BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 -...

28
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mata 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Mata Mata merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh manusia. Mata dapat dibedakan menjadi tiga lapisan. Lapisan terluar adalah kornea dan sklera yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Kornea berfungsi sebagai pelindung mata dari infeksi dan kerusakan struktural serta membiaskan cahaya ke lensa dan retina. Sklera merupakan mantel atau pelindung mata agar tetap mempertahankan bentuknya saat ada tekanan dari internal maupun eksternal. Sklera tertutup oleh selaput transparan yang disebut dengan konjungtiva. Kornea dan sklera dihubungkan oleh limbus. (Willoughby CE, 2010). Lapisan kedua terdiri dari iris, badan siliar dan koroid. Iris berfungsi dalam pengaturan akomodasi pupil agar cahaya yang masuk dapat tersampaikan ke retina dengan baik. Badan siliar berfungsi dalam memproduksi aqueous humor dan terletak antara iris dan koroid (Borges, AS, 2013). Koroid berfungsi dalam memasok oksigen dan nutrisi ke bagian luar dan dalam retina. Fungsi lain dari koroid adalah menyerap cahaya, termoregulasi dengan menghilangkan panas dari mata, dan juga mengatur tekanan intraokuler dengan mengontrol vasomotor aliran darah (Nickla, DL, 2010).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 -...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mata

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Mata

Mata merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh

manusia. Mata dapat dibedakan menjadi tiga lapisan. Lapisan terluar

adalah kornea dan sklera yang masing-masing mempunyai fungsi yang

berbeda. Kornea berfungsi sebagai pelindung mata dari infeksi dan

kerusakan struktural serta membiaskan cahaya ke lensa dan retina. Sklera

merupakan mantel atau pelindung mata agar tetap mempertahankan

bentuknya saat ada tekanan dari internal maupun eksternal. Sklera tertutup

oleh selaput transparan yang disebut dengan konjungtiva. Kornea dan

sklera dihubungkan oleh limbus. (Willoughby CE, 2010).

Lapisan kedua terdiri dari iris, badan siliar dan koroid. Iris

berfungsi dalam pengaturan akomodasi pupil agar cahaya yang masuk

dapat tersampaikan ke retina dengan baik. Badan siliar berfungsi dalam

memproduksi aqueous humor dan terletak antara iris dan koroid (Borges,

AS, 2013). Koroid berfungsi dalam memasok oksigen dan nutrisi ke

bagian luar dan dalam retina. Fungsi lain dari koroid adalah menyerap

cahaya, termoregulasi dengan menghilangkan panas dari mata, dan juga

mengatur tekanan intraokuler dengan mengontrol vasomotor aliran darah

(Nickla, DL, 2010).

6

Lapisan terdalam dari mata adalah retina. Retina merupakan bagian

mata yang peka terhadap cahaya, mengandung sel-sel kerucut dan sel

batang. Bila sel batang dan sel kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan

melalui sel saraf pada retina itu sendiri, ke serabut saraf optikus dan

diinterpretasikan oleh korteks serebri (Guyton,2013).

(Willoughby CE, 2010)

2.1.2 Histologi Mata

Bola mata terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah sklera

yang merupakan jaringan penyangga. Bagian dalam dari sklera berdekatan

dengan koroid dimana di lapisan itu terdapat berbagai jenis jaringan ikat

dan jaringan penyangga antar sel termasuk adanya melanosit dan makrofag.

Pada bagian anterior terdapat lapisan tipis transparan yaitu konjungtiva

yang berfungsi meneruskan cahaya masuk dalam mata. Lapisan kedua

adalah lapisan vascular. Lapisan vaskular terletak lebih dalam dibawah

sklera (uvea) yang memiliki tiga lapisan dengan urutan dari yang terluar

adalah koroid, badan siliar dan iris. Koroid mengandung banyak pembuluh

Gambar 2.1

Bentuk Anatomi Mata

7

8

2.2 Konjungtiva Manusia

2.2.1 Anatomi

Konjungtiva adalah membran mukus yang tipis yang melapisi

kelopak mata bagian dalam yaitu pada bagian tarsal atau palpebra dan

pada permukaan bola mata okular kita (bulbar). Konjungtiva berfungsi

sebagai proteksi dan juga membuat pergerakan mata lebih mudah atau

fleksibel. Konjungtiva palpebral dimulai dari mukokutaneus pada batas

kelopak mata hingga mencapai bagian tarsal. Konjungtiva ini pada bagian

tepi superior dan inferiornya akan melipat kearah posterior membungkus

jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris (Alena F, 2014).

Konjungtiva fornix strukturnya lebih longgar dan berlipat-lipat.

Konjungtiva ini mengandung jaringan lakrimal, duktus dari kelenjar

lakrimal utama dan folikel limfoid. Sementara konjungtiva bulbar melapisi

pada bagian permukaan anterior bola mata dengan struktur yang melekat

longgar pada kapsul tenon dan sklera dibawahnya, kecuali di limbus.

Sebuah plika semilunaris semacam daging (caruncle) yang merupakan

zona transisi sebagai modifikasi jaringan yang mengandung folikel rambut,

kelenjar aksesori lakrimal, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea (Alena F,

2014).

2.2.2 Histologi

Secara mikroskopis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu

lapisan epitel, adenoid dan fibrous. Lapisan epitel merupakan lapisan

paling luar yang membentuk konjungtiva dan terdiri dari sel-sel epitel

yang tersusun rapi seperti mukus dalam tubuh. Lapisan ini kira-kira setebal

9

lima sel pada daerah limbus dan batas kelopak mata, sekitar tiga sel

tebalnya di daerah forniks dan sklera, serta setebal dua sel pada bagian

belakang kelopak mata (Alena F, 2014).

Lapisan adenoid terdiri dari trabekular meshwork yang berfungsi

sebagai fagosit mengandung limfosit dan sel-sel pertahanan tubuh. Lapisan

ini mulai berkembang setelah bayi berumur tiga atau empat bulan. Bagian

dalamnya terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan saraf konjungtiva

(Alena F, 2014).

2.2.3 Vaskularisasi dan Inervasi

Palpebra mendapatkan vaskularisasi dari arkus palpebralis superior

dan inferior yang membentuk lingkaran arterial yang terletak diatas septum

orbitale dan mengelili orbita. Lingkaran arterial tersebut divaskularisasi

oleh banyak arteri yang berasal dari A. carotis interna (A. supraorbitalis,

Aa. Palpebrales laterales, A. lacrimalis, Aa. Palpebrales medialis) dan A.

carotis eksterna (A. facialis, A. Angularis, A. infraorbita, A. temporalis

superficialis, A. zygomatico-orbitalis) (Paulsen, 2010).

Persarafan yang berperan dalam fungsi konjungtiva berasal dari Nn.

Supraorbitalis dan infraorbitalis yang merupakan cabang dari nervus

trigeminus (V/1) dan nervus maxillaris (V/2) serta keluar orbita melalui

foramina yang bernama sama. Persepsi sensorik dari N. opthalmicus (V/1)

dan N. Maxillaris (V/2) dapat diuji pada kedua titik keluarnya saraf

(Paulsen, 2010).

10

2.3 Konjungtiva Tikus

Penelitian pada konjungtiva tikus strain Sprague-Dawley

menemukan bahwa konjungtiva tikus dilapisi oleh epitel skuamus berlapis.

Pada bagian-bagian tertentu dari lapisan epitel tersebut terdapat suatu

cekungan yang dibentuk oleh kumpulan sel goblet. Lapisan epitel skuamus

terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan basal, intermedia yang terdiri dari

wing cells, dan beberapa kumpulan sel skuamus pada permukaannya.

Tidak hanya di konjungtiva manusia yang memiliki sel-sel pertahanan

tubuh, pada lapisan basal dan media di konjungtiva tikus juga terdapat sel-

sel leukosit mononuclear yang berkelompok (Kurniawan,2009).

Dua perbedaan utama antara stuktur konjungtiva tikus dan manusia

adalah konjungtiva tikus dilapisi epitel skuamus berlapis dan sel gobletnya

berkelompok membentuk cluster. Epitel skuamus pada konjungtiva

manusia hanya terdapat pada dearah perilimbal dan perbatasan konjungtiva

dengan palpebra, sementara bagian yang lain dilapisi oleh epitel kuboid

dan kolumnar. Jika pada konjungtiva tikus sel goblet membentuk cluster

hampir pada seluruh lipatan konjungtiva, pada manusia hanya ditemukan

pada lipatan semilunar dan forniks inferior yaitu kripte henle, selebihnya

sel goblet tersebar secara soliter (Kurniawan, 2009).

2.4 Respon Imun pada Konjungtiva

Imunologi pada permukaan mukosa bergantung pada peran

antibodi, sebagian besar berupa imunoglobulin A (IgA) yang terbentuk

sebagai sel plasma. Hal ini dibuktikan pada suatu penelitian ditemukan

banyak IgA sel plasma pada subepitelium konjungtiva dan komponen-

11

komponen sel antibodi yang disekresikan oleh epitelnya. Beberapa

penelitian mencoba menstimulasi konjungtiva untuk mengetahui respon

antibodinya salah satunya yaitu penelitian Pu Zhang et al (2016) dengan

memberikan antigen yaitu Cholera Toxin pada duodenum dan tepat pada

konjungtivanya untuk mengetahui bagaimana ekspresi antitoxin yang

mengandung sel-sel plasma tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa

pemberian toxin baik secara duodenum dan konjungtiva direspon baik

oleh sel-sel antibodi pada konjungtiva tikus (Pu Zang et al, 2016).

(Abbas A K, et al,2015)

Alergen yang masuk dan mengkontaminasi mata akan menginisiasi

APC (Antigen Precenting Cell) dan Th2 (T Helper 2) yang merangsang sel

B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE (Imunoglobulin

E). Molekul IgE yang dilepas akan diikat oleh FcεRI (Fc Epsilon Reseptor

I) pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen akan

Gambar 2.3

Reaksi alergi

12

menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast,

memacu pelepasan mediator farmakologi aktif (amin vasoaktif). Ikatan

silang alergen dengan minimal dua FcεRI akan mengaktifkan protein Fyn dan

Lyn. Aktivasi kedua protein ini memfosforilasi motif ITAM (Immunoreceptor

Tyrosine Activation Motif) dan FcεRIβ (Fc Epsilon Reseptor I Beta) serta FcεRIγ

(Fc Epsilon Reseptor I Gamma). Fosforilasi ini juga akan mengaktivasi protein

syk dan Gab2 (Grb-2 Associated binding protein 2). Kemudian syk memicu

fosforilasi NTAL (Non T Cell Activation Linker) dan LAT (Linker for Activation

Of T Cells) (Abbas A K, et al,2015)..

Efek fosforilasi NTAL akan menarik Grb2 (Growth Factor Receptor

Bound Protein-2). Melekatnya Grb2 dengan NTAL akan mengakibatkan Gab2

bergabung dengan NTAL dan membentuk kompleks dengan Grb2 dan PI3K

(Phosphatidylinositol 3 Kinase).Kompleks tersebut akan mengaktifkan berbagai

protein lain yang penting untuk degranulasi. PI3K yang membentuk komplek

akan menarik BTK (Buton Tyrosin Kinase) menuju ke membran sel. BTK

kemudian akan mengaktifasi PLCγ (Phospolipase Cγ)untuk memecah

Phosphatidylinositol biphosphate (PIP2) menjadi IP3 (Inositol triphosphate) dan

DAG (Diacyl Glyserol). Kedua zat ini mempunyai fungsi yang berbeda. DAG

mengaktifkan PKC (Protein Kinase C) sedangkan IP3 memicu peningkatan kadar

kalsium intrasel (Abbas A K, et al,2015).

Ikatan antara IP3 dengan reseptornya akan memicu keluarnya ion kalsium

ke dalam sitoplasma. Retikulum endoplasma yang kekurangan ion kalsium

merangsang sensor kalsium STIM (Stromal Interaction Molecule) pada reticulum

endoplasma. STIM kemudian bergerak kearah membran plasma untuk berikatan

dengan kanal kalsium sehingga terbukalah kanal kalsium sehingga kalsium

masuk ke intrasel (Abbas A K, et al,2015).

13

PKC yang diaktifkan oleh DAG akan mempengaruhi degranulasi sel mast

dengan cara (1) memfosforilasi MARCK (Myristoylated alanine-rich protein

kinase C Substrate) dari PIP2. (2) PKC mempengaruhi MTOC (Microtubule

Organizing Centre). (3) PKC mempengaruhi Ras untuk aktif sehingga terjadilah

reorganisasi mikrotubulus (Abbas A K, et al,2015).

Kalsium dan Ras akan mengaktifasi enzim PLA2 (Phospholipase A2)

yang berfungsi dalam menginisiasi pelepasan mediator lipid yaitu PGD2

(Prostaglandin D2) dan LTC4 (Leukotriene C4) (Abbas A K, et al,2015).

Tanpa kalsium, ras merangsang faktor transkripsi untuk menstimulasi

beberapa sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-9, IL-13 yang semakin

merangsang sel B memproduksi IgE) serta tumor necrosis (TNF).

Tidak hanya reaksi hipersensitifitas, bagian lokal yang mengalami

peradangan akan mengeluarkan neuromediator berupa neurogenic

inflamasi. Neurogenic akan berinteraksi dengan saraf, imunitas dan sistem

endokrin yang berkerja bersama-sama dengan innate immunity untuk

mengontrol dan menjaga permukaan mata. Neuromediator tersebut terdiri

atas neutransmitter, neuropeptida dan neurotropin (Sanchez MC, et al,

2011).

Neuropeptida terkandung dalam aqueous humor yang ikut

berperan dalam mempertahankan imunitas intraocular. Neuropeptida

sensorik seperti substansi P dan calsitonin gen related peptide (CGRP)

terlibat dalam tranmisi nyeri sementara neuropeptida Y diproduksi oleh

saraf simpatis dan sel-sel imun untuk mendesak kinerja natural killer sel

(NK). Hubungan antara neuropeptida sensorik dan simpatik/parasimpatik

14

ini akan mengontrol produksi air mata dan musin (Sanchez MC, et al,

2011).

2.5 Sel Goblet

2.5.1 Struktur dan Fungsi Sel Goblet

Konjungtiva memiliki dua jenis sel utama, yaitu sel goblet dan sel

pipih bertingkat. Sel goblet berperan dalam membentuk lapisan mukus

tear film melalui epitel glikokaliks dan lapisan musin (glikoprotein) yang

berfungsi sebagai lubrikan dan membersihkan benda-benda asing, kotoran

dan sel yang masuk ke dalam mata. Fungsi ini terjadi karena sel goblet

mensintesis dan mensekresikan musin dengan berat molekul yang tinggi

yaitu musin 5ac (MUC5AC). MUC5AC kemudian akan disekresikan ke

dalam air mata yang membentuk suatu lapisan mukosa yang menyebar

pada bagian glikokaliks dan epitel yang ada dibawahnya. MUC5AC dapat

menangkap alergen lalu mengeluarkannya dari mata dan mengalihkan ke

sistem lakrimal (Dartt DA, 2011). Lapisan musin yang dihasilkan oleh sel

goblet akan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva yang bersifat

hidrofobik sehingga menjadikannya bersifat hidrofilik agar air mata dapat

membasahi serta menstabilkan lapisan air mata (Asyari F, 2007).

Sementara pada penyakit inflamasi akan mengakibatkan berkurangnya

aliran air mata sehingga memicu produksi musin berlebihan dari sel goblet.

Sel goblet seringkali dikendalikan oleh sistem neuroendokrin

sehingga untuk sekresinya distimulasi oleh aktivasi saraf-saraf sensorik

pada konjungtiva dan kornea. Sel goblet terutama teragregasi pada kripte

15

konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar bagian nasal menuju ke limbus

(Bye LE, 2013).

(Jain D,2013)

2.5.2 Respon Sel Goblet pada Konjungtivitis

Sel goblet mensintesis dan mensekresikan musin dengan berat

molekul yang tinggi yaitu MUC5AC yang berfungsi untuk menangkap

alergen lalu mengeluarkannya dari mata dan mengalihkan ke sistem

lakrimal (Dartt DA, 2014). Paparan berbagai alergen dan zat-zat patogen

dari lingkungan akan menyebabkan hiperplasi dari sel goblet konjungtiva

(Alves M, et al, 2014)

Gambar 2.4

Sel Goblet Konjungtiva ( kanan) dengan

Epitel Kornea Berpigmen ( kiri )

16

(Alves M, et al, 2014)

Tabel 2.1 Gejala klinis yang ditemukan pada fase akut dan kronis

Environmental Dry Eye Disease (EDED)

Temuan Klinis Reaksi Adaptif Akut Reaksi Adaptif Kronik

Gejala Bervariasi Menurun

Osmolaritas Tear Film Menurun Meningkat

Hiperemia Ada Ada

Meibomian Gland Dysfunction

(MGD)

Ada Ada

Schirmer Test Tinggi Rendah

Tear Film Breakup Test

(TFBUT)

Rendah Rendah

Pewarnaan Normal Berubah

Sel Goblet Konjungtiva Meningkat Menurun

Sumber : Alves M, et al, 2014.

Gambar 2.5

Temuan Klinis Akibat EDED

(Environmental Dry Eye Disease)

17

2.6 Konjungtivitis

2.6.1 Definisi :

Konjungtivitis adalah tanda dari peradangan mata yang

menyebabkan mata merah. Penyebab umum dari mata merah lainnya

adalah blepharitis, abrasi kornea, benda asing, pendarahan subconjunctival,

keratitis, iritis, glaucoma, kimia, dan scleritis (Cronau H, 2010)

(Minarni & Ariani DN, 2013).

2.6.2 Etiologi :

Konjungtivitis disebabkan karena zat-zat menular dan zat-zat yang

tidak menular. Zat-zat menular diantaranya virus dan bakteri, sementara

zat-zat yang tidak menular seperti alergi dan iritasi (Cronau H, 2010).

2.6.3 Klasifikasi :

Konjungtivitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

2.6.3.1 Konjungtivitis noninfeksius :

- Alergi

Konjungtiva merupakan salah satu organ tubuh yang langsung

terpapar dengan lingkungan sehingga rentan terjadi reaksi alergi.

Reaksi alergi pada mata melibatkan reaksi hipersenstitifitas tipe

1 dimana terjadi ikatan silang antara antigen dan IgE yang

Gambar 2.6

Gambaran Klinis Konjungtivitis pada

Mata Manusia

18

mengaktifkan sel mast melalui Fc€RI yang merangsang

degranulasi sel mast (American Optometric Association, 2002)

Jenis-jenis konjungtivitis alergi :

1. Konjungtivitis sederhana

Terjadi karena paparan alergen berulang misalnya obat

mata atau pemakaian lensa mata. (American Optometric

Association, 2002).

2. Konjungtivitas musiman

Konjungtivitis yang munculnya akibat pengaruh musim.

Konjungtivitis musiman ditandai dengan gejala berulang

namun bersifat sementara dan self limiting disease serta

disebabkan karena serbuk sari, bulu debu ataupun jamur

spora (American Optometric Association, 2002).

3. Konjungtivitis vernal

Inflamasi kronis pada mata yang sebagian besar terjadi

pada anak-anak laki-laki dibanding perempuan. Penyakit

ini paling banyak ditemukan pada daerah Afrika sub-Sahara

dan Timur Tengah sementara pada daerah-daerah yang

beriklim jarang atau hampir tidak ditemukan (Vaughan &

Asbury, 2015). Konjungtivitas vernal mengakibatkan

komplikasi mata seperti glaukoma, jaringan parut pada

kornea dan kebutaan. (Vichyanond P, 2013).

19

4. Atopik keratokonjungtivitis (AKC)

Suatu keadaan kronis dari atopik dermatitis. Pada kasus

yang berat bisa menyebabkan seluruh kornea tampak kabur

dan mengalami vaskularisasi serta penurunan penglihatan.

(Vaughan & Asbury, 2015).

- Mekanikal/toxin/iritasi adalah konjungtivitis iatrogenik akibat

pemberian obat topikal, oleh bahan kimia dan iritan serta

konjungtivitis karena bulu ulat (oftalmia nodosum) (Vaughan &

Asbury, 2015)

- Immune mediated seperti keratokonjungtivitis sika pada sindrom

sjogren dan pemfigoid sikatrikal (Vaughan & Asbury, 2015).

- Neoplastik

2.6.3.2 Konjungtivitis infeksius

- Virus

- Bakteri

2.6.3.3 Akut, kronik dan rekuren (American Academy of

Ophtalmology,2013).

2.6.4 Patofisiologi konjungtivitis alergi :

Konjungtivitis alergi adalah suatu proses peradangan yang self

limiting. Peradangan disebabkan karena mekanisme kekebalan yang

diperantarai oleh IgE atau reaksi hipersensitivitas yang timbul sesudah

permukaan konjungtiva terpajan alergen. Reaksi tersebut akan memicu

aktivasi sel mast dan pelepasan berbagai mediator kimia. Selain itu

inflamasi juga melibatkan mekanisme neurogenik, molekul adhesi, dan

20

kekebalan sistemik lainnya yang memunculkan gejala-gejala radang.

(Sanchez MC, 2011)

Urutan reaksi hipersensitivitas tipe 1 terjadi ketika alergen yang

masuk dalam tubuh akan mengaktivasi APC (Antigen Presenting Cell) dan

Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang

memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel

mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan

silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan

mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif). Mediator-mediator tersebut

digunakan sebagai target pengobatan untuk menekan gejala-gejala

konjungtivitis (Baratawidjaja KG, 2013).

(Bratawidjaja,2013)

Gambar 2.7 Reaksi Hipersensitifitas Tipe 1

21

Tabel 2.2 Mediator primer utama pada hipersensitivitas tipe 1

Mediator Efek

Histamin H1 :Permeabilitas vascular meningkat, vasodilatasi,

kontraksi otot polos.

H2 :Sekresi mukosa gaster

H3 :SSP

H4 :Eosinofil

ECF-A Kemotaksis eosinofil

NCF-A Kemotaksis neutrofil

Protease Sekresi mucus bronchial, degradasi membrane basal

pembuluh darah, pembentukan produk pemecahan

komplemen

Eosinophil Chemotactic Factor Kemotaksis eusinofil

Neutrophil Chemotactic Factor Kemotaksis neutrofil

Hidrolase asam Degradasi matriks ekstraseluler

PAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos

paru

NCA Kemotaksis neutrofil

BK-A Kalikrein, kininogenase

Proteoglikan Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan, mencegah

komplemen yang menimbulkan koagulasi

Enzim Kimase, triptase dan proteolisis

Sumber : Baratawidjaja KG, 2013.

22

Tabel 2.3 Mediator sekunder utama pada hipersensitivitas tipe 1

Mediator Efek

LTR (SRS-A) Peningkatan permeabilitas vaskuler , vasodilatasi, sekresi

mucus, kontraksi otot polos paru, kemotaktik neutrofil

PG Vasodilatasi, kontraksi otot polos paru, agregasi

trombosit, kemotaktik neutrofil, potensiasi mediator

lainnya

Bradikinin Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi

otot polos, stimulasi ujung saraf nyeri

Sitokin Alergen atau mikroba menginduksi sekresi sitokin pro-

inflamasi seperti IL-1β, TNF-α dan IL-6 yang dibuktikan

dalam model tikus dari LPS-konjungtivitis. Sitokin

seperti IFN-γ (Th1), IL-17 (Th17) dan IL-13 (Th2) juga

terlibat selama respon autoimun alergi atau mukosa

Interleukin 1 (IL-1) dan TNF-α Anafilaksis, peningkatan ekspresi CAM pada sel endotel

venul

IL-4 dan IL-13 Peningkatan produksi IgE

IL-3, IL-5, IL-6, IL-10, TGF-β,

dan GM-CSF

Bervariasi

IL-4, PMN, demam, TNF α Aktivasi monosit, eosinofil dan demam

Fibroblast Growth Factor (FGF) Fibrosis

Inhibitor protease Mencegah kimase

Lipoksin Bronkokontriksi

Leukotrien (LTC4 LTD4 LTE4) Kontraksi otot polos (jangka lama), meningkatkan

permeabilitas, kemotaksis

Leukotrien B4, 15-HETE Sekresi mucus

PAF Kemotaksis terutama eosinofil dan bronkospasme

Sumber : Baratawidjaja KG, 2013.

2.6.5 Gejala Klinis :

Gejala klinis akibat dari reaksi hipersensitivitas tipe 1 dapat bervariasi dari

lokal, ringan sampai berat bahkan sampai mengancam nyawa seperti

anafilaktik. Reaksi lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang

melibatkan epitel tempat alergen masuk sehingga akan menimbulkan suatu

gejala gatal, kemerahan, sensasi benda asing seperti tergores atau terbakar,

fotofobia dan sekresi yang berlebihan dari air mata (Baratawidjaja KG,

2013).

23

2.6.6 Diagnosis Konjungtivitis

(Cronau H, 2010)

2.6.7 Terapi

Langkah pertama dalam menangani konjungtivitis alergi adalah

dengan cara menghindari paparan alergen yang bisa menimbulkan gejala-

gejala klinis dari konjungtivitis dan menggunakan tetes mata. Penggunaan

antihistamin generasi kedua dan vasokontriktor juga efektif pada kasus

konjungtivitis alergi yang ringan. (Cronau H, 2010).

2.7 Kunyit (Curcuma longa)

2.7.1 Sifat Fisik Kunyit (Curcuma longa)

Kunyit (Curcuma longa) adalah rempah-rempah dari India yang

merupakan rimpang dari suatu tanaman (rhizoma). Kunyit (Curcuma

longa) dikenal dengan sebutan “Haldi” di India sebagai suatu ramuan

Gambar 2.8

Bagan untuk Mendiagnosis Penyebab Mata

Merah pada Mata

24

herbal yang tumbuh di daerah tropis (Krup V, 2013). Tumbuhan ini bisa

tumbuh secara alami pada dataran rendah hingga ketinggian sekitar 2000

meter diatas permukaan laut, baik pada tanah liat maupun berpasir (Hartati

SY,2013).

Anggota dari Zingiberaceae ini mempunyai batang semu yang

dibentuk dari pelepah daunnya dan memiliki ketinggian mencapai 1-1,5

meter. Daunnya tunggal dan bertangkai, berbentuk lancet yang lebar ,

tepinya rata, ujung dan pangkalnya meruncing, bertulang menyirip,

permukaannya licin dan berwarna hijau muda. Tumbuhan yang kaya akan

manfaat ini juga memiliki bunga yang merupakan bunga majemuk

berbentuk kerucut yang muncul dari batang semunya (Hartati SY, 2013)

Bagian utama dari tanaman kunyit (Curcuma longa) adalah

rimpang sebagai tempat munculnya tunas. Kulitnya berwarna kecoklatan

dengan bagian dalam berwarna kuning. Rimpang utama berbentuk bulat

panjang seperti telur ayam yang merupakan induk rimpang. Induk rimpang

membentuk cabang yang letaknya lateral seperti jari dan memiliki rasa

yang pahit dan kaya akan pigmen dan resin sedangkan anak rimpang

berbau aromatis dan terasa manis (Hartati SY,2013). Urutan taksonomi

kunyit (Curcuma longa)adalah sebagai berikut :

Kelas : Liliopsida

Subkelas : Commelinids

Ordo : Zingiberates

Family : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

25

Spesies : Curcuma longa (Bagschi, 2012)

(Hartati SY, 2013)

2.7.2 Kandungan kunyit (Curcuma longa)

Senyawa utama yang terkandung dalam kunyit (Curcuma longa)

adalah curcuminoid dan minyak atsiri. Curcuminoid terdiri dari curcumin

dan turunannya yaitu demetoksicurcumin dan bisdemetoksicurcumin.

Curcuminoid membentuk emulsi dan tidak larut dalam air tetapi mudah

larut dalam aseton, etanol, methanol, bensen dan kloroform. Senyawa-

senyawa tersebutlah yang memberikan warna kekuningan, jingga hingga

kemerahan yang tidak stabil jika terkena matahari namun stabil jika

dipanaskan. Kandungan minyak atsiri terdiri dari komponen artumeron,

alfa dan beta tumeron, tumerol, alfa atlanton, beta kariofilen, linalol, 1,8

sineol, zingiberen, dd felandren, d-sabinen, dan borneol. Selain kedua

senyawa tersebut kunyit (Curcuma longa) juga mengandung senyawa lain

diantaranya karbohidrat, lemak, protein, kamfer, resin, dammar, kalsium,

fosfor dan zat besi (Hartati SY, 2013).

Gambar 2.9

Bagian-bagian Tanaman

Kunyit (Curcuma longa)

26

2.7.3 Manfaat Kunyit (Curcuma longa)

.Berdasarkan aktvitas farmakologisnya dan berbagai penelitian,

curcumin dapat dijadikan sebagai anti oksidan, anti mikroba, anti

inflamasi, anti kanker, dan salah satunya pada mekanisme alergi. (Choi,

Hae Yon, 2009).

2.7.3.1 Sebagai Anti kanker

Curcumin menunjukkan anti proliferasi berbagai reseptor

growth factor dan adhesi sel yang terlibat dalam pertumbuhan

tumor, angiogenesis dan metastasis. Aktivitas anti tumor pada sel

kanker mengubah regulasi siklus sel melalui cyclin dependent,

p53 dependent dan jalur p53 independen. Pengaruh curcumin

sudah teruji efektivitasnya pada hewan coba dalam melawan sel-

sel kanker (Krup V, et al, 2013).

2.7.3.2 Sebagai Anti alergi

Curcumin yang merupakan kandungan aktif dari tumbuhan

kunyit (Curcuma longa) ternyata menunjukkan potensinya

sebagai antialergi dengan cara menekan degranulasi mast cell dan

pelepasan histamin dari rat peritoneal mast cell (RPMC).

Curcumin juga menghambat reaksi anfilaktik sistemik in vitro dan

anti dinitrophenyl immunoglobulin E (anti DNP IgE) pada in vivo.

(Krup V, et al, 2013).

Kunyit (Curcuma longa) telah dinyatakan sebagai agen

antiinflamasi terbaik pada berbagai penelitian (Krup V, et al,

2013). Berdasarkan eksperimen dari Chung, et al, 2012 mengenai

27

efek curcumin terhadap konjungtivitis alergi menunjukkan bahwa

tikus yang diinduksi Ovalbumin dan Alumunium Hidroksida

(ALUM) kemudian diberikan larutan curcumin 10 atau 20

mg/kgBB mampu menekan sekresi IgE dan eosinofil pada

konjungtiva tikus. Tidak hanya itu IL-4 dan IL-5 juga menurun

kadarnya pada konjungtiva, limpa, hati dan kelenjar getah bening

serviks dibandingkan dengan tikus tanpa pemberian curcumin

(Chung, et al, 2012).

2.7.3.3 Sebagai Anti Oksidan

Curcumin memiliki efek antioksidan dengan cara

menghilangkan radikal bebas dan efek anti inflamasi melalui

hambatan aktivasi nuclear faktorkappa B 2 (NF-kB 2) (Shimatsu

A, 2012). Curcumin merupakan suatu antioksidan poten yang

mengandung vitamin C, E dan Beta karoten (Akram M, 2010).

2.7.3.4 Sebagai Anti Inflamasi

Kunyit (Curcuma longa) mampu menurunkan histamin

akibat aktivasi reaksi radang. Selain itu juga menyebabkan

meningkatnya dan memperpanjang anti inflammatory alami

dalam tubuh seperti hormon adrenal, kortisol yang nantinya akan

memperbaiki sirkulasi (Akram M, 2010).

2.7.3.5 Sebagai Anti Alzheiemer

Curcumin sebagai sitoprotektan dapat memperbaiki

kerusakan sel-sel saraf otak selain itu efek kunyit sebagai

inhibitor cyclooxygenase 2 (COX-2) menjadikan curcumin

28

sebagai obat pencegah penyakit Alzheimer. Hasil penelitian

membuktikan bahwa orang-orang yang rutin mengkonsumsi

makanan yang menggunakan kunyit (Curcuma longa) sebagai

salah satu bahan bumbu masaknya mempunyai resiko yang

rendah terhadap penyakit Alzheimer. Telah dilaporkan bahwa

India merupakan negara yang mempunyai jumlah terendah

penyakit Alzheimer di dunia. Hal ini disebabkan karena penduduk

India banyak mengonsumsi sejenis curry yang menggunakan

kunyit sebagai bahan utama masakannya (Hartati SY,2013).

2.7.4 Peran Kunyit (Curcuma longa) terhadap Sel Goblet

Curcumin yang terkandung di dalam kunyit (Curcuma longa)

mampu menghambat COX-2 melalui inaktivasi NF-kB. NF-kB merupakan

fraktor transkripsi eukariotik yang terlibat dalam regulasi peradangan,

proliferasi sel, transformasi, dan tumorigenesis. Penekanan pada NF-kB

akan menurunkan produksi COX-2 dan melalui downregulation ini asam

arakidonat juga turut terhambat (Jurenka JS, 2009).

Menurut penelitian Dartt (2011) yang bertujuan untuk mengetahui

peran mediator-mediator inflamasi yaitu leukotrien pada sekresi sel goblet

konjungtiva, menunjukkan bahwa aktivasi reseptor CysLT akibat reaksi

inflamasi menstimulasi sekresi sel goblet melalui LTD 4 yang diproduksi

oleh asam arakidonat.

29

2.7.5 Toksisitas

Sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Inano dkk menunjukkan

bahwa curcumin memberikan perbaikan yang signifikan dan tidak

menimbulkan efek samping tertentu pada tikus yang diinisiasi tumor pada

kelenjar susunya. Konsentrasi asam lemak pada serum, asam

thiobarbituric dan hormon yang disekresi ovarium serta hipofisis juga

dalam kadar normal atau terkontrol. (Inano H, 2000).

Berdasarkan sejarah penggunaan kunyit (Curcuma longa) di Asia

dan beberapa penilitian preklinik maupun klinik menunjukkan tidak

adanya toksisitas yang berhubungan dengan pengkonsumsian kunyit

(Curcuma longa) (Singletary K, 2010).

2.8 Ovalbumin (OVA)

Ovalbumin terkandung dalam putih telur sebanyak 54% dan itu

merupakan kandungan protein utama pada telur. Ovalbumin memiliki tiga

fraksi (A1, A2, A3) yang masing-masing dibedakan dengan jumlah gugus

fosfornya. A1 memiliki 2 gugus fosfat permolekul, A2 memiliki 1 gugus

fosfat, dan A3 tidak memiliki gugus fosfat (Xu Wei, 2013).

Ovalbumin adalah suatu monomer, globular fosfoglicoprotein

dengan berat 44,5 kDA yang sebagian dari strukturnya adalah hidrofobik.

Ovalbumin mengandung 3,5% karbohidrat dan memiliki empat gugus

sulphydrilic dan disulfide. Struktur OVA bisa rusak apabila terpapar oleh

panas dan melalui agitasi. Selama penyimpanan OVA diubah menjadi s-

OVA yang memiliki molekul sedikit lebih ringan dan kuantitas pada putih

telurnya dapat meningkat selama penyimpanan. Konversi OVA menjadi s-

30

OVA adalah hasil dari perbedaan struktur ikatan kovalennya. Ketika telur

ditutupi dengan minyak kemudian dilapisi dengan konsentrat air dadih

protein atau disimpan di bawah pendingin maka konversi ini akan tertunda

(Alleoni ACC, 2006).

2.8.1 Ovalbumin sebagai alergen

Ovalbumin (albumin pada telur) merupakan salah satu alergen

utama yang terdapat pada putih telur ayam dan tak jarang dapat

menyebabkan reaksi hipersensitifitas terhadap makanan (Vianello F, 2006).

Ovalbumin merupakan protein alergenik (antigen) yang sering digunakan

untuk menginduksi reaksi alergi. Sensitivitas dengan ovalbumin baik

secara inhalasi, oral maupun intraperitoneal terbukti dapat merubah

kecenderungan respon imun tikus ke arah Th2. Hal tersebut telah

dibuktikan pada banyak penelitian. Chung, et al (2012), membuktikan

bahwa pemberian ovalbumin secara intraperitoneal (dengan dosis 1 μg

untuk mencit) dan topikal (dengan dosis 250 μg untuk mencit)

menyebabkan terjadinya respon antibodi IgE spesifik, Th2, sitokin

produksi dan infiltrasi eosinofil ke dalam konjungtiva.

Pemberian OVA pada penelitian ini dilakukan pada hari ke 0,7,15

dan 18. Hal ini dikarenakan dalam hal alergi sensitisasi pertama bertujuan

untuk menstimulasi terbentuknya limfosit pengingat yang bersirkulasi ke

seluruh tubuh, yang menyebabkan sel tersebut mempunyai ingatan

terhadap ovalbumin. Sensitisasi ovalbumin yang kedua bertujuan untuk

membentuk IgE lebih cepat (Leasa BN, 2010). Berdasarkan penelitian

Chen J, et al (2017) mengenai pemberian interleukin-28A secara topikal

31

pada konjungtiva tikus yang diinduksi ovalbumin menunjukkan bahwa

pemberian ovalbumin pada hari ke 0 dan 7 belum mampu meningkatkan

kadar IgE serum, IgE masih terikat pada membran sel mast konjungtiva

pada fase awal alergen. Setelah pemberian kedua dengan jarak satu

minggu dari pemberian pertama terjadi peningkatan kadar IgE serum dan

eosinofil pada konjungtiva.

Pemajanan ovalbumin sebagai alergen akan memicu APC yang

akan di degradasi menjadi peptida-peptida dan selanjutnya akan

dipresentasikan pada sel Th2. Ovalbumin akan mengaktivasi sel mast dan

sel CD4+ Th2 dimana selanjutnya akan menginduksi produksi mediator

inflamasi seperti histamin, leukotrien, dan sitokin (Subijanto, 2008).

2.9 Aluminium Hidroksida (ALUM)

2.9.1 Definisi

Aluminium Hidroksida adalah suatu adjuvant yang paling sering

digunakan sebagai vaksin profilaksis karena kemampuannya dalam

meningkatkan perlindungan respon imun humoral sehingga jarang

menyebabkan nekrosis jaringan pada daerah bekas suntikan. Aluminium

hidroksida merangsang respon Th2 melalui pelepasan sitokin Th2 dan

antibodi Th2(Kool M et al, 2008).

2.9.2 Ovalbumin dan Aluminium Hidroksida dalam reaksi imun

Mencit yang diinjeksi secara intraperitoneal dengan ovalbumin atau

ova+alum dua puluh empat jam kemudian menunjukkan gambaran Neutrofil,

Eosinofil, Monosit, dan sel Dendritik. perbedaan presentasinya dapat dilihat

pada gambar dibawah ini dimana menunjukkan bahwa ova+alum

32

menunjukkan angka yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan

pemberian injeksi ova sendiri (Kool M et al, 2008).

(Kool M et al, 2008)

Gambar 2.10

Respon inflamasi oleh alum