BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN - poltekkes-tjk.ac.idrepository.poltekkes-tjk.ac.id › 515 › 8 ›...
Transcript of BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN - poltekkes-tjk.ac.idrepository.poltekkes-tjk.ac.id › 515 › 8 ›...
6
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A Pengertian Risiko
Risiko adalah sesuatu yang berpeluang untuk terjadinya kematian,
kerusakkan, atau sakit yang dihasilkan karena bahaya (Trigunarso, 2018 )
1. Wujud Risiko
Risiko dapat berwujud dalam berbagai bentuk, antara lain :
a) Berupa kerugian atas harta milik/kekayaan atau penghasilan, misalnya
yang diakibatkan oleh kebakaran, pencurian, pengangguran dan
sebagainya.
b) Berupa penderitaan seseorang, misalnya sakit/cacat karena kecelakaan.
c) Berupa tanggungjawab hukum, misalnya risiko dari perbuatan atau
peristiwa yang merugikan orang lain.
d) Berupa kerugian karena perubahan pasar, misalnya karena terjadinya
perubahan harga, perubahan selera konsumen, dan sebagainya.
B. Jenis- Jenis Risiko
Ada beberapa jenis risiko yang dikelompokan menjadi:
1. Risiko berdasarkan sifat meliputi:
a. Risiko spekulatif (Speculative risiko), yaitu risiko yang memang
sengaja diadakan untuk mengharapkan hal-hal yang
menguntungkan.
b. Risiko murni (Pure risk), yaitu risiko yang tidak sengaja, yang jika
terjadi dapat menimbulkan kerugian secara tiba-tiba.
7
2. Risiko berdasarkan dapat tidaknya dialihkan:
a. Risiko yang dapat diahlikan, yaitu risiko yang dapat dipertanggung
jawabkan sebagai objek terkena risiko kepada perusahaan
ansuransi dangan membayar sejumlah premi.
b. Risiko tidak dapat dialihkan, yaitu semua risiko yang termasuk
dalam risiko spekulatif yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
pada perusahaan asuransi
3. Risiko berdasarkan asal timbulnya:
a. Risiko internal, yaitu risiko yang berasal dari dalam perusahaan.
b. Risiko esternal, yaitu risiko yang berasal dari luar perusahaan atau
lingkungan luar perusahaan.
Banyaknya jenis-jenis risiko menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan
atau perorangan, disamping itu pengelompokan risiko menjadi salah satu
unsur penting dalam menganalisis risiko walaupun kebanyakan datangnya
risiko sebagai ketidakpastian terhadap kejadian yang akan datang. Akan tetapi
dangan mengamati jenis-jenis risiko maka akan memperkecil tingkat risiko
yang akan dihadapi.
C. Penyebab Risiko
Risiko adalah suatu peluang yang mungkin terjadi dan berdampak pada
pencapaian sasaran,risiko juga merupakan ketidakpastian atau kemungkinan
terjadinya sesuatu yang jika terjadi akan menimbulkan kerugian. Risiko bisa
terjadi kapan saja, akan tetapi risiko yang timbul dapat dianalisis sehingga
memperkecil potensi risiko yang muncul. Ada dua faktor yangbekerja sama
yang menimbulkan kerugian yaiti bencana (peril) dan bahaya (hazard).
8
Bencana (peril) dapat didefenisikan sebagai penyebab langsung kerugain.
Orang-orang dapat terkena kerugian atau kerusakan kerena berbagai peril atau
bencana. Bencana yang pada umumnya adalah kebakaran, angin
topan,ledakan, tubrukan, penyakit, kecerobohan, ketidakjujuran dan lain-lain.
Sehingga bencana dapat menimpa harta dan penghasilan yang berakibat pada
kerugian.
Bahaya (hazard) dapat didenefisikan sebagai keadaan yang menimbulkan
atau meningkatkan terjadinta chance of loss dari suatu bencana tertentu. Jadi,
hal-hal seperti kecerobohan pemeliharaan rumah tangga yang buruk, jalan
raya yang jelek, mesin yang tidak terpelihara, dan pekerjaan yang berbahaya
adalah hazrad, karena ini adalah keadaan yang meningkatkan chance of loss
(kemungkinan kerugian).
Sebagaimana diatas telah disebutkan bahwa Hazard (bahaya) adalah suatu
keadaan yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya suatu Peril
(bencana). Pengertian tersebut dapat diperluas meliputi sebagai keadaan yang
dapat menimbulkan suatu kerugian. Bahaya dapat diklasifikasikan dalam 4
bentuk yaitu: (Herman Darmawan 2014:22)
1. Physical Hazrad, adalah suatu kondisi yang bersumber pada
karakteristik secara fisik dari suatu objek yang dapat memperbesar
terjadinya suatu kerugian. Misalnya pada musim kemarau yang panjang
hutan-hutan mengalami kekeringan pohon-pohon yang gersang kerena
daun-dau berguguran. Kondisi yang demikian dapat memperbesar
kemungkinan bahaya kebakaran.
9
2. Moral Harzard, adalah suatu kondisi yang bersumber dari orang yang
bersangkutan yang berkaitan dengan sikap mental atau pandangan hidup
serta kebiasaannya yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya
suatu bencana ataupun suatu kerugian. Misalnya seseorang
mempertanggungkan rumahnya terhadap risiko kebakaran, pada suatu hari
rumah yang dipertanggungkan terbakar, sebenarnya kebakaran itu dapat
dicegah seandinya ian berusaha memadamkan sewaktu api itu masih kecil.
Dalam kondisi demikian itu tampak sikap mental dari orang yang
bersangkutan yaitu memperbesar kemungkinana-kemungkinan terjadinya
suatu kerugian.
3. Morale Hazard, adalah bahaya yang ditimbulkan oleh sikap ketidak hati
hatian dan kurangnya perhatian sehingga dapat meningkatkan terjadinya
kerugian. Misalnya seseorang yang memiliki mobil dan ia telah
mengasuransikannya; karena merasa bahwa mobilnya telah diasuransikan
maka sering kali sikapnya kurang hati-hati. Contohnya dalam menyimpan
atau mengendarai mobil dibandingkan apabila mobil tersebut tidak
diasuransikan. Sikap yang demikian itu akan memperbesar kemungkinan
terjadinya suatu peril atau kerugian. Bedanya bahaya moral dan morale
adalah: bahaya moral timbul apabila si tertanggung menciptakan kerugian
untuk mendapatkan keuntungan berdasarkan polis asuransi, sedangkan
bahaya morale timbul karena si tertanggung tidak melindungi hartanya
atau ia menjadi lalai karena merasa hartanya diasuransikan.
10
4. Legal Hazard , yaitu berdasarkan peraturan-peraturan ataupun
perundang-undangan yang bertujuan melindungi masyarakat justru
diabaikan atau pun kurang diperhatikan sehingga dapat memperbesar
terjadinya suatu peril . Misalnya adanya keharusan asuransi kecelakaan
kerja untuk para karyawan perusahaan yang relatif besar karena sudah
memenuhi hal tersebut maka kewajiban-kewajiban hukum lainnya seperti
keselamatan kerja, jam kerja berkelanjutan sering diabaikan. Kondisi
semacam ini akan dapat memperbesar kemungkinan terjadinya suatu peril
ataupun kerugian.
D. Sumber Risiko
Menentukan sumber risiko merupakan hal penting karena mempengaruhi
cara penenganannya. Sumber risiko dapat diklasifikasikan menjadi
berikut:
1. Risiko Sosial. Sumber utama risiko ini adalah masyarakat, artinya
tindakan orang-orang menciptakan kejadian yang menyebabkan
penyimpangan yang merugikan dari harapan kita. Contohnya shoplifting
(pencurian), vandalism (perusakan), arson (membakar rumah sendiri untuk
mengagih asuransi), riot (huru-hara), dan peperangan.
2. Risiko Fisik. Sebagian besar risiko fisik berasal dari fenomena alam,
sedangkan lainnya disebabkan oleh kesalahan manusia. Contohnya
kebakaran (dapat disebabkan oleh alam, seperti petir, atau oleh penyebab
fisik, seperti kabel yang cacat, atau keteledoran manusia), cuaca (banjir,
kekeringan, badai salju), petir (menyebabkan kebakaran yang selanjutnya
11
merusak harta, membunuh atau mencederai orang), tanah longsor (gempa
bumi).
3. Risiko Ekonomi. Risiko yang dihadapi perusahaan banyak bersifat
ekonomi. Contohnya inflasi (selama periode inflasi daya beli ruang
merosot), fluktuasi lokal, ketidakstabilan perusahaan, dan sebagainya.
E. Analisis Risiko
Analisis risiko adalah upaya untuk memahami risiko lebih dalam. Hasil
risiko ini akan menjadi masukan bagi evaluasi risiko dan untuk proses
pengambilan keputusan mengenai perlakuan terhadap risiko tersebut.
Termasuk dalam pengertian ini adalah cara dan strategi yang tepat dalam
memperlakukan risiko tersebut. Analisis risiko meliputi kegiatan-kegiatan
yang menganalisis sumber risiko dan pemicu terjadinya risiko, dampak
positif dan negatifnya, serta kemungkinan terjadinya. Organisasi harus
mengidentifikasikan baik faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan
terjadinya risiko dan dampaknya. Risiko dianalisis dengan menentukan
dampak kemungkianan terjadinya, serta atribut lain risiko. suatu kejadian
dapat mempunyai dampak yang beragam dan dapat mempengaruhi
berbagai macam saran organisasi. Pengendalian risik yang ada harus
diperiksa efektifitasnya serta herus dimasukkan dalam pertimbangan
analisis risiko. Cara menyatakan besaran dampak dan besaran
kemungkinan terjadinya risiko serta cara penghubung untuk menentukan
kegawatan risiko akan bervariasi sesuai dengan jenis risiko. Ini semua
harus disesuaikan dengan
12
informasi yang tersedia dan bagaimana hasil asesmen ini akan digunakan.
Semua proses ini harus sesuai dan konsisten dengan kriteria risiko yang
telah ditetapkan sebelumnya. Perlu juga memperhatikan ketergantungan
berbagai macam risiko dengan sumber risikonya. Dalam menentukan
tingkat kepercayaan dan sensitivitas risiko, proses analisis risiko harus
mempertimbangkan kondisi awal dan asumsi yang digunakan. Hal ini
harus dikomunikasikan secara jelas kepada para pengambil keputusan dan
para pemangku kepentingan yang terkait. Faktor-faktor seperti perbedaan
pendapat para ahli atau keterbatasan model yang digunakan, harus
dinyatakan secara jelas dan bila perlu digaris bawahi. Analisis risiko dapat
dilaksanakan dengan tingkat kerincian yang bervariasi, tergantung dari
jenis risiko, sasaran analisis risiko informasi, data, dan sumber daya yang
tersedia. Analisis dapat dilakukan secara kuantitatif, semi kuantitatif,
kualitatif, atau kombinasi dari cara ini tergantung kondisi yang ada. Dalam
praktik biasanya dilakukan analisis kualitatif terlebih dahulu untuk
mendapatkan indikasi umum tingkat kegawatan risiko dan mengetahui
peta risiko serta risiko-risiko yang gawat. Setelah itu sesuai dengan
keperluan, harus dilaksanakan langkah berikut dengan melakukan analisis
yang lebih spesifik dan secara kuantitatif. Besaran dampak risiko dapat
ditentukan dengan membuat model akibat dari suatu peristiwa atau
kumpulan peristiwa atau dengan menggunakan ekstrapolasi dari hasil
suatu kajian atau data yang tersedia. Dampak risiko dapat dinyatakan
dalam besaran yang terukur ataupun tidak terukur ( intangible) . Dalam
hal-hal tertentu dampak risiko dapat juga dinyatakan dalam beberapa
13
macam ukuran atau sebutan untuk dapat lebih menggambarkan akibat
risiko tersebut sesuai dengan waktu dan tempat peristiwa, misalnya
gabungan dampak finansial, kecelakaan fisik rusaknya reputasi dan
sebagainya.
Tujuan dari analisis risiko adalah melakukan analisis dampak
kemungkinan semua risiko yang dapat menghambat tercapainya sasaran
organisasi, juga semua peluang yang mungkin dihadapi organisasi.
Kondisi ini tercapai apabila beberapa hal berikut dapat dipenuhi
(Leo J.Susilo & Victor Riwu Kaho, 2014:136):
1. Proses analisis risiko dilaksanakan secara komprehensif dan mencakup
semua risiko serta peluang yang ditemui dalam proses identifikasi riiko
sebelumnya dan telah masuk ke dalam daftar risiko;
2. Semua yang terkait dengan risiko tersebut (para pemangku risiko) telah
terlibat dalam proses analisis berdasarkan informasi, data, serta
pengetahuan yang mereka miliki dengan baik;
3. Proses analisis ini didampingi atau ditunjang dengan pengetahuan
mengenai menajemen risiko yang memadai;
4. Waktu yang dialokasikan untuk proses ini cukup memadai;
5. Ukuran kemungkinan dan dampak yang digunakan harus konsisten dan
sesuai dengan organisasi tersebut.
14
F. Evaluasi Risiko
Tujuan dari evaluasi risiko dalah membantu proses pengambilan
keputusan berdasarkan hasil analisis risiko. Proses evaluasi risiko akan
menentukan risiko-risiko mana yang memerlukan perlakuan dan
bagaimana prioritas implementasi perlakuan risiko-risiko tersebut.
Keluaran dari proses evaluasi risiko ini akan menjadi masukan untuk
diolah lebih lanjut pada tahap berikutnya. Analisis risiko merupakan
proses mengevaluasi tingkat kegawatan masing-masing risiko
menggunakan kriteria yang telah ditentukan pada saat menentukan
konteks. Bila tingkat kegawatan risiko tidak masuk dalam kriteria yang
ditetapkan maka perlakukan terhadap risiko tersebut tidak perlu
dipertimbangkan lagi. Dalam mengambil keputusan terhadap perlakuan
atas risiko, organisasi perlu juga memperhatikan konteks yang lebih luas,
yaitu kemampuan memikul risiko pihak lain yang terlibat. Keputusan
harus diambil dalam konteks hukum, peraturan perundangan, serta
ketentuan lain yang terkait. Dalam kondisi tertentu. Proses analisis risiko
dapat menuju ke arah keperluan analisis yang lebih dalam. Analisis risiko
juga dapat juga menghasilkan keputusan, hanya tetapi mempertahankan
pengendalian risio yang sudah ada, atau hanya memperkuat pengendalian
itu. Proses pengambilan keputusan melalui analisis risiko ini sangat
dipengaruhi oleh „selera risiko‟, sikap terhadap risiko atau budaya risiko,
dan kriteria risiko yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil analisis risiko
menjadi masukan untuk dievaluasi lebih lanjut menjadi urutan prioritas
15
perlakuan risiko, sekaligus menyaring risiko-risiko tertentu untuk tidak
ditindaklanjuti atau diperlakukan khusus.
G. Limbah Medis Padat
1. Definisi limbah medis padat
Limbah rumah sakit adalah Semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Apabila dibanding dengan kegiatan
instansi lain, maka dapat dikatakan jenis limbah rumah sakit dapat dikategorikan
kompleks. Secara umum limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar,
yaitu limbah klinis dan non klinis baik padat maupun cair. (Asmadi, 2013).
Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang
berbentuk padat akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat
dan non medis. Limbah non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari
kegiatan di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman
yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada teknologi, penyimpanannya pada
tempat sampah berplastik hitam. Limbah medis padat adalah limbah padat yang
terdiri dari limbah infeksius dan limbah patologi penyimpanannya pada tempat
sampah berplastik kuning, limbah farmasi (obat kadaluarsa) penyimpanannya
pada tempat sampah berplastik coklat, limbah sitotoksis adalah limbah berasal
dari sisa obat pelayanan kemoterapi penyimpanannya pada tempat sampah
berplastik ungu, limbah medis padat tajam seperti pecahan gelas, jarum suntik,
pipet dan alat medis lainnya penyimpanannya pada safety box/container. Limbah
radioaktif adalah limbah berasal dari penggunaan medis ataupun riset di
laboratorium yang berkaitan dengan zat-zat radioaktif penyimpanannya pada
tempat sampah berplastik merah. (KepMenKes,2004)
16
H. Jenis-Jenis Limbah Medis Padat
Menurut WHO (2005) dalam Asmadi (2013) klasifikasi limbah berbahaya
yang berasal dari layanan kesehatan meliputi, antara lain:
1. Limbah Infeksius
Limbah infeksius adalah limbah yang diduga mengandung bahan patogen
(bakteri, virus, parasit atau jamur) dalam konsentrasi atau jumlah yang
cukup untuk menyebabkan penyakit pada penjamu yang rentan. Kultur dan
persediaan agens infeksius, limbah dari otopsi, bangkai hewan dan limbah
lain yang terkontaminasi, terinfeksi atau terkena agens semacam itu
disebut limbah yang sangat infeksius. Dalam kategori ini antara lain
tercakup:
a. Kultur dan stok agen infeksius dari aktivitas di laboratorium.
b. Limbah buangan hasil operasi dan otopsi pasien yang menderita
penyakit menular (misalnya: jaringan dan materi atau peralatan yang
terkena darah atau cairan tubuh yang lain).
c. Limbah pasien yang menderita penyakit menular dari bangsal isolasi
(misalnya: ekskreta, pembalut luka bedah atau luka yang terinfeksi,
pakaian yang terkena darah pasien, atau cairan tubuh yang lain).
d. Limbah yang sudah tersentuh pasien yang menjalani hemodialisis
(misalnya: peralatan dialisis seperti selang dan filter, handuk, baju RS,
apron, sarung tangan sekali pakai dan baju laboratorium).
e. Hewan yang terinfeksi dari laboratorium.
f. Instrumen atau materi lain orang atau hewan sakit.
17
2. Limbah Patologis
Limbah patologis terdiri dari jaringan, organ, bagian tubuh, janin manusia
dan bangkai hewan, darah dan cairan tubuh (limbah anatomis) atau
subkategori dari limbah infeksius.
3. Limbah Benda Tajam
Benda tajam merupakan kategori yang dapat menyebabkan luka (baik iris
maupun luka tusuk), antara lain jarum, jarum suntik, scalpel dan jenis
belati, pisau, peralatan infuse, gergaji, pecahan kaca dan paku. Baik
terkontaminasi maupun tidak, benda semacam itu biasanya dipandang
sebagai limbah layanan kesehatan yang sangat berbahaya.
4. Limbah Farmasi
Limbah farmasi mencakup produk farmasi, obat-obatan, vaksin dan serum
yang sudah kadaluwarsa, tidak digunakan, tumpah, dan terkontaminasi
yang tidak diperlukan lagi dan harus dibuang dengan tepat. Kategori ini
juga mencakup barang yang akan dibuang setelah digunakan untuk
menangani produk farmasi, misalnya botol atau kotak yang berisi residu,
sarung tangan, masker, selang penghubung dan ampul obat.
5. Limbah yang Mengandung Logam Berat
Limbah yang mengandung logam berat dalam konsentrasi tinggi termasuk
dalam subkategori limbah kimia berbahaya dan biasanya sangat toksik.
Contohnya adalah limbah merkuri yang berasal dari bocoran peralatan
kedokteran yang rusak (misalnya, termometer dan alat pengukur tekanan
darah). Dengan demikian, tetesan merkuri yang tertumpah itu sedapatnya
ditutup. Residu yang berasal dari ruang pemeriksaan gigi kemungkinan
18
juga mengandung merkuri dalam kadar yang tinggi. Limbah kadmium
kebanyakan berasal dari baterai bekas, panel kayu tertentu yang
mengandung timbal masih digunakan dalam pembatasan radiasi sinar X
dan dibagian diasnogtik. Serta sejumlah obat-obatan yang mengandung
logam berat arsen, tetapi dikategorikan sebagai limbah farmasi.
6. Limbah Kemasan Bertekanan
Berbagai jenis gas digunakan dalam kegiatan di instalasi kesehatan dan
kerap dikemas dalam tabung., cartridge, dan kaleng aerosol. Banyak
diantaranya begitu kosong dan tidak terpakai lagi dapat dipergunakan
kembali tetapi ada beberapa jenis yang harus dibuang, misalnya kaleng
aerosol. Baik gas mulia maupun yang berpotensi membahayakan,
penggunaan gas di dalam kontainer bertekanan harus dilakukan dengan
sangat hati-hati karena kontainer dapat meledak jika terbakar atau tanpa
sengaja bocor.
7. Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif mencakup benda padat, cair dan gas yang
terkontaminasi radionuklida. Limbah ini terbentuk akibat pelaksanaan
prosedur seperti analisis in-vitro pada jaringan dan cairan tubuh,
pencitraan organ dan lokalisasi tumor secara in-vivo, dan berbagai jenis
metode investigasi dan terapi lainnya. Radionuklida yang digunakan di
dalam layanan kesehatan biasanya berada didalam sumber yang tidak
tersegel (terbuka) atau sumber yang tersegel (tertutup rapat). Sumber yang
tidak tertutup biasanya berupa cairan siap pakai dan tidak ditutup lagi
selama penggunaannya, sumber yang tertutup misalnya zat radioaktif yang
19
terkandung dalam bagian perlengkapan atau peralatan atau terbungkus
dalam kemasan antipecah atau kedap air seperti seeds dan jarum.
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah, Limbah
inilah yang disebut sebagai limbah medis. Terdapat berbagai macam limbah
medis yang berbahaya bagi kesehatan manusia bila tidak diolah dengan benar.
Limbah medis kebanyakan sudah terkontaminasi oleh bakteri, virus, racun dan
bahan radioaktif yang berbahaya bagi manusia dan makhluk lain disekitar
lingkungannya. Dampak negatif limbah medis jika tidak dikelola dengan baik
akan menimbulkan patogen yang dapat berakibat buruk terhadap manusia dan
lingkungannya.
Pengelolaan limbah medis merupakan bagian dari kegiatan penyehatan
lingkungan dirumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit dan
upaya penanggulangan penyebaran penyakit. Pengelolaan limbah medis pun tidak
dilakukan sembarangan. Tiap jenis limbah medis memiliki cara penanganannya
sendiri-sendiri. Apabila tidak dilakukan dengan prosedur yang sesuai maka
akibatnya akan bisa lebih parah.
I. Pengelolaan Limbah Medis Padat
Menurut Permenkes 1204 tahun 2004 persyaratan limbah medis padat
antara lain:
1. Minimasi limbah
a. Setiap rumah sakit harus melakukan reduksi limbah dimulai dari
sumber.
20
b. Setiap rumah sakit harus mengelola dan mengawasi penggunaan
bahan kimia yang berbahaya dan beracun.
c. Setiap rumah sakit harus melakukan pengelolaan stok bahan kimia
dan farmasi.
d. Setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan limbah medis
mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan harus
melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang.
2. Pemilahan, Pewadahan, Pemanfaatan kembali dan Daur Ulang
a. Pemilahan limbah harus dilakukan mulai dari sumber yang
menghasilkan limbah.
b. Limbah yang akan dimanfaatkan kembali harus dipisahkan dari
limbah yang tidak dimanfaatkan kembali.
c. Limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam satu wadah tanpa
memperhatikan terkontaminasi atau tidaknya. Wadah tersebut harus
anti bocor, anti tusuk dan tidak mudah untuk dibuka sehingga orang
yang tidak berkepentingan tidak dapat membukanya.
d. Jarum dan syringes harus dipisahkan sehingga tidak dapat digunakan
kembali.
e. Limbah medis padat yang akan dimanfaatkan kembali harus melalui
proses sterilisasi, untuk menguji efektifitas sterilisasi panas harus
dilakukan tes Bacillus Stearothermophilus dan untuk sterilisasi kimia
harus dilakukan tes Bacillus subtilis.
f. Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk dimanfaatkan
kembali. Apabila rumah sakit tidak mempunyai jarum yang sekali
21
pakai (disposable), limbah jarum hipodermik dapat dimanfaatkan
kembali setelah melalui proses salah satu metode sterilisasi.
Tabel 2.1 Metode Strerilisasi
g. Pewadahan limbah medis padat harus memenuhi persyaratan dengan
penggunaan wadah dan label.
Tabel 2.2
Jenis Pewadahan
h. Daur ulang tidak bisa dilakukan oleh rumah sakit kecuali untuk
pemulihan perak yang dehasilkan dari proses film sinar X.
i. Limbah sitotoksis di kumpulkan dalam wadah yang kuat, anti bocor,
dan diberi label bertuliskan “Limbah Sitotoksis”
3. Pengumpulan, Pengangkutan, dan Penyimpanan limbah medis padat di
lingkungan rumah sakit
a. Pengumpulan limbah medis padat dari setiap ruangan penghasil
limbah menggunakan troli khusus yang tertutup.
22
b. Penyimpanan limbah medis padat harus sesuai iklim tropis yaitu pada
musim hujan paling lama 48 jam dan musim kemarau paling lama 24
jam.
4. Pengumpulan, Pengemasan, dan Pengangkutan ke Luar Rumah Sakit
a. Pengelola harus mengumpulkan dan mengemas pada tempat yang
kuat.
b. Pengangkutan limbah ke luar rumah sakit menggunakan kendaraan
khusus.
Sedangkan menurut peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
RI No. 56 Tahun 2015 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan :
1. Pengurangan dan Pemilahan Bahan Berbahaya dan Beracun
a) Pengurangan dan pemilahan Limbah B3 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a wajib dilakukan oleh Penghasil Limbah B3.
b) Pengurangan Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara antara lain:
1) Menghindari penggunaan material yang mengandung
Bahan Berbahaya dan Beracun jika terdapat pilihan yang
lain;
2) Melakukan tata kelola yang baik terhadap setiap bahan atau
material yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan
dan/atau pencemaran terhadap lingkungan;
23
3) Melakukan tata kelola yang baik dalam pengadaan bahan
kimia dan bahan farmasi untuk menghindari terjadinya
penumpukan dan kedaluwarsa; dan
4) Melakukan pencegahan dan perawatan berkala terhadap
peralatan sesuai jadwal.
c) Pemilahan Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara antara lain:
1) Memisahkan Limbah B3 berdasarkan jenis, kelompok,
dan/atau karakteristik Limbah B3; dan
2) Mewadahi Limbah B3 sesuai kelompok Limbah B3.
d) Tata cara pengurangan dan pemilahan Limbah B3 sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
2. Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 7
a) Penyimpanan Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b wajib dilakukan oleh Penghasil Limbah B3.
b) Penyimpanan Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara antara lain:
1) Menyimpan Limbah B3 di fasilitas Penyimpanan Limbah
B3;
2) Menyimpan Limbah B3 menggunakan wadah Limbah B3
sesuai kelompok Limbah B3;
24
3) Penggunaan warna pada setiap kemasan dan/atau wadah
Limbah sesuai karakteristik Limbah B3; dan
4) Pemberian simbol dan label Limbah B3 pada setiap
kemasan dan/atau wadah Limbah B3 sesuai karakteristik
Limbah B3.
c) Warna kemasan dan/atau wadah Limbah B3 sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa warna:
1) Merah, untuk Limbah radioaktif;
2) Kuning, untuk Limbah infeksius dan Limbah patologis;
3) Ungu, untuk Limbah sitotoksik; dan
4) Cokelat, untuk Limbah bahan kimia kedaluwarsa,
tumpahan, atau sisa kemasan, dan Limbah farmasi.
d) Simbol pada kemasan dan/atau wadah Limbah B3 sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d berupa simbol:
1) Radioaktif, untuk Limbah radioaktif;
2) Infeksius, untuk Limbah infeksius; dan
3) Sitotoksik, untuk Limbah sitotoksik.
e) Penggunaan label sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
sesuai dengan peraturan perundang-undangan Mengenai simbol
dan label Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
f) Penggunaan simbol sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan di dalam wilayah kerja kegiatan fasilitas pelayanan
kesehatan.
25
g) Ketentuan mengenai simbol sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
a) Terhadap Limbah B3 yang telah dilakukan Pengurangan dan
Pemilahan Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
wajib dilakukan Penyimpanan Limbah B3.
b) Penyimpanan Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan:
1) Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a,
huruf b, dan/atau huruf c, disimpan di tempat Penyimpanan
Limbah B3 sebelum dilakukan Pengangkutan Limbah B3,
Pengolahan Limbah B3, dan/atau Penimbunan Limbah B3
paling lama:
I. 2 (dua) hari, pada temperatur lebih besar dari 0C
(nol derajat celsius); atau
II. 90 (sembilan puluh) hari, pada temperatur sama
dengan atau lebih kecil dari 0C (nol derajat celsius),
sejak Limbah B3 dihasilkan.
2) Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d
sampai dengan huruf i, disimpan di tempat penyimpanan
Limbah B3 paling lama:
I. 90 (sembilan puluh) hari, untuk Limbah B3 yang
dihasilkan sebesar 50 kg (lima puluh kilogram) per
hari atau lebih; atau
26
II. 180 (seratus delapan puluh) hari, untuk Limbah B3
yang dihasilkan kurang dari 50 kg (lima puluh
kilogram) per hari untuk Limbah B3 kategori 1,
sejak Limbah B3 dihasilkan (3) Ketentuan
mengenai Penyimpanan Limbah B3 sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai
Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Penyimpanan Limbah B3.
Pasal 9
Dalam hal Penghasil Limbah B3 tidak melakukan Penyimpanan Limbah
B3, Limbah B3 yang dihasilkan wajib diserahkan paling lama 2 (dua) hari sejak
Limbah B3 dihasilkan kepada pemegang Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk
kegiatan Penyimpanan Limbah B3 yang tempat penyimpanan Limbah B3nya
digunakan sebagai depo pemindahan.
Pasal 10
a) Pemegang izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Penyimpanan Limbah B3 yang tempat penyimpanan Limbah B3
nya digunakan sebagai depo pemindahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, wajib memiliki:
1) Fasilitas pendingin yang memiliki temperatur sama dengan
atau lebih kecil dari 0C (nol derajat celsius), apabila Limbah
B3 disimpan lebih dari 2 (dua) hari sejak Limbah B3
dihasilkan;
27
2) Pengolahan Limbah B3 yang memiliki Izin Pengelolaan
Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah B3; dan/atau
3) Kerjasama dengan Pengolah Limbah B3 yang memiliki Izin
Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah
B3, untuk Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, huruf b, dan/atau huruf c.
b) Ketentuan mengenai penggunaan tempat Penyimpanan Limbah B3
sebagai depo pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dicantumkan dalam Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk
kegiatan Penyimpanan Limbah B3.
Pasal 11
Tata cara Penyimpanan Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Pasal 8, dan Pasal 9 tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini.
3. Pengangkutan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 12
a) Pengangkutan Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c dilakukan oleh:
1) Penghasil Limbah B3 terhadap Limbah B3 yang
dihasilkannya dari lokasi Penghasil Limbah B3 ke:
I. Tempat Penyimpanan Limbah B3 yang digunakan
sebagai depo pemindahan; atau
28
II. Pengolah Limbah B3 yang memiliki izin
Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan
Limbah B3; atau
2) Pengangkut Limbah B3 yang memiliki Izin Pengelolaan
Limbah B3 untuk Kegiatan Pengangkutan Limbah B3, jika
Pengangkutan Limbah B3 dilakukan di luar wilayah kerja
fasilitas pelayanan kesehatan.
b) Pengangkutan Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menggunakan kendaraan bermotor:
1) Roda 4 (empat) atau lebih; dan/atau
2) Roda 3 (tiga).
c) Ketentuan mengenai kendaraan bermotor roda 4 (empat) atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai Angkutan Jalan.
Pasal 13
a) Pengangkutan Limbah B3 menggunakan kendaraan bermotor roda
3 (tiga) hanya dapat dilakukan oleh Penghasil Limbah B3 terhadap
Limbah B3 yang dihasilkannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf a.
b) Pengangkutan Limbah B3 menggunakan kendaraan bermotor roda
3 (tiga) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan meliputi:
1) Kendaraan bermotor milik sendiri atau barang milik
negara;
29
2) Limbah B3 wajib ditempatkan dalam bak permanen dan
tertutup di belakang pengendara dengan ukuran:
I. Lebar lebih kecil dari 120 (seratus dua puluh)
sentimeter; dan
II. Tinggi lebih kecil dari atau sama dengan 90
(sembilan puluh) sentimeter terukur dari tempat
duduk atau sadel pengemudi;
III. Wadah permanen Limbah B3 sebagaimana
dimaksud pada huruf b dilekati simbol sesuai
karakteristik Limbah B3;
IV. Limbah B3 wajib diberi kemasan sesuai
persyaratan kemasan Limbah B3; dan
V. Ketentuan mengenai kapasitas daya angkut Limbah
B3 dan spesifikasi alat angkut Limbah B3
mengikuti peraturan perundang-undangan
mengenai angkutan jalan.
Pasal 14
a) Pengangkutan Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2) harus mendapatkan persetujuan Pengangkutan Limbah B3
yang diterbitkan oleh Kepala Instansi Lingkungan Hidup:
1) Provinsi, jika Pengangkutan Limbah B3 dilakukan lintas
kabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau
2) Kabupaten/kota, jika Pengangkutan Limbah B3 dilakukan
dalam wilayah kabupaten/kota.
30
b) Untuk mendapatkan persetujuan Pengangkutan Limbah B3,
Penghasil Limbah B3 menyampaikan permohonan secara tertulis
kepada Kepala Instansi Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a atau huruf b dengan melampirkan:
1) Identitas pemohon;
2) Nama, sumber, karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang
akan diangkut;
3) Nama personel yang:
I. Pernah mengikuti pelatihan Pengelolaan Limbah B3;
atau
II. Memiliki pengalaman dalam Pengelolaan Limbah B3.
III. Dokumen yang menjelaskan tentang alat angkut
Limbah B3; dan
IV. Tujuan pengangkutan Limbah B3 berupa dokumen
kerjasama antara Penghasil Limbah B3 dengan
pemegang Izin Penyimpanan Limbah B3 yang
digunakan sebagai depo pemindahan; dan/atau
pengolah Limbah B3 yang memiliki Izin Pengelolaan
Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah B3.
c) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
1) Disetujui, Kepala Instansi Lingkungan Hidup menerbitkan
surat persetujuan Pengangkutan Limbah B3 yang paling
sedikit memuat:
31
I. Identitas Penghasil Limbah B3 yang melakukan
Pengangkutan Limbah B3;
II. Nomor registrasi, nomor rangka, dan nomor mesin
alat angkut Limbah B3;
III. Nama, sumber, karakteristik, dan jumlah Limbah B3
yang akan diangkut;
IV. Tujuan pengangkutan Limbah B3;
V. Kode manifes Limbah B3; dan
VI. Masa berlaku persetujuan Pengangkutan Limbah B3.
2) Ditolak, Kepala Instansi Lingkungan Hidup menerbitkan
surat penolakan disertai dengan alasan penolakan.
d) Masa berlaku persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a angka 6 berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang.
Pasal 15
a) Pengangkutan Limbah B3 wajib:
1) Menggunakan alat angkut Limbah B3 yang telah
mendapatkan Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Pengangkutan Limbah B3 dan/atau persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
2) Menggunakan simbol Limbah B3; dan
3) Dilengkapi manifes Limbah B3.
32
b) Simbol Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai simbol
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
c) Manifes Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat informasi mengenai:
1) Kode manifes Limbah B3;
2) Nama, sumber, karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang
akan diangkut;
3) Identitas Pengirim Limbah B3, Pengangkut Limbah B3,
dan Penerima Limbah B3; dan
4) Alat angkut Limbah B3.
Pasal 16
Ketentuan mengenai kode manifes Limbah B3, format manifes Limbah
B3, dan tata cara pengisian manifes Limbah B3 dan tata cara pelekatan simbol
Limbah B3 pada alat angkut Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dan Pasal 15 tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
4. Pengolahan Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 17
a) Pengolahan Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf d dilakukan secara termal oleh:
1) Penghasil Limbah B3 yang memiliki Izin Pengelolaan
Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah B3; atau
2) Pengolah Limbah B3 yang memiliki Izin Pengelolaan
Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah B3.
33
b) Pengolahan Limbah B3 secara termal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan menggunakan peralatan:
1) Autoklaf tipe alir gravitasi dan/atau tipe vakum;
2) Gelombang mikro;
3) Iradiasi frekwensi radio; dan/atau
4) Insinerator.
c) Pengolahan Limbah B3 secara termal oleh Pengolah Limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
dilakukan menggunakan peralatan insinerator.
d) Pengolah Limbah B3 yang melakukan Pengolahan Limbah B3
secara termal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
memiliki kerjasama dengan Penghasil Limbah B3.
Pasal 18
Pengolahan Limbah B3 secara termal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan:
a) Lokasi; dan
b) Peralatan dan teknis pengoperasian peralatan Pengolahan Limbah
B3 secara termal.
Pasal 19
a) Persyaratan lokasi Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Pengolahan Limbah B3 oleh Penghasil Limbah B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi:
34
1) Merupakan daerah bebas banjir dan tidak rawan bencana
alam, atau dapat direkayasa dengan teknologi untuk
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
2) Jarak antara lokasi Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Pengolahan Limbah B3 dengan lokasi fasilitas umum diatur
dalam Izin Lingkungan.
b) Persyaratan lokasi Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Pengolahan Limbah B3 oleh Pengolah Limbah B3 yang memiliki
Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah
B3 dan memiliki kerjasama dengan Penghasil Limbah B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b meliputi:
1) Merupakan daerah bebas banjir dan tidak rawan bencana
alam, atau dapat direkayasa dengan teknologi untuk
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
2) Berada pada jarak paling dekat 30 (tiga puluh) meter dari:
I. Jalan umum dan/atau jalan tol;
II. Daerah pemukiman, perdagangan, hotel, restoran,
fasilitas keagamaan dan pendidikan;
III. Garis pasang naik laut, sungai, daerah pasang surut,
kolam, danau, rawa, mata air dan sumur penduduk;
dan
IV. Daerah cagar alam, hutan lindung, dan/atau daerah
lainnya yang dilindungi.
35
c) Persyaratan jarak lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan bagi Pengolah Limbah B3 yang berada di dalam
kawasan industri.
Pasal 20
a) Persyaratan peralatan Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Pengolahan Limbah B3 menggunakan peralatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c
meliputi:
1) Pengoperasian peralatan; dan
2) Uji validasi.
b) Pengoperasian peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk autoklaf tipe alir gravitasi dilakukan dengan
temperatur lebih besar dari atau sama dengan:
1) 121 C (seratus dua puluh satu derajat celsius) dan tekanan
15 psi (lima belas pounds per square inch) atau 1,02 atm
(satu koma nol dua atmosfer) dengan waktu tinggal di
dalam autoklaf sekurangkurangnya 60 (enam puluh) menit;
2) 135 C (seratus tiga puluh lima derajat celsius) dan tekanan
31 psi (tiga puluh satu pounds per square inch) atau 2,11
atm (dua koma sebelas atmosfer) dengan waktu tinggal di
dalam autoklaf sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima)
menit; atau
3) 149 C (seratus empat puluh sembilan derajat celsius) dan
tekanan 52 psi (lima puluh dua pounds per square inch)
36
atau 3,54 atm (tiga koma lima puluh empat atmosfer)
dengan waktu tinggal di dalam autoklaf sekurangkurangnya
30 (tiga puluh) menit.
c) Pengoperasian peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk autoklaf tipe vakum dilakukan dengan temperatur
lebih besar dari atau sama dengan:
1) 121 C (seratus dua puluh satu derajat celsius) dan tekanan
15 psi (lima belas pounds per square inch) atau 1,02 atm
(satu koma nol dua atmosfer) dengan waktu tinggal di
dalam autoklaf sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima)
menit; atau
2) 135 C (seratus tiga puluh lima derajat celsius) dan tekanan
31 psi (tiga puluh satu pounds per square inch) atau 2,11
atm (dua koma sebelas atmosfer) dengan waktu tinggal di
dalam autoklaf sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) menit.
d) Pengoperasian peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk gelombang mikro dilakukan pada temperatur 100 C
(seratus derajat celsius) dengan waktu tinggal paling singkat 30
(tiga puluh) menit.
e) Pengoperasian peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk iradiasi frekwensi radio dilakukan pada temperatur
lebih besar dari 90 C (sembilan puluh derajat celsius).
f) Uji validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
mampu membunuh spora menggunakan peralatan:
37
1) Autoklaf tipe alir gravitasi dan/atau tipe vakum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a
dilakukan terhadap spora Bacillus stearothermophilus pada
konsentrasi 1 x (satu kali sepuluh pangkat empat) spora
per mililiter yang ditempatkan dalam vial atau lembaran
spora;
2) Gelombang mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf b dilakukan terhadap spora Bacillus
stearothermophilus pada konsentrasi 1 x (satu kali
sepuluh pangkat satu) spora per mililiter yang ditempatkan
dalam vial atau lembaran spora; dan
3) Iradiasi frekwensi radio sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf c dilakukan terhadap spora Bacillus
stearothermophilus pada konsentrasi 1 x (satu kali
sepuluh pangkat empat) spora per mililiter yang
ditempatkan dalam vial atau lembaran spora.
g) Hasil Pengolahan Limbah B3 menggunakan peralatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa Limbah nonB3.
h) Terhadap Limbah non B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
pengelolaannya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan
mengenai Pengelolaan Limbah nonB3.
38
Pasal 21
a) Pengoperasian peralatan autoklaf tipe alir gravitasi dan/atau tipe
vakum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3)
dilarang digunakan untuk Limbah:
1) Patologis;
2) Bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan, atau sisa kemasan;
3) Radioaktif;
4) Farmasi; dan
5) Sitotoksik.
b) Pengoperasian peralatan gelombang mikro sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (4) dilarang digunakan untuk Limbah:
1) Patologis;
2) Bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan, atau sisa kemasan;
3) Radioaktif;
4) Farmasi;
5) Sitotoksik; dan
6) Peralatan medis yang memiliki kandungan logam berat
tinggi.
c) Pengoperasian peralatan iradiasi frekwensi radio sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) dilarang digunakan untuk
Limbah:
1) Patologis;
2) Bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan, atau sisa kemasan;
3) Radioaktif;
39
4) Farmasi; dan
5) Sitotoksik.
Pasal 22
a) Persyaratan peralatan Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Pengolahan Limbah B3 menggunakan insinerator sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d oleh Penghasil Limbah
B3 harus memenuhi ketentuan:
1) Efisiensi pembakaran sekurang-kurangnya 99,95%
(sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh lima per
seratus);
2) Temperatur pada ruang bakar utama sekurang-kurangnya
800C (delapan ratus derajat celsius);
3) Temperatur pada ruang bakar kedua paling rendah 1.000C
(seribu derajat celsius) dengan waktu tinggal paling singkat
2 (dua) detik;
4) Memiliki alat pengendalian pencemaran udara berupa wet
scrubber atau sejenis;
5) Ketinggian cerobong paling rendah 14 m (empat belas
meter) terhitung dari permukaan tanah atau 1,5 (satu koma
lima) kali bangunan tertinggi, jika terdapat bangunan yang
memiliki ketinggian lebih dari 14 m (empat belas meter)
dalam radius 50 m (lima puluh meter) dari insinerator; dan
6) Memiliki cerobong yang dilengkapi dengan:
40
I. Lubang pengambilan contoh uji emisi yang
memenuhi kaidah 8De/2De; dan
II. Fasilitas pendukung untuk pengambilan contoh uji
emisi antara lain berupa tangga dan platform
pengambilan contoh uji yang dilengkapi pengaman.
b) Persyaratan peralatan Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Pengolahan Limbah B3 menggunakan insinerator sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) oleh Pengolah Limbah B3 harus
memenuhi ketentuan:
1) Efisiensi pembakaran paling sedikit 99,99% (sembilan
puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan persen);
2) Efisiensi penghancuran dan penghilangan senyawa
principle organic hazardous constituents (POHCs) dengan
nilai paling sedikit 99,99% (sembilan puluh sembilan koma
sembilan puluh sembilan persen);
3) Dalam hal Limbah B3 yang akan diolah berupa
polychlorinated biphenyls; dan/atau yang berpotensi
menghasilkan:
I. Polychlorinated dibenzofurans; dan/atau
II. Polychlorinated dibenzo-pdioxins, efisiensi
penghancuran dan penghilangan harus memenuhi
nilai paling sedikit 99,9999% (sembilan puluh
sembilan koma sembilan ribu sembilan ratus
sembilan puluh sembilan persen);
41
III. Temperatur pada ruang bakar utama sekurang-
kurangnya 800OC (delapan ratus derajat celsius);
IV. Temperatur pada ruang bakar kedua paling rendah
1.200OC (seribu dua ratus derajat celsius) dengan
waktu tinggal paling singkat 2 (dua) detik;
V. Memiliki alat pengendalian pencemaran udara
berupa wet scrubber atau sejenis;
VI. Ketinggian cerobong paling rendah 24 m (dua puluh
empat meter) terhitung dari permukaan tanah atau
1,5 (satu koma lima) kali bangunan tertinggi, jika
terdapat bangunan yang memiliki ketinggian lebih
dari 24 m (dua puluh empat meter) dalam radius 50
m (lima puluh meter) dari insinerator;
VII. Memiliki cerobong yang dilengkapi dengan:
i. Lubang pengambilan contoh uji emisi yang
memenuhi kaidah 8De/2De; dan
ii. Fasilitas pendukung untuk pengambilan
contoh uji emisi antara lain berupa tangga
dan platform pengambilan contoh uji yang
dilengkapi pengaman; dan
iii. Memenuhi baku mutu emisi melalui
kegiatan uji coba sebagai bagian dari
pemenuhan kelengkapan persyaratan.
42
VIII. Dalam hal insinerator dioperasikan untuk mengolah
Limbah sitotoksik, wajib dioperasikan pada
temperatur sekurang-kurangnya 1.200C (seribu dua
ratus derajat celsius).
IX. Tata cara permohonan izin Pengelolaan Limbah B3
untuk kegiatan Pengolahan Limbah B3
menggunakan peralatan insinerator dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan
mengenai tata cara permohonan izin Pengelolaan
Limbah B3.
Pasal 23
Pengoperasian peralatan insinerator sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 dilarang digunakan untuk:
a) Limbah B3 radioaktif;
b) Limbah B3 dengan karakteristik mudah meledak; dan/atau
c) Limbah B3 merkuri.
Pasal 24
Tata cara Pengolahan Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
sampai dengan Pasal 23 tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini.
J. Tata Laksana Pengelolaan Limbah Medis Padat
Menurut PERMENKES 1204 tahun 2004 Tata laksana limbah medis padat
antara lain:
1. Minimisasi Limbah
43
a. Menyeleksi bahan-bahan yang kurang menghasilkan limbah sebelum
membelinya.
b. Menggunakan sedikit mungkin bahan-bahan kimia.
c. Mengutamakan metode pembersihan secara fisik daripada secara
kimiawi.
d. Mencegah bahan-bahan yang dapat menjadi limbah seperti dalam
kegiatan perawatan dan kebersihan.
e. Memonitor alur penggunaan bahan kimia dari bahan baku sampai
menjadi limbah bahan berbahaya dan beracun.
f. Memesan bahan-bahan sesuai kebutuhan.
g. Menggunakan bahan-bahan yang diproduksi lebih awal untuk
menghindari kadaluwarsa.
h. Menghabiskan bahan dari setiap kemasan.
i. Mengecek tanggal kadaluwarsa bahan-bahan pada saat diantar oleh
distributor.
2. Pemilahan, Pewadahan, Pemanfaatan kembali dan Daur Ulang
a. Dilakukan pemilahan jenis limbah medis padat mulai dari sumber
yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda
tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah
radioaktif, limbah kontainer, dan limbah dengan kandungan
logam berat yang tinggi.
b. Tempat pewadahan limbah medis padat:
44
1) Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat,
kedap air dan mempunyai permukaan yang halus pada bagian
dalamnya, misalnya fiberglass.
2) Di setiap sumber penghasil limbah medis harus tersedia
tempat pewadahan yang terpisah dengan limbah padat
nonmedis.
3) Kantong plastik diangkat setiap hari atau kurang sehari
apabila 2/3 bagian telah terisi limbah.
4) Untuk benda-benda tajam hendaknya ditampung pada tempat
khusus (safety box) seperti botol atau karton yang aman.
5) Tempat pewadahan limbah medis padat infeksius dan
sitotoksik yang tidak langsung kontak dengan limbah harus
segera dibersihkan dengan larutan desinfektan apabila akan
dipergunakan kembali, sedangkan untuk kantong plastik yang
telah dipakai dan kontak langsung dengan limbah tersebut
tidak boleh digunakan lagi.
c. Bahan atau alat yang dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui
sterilisasi meliputi pisau bedah (scalpel), jarum hipodermik,
syringes, botol gelas, dan kontainer.
d. Alat-alat yang dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui
sterilisasi adalah radionukleida yang telah diatur tahan lama untuk
radioterapi seperti puns, needles, atau seeds.
e. Apabila sterilisasi yang dilakukan adalah sterilisasi dengan
ethylene oxide, maka tanki reactor harus dikeringkan sebelum
45
dilakukan injeksi ethylene oxide. Oleh karea gas tersebut sangat
berbahaya, maka sterilisasi harus dilakukan oleh petugas yang
terlatih. Sedangkan dengan glutaraldehyde lebih aman dalam
pengoperasiannya tetapi kurang efektif secara mikrobiologi.
f. Upaya khusus harus dilakukan apabila terbukti ada kasus
pencemaran spongiform encephalopathies.
3. Tempat Penampungan Sementara
a. Bagi rumah sakit yag mempunyai insinerator dilingkungannya
harus membakar limbahnya selambat-lambatnya 24 jam.
b. Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai insinerator, maka limbah
medis padatnya harus dimusnahkan melalui kerjasama dengan
rumah sakit lain atau pihak lain yang mempunyai insenerator
untuk dilakukan pemusnahan delambat-lambatnya 24 jam apabila
disimpan pada suhu ruang.
4. Transportasi
a. Kantong limbah medis padat sebelum dimasukkan kendaraan
pengangkut harus diletakkan kedalam kontainer yang kuat dan
tertutup.
b. Kantong limbah medis padat harus aman dari jangkauan manusia
maupun binatang.
c. Petugas yang menangani limbah, harus menggunakan alat
pelindung diri yang terdiri:
1) Topi/helm
46
2) Masker
3) Pelindung mata
4) Pakaian panjang (coverall)
5) Apron untuk industri
6) Pelindung kaki / sepatu boot, dan
7) Sarung tangan khusus (disposable gloves atau duty gloves)
47
K. Kerangka Teori
Gambar 2.1
Sumber: PERMENKES 1204 tahun 2004 , Menlhk 56 tahun 2015 dan Asmadi
tahun 2013 Pengelolaan Limbah Medis Rumah Sakit
Limbah Medis Padat
1. Infeksius
2. Limbah Patologis
3. Limbah Benda
Tajam
4. Limbah Farmasi
5. Limbah yang
Mengandung Logam
Berat
6. Limbah Kemasan
Bertekanan
7. Limbah Radioaktif
Pengelolaan
Limbah Medis
Padat
1. Sumber
2. Pewadahan
3. Pengumpulan
4. Pengangkutan
5. Penampungan
sementara
Pengelolaan Limbah
Medis Padat
1. Memenuhi syarat
2. Tidak memenuhi
syarat
48
L. Kerangka Konsep
Gambar 2.2
Limbah
Medis
Padat
Pengelolaan Limbah Medis
Padat
1. Sumber
2. Pewadahan
3. Pengumpulan
4. Pengangkutan
5. Penampungan sementara
Pengelolaan
Limbah Medis
Padat di RSUD
Menggala
1. Memenuhi syarat
2. Tidak memenuhi
syarat