BAB I PENDAHULUAN -...

26
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang publik (public space) merupakan salah satu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan. Masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap berbagai masalah sosial bila dibandingkan dengan masyarakat yang bermukim di perdesaan. Masalah-masalah sosial yang timbul dapat disebabkan oleh semakin tingginya individualisme pada masyarakat serta berkurangnya rasa kebersamaan dan sosialisasi (Sumardjito, 2013). Hal ini merupakan salah satu dampak yang terjadi akibat minimnya ketersediaan ruang publik di perkotaan sehingga masyarakat memiliki keterbatasan tempat untuk melakukan sosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya. Tingginya tuntutan kehidupan di perkotaan dan terbatasnya ruang publik untuk interaksi sosial dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas masyarakat karena stres yang meningkat (Haryadi dalam Setiawan, 2006). Padahal ruang publik memiliki fungsi dan makna sosial-budaya yang tinggi. Ruang publik memiliki fungsi sebagai tempat masyarakat beraktivitas mulai dari berinteraksi antar warga, berkomunikasi, bersosialisasi, serta tempat bermain bagi anak-anak. Kenyataannya saat ini keberadaan ruang publik semakin tertekan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai akibatnya kebutuhan akan lahan permukiman serta sarana dan prasarana pendukungnya juga ikut meningkat (Setiawan, 2006). Kota sebagai pusat kegiatan ekonomi juga mempengaruhi terbatasnya ketersediaan ruang publik. Berbagai kegiatan ekonomi yang terpusat di wilayah perkotaan mengakibatkan pertumbuhan ekonominya ikut meningkat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah maka akan semakin tinggi pula kebutuhan akan jasa. Meningkatnya kebutuhan akan jasa di berbagai sektor akan berdampak pada pertumbuhan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ruang publik (public space) merupakan salah satu kebutuhan yang

tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang bermukim di wilayah

perkotaan. Masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan memiliki risiko

yang lebih tinggi terhadap berbagai masalah sosial bila dibandingkan

dengan masyarakat yang bermukim di perdesaan. Masalah-masalah sosial

yang timbul dapat disebabkan oleh semakin tingginya individualisme pada

masyarakat serta berkurangnya rasa kebersamaan dan sosialisasi

(Sumardjito, 2013). Hal ini merupakan salah satu dampak yang terjadi

akibat minimnya ketersediaan ruang publik di perkotaan sehingga

masyarakat memiliki keterbatasan tempat untuk melakukan sosialisasi

dengan lingkungan di sekitarnya. Tingginya tuntutan kehidupan di

perkotaan dan terbatasnya ruang publik untuk interaksi sosial dapat

mengakibatkan menurunnya produktivitas masyarakat karena stres yang

meningkat (Haryadi dalam Setiawan, 2006). Padahal ruang publik memiliki

fungsi dan makna sosial-budaya yang tinggi.

Ruang publik memiliki fungsi sebagai tempat masyarakat beraktivitas

mulai dari berinteraksi antar warga, berkomunikasi, bersosialisasi, serta

tempat bermain bagi anak-anak. Kenyataannya saat ini keberadaan ruang

publik semakin tertekan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk

yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai akibatnya kebutuhan

akan lahan permukiman serta sarana dan prasarana pendukungnya juga ikut

meningkat (Setiawan, 2006). Kota sebagai pusat kegiatan ekonomi juga

mempengaruhi terbatasnya ketersediaan ruang publik. Berbagai kegiatan

ekonomi yang terpusat di wilayah perkotaan mengakibatkan pertumbuhan

ekonominya ikut meningkat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu

wilayah maka akan semakin tinggi pula kebutuhan akan jasa. Meningkatnya

kebutuhan akan jasa di berbagai sektor akan berdampak pada pertumbuhan

2

kota yang sangat cepat, akibatnya lahan tidak terbangun dibangun menjadi

bangunan-bangunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini

mengakibatkan masyarakat semakin tidak memiliki wadah untuk

beraktivitas dengan semakin berkurangnya ruang publik.

Pembangunan di kota yang sangat cepat seringkali tidak

memperhatikan kebutuhan ruang publik untuk aktivitas bermain bagi anak.

Padahal menurut Tranter dan Pawson (dalam Widiyanto dan Rijanta, 2012)

dunia anak merupakan dunia bermain, sehingga anak memiliki hak untuk

mendapatkan akses bermain demi memenuhi kepentingan anak dalam

memperoleh dunianya. Kurangnya ketersediaan ruang publik yang sesuai

untuk aktivitas bermain membuat kita terbiasa melihat anak bermain di

gang-gang sempit bahkan jalan raya yang jelas-jelas membahayakan diri

mereka dan orang lain, karena jalan memang bukan arena bermain. Sebagai

contoh di Kota Yogyakarta kita dapat melihat di pinggiran Stasiun

Lempuyangan menjadi ruang publik dadakan pada sore hari, menjadi tempat

anak-anak bermain sambil memandang keretaapi yang melintas. Hal ini

dapat menggambarkan bahwa terjadi pergeseran peran ruang publik dimana

anak telah menciptakan sendiri ruang menurut persepsinya yang difungsikan

untuk bermain tanpa memperhatikan faktor keamanan dan keselamatan.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa kebutuhan ruang bermain untuk

anak merupakan sesuatu yang mutlak karena bermain merupakan salah satu

hak anak yang harus dipenuhi. Menurut Hurlock (dalam Setiawan, 2006)

masa kanak-kanak merupakan masa awal manusia berinteraksi dengan

lingkungan baik secara fisik, psikologi, maupun sosial. Melalui aktivitas

bermain yang baik, sehat, aman, dan mengandung elemen alami dapat

membantu membangun karakter, sifat, dan potensi anak di masa yang akan

datang. Aktivitas bermain di ruang publik dapat melatih kepedulian,

toleransi, strategi, dan kerjasama pada anak sehingga kurangnya ruang

publik untuk bermain akan memunculkan berbagai permasalahan bagi anak

(Woolley, 2008). Karena tidak memiliki ruang untuk bermain saat ini anak

menjadi lebih senang untuk menghabiskan waktu berjam-jam di depan video

3

game, atau play station yang menjamur di sudut kampung. Selain

menghabiskan banyak waktu, mahal dan tidak mendidik, permainan video

game dapat menghambat perkembangan anak baik dari segi fisik maupun

psikologi.

Ennew (dalam Elsley, 2004) mengatakan bahwa saat ini anak

diposisikan sebagai penghuni ruang yang selayaknya dirancang untuk orang

dewasa, dimana interaksi dengan ruang publik seakan dibatasi dan lebih

banyak menghabiskan waktu dalam sebuah lembaga seperti sekolah.

Keadaan tersebut menimbulkan berbagai dampak negatif pada anak yang

akhirnya akan berujung pada penurunan kualitas sumberdaya manusia di

suatu wilayah. Padahal sumberdaya manusia merupakan salah satu aspek

penting di dalam pembangunan wilayah itu sendiri. Suatu wilayah dapat

berkembang dengan baik jika memiliki sumberdaya manusia yang

berkualitas, oleh karena itulah fasilitas ruang publik dibutuhkan untuk

mendukung tumbuh kembang anak demi terciptanya sumberdaya manusia

berkualitas yang dimulai sejak dini.

1.2. Perumusan Masalah

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 11 tentang Perlindungan

Anak menyebutkan bahwa “setiap anak berhak untuk beristirahat dan

memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,

berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat

kecerdasannya demi pengembangan diri”. Berkaitan dengan konsep Kota

Layak Anak (KLA) yang dicanangkan oleh Kota Yogyakarta maka fasilitas

ruang publik sebagai sarana untuk aktivitas bermain menjadi salah satu

elemen demi mewujudkan KLA. Konsep KLA di Kota Yogyakarta

dirumuskan ke dalam bentuk Kampung Ramah Anak (KRA) yang digagas

oleh Walikota Herry Zudianto dan direalisasi pada setiap kelurahan yang

ada di Kota Yogyakarta.

Konsep KRA menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan kota yang

ramah, dimana tidak hanya didominasi oleh bangunan-bangunan. Namun

4

pada kenyataannya wilayah kampung kota juga tidak terlepas dari laju

pembangunan yang menekan ketersediaan ruang publik terutama untuk

aktivitas bermain anak. Widaningsih dkk (2007) berpendapat bahwa

privatisasi lahan yang terjadi baik secara individu maupun lembaga juga

menjadi penyebab semakin terpinggirkannya ruang publik sehingga

mengakibatkan kebutuhan anak untuk bermain di ruang terbuka tidak dapat

terpenuhi dengan baik. Kemudian hal ini diperparah dengan gaya hidup

modern yang menempatkan anak seperti orang dewasa dengan banyak

menghabiskan waktunya di lembaga institusional dan ruang publik tidak

lagi menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari (Ennew dalam Elsley,

2004).

Jumlah penduduk Kota Yogyakarta yang meningkat dari tahun ke

tahun menyebabkan tingginya kebutuhan akan lahan permukiman. Kota

Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.250 Ha dan menurut Kota Yogyakarta

Dalam Angka Tahun 2009 penggunaan lahan terbesar 64,8% (2.106,338

��) dari luas wilayahnya diperuntukan sebagai perumahan. Selain itu

penggunaan lahan untuk kepentingan jasa, perusahaan, dan industri

menghabiskan lahan sebesar 18,6% (605.361 ��). Kemudian ditambah

dengan penggunaan lahan pertanian dan lain-lain maka luas lahan tidak

terbangun yang tersedia di Kota Yogyakarta hanya sebesar 0,6% (20,041

��). Kepadatan penduduk secara tidak langsung akan menggambarkan

tingginya tingkat kepadatan bangunan. Terutama bangunan perumahan yang

terdapat di kampung kota yang pada umumnya tidak direncanakan dan

ditata dengan baik sehingga didominasi oleh bangunan-bangunan padat dan

minim akan ruang publik.

Keterbatasan tersebut membuat anak di kawasan kampung kota

memanfaatkan ruang yang tidak semestinya untuk memenuhi kebutuhan

bermain mereka. Salah satu kawasan kampung kota di Kota Yogyakarta

adalah Kampung Golo yang terdapat di RW 02, Kelurahan Pandeyan,

Kecamatan Umbulharjo. Kampung Golo merupakan satu dari 46 KRA yang

ada di Kota Yogyakarta. Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan

5

Perempuan dan Anak (dalam jogjakota, 2013) mengatakan bahwa KRA

merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan KLA melalui pembangunan

yang berbasis RW yang bertujuan untuk menghormati, menjamin,

memenuhi hak anak, melindungi anak dari tindakan kekerasan, eksploitasi,

pelecehan, diskriminasi, dan mendengar pendapat anak. Hak anak yang

harus dipenuhi oleh pemerintah salah satunya adalah memperoleh sarana

bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan (UU No.23

Pasal 56 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan hal tersebut

maka diangkat rumusan masalah untuk penelitian ini dengan menjawab

pertanyaan sebagai berikut:

- Bagaimanakah kriteria ruang publik yang digunakan untuk aktivitas

bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo?

- Bagaimanakah perilaku bermain anak dalam memanfaatkan ruang

publik di kawasan Kampung Ramah Anak Golo?

- Bagaimana analisis spasial keberadaan ruang publik yang digunakan

untuk aktivitas bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo?

1.3. Tujuan

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian

ini memiliki tujuan yang akan dicapai sebagai berikut:

- Mengukur kriteria ruang publik yang digunakan untuk aktivitas

bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo.

- Mengukur perilaku bermain anak dalam memanfaatkan ruang publik di

kawasan Kampung Ramah Anak Golo.

- Menganalisis secara spasial keberadaan ruang publik yang digunakan

untuk aktivitas bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti:

a. Sebagai bahan penyusunan skripsi untuk memenuhi syarat

memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada Fakultas Geografi UGM.

6

b. Sarana untuk menuangkan gagasan, ide, dan pikiran dalam bentuk

tulisan.

c. Melatih dan mendorong untuk berpikir logis, kritis dan

meningkatkan daya serap informasi, khususnya tentang topik yang

akan diteliti.

2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Penelitian ini diharapkan bisa berkontribusi dalam referensi tentang

kriteria ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain anak di

kawasan Kampung Ramah Anak, sekaligus menjadi pedoman bagi

penelitian selanjutnya di masa yang akan datang.

3. Secara praktis

Bermanfaat bagi pengambilan kebijakan dan alternatif solusi untuk

memecahkan permasalahan dan penentu kebijakan bagi ketersediaan

ruang publik untuk aktivitas bermain anak di Kota Yogyakarta.

7

1.5. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya

Judul Penulis Tujuan Metode Hasil

Ruang Bermain untuk Anak di Kampung Kota: Studi Persepsi Lingkungan, Seting, dan Perilaku Anak di Kampung Code Utara, Yogyakarta

Bakti Setiawan. 2006.

Memahami persepsi dan perilaku anak-anak kota terhadap seting perumahan, sungai dan lingkungannya.

Menggunakan pendekatan naturalistik. Metode penggumpulan data menggunakan pemetaan perilaku (behavioral mapping), pemetaan swadaya (self mapping), wawancara, dan observasi lapangan.

1) Kondisi sosial dicirikan dengan penduduk berpenghasilan menengah kebawah, kepadatan penduduk 215jiwa per hektar dengan mata pencaharian yang beragam. Seting fisik kampung dicirikan dengan kimiringan lahan yang cukup curam ke arah sungai dengan kepadatan bangunan 70-80%. 2) Sebagian besar anak memahami bahwa sungai merupakan bagian penting dalam sistem lingkungan perumahan mereka, serta memiliki persepsi yang positif terhadap sungai. 3) Paling sedikit tedapat lima jenis permainan yang diidentifikasi, secara umum tidak terdapat perbedaan gender dalam peluang bermain, keterbatasan lingkungan tidak membatasi anak untuk menemukan seting lingkungan untuk bermain. 4) Terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi, seting, dan perilaku anak terhadap Sungai Code Utara.

How Does The Playground Role in

Santy P. Dewi. 2012.

Mengidentifikasi bentuk dan memetakan taman bermain, menganalisis kualitas taman bermain,

Menggunakan metode kuantitatif-kualitatif. Kualitas taman bermain diukur dengan metode

Kualitas taman bermain di Tlogosari Kulon masuk dalam klasifikasi memadai. Taman bermain sebagai salah satu indikator KLA belum berperan secara maksimal, dapat dilihat dari: 1) kurangnya

8

Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya

Judul Penulis Tujuan Metode Hasil

Realizing Children-Friendly-City?

dan menganalisis peran taman bermain dalam mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Semarang.

skoring, diikuti dengan penjelasan dan narasi dari deskripsi peran taman bermain dalam mewujudkan KLA. Pengumpulan data menggunakan metode purposive sampling kepada orangtua yang memiliki anak dengan umur 0-14 tahun yang tinggal di wilayah Tlogosari Kulon. Wawancara juga dilakukan menggunakan metode accidental sampling dengan anak-anak yang ditemukan di lokasi.

perhatian pemerintah terkait penyediaan infrastuktur, terutama kualitas taman bermain yang baik. 2) minimnya perhatian orangtua terkait pemanfaatan taman bermain anak. 3) penyediaan infrastruktur yang tidak terintegrasi. 4) dalam perencanaan dan pemanfaatan taman bermain, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan aspirasi.

Lingkungan Kota Layak Anak (Child-Friendly City) Berdasarkan Persepsi Orangtua di Kota Yogyakarta

Dodi Widiyanto dan Rijanta, R. 2012.

Mengidentifikasi konsep-konsep yang terkait dengan KLA di Kota Yogyakarta sebagaimana dipersepsikan oleh orangtua.

Menggunakan metode perumusan konsep secara deduksi berdasarkan hasil studi empiris penelitian.

Terdapat empat konsep utama, yaitu 1) konsep kebijakan; pemerintah telah menyusun peraturan untuk mendukung terciptanya atmosfer KLA di Kota Yogyakarta dan memberikan sosialisasi sampai tingkat kecamatan. 2) Konsep perlindungan; melalui hasil uji empiris di Kota Yogyakarta perhatian orangtua belum mengarah sampai dengan melakukan proteksi yang berlebihan terhadap anak. 3) Lingkungan; anak-anak memiliki hak untuk

9

Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya

Judul Penulis Tujuan Metode Hasil

mendapatkan lingkungan yang bebas dari polusi dan berbagai pemenuhan hak dasar. 4) Perencanaan bagi anak; pengalaman di Kota Yogyakarta menunjukkan sudah dijumpai suatu fasilitas pendukung kegiatan anak seperti adanya Zona Aman dan Selamat Sekolah.

Playground Usability: What Do Playground Users Say?

Ripat, J. & Becker, P. 2012.

Mengetahui pengalaman dari penggunaan taman bermain bagi anak-anak yang menyandang disabilities di satu lokasi geografis. Memberikan rekomendasi untuk meningkatkan kegunaan dari konstruksi taman bermain di masa yang akan datang.

Menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik purposive sampling dan analisis induktif. Kriteria sampel yaitu anak penyandang cacat dan pengasuhnya.

Hasil analisis wawancara menghasilkan tiga pokok utama dalam pembangunan, yaitu playground experiences, hal ini menjelaskan alasan mengapa anak dan keluarga pergi ke tempat bermain dan tipe permainan yang dilakukan oleh mereka. Kedua playground usability yang menjelaskan kegunaan fungsional dari tempat bermain. Ketiga inclusivity yang menjelaskan alasan mengapa narasumber merasa bahwa keberadaan tempat bermain yang memiliki sifat “useable” itu penting.

10

1.6. Tinjauan Pustaka

1.6.1. Studi Geografi (Pendekatan Spasial)

Menurut Yunus (2004) dalam ilmu geografi terdapat tiga

pendekatan utama yang menjadi acuan bagi geograf, yaitu

pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologikal

(ecological approach), dan pendekatan kompleks wilayah (regional

complex approach). Pendekatan-pendekatan tersebut menjadi

batasan kegiatan penelitian dalam keilmuan geografi, namun

penelitian juga dapat dilengkapi dengan pendekatan-pendekatan baru

yang muncul dari disiplin ilmu lain. Walaupun dapat menggunakan

pendekatan ilmu lain sebagai komplementer, dalam melakukan

analisis seorang geograf tetap harus mengacu pada ketiga

pendekatan utama tersebut untuk menghindari terjadinya

marginalisasi peranan geograf itu sendiri. Melalui pemahaman

mengenai pendekatan-pendekatan geografi secara mendalam,

geograf dapat memposisikan dirinya dengan tepat dalam

pembangunan sesuai dengan bidang keahliannya.

Terkait dengan ketiga pendekatan utama dalam ilmu geografi,

penelitian ini menggunakan pendekatan keruangan yang

menekankan analisisnya pada keberadaan ruang yang menjadi

tempat berlangsungnya seluruh kegiatan manusia. Segala obyek

yang terdapat di dalam ruang dapat menjadi obyek penelitian dari

berbagai aspek sesuai dengan tujuh tema analisis dalam pendekatan

keruangan, yaitu analisis pola keruangan, analisis struktur

keruangan, analisis proses keruangan, analisis interaksi keruangan,

analisis asosiasi keruangan, analisis organisasi keruangan, dan

analisis tendensi keruangan (Yunus, 2004).

Analisis pola keruangan menekankan pada sebaran dan

aglomerasi elemen-elemen pembentuk ruang dengan

mengidentifikasi aglomerasi sebarannya terlebih dahulu dan

selanjutnya dihubungkan dengan pertanyaan geografi. Analisis

11

struktur keruangan menekankan pada susunan elemen-elemen

pembentuk ruang. Langkah awal yang dilakukan adalah

mengidentifikasi susunan keruangannya. Analisis proses keruangan

menekankan pada perubahan yang terjadi pada ruang dalam waktu

tertentu. Analisis interaksi keruangan merupakan analisis hubungan

timbal balik antar ruang dengan mengenali faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya interaksi. Analisis asosiasi keruangan

menekankan pada terjadinya asosiasi keruangan antar berbagai

kenampakan pada suatu ruang. Analisis organisasi keruangan

menekankan pada keterkaitan antara kenampakan yang satu dengan

yang lain secara individual yang bertujuan untuk mengetahui

elemen-elemen lingkungan yang mempengaruhi terciptanya tatanan

spesifik dari elemen pembentuk ruang. Analisis tendensi keruangan

menekankan pada kecenderungan perubahan suatu gejala yang dapat

dilakukan berdasarkan space based analysis, time based analysis

maupun gabungan antara space dan time based analysis (Yunus,

2004).

Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1 tentang

Penataan Ruang, yang dimaksud dengan “ruang adalah wadah yang

meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang

di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan

makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara

kelangsungan hidupnya”. Ruang dapat dibedakan menjadi ruang

relatif dan ruang absolut. Ruang relatif diartikan sebagai sarana

untuk mencapai tujuan, hanya berupa buah pikiran, dan tidak

memiliki bentuk nyata/riil. Ruang absolut merujuk pada bagian

permukaan bumi, wilayah alamiah, memiliki bentuk nyata/riil yang

dapat tertangkap oleh indera mata tanpa intervensi pikiran. Ruang

publik yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan ruang publik

yang sifatnya absolut secara fisik.

12

1.6.2. Ruang Publik (Public Space)

Ruang publik merupakan suatu ruang yang dapat diakses oleh

seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan atau

kepentingan tanpa dipungut biaya. Menurut Peraturan Menteri PU

No.12/PRT/M 2009 “ruang publik adalah suatu ruang eksternal

ataupun internal yang dapat diakses oleh publik tanpa kontrol

ataupun larangan tanpa melihat kepemilikannya”. Misalnya adalah

taman umum dan jalan yang dapat bebas diakses dan digunakan oleh

setiap orang. Ruang publik tidak hanya berupa ruang terbuka di

permukaan bumi namun juga dapat berupa ruang tertutup. Carmona

(dalam Parlindungan, 2013) mendeskripsikan ruang publik sebagai

ruang yang dapat diakses bebas oleh masyarakat umum dimana

ruang tersebut saling berhubungan dengan lingkungan di sekitarnya

baik lingkungan alami dan binaan, publik dan privat, internal dan

eksternal, serta perkotaan dan pedesaan.

Menurut Brodin (dalam Parlindungan, 2013) ruang publik

menurut proses pembentukannya dapat dibedakan menjadi:

• Ruang publik metafora (metaphorical public space)

Ruang dimaknai berdasarkan bagaimana peranan ruang tersebut

tanpa memperhatikan bentuk fisik maupun fungsinya. Sebuah

ruang pada proses pembentukan ini mengalami pergeseran makna

akibat adanya aktivitas, proses interaksi dan komunikasi antara

manusia. Tanpa adanya pengendalian formal maka muncullah

kesepakatan informal terhadap pemanfaatan ruang sehingga ruang

berperan untuk mewadahi hubungan antar manusia. Contohnya

adalah ruang publik yang secara fungsional merupakan jalan raya,

namun pada waktu tertentu dapat berubah menjadi ruang

interaksi. Bantaran rel keretaapi dapat berperan menjadi tempat

beraktivitas bagi anak dan orangtua pada sore hari seperti yang

terjadi di pinggiran Stasiun Lempuyangan.

13

• Ruang publik harfiah (literal public space )

Ruang dimaknai sesuai dengan sifat fungsional dan bentuk

fisiknya serta terbentuk berdasarkan adanya akses. Terbentuknya

ruang publik harfiah tidak memperhatikan aktivitas manusia yang

terjadi di dalamnya melainkan terbentuk secara teknis melalui

proses perencanaan dan perancangan sehingga kegiatan manusia

di dalamnya mengikuti sebagaimana tujuan dari perencanaan

yang telah dilakukan. Misalnya adalah ruang publik taman

bermain yang dipergunakan secara fungsional sebagai tempat

bermain anak.

Menurut sifatnya ruang publik dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu ruang publik tertutup dan ruang publik terbuka. Menurut

Carmona (dalam Parlindungan, 2013) ruang publik memiliki

beberapa fungsi, yaitu fungsi ekonomi, fungsi kesehatan, fungsi

sosial, dan fungsi lingkungan. Terkait dengan fungsi sosial ruang

publik dapat berperan sebagai kawasan rekreasi dan juga dapat

diperuntukan sebagai tempat bermain untuk anak-anak. Ruang

publik yang berfungsi sebagai kawasan rekreasi digolongkan ke

dalam beberapa kategori oleh Perkumpulan Rekreasi Nasional

Amerika (dalam B.Gallion & Eisner, 1994), yaitu halaman bermain,

tempat bermain lingkungan, dan lapangan bermain. Ketiga kategori

tersebut memiliki standarisasi yang berbeda.

Perkumpulan Rekreasi Nasional Amerika (dalam B.Gallion &

Eisner, 1994) lebih rinci mengemukakan halaman bermain

diperuntukan untuk anak berusia dibawah 6 tahun. Satu unit fasilitas

ini seharusnya ada disetiap lingkungan dengan jumlah antara 30

hingga 60 keluarga. Tempat bermain lingkungan diperuntukan untuk

anak dengan usia 6 hingga 14 tahun. Suatu lingkungan dengan

jumlah anak 1.200 orang maka diperlukan dua atau lebih tempat

bermain. Halaman bermain dan tempat bermain harus memfasilitasi

anak untuk permainan tidak formal dengan dilengkapi oleh sarana-

14

sarana seperti ayunan, prosotan, kotak pasir, tempat senam, ruang

untuk berlari, dan peralatan bermain lainnya. Selain itu juga harus

dapat memfasilitasi anak untuk berolah raga dan kegiatan yang

berhubungan dengan seni seperti mengukir, bermain drama, dan

mendengarkan cerita. Kemudian adalah lapangan bermain yang

diperuntukan untuk remaja dan orang dewasa. Ruang terbuka ini

dapat memfasilitasi 4 atau 5 lingkungan dalam radius tidak lebih dari

satu mil.

Ketersediaan ruang publik perkotaan menjadi salah satu unsur

terwujudnya kota layak anak sesuai dengan kebijakan internasional

yang disampaikan oleh UNICEF pada tahun 1996. Kota dikatakan

layak anak jika hak-hak anak dapat dipenuhi oleh pemerintah, salah

satunya adalah hak anak untuk bermain. Keberadaan ruang publik

untuk aktivitas bermain menjadi penting karena dapat mendukung

perkembangan anak dengan fasilitas yang dapat menciptakan

berbagai kesempatan belajar.

1.6.3. Tipologi Ruang Publik

Menurut Carmona (dalam Parlindungan, 2013) berdasarkan

perlingkupannya ruang publik memiliki tiga tipologi, yaitu:

• External Public Space (Ruang Publik Terbuka)

Ruang publik ini merupakan bagian lahan yang berada di luar

ruang yang berada di antara kepemilikan privat dan dapat diakses

oleh publik. Contohnya jalan, alun-alun, taman, lahan parkir, dan

sebagainya.

• Internal Public Space (Ruang Publik Tertutup)

Merupakan ruang publik yang berupa fasilitas umum yang

dikelola oleh pemerintah dan dapat bebas diakses oleh

masyarakat. Contohnya adalah perpustakaan, museum, terminal,

halte, rumah sakit dan sebagainya.

15

• External and Internal “Quasi” Public Space

Ruang publik terbuka maupun tertutup dengan status kepemilikan

privat dimana pemilik memiliki kendali terhadap akses dan

perilaku masyarakat yang menggunakannya. Contohnya fasilitas-

fasilitas komersial, kampus, TK, mall, dan sebagainya.

Tipologi ruang publik juga dapat dibedakan berdasarkan

fungsinya secara umum oleh Carmona (dalam Parlindungan, 2013)

sebagai berikut:

• Positive space

Ruang publik ini biasanya dikelola oleh pemerintah dan dapat

digunakan untuk kegiatan yang sifatnya positif.

• Negative space

Ruang publik ini tidak dikelola dengan baik sehingga tidak dapat

digunakan secara optimal untuk kegiatan publik karena fungsinya

yang tidak sesuai dengan kenyamanan dan keamanan aktivitas

sosial.

• Ambiguous space

Ruang ini biasanya dipergunakan sebagai aktivitas peralihan bagi

publik dari kegiatan utamanya.

• Private space

Merupakan ruang pribadi yang dimiliki oleh masyarakat.

Berikut tipologi ruang publik menurut fungsinya secara umum

oleh Carmona (dalam Parlindungan, 2013) pada tabel 1.2.

Tabel 1.2. Tipologi Ruang Publik Positive space Natural/semi-natural urban space

Lingkungan natural dan semi-natural di perkotaan, biasanya di bawah kepemilikan negara

Sungai, selokan, lingkungan alam, seafront, kanal

Civic space Bentuk tradisional dari ruang perkotaan, terbuka dan dapat digunakan oleh seluruh masyarakat dan memiliki berbagai fungsi

Jalan, lapangan, trotoar

16

Lanjutan Tabel 1.2. Tipologi Ruang Publik Positive Space Public open space

Ruang terbuka yang dikelola, biasanya berupa ruang terbuka hijau untuk umum walaupun terkadang dikontrol oleh pihak tertentu

Taman, kebun, hutan kota, kuburan

Negative space Movement space

Ruang didominasi oleh kebutuhan bergerak manusia, terutama untuk kendaraan bermotor

Jalan besar, jalan raya, rel kereta api, underpasses

Service space Ruang didominasi oleh kebutuhan persyaratan pelayanan modern

Car park, service yards

Left-over space

Ruang yang tersisa setelah pembangunan, seringkali tidak memiliki fungsi

Ruang antara banggunan, ruang terbuka modern

Undefined space

Ruang yang tidak terbangun, baik telah ditinggalkan maupun menunggu untuk dibangun

Redevelopment space, transient space, ruang yang ditinggalkan

Ambiguous space Interchange space

Pemberhentian dan pertukaran kendaraan, baik internal maupun eksternal

Metros, terminal, stasiun, halte

Public private space

Seperti ruang publik eksternal, namun sebenarnya milik pribadi dan dikendalikan baik sepenuhnya maupun sedikit

Ruang sipil milik pribadi, business parks, halaman tempat ibadah

Conspicuous space

Ruang publik dirancang untuk membuat orang asing merasa mencolok dan biasanya tidak diinginkan

Jalan buntu, perumahan berpagar buatan

Internalised public space

Secara formal untuk umum dan penggunaan eksternal, diinternalisasi dan terkadang diprivatisasi

Pusat perbelanjaan, introspective mega-structures

Retail space Milik pribadi namun dapat diakses oleh publik sebagai tempat pertukaran dari satu ruang ke ruang lain

Pertokoan, pasar, pom bensin

Third place spaces

Tempat semi publik untuk beraktivitas dan bersosialisasi, baik umum dan privat

Kafe, restoran, perpustakaan, tempat ibadah

Private public space

Ruang milik institusi yang secara fungsional dan penggunanya diatur namun dapat digunakan oleh umum

Lembaga institusional, perumahan, kampus

17

Lanjutan Tabel 1.2. Tipologi Ruang Publik

Ambiguous space Visible private space

Secara fisik milik pribadi, namun secara visual merupakan ruang publik

Halaman, lahan pertanian, gated square

Interface space

Secara fisik ditandai antara publik dan pivat namun secara umum dapat diakses

Street cafes, trotoar

User selecting space

Ruang untuk kelompok tertentu, yang ditentukan (dan kadang dikontrol) oleh usia atau kegiatan

Skateparks, tempat bermain, lapangan olahraga

Private space Private open space

Secata fisik merupakan ruang terbuka privat

Sisa pertanian, hutan pribadi

External private space

Secara fisik merupakan ruang privat Jalan berpagar, kebun pribadi, lahan parkir

Internal private space

Ruang privat atau ruang bisnis Kantor, rumah, dsb

Sumber: Carmona (dalam Parlindungan, 2013)

1.6.4. Perkotaan

Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 Butir q tentang

Pemerintahan Daerah, “kawasan perkotaan adalah kawasan yang

mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi

kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan

distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan

kegiatan ekonomi”. Melalui pengertian tersebut dapat dijabarkan

bahwa basis ekonomi utama daerah perkotaan adalah industri dan

jasa dengan kepadatan daerah terbangun yang tinggi dan terdapat

spesialisasi fungsi yang tinggi. Masyarakat yang ada di dalamnya

relatif heterogen dan besar sehingga membutuhkan tingkatan fasilitas

pelayanan publik yang lebih tinggi dengan jumlah yang lebih

banyak.

Selain itu menurut Yunus (2005), kota dapat ditinjau dari

berbagai segi yaitu yuridis-administratif, fisik morfologis, jumlah

penduduk, kepadatan penduduk, fungsinya dalam suatu wilayah

18

organik, dan sosio-kultural. Ditinjau dari segi yuridis-administratif,

kota adalah suatu wilayah yang merupakan bagian dari suatu wilayah

tertentu yang dibatasi oleh batas administratif yang jelas diatur

dalam peraturan dan berstatus sebagai kota dan memiliki

pemerintahan tertentu dengan segala hak dan kewajibannya dalam

mengatur wilayah kewenangannya. Ditinjau dari segi fisik

morfologis, kota merupakan daerah yang menjadi konsentrasi

penduduk yang padat dimana pemanfaatan lahan yang ada di

dalamnya didominasi oleh bangunan-bangunan permanen serta

memiliki fasilitas yang lebih lengkap daripada daerah perdesaan.

Kemudian jika ditinjau dari segi jumlah penduduk, kota

diartikan sebagai daerah tertentu yang memiliki jumlah penduduk

minimal yang telah ditentukan dan bertempat tinggal pada

permukiman yang kompak. Dilihat dari segi kepadatan penduduknya

yang dimaksud dengan kota adalah daerah yang memiliki kepadatan

penduduk minimal sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

Selanjutnya jika ditinjau dari segi fungsinya dalam wilayah organik,

kota merupakan suatu wilayah yang menjadi pemusatan berbagai

kegiatan dan berperan sebagai kolektor dan distributor barang dan

jasa dari wilayah hinterlandnya. Terakhir ditinjau melalui segi sosio

kultural, kota diartikan sebagai daerah yang terdiri dari masyarakat

dan corak kehidupan yang heterogen dan membutuhkan berbagai

fasilitas yang lebih kompleks daripada masyarakat di perdesaan.

1.6.5. Konsep Kampung Ramah Anak

Kampung Ramah Anak (KRA) merupakan sebuah inisiasi

yang dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta untuk

mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) yang dimulai pada tahun

2011. Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan

Kota Yogyakarta, Irawati (dalam antaranews, 2013) mengatakan

bahwa yang dimaksud dengan kampung ramah anak adalah

19

kampung yang dengan sengaja atau dengan sadar berupaya

memenuhi hak dan kebutuhan anak untuk dapat tumbuh dan

berkembang dengan baik. Pengertian KRA tersebut sejalan dengan

pengertian KLA dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan RI Nomor 2 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 4 tentang

Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak yang menyatakan “KLA

adalah sistem pembangunan satu wilayah administrasi yang

mengintegrasikan komitmen dan sumberdaya pemerintah,

masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan

berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak”.

KRA merupakan sebuah implementasi yang dilakukan untuk

merealisasikan KLA di Yogyakarta melalui lingkup kampung agar

pelaksanaan program terkait KLA dapat menjangkau unit terkecil

dari sebuah kota yaitu rumahtangga. Masalah yang menjadi alasan

dibentuknya konsep KLA yaitu karena kota dengan kepadatan

penduduk yang tinggi menjadi kota yang tidak bersahabat bagi anak

sebagai akibat dari minimnya perhatian terhadap kebutuhan dan

prioritas anak, serta meningkatnya anak yang hidup dalam

kemiskinan. Berdasarkan hal itu maka dibentuklah beberapa

indikator KRA yang telah disusun oleh Pemerintah Kota

Yogyakarta, yaitu komitmen wilayah, hak sipil dan kebebasan untuk

anak, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan

dasar dan kesejahteraan, pendidikan, hak perlindungan khusus,

budaya serta sarana dan prasarana. Salah satu sarana dan prasarana

yang menjadi hak anak dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak adalah tempat bermain, sehingga pemerintah

sudah seharusnya memfasilitasi hal ini.

Menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

RI Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota

Layak Anak, KLA memiliki tujuan, yaitu:

20

• Meningkatkan komitmen pemerintah, masyarakat dan dunia

usaha di kabupaten/kota dalam upaya mewujudkan pembangunan

yang peduli terhadap anak, kebutuhan dan kepentingan terbaik

bagi anak.

• Mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan,

sarana, prasarana, metoda dan teknologi yang ada pada

pemerintah, masyarakat serta dunia usaha di kabupaten/kota

dalam mewujudkan hak anak.

• Mengimplementasi kebijakan perlindungan anak melalui

perumusan strategi dan perencanaan pembangunan

kabupaten/kota secara menyeluruh dan berkelanjutan sesuai

dengan indikator KLA.

• Memperkuat peran dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota

dalam mewujudkan pembangunan di bidang perlindungan anak.

1.6.6. Aktivitas Bermain

Bermain diartikan dengan pengertian yang berbeda-beda oleh

orang yang berbeda. Definisi bermain menurut berbagai ahli dalam

Woolley (2008) yaitu, bermain dianggap sebagai proses kreativitas

yang berkelanjutan (Aaron dan Winawer 1970); bermain merupakan

suatu pendekatan dalam suatu tindakan, bukan suatu bentuk dari

sebuah aktivitas (Moyles 1989); bermain merupakan kegiatan alami

yang dialami dalam masa kanak-kanak (Prout dan James 1997).

Sedangkan menurut The Department for Culture, Media and Sport

dalam Woolley (2008), bermain merupakan aktivitas yang dilakukan

oleh anak ketika mereka mengikuti keinginan dan rasa ketertarikan

mereka sendiri yang didukung oleh orang dewasa atau pemerintah

untuk membantu memfasilitasi kebutuhan tersebut.

Aktivitas bermain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu free

play dan directed play. Menurut Moyles (dalam Woolley, 2008) free

play merupakan aktivitas bermain yang memberikan kesempatan

21

anak untuk mengeksplor, mengamati dan memahami situasi di

sekitarnya sendiri tanpa campur tangan orang dewasa. Directed play

merupakan aktivitas bermain dimana orang dewasa mengarahkan

anak tentang apa yang harus dia lakukan dengan material-material

yang tersedia. Menurut National Playing Fields Association (dalam

Woolley, 2008), bermain juga memiliki tipologi yang dibedakan

dalam 15 kategori, yaitu symbolic play, rough and tumble play,

socio-dramatic play, social play, creative play, communication play,

dramatic play, deep play, exploratory play, fantasy play, imaginative

play, locomotor play, mastery play, object play dan role play

(National Playing Fields Association, 2000).

Woolley (2008) mengidentifikasi kategori bermain sebagai

berikut: bermain dengan konten verbal, bermain dengan konten

imajinasi, bermain dengan konten fisik, dan bermain hanya dengan

menggunakan peralatan yang minim seperti berjalan, berbincang-

bincang, berkumpul dengan teman, dan menonton. Menurut Hurlock

(dalam Setiawan, 2006) masa awal interaksi yang terjadi antara

manusia dengan lingkungannya terjadi pada masa kanak-kanak, baik

interaksi secara fisik, psikologi, maupun interasi sosial. Interaksi

dengan lingkungan pada masa kanak-kanak tersebut dapat dialami

melalui aktivitas bermain yang juga memberikan banyak keuntungan

bagi tumbuh kembang anak.

Melalui kegiatan bermain dapat mengasah dan meningkatkan

kecerdasan, kemampuan motorik, kognitif, sosial seperti

bernegosiasi; kemampuan bahasa, meningkatkan aktivitas fisik,

kesehatan mental, memahami lingkungan, mengasah jiwa seni dan

budaya, serta kemampuan kinestetik (Shaw, 1987; Fjortoft, 2001;

Isenberg and Quisenberry, 2002; Turner et al., 2009 dalam Ripat dan

Becker 2012). Tanpa disadari aktivitas bermain pada anak dapat

membangun karakter dan kualitas sumberdaya manusia mulai sejak

dini. Sehingga kurangnya aktivitas bermain pada anak akan

22

membawa dampak negatif dalam perkembangannya dan berpotensi

menimbulkan masalah sosial dalam lingkungan masyarakat.

Aktivitas bermain diperlukan oleh anak sebagai sarana untuk

perkembangan kognisi terhadap ruang. Perkembangan kognisi

terhadap ruang tersebut dibedakan menjadi 4 periode utama

berdasarkan usia oleh Piaget (dalam Setiawan, 2006 ) yaitu sebagai

berikut: periode sensimotor (bayi, 0-2 tahun), periode preoperasional

(balita, 2-6 tahun), periode operasional konkret (usia sekolah, 6-12

tahun), dan periode operasional formal (usia remaja dan dewasa, 13

tahun ke atas). Berdasarkan periode tersebut, akhir masa kanak-

kanak terjadi pada periode operasional konkret. Menurut para ahli

psikologi dalam Setiawan (2006) periode operasional konkret

merupakan usia berkelompok, usia kreatif, dan usia bermain pada

anak.

Menurut Hurlock dalam Setiawan (2006) terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain anak pada usia sekolah,

yaitu kondisi sosial anak dengan teman-temannya, kesadaran anak

akan perbedaan gender, lingkungan, dan aktivitas lain yang

mengurangi kegiatan bermain anak.

1.6.7. Tinjauan Umum Aturan Hukum tentang Bermain

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 tentang

Perlindungan Anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18

tahun termasuk anak di dalam kandungan”. Salah satu hak anak

yang harus dipenuhi adalah hak untuk bermain, dimana telah dijamin

oleh pemerintah melalui UU tersebut. Hal tersebut tecantum pada

Pasal 11 yang dimana setiap anak berhak untuk beristirahat dan

memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,

bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan

tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Selain itu, pada

Pasal 56 ayat 1 butir f disebutkan bahwa pemerintah wajib

23

mengupayakan dan membantu anak agar mereka dapat memperoleh

sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.

Pemerintah terus berupaya untuk dapat mengakomodir hak-hak

anak yang telah dipaparkan dalam UU di atas. Sebagai upaya

merealisasikan tuntutan pasal dalam UU tersebut perlu diciptakan

fasilitas yang secara fungsional memang diperuntukan sebagai

kawasan bermain anak. Pengadaan fasilitas tersebut dapat

direalisasikan dalam bentuk ruang publik. Saat ini ketersediaan

ruang publik di Indonesia masih sangat minim khususnya yang

sesuai untuk aktivitas bermain anak. Ruang publik dengan udara

lepas semakin terpinggirkan dengan adanya mall dan real estate

yang mementingkan komersialisasi. Komersialisasi ini tentu

membatasi akses masyarakat menengah ke bawah dan tidak sesuai

dengan konsep ruang publik yang seharusnya dapat dinikmati oleh

seluruh lapisan masyarakat tanpa dipungut biaya.

1.6.8. Kriteria Ruang Tempat Bermain

Hurlock (dalam Dewi, 2012) mendeskripsikan tempat bermain

sebagai sebuah ruang dimana anak dapat bertemu dengan teman

sebaya dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, yang akan

membantu membangun kecerdasan dan membentuk karakternya

dimasa yang akan datang. Bermain merupakan salah satu hak anak

sehingga ketersediaan ruang sebagai tempat bermain dibutuhkan

untuk memenuhi hak tersebut. Suatu ruang dianggap sesuai untuk

dijadikan sebagai tempat bermain dapat diidentifikasi melalui

beberapa kriteria yang dirumuskan menurut Moore (dalam Dewi,

2012), yaitu:

• Keamanan, ruang sebagai tempat bermain anak tidak

membahayakan dimana suatu ruang aman dari berbagai ancaman

seperti trafficking, kejahatan, kecelakaan, dan sebagainya.

Indikator dari keamanan adalah jarak dari permukiman <200m,

24

dapat dilihat oleh jangkauan jarak pandang orangtua untuk

pengawasan, jarak ke pusat kegiatan lingkungan sekitar �100m.

• Kenyamanan, dimana tempat bermain anak harus memiliki

lingkungan yang nyaman dan terbebas dari gangguan-gangguan.

Selain itu juga dihindari untuk menjadi tempat yang difungsikan

ganda seperti mendadak menjadi lahan parkir atau pembuangan

limbah. Kenyamanan dapat dilihat dari tidak ada sampah yang

berserakan, tersedia tempat duduk, tong sampah, dan pepohonan

rindang.

• Kelengkapan fasilitas bermain, terkait dengan ketersediaan alat-

alat bermain yang dapat dilihat melalui fasilitas yang memadai

sesuai dengan jumlah anak dan kondisi fasilitias bermain (terawat

atau tidak).

• Aksesibilitas, menunjukkan tingkat layanan dan aksesibilitas

bermain dari sisi manapun, di mana lokasi tidak dipagar oleh

dinding/penghalang dengan ketinggian di atas 150cm, tidak

terletak di seberang atau di sepanjang sungai/selokan besar/jalan

raya dan jalur pejalan kaki terpisahkan dari jalur kendaraan.

1.6.9. Kerangka Pemikiran

Kota sebagai pusat kegiatan mulai dari kegiatan ekonomi

hingga pemerintahan serta pusat permukiman menyebabkan

tingginya pertumbuhan fisik kota sebagai kebutuhan. Lahan-lahan

tidak terbangun di perkotaan dirubah menjadi bangunan-bangunan

dengan nilai ekonomi tinggi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Namun, pembangunan bangunan fisik tersebut tidak diiringi dengan

pemenuhan kebutuhan akan ruang publik. Padahal keberadaan ruang

publik sangat penting bagi masyarakat perkotaan yang hidup dengan

berbagai tekanan yang dapat memicu stres. Ruang publik dengan

fungsi sosial dan budaya dapat berperan sebagai tempat untuk

berekreasi dan tempat bermain untuk anak-anak.

25

Anak-anak merupakan lapisan yang paling rentan terhadap

terbatasnya ketersediaan ruang publik terutama untuk aktivitas

bermain. Padahal ruang publik untuk aktivitas bermain merupakan

salah satu aspek vital untuk mendukung tumbuh kembang anak

karena dengan bermain di ruang publik anak akan melakukan

interaksi dengan lingkungan di sekitarnya dan akan membentuk

kepribadiaan anak di kemudian hari. Tidak dapat dipungkiri

ketersediaan ruang publik dengan kriteria yang sesuai untuk aktivitas

bermain terutama di kawasan Kampung Ramah Anak perkotaan

dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan sumberdaya manusia

yang berkualitas yang dimulai sejak dini. Terbatasnya tempat

bermain membuat anak memanfaatkan ruang publik yang ada untuk

bermain sehingga perlu dilihat bagaimana perilaku bermainnya

terhadap ruang publik tersebut. Melalui kriteria ruang publik dan

perilaku bermain anak maka perlu dilakukan analisis secara spasial

keberadaan ruang publik untuk melihat hubungan antara keduanya.

26

Observasi & wawancara Observasi & wawancara

GIS, analisis deskriptif

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Peneliti

Laju pembangunan menekan ketersediaan ruang publik

Terbatasnya ruang publik untuk aktivitas bermain

Pemanfaatan ruang publik untuk bermain

Kondisi sosial Keamanan

Perilaku bermain anak

Kriteria ruang untuk bermain

Kenyamanan Perbedaan gender

Fasilitas bermain Lingkungan

Aktivitas lain Aksesibilitas

Analisis spasial ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain