BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ruang publik (public space) merupakan salah satu kebutuhan yang
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang bermukim di wilayah
perkotaan. Masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan memiliki risiko
yang lebih tinggi terhadap berbagai masalah sosial bila dibandingkan
dengan masyarakat yang bermukim di perdesaan. Masalah-masalah sosial
yang timbul dapat disebabkan oleh semakin tingginya individualisme pada
masyarakat serta berkurangnya rasa kebersamaan dan sosialisasi
(Sumardjito, 2013). Hal ini merupakan salah satu dampak yang terjadi
akibat minimnya ketersediaan ruang publik di perkotaan sehingga
masyarakat memiliki keterbatasan tempat untuk melakukan sosialisasi
dengan lingkungan di sekitarnya. Tingginya tuntutan kehidupan di
perkotaan dan terbatasnya ruang publik untuk interaksi sosial dapat
mengakibatkan menurunnya produktivitas masyarakat karena stres yang
meningkat (Haryadi dalam Setiawan, 2006). Padahal ruang publik memiliki
fungsi dan makna sosial-budaya yang tinggi.
Ruang publik memiliki fungsi sebagai tempat masyarakat beraktivitas
mulai dari berinteraksi antar warga, berkomunikasi, bersosialisasi, serta
tempat bermain bagi anak-anak. Kenyataannya saat ini keberadaan ruang
publik semakin tertekan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk
yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai akibatnya kebutuhan
akan lahan permukiman serta sarana dan prasarana pendukungnya juga ikut
meningkat (Setiawan, 2006). Kota sebagai pusat kegiatan ekonomi juga
mempengaruhi terbatasnya ketersediaan ruang publik. Berbagai kegiatan
ekonomi yang terpusat di wilayah perkotaan mengakibatkan pertumbuhan
ekonominya ikut meningkat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu
wilayah maka akan semakin tinggi pula kebutuhan akan jasa. Meningkatnya
kebutuhan akan jasa di berbagai sektor akan berdampak pada pertumbuhan
2
kota yang sangat cepat, akibatnya lahan tidak terbangun dibangun menjadi
bangunan-bangunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini
mengakibatkan masyarakat semakin tidak memiliki wadah untuk
beraktivitas dengan semakin berkurangnya ruang publik.
Pembangunan di kota yang sangat cepat seringkali tidak
memperhatikan kebutuhan ruang publik untuk aktivitas bermain bagi anak.
Padahal menurut Tranter dan Pawson (dalam Widiyanto dan Rijanta, 2012)
dunia anak merupakan dunia bermain, sehingga anak memiliki hak untuk
mendapatkan akses bermain demi memenuhi kepentingan anak dalam
memperoleh dunianya. Kurangnya ketersediaan ruang publik yang sesuai
untuk aktivitas bermain membuat kita terbiasa melihat anak bermain di
gang-gang sempit bahkan jalan raya yang jelas-jelas membahayakan diri
mereka dan orang lain, karena jalan memang bukan arena bermain. Sebagai
contoh di Kota Yogyakarta kita dapat melihat di pinggiran Stasiun
Lempuyangan menjadi ruang publik dadakan pada sore hari, menjadi tempat
anak-anak bermain sambil memandang keretaapi yang melintas. Hal ini
dapat menggambarkan bahwa terjadi pergeseran peran ruang publik dimana
anak telah menciptakan sendiri ruang menurut persepsinya yang difungsikan
untuk bermain tanpa memperhatikan faktor keamanan dan keselamatan.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa kebutuhan ruang bermain untuk
anak merupakan sesuatu yang mutlak karena bermain merupakan salah satu
hak anak yang harus dipenuhi. Menurut Hurlock (dalam Setiawan, 2006)
masa kanak-kanak merupakan masa awal manusia berinteraksi dengan
lingkungan baik secara fisik, psikologi, maupun sosial. Melalui aktivitas
bermain yang baik, sehat, aman, dan mengandung elemen alami dapat
membantu membangun karakter, sifat, dan potensi anak di masa yang akan
datang. Aktivitas bermain di ruang publik dapat melatih kepedulian,
toleransi, strategi, dan kerjasama pada anak sehingga kurangnya ruang
publik untuk bermain akan memunculkan berbagai permasalahan bagi anak
(Woolley, 2008). Karena tidak memiliki ruang untuk bermain saat ini anak
menjadi lebih senang untuk menghabiskan waktu berjam-jam di depan video
3
game, atau play station yang menjamur di sudut kampung. Selain
menghabiskan banyak waktu, mahal dan tidak mendidik, permainan video
game dapat menghambat perkembangan anak baik dari segi fisik maupun
psikologi.
Ennew (dalam Elsley, 2004) mengatakan bahwa saat ini anak
diposisikan sebagai penghuni ruang yang selayaknya dirancang untuk orang
dewasa, dimana interaksi dengan ruang publik seakan dibatasi dan lebih
banyak menghabiskan waktu dalam sebuah lembaga seperti sekolah.
Keadaan tersebut menimbulkan berbagai dampak negatif pada anak yang
akhirnya akan berujung pada penurunan kualitas sumberdaya manusia di
suatu wilayah. Padahal sumberdaya manusia merupakan salah satu aspek
penting di dalam pembangunan wilayah itu sendiri. Suatu wilayah dapat
berkembang dengan baik jika memiliki sumberdaya manusia yang
berkualitas, oleh karena itulah fasilitas ruang publik dibutuhkan untuk
mendukung tumbuh kembang anak demi terciptanya sumberdaya manusia
berkualitas yang dimulai sejak dini.
1.2. Perumusan Masalah
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 11 tentang Perlindungan
Anak menyebutkan bahwa “setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri”. Berkaitan dengan konsep Kota
Layak Anak (KLA) yang dicanangkan oleh Kota Yogyakarta maka fasilitas
ruang publik sebagai sarana untuk aktivitas bermain menjadi salah satu
elemen demi mewujudkan KLA. Konsep KLA di Kota Yogyakarta
dirumuskan ke dalam bentuk Kampung Ramah Anak (KRA) yang digagas
oleh Walikota Herry Zudianto dan direalisasi pada setiap kelurahan yang
ada di Kota Yogyakarta.
Konsep KRA menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan kota yang
ramah, dimana tidak hanya didominasi oleh bangunan-bangunan. Namun
4
pada kenyataannya wilayah kampung kota juga tidak terlepas dari laju
pembangunan yang menekan ketersediaan ruang publik terutama untuk
aktivitas bermain anak. Widaningsih dkk (2007) berpendapat bahwa
privatisasi lahan yang terjadi baik secara individu maupun lembaga juga
menjadi penyebab semakin terpinggirkannya ruang publik sehingga
mengakibatkan kebutuhan anak untuk bermain di ruang terbuka tidak dapat
terpenuhi dengan baik. Kemudian hal ini diperparah dengan gaya hidup
modern yang menempatkan anak seperti orang dewasa dengan banyak
menghabiskan waktunya di lembaga institusional dan ruang publik tidak
lagi menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari (Ennew dalam Elsley,
2004).
Jumlah penduduk Kota Yogyakarta yang meningkat dari tahun ke
tahun menyebabkan tingginya kebutuhan akan lahan permukiman. Kota
Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.250 Ha dan menurut Kota Yogyakarta
Dalam Angka Tahun 2009 penggunaan lahan terbesar 64,8% (2.106,338
��) dari luas wilayahnya diperuntukan sebagai perumahan. Selain itu
penggunaan lahan untuk kepentingan jasa, perusahaan, dan industri
menghabiskan lahan sebesar 18,6% (605.361 ��). Kemudian ditambah
dengan penggunaan lahan pertanian dan lain-lain maka luas lahan tidak
terbangun yang tersedia di Kota Yogyakarta hanya sebesar 0,6% (20,041
��). Kepadatan penduduk secara tidak langsung akan menggambarkan
tingginya tingkat kepadatan bangunan. Terutama bangunan perumahan yang
terdapat di kampung kota yang pada umumnya tidak direncanakan dan
ditata dengan baik sehingga didominasi oleh bangunan-bangunan padat dan
minim akan ruang publik.
Keterbatasan tersebut membuat anak di kawasan kampung kota
memanfaatkan ruang yang tidak semestinya untuk memenuhi kebutuhan
bermain mereka. Salah satu kawasan kampung kota di Kota Yogyakarta
adalah Kampung Golo yang terdapat di RW 02, Kelurahan Pandeyan,
Kecamatan Umbulharjo. Kampung Golo merupakan satu dari 46 KRA yang
ada di Kota Yogyakarta. Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan
5
Perempuan dan Anak (dalam jogjakota, 2013) mengatakan bahwa KRA
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan KLA melalui pembangunan
yang berbasis RW yang bertujuan untuk menghormati, menjamin,
memenuhi hak anak, melindungi anak dari tindakan kekerasan, eksploitasi,
pelecehan, diskriminasi, dan mendengar pendapat anak. Hak anak yang
harus dipenuhi oleh pemerintah salah satunya adalah memperoleh sarana
bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan (UU No.23
Pasal 56 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan hal tersebut
maka diangkat rumusan masalah untuk penelitian ini dengan menjawab
pertanyaan sebagai berikut:
- Bagaimanakah kriteria ruang publik yang digunakan untuk aktivitas
bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo?
- Bagaimanakah perilaku bermain anak dalam memanfaatkan ruang
publik di kawasan Kampung Ramah Anak Golo?
- Bagaimana analisis spasial keberadaan ruang publik yang digunakan
untuk aktivitas bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo?
1.3. Tujuan
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian
ini memiliki tujuan yang akan dicapai sebagai berikut:
- Mengukur kriteria ruang publik yang digunakan untuk aktivitas
bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo.
- Mengukur perilaku bermain anak dalam memanfaatkan ruang publik di
kawasan Kampung Ramah Anak Golo.
- Menganalisis secara spasial keberadaan ruang publik yang digunakan
untuk aktivitas bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti:
a. Sebagai bahan penyusunan skripsi untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada Fakultas Geografi UGM.
6
b. Sarana untuk menuangkan gagasan, ide, dan pikiran dalam bentuk
tulisan.
c. Melatih dan mendorong untuk berpikir logis, kritis dan
meningkatkan daya serap informasi, khususnya tentang topik yang
akan diteliti.
2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan bisa berkontribusi dalam referensi tentang
kriteria ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain anak di
kawasan Kampung Ramah Anak, sekaligus menjadi pedoman bagi
penelitian selanjutnya di masa yang akan datang.
3. Secara praktis
Bermanfaat bagi pengambilan kebijakan dan alternatif solusi untuk
memecahkan permasalahan dan penentu kebijakan bagi ketersediaan
ruang publik untuk aktivitas bermain anak di Kota Yogyakarta.
7
1.5. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya
Judul Penulis Tujuan Metode Hasil
Ruang Bermain untuk Anak di Kampung Kota: Studi Persepsi Lingkungan, Seting, dan Perilaku Anak di Kampung Code Utara, Yogyakarta
Bakti Setiawan. 2006.
Memahami persepsi dan perilaku anak-anak kota terhadap seting perumahan, sungai dan lingkungannya.
Menggunakan pendekatan naturalistik. Metode penggumpulan data menggunakan pemetaan perilaku (behavioral mapping), pemetaan swadaya (self mapping), wawancara, dan observasi lapangan.
1) Kondisi sosial dicirikan dengan penduduk berpenghasilan menengah kebawah, kepadatan penduduk 215jiwa per hektar dengan mata pencaharian yang beragam. Seting fisik kampung dicirikan dengan kimiringan lahan yang cukup curam ke arah sungai dengan kepadatan bangunan 70-80%. 2) Sebagian besar anak memahami bahwa sungai merupakan bagian penting dalam sistem lingkungan perumahan mereka, serta memiliki persepsi yang positif terhadap sungai. 3) Paling sedikit tedapat lima jenis permainan yang diidentifikasi, secara umum tidak terdapat perbedaan gender dalam peluang bermain, keterbatasan lingkungan tidak membatasi anak untuk menemukan seting lingkungan untuk bermain. 4) Terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi, seting, dan perilaku anak terhadap Sungai Code Utara.
How Does The Playground Role in
Santy P. Dewi. 2012.
Mengidentifikasi bentuk dan memetakan taman bermain, menganalisis kualitas taman bermain,
Menggunakan metode kuantitatif-kualitatif. Kualitas taman bermain diukur dengan metode
Kualitas taman bermain di Tlogosari Kulon masuk dalam klasifikasi memadai. Taman bermain sebagai salah satu indikator KLA belum berperan secara maksimal, dapat dilihat dari: 1) kurangnya
8
Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya
Judul Penulis Tujuan Metode Hasil
Realizing Children-Friendly-City?
dan menganalisis peran taman bermain dalam mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Semarang.
skoring, diikuti dengan penjelasan dan narasi dari deskripsi peran taman bermain dalam mewujudkan KLA. Pengumpulan data menggunakan metode purposive sampling kepada orangtua yang memiliki anak dengan umur 0-14 tahun yang tinggal di wilayah Tlogosari Kulon. Wawancara juga dilakukan menggunakan metode accidental sampling dengan anak-anak yang ditemukan di lokasi.
perhatian pemerintah terkait penyediaan infrastuktur, terutama kualitas taman bermain yang baik. 2) minimnya perhatian orangtua terkait pemanfaatan taman bermain anak. 3) penyediaan infrastruktur yang tidak terintegrasi. 4) dalam perencanaan dan pemanfaatan taman bermain, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan aspirasi.
Lingkungan Kota Layak Anak (Child-Friendly City) Berdasarkan Persepsi Orangtua di Kota Yogyakarta
Dodi Widiyanto dan Rijanta, R. 2012.
Mengidentifikasi konsep-konsep yang terkait dengan KLA di Kota Yogyakarta sebagaimana dipersepsikan oleh orangtua.
Menggunakan metode perumusan konsep secara deduksi berdasarkan hasil studi empiris penelitian.
Terdapat empat konsep utama, yaitu 1) konsep kebijakan; pemerintah telah menyusun peraturan untuk mendukung terciptanya atmosfer KLA di Kota Yogyakarta dan memberikan sosialisasi sampai tingkat kecamatan. 2) Konsep perlindungan; melalui hasil uji empiris di Kota Yogyakarta perhatian orangtua belum mengarah sampai dengan melakukan proteksi yang berlebihan terhadap anak. 3) Lingkungan; anak-anak memiliki hak untuk
9
Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya
Judul Penulis Tujuan Metode Hasil
mendapatkan lingkungan yang bebas dari polusi dan berbagai pemenuhan hak dasar. 4) Perencanaan bagi anak; pengalaman di Kota Yogyakarta menunjukkan sudah dijumpai suatu fasilitas pendukung kegiatan anak seperti adanya Zona Aman dan Selamat Sekolah.
Playground Usability: What Do Playground Users Say?
Ripat, J. & Becker, P. 2012.
Mengetahui pengalaman dari penggunaan taman bermain bagi anak-anak yang menyandang disabilities di satu lokasi geografis. Memberikan rekomendasi untuk meningkatkan kegunaan dari konstruksi taman bermain di masa yang akan datang.
Menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik purposive sampling dan analisis induktif. Kriteria sampel yaitu anak penyandang cacat dan pengasuhnya.
Hasil analisis wawancara menghasilkan tiga pokok utama dalam pembangunan, yaitu playground experiences, hal ini menjelaskan alasan mengapa anak dan keluarga pergi ke tempat bermain dan tipe permainan yang dilakukan oleh mereka. Kedua playground usability yang menjelaskan kegunaan fungsional dari tempat bermain. Ketiga inclusivity yang menjelaskan alasan mengapa narasumber merasa bahwa keberadaan tempat bermain yang memiliki sifat “useable” itu penting.
10
1.6. Tinjauan Pustaka
1.6.1. Studi Geografi (Pendekatan Spasial)
Menurut Yunus (2004) dalam ilmu geografi terdapat tiga
pendekatan utama yang menjadi acuan bagi geograf, yaitu
pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologikal
(ecological approach), dan pendekatan kompleks wilayah (regional
complex approach). Pendekatan-pendekatan tersebut menjadi
batasan kegiatan penelitian dalam keilmuan geografi, namun
penelitian juga dapat dilengkapi dengan pendekatan-pendekatan baru
yang muncul dari disiplin ilmu lain. Walaupun dapat menggunakan
pendekatan ilmu lain sebagai komplementer, dalam melakukan
analisis seorang geograf tetap harus mengacu pada ketiga
pendekatan utama tersebut untuk menghindari terjadinya
marginalisasi peranan geograf itu sendiri. Melalui pemahaman
mengenai pendekatan-pendekatan geografi secara mendalam,
geograf dapat memposisikan dirinya dengan tepat dalam
pembangunan sesuai dengan bidang keahliannya.
Terkait dengan ketiga pendekatan utama dalam ilmu geografi,
penelitian ini menggunakan pendekatan keruangan yang
menekankan analisisnya pada keberadaan ruang yang menjadi
tempat berlangsungnya seluruh kegiatan manusia. Segala obyek
yang terdapat di dalam ruang dapat menjadi obyek penelitian dari
berbagai aspek sesuai dengan tujuh tema analisis dalam pendekatan
keruangan, yaitu analisis pola keruangan, analisis struktur
keruangan, analisis proses keruangan, analisis interaksi keruangan,
analisis asosiasi keruangan, analisis organisasi keruangan, dan
analisis tendensi keruangan (Yunus, 2004).
Analisis pola keruangan menekankan pada sebaran dan
aglomerasi elemen-elemen pembentuk ruang dengan
mengidentifikasi aglomerasi sebarannya terlebih dahulu dan
selanjutnya dihubungkan dengan pertanyaan geografi. Analisis
11
struktur keruangan menekankan pada susunan elemen-elemen
pembentuk ruang. Langkah awal yang dilakukan adalah
mengidentifikasi susunan keruangannya. Analisis proses keruangan
menekankan pada perubahan yang terjadi pada ruang dalam waktu
tertentu. Analisis interaksi keruangan merupakan analisis hubungan
timbal balik antar ruang dengan mengenali faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya interaksi. Analisis asosiasi keruangan
menekankan pada terjadinya asosiasi keruangan antar berbagai
kenampakan pada suatu ruang. Analisis organisasi keruangan
menekankan pada keterkaitan antara kenampakan yang satu dengan
yang lain secara individual yang bertujuan untuk mengetahui
elemen-elemen lingkungan yang mempengaruhi terciptanya tatanan
spesifik dari elemen pembentuk ruang. Analisis tendensi keruangan
menekankan pada kecenderungan perubahan suatu gejala yang dapat
dilakukan berdasarkan space based analysis, time based analysis
maupun gabungan antara space dan time based analysis (Yunus,
2004).
Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1 tentang
Penataan Ruang, yang dimaksud dengan “ruang adalah wadah yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang
di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya”. Ruang dapat dibedakan menjadi ruang
relatif dan ruang absolut. Ruang relatif diartikan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan, hanya berupa buah pikiran, dan tidak
memiliki bentuk nyata/riil. Ruang absolut merujuk pada bagian
permukaan bumi, wilayah alamiah, memiliki bentuk nyata/riil yang
dapat tertangkap oleh indera mata tanpa intervensi pikiran. Ruang
publik yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan ruang publik
yang sifatnya absolut secara fisik.
12
1.6.2. Ruang Publik (Public Space)
Ruang publik merupakan suatu ruang yang dapat diakses oleh
seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan atau
kepentingan tanpa dipungut biaya. Menurut Peraturan Menteri PU
No.12/PRT/M 2009 “ruang publik adalah suatu ruang eksternal
ataupun internal yang dapat diakses oleh publik tanpa kontrol
ataupun larangan tanpa melihat kepemilikannya”. Misalnya adalah
taman umum dan jalan yang dapat bebas diakses dan digunakan oleh
setiap orang. Ruang publik tidak hanya berupa ruang terbuka di
permukaan bumi namun juga dapat berupa ruang tertutup. Carmona
(dalam Parlindungan, 2013) mendeskripsikan ruang publik sebagai
ruang yang dapat diakses bebas oleh masyarakat umum dimana
ruang tersebut saling berhubungan dengan lingkungan di sekitarnya
baik lingkungan alami dan binaan, publik dan privat, internal dan
eksternal, serta perkotaan dan pedesaan.
Menurut Brodin (dalam Parlindungan, 2013) ruang publik
menurut proses pembentukannya dapat dibedakan menjadi:
• Ruang publik metafora (metaphorical public space)
Ruang dimaknai berdasarkan bagaimana peranan ruang tersebut
tanpa memperhatikan bentuk fisik maupun fungsinya. Sebuah
ruang pada proses pembentukan ini mengalami pergeseran makna
akibat adanya aktivitas, proses interaksi dan komunikasi antara
manusia. Tanpa adanya pengendalian formal maka muncullah
kesepakatan informal terhadap pemanfaatan ruang sehingga ruang
berperan untuk mewadahi hubungan antar manusia. Contohnya
adalah ruang publik yang secara fungsional merupakan jalan raya,
namun pada waktu tertentu dapat berubah menjadi ruang
interaksi. Bantaran rel keretaapi dapat berperan menjadi tempat
beraktivitas bagi anak dan orangtua pada sore hari seperti yang
terjadi di pinggiran Stasiun Lempuyangan.
13
• Ruang publik harfiah (literal public space )
Ruang dimaknai sesuai dengan sifat fungsional dan bentuk
fisiknya serta terbentuk berdasarkan adanya akses. Terbentuknya
ruang publik harfiah tidak memperhatikan aktivitas manusia yang
terjadi di dalamnya melainkan terbentuk secara teknis melalui
proses perencanaan dan perancangan sehingga kegiatan manusia
di dalamnya mengikuti sebagaimana tujuan dari perencanaan
yang telah dilakukan. Misalnya adalah ruang publik taman
bermain yang dipergunakan secara fungsional sebagai tempat
bermain anak.
Menurut sifatnya ruang publik dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu ruang publik tertutup dan ruang publik terbuka. Menurut
Carmona (dalam Parlindungan, 2013) ruang publik memiliki
beberapa fungsi, yaitu fungsi ekonomi, fungsi kesehatan, fungsi
sosial, dan fungsi lingkungan. Terkait dengan fungsi sosial ruang
publik dapat berperan sebagai kawasan rekreasi dan juga dapat
diperuntukan sebagai tempat bermain untuk anak-anak. Ruang
publik yang berfungsi sebagai kawasan rekreasi digolongkan ke
dalam beberapa kategori oleh Perkumpulan Rekreasi Nasional
Amerika (dalam B.Gallion & Eisner, 1994), yaitu halaman bermain,
tempat bermain lingkungan, dan lapangan bermain. Ketiga kategori
tersebut memiliki standarisasi yang berbeda.
Perkumpulan Rekreasi Nasional Amerika (dalam B.Gallion &
Eisner, 1994) lebih rinci mengemukakan halaman bermain
diperuntukan untuk anak berusia dibawah 6 tahun. Satu unit fasilitas
ini seharusnya ada disetiap lingkungan dengan jumlah antara 30
hingga 60 keluarga. Tempat bermain lingkungan diperuntukan untuk
anak dengan usia 6 hingga 14 tahun. Suatu lingkungan dengan
jumlah anak 1.200 orang maka diperlukan dua atau lebih tempat
bermain. Halaman bermain dan tempat bermain harus memfasilitasi
anak untuk permainan tidak formal dengan dilengkapi oleh sarana-
14
sarana seperti ayunan, prosotan, kotak pasir, tempat senam, ruang
untuk berlari, dan peralatan bermain lainnya. Selain itu juga harus
dapat memfasilitasi anak untuk berolah raga dan kegiatan yang
berhubungan dengan seni seperti mengukir, bermain drama, dan
mendengarkan cerita. Kemudian adalah lapangan bermain yang
diperuntukan untuk remaja dan orang dewasa. Ruang terbuka ini
dapat memfasilitasi 4 atau 5 lingkungan dalam radius tidak lebih dari
satu mil.
Ketersediaan ruang publik perkotaan menjadi salah satu unsur
terwujudnya kota layak anak sesuai dengan kebijakan internasional
yang disampaikan oleh UNICEF pada tahun 1996. Kota dikatakan
layak anak jika hak-hak anak dapat dipenuhi oleh pemerintah, salah
satunya adalah hak anak untuk bermain. Keberadaan ruang publik
untuk aktivitas bermain menjadi penting karena dapat mendukung
perkembangan anak dengan fasilitas yang dapat menciptakan
berbagai kesempatan belajar.
1.6.3. Tipologi Ruang Publik
Menurut Carmona (dalam Parlindungan, 2013) berdasarkan
perlingkupannya ruang publik memiliki tiga tipologi, yaitu:
• External Public Space (Ruang Publik Terbuka)
Ruang publik ini merupakan bagian lahan yang berada di luar
ruang yang berada di antara kepemilikan privat dan dapat diakses
oleh publik. Contohnya jalan, alun-alun, taman, lahan parkir, dan
sebagainya.
• Internal Public Space (Ruang Publik Tertutup)
Merupakan ruang publik yang berupa fasilitas umum yang
dikelola oleh pemerintah dan dapat bebas diakses oleh
masyarakat. Contohnya adalah perpustakaan, museum, terminal,
halte, rumah sakit dan sebagainya.
15
• External and Internal “Quasi” Public Space
Ruang publik terbuka maupun tertutup dengan status kepemilikan
privat dimana pemilik memiliki kendali terhadap akses dan
perilaku masyarakat yang menggunakannya. Contohnya fasilitas-
fasilitas komersial, kampus, TK, mall, dan sebagainya.
Tipologi ruang publik juga dapat dibedakan berdasarkan
fungsinya secara umum oleh Carmona (dalam Parlindungan, 2013)
sebagai berikut:
• Positive space
Ruang publik ini biasanya dikelola oleh pemerintah dan dapat
digunakan untuk kegiatan yang sifatnya positif.
• Negative space
Ruang publik ini tidak dikelola dengan baik sehingga tidak dapat
digunakan secara optimal untuk kegiatan publik karena fungsinya
yang tidak sesuai dengan kenyamanan dan keamanan aktivitas
sosial.
• Ambiguous space
Ruang ini biasanya dipergunakan sebagai aktivitas peralihan bagi
publik dari kegiatan utamanya.
• Private space
Merupakan ruang pribadi yang dimiliki oleh masyarakat.
Berikut tipologi ruang publik menurut fungsinya secara umum
oleh Carmona (dalam Parlindungan, 2013) pada tabel 1.2.
Tabel 1.2. Tipologi Ruang Publik Positive space Natural/semi-natural urban space
Lingkungan natural dan semi-natural di perkotaan, biasanya di bawah kepemilikan negara
Sungai, selokan, lingkungan alam, seafront, kanal
Civic space Bentuk tradisional dari ruang perkotaan, terbuka dan dapat digunakan oleh seluruh masyarakat dan memiliki berbagai fungsi
Jalan, lapangan, trotoar
16
Lanjutan Tabel 1.2. Tipologi Ruang Publik Positive Space Public open space
Ruang terbuka yang dikelola, biasanya berupa ruang terbuka hijau untuk umum walaupun terkadang dikontrol oleh pihak tertentu
Taman, kebun, hutan kota, kuburan
Negative space Movement space
Ruang didominasi oleh kebutuhan bergerak manusia, terutama untuk kendaraan bermotor
Jalan besar, jalan raya, rel kereta api, underpasses
Service space Ruang didominasi oleh kebutuhan persyaratan pelayanan modern
Car park, service yards
Left-over space
Ruang yang tersisa setelah pembangunan, seringkali tidak memiliki fungsi
Ruang antara banggunan, ruang terbuka modern
Undefined space
Ruang yang tidak terbangun, baik telah ditinggalkan maupun menunggu untuk dibangun
Redevelopment space, transient space, ruang yang ditinggalkan
Ambiguous space Interchange space
Pemberhentian dan pertukaran kendaraan, baik internal maupun eksternal
Metros, terminal, stasiun, halte
Public private space
Seperti ruang publik eksternal, namun sebenarnya milik pribadi dan dikendalikan baik sepenuhnya maupun sedikit
Ruang sipil milik pribadi, business parks, halaman tempat ibadah
Conspicuous space
Ruang publik dirancang untuk membuat orang asing merasa mencolok dan biasanya tidak diinginkan
Jalan buntu, perumahan berpagar buatan
Internalised public space
Secara formal untuk umum dan penggunaan eksternal, diinternalisasi dan terkadang diprivatisasi
Pusat perbelanjaan, introspective mega-structures
Retail space Milik pribadi namun dapat diakses oleh publik sebagai tempat pertukaran dari satu ruang ke ruang lain
Pertokoan, pasar, pom bensin
Third place spaces
Tempat semi publik untuk beraktivitas dan bersosialisasi, baik umum dan privat
Kafe, restoran, perpustakaan, tempat ibadah
Private public space
Ruang milik institusi yang secara fungsional dan penggunanya diatur namun dapat digunakan oleh umum
Lembaga institusional, perumahan, kampus
17
Lanjutan Tabel 1.2. Tipologi Ruang Publik
Ambiguous space Visible private space
Secara fisik milik pribadi, namun secara visual merupakan ruang publik
Halaman, lahan pertanian, gated square
Interface space
Secara fisik ditandai antara publik dan pivat namun secara umum dapat diakses
Street cafes, trotoar
User selecting space
Ruang untuk kelompok tertentu, yang ditentukan (dan kadang dikontrol) oleh usia atau kegiatan
Skateparks, tempat bermain, lapangan olahraga
Private space Private open space
Secata fisik merupakan ruang terbuka privat
Sisa pertanian, hutan pribadi
External private space
Secara fisik merupakan ruang privat Jalan berpagar, kebun pribadi, lahan parkir
Internal private space
Ruang privat atau ruang bisnis Kantor, rumah, dsb
Sumber: Carmona (dalam Parlindungan, 2013)
1.6.4. Perkotaan
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 Butir q tentang
Pemerintahan Daerah, “kawasan perkotaan adalah kawasan yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi”. Melalui pengertian tersebut dapat dijabarkan
bahwa basis ekonomi utama daerah perkotaan adalah industri dan
jasa dengan kepadatan daerah terbangun yang tinggi dan terdapat
spesialisasi fungsi yang tinggi. Masyarakat yang ada di dalamnya
relatif heterogen dan besar sehingga membutuhkan tingkatan fasilitas
pelayanan publik yang lebih tinggi dengan jumlah yang lebih
banyak.
Selain itu menurut Yunus (2005), kota dapat ditinjau dari
berbagai segi yaitu yuridis-administratif, fisik morfologis, jumlah
penduduk, kepadatan penduduk, fungsinya dalam suatu wilayah
18
organik, dan sosio-kultural. Ditinjau dari segi yuridis-administratif,
kota adalah suatu wilayah yang merupakan bagian dari suatu wilayah
tertentu yang dibatasi oleh batas administratif yang jelas diatur
dalam peraturan dan berstatus sebagai kota dan memiliki
pemerintahan tertentu dengan segala hak dan kewajibannya dalam
mengatur wilayah kewenangannya. Ditinjau dari segi fisik
morfologis, kota merupakan daerah yang menjadi konsentrasi
penduduk yang padat dimana pemanfaatan lahan yang ada di
dalamnya didominasi oleh bangunan-bangunan permanen serta
memiliki fasilitas yang lebih lengkap daripada daerah perdesaan.
Kemudian jika ditinjau dari segi jumlah penduduk, kota
diartikan sebagai daerah tertentu yang memiliki jumlah penduduk
minimal yang telah ditentukan dan bertempat tinggal pada
permukiman yang kompak. Dilihat dari segi kepadatan penduduknya
yang dimaksud dengan kota adalah daerah yang memiliki kepadatan
penduduk minimal sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Selanjutnya jika ditinjau dari segi fungsinya dalam wilayah organik,
kota merupakan suatu wilayah yang menjadi pemusatan berbagai
kegiatan dan berperan sebagai kolektor dan distributor barang dan
jasa dari wilayah hinterlandnya. Terakhir ditinjau melalui segi sosio
kultural, kota diartikan sebagai daerah yang terdiri dari masyarakat
dan corak kehidupan yang heterogen dan membutuhkan berbagai
fasilitas yang lebih kompleks daripada masyarakat di perdesaan.
1.6.5. Konsep Kampung Ramah Anak
Kampung Ramah Anak (KRA) merupakan sebuah inisiasi
yang dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta untuk
mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) yang dimulai pada tahun
2011. Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan
Kota Yogyakarta, Irawati (dalam antaranews, 2013) mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan kampung ramah anak adalah
19
kampung yang dengan sengaja atau dengan sadar berupaya
memenuhi hak dan kebutuhan anak untuk dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. Pengertian KRA tersebut sejalan dengan
pengertian KLA dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan RI Nomor 2 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 4 tentang
Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak yang menyatakan “KLA
adalah sistem pembangunan satu wilayah administrasi yang
mengintegrasikan komitmen dan sumberdaya pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak”.
KRA merupakan sebuah implementasi yang dilakukan untuk
merealisasikan KLA di Yogyakarta melalui lingkup kampung agar
pelaksanaan program terkait KLA dapat menjangkau unit terkecil
dari sebuah kota yaitu rumahtangga. Masalah yang menjadi alasan
dibentuknya konsep KLA yaitu karena kota dengan kepadatan
penduduk yang tinggi menjadi kota yang tidak bersahabat bagi anak
sebagai akibat dari minimnya perhatian terhadap kebutuhan dan
prioritas anak, serta meningkatnya anak yang hidup dalam
kemiskinan. Berdasarkan hal itu maka dibentuklah beberapa
indikator KRA yang telah disusun oleh Pemerintah Kota
Yogyakarta, yaitu komitmen wilayah, hak sipil dan kebebasan untuk
anak, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan
dasar dan kesejahteraan, pendidikan, hak perlindungan khusus,
budaya serta sarana dan prasarana. Salah satu sarana dan prasarana
yang menjadi hak anak dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah tempat bermain, sehingga pemerintah
sudah seharusnya memfasilitasi hal ini.
Menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
RI Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota
Layak Anak, KLA memiliki tujuan, yaitu:
20
• Meningkatkan komitmen pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha di kabupaten/kota dalam upaya mewujudkan pembangunan
yang peduli terhadap anak, kebutuhan dan kepentingan terbaik
bagi anak.
• Mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan,
sarana, prasarana, metoda dan teknologi yang ada pada
pemerintah, masyarakat serta dunia usaha di kabupaten/kota
dalam mewujudkan hak anak.
• Mengimplementasi kebijakan perlindungan anak melalui
perumusan strategi dan perencanaan pembangunan
kabupaten/kota secara menyeluruh dan berkelanjutan sesuai
dengan indikator KLA.
• Memperkuat peran dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota
dalam mewujudkan pembangunan di bidang perlindungan anak.
1.6.6. Aktivitas Bermain
Bermain diartikan dengan pengertian yang berbeda-beda oleh
orang yang berbeda. Definisi bermain menurut berbagai ahli dalam
Woolley (2008) yaitu, bermain dianggap sebagai proses kreativitas
yang berkelanjutan (Aaron dan Winawer 1970); bermain merupakan
suatu pendekatan dalam suatu tindakan, bukan suatu bentuk dari
sebuah aktivitas (Moyles 1989); bermain merupakan kegiatan alami
yang dialami dalam masa kanak-kanak (Prout dan James 1997).
Sedangkan menurut The Department for Culture, Media and Sport
dalam Woolley (2008), bermain merupakan aktivitas yang dilakukan
oleh anak ketika mereka mengikuti keinginan dan rasa ketertarikan
mereka sendiri yang didukung oleh orang dewasa atau pemerintah
untuk membantu memfasilitasi kebutuhan tersebut.
Aktivitas bermain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu free
play dan directed play. Menurut Moyles (dalam Woolley, 2008) free
play merupakan aktivitas bermain yang memberikan kesempatan
21
anak untuk mengeksplor, mengamati dan memahami situasi di
sekitarnya sendiri tanpa campur tangan orang dewasa. Directed play
merupakan aktivitas bermain dimana orang dewasa mengarahkan
anak tentang apa yang harus dia lakukan dengan material-material
yang tersedia. Menurut National Playing Fields Association (dalam
Woolley, 2008), bermain juga memiliki tipologi yang dibedakan
dalam 15 kategori, yaitu symbolic play, rough and tumble play,
socio-dramatic play, social play, creative play, communication play,
dramatic play, deep play, exploratory play, fantasy play, imaginative
play, locomotor play, mastery play, object play dan role play
(National Playing Fields Association, 2000).
Woolley (2008) mengidentifikasi kategori bermain sebagai
berikut: bermain dengan konten verbal, bermain dengan konten
imajinasi, bermain dengan konten fisik, dan bermain hanya dengan
menggunakan peralatan yang minim seperti berjalan, berbincang-
bincang, berkumpul dengan teman, dan menonton. Menurut Hurlock
(dalam Setiawan, 2006) masa awal interaksi yang terjadi antara
manusia dengan lingkungannya terjadi pada masa kanak-kanak, baik
interaksi secara fisik, psikologi, maupun interasi sosial. Interaksi
dengan lingkungan pada masa kanak-kanak tersebut dapat dialami
melalui aktivitas bermain yang juga memberikan banyak keuntungan
bagi tumbuh kembang anak.
Melalui kegiatan bermain dapat mengasah dan meningkatkan
kecerdasan, kemampuan motorik, kognitif, sosial seperti
bernegosiasi; kemampuan bahasa, meningkatkan aktivitas fisik,
kesehatan mental, memahami lingkungan, mengasah jiwa seni dan
budaya, serta kemampuan kinestetik (Shaw, 1987; Fjortoft, 2001;
Isenberg and Quisenberry, 2002; Turner et al., 2009 dalam Ripat dan
Becker 2012). Tanpa disadari aktivitas bermain pada anak dapat
membangun karakter dan kualitas sumberdaya manusia mulai sejak
dini. Sehingga kurangnya aktivitas bermain pada anak akan
22
membawa dampak negatif dalam perkembangannya dan berpotensi
menimbulkan masalah sosial dalam lingkungan masyarakat.
Aktivitas bermain diperlukan oleh anak sebagai sarana untuk
perkembangan kognisi terhadap ruang. Perkembangan kognisi
terhadap ruang tersebut dibedakan menjadi 4 periode utama
berdasarkan usia oleh Piaget (dalam Setiawan, 2006 ) yaitu sebagai
berikut: periode sensimotor (bayi, 0-2 tahun), periode preoperasional
(balita, 2-6 tahun), periode operasional konkret (usia sekolah, 6-12
tahun), dan periode operasional formal (usia remaja dan dewasa, 13
tahun ke atas). Berdasarkan periode tersebut, akhir masa kanak-
kanak terjadi pada periode operasional konkret. Menurut para ahli
psikologi dalam Setiawan (2006) periode operasional konkret
merupakan usia berkelompok, usia kreatif, dan usia bermain pada
anak.
Menurut Hurlock dalam Setiawan (2006) terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain anak pada usia sekolah,
yaitu kondisi sosial anak dengan teman-temannya, kesadaran anak
akan perbedaan gender, lingkungan, dan aktivitas lain yang
mengurangi kegiatan bermain anak.
1.6.7. Tinjauan Umum Aturan Hukum tentang Bermain
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 tentang
Perlindungan Anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun termasuk anak di dalam kandungan”. Salah satu hak anak
yang harus dipenuhi adalah hak untuk bermain, dimana telah dijamin
oleh pemerintah melalui UU tersebut. Hal tersebut tecantum pada
Pasal 11 yang dimana setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Selain itu, pada
Pasal 56 ayat 1 butir f disebutkan bahwa pemerintah wajib
23
mengupayakan dan membantu anak agar mereka dapat memperoleh
sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
Pemerintah terus berupaya untuk dapat mengakomodir hak-hak
anak yang telah dipaparkan dalam UU di atas. Sebagai upaya
merealisasikan tuntutan pasal dalam UU tersebut perlu diciptakan
fasilitas yang secara fungsional memang diperuntukan sebagai
kawasan bermain anak. Pengadaan fasilitas tersebut dapat
direalisasikan dalam bentuk ruang publik. Saat ini ketersediaan
ruang publik di Indonesia masih sangat minim khususnya yang
sesuai untuk aktivitas bermain anak. Ruang publik dengan udara
lepas semakin terpinggirkan dengan adanya mall dan real estate
yang mementingkan komersialisasi. Komersialisasi ini tentu
membatasi akses masyarakat menengah ke bawah dan tidak sesuai
dengan konsep ruang publik yang seharusnya dapat dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat tanpa dipungut biaya.
1.6.8. Kriteria Ruang Tempat Bermain
Hurlock (dalam Dewi, 2012) mendeskripsikan tempat bermain
sebagai sebuah ruang dimana anak dapat bertemu dengan teman
sebaya dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, yang akan
membantu membangun kecerdasan dan membentuk karakternya
dimasa yang akan datang. Bermain merupakan salah satu hak anak
sehingga ketersediaan ruang sebagai tempat bermain dibutuhkan
untuk memenuhi hak tersebut. Suatu ruang dianggap sesuai untuk
dijadikan sebagai tempat bermain dapat diidentifikasi melalui
beberapa kriteria yang dirumuskan menurut Moore (dalam Dewi,
2012), yaitu:
• Keamanan, ruang sebagai tempat bermain anak tidak
membahayakan dimana suatu ruang aman dari berbagai ancaman
seperti trafficking, kejahatan, kecelakaan, dan sebagainya.
Indikator dari keamanan adalah jarak dari permukiman <200m,
24
dapat dilihat oleh jangkauan jarak pandang orangtua untuk
pengawasan, jarak ke pusat kegiatan lingkungan sekitar �100m.
• Kenyamanan, dimana tempat bermain anak harus memiliki
lingkungan yang nyaman dan terbebas dari gangguan-gangguan.
Selain itu juga dihindari untuk menjadi tempat yang difungsikan
ganda seperti mendadak menjadi lahan parkir atau pembuangan
limbah. Kenyamanan dapat dilihat dari tidak ada sampah yang
berserakan, tersedia tempat duduk, tong sampah, dan pepohonan
rindang.
• Kelengkapan fasilitas bermain, terkait dengan ketersediaan alat-
alat bermain yang dapat dilihat melalui fasilitas yang memadai
sesuai dengan jumlah anak dan kondisi fasilitias bermain (terawat
atau tidak).
• Aksesibilitas, menunjukkan tingkat layanan dan aksesibilitas
bermain dari sisi manapun, di mana lokasi tidak dipagar oleh
dinding/penghalang dengan ketinggian di atas 150cm, tidak
terletak di seberang atau di sepanjang sungai/selokan besar/jalan
raya dan jalur pejalan kaki terpisahkan dari jalur kendaraan.
1.6.9. Kerangka Pemikiran
Kota sebagai pusat kegiatan mulai dari kegiatan ekonomi
hingga pemerintahan serta pusat permukiman menyebabkan
tingginya pertumbuhan fisik kota sebagai kebutuhan. Lahan-lahan
tidak terbangun di perkotaan dirubah menjadi bangunan-bangunan
dengan nilai ekonomi tinggi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Namun, pembangunan bangunan fisik tersebut tidak diiringi dengan
pemenuhan kebutuhan akan ruang publik. Padahal keberadaan ruang
publik sangat penting bagi masyarakat perkotaan yang hidup dengan
berbagai tekanan yang dapat memicu stres. Ruang publik dengan
fungsi sosial dan budaya dapat berperan sebagai tempat untuk
berekreasi dan tempat bermain untuk anak-anak.
25
Anak-anak merupakan lapisan yang paling rentan terhadap
terbatasnya ketersediaan ruang publik terutama untuk aktivitas
bermain. Padahal ruang publik untuk aktivitas bermain merupakan
salah satu aspek vital untuk mendukung tumbuh kembang anak
karena dengan bermain di ruang publik anak akan melakukan
interaksi dengan lingkungan di sekitarnya dan akan membentuk
kepribadiaan anak di kemudian hari. Tidak dapat dipungkiri
ketersediaan ruang publik dengan kriteria yang sesuai untuk aktivitas
bermain terutama di kawasan Kampung Ramah Anak perkotaan
dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan sumberdaya manusia
yang berkualitas yang dimulai sejak dini. Terbatasnya tempat
bermain membuat anak memanfaatkan ruang publik yang ada untuk
bermain sehingga perlu dilihat bagaimana perilaku bermainnya
terhadap ruang publik tersebut. Melalui kriteria ruang publik dan
perilaku bermain anak maka perlu dilakukan analisis secara spasial
keberadaan ruang publik untuk melihat hubungan antara keduanya.
26
Observasi & wawancara Observasi & wawancara
GIS, analisis deskriptif
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Peneliti
Laju pembangunan menekan ketersediaan ruang publik
Terbatasnya ruang publik untuk aktivitas bermain
Pemanfaatan ruang publik untuk bermain
Kondisi sosial Keamanan
Perilaku bermain anak
Kriteria ruang untuk bermain
Kenyamanan Perbedaan gender
Fasilitas bermain Lingkungan
Aktivitas lain Aksesibilitas
Analisis spasial ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain