BAB II TINJAUAN PUSTAKA · 2020. 3. 10. · Budaya media merupakan sebuah ketergantungan terhadap...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA · 2020. 3. 10. · Budaya media merupakan sebuah ketergantungan terhadap...
-
10
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communications
berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata
communis yang berarti sama; sama disini artinya sama makna atau sama
arti (Effendi, 2007:9). Menurut Harold Laswell cara yang baik untuk
menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut: who (siapa), says what (mengatakan apa), in which
channel (dengan saluran apa), to whom (kepada siapa), with what effect
(dengan pengaruh bagaimana) (Mulyana, 2005:62). Jadi berdasarkan
paradigm Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan
oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan
efek tertentu.
Jika kita berada dalam situasi komunikasi, maka kita memiliki
kesamaan terhadap orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti
simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. Seperti yang
dinamakan Wilbur Schramm yaitu frame of reference atau dapat diartikan
sebagai kerangka acuan, yaitu paduan pengalaman dan pengertian. Selain
itu Schramm juga mengatakan bahwa field of experience atau bidang
pengalaman merupakan faktor yang sangat penting untuk terjadinya
komunikasi. Apabila pengalaman komunikator tidak sama dengan bidang
pengalaman komunikan, maka timbul kesukaran untuk mengerti satu sama
lain dan situasi akan menjadi tidak komunikatif.
Study Joseph A. DeVito, dalam bukunya Communicology,
membagi komunikasi menjadi empat macam bagian yaitu komunikasi
antarpribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, dan
komunikasi massa (Cangara, 2006:29). Komunikasi massa adalah jenis
komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar,
-
11
heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan
yang sama dapat di terima secara serentak dan sesaat (Rakhmat,
2005:189).
Sedangkan menurut Bittner (Ardianto, 2004:3) komunikasi massa
yakni pesan yang di komunikasikan melalui media massa pada sejumlah
orang (mass communication is messages communication through a mass
medium to a large number of people). Jadi pada dasarnya komunikasi
massa bertujuna untuk mempengaruhi orang lain menggunakan berbagai
media yang ada. Studi tentang media massa termasuk dalam bidang ilmu
pengetahuan yang lebih luas berkenaan dengan komunikasi manusia.
Bidang ilmu pengetahuan yang luas tersebut dapat dibagi menurut
beberapa pembagian. Salah satunya berdasarkan peringkat organisasi
sosial yang merupakan tempat berlangsungnya komunikasi. Dari
perspektif tersebut, komunikasi mencakup sejumlah masalah dan prioritas
tertentu, serta memiliki serangkaian kenyataan dan teori tersendiri.
Komunikasi massa hanya merupakan salah satu proses komunikasi yang
berlangsung pada peringkat masyarakat luas yang identifikasinya
ditentukan oleh ciri khas institusionalnya (gabungan antara tujuan,
organisasi, dan kegiatan yang sebenarnya).
2.1.1 Globalisasi budaya dan terbentuknya budaya media
Globalisasi merupakan proses di mana antar individu,
antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi,
bergantung, terkait, dan saling mempengaruhi satu sama lain
yang melintasi batas negara. Globalisasi juga dapat di artikan
sebagai penyusun ruang dan waktu, dimana jarak dalam
interaksi untuk motif-motif apapun menjadi tidak berarti.
Menurut Wijendaru, globalisasi yang terjadi sejak akhir
abad ke-20 mengharuskan masyarakat dunia bersiap-siap
menerima masuknya pengaruh budaya barat terhadap seluruh
aspek kehidupan. Aspek kebudayaan menjadi isu penting
-
12
globalisasi karena budaya pop (film, musik, pakaian, dan
sebagainya) mengusung nilai-nilai dan ideologi barat seperti
pleasure, hiburan, gaya hidup modern (Muharrominingsih,
2006:49). Berbicara mengenai globalisasi yang hanya
menekankan bahwa Amerikanisasi, sepertinya hanya
merupakan wacana perdebatan lama. Di Asia khususnya,
masyarakat mulai bosan dengan budaya popular Amerika yang
notabene bertahun-tahun menguasai pasar, sehingga muncullah
budaya global alternatif yang tidak di dominasi oleh budaya
luar tetapi mulai menyisipkan budaya-budaya ketimuran atau
budaya Asia.
Munculnya budaya global alternatif ini disebabkan
kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya seperti
tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat
individu. Peneliti imperialsime budaya memang lebih
menekankan diri pada unsur unsur makro. Morley juga
mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya
mempertimbangkan secara eksklusif arus komunikasi
internasional searah dari Amerika ke seluruh belahan dunia
lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat counter flow
exporter program televisi dari pelbagai belahan dunia
(Baddrudin, 2006:77).
Korea merupakan salah satu contoh sukses exporter
program televisi, khususnya wilayah Asia, bahkan sudah
merambah ke wilayah Eropa dan Amerika. Tidak bisa
dipungkiri, Korea pada abad ke 21 dapat dikatakan berhasil
menjadi saingan berat Hollywood dan Bollywood dalam
melebarkan sayap budayanya ke seluruh dunia internasional
melalui tayangan hiburannya seperti film, drama, dan musik.
-
13
Budaya pop Korea dengan segala kemajuan yang
dialaminya tetap mengemas nilai-nilai Asia didalamnya. Hal
inilah yang menjadi daya Tarik tersendiri, terutama bagi
masyarakat Asia yang merasa ada kedekatan tersendiri saat
menyaksikannya. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi
yang semakin memudarkan nilai-nilai budaya tradisional,
tayangan Korea secara konsisten menampilkan budaya Korea
dan Asia, seperti sopan santun, penghormatan kepada orang
yang lebih tua, pengabdian pada keluarga, nilai kolektivitas
atau kebersamaan, serta nilai kesakralan cinta dam pernikahan.
Nilai-nilai ini ditampilkan secara unik dalam situasi kehidupan
sehari-hari masyarakat Korea modern yang telah mengalami
kemajuan teknologi dan ekonomi yang pesat.
Didalam wilayah yang telah lama didominasi oleh
budaya popular dari Hollywood, budaya pop dari Seoul ini
menjadi fenomena yang unik dan mengejutkan. Para jurnalis
dari berbagai media dari berbagai belahan dunia kini ramai
membicarakan fenomena ini. Sementara para akademisi dan
peneliti mulai membuat teori-teori ilmiah yang digunakan
untuk menjelaskan gelombang tersebut. Memang tidak terduga,
Korea Selatan yang pada satu dasawarsa lalu tidak terpengaruh
dalam bidang industri budaya populer dan bahkan berposisi
marginal dalam bidang tersebut, kini telah berhasil menjadi
salah satu negara cultural exporter di Asia. Korea telah mejadi
sebuah negara dengan industri budaya yang kuat, mampu
mengekspor produk-produk budaya populernya ke luar negeri
dan menyebarkan pengaruh kultural.
Tidak bias dipungkiri media menjadi pelaku utama
globalisasi budaya. Sebuah budaya media telah hadir, dimana
citra, suara, dan lensa mampu menghasilkan bahan yang
-
14
digunakan orang untuk membangun identitas pribadi., seperti
yang diungkapkan Kellner dalam bukunya Budaya Media:
“Radio, televisi, film dan berbagai bentuk produk lain
dari industri budaya memberikan contoh tentang makna dari
menjadi seorang pria atau wanita, dari kesuksesan atau
kegagalan, berkuasa atau tidak berkuasa. Budaya juga
memberikan bahan yang digunakan orang banyak untuk
membangun naluri tentang kelas mereka, tentang etnis dan ras,
berkebangsaan, seksualitas, tentang kita dan mereka. Budaya
media membentuk apa yang dianggap baik atau buruk, positif
atau negatif, bermoral atau hidup biadap” (Kellner, 2010)
Budaya media merupakan sebuah ketergantungan
terhadap media. Media menempati posisi primer dalam
kehidupan manusia. Orang menghabiskan banyak waktu
mendengarkan radio, menonton televisi, pergi menonton
bioskop, menikmati musik, membaca majalah dan koran, serta
bentuk-bentuk budaya media yang lainnya. Maka budaya
media yang mendominasi kehidupan sehari-hari sebagai latar
belakang yang selalu hadir dan menggoda kita.
2.1.2 Media massa dan penggemar budaya pop Korea
Kehidupan masyarakat diawal abad ke 21 diwarnai
dengan beragam cara manusia menerima dan menggunakan
teknologi. Salah satu bentuk teknologi yang mewarnai
kehidupan manusia dimasa sekarang adalah bentuk-bentuk
beragam alat yang dapat menjaring komunikasi antar manusia
diseluruh dunia yaitu media massa. Kehadiran media massa
sangat erat kaitanya dengan penyebaran budaya, karena melalui
media massa lah orang-orang kreatif punya tempat yang tepat.
Media massa dapat memperkaya masyarakat dengan
-
15
menyebarkan karya kreatif dari manusia seperti karya sastra,
musik, dan film (Vivian, 2008:505).
Budaya pop yang di produksi secara massa dan
dipublikasikan melalui media massa yang didalamnya
bersembunyi kepentingan-kepentingan kaum kapitalis maupun
pemerintah disebut budaya massa. Pertumbuhan budaya ini
berarti memberi ruang yang makin sempit bagi segala jenis
kebudayaan yang tidak dapat menghasilkan uang, yang tidak
dapat diproduksi secara massa (Strinati, 2007:12). Media massa
memiliki peranan penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai
tertentu dalam masyarakat. Hal ini tampak dalam salah satu
fungsi yang dijalankan media massa yaitu fungsi transmisi,
dimana media massa digunakan sebagai alat untuk mengirim
warisan sosial seperti budaya. Melalui fungsi transmisi, media
dapat mewariskan norma dan nilai tertentu dari suatu
masyarakat ke masyarakat lain.
Menurut Dominick, sebagai konsekuensi dari fungsi
transmisi ini, media massa memiliki kemampuan untuk
menjalankan peran ideologis dengan menampilkan nilai-nilai
tertentu sehingga menjadi nilai yang dominan. Fungsi ini
dikenal sebagai fungsi sosialisasi yang merujuk pada cara
orang mengadopsi perilaku dan nilai dari sebuah kelompok
(Setiowati, 2008:537).
Budaya pop Korea yang marak di Indonesia pada
mulanya ditujukan untuk menyaingi impor budaya luar ke
dalam Korea serta menambah pendapatan ekonomi negara,
namun karena pasar Asia ternyata potensial sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia, maka penyebaran
budaya pop Korea ini menjadi sarana untuk melanggengkan
kapitalisme Korea. Dengan semakin banyaknya penikmat
-
16
budaya pop Korea, maka akan memberikan dampak yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea sendiri.
Hal inilah yang dimanfaatkan kapitalis untuk memproduksi
budaya Korea secara massal di berbagai wilayah termasuk
Indonesia. Penyebaran budaya pop Korea yang begitu pesat
merupakan andil besar bagi para pemegang modal (kapitalis)
dan pemerintah Korea sendiri. Para pemegang modal
membiayai produksi misalnya tayangan hiburan Korea dan
penyebarluasannya. Sementara pemerintah sendiri mendukung
dengan pemberian modal bantuan bagi produksi tayangan
tersebut. Hal ini dilakukan untuk melanggengkan ideologi
Korea melalui tayangan hiburan agar Korea dapat dengan
mudah diterima di mata dunia.
2.1.3 Ciri-ciri budaya Populer
Ciri-ciri budaya populer; Tren, sebuah budaya yang
menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi
menjadi budaya populer; Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan
manusia yang menjaadi tren akhirnya diikuti oleh banyak
copycat-penjiplak. Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi
karya-karya lain yang berciri sama, sebagai contoh genre musik
pop (diambil dari kata popular) adalah genre musik yang notasi
nada tidak terlalu kompleks, lirik lagunya sederhana dan
mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah
pada tren; Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat
berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya
populer yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang
kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya,
akan bertahan-tahan seperti merek Coca-cola yang sudah ada
berpuluh-puluh tahun; Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya
populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi
-
17
industry yang mendukungnya.
(http://www.slideshare.net/andreyuda/media-dan-budaya-
populer)
2.2 Penelitian terdahulu
Penelitian tentang analisa gaya hidup anak muda yang meniru
budaya pop Korea, sudah banyak dilakukan. Penelitian yang telah
dilakukan oleh para peneliti terdahulu berada pada tema yang sama, yaitu
mengenai pengaruh budaya Korean Wave terhadap perubahan budaya
remaja. Pada bagian ini, peneliti berupaya mereview tiga sumber.
Pertama, Jurnal penelitian berjudul Analisa Gaya Hidup Remaja
Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea Melalui Televisi (Studi Pada
siswa SMA Negeri 9, Manado) yang dilakukan oleh Olivia M. Kaparang
(2013), mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sam Ratulangi.
Penelitian ini menjelaskan bahwa proses perkembangan dan pengimitasian
remaja terhadap budaya pop Korea semakin meningkat sejalan dengan
perkembangan teknologi dan informasi melalui media massa khususnya
televisi.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Modelling.
Inti dari teori ini adalah permodelan (modeling), dan permodelan inilah
yang merupakan salah satu langkah penting dari pembelajaran terpadu.
Pertama-tama seseorang akan melakukan pengamatan akan sikap,
perilaku, dan hasil dari perilaku orang lain tersebut yang kemudian akan ia
tiru (imitasi) sehingga orang tersebut akan dijadikan role model bagi
dirinya.
Proses pengimitasian para remaja ini, memperlihatkan terjadinya
sebuah pergeseran kekaguman terhadap budaya sendiri. Nampak dengan
jelas proses pergeseran budaya. Orang tua tidak mampu mengarahkan
mereka untuk tetap mengagumi dan mengimitasi budaya sendiri melainkan
-
18
mengizinkan anak-anak mereka mengimitasi budaya pop Korea dengan
cara berpakaian serta bergaya Korea.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan penulis
lakukan adalah, dalam penelitian ini penulis ingin lebih spesifik dengan
remaja yang meniru menggunakan fashion, kosmetik atau skin care ala
Korea.
Kedua, Jurnal penelitian yang berjudul Bentuk Budaya Populer
dan Konstruksi Perilaku Konsumen: Studi Terhadap Remaja yang
dilakukan oleh Melly Ridharyanthi (2014), seorang lulusan mahasiswa
Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Kebangsaan Malaysia. Dalam
penelitiannya, Ia menjelaskan bahwa perkembangan budaya Korean Wave
telah di bantu oleh media massa yang menyampaikan informasi apapun ke
seluruh dunia dengan cepat. Produk budaya Korea seperti musik, drama
dan film (produk pertelevisian), makanan, fashion, dan gaya hidup di
expos ke seluruh dunia sebagai bentuk globalisasi budaya populer. Segala
bentuk informasi mengenai budaya Korea dengan mudah diakses oleh
masyarakat khususnya para remaja.
Dalam penelitian ini, Melly mengungkapkan telah terjadi
pergeseran jati diri dan terkonstruknya remaja akibat konsumsi budaya
Korean Wave melalui media massa. Remaja menjadikan media massa
sebagai pemuas rasa ingin tahu secara terus-menerus- telah membentuk
suatu kegiatan konsumsi tertentu dan telah terkonstruksi prilaku terhadap
pengaruh budaya Korean Wave.
Ketiga, Analisis Pengaruh Musik Korea Populer Terhadap Gaya
Hidup dikalangan Remaja, penelitian yang dilakukan oleh Amalio Izzati
dan Ade Armando (2014) mahasiswa Program Studi Periklanan, Jurusan
komunikasi Universitas Indonesia. Penelitian ini juga menjelaskan
bagaimana pengaruh budaya Korean Wave terhadap budaya remaja,
khususnya dalam penelitian ini lebih menitik beratkan bagaimana
-
19
pengaruh musik pop Korea sebagai produk dari Korean Wave dalam
mengubah gaya hidup remaja.
Amalia dan Ade dalam penelitiannya menjelaskan bahwa produk
budaya Korea yaitu musik pop Korea telah merubah gaya hidup remaja.
Konsumsi terhadap musk dapat terjadi dalam berbagai kemungkinan, tidak
hanya sebatas mendengarkan, tetapi juga menyukai latar belakang
penyanyinya sehingga menciptakan sikap fanatik terhadap idola dan rela
melakukan apapun untuk terlihat seperti idolanya. Konsumsi musik Korea
melalui media massa telah menjadikan remaja sangat menyukai dan lebih
menyukai musik pop Korea ini.
Mereka mulai berpenampilan seperti artis-artis Korea yang
dilihatnya dalam video klip, atau saat membawakan lagu di atas panggung,
tidak hanya itu make-up, fashion, dan sampai rela mengabiskan waktu dan
uang demi meng up-date kegiatan idola.
Dari ketiga review di atas, juga terdapat beberapa kemiripan
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti di dalam skripsi ini;
tetapi tentu terdapat beberapa perbedaan. Penelitian yang akan dilakukan
lewat skripsi ini akan lebih spesifik, yaitu membahas mengenai Analisa
gaya hidup remaja yang meniru penggunaan fashion dan kosmetik atau
skin care hasil dari budaya pop Korea, yang dalam batasan penelitian pada
remaja dalam komunitas Maranatha Youthteen di kota Ungaran.
2.3 Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang
mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang
tersebut dalam masyarakat di sekitarnya. Definisi gaya hidup ini sendiri
dikemukakan oleh Plummer sebagai berikut:
“Gaya hidup adalah cara hidup individu yang di identifikasi oleh
bagaimana orang menhabiskan waktu mereka (aktifitas), apa yang mereka
-
20
anggap penting dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang mereka
pikirkan tentang dunia sekitarnya.” (Plummer, 1983)”
Jadi gaya hidup dapat dikatakan sebagai suatu pola hidup
seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktifitas, minat, dan
opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang
berinteraksi dengan lingkungannya.
Gaya hidup tentu tidak bisa lepas dari konsumerisme. Dengan
menjalankan gaya hidup, berarti kita telah mengkonsumsi produk-produk
yang menunjang gaya hidup atau yang sering disebut konsumeritis. Dalam
konstruksi gaya hidup konsumerisme penggemar budaya pop Korea dapat
dilihat sebagai sub-kultur mereka memiliki serangkaian nilai dan praktik
budaya eksklusif bersama, yang berada diluar masyarakat dominan.
Menurut Chaney (dalam Subandy, 1997), ada beberapa bentuk
gaya hidup, antara lain:
2.3.1 Industri Gaya Hidup
Dalam abad gaya hidup, penampilan-diri itu justru
mengalami estetisisasi, "estetisisasi kehidupan sehari-hari" dan
bahkan tubuh/diri pun justru mengalami estetisisasi tubuh.
Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah
proyek, benih penyemaian gaya hidup. "Kamu bergaya maka
kamu ada!" adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk
melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah
sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah
industri penampilan.
2.3.2 Iklan Gaya Hidup
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan
(korporasi), para politisi, individu-individu semuanya terobsesi
dengan citra. Di dalam era globalisasi informasi seperti
sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya
-
21
citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah
gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-
kadang mempesona dan memabukkan. Iklan merepresentasikan
gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti
pentingnya citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga
perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita
buat.
2.3.3 Public Relations dan Journalisme Gaya Hidup
Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai pada
kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity
based-culture), para selebriti membantu dalam pembentukan
identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya
konsumen, identitas menjadi suatu sandaran "aksesori fashion".
Wajah generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak Z-
Generation, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk
melalui identitas yang diilhami selebriti (celebrity-inspired
identity), cara mereka berselancar di dunia maya (Internet),
cara mereka gonta-ganti busana untuk jalan-jalan. Ini berarti
bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi
momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas.
2.3.4 Gaya Hidup Mandiri
Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung
mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan
kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri
sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan
tersebut untuk mencapai tujuan. Nalar adalah alat untuk
menyusun strategi. Bertanggung jawab maksudnya melakukan
perubahan secara sadar dan memahami betuk setiap resiko
yang akan terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan
kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan
-
22
gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi
memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka
untuk menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta
menimbulkan inovasiinovasi yang kreatif untuk menunjang
kemandirian tersebut.
2.3.5 Gaya Hidup Hedonis
Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang
aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih
banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak
bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang
mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat
perhatian.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk
dari suatu gaya hidup dapat berupa gaya hidup dari suatu
penampilan melalui media iklan, modeling dari artis yang di
idolakan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata
sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran
dan tanggung jawab dalam pola perilakunya.
Menurut pendapat Amstrong (dalam Nugraheni, 2003),
gaya hidup seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan
oleh individu seperti kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan
atau mempergunakan barang-barang dan jasa, termasuk
didalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan
kegiatan-kegiatan tersebut. Lebih lanjut Amstrong menyatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang
ada 2 faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu
(internal) dan faktor yang berasal dari luar (eksternal). Faktor
internal yaitu sikap, pengalaman, dan pengamatan, kepribadian,
konsep diri, motif, dan persepsi sedangkan faktor eksternal
-
23
terdiri dari kelompok referensi, keluarga, kelas sosial, dan
kebudayaan.
2.4 Imitasi
Imitasi secara sederhana menurut Tarde (dalam Gerungan, 2010)
adalah contoh-mencontoh, tiru-meniru, ikut-mengikut. Dalam kehidupan
nyata, imitasi ini berkaitan dengan kehidupan sosial, sehingga tidak terlalu
berlebihan jika dikatakan bahwa seluruh kehidupan sosial itu
terinternalisasi dalam diri anak berdasarkan faktor imitasi. Secara umum
imitasi adalah proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang
lain melalui sikap, penampilan gaya hidup, bahkan apa saja yang dimiliki
oleh orang lain (Sasmita, 2011). Berdasarkan pengertian diatas maka dapat
disimpulkan imitasi adalah dorongan untuk meniru orang lain dengan
mencontoh atau melihat individu lain melakukan sesuatu, baik dalam
wujud penampilan, sikap, tingkah laku dan gaya hidup pihak yang ditiru.
Menurut Choros dalam Hurley ada beberapa syarat tertentu yang
mempengaruhi perilaku imitasi, diantaranya:
a. Menaruh minat kepada suatu hal yang akan diimitasi
(ditiru). Minat adalah syarat dasar dari tiap individu untuk
bisa melakukan imitasi. Mustahil melakukan imitasi kepada
suatu objek yang tidak kita senangi.
b. Mengagumi pada hal-hal yang diimitasi. Makna dari
mengagumi adalah suatu langkah yang umumnya lebih
tinggi tingkatannya bila dibandingkan dengan hanya
menyukai.
c. Harus ada penghargaan sosial yang akan menjadi model.
Dimaksudkan agar imitasi yang diperoleh dapat
mendatangkan penghargaan sosial di dalam lingkungannya.
d. Individu yang akan melakukan imitasi maka harus memiliki
pengetahuan pada objek yang akan diimitasi (model).
-
24
Banyak faktor – faktor pendukung mengapa seseorang berperilaku
imitasi, (Slamet 2009). Menyatakan alasan terjadinya perilaku imitasi,
yaitu:
• Perilaku imitasi itu terjadi karena adanya tokoh idola yang
dijadikan sebagai model untuk ditiru: manusia
mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang dia sukai
sehingga memunculkan minat yang besar untuk meniru
tokoh yang ia idola kan.
• Keterpesonaan atau kekaguman akan tokoh yang di
idolakan : setiap orang memiliki tokoh yang dikagumi, saat
manusia mulai mengidentifikasi tokoh yang ia suka, maka
itu semua berasal dari kekaguman. Contoh : dalam hal ini
misalnya seorang remaja mengagumi Boyband Idola Kpop
BTS, selain memiliki wajah yang tampan dan menarik,
mereka juga menginspirasi melalui lagu-lagu yang
diciptakan dan dibawakan, mereka juga memiliki
kepribadian yang baik saat tidak berada di panggung
sehingga remaja ini mengaguminya.
• Kepuasan untuk menjadikan diri seperti tokoh yang di
idolakan : ini adalah salah satu tahap yang tinggi dalam
proses peniruan, yaitu adanya gejala hedonisme (
pemuasaan diri di luar batas) untuk memenuhi kepuasaan
diri seseorang saat meniru totalitas dari tokoh yang di
idolakan.
2.5 Remaja
Begitu banyak definisi mengenai remaja. Suatu analisis yang
cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja, yang
secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan
pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja
-
25
pertengahan, 18-21 tahun: masa remaja akhir, … (F.J. Monks, Knoers, Siti
Rahayu Haditono, 2001:262).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Pustaka Sinar
Harapan menyebutkan bahwa remaja 1. Dikatakan kepada anak wanita
yang mulai haid dan anak laki-laki yang sudah akil balig; dewasa 2.
Dewasa ini yang dimaksud: anak laki-laki atau wanita antara anak-anak
dan dewasa pada usia puber seperti siswa-siswa SMP; 3. Muda (J.S.
Badudu, 1994:1152). Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12-24
tahun. Menurut Depkes RI adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum
kawin. Menurut BKKBN adalah 10-19 tahun (Widyastuti dkk., 2009)
2.6 Teori Cultural Studies
Teori ini sebenarnya mengkaji berbagai kebudayaan dan praktek
budaya serta kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah
mengungkapkan hubungan kekuasaan serta mengkaji bagaimana
hubungan tersebut mempengaruhi berbagai bentuk kebudayaan (sosial-
politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum dan lain-lain). Cultural studies
tidak hanya merupakan studi tentang budaya yang merupakan entitas
tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya
adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan
menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya tersebut berasal.
Media massa sekarang ini cenderung memilih hal hegemoni, dalam hal ini
memaksa seseorang secara halus, dan memaksa seseorang lewat alam
bawah sadar. Hegemoni budaya berarti kontrol sebuah kelompok atas
kelompok lainnya melalui budaya. Hall menyatakan bahwa fungsi utama
dari sebuah percakapan adalah membuat atau memaknai sebuah makna.
Ketika pesan dikirimkan kepada masyarakat, maka khalayak akan
menerima dan membandingkan pesan-pesan tersebut dengan makna
sebelumnya yang telah disimpan dalam ingatan. Hal ini disebut dengan
-
26
decoding. Proses decoding mendapat perhatian dalam cultural studies
karena menentukan arti pesan bagi seseorang.
Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
KOREAN WAVE
BUDAYA POP
KOREA
Produk Budaya pop
Korea
Fashion
Kosmetik (make up)
skin care
Remaja di komunitas
Maranatha Youthteen
Ungaran
Cultural studies theory
Analisa Gaya Hidup Imitasi
Remaja Dalam Komunitas
Maranatha Youthteen Di
Ungaran
-
27
Kerangka berpikir dalam penelitian ini berawal dari pengamatan
mengenai semakin maraknya budaya pop Korea di Indonesia. Seiring
pergerakan arus globalisasi, perkembangan dan penyebaran suatu budaya
sebagai produk, paham dan gaya baru, bahkan identitas, dapat dengan
mudah menyebar ke seluruh penjuru wilayah yang diinginkan melalui
media. Menyebarnya produk Korea, berikut budaya dan gaya hidup yang
dibawanya, disebut dengan Hallyu atau Korean Wave. Dalam Korean
wave ini terdapat produk budaya populer, yaitu fashion dan kosmetik atau
skin care. Dalam menganalisa gaya hidup remaja dalam komunitas
Maranatha Youthteen ini digunakan teori cultural studies untuk
mengetahui bagaimana penyampaian pesan berkontribusi mengubah gaya
hidup seseorang sehingga dapat di ketahui bagaimana terjadinya proses
gaya hidup imitasi pada remaja.