BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-gdl-andrifirma... · mana...
-
Upload
truonglien -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAdigilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-gdl-andrifirma... · mana...
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Persepsi
1. Pengertian
Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali
oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimnya stimulus oleh alat
indra, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari
tentang sesuatu yang dipersepsikan (Sunaryo, 2004). Sedangkan
menurut Rakhmat (2004), persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan melampirkan pesan.
2. Syarat terjadinya persepsi
Syarat timbulnya persepsi yakni, adanya objek, adanya perhatian
sebagai langkah pertama untuk megadakan persepsi, adanya alat indra
sebagai reseptor penerima stimulus yakni saraf sensoris sebagai alat
untuk meneruskan stimulus ke otak dan dari otak dibawa melalui saraf
motoris sebagai alat untuk mengadakan respons (Sunaryo, 2004).
Secara umum, terdapat beberapa sifat persepsi, antara lain
bahwa persepsi timbul secara spontan pada manusia, yaitu ketika
seseorang berhadapan dengan dunia yang penuh dengan rangsangan.
Persepsi merupakan sifat paling asli yang merupakan titik tolak
perubahan. Dalam mempersepsikan tidak selalu dipersepsikan secara
keseluruhan, mungkin cukup hanya diingat. Persepsi tidak berdiri
sendiri, tetapi dipengaruhi atau bergantung pada konteks dan
pengalaman (Baiqhaqi, 2005).
3. Macam-macam Persepsi
Terdapat dua macam persepsi, yaitu External Perception, yaitu
persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang datang dari luar
diri individu dan Self Perception, yaitu persepsi yang terjadi karena
adanya rangsangan yang berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini
11
yang menjadi objek adalah dirinya sendiri. Dengan persepsi, individu
dapat menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang
ada di sekitarnya maupun tentang keadaan diri individu (Sunaryo,
2004).
4. Faktor yang mempengaruhi persepsi
Menurut Siagian (1995) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi yaitu :
a. Diri orang yang bersangkutan, dalam hal ini orang yang berpengaruh
adalah karakteristik individual meliputi dimana sikap, kepentingan,
minat, pengalaman dan harapan.
b. Sasaran persepsi, yang menjadi sasaran persepsi dapat berupa orang,
benda, peristiwa yang sifat sasaran dari persepsi dapat
mempengaruhi persepsi orang yang melihatnya. Hal-hal lain yang
ikut mempengaruhi persepsi seseorang adalah gerakan, suara,
ukuran, tindak tanduk dan lain-lain dari sasaran persepsi.
c. Faktor situasi, dalam hal ini tinjauan terhadap persepsi harus secara
kontekstual artinya perlu dalam situasi yang mana persepsi itu
timbul.
Sementara menurut Walgito (2002) dalam persepsi individu
mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus mempunyai arti
individu yang bersangkutan dimana stimulus merupakan salah satu
faktor yang berperan dalam persepsi. Berkaitan dengan hal itu faktor-
faktor yang berperan dalam persepsi yaitu :
a. Adanya objek yang diamati
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau
reseptor stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat
indera (reseptor), dan dapat datang dari dalam yang langsung
mengenai syaraf penerima (sensori) yang bekerja sebagai reseptor.
12
b. Alat indera atau reseptor
Alat indera (reseptor) merupakan alat untuk menerima stimulus.
Disamping itu harus ada syaraf sensori sebagai alat untuk
meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat syaraf yaitu
otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk mengadakan
respon diperlukan syaraf sensori.
c. Adanya perhatian
Perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam
suatu persepsi. Tanpa adanya perhatian tidak akan terbentuk
persepsi.
5. Pengukuran Persepsi
Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap.
Walaupun materi yang diukur bersifat abstrak, tetapi secara ilmiah
sikap dan persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap obyek
diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran sikap
terdiri dari metode Self Report dan pengukuran Involuntary Behavior.
a. Self Report merupakan suatu metode dimana jawaban yang diberikan
dapat menjadi indikator sikap seseorang. Namun kelemahannya
adalah bila individu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan maka
tidak dapat mengetahui pendapat atau sikapnya.
b. Involuntary Behaviour dilakukan jika memang diinginkan atau dapat
dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran
sikap dipengaruhi kerelaan responden (Azzahy, 2010). Jika merujuk
pada pernyataan diatas, bahwa mengukur persepsi hampir sama
dengan mengukur sikap, maka skala sikap dapat dipakai atau
dimodifikasi untuk mengungkap persepsi sehingga dapat diketahui
apakah persepsi seseorang positif, atau negatif terhadap suatu hal
atau obyek.
13
B. Keteraturan Perawatan dan Pengobatan Penderita Kusta
1. Pengertian
Keteraturan perawatan dan pengobatan yaitu tingkat/derajat di
mana penderita suatu penyakit dalam hal ini penyakit kusta mampu
melaksanakan cara perawatan dan pengobatan sesuai yang disarankan
oleh dokter atau tim kesehatan lainnya, dan merupakan tingkat di mana
perilaku seseorang sesuai dengan saran praktisi kesehatan (Smet, 1994).
Menurut Taylor dalam Smet (1994), bahwa ketidakpatuhan
merupakan salah satu masalah yang berat dalam dunia medis, dan oleh
karena itu sejak tahun 1960-an sudah mulai diteliti di negara-negara
industri. Secara umum, ketidakpatuhan meningkatkan risiko
berkembangnya masalah kesehatan dan dapat berakibat memperpanjang
atau memperburuk penyakit yang sedang diderita. Kepatuhan penderita
kusta untuk mengonsumsi obat dapat dilihat dari dosis dan batas waktu
sampai dinyatakan selesai berobat dan tergantung pada jenis kusta yang
dideritanya. Dikatakan teratur, jika penderita kusta sudah minum obat
sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB, dan
dinyatakan tidak teratur, jika penderita kusta belum minum obat sampai
6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB (Depkes RI, 2006).
2. Tujuan
Tujuan pengobatan penderita kusta adalah untuk memutuskan
mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan
mencegah terjadinya kecacatan atau bertambah cacat. Pengobatan
penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak
berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang
aktif sampai akhirnya hilang (Depkes RI, 2006).
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen,
pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita
tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif
kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang
dapat memperburuk keadaan (Depkes RI, 2006).
14
Beberapa regimen yang direkomendasikan untuk pengobatan
kusta, yaitu Multi Drug Therapy (MDT), yaitu kombinasi dua atau lebih
obat anti kusta, yang salah satunya terdiri atas Rifampisin sebagai anti
kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bisa
bersifat bakteriosttik. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengobatan
dilakukan oleh petugas kesehatan dengan memonitor tanggal
pengambilan obat, jika terlambat petugas harus melacak penderita
tersebut, dan melakukan pengamatan pemberian obat untuk TP PB 6
dosi (bilster) dalam jangka waktu 6-9 bulan, dan untuk penderita MB
dengan 12 dosis dalam jangka waktu 12-18 bulan dan jika penderita
sudah minum obat sesuai anjuran, maka dinyatakan Relase From
Treatment tanpa perlu pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2006).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keteraturan perawatan dan
pengobatan penderita kusta
faktor yang mempengaruhi keteraturan perawatan dan pengobatan
penderita kusta antara lain adalah faktor penyakit, obat, motivasi
penderita dan petugas.
a. Faktor penyakit
Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium leprae. M. leprae terutama menyerang
syaraf tepi dan kulit serta organ tubuh lain seperti: mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endothelia, mata, otot,
tulang dan testis. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat tanpa
gejala, namun pada sebagian yang lain memperlihatkan gejala dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat.
b. Faktor obat
Pengobatan penyakit kusta sering kali terlambat, hal ini karena
gejala awitan yang tidak jelas, dan kesadaran penderita untuk
berobat kurang.
15
c. Faktor penderita
1) Kebiasaan tidak disiplin dari penderita dalam hal minum obat.
2) Banyak penderita yang tidak mengerti cara pengobatan yang lama
yang harus dijalani sejak awal, sehingga kepatuhan tidak bisa
diharapkan.
3) Kebanyakan penderita kusta adalah golongan ekonomi lemah dan
pendidikan rendah.
4) Keinginan atau motivasi penderita untuk berobat makin lama
semakin menurun.
5) Terdapat sosial stigma penderita kusta tidak disenangi
dimasyarakat dan orang-orang menjauhinya sehingga penderita
cepat menganggap dirinya sembuh meski baru beberapa waktu
berobat.
d. Faktor petugas kesehatan
Kesibukan petugas kesehatan dalam melayani pasien yang banyak,
membuat mereka kurang memperhatikan penderita dan tidak sempat
memberikan informasi secara jelas, hal ini tidak menunjang
terciptanya kepatuhan penderita dalam pengobatan (Muherman,
2003)
C. Perilaku
1. Pengertian
Pengertian perilaku dibatasi sebagai keadaan jiwa (berpendapat,
berfikir, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan responsi terhadap
situasi di luar subyek tersebut, yang bersifat pasif (tanpa tindakan) dan
dapat juga bersifat aktif (dengan tindakan dan action) (Notoatmodjo,
2003).
16
Sebelum seseorang menghadapi perilaku baru dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan sebagai berikut: Awareness Yaitu
orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu
terhadap stimulus (obyek), Interest Yaitu orang mulai tertarik terhadap
stimulus, Evaluation Yaitu menimbang-nimbang terhadap baik dan
tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, Trial Yaitu orang telah
mencoba perilaku baru, Adaption Yaitu orang mulai berperilaku baru
sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus
(Notoadmojo,2003).
2. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu reaksi seseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan.
Respon atau reaksi manusia dapat bersifat pasif (pengetahuan, persepsi
dan sikap) serta dapat bersifat aktif (tindakan yang nyata). Menurut
Budioro (2000), perilaku kesehatan mencakup:
a. Perilaku seseorang terhadap sakit atau penyakit
Yaitu bagaimana manusia berespon baik secara pasif maupun
aktif yang dilakukan sehubungan dengan sakit atau penyakit
tersebut. Perilaku terhadap sakit atau penyakit sesuai dengan tingkat-
tingkat pencegahan penyakit yang meliputi :
1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan kesehatan (health
promotion behavior), misalnya makanan bergizi, olah raga, dan
sebagainya.
2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)
3) Perilaku sehubungan dengan pencarian pertolongan pengobatan
(health seeking behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau
mencari pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.
4) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health
rehabilitation behavior), yaitu perilaku yang berhubungan dengan
pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit.
17
b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan
Merupakan respon seseorang terhadap sistem pelayanan
kesehatan baik terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas
kesehatan dan obat-obatan yang terwujud dalam pengetahuan,
persepsi, sikap, penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan
c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior)
Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan
praktek terhadap makna serta unsur yang terkandung di dalamnya,
pengolahan makanan dan sehubungan dengan kebutuhan.
d. Perilaku terhadap lingkungan (environmental health behavior)
Merupakan respon seseorang terhadap lingkungan sebagai
determinan kesehatan manusia. Dalam perkembangannya untuk
kepentingan pengukuran hasil pendidikan, maka domain tersebut
diatas dibedakan menjadi pengetahuan (knowledge), sikap (attitude),
dan praktek/tindakan (practice/action).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
Notoadmodjo (2003), mencoba menganalisis perilaku manusia
dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (Behavior
causes) dan faktor diluar perilaku (Non behavior causes). Selanjutnya
perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :
a) Faktor predisposisi (predisposing factor)
Yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku yang
berasal dari dalam diri individu meliputi karakteristik responden,
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai
masyarakat.
b) Faktor pendukung (Enabling factor)
Yaitu faktor yang memungkinkan perilaku meliputi
ketersediaan sarana kesehatan, ketercapaian sarana, ketrampilan
yang berkaitan dengan kesehatan.
18
c) Faktor pendorong (Renforcing factor)
Yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya
suatu perilaku meliputi sikap dan praktek petugas kesehatan
dalam pemberian pelayanan kesehatan, sikap dan praktek petugas
lain (tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga dan guru) (Green,
1995).
1) Dukungan petugas kesehatan
Dukungan petugas sangat membantu, dimana dengan
adanya dukungan petugas berpengaruh besar artinya bagi
seseorang dalam kataatan melakukan perawatan Kusta, sebab
petugas adalah yang merawat dan sering berinteraksi,
sehingga pamahaman terhadap kondisi fisik maupun psikis
lebih baik, dengan sering berinteraksi akan sangat
mempengaruhi rasa percaya dan menerima kehadiran petugas
bagi dirinya, serta motivasi atau dukungan yang diberikan
petugas sangat besar artinya terhadap ketaatan pasien untuk
selalu mengontrol penyakit Kusta tersebut (Friedman, 1998).
2) Dukungan keluarga
Dukungan keluarga sangatlah penting karena keluarga
merupakan unit terkecil dalam masyarakat dan sebagai
penerima asuhan keperawatan. Oleh karena itu keluarga
sangat berperan dalam menetukan cara asuhan yang
diperlukan oleh anggota keluarga yang sakit, apabila dalam
keluarga tersebut salah satu anggota keluarganya ada yang
sedang mengalami masalah kesehatan maka sistem dalam
keluarga akan terpengaruhi (Friedman, 1998).
4. Perubahan perilaku
Perubahan perilaku merupakan salah satu hasil yang diharapkan
dari suatu pendidikan kesehatan, yaitu dari perilaku yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan menjadi perilaku yang sesuai dengan nilai-
19
nilai kesehatan. Dan perubahan tersebut biasanya dimulai dari tahap
kepatuhan, identifikasi, selanjutnya tahap internalisasi (Budioro, 2000).
WHO (2003), menyatakan bahwa perubahan perilaku dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. Perubahan alamiah (natural change), disebabkan oleh kejadian
alamiah di masyarakat jika masyarakat sekitarnya terjadi suatu
perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka
anggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan.
b. Perubahan terencana (planned change), yaitu perubahan perilaku
yang terjadi karena memang sudah direncanakan sendiri oleh
subyek.
c. Kesediaan untuk berubah (readdiness to change), disebabkan oleh
terjadinya suatu inovasi atau program pembangunan di dalam
masyarakat sehingga yang sering terjadi adalah adanya sebagian
orang yang sangat cepat untuk menerima perubahan dan sebagian
lain sangat lambat untuk menerima perubahan. Hal ini disebabkan
oleh karena setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang
berbeda-beda.
D. Keluarga
1. Konsep Keluarga
a. Definisi keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri
atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal
disuatau tempat di bawah satu atap dalam keadan saling
ketergantungan (Effendi, 2004).
Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan
oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan untuk
meningkatkan dan mempertahankan budaya yang umum,
meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari
tiap anggota (Sudhiarto, 2007).
20
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih individu
yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau adopsi,
hidup dalam satu rumah tangga, saling berinteraksi satu sama
lainnya dalam perannya dan menciptakan dan mempertahankan
suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1989 dalam Mubarak 2002).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa secara umum pengertian keluarga adalah
sekumpulan 2 orang atau lebih yang hidup dalam satu rumah
mempunyai hubungan darah ataupun perkawinan memiliki
keterikatan dalam aturan pendekatan emosional dari setiap
anggotanya dan mampu menciptakan kenyamanan untuk semua
penghuninya.
b. Struktur keluarga
Menurut Murwani (2007), struktur keluarga terdiri atas:
1) Pola dan proses komunikasi
Pola interaksi keluarga yang berfungsi: (1) bersifat terbuka
dan jujur, (2) selalu menyelesaikan konflik keluarga, (3)
berpikiran positif, dan (4) tidak mengulang - ulang isu dan
pendapat sendiri.
Karakteristik komunikasi keluarga berfungsi untuk :
a) Karakteristik pengirim : yakin dalam mengemukakan sesuatu
atau pendapat, apa yang disampaikan jelas dan berkualitas,
selalu meminta dan menerima umpan balik.
b) Karakteristik penerima : siap mendengarkan, memberi umpan
balik, melakukan validasi.
2) Struktur peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai
dengan posisi sosial yang diberikan. Yang dimaksud dengan
posisi atau status adalah posisi individu dalam masyarakat
misalnya sebagai suami, istri, anak dan sebagainya. Tetapi kadang
peran ini tidak dapat dijalankan oleh masing-masing individu
21
dengan baik. Ada beberapa anak yang terpaksa mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang lain
sedangkan orang tua mereka entah kemana atau malah berdiam
diri dirumah.
3) Struktur kekuatan
Kekuatan merupakan kemampuan (potensial dan aktual)
dari individu untuk mengendalikan atau mempengaruhi untuk
merubah perilaku orang lain kearah positif.
4) Nilai-nilai keluarga
Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang
secara sadar atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam
satu budaya. Nilai keluarga juga merupakan suatu pedoman bagi
perkembangan norma dan peraturan.Norma adalah pola perilaku
yang baik, menurut masyarakat berdasarkan sistem nilai dalam
keluarga.Budaya adalah kupulan dari pola perilaku yang dapat
dipelajari, dibagi, dan ditularkan dengan tujuan untuk
menyelesaikan masalah (Murwani, 2007).
c. Tipe atau Bentuk Keluarga
Beberapa tipe atau bentuk keluarga menurut Sudiharto
(2007), antara adalah sebagai berikut:
1) Keluarga inti (Nuclear Family)
Keluarga yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang
direncanakan yang terdiri dari suam, istri, dan anak-anak, baik
karena kelahiran (natural) maupun adopsi.
2) Keluarga besar (Extended Family)
Keluarga inti ditambah keluarga yang lain (karena hubungan
darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu termasuk
keluarga modern, seperti orangtua tunggal, keluarga tanpa anak,
serta keluarga pasangan sejanis (guy/lesbian families).
3) Keluarga Campuran (Blended Family)
22
Keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung dan
anakanak tiri.
4) Keluarga menurut hukum umum (Common Law Family): Anak-
anak yang tinggal bersama.
5) Keluarga orang tua tinggal
Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena telah
bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah
menikah, serta anak-anak mereka yang tinggal bersama.
6) Keluarga Hidup Bersama (Commune Family)
Keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak yang
tinggal bersama berbagi hak dan tanggungjawab, serta memiliki
kepercayaan bersama.
7) Keluarga Serial (Serial Family)
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan
mungkin telah punya anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-
masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan
pasangannya masing-masing, tetapi semuanya mengganggap
sebagai satu keluarga.
8) Keluarga Gabungan (Composite Family)
Keluarga yang terdiri dari suam dengan beberapa istri dan anak-
anaknya (poligami) atau istri dengan beberapa suami dan anak-
anaknya (poliandri).
9) Hidup bersama dan tinggal bersama (Cohabitation Family)
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang hidup bersama
tanpa ada ikatan perkawinan yang sah.
d. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) dalam Sudiharto,
(2007), antara adalah sebagai berikut:
1) Fungsi Afektif (The affective function) : Fungsi keluarga yang
utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan
anggota keluarga berhubungan dengan orang lain, fungsi ini
23
dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial
keluarga.
2) Fungsi Sosialisasi dan penempatan sosial (sosialisation and social
placement fungtion) : Fungsi pengembangan dan tempat melatih
anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah
untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
3) Fungsi Reproduksi (reproductive function): Fungsi untuk
mempertahankan generasi menjadi kelangsungan keluarga.
4) Fungsi Ekonomi (the economic function) : Keluarga berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat
untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
5) Fungsi Perawatan atau pemeliharaan kesehatan (the healty care
function): Fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan
anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi
ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan.
Menurut Effendi (2004), menyatakan bahwa dalam suatu
keluarga ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga sebagai
berikut :
1) Fungsi biologis
a) Untuk meneruskan keturunan.
b) Memelihara dan membesarkan anak.
c) Memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
2) Fungsi psikologis
a) Memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi keluarga.
b) Memberikan perhatian diantara keluarga.
c) Memberikan kedewasaan kepibadian anggota keluarga.
24
d) Memberikan identitas keluarga.
3) Fungsi sosialisasi
a) Membina sosialisasi pada anak.
b) Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat
perkembangan masing-masing.
c) Meneruskan nilai-nilai budaya.
4) Fungsi ekonomi
a. Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
b. Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga
dimasa yang akan dating.
5) Fungsi pendidikan
a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan,
keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai dengan
bakat dan minat yang dimilikinya.
b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan
datangdalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa.
Mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
6) Fungsi Perlindungan
Tugas keluarga dalam hal ini adalah melindungi anak dari
tindakan –tindakan yang tidak baik, sehinnga anggota keluarga
merasa terlindung dan nyaman.
7) Fungsi Perasaan
Tugas keluarga dalam hal ini adalah menjaga secara instuitif,
merasakan perasaan anak dan anggota keluarga sehingga saling
25
pengertian satu dengan yang lain dalam menimbulkan
keharmonisan dalam keluarga.
8) Fungsi Religius
Tugas keluarga dalam fungsi ini adalah memperkenalkan dan
mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan
beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan
keyakinan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan dan
ada kehidupan ke 2 setelah kehidupan ini berakhir.
9) Fungsi Rekreatif
Tugas keluaraga dalam fungsi rekreatif ini tidak harus selalu pergi
ketempat rekreasi, tetapi yang terpenting adalah bagaimana
menciptakan suasanan yang nyaman dan menyenangkan dalam
keluarga sehingga dapat mencapai keseimbangan kepribadian
masing–masing anggota keluarga tersebut.
e. Tugas Kesehatan Keluarga
Dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan, tugas
keluarga merupakan faktor utama untuk pengembangan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Tugas kesehatan keluarga menurut
Setyowati (2008), adalah sebagai berikut:
1) Mengenal gangguan perkembangan masalah kesehatan setiap
anggotanya.
2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan kesehatan yang
tepat.
3) Memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit
dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri.
4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan
kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.
26
5) Mempertahankan hubungan timabal-balik antara keluarga
lembagalembaga kesehatan yang menunjukkan manfaat fasilitas
kesehatandengan baik.
E. Dukungan Keluarga
1. Pengertian
Dukungan keluarga merupakan suatu strategi intervensi preventif
yang paling baik dalam membantu anggota keluarga mengakses
dukungan sosial yang belum digali untuk suatu strategi bantuan yang
bertujuan untuk meningkatkan dukungan keluarga yang adekuat.
Dukungan keluarga mengacu pada dukungan yang dipandang oleh
anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses untuk keluarga
misalnya dukungan bisa atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga
memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman,
1998).
Dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sebagai
koping keluarga, baik dukungan keluarga yang eksternal maupun
internal. Dukungan dari keluarga bertujuan untuk membagi beban,
juga memberi dukungan informasional (Friedman, 1998).
Dukungan keluarga sebagai suatu proses hubungan antar keluarga
dengan lingkungan sosialnya, ketiga dimensi interaksi dukungan
keluarga tersebut bersifat reproksitas (timbal balik atau sifat dan
frekuensi hubungan timbal balik), umpan balik (kualitas dan kualitas
komunikasi) dan keterlibatan emosional (kedalaman intimasi dan
kepercayaan) dalam hubungan sosial. Baik keluarga inti maupun
keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggota
keluarganya dan merupakan pelaku aktif dalam memodifikasi dan
mengadaptasi komunitas hubungan personal untuk mencapai keadaan
berubah (Friedman, 1998).
27
2. Jenis Dukungan Keluarga
Jenis dukungan keluarga terdiri dari empat jenis atau dimensi
dukungan menurut Friedman (1998) antara lain :
a. Dukungan emosional
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai
untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan
terhadap emosi yang meliputi ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap anggota keluarga yang menderita Kusta.
b. Dukungan penghargaan (penilaian)
Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi pemecahan dan sebagai sumber dan
validator identitas anggota. Terjadi lewat ungkapan hormat
(penghargaan) positif untuk penderita Kusta, dorongan maju, atau
persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan
perbandingan positif penderita Kusta dengan yang lain seperti
misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk
keadaannya.
c. Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis
dan konkrit yang mencakup bantuan seperti dalam bentuk uang,
peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong
dengan pekerjaan waktu mengalami stres.
d. Dukungan informatif
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator
(penyebar) informasi tentang dunia yang mencakup dengan
memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, sarana-sarana atau umpan
28
balik. Bentuk dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah
dorongan semangat, pemberian nasehat atau mengawasi tentang
pola makan sehari-hari dan pengobatan. Dukungan keluarga juga
merupakan perasaan individu yang mendapat perhatian, disenangi,
dihargai dan termasuk bagian dari masyarakat (Friedman, 1998).
Dukungan keluarga dalam penanganan pengobatan penyakit kusta
sangat dibutuhkan untuk memberikan pendampingan dalam proses
pengobatan, walaupun peranan para petugas juga sangat besar. Hal
utama yang menjadi upaya dalam pendampingan proses pengobatan
penyakit kusta bagi keluarga adalah untuk memperkecil kemungkinan
kejadian yang tidak diharapkan, seperti tidak mau minum obat, tidak
mau mengurus diri sendiri. Hal ini sangat tidak diharapkan karena
akan menganggu dalam proses pengobatan penyakit kusta, bahkan bisa
terhenti sama sekali. Karena dalam pengobatan atau therapi penyakit
kusta sangat membutuhkan waktu yang cukup lama. Dukungan dan
partisipasi aktif dari keluarga sangat dibutuhkan.
F. Kusta
1. Pengertian Penyakit Kusta
Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. M. leprae terutama
menyerang syaraf tepi dan kulit serta organ tubuh lain seperti: mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endothelia, mata,
otot, tulang dan testis. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat
tanpa gejala, namun pada sebagian yang lain memperlihatkan gejala
dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat.
Penyakit kusta memberi stigma yang sangat besar pada penderita
dan masyarakat, sehingga penderita kusta tidak hanya menderita
karena penyakitnya saja, tetapi juga dijauhi atau dikucilkan oleh
masyarakat. Hal tersebut sebenarnya terjadi oleh karena kusta
29
menyebabkan cacat permanen yang ditimbulkannya (Direktorat
Jenderal PPM dan PL, 2007).
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat,
keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini, disebabkan
masih kurangnya pengetahuan/pengertian, pengertian yang keliru
terhadap kusta, serta cacat permanen yang ditimbulkan.
2. Penyebab Penyakit Kusta
Penyakit kusta disebabkan oleh suatu jenis bakteri yaitu
Mycobacterium leprae. Kuman penyebab penyakit kusta berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-8 mikro, lebar 0,2-0,5 mikro yang
tidak mudah diwarnai, namun jika diwarnai akan tahan terhadap
dekolorisasi oleh asam atau alkohol, biasanya berkelompok dan ada
yang tersebar satu-satu. Mycobacterium ini adalah kuman aerob yakni
tidak membentuk spora serta bersifat tahan asam (BTA) (Direktorat
Jenderal PPM dan PL, 2007)
Menurut Wahyuni (2009), Mycobacterium leprae tidak dapat di
kultur dalam media buatan. Bagian tubuh yang dingin merupakan
tempat predileksi seperti saluran nafas, testis, ruang anterior mata,
kulit terutama cuping telingan dan jari-jari. Masa tunas penyakit kusta
rata-rata 2-5 tahun, ini disebabkan oleh karena masa pembelahan
kuman kusta membutuhkan waktu yang sangat lama dibandingkan
dengan kuman-kuman lainnya yang memiliki masa tunas kurang lebih
12-21 hari.
Mycobacterium leprae dapat hidup di luar tubuh selama 2-4 hari.
Bentuk kuman kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah
bentuk utuh, bentuk pecah-pecah (fragmented), bentuk granular
(granulated), bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk utuh, dimana
dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan
panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah-pecah,
dimana dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan
pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana
30
kelihatan seperti titik-titik tersusun seperti garis lurus atau
berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau
fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok-
kelompok.
Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40-60 BTA
sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200-300
BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk
pulau-pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni, S.
2009).
3. Cara Penularan Penyakit Kusta
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih
merupakan tanda tanya, yang diketahui hanya pintu keluar kuman
kusta dari tubuh penderita, yaitu selaput lendir hidung, tetapi ada yang
mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung
penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24
jam (2-7 hari).
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah
umur 15 tahun karena anak-anak lebih peka dibanding dengan
orang dewasa, keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun
makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor
yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai
penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya
penyakit-penyaki infeksi lainnya (Zulkifli, 2003).
Menurut Ditjen PPM dan PL (2007), timbulnya kusta bagi
seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti, tergantung dari
beberapa faktor antara lain :
a. Faktor sumber penularan
Sumber penularan adalah penderita tipe MB. Penderita MB juga
tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
31
b. Faktor kuman Kusta
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta
yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
c. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap panyakit kusta.
Terlihat dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit,
3 orang sembuh sendiri tanpa berobat, dan 2 orang menjadi sakit,
hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.
Menurut Cocrane dalam Daili (Daili, 2005), terlalu sedikit orang
yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus
lepra terbuka, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yaitu
jumlah atau keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh
penderita.
4. Gejala Penyakit Kusta
Menurut Djuanda (2007), gejala penyakit kusta bermacam-
macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Gejala
yang umum yaitu (Djuanda, 2007) :
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan atau tubuh manusia.
Bercak putih ini pertama hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
b. Adanya penebalan saraf terutama pada saraf ulnaris (tulang hasta),
medianus, aulicularis magnus serta peroneus daerah tulang betis).
Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
c. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar
pada kulit.
d. Alis rambut rontok.
e. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina
(muka singa).
32
f. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
g. Anoreksia (berkurangnya selera makan).
h. Nausea (mual), kadang-kadang disertai vomitus (muntah).
i. Cephalgia (sakit kepala).
j. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis (terdapat radang di buah
zakar) dan Pleuritis (radang selaput dada).
k. Kadang-kadang disertai dengan nephrosia, nepritis (radang ginjal)
dan hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limfa).
l. Neuritis (radang saraf).
5. Reaksi Kusta
Ditjen PPM dan PL (2007) menyatakan Reaksi kusta adalah suatu
episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu
reaksi kekebalan (seluler respons) atau reaksi antigen-antibodi
(humoral respons) dengan akibat merugikan penderita. Reaksi ini
dapat terjadi pada penderita sebelum mendapatkan pengobatan pada
saat pengobatan maupun sesudah pengobatan, namun sering terjadi
pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah mulai pengobatan. Adapun jenis
reaksi kusta adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2007):
a. Reaksi Tipe I (reaksi reserval, reaksi upgrading, reaksi boderline).
Terjadi pada penderita tipe boderline disebabkan meningkatnya
kekebalan seluler secara cepat. Terjadi pergeseran tipe kustanya ke
arah PB. Menurut keadaan reaksi, maka dapat dibedakan menjadi
reaksi ringan dan reaksi berat dengan perjalan reaksi 6-12 minggu
atau lebih. Perbedaan gejala reaksi ringan dan reaksi berat dapat
dilihat pada Tabel 2.2. sebagai berikut:
33
Tabel 2.1. Perbedaan Reaksi Ringan dan Reaksi Berat pada Reaksi
Tipe I
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
Lesi kulit Tambah aktif, menebal
merah, teraba panas dan
nyeri tekan. Makula yang
menebal dapat sampai
membentuk plaq
Lesi membengkak sampai
yang pecah, merah, teraba
panas dan nyeri tekan. Ada
lesi kulit baru, tangan dan
kaki membengkak, sendi-
sendi sakit
Saraf tepi Tidak ada nyeri tekan saraf
dan gangguan fungsi
Nyeri tekan atau gangguan
fungsi misalnya kelemahan
otot
Sumber: Ditjen PPM dan PL, 2007
b. Reaksi Tipe II (reakasi ENL/Erythema Nodusum Leprosum)
Merupakan proses inflamasi yang terjadi karena mekanisme
imunitas humoral pada penderita yang menimbulkan peradangan
pada kulit, saraf tepi dan organ lain (DKK Brebes, 2008). Terjadi
pada penderita tipe MB, biasanya berlangsung sampai 3 minggu
atau lebih. Menurut keadaan reaksi, maka dapat dibedakan reaksi
ringan dan reaksi berat. Perbedaan gejala-gejala reaksi ringan dan
reaksi berat dapat dilihat pada Tabel 2.3. sebagai berikut (Dinas
Kesehatan Kabupaten Brebes, 2008) :
Tabel 2.2. Perbedaan Reaksi Ringan dan Reaksi Berat pada Reaksi
Tipe II
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
Lesi kulit Nodul yang nyeri tekan
jumlah sedikit, biasanya
hilang sendiri dalam 2-3
hari
Nodul nyeri tekan, ada yang
sampai pecah, jumlah banyak,
berlangsung lama
Keadaan umum Tidak ada demam atau
ringan saja
Demam ringan sampai berat
Saraf tepi Tidak ada nyeri tekan saraf
dan gangguan fungsi
Ada nyeri tekan atau gangguan
fungsi
Organ tubuh Tidak ada gangguan organ
tubuh
Terjadi peradangan pada: Mata
(iridocyclitis), Testis (orchitis),
Ginjal (nephritis), Sendi
(artritis), Kelenjar limfa
(limphadenitis), Gangguan
tulang, hidung dan tenggorokan.
Sumber: Ditjen PPM dan PL, 2007
34
6. Upaya Pencegahan Kecacatan pada Penderita Kusta
a. Pencegahan Penyakit kusta
1) Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a) Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang
sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki risiko
tertular karena berada di sekitar atau dekat dengan penderita
seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu
dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan
yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta
adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan
kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit
sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan
penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita
dan masyarakat (Depkes RI, 2005)
b) Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan
primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi
(Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996
didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%,
sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan
perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian
penemuan. ini belum menjadi kebijakan program di
Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan
hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI,
2005).
35
2) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a) Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan
mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita,
mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya
cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi
drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe
Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman
menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
Menurut Ditjen PPM dan PL (2007), tujuan dari
pengobatan penderita penyakit kusta yaitu (Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan, 2007) :
b) Menyembuhkan penderita penyakit kusta dan mencegah
timbulnya cacat.
Penderita kusta tipe PB yang berobat dini dan teratur
akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat, tetapi bagi
penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen
pengobatan hanya dapat mencegah cacat yang lebih lanjut.
Apabila penderita tidak minum obat secara teratur, maka
kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul
gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat
memperburuk keadaan, maka dari itu pengobatan secara dini
dan teratur sangatlah penting.
c) Memutuskan mata rantai penularan dari penderita kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain.
Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk
mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak
jaringan tubuh, dan tanda-tanda penyakit menjadi berkurang
aktif dan akhirnya hilang. Matinya kuman tersebut
36
menjadikan sumber penularan dari penderita teruttama tipe
MB ke orang lain terputus.
Penderita penyakit kusta dapat terus melakukan
aktivitas atau bekerja seperti biasanya selama masa
pengobatan. Pengobatan penyakit kusta di Indonesia
dilakukan dengan pemberian Dapsone sejak tahun 1952
menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, hanya saja
pengobatan mono terapi ini sering menimbulkan masalah
resistensi yang disebabkan karena:
(1) Dosis rendah dengan pengobatan yang tidak teratur dan
terputus akibat reaksi kusta.
(2) Waktu minum obat sangat lama sehingga membosankan,
akibatnya penderita mengkonsumsi obat tidak teratur.
Penggunaan Dapsone atau Diamino Diphenyl
Sulforine (DDS) bukanlah satu-satunya, pengobatan
penderita penyakit kusta dapat menggunakan Lamprene
(B663) juga disebut Clofazimine berwarna coklat berbentuk
kapsul. Sifat dari obat ini bakterostik (menghambat
pertumbuhan dan antireaksi), selain itu ada Rifampicin
berbentuk kapsul yang bersifat bakteriosid atau mematikan
kuman kusta. Prednison, sulfat feros dan vitamin A ditujukan
untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Sapto, 2007)
Klasifikasi pengobatan penderita penyakit kusta
menurut standar WHO dapat dilihat pada Tabel 2.2. sebagai
berikut:
37
Tabel 2.3. Klasifikasi Pengobatan Penderita Penyakit Kusta
Standar WHO
Klasifikasi Dewasa Anak usia 10-14 tahun
Pengobatan
PB
Sebulan sekali, hari pertama
a. 2 kapsul Rifampicin
(2x300mg)
b. 1 tablet DDS (100 mg)
Sebulan sekali, hari pertama
a. 2 kapsul Rifampicin (300 mg +
150 mg)
b. 1 tablet DDS (50 mg)
Setiap hari, hari ke 2-28
1 tablet DDS (100 mg)
Setiap hari, hari ke 2-28
1 tablet DDS (50 mg)
Dosis lengkap:
6 kemasan Blister
Dosis lengkap:
6 kemasan Blister
Untuk penderita umur, 10 tahun dosis
harus disesuaikan dengan berat badan
Pengobatan
MB
Sebulan sekali, hari pertama
a. 2 kapsul Rifampicin
(2x300mg)
b. 3 kapsul Lampren
(3x100 mg)
c. 1 tablet DDS (100 mg)
Sebulan sekali, hari pertama
a. 2 kapsul Rifampicin (300 mg +
150 mg)
b. 3 kapsul Lampren (3x50 mg)
c. 1 tablet DDS (50 mg)
Setiap hari, hari ke 2-28
a. 1 kapsul Lampren (50
mg)
b. 1 tablet DDS (100 mg)
Setiap hari, hari ke 2-28
1 tablet DDS (100 mg)
Setiap 2 hari sekali: hari ke 2-28
1 kapsul Lampren (50 mg)
Dosis lengkap:
12 kemasan Blister
Dosis lengkap:
12 kemasan Blister
Untuk penderita umur, 10 tahun dosis
harus disesuaikan dengan berat badan
Sumber: Ditjen PPM dan PL, 2007
Penderita PB yang telah mendapat pengobatan MDT
6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT (Release
From Treatment), tanpa diharuskan pemeriksaan
laboratorium. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan
MDT 12 dosis dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT,
tanpa diharuskan pemeriksaan laboratorium.
38
3) Pencegahan tertier
a) Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tertier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta
pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes
RI, 2006):
(1) Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini
penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan
penanganan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan
fungsi saraf.
(2) Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri
sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan
atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
b) Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh
fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk
mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial
dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai
dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi
adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan
sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi
sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas
hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi:
(1) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan
untuk mencegah terjadinya kontraktur
(2) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
(3) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi
(4) Terapi okupsi ( kegiatan hidup sehari-hari ) dilakukan bila
gerakan normal terbatas pada tangan
39
(5) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada
penderita cacat
7. Pencegahan Penularan Penyakit Kusta
Menurut Daili (2005), hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk
penyakit kusta. Berdasarkan hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman
kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan
menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Faktor
pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan,
sehingga penularan dapat dicegah. Penyuluhan kesehatan kepada
penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara
teratur merupakan salah satu upaya yang memberikan peranan yang
penting (Daili, 2005).
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu
cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh
manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7
hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut.
Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Dalam hal ini
pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan menghindarkan
terjadinya tempat-tempat yang lembab (Daili, 2005) .
Menurut Daili (2005), ada beberapa obat yang dapat
menyembuhkan penyakit kusta, tetapi kita tidak dapat menyembuhkan
kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat
penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati.
Petugas mempunyai peran yang penting dalam memberikan
penyuluhan penyakit kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan
kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran
bahwa ( Daili, 2005):
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta.
b. Sekurang-kurangnya 80% dari semua orang tidak mungkin terkena
kusta.
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain.
40
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6
bulan secara teratur.
e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar
cacat fisik
G. Kerangka Teori
Skema 2.1. Kerangka Teori
Sumber; Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003)
H. Kerangka Konsep
Variabel independent Variabel dependent
Skema 2.2 kerangka konsep
Persepsi penderita kusta
tentang dukungan keluarga
Keteraturan perawatan dan
pengobatan pada penderita
kusta
Predisposisi
1. Kepercayaan
2. Keyakinan
3. Pengetahuan
4. Sikap
5. Nilai-nilai
6. Tradisi
Enabling
1. Sarana dan Prasarana
2. Fasilitas kesehatan
3. Jarak sarana pelayanan
kesehatan
Reinforcing
1. Dukungan petugas
2. Dukungan keluarga
a. Dukungan emosional
b. Dukungan penghargaan
c. Dukungan instrumental
d. Dukungan informatif
Keteraturan perawatan dan
pengobatan pada penderita kusta
41
I. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan oleh peneliti ada dua kategori, yaitu :
1. Variabel bebas (independent variable)
Variabel bebas atau independen merupakan suatu variabel yang menjadi
sebab perubahan atau timbulnya suatu variabel dependen (terikat) dan
bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2003). Variabel
independen (bebas) dalam penelitian ini adalah persepsi penderita kusta
tentang dukungan keluarga pada penderita kusta.
2. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat atau dependen merupakan variabel yang dapat dipengaruhi
atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung
dari variabel bebas terhadap perubahan (Hidayat, 2003). Variabel terikat
dalam penelitian ini adalah keteraturan perawatan dan pengobatan pada
penderita kusta.
J. Hipotesa
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau
pertanyaan penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu :
1. Ho: Tidak ada hubungan persepsi penderita kusta tentang dukungan
keluarga dengan keteraturan perawatan dan pengobatan pada penderita
kusta di Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes.
2. Ha: Ada hubungan persepsi penderita kusta tentang dukungan keluarga
dengan keteraturan perawatan dan pengobatan pada penderita kusta di
Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes.