mL/min/1,73 m2, mengevaluasi dan mengelola

potensi komplikasi DKD E

Pasien harus dirujuk untuk evaluasi untuk terapi renal replacement jika

mereka memiliki taksiran GFR < 30 mL/min/1,73 m2. A

Segera merujuk ke dokter berpengalaman dalam perawatan penyakit ginjal

untuk ketidakpastian tentang etiologi penyakit ginjal, masalah manajemen

yang sulit dan perkembangan penyakit ginjal yang cepat

B

(American Diabetes Association., 2016)

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

34

2.5. Albumin

2.5.1. Informasi Umum dan Sifat Biologis Albumin

Yang dimaksud dengan albumin dalam skripsi ini adalah albumin (human) 5%,

albumin (human) 20%, albumin (human) 25%. Sinonim albumin adalah human

albumin dan normal human serum albumin. Albumin adalah protein plasma yang

paling banyak dalam darah manusia (35-50 g/L serum manusia) dengan berat molekul

66,5 kDa. Albumin disintesis dalam hepatosit hati dengan ~ 10-15 g albumin

diproduksi dan dilepaskan ke ruang vaskuler setiap harinya. Sirkulasi di dalam darah

diproses untuk jangka ~ 19 hari. Waktu paruh yang panjang ini diperkirakan terutama

karena neonatal Fc receptor (FcRn)-mediated recycling, dan pembebasan

Megalin/Cubilin-complex dari klirens ginjal. Penghentian sirkulasi biasanya

disebabkan oleh katabolisme albumin di organ seperti kulit dan otot. Modifikasi

albumin, misalnya dengan glikosilasi non-enzimatik, diperkirakan memicu degradasi

lisosomal. Albumin berisi beberapa kantong ikatan hidropobik dan secara alami

berfungsi sebagai transporter dari berbagai ligan yang berbeda seperti asam lemak dan

steroid serta obat-obatan yang berbeda. Selain itu, permukaan albumin bermuatan

negatif sehingga sangat larut dalam air (PPARSDS, 2003 dan Larsen et al, 2016).

2.5.2. Ekivalensi Albumin dengan Plasma

Berikut adalah nilai ekivalensi albumin dengan plasma (PPARSDS, 2003)

1) 25 g Albumin ekivalen osmotik dengan lebih kurang 2 unit (500 ml) plasma

beku segar (fresh frozen plasma).

2) 100 ml albumin 25% sama dengan yang dikandung oleh protein plasma dari

500 ml plasma atau 2 unit darah utuh (whole blood).

2.5.3. Penggunaan Albumin Dalam Klinik

Albumin dipakai sebagai terapi suplemen pada kejadian hipoproteinemia (yang

disebabkan oleh penurunan produksi maupun oleh peningkatan destruksi/kehilangan

albumin) yang membahayakan jiwa penderita akibat terjadinya gangguan

keseimbangan cairan/tekanan onkotik dan rangkaian penyakit atau kelainan yang

ditimbulkannya. Keadaan hipoproteinemia (hipoalbuminemia) saja bukan merupakan

indikasi pemberian albumin. Hal ini perlu dipertimbangkan sebelum memberikan

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

35

albumin, pada keadaan seperti: multitrauma dan sakit kritis, luka bakar, gangguan

peredaran darah otak, preeklamsia/eklamsia, asites, sindroma nefrotik, gagal ginjal

dengan asites, penyakit ginjal anak, penyakit hati anak, hipotensi saat hemodialisa,

pankreatitis akut (PPARSDS, 2003).

2.5.4. Fungsi dan Penggunaan Albumin

Fungsi fisiologis utama Albumin adalah membantu mempertahankan tekanan

osmotik koloid darah, namun beberapa fungsi lain juga telah ditemukan. Fungsi

tersebut termasuk sebagai protein transpor dari beberapa macam substansi, sebagai

antioksidan dan antiinflamasi. Berdasarkan fungsi tersebut, albumin dapat digunakan

pada beberapa kondisi klinis seperti pasien dengan sirosis dan pasien dengan End-stage

Liver Disease, sindroma nefrotik, kondisi luka bakar yang berat (Shargel et al., 2005

dan Lee, 2012).

Berkaitan dengan ikatan obat dengan protein, sebagian besar obat terikat protein

plasma secara reversibel sampai tingkat tertentu. Apabila seorang pasien mempunyai

konsentrasi protein plasma rendah, maka untuk setiap pemberian dosis obat,

konsentrasi, obat bioaktif bebas kemungkinan lebih tinggi dari yang diharapkan.

Konsentrasi protein plasma dikendalikan oleh sejumlah variable yang meliputi (1)

sintesis protein; (2) katabolisme protein; (3) distribusi albumin di antara ruang

intravaskuler dan ekstravaskuler dan (4) eliminasi protein plasma yang berlebihan

terutama albumin (Shargel et al., 2005).

Kekurangan albumin dalam serum dapat mempengaruhi pengikatan dan

pengangkutan senyawa-senyawa endogen dan eksogen, termasuk obat-obatan, karena

distribusi obat ke seluruh tubuh pengikatannya melalui fraksi albumin (Nugroho,

2012). Kurangnya albumin dari rentang normal disebut hipoalbuminemia.

Hipoalbuminemia adalah kondisi dimana level albumin dalam serum < 35 g/L

(Dziedzic et al., 2007). Hipoalbuminemia seringkali ditangani dengan pemberian

human albumin (HA). HA secara luas digunakan untuk penggantian volume atau

koreksi hipoalbuminemia. Peran HA masih kontroversial dan penggunaannya lebih

didasarkan pada kebiasaan dari pada dasar ilmiah (Boldt, 2010).

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

36

2.5.5. Struktur, domain dan binding sites Albumin

Struktur keseluruhan tiga dimensi HAS yang ditunjukkan dengan X-ray

crystallography adalah berbentuk hati (Gambar 2.8). Secara struktural, albumin terdiri

dari tiga domain homolog I, II dan III. Setiap domain berisi dua sub-domain (A dan B),

yang masing-masing berisi 4 dan 6 α-heliks. Dua situs utama ikatan obat diberi nama

Sudlow site I dan Sudlow site II. Situs I, diposisikan di subdomain IIA, mengikat obat

antikoagulan warfarin secara reversibel. Sudlow site II berada di subdomain IIIA. Situs

tersebut dikenal sebagai benzodiazepine dan diazepam binding site yang berikatan

dengan afinitas tinggi. Situs I dan situs II adalah binding sites utama meskipun telah

ditemukan beberapa obat terikat ditempat lain dalam protein. Selain itu, obat dan

metabolit obat juga dapat berikatan secara kovalen dengan albumin (Larsen et al.,

2016).

Albumin mengandung 35 residu sistein yang 34 membentuk jembatan disulfida

secara internal pada struktur. Hal ini berkontribusi pada stabilitas albumin yang tinggi.

Ketersediaan residu sistein bebas pada posisi 34 (cys34) untuk ikatan kovalen obat

adalah fitur yang menarik untuk pengiriman obat karena mengikat gugus tiol yang

bebas (-SH) memperhitungkan 80% tiol dalam plasma. Cys34 terletak pada permukaan

luar dari albumin jauh dari pusat ikatan obat interior utama dan oleh karena itu, menjadi

fokus untuk konjugasi kovalen obat (Larsen et al., 2016).

Gambar 2.8 Struktur kristal HAS (Human Serum Albumin) (Larsen et al, 2016)

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

37

2.5.6. Tinjauan Fisikokimia Larutan Albumin Manusia

Menurut Farmakope Indonesia Edisi V, larutan albumin adalah larutan protein

dalam air yang diperoleh dari plasma, serum atau plasenta normal dan segera

dibekukan setelah dikumpulkan. Plasma, serum atau plasenta diperoleh dari donor

sehat. Sedapat mungkin disertai pemeriksaan klinik, uji laboratorium dan telah

diketahui riwayat mediknya, bebas dari infeksi yang dapat tertular melalui transfusi

darah atau derivate darah. Pemeriksaan dan pengujian ditetapkan oleh instansi yang

berwenang, terutama uji antigen hepatitis B (HbsAg) permukaan dan antibodi HIV

dengan metode yang sensitif dan memberikan hasil negatif terhadap kedua hal tersebut

(Kemenkes RI, 2013).

Larutan Albumin tersedia sebagai larutan pekat mengandung 15,0% - 25,0%

protein total atau sebagai larutan isotonik mengandung 4,0% - 5,0% protein total.

Untuk menghindari pengaruh pemanasan dapat ditambahkan stabilisator yang sesuai

seperti natrium kaprilat dengan kadar tertentu, tapi tidak boleh ditambahkan pengawet

yang bersifat antimikroba pada setiap tahap pembuatan. Larutan disterilkan dengan

penyaringan dan dibagikan secara aseptik ke dalam wadah steril dan ditutup kedap

untuk mencegah kontaminasi mikroba. Larutan dalam wadah akhir dipanaskan pada

suhu 59,5o – 60,5o selama 10 jam. Kemudian diinkubasi pada suhu 30o-32o selama tidak

kurang dari 14 hari atau pada suhu 20o-25o selama tidak kurang dari 4 minggu dan

amati secara visual adanya kontaminasi mikroba (Kemenkes RI, 2013).

Larutan albumin memiliki pemerian cairan jernih agak kental; tidak berwarna

hingga berwarna kekuningan tergantung kadar protein dengan pH adalah antara 6,7 dan

7,3. Sediaan disimpan pada suhu 2o – 25o terlindung dari cahaya Bila disimpan pada

suhu 2o – 8o diharapkan memenuhi syarat selama 5 tahun sejak sediaan dipanaskan

pada suhu 60,0o selama 10 jam. Bila disimpan pada suhu tidak lebih dari 25o diharapkan

memenuhi syarat selama 3 tahun sejak sediaan dipanaskan pada suhu 60,0o selama 10

jam. Bila telah terbuka harus dipakai sebelum 4 jam, bila tersisa harus dibuang

(PPARSDS., 2003 dan Kemenkes RI, 2013).

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

38

2.5.7. Tinjauan Farmakokinetika Albumin

Albumin adalah protein dengan berat molekul 65.000 – 69.000 Da yang disintesis

dalam hati dan merupakan komponen utama protein plasma yang bertanggung jawab

untuk ikatan obat reversibel. Dalam tubuh, albumin didistribusikan dalam plasma dan

cairan ekstravaskuler kulit, otot dan beberapa jaringan lain. Konsentrasi albumin dalam

cairan interstisial kurang lebih 60% dari yang ada dalam plasma. Waktu paruh

eliminasi albumin adalah 17 – 18 hari. Secara normal konsentrasi albumin

dipertahankan pada kadar yang relatif konstan kira-kira 3,5 – 5,5 % (b/v). Albumin

bertanggung jawab untuk mempertahankan tekanan osmotik darah dan untuk transpor

bahan-bahan endogen dan eksogen. Sebagai suatu protein transpor, albumin

membentuk kompleks dengan asam lemak bebas (FFAs), bilirubin, berbagai hormon

(seperti kortison, aldosteron, dan tiroksin), triptopan, dan senyawa-senyawa lain.

Beberapa obat asam lemah (anionik) mengikat albumin dengan ikatan elektrostatik dan

hidrofobik. Obat-obat asam lemah seperti salisilat, fenilbutazon dan penisilina terikat

kuat dengan albumin. Akan tetapi, kekuatan ikatan obat berbeda untuk masing-masing

obat (Shargel et al., 2005).

2.5.8. Efek Samping Pemberian Albumin

Tabel II.6 Efek Samping Pemberian Albumin

Efek Samping Keterangan

Depresi

miokardial

Disebabkan karena albumin mengikat kalsium serum, sehingga

kalsium total meningkat tetapi kalsium serum rendah (ratio kalsium

serum : total menurun), dan hal ini yang menyebabkan kegagalan

jantung dan edema paru.

Hipotensi

Pada pemberian albumin dan plasma protein fraction yang cepat

dapat terjadi hipotensi, kejadian hipotensi oleh PPF jauh lebih besar

daripada oleh albumin.

Hipervolemia

Pemberian albumin intravena yang cepat harus dimonitor terjadinya

hypervolemia dari tanda klinisnya (edema paru, gagal jantung),

terutama pada pasien yang volume sirkulasinya normal atau

meningkat.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

39

Lanjutan Tabel II.6

Hipersensitivitas

Gejala alergi: panas, menggigil, urtikaria, tensi turun, mual, muntah

Insiden: rendah

Episode: dapat terjadi 1-2 jam hingga 1-5 hari pasca pemberian

albumin.

Ginjal

Pemberian albumin pada renjatan hipovolemik menyebabkan retensi

Na. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan RBF dan perfusi

Na ginjal, sedangkan GFR menurun. Hal ini akan menurunkan filtrasi

Na dan pelepasan Na di nefron distal. Klirens Na akan sangat

menurun, dengan akibat terjadi peningkatan Na dan reabsorbsi air

bebas, peningkatan CVP dan PAWP dan gangguan oksigenasi,

hingga memerlukan tambahan diuretic dan dukungan terhadap

miokardium.

(PPARSDS., 2003)

2.5.9. Keterangan Penggunaan Albumin

Tabel II.7 Keterangan Penggunaan Albumin

Penggunaan

Albumin Keterangan

Kekuatan sediaan di

pasaran

5 % (0,05 g/ml) , 20 % (0,20 g/ml), 25 % (0,25 g/ml) (MIMS.,

2012 ISO., 2013-2014)

IV administration Hanya untuk IV, digunakan dalam 4 jam setelah vial dibuka,

larutan yang telah dibuka lebih dari 4 jam harus dibuang.

Albumin 25% bisa diberikan tanpa dilarutkan atau dengan

dilarutkan pada NS (PPARSDS., 2003)

Dosis dan Laju infusi

(infusion rate)

Rekomendasi laju infus secara umum adalah 2 ml/menit dalam

4 jam (Zhou et al., 2013).

Kontraindikasi Riwayat alergi terhadap albumin, anemia berat, gagal jantung,

volume intravaskuler yang normal atau meningkat, sindroma

nefrotik kronik (albumin tidak memperbaiki edema kronik

maupun lesi yang mendasari) (PPARSDS., 2003)

Rumus perhitungan

kebutuhan albumin

Albumin yang dibutuhkan (g) = (albumin normal – albumin

pasien) x BB x 0,8 (PPARSDS., 2003)

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

40

2.5.10. Sediaan Albumin yang beredar di Indonesia

Tabel II.8 Contoh sediaan slbumin di Indonesia

Nama Dagang Kekuatan Kemasan Produsen

Albapure 20 % 50 ml, 100 ml Dexa Medica

CSL Behring

Albuminar 20 % 100 ml Dexa Medica

Albuminar-25 25% 50 ml, 100 ml Dexa Medica

CSL Behring

Albumin-Human 20% 20 % 50 ml, 100 ml Kimia Farma

Albutein 20 %

25 %

50 ml, 100 ml

50 ml, 100 ml Tempo Scan Pacific

Cealb 20 % 50 ml, 100 ml Graha Farma

Farmin 20 % 50 ml, 100 ml Fahrenheit

Human Albumin 20%

Behring 20 % 50 ml, 100 ml

Dexa Medica

ZLB Behring

Octalbin 20 %

25 %

50 ml, 100 ml

50 ml, 100 ml Kalbe Farma

Plasbumin-20 20 % 50 ml, 100 ml Dipa Pharmalab

Intersains

Plasbumin-25 25 % 20 ml, 50 ml,

100 ml

Dipa Pharmalab

Intersains

Pasbumin-5 5 % 50 ml, 250 ml Dipa Pharmalab

Intersains

Robumin 20 %

25 %

50 ml, 100 ml

50 ml Novell Pharma

Zenalb 20 % 50 ml, 100 ml Ikapharmindo

(MIMS, 2012 dan ISO, 2013-2014)

2.6. Penggunaan Kombinasi Albumin dan Furosemide Pada Penyakit Ginjal

Telah diketahui bahwa diuretik dan albumin akan menginduksi diuresis dan

natriuresis pada pasien dengan edema dan hipoalbuminemia. Beberapa penelitian telah

menunjukkan bahwa infus albumin saja menginduksi terjadinya diuresis dan natriuresis

yang kemungkinan dengan meningkatkan volume intravaskular dengan penekanan

sistem hormonal. Namun respon terhadap albumin belum diamati secara seragam.

Diuretik dosis tinggi saja atau dalam kombinasi dengan diuretik lain dapat memiliki

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

41

beberapa efek metabolik selain ototoksisitas. Untuk alasan ini, banyak dokter meyakini

untuk menggabungkan loop diuretik dosis rendah sampai sedang dengan albumin

untuk menginduksi diuresis, natriuresis dan penurunan berat badan (Duffy et al., 2015).

Berdasarkan PPARSDS 2003, pada pasien dengan nefrotik sindrom albumin

dikombinasikan dengan furosemide (20 ml albumin 20% untuk 60 mg furosemide,

dicampur). Pada pasien CKD dengan hipoalbuminemia, kombinasi furosemide dan

albumin memiliki efikasi superior jangka pendek yang lebih dibandingkan dengan

furosemide saja dalam meningkatkan diuresis air dan natrium (Phakdeekitcharoen dan

Boonyawat, 2012). Loop diuretik seperti furosemide terikat kuat dengan albumin

(>90%) dan karena itu furosemide tidak disaring di glomerulus. Namun, disekresi di

tubulus proksimal melalui transporter asam organik ke dalam lumen. Pada pasien

dengan hipoalbuminemia (konsentrasi albumin serum <2 g/dL), furosemide kurang

terikat dengan albumin dan obat bebas berdifusi ke dalam jaringan dengan peningkatan

resultan volume distribusi. Hal ini menyebabkan kurangnya pengiriman ke tubulus

proksimal untuk sekresi ke dalam lumen. Dengan tujuan untuk mengirimkan jumlah

substansial obat ke tubulus proksimal, pencampuran furosemide dengan albumin

diasumsikan untuk meningkatkan pengiriman untuk sekresinya (Duffy et al., 2015).

Dengan alasan yang sama berdasarkan penelitian yang lain menyatakan bahwa setelah

pemberian resusitasi cairan pertama, diberikan infus albumin 20% (0,2 g/ml) iv diikuti

dengan furosemide setelah pemberian infus albumin (Marzuillo et al., 2016).

2.7. Alternatif Pengganti Albumin

Hipoalbuminemia menyebabkan 90% pasien rawat inap di rumah sakit lebih

lama di rumah sakit dibandingkan pasien dengan status gizi yang baik. Upaya untuk

mengobati hipoalbuminemia adalah pemberian Serum Albumin Manusia (HSA), yang

sampai saat ini masih merupakan pilihan yang mahal. Ekstraksi albumin ikan gabus

(Channa striatus) untuk memproduksi konsentrat protein albumin diharapkan menjadi

alternatif sumber albumin yang lebih murah untuk penggunaan klinis (Mustafa et al.,

2012 dan Asfar et al., 2014).

Ekstrak ikan gabus (Channa striatus) secara signifikan meningkatkan kadar

albumin pada kondisi hipoalbuminemia dan mempercepat proses penyembuhan luka

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

42

pada pasien pasca operasi. Potensi ekstrak dalam sintesis jaringan, penyembuhan luka,

dan menghambat produksi radikal bebas yang penting dalam pengobatan regeneratif

serta agen anti-penuaan. Topik ini baru-baru ini sebagian besar dibahas, termasuk

dalam "The 7 Konferensi Asia Pasifik Anti-Aging dan Regenerative Medicine", di Bali

Oktober 2008. Ekstrak ikan gabus mengandung protein dengan albumin sebagai fraksi

mayor, lemak, glukosa dan beberapa mineral (Zn, Cu dan Fe) (Gambar 2.9) (Mustafa

et al., 2012).

Gambar 2.9 Komposisi gizi ekstrak ikan gabus dalam 100 ml

2.8. Keto/Amino Acid

Akibat pertumbuhan eksponensial dari nefropati diabetik (sebagai salah satu

penyebab utama penyakit ginjal tahap akhir), strategi alternatif konvensional- termasuk

terapi keto acid- untuk penatalaksanaan nefropati diabetik diindikasikan secara mutlak.

Terapi keto/acid sebagai bagian dari program penatalaksanaan pada pasien nefropati

diabetik berdasarkan literatur yang dipublikasikan dianggap sepenuhnya aman dan

memberikan efek. Adapun komposisi oral keto/amino acid dapat dilihat pada Tabel

II.9. Sebuah studi prospective, randomized controlled clinical study mengenai

perbandingan efek suplemen diet rendah protein alpha-keto/amino acid dan diet

diabetes pada pasien nefropati diabetik menemukan bahwa alpha-keto/amino acid

dapat mengurangi proteinuria lebih efektif sekaligus memperbaiki fungsi ginjal dan

status gizi pada pasien nefropati diabetik (Qiu et al., 2012). Keto/amino acid dapat

memperlambat perkembangan insufisiensi ginjal, mengurangi proteinuria, dan

meningkatkan sensitifitas insulin (Lin, 2009 dan Aguirre, 2009). Selain itu, keto/amino

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Fisiologi Pankreaseprints.umm.ac.id/42552/3/jiptummpp-gdl-renitania2-50155-3-babii.pdf · sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen,

43

acid aman digunakan, tidak menyebabkan malnutrisi dan dapat memperbaiki kelainan

metabolik yang terkait dengan insufisiensi ginjal (Aparicio, 2005).

Tabel II.9. Komposisi oral keto/amino acid

No Komposisi Jumlah

1 (RS)- -3-methyl-2-oxo-valerate

(DL-a-isoleucine ketoanalog) the calcium salt 67 mg

2 (DL-Izolosin a-ketoanalogu) kalsiyum tuzu 4-

methyl-2-oxo-valeric acid

(A-ketoanalog Leucine), calcium salt

101 mg

3 2-oxo-3-phenyl propionic acid

(A-ketoanalog Phenylalanine), calcium salt 68 mg

4 3-methyl-2-oxo-butyric acid

(A-ketoanalog Valine), calcium salt 86 mg

5 RS-2-hydroxy-4-(methylthio)-butyric acid

(Alpha-hydroxy analog of Methionine),

calcium salt

59 mg

6 L-lysine acetate

(75 mg L-lysine-eq) 105 mg

7 L-threonine 53 mg

8 L-tryptophan 23 mg

9 L-histidine 38 mg

10 L-tyrosine 30 mg

11 Total nitrogen content for each tablet 36 mg

12 The amount of calcium for each tablet 1.25 mmoL = 50 mg

(Sarikaya et al., 2015)