BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.um-surabaya.ac.id/4105/3/BAB_2.pdf · Pelat lantai dapat...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.um-surabaya.ac.id/4105/3/BAB_2.pdf · Pelat lantai dapat...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pelat Lantai
Menurut Ervianto (2006) Pelat lantai merupakan struktur tipis
yang dibuat dari beton bertulang dengan bidang yang arahnya horizontal
dan beban yang bekerja tegak lurus pada bidang struktur tersebut
sehingga pada bangunan gedung pelat ini berfungsi sebagai diafragma
atau unsur pengaku horizontal yang sangat bermanfaat untuk mendukung
ketegaran balok portal. Dalam perencanaannya, pelat lantai harus dibuat
rata, kaku dan lurus agar pengguna gedung dapat dengan mantap
memijakan kakinya. Hal-hal yang diperhitungkan mencakup beban tetap
saja yang bekerja dalam waktu yang lama. Hal lain seperti beban tak
terduga gempa, angin, getaran, dll. tidak diperhitungkan.
Pelat lantai dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pelat satu
arah dan pelat dua arah. Pelat lantai satu arah hanya ditumpu pada kedua
sisi yang berseberangan dan memiliki bentang panjang (ly) dua kali atau
lebih besar dari pada bentang pendek (lx). Sedangkan pelat dua arah
ditumpu oleh balok pada kedua sisinya dan perbandingan antara bentang
panjangnya (ly) dan bentang pendeknya (lx) kurang dari dua.
Adapun syarat teknis dan ekonomis yang harus dipenuhi oleh
lantai anatara lain :
Lantai harus memiliki kekuatan yang cukup untuk memikul beban
kerja yang ada diatasnya.
Lantai harus dikaitkan pada dinding sedemikian rupa sehingga
mencegah dinding melentur.
Lantai harus mempunyai massa yang cukup untuk meredam gema
suara.
Konstruksi lantai harus sedemikian rupa sehingga setelah umur
pemakaian yang cukup panjang tidak kehilangan kekuatan.
Adapun metode yang akan dibahas pada tugas akhir ini adalah
metode konvensional, Hollow Core Slab (HCS) dan Pelat Bondek.
6
2.1.1 Pelat Konvensional
Sistem konvensional adalah sistem pengecoran yang dilakukan
di tempat proyek/lapangan. Metode konvensional yang digunakan salah
satunya yaitu struktur pelat lantai yang dikerjakan ditempat pengecoran
langsung yang mencakup keseluruhan dengan menggunakan plywood
sebagai bekisting dan scaffolding sebagai perancah. Metode ini terbilang
kuno dan paling banyak digunakan namun dapat memakan biaya yang
tinggi dan waktu yang lama (Ervianto, 2006).
2.1.2 Pelat Pracetak Segmental
Beton Pracetak Segmental adalah Elemen atau komponen beton
yang dicetak terlebih dahulu sebelum dirakit menjadi bangunan atau
komponen struktur lentur beton yang dibuat secara pracetak atau yang
dicor di tempat, yang masing-masing bagian komponennya dibuat secara
terpisah, tetapi saling dihubungkan sedemikian hingga semua bagian
komponen bereaksi terhadap beban kerja sebagai suatu kesatuan.
1. Halfslab
Menurut Ervianto (2006) pracetak adalah teknologi konstruksi
struktur beton dengan komponen-komponen penyusun yang dicetak
terlebih dahulu pada suatu tempat khusus (off site fabrication).
komponen-komponen tersebut disusun dan disatukan terlebih dahulu
(pre-assembly) dan selanjutnya dipasang di lokasi (installation).
Berdasarkan penelitian Minehiro Nishiyama tentang Precast
Concrete Research, Design, and Construction in Japan yang mengacu
pada AIJ standard bahwa detail untuk penulangan dan tebal pelat adalah
sebagai berikut:
1. Rasio perkuatan minimal adalah 0,2% untuk pelat precast dan
topping.
2. Tebal minimal untuk total tebal pelat adalah 80 mm.
3. Tebal minimal untuk pelat topping adalah 50 mm dan untuk precast
slab 30 mm.
7
Gambar 2.1 Produksi Pelat Halfslab
Sumber : Google
2. Pelat Hollow Core Slab (HCS)
Sistem pracetak pelat Hollow Core Slab menggunakan sistem
pre-tensioning (prategang) dimana kabel prategang ditarik terlebih dahulu
pada suatu dudukan khusus yang telah disiapkan dan kemudian dilakukan
pengecoran. Oleh karena itu pembuatan produk precetak ini harus
ditempat fabrikasi khusus yang menyediakan dudukan yang dimaksud.
Adanya lobang dibagian tengah pelat secara efektif mengurangi berat
sendirinya tanpa mengurangi kapasitas lenturnya. Jadi precast ini relatif
ringan dibanding solid slab bahkan karena digunakannya prategang maka
kapasitasnya dukungngya lebih besar. Keberadaan lobang pada slab
tersebut sangat berguna jika diaplikasikan pada bangunan tinggi karena
mengurangi bobot lantai.
Gambar 2.2 Penampang Hollow Core Slab
Sumber : Brosur PT. Beton Elemenindo Perkasa
8
3. Double Tee Slab
Double Tee adalah struktur penahan beban yang menyerupai dua
balok-T yang saling terhubung satu sama lain. Ikatan yang kuat dari flens
(bagian horizontal) menciptakan struktur yang mampu menahan beban
tinggi sekaligus memiliki bentang yang panjang. Ukuran bentang panjang
dari tee ganda hingga 32 meter, untuk lebar flens, rata-rata 1,2 meter.
.Double Tee dibuat dari beton pratekan yang dicetak dip pabrik karena
membutuhkan tingkat presisi yang tinggi dan alat produksi yang modern.
Gambar 2.3 Double Tee Slab
Sumber : Google
2.1.3 Pelat Bondek
Pelat bondek adalah pelat kombinasi yang menggunakan steel
deck sebagai pengganti tulangan momen positif (tulangan bawah),
dimana steel deck (pelat baja) ini juga sekaligus sudah berfungsi sebagai
bekisting pelat dan lantai kerja, sedangkan untuk tulangan momen
negative bisa menggunakan tulangan baja biasa atau menggunakan
wiremash. bondek merupakan bahan penulangan positif satu arah pada
lantai beton bangunan bertingkat. Lembaran panel berbentuk pelat
gelombang ini terbuat dari baja struktural dengan tebal 0,70 – 1,2 mm
yang digalvanis secara merata. bondek atau pelat baja bergelombang jika
dikombinasikan dengan campuran beton akan membentuk suatu sistem
pelat lantai komposit yang sempurna.
Bondek adalah decking dengan profil “2W” yang dilengkapi
sistem protrude shape dan merupakan produk penyempurnaan dari
9
produk steeldeck yang ada di pasaran dan diproduksi dengan
menggunakan mesin canggih untuk menghasilkan kualitas produk dengan
tingkat presisi yang tinggi.
Gambar 2.4 Pelat Komposit Bondek
Sumber : Google
2.1.4 Sistem Koneksi (Sambungan Basah)
Sambungan basah (Wet Connection) terdiri dari keluarnya besi
tulangan dari bagian ujung komponen beton pracetak yang mana antar
tulangan tersebut dihubungkan dengan bantuan Mechanical Joint atau
batang penyaluran. Kemudianpada bagian sambugan tersebutdilakukan
pengecoran beton ditempat. Jenis sambungan ini dapat berfungsi baik
untuk mengurangi penambahantegangan yang terjadi akibat rangkak,
susut dan perubahan temperatur. Sambungan basah ini sangat dianjurkan
untuk bangunan didaerah rawan gempa karena dapat menjadikan masing-
masing komponen beton monolit.
Gambar 2.5 Sistem Sambungan Pelat HCS dengan Balok
Sumber : Google
10
2.2 Analisa Struktur Pelat Lantai
2.2.1 Analisa Struktur Hollow Core Slab (HCS)
Pelat Hollow Core dapat dimodelkan sebagai plat orthotropis
satu arah dengan menggunakan teori Reissner. Kita memilih arah sumbu
X untuk lubang dan arah sumbu Z ke atas.
1. Pemodelan untuk menentukan karakteristik dan tegangan pada
Hollow Core Slab
mxx = 𝐸
( 𝐼−𝑉)(𝐼𝑥 . 𝐾𝑥𝑥 + 𝑣𝐼𝑦 . 𝐾𝑦𝑦)
myy = 𝐸
( 𝐼−𝑉)𝐼𝑦( 𝐾𝑦𝑦 . 𝑉𝐾𝑥𝑥)
m = 𝐺 . 𝐼𝑡 . 𝐾
q = 𝐺 . 𝑛 . 𝐴 . ф
Dimana :
E = Modulus elastisitas
G = Modulus geser
V = Poison ratio
M = q = Gaya penampang per satuan panjang
K = kelengkungan
Ф = Deformasi geser
Luas persatuan panjang dari penampang arah sumbu Y :
Ax = t1 + t2 + a ,
Dimana,
a = 𝑡3
𝑏1 ( ℎ − 𝑡1 − 𝑡2 )
keterangan :
Ax = Luas Penampang per satuan panjang sumbu Y
a = Luas flens HCS
t1 = Tebal flens atas
t2 = Tebal flens bawah
t3 = Tebal badan
h = Tebal pelat Hcs
Sx = 0,5 . t1² + a . 0,5 . ( h + t1 – t2 ) + t2 . ( h – 0,5 . t2 )
Zx = Sx / Ax
11
Moment inersia persatuan panjang :
Ix =1
12𝑡13 + 𝑡1 (𝑍𝑥 −
1
2 𝑡1)
2
+ 1
12𝑡23 + 𝑡2 ( ℎ − 𝑍𝑥 −
1
2 𝑡1 )
2
+ 1
12𝑎 (ℎ − 𝑡1 − 𝑡2)2 + 𝑎 [𝑍𝑥 − 0,5 (ℎ + 𝑡1 − 𝑡2)]²
Luas persatuan panjang penampang sumbu X :
Ay = t1 + t2
Sy =0,5 . t1² + t2 ( h – 0,5 t2 )
Zx = Sy / Ay
Moment inersia persatuan panjang :
Iy = 0,83 t1³ + t1 (Zy – 0,5 t1)² + 0,83 t2³ + t2 (h – Zy – 0,5 t2)²
Konstanta torsi ( It )
It = 𝑡1 . 𝑡2 ( 2ℎ−𝑡1−𝑡2 )²
4 ( 𝑡1+𝑡2 )
2. Pemulihan tegangan
Distribusi tegangan ditengah flens :
σ xx = 𝑚𝑥𝑥
𝐼𝑥 ( 𝑍𝑥 − 0,5 𝑡1 ) +
𝑛𝑥
𝐴𝑥
σ yy = 𝑚𝑦𝑦
𝐼𝑦 ( 𝑍𝑦 − 0,5 𝑡1 )
σ xy = 2 𝑚𝑥𝑦
𝑡1 ( 2ℎ−𝑡1−𝑡2 )
σ yz = 3 𝑡12. 𝑞𝑦
2 𝑡13+ 𝑡23
3. Perencanaan Hollow Core Slab (HCS)
A. Tegangan Ijin pada saat transfer
1). Tegangan serat ekstrim terhadap tekan = 0,6 f´ci
2). Tegangan serat ekstrim terhadap tarik = 3 √ f´ci
B. Tegangan Ijin pada beban layan
1). Tegangan serat ekstrim terhadap tekan akibat prategang
ditambah beban = 0,45 f´ci
2). Tegangan serat ekstrim terhadap tekan akibat prategang
ditambah beban total = 0,6 f´ci
12
3). Tegangan serat ekstrim terhadap tarik pada daerah pratekan =
3 √ f´ci
C. Kuat ultimit rencana
1). Faktor beban ( U )
U = 1,2 DL + 1,6 LL
2). Faktor reduksi lentur ( ф ) = 0,9
3). Kuat lentur
Mu = ф Mu = ф . Aps . fps ( dp - 𝑎
2 )
a = 𝐴𝑝𝑠 . 𝑓𝑝𝑠
0,85 . 𝑓𝑐 . 𝑏
Dimana, fps = nilai yang dihitung oleh kompabilitas regangan
fps = fpu ( 1 −Ƴ𝑝 . 𝑓′𝑝𝑢
𝛽1 . 𝑓′𝑐 )
Syarat, Mn > 1,2 Mcr
D. Kehilangan prategang
1). Perpendekan elastis
ES = Kes 𝐸𝑠
𝐸𝑐𝑖𝑓𝑐𝑖𝑟
Kes = 1,0 ( Untuk batang pratarik )
fcir = Kcir ( 𝑃𝑖
𝐴 +
𝑃𝑖 . 𝑒2
𝐼 ) −
𝑀𝑔 . 𝑒
𝐼
Kcir = 0,9 ( Untuk batang pratarik )
2). Rangkak beton
CR = Kcr 𝐸𝑠
𝐸𝑐 ( 𝑓𝑐𝑖𝑟 − 𝑓𝑐𝑑𝑠 )
Kcr = 2,0 ( Berat normal untuk batang pratarik )
= 2,0 ( Berat yang ringan untuk batang pratarik )
fcds = 𝑀𝑠𝑑 . 𝑒
𝐼
3). Susut beton
SH = 8,2 𝑥 10−6 . 𝐾𝑠ℎ . 𝐸𝑠 . (1 − 0,06 𝑉
𝑆 ) . (100 − 𝑅𝐻)
Dimana :
13
Ksh = 1,0 ( Untuk batang pratarik )
RH = Kelembaban relatif lingkungan
4). Relaksasi baja
RE = [ Kre – J ( SH + CR + ES )] C
Dimana,
Kre, J, C = Faktor dari tabel 4.1 dan 4.2
5). Total Kehilangan Prategang
Kehilangan Total = ES + CR + SH + RE
Tabel 2.1 Type Kabel Prategang
Type Tendon Kre
( Psi ) J
Tegangan kabel mutu 270 20 0,15
Tegangan kabel mutu 250 18,5 0,14
Tegangan kabel mutu 240 atau 235 17,6 0,13
Tegangan kabel Relaksai rendah
mutu 270 5000 0,040
Tegangan kabel Relaksai rendah
mutu 250 4630 0,037
Tegangan kabel Relaksai rendah
mutu 240 atau 235 4400 0,035
Tabel 2.2 Harga C
Fsi / fpu Tegangan Kabel Teg. Batang / Kabel
relaksasi rendah
0,80 - 1,28
0,78 - 1,16
0,75 1,45 1,00
0,73 1,27 0,90
0,70 1,00 0,75
0,68 0,89 0,66
0,65 0,73 0,53
0,63 0,63 0,45
0,60 0,49 0,33
14
E. Kuat Lentur rencana
Kapasitas momen dari batang prategang adalah suatu fungsi dari
tegangan ultimit yang meningkat pada kabel prategang, seperti pada beton
non prategang batas atas dan batas bawah diganti oleh sebuah tulangan
agar menyakinkan bahwa tegfangan pada kabel sesuai dengan tegangan
kabel kondisi daktail. Syarat batas bawah penulangan adalah :
ϕMn ≥ 1,2 Mcr
Dimana,
Mcr = 𝐼
𝑦𝑏 (
𝑃
𝐴+
𝑃𝑒
𝑆𝑏+ 0,75√𝑓′𝑐 )
Batas atas tulangan dibatasi oleh momen kapasitas yang harus
didasarkan pada balok yang tertakan, Maka :
ϕMn = 𝜙 [ 𝑓′𝑐 . 𝑏 . 𝑑2. ( 0,36 . 𝛽1 − 0,08 . 𝛽1)]
F. Perencanaan geser
Pelat hollow core direncanakan untuk geser berdasarkan
peraturan ACI struktur prategang biasa. Persyaratan yang harus dipenuhi,
yakni :
Vu ≤ ϕVn
Dimana,
Φ = 0,85
Vn = Vc + Vs
Vs adalah kontribusi dari tulangan geser diambil sama dengan
nol. Kekuatan geser beton nominal menggunakan persamaan :
Vc = ( 0,6 √𝑓′𝑐 + 700 𝑉𝑢 .𝑑
𝑀𝑢 ) 𝐵𝑤 . 𝑑
Ketika gaya prategang efektif tidak lebih dari 40% dari tulangan
lentur. 𝑉𝑢 .𝑑
𝑀𝑢 < 1 , haraga minimum untuk Vc mengunakan 2√𝑓′𝑐. 𝑏𝑤 . 𝑑
dan harga maksimum menggunakan 5√𝑓′𝑐. 𝑏𝑤 . 𝑑 .
15
Sebagai alternative perhitungan dapat mengunakan rumus berikut :
Vci = 0,6 √𝑓′𝑐. 𝑏𝑤 . 𝑑 + 𝑉𝑑 + 𝑉𝑖 .𝐶𝑟
𝑀𝑚𝑎𝑥
Vcw = (3,5 . √𝑓′𝑐 + 0,3 𝑓𝑝𝑐 ) 𝑏𝑤 . 𝑑
Dimana,
Vd = Geser berat sendiri tidak terfaktor untuk penampang
komposit
Vi = Vu – Vd
Mmax = Mu – Md
Md =Moment berat sendiri tidak terfaktor untuk penampang
komposit
Syarat : Vc > 1,7 √𝑓′𝑐. 𝑏𝑤 . 𝑑
Vc > 2 √𝑓′𝑐. 𝑏𝑤 . 𝑑
Ketika gaya prategang efektif > 40%
G. Lawan lendut dan lendutan
- Lendut
Lawan lendut adalah lendutan kearah atas dari batang prategang
dan merupakan hasil dari gaya prategang eksentrisitas terbentuk dari
beban rencana dan panjang bentang , lawan lendut adalah :hasil
perencanaan lebih dari parameter perencanaan karena itu lawan lendut
tidak spesifik.
- Lendutan
Pada umumnya pelat hollow core direncanakan tidak retak pada
beban layan sehingga pengaruh retak dapat diabaikan.
H. Penggangkatan atau handling
Pada umumnya pelaksanaan pengangkatan hollow core
dilakukan sebelum pemasanagan pada tumpuan sehinnga perlu
dilakukankontrol tegangan saat pengangkatan. Dalam hal ini beban yang
yang berpengaruh hanya beban hollow core sendiri.
Peralatan yang digunakan adalah tower crane atau mobil crane,
sedangkan diameter kabel dan beban yang dapat ditahan oleh kabel adalah
saeperti tabel diabawah ini :
16
Tabel 2.3 kekuatan kabel prategang
Diameter kabel
(inchi )
Safe load
(Kips )
3/8 3,6
7/16 4,4
½ 5,7
4. Prosedur perencanaan pelat hollow core adalah sebagai berikut :
A. Mutu beton minimal yang digunakan K – 300
B. Besi Prestreesed low relaxation, PC WIRE ϕ5 mm dengan fpu =
1625 MPa
C. Pada saaat pengecoran topping, perlu diperhitungkan beban topping
dan pekerja.
D. Pada saat tumpuan sementara dilepas, diperhitungkan beban
topping. ( SNI 2847 pasal 19.3 ).
E. Check tegangan pada saat transfer (SNI 2847 pasal 20.4 - 5)
Kondisi serat atas : −𝑃𝑖
𝐴𝑐+
𝑃𝑖 . 𝑒
𝑆𝑡 < fti
Kondisi serat bawah : −𝑃𝑖
𝐴𝑐−
𝑃𝑖 . 𝑒
𝑆𝑏 < fci
F. Check tegangan pada saat setelah looses
Kondisi serat atas : −𝑃 𝑒𝑓𝑓
𝐴𝑐+
𝑃𝑒𝑓𝑓 . 𝑒
𝑆𝑡−
𝑀𝑠𝑙𝑏
𝑆𝑡 < fc
Kondisi serat bawah : −𝑃 𝑒𝑓𝑓
𝐴𝑐−
𝑃𝑒𝑓𝑓 . 𝑒
𝑆𝑏+
𝑀𝑠𝑙𝑏
𝑆𝑏 < ft
G. Check tegangan pada saat setelah topping terpasang
Kondisi serat atas : −𝑃 𝑒𝑓𝑓
𝐴𝑐+
𝑃𝑒𝑓𝑓 . 𝑒
𝑆𝑡−
𝑀𝑠𝑙𝑏
𝑆𝑡+
𝑀𝑐𝑜𝑟𝑝𝑒𝑘
𝑆𝑡 < ft
Kondisi serat bawah : −𝑃 𝑒𝑓𝑓
𝐴𝑐−
𝑃𝑒𝑓𝑓 . 𝑒
𝑆𝑏+
𝑀𝑠𝑙𝑏
𝑆𝑏−
𝑀𝑐𝑜𝑟𝑝𝑒𝑘
𝑆𝑏 < fc
H. Check tegangan setelah support sementara dilepas (sebagai pelat
komposit)
Kondisi serat atas :
17
−𝑃 𝑒𝑓𝑓
𝐴𝑐+
𝑃𝑒𝑓𝑓 . 𝑒
𝑆𝑡−
𝑀𝑠𝑙𝑏
𝑆𝑡+
𝑀𝑐𝑜𝑟𝑝𝑒𝑘
𝑆𝑡𝑀𝑝𝑟𝑜𝑝 (
ℎ−𝐶𝑏𝑘
𝐼𝑐𝑘 ) < fc
Kondisi serat bawah :
−𝑃 𝑒𝑓𝑓
𝐴𝑐−
𝑃𝑒𝑓𝑓 . 𝑒
𝑆𝑏+
𝑀𝑠𝑙𝑏
𝑆𝑏−
𝑀𝑐𝑜𝑟𝑝𝑒𝑘
𝑆𝑏+
𝑀𝑝𝑟𝑜𝑝
𝑆𝑏𝑘 < ft
I. Check tegangan saat beban layan bekerja (sebagai pelat komposit)
Kondisi serat atas :
−𝑃 𝑒𝑓𝑓
𝐴𝑐+
𝑃𝑒𝑓𝑓 . 𝑒
𝑆𝑡−
𝑀𝑠𝑙𝑏
𝑆𝑡+
𝑀𝑐𝑜𝑟𝑝𝑒𝑘
𝑆𝑡− 𝑝𝑟𝑜𝑝 (
ℎ−𝐶𝑏𝑘
𝐼𝑐𝑘 ) (𝑀𝑠𝑙 +
𝑀𝑠𝑑𝑙)𝑥 (ℎ−𝑐𝑏𝑘
𝐼𝑐𝑘)< fc
Kondisi serat bawah :
−𝑃 𝑒𝑓𝑓
𝐴𝑐−
𝑃𝑒𝑓𝑓 . 𝑒
𝑆𝑏+
𝑀𝑠𝑙𝑏
𝑆𝑏−
𝑀𝑐𝑜𝑟𝑝𝑒𝑘
𝑆𝑏+
𝑀𝑝𝑟𝑜𝑝
𝑆𝑏𝑘+
𝑀𝑙𝑙
𝑆𝑏𝑘+
𝑀𝑙𝑙
𝑆𝑏𝑘𝑀𝑢 <ft
J. Check kapsaitas retak 0,6 𝑀𝑛
𝑀𝑐𝑟 > 1,2
K. Check geser vertikal ( SNI 2847 pasal 19.4 ).
Saat beban layan belum bekerja (ditahan oleh Hcs saja)
vc = 0,4 . 1 . √fc
Vc = vc . bw . dp
Vu < 0,85 . Vc
Saat beban layan bekerja (ditahan oleh pelat komposit)
Vc = vc . ( bw ( htop + dp) + h top . dp )
Jika Vux < 0,85 . Vc , maka tidak perlu tulangan geser.
L. Check defleksi saat kondisi awal dan akhir < L /240
M. Tulangan tansfersal / lateral
0,9 . Mn > Mu
N. Tulangan sambungan antar HCS
0,9 . Mn > Mu
18
2.2.2 Analisa Struktur Pelat Bondek
Plat bondek sealin digunakan sebagai bekisting permanen juga
digunakan sebagai tulangan pisitif 1 arah.
Perhitungan momen pada pelat lantai bondek sesuai peraturan
ANSI-SDI-2017 sebagai berikut :
Mlx = 0,094 . Q . Lx²
Dimana,
Mlx = Momen lapangan arah X ( kg.m )
Q = Beban kombinasi ( kg )
Lx = Lebar arah X ( m )
Mtx = 0,117 . Q . Lx²
Dimana,
Mlx = Momen tumpuan arah X ( kg.m )
Q = Beban kombinasi ( kg )
Lx = Lebar arah X ( m )
Mly = 0,094 . Q . Ly²
Dimana,
Mlx = Momen lapangan arah Y ( kg.m )
Q = Beban kombinasi ( kg )
Lx = Lebar arah Y ( m )
Mty = 0,117 . Q . Ly²
Dimana,
Mlx = Momen tumpuan arah Y ( kg.m )
Q = Beban kombinasi ( kg )
Lx = Lebar arah Y ( m )
Kontrol kapasitas moment bondex sesuai dengan W-Deck
Design and Construction Manual (2009) adalah sebagai berikut :
ØM > Mlx
Dimana,
ØM = 973 kgm
Mlx = Momen lapangan arah X ( kg.m )
19
Apabila ØM > Mlx maka tidak diperlukan tulangan lapangan arah X.
Momen negatif pelat bondek : ØM > Mtx
Dimana,
ØM = 720 kgm
Mlx = Momen tumpuan arah X ( kg.m )
Apabila ØM > Mtx maka tidak diperlukan tulangan tumpuan arah X.
Perhitungan desain penulangan :
Pada perhitungan desain ini, menghitung berapa besar momen
yang terjadi pada bagian pelat tumpuan dan lapangan, Setelah momen
didapat baru dapat ditentukan tulangan rencana yang dipakai.
1. Mencari nilai m dan Rn
m = fy / ( 0,85 . f’c )
Dimana,
m = faktor tegangan tarik terhadap tegangan beton
fy = kuat tarik baja
f’c = kuat tarik beton
Rn = Mn / ( b . d² )
Dimana,
Rn = faktor momen nominal terhadap luas penampang
efektif
b = lebar penampang
d = tinggi efektif penampang
2. Mencari nilai ratio tulangan
ρ min = 1,4 / fy
Dimana,
ρ min = batasan ratio tulangan minimum
fy = kuat tarik baja
ρb = 0,85 . 𝛽1 . 𝑓′𝑐
𝑓𝑦 (
600 +𝑓𝑦
600 )
Dimana,
ρb = ratio tulangan seimbang
20
β1 = faktor yang menghubungkan tinggi blok tekanan
tekan persegi ekivalen dengan tinggi sumbu netral
(balance)
f’c = kuat tekan beton
ρ max = 0,75 . ρb
Dimana,
ρ max = ratio tulangan maksimum
ρb = ratio tulangan seimbang
3. Perhitungan tulangan perlu
ρ perlu = 1
𝑚 ( 1 − √1 −
2𝑚 . 𝑅𝑛
𝑓𝑦 )
Dimana,
ρ perlu = ratio tulangan perlu
m = faktor tegangan tarik terhadap tegangan beton
Rn = faktor momen nominal terhadap luas penampang
efektif
fy = kuat tarik baja
antara ρ min dan ρ perlu diambil nilai yang paling besar dengan
batasan maksimum ρ max.
4. Perhitungan luas tulangan perlu
As = ρ . b . d
Dimana,
ρ = ratio tulangan
b = lebar penampang
d = tinggi efektif penampang
5. Perhitungan jarak tulangan
S = 1000 / ( As perlu . As Tulangan )
Dimana,
S = Jarak tulangan
As perlu = Luas tulangan yang dibutuhkan
As Tulangan = Luas tulangan terhitung
21
2.3 Metode Pelaksanaan
Pada proses pelaksanaan sebuah proyek konstruksi perlu
dipertimbangkan metode pelaksanaan yang digunakan untuk
mempersingkat waktu pelaksanaan. Tuntutan kerja dengan waktu yang
cepat serta kualitas yang lebih baik menjadi alasan suatu inovasi. Beikut
adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun metode
pelaksanaan :
2.3.1 Pemilihan dan Penempatan Tower Crane
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan tower crane
yaitu :
1. Kapasitas/kemampuan angkut maksimum tower crane
2. Penempatan tower crane harus bisa menjangkau seluruh area kerja
dan area pabrikasi.
3. Jumlah ketersediaan alat dipasaran
4. Type atau jenis tower crane
5. Posisi counter weight harus aman dari pemukiman warga
2.3.2 Zoning Area Pekerjaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melaksanakan
pekerjaan yaitu area kerja harus ditetapkan zonanya untuk memetakan
area pekerjaan. Dasar penentuan zoning arean pekerjaan adalah sebagai
berikut :
1. Luasan area pekerjaan terlalu luas sehingga perlu dibagi zona
pekerjaan
2. Grup/tim pekerja yang berbeda
3. Jangkauan alat berat
4. Urutan pelaksanaan pekerjaan.
2.4 Perhitungan Waktu Pelaksanaan
Perhitungan waktu pelaksanaan ini dilakukan setelah
mendapatkan hasil analisa struktur pelat dan perhitungan volume.
Perhitungan waktu pelaksaan mengacu pada teori produktivitas sebagai
berikut :
Qe = q x N x Ek = q x 60/WS x E
22
Dimana,
Qe = Kapasitas produksi perlatan per jam
q = Kemampuan produksi peralatan dalam satu siklus
N = Jumlah trip yang dilakukan dalam satu jam
Ek = Efisiensi kerja
WS = Waktu siklus (Cycle Time) dalam menit
Didapat,
D = V / Qe
Dimana,
D = Durasi pekerjaan
V = Volume pekerjaan
Qe = Kapasitas produksi
2.4.1 Durasi Pembesian
Durasi pembesian dihitung berdasarkan waktu untuk membuat
bengkokan, kaitan, potongan, dan pemasangan. Rumus perhitungan
durasi pembesian adalah sebagai berikut :
1. Durasi memotong
Durasi (Jam) = Jumlah Tulangan
Kapsitas Produksi
2. Durasi bengkokan dengan mesin
Durasi (Jam) = Jumlah Bengkokan
Kapasitas Produksi
3. Durasi membuat kaitan
Durasi (Jam) = Jumlah Kaitan
Kapasitas Produksi
4. Durasi pemaasanagan tulangan
Durasi (Jam) = Jumlah Tulangan
Kapasitas Produksi
Jam kerja dalam 1 hari adalah 8 jam, Perhitungan durasi perhari
adalah sebagai berikut :
Durasi (Hari) = Jumlah Durasi
8 Jam x Jumlah Grup
23
Tabel 2.4 : Waktu yang dibutuhkan untuk membuat bengkokan dan kaitan
Dia.
Tulangan
(mm)
Manual Mesin
Bengkokan
(Jam)
Kaitan
(Jam)
Bengkokan
(Jam)
Kaitan
(Jam)
12,00 2 - 4 3 - 6 0,8 - 1,5 1,2 - 2,5
16,00
2,5 - 5 4 - 8 1 - 2 1,6 - 3 19,00
22,00
25,00 3 - 6 5 - 10 1,2 - 2,5 2 - 4
31,75 4 - 7 6 - 12 1,5 - 3 2,5 - 5
Sumber : Soedrajad (1994)
Tabel 2.5 : Waktu yang dibutuhkan untuk memasang 100 batang tulangan
Dia. Tulangan
(mm)
Panjang Tulangan
< 3 m 3 - 6 m 6m <
(Jam) (Jam) (Jam)
12,00 3,5 - 6 5 - 7 6 - 8
16,00
4,5 - 7 6 - 8,5 7 - 9,5 19,00
22,00
25,00 5,5 - 8 7 - 10 8,5 - 11,5
31,75 6,5 - 9 8 - 12 10 - 14
Sumber : Soedrajad (1994)
2.4.2 Durasi Pengecoran
Pelaksanaan pengecoran dilakukan setelah Bekisting balok dan
pelat serta besi topping terpasang. Pengecoran lantai 2 – 10 mengunakan
concrete pump.
Efisiensi kerja yang digunakan menurut Rochmanhadi (1992), Sebagai
berikut :
1. Kondisi cuaca
Kondisi = Terang, Panas, Berdebu
Nilai = 0,83
2. Faktor operator dan mekanik
Kondisi = Cukup
Nilai = 0,70
24
3. Faktor alat dan pemeliharaan mesin
Kondisi = Baik
Nilai = 0,75
Rumus perhitungan kapasitas produksi :
Qe = DC x Ek
Dimana,
Qe = Kapasitas Produksi (m3/jam)
DC = Delivery Capacity (90 m3/jam)
Ek = Efisiensi Kerja
Selain melakukan perhitungan kapasitas produksi concrete
pump perlu dilakukan perhitunganuntuk waktu persiapan, waktu
tambahan persiapan, waktu operasional pengecoran, dan waktu pasca
pengecoran.
Berikut perhitungan tahapan-tahapan pada saat pengecoran :
1. Waktu persiapan
Waktu persiapan untuk pekerjaan pengecoran antara lain :
A. Pengaturan posisi truck mixer dan concrete pump = 10 menit
B. Pemasangan pompa = 25 menit
C. Waktu tunggu (idle time) pompa = 10 menit
Maka total waktu persiapan pengecoran kurang lebih = 45 menit
2. Waktu persiapan tambahan
Waktu persiapan tambahan terdiri dari :
A. Pergantian truck mixer apabila pengecoran membutuhkan lebih
dari 1 truck mixer = Jumlah truck x 3 menit
B. Waktu untuk test slump dan pengambilan benda uji = Jumlah
truck x 5 menit
C. Waktu operasional pengecoran
Durasi (t) = Volume (m3) / Kapasitas produksi (m3/jam)
Sehingga didapat,
Total Waktu = Persiapan + persiapan Tambahan + Waktu
operasioanal pengecoran.
25
2.4.3 Durasi Erection Pelat HCS dan Bondek
Alat yang digunakan untuk pengangkatan (erection) material
HCS dan bondek yaitu tower crane.
Adapun spesifikasi tower crane dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.6 Tower Crane Potain MC 310 K12
Sumber : Brosur Manitowoc
26
Tabel 2.6 Spesifikasi Tower Crane Potain MC 310 K12
Type MC 310 K12
Boom Leght 3,1 - 70 m
Jip Leght 20,5 m
Maximum Lifting Cappacity 3,2 Ton
Hoisting Speed 0 - 80 m/min
Troleying Speed 15 - 100 m/min
Slewing Speed 0 - 0,7 rpm
Traveling Speed 0 - 80 m/min
Power 100 kVA
Sumber : Brosur Manitowoc
1. Waktu siklus ( cycle time )
Adalah waktu yang dibutuhkan tower crane untuk
menyelesaikan satu kegiatan produksi pekerjaan. Tiap satu siklus
tergantung pada :
A. Radius atau lintasan pada saat beroperasi
B. Jarak lokasi pekerjaan
C. Kecepatan yang dimiliki tower crane
D. Tinggi lantai
E. Waktu yang dibutuhkan untuk mengangkut, mengangkat, berputar,
menurunkan dan membongkar muatan
F. Waktu yang dibutuhkan untuk kembali keposisi semula
Rumus yang dapat digunakan untuk menghitung waktu siklus
tower crane adalah sebagai berikut :
A. Waktu Hoisting (Angkat)
t = d / v
dimana,
t = waktu hoisting (menit)
v = kecepatan hoisting (m/menit)
d = tinggi hoising (meter)
B. Waktu Trolleying (Troley jalan)
t = d / v
dimana,
27
t = waktu trolleying (menit)
v = kecepatan trolleying (m/menit)
d = panjang trolleying (meter)
C. Waktu Sweeing (Berputar)
t = α / v
dimana,
t = waktu sweeing (menit)
v = kecepatan hoisting (°/menit)
α = sudut sweeing (°)
D. Waktu Landing (turun)
t = d / v
dimana,
t = waktu Landing (menit)
v = kecepatan hoisting (m/menit)
d = tiinggi Landing (m)
2. Waktu bongkar dan muat
Waktu yang dibutuhkan tower crane untuk memuat dan
menurunkan material, seperti tabel berikut :
Tabel 2.7 Waktu muat dan bongkar muatan
No Pekerjaan Waktu Muat
(Menit)
Waktu
Bongkar
(Menit)
1 Scafolding 3 3
2 Pipe Support 3 5
3 Bekisting 3 5
4 Besi Beton 5 7
5 Pabrikasi Kolom 3 5
6 Profil Baja 5 7
7 Preceast Dinding 3 6
Sumber : Imformasi dan pengamatan lapangan
28
3. Kapasitas angkut tower crane (1 kali angkut)
Adalah kapasitas ukuran, volume, dan berat material yang
dijadikan pedoman pada saat tower crane mengangkut material untuk satu
kali jalan.
Tabel 2.8 Kapasitas angkut material
No Pekerjaan Jumlah Satuan Berat
(kg)
Total
Berat (kg)
1 Besi Beton 200 Btg 7.395 1.498,9
2 Preceast dinding 1 bh *var *var
3 Plat Halfslab 1 Bh *var *var
4 Bekisting kolom 1 bh *var *var
Sumber : Imformasi dan pengamatan lapangan
4. Faktor koreksi kondisi kerja
Merupakan suatu faktor yang memperhitungkan pengaruh unsur
yang berkaitan dengan mesin, manusia dan keadaan cuaca.
Tabel 2.9 Faktor koreksi kerja dan manajemen tata laksana
No Kondisi Pekerjaan Kondisi Tata Laksana
Baik Sekali Baik Sedang Buruk
1 Baik Sekali 0,84 0,81 0,76 0,70
2 Baik 0,78 0,75 0,71 0,65
3 Sedang 0,72 0.69 0,65 0,60
4 Buruk 0,63 0,61 0,57 0,52
Sumber : Rochmanhadi (1992)
5. Faktor efisiensi kerja
Tabel 2.10 Faktor efisiensi kerja
No Waktu Kerja Efektif Faktor Koreksi
1 50 menit/jam 0,84
2 40 menit/jam 0,67
Sumber : Rochmanhadi (1992)
29
6. Faktor keadaan cuaca
Tabel 2.11 Faktor keadaan cuaca
No Keadaan Cuaca Faktor Koreksi
1 Cerah 1,0
2 Berdebu, Hujan, Gelap 0,8
Sumber : Rochmanhadi (1992)
7. Faktor ketrampilan operator
Tabel 2.12 Faktor ketrampilan operator
No Keadaan Cuaca Faktor Koreksi
1 Baik Sekali 1,00
2 Sedang 0,75
3 Buruk 0,60
Sumber : Rochmanhadi (1992)
8. Produktivitas Erection pelat HCS dan Bondek
Adalah kemampuan alat untuk menyelesaikan pekerjaan dalam
satu siklus lintasan operasi yag dinyatakan dalam satuan volume.
Produktivitas alat tergantung dari waktu siklus, kapasitas alat dan faktor
efisiensi yang dipakai.
Qe = q x 60/WS x E
Dimana,
Qe = Kapasitas produksi ( buah/jam)
Q = Kemampuan produksi alat dalam 1 siklus (buah)
WS = Waktu siklus peralatan (menit)
E = Efisiensi kerja
9. Durasi pekerjaan
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Rumus yang dipakai untuk menghitung durasi pekerjaan adalah sebaga
berikut :
D = V / Qe
Dimana,
30
D = Durasi pekerjaan (jam)
V = Volume (buah)
Qe = Kapasitas produksi alat (buah/jam)
2.5 Analisa Biaya Pekerjaan
Menurut Sastraatmaja (1984), analisa biaya dilakukan untuk
memperoleh perkiraan biaya pelaksanaan suatu pekerjaan dengan
berdasarkan sumber daya yang ada dan metode pelaksanaan tertentu.
Dalam melakukan analisa biaya terlebih dahulu harus mengetahui
spesifikasi yang digunakan dalam perencanaan konstruksi tersebut.
Misalnya untuk volume menggunakan satuan m3 (meter kubik).
Sedangkan untuk berat menggunakan satuan kg.
Dalam proyek-proyek besar seperti proyek konstruksi biaya
pekerjaan bisa dihitung dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Untuk
menghitung RAB dapat digunakan rumus sebagai berikut :
RAB = ∑[(Volume Pekerjaan) x Harga Satuan Pekerjaan]
2.5.1 Perhitungan Volume Pekerjaan
Hasil Perhitungan volume nantinya digunakan untuk
menghitung durasi dan biaya yang dikeluarkan.
1. Perhitungan volume pelat konvensional, Hcs dan bondek
Perhitungan volume pelat konvensional, Hcs dan bondek dilakukan
dengan cara merekap data perencanaan yang telah dilakukan
sebelumnya dan menghitung jumlah elemen total yang dibutuhkan.
Hasil dari perhitungan volume nantinya digunakan untuk
menghitung durasi pekerjaan dan anggaran biaya.
2. Perhitungan volume beton
Perhitungan volume beton pelat konvensional, Hcs dan bondek
dengan cara mengalikan antara panjang (p), lebar (l), dan tebal pelat
(t) dalam satuan m³.
3. Volume pembesian
Volume pembesian dihitung dengan cara menghitung kebutuhan
tulangan pada struktur pelat lantai dengan rumus sebagai berikut :
Volume Besi (V) = Panjang Besi x Jumlah x Bj Tulangan Besi
31
2.5.2 Analisa Harga Satuan
Analia harga satuan pekerjaan menggunakan analisa harga
satuan pekerjaan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan daftar
harga satuan bahan bangunan, upah kerja dan analisa biaya konstruksi
yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral
Cipta Karya, daftar harga satuan dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan
Umum setiap tiga bulan sekali.
Harga satuan pekerjaan pada tugas akhir ini menggunakan harga
satuan perkerjaan dari kontraktor pelaksana yakni PT. PP (persero), Tbk
dan AHSP kota palembang 2017, sedangkan untuk harga satuan
pekerjaan pembuatan Hollow Core Slab dilakukan perhitungan sendiri.
32
Halaman ini sengaja dikosongkan