BAB II , teori pendukung yaitu teori kualitas, teori emosi ... · Bab ini menguraikan teori utama...
Transcript of BAB II , teori pendukung yaitu teori kualitas, teori emosi ... · Bab ini menguraikan teori utama...
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan teori utama dan teori pendukung untuk mendukung
hipotesis yang dirumuskan. Penelitian ini menggunakan teori utama yaitu theory
of planned behavior (TPB), teori pendukung yaitu teori kualitas, teori emosi,
pendekatan kontijensi serta pemahaman mengenai konsep auditing, kualitas
auditor, due professional care, time budget pressure, dan kecerdasan emosional.
2.1 Theory of Planned Behavior
Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan teori yang dikembangkan
oleh Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari Theory Reason Action (TRA)
yaitu persepsi kontrol (preceived behavioral control). Konstruk ini ditambahkan
dalam upaya memenuhi keterbatasan yang dimiliki individu dalam rangka
melakukan perilaku tertentu. Keseluruhan keyakinan individu adalah informasi
dasar dalam menentukan sikap, intensi dan perilaku individu (Ajzen,2005).
Keyakinan individu akan mempengaruhi perilaku yang akan membawa
hasil positif atau negatif sehingga nantinya akan mempengaruhi niat individu
untuk berperilaku atau tidak. Perilaku seseorang tergantung pada keinginan
berperilaku yang terdiri atas tiga komponen dasar yaitu sikap, norma objektif dan
kontrol perilaku (Ajzen,2005).
12
Komponen dasar tersebut yaitu:
1) Sikap
Sikap merupakan suatu disposisi untuk merespon secara positif atau negatif
suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh keyakinan tentang
konsekuensi dari sebuah perilaku.
2) Norma Subjektif
Norma subjektif didefinisikan sebagai persepsi individu tentang tekanan
sosial untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Norma subjektif
ditentukan oleh keyakinan terhadap suatu perilaku yang diharapkan orang
lain untuk mematuhinya.
3) Kontrol perilaku
Kontrol perilaku sebagai fungsi yang didasarkan oleh keyakinan, yang
disebut sebagai kontrol keyakinan yaitu keyakinan individu mengenai ada
atau tidaknya faktor yang mendukung atau menghalangi individu dalam
berperilaku.
Inti dari Theory of Planned Behavior (TPB) menurut Ajzen (2005)
mencakup tiga hal yaitu (1) keyakinan tentang kemungkinan hasil dan evaluasi
dari perilaku tersebut, (2) keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi
untuk memenuhi harapan tersebut, serta (3) keyakinan tentang adanya faktor yang
dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor
tersebut. Aspek keperilakuan dalam pengauditan mengacu pada pertimbangan dan
pengambilan keputusan oleh auditor, namun seharusnya auditor terlepas dari
faktor personalitas dalam melakukan audit. Personalitas akan menggagalkan audit
13
sekaligus membawa risiko yang tinggi bagi auditor. Ada dua tipe keperilakuan
yang dihadapi oleh auditor yaitu (1) auditor dipengaruhi oleh persepsi terhadap
lingkungan audit dan (2) auditor harus menyelaraskan dan sinergi dalam
pekerjaan mereka karena audit hakikatnya adalah pekerjaan kelompok. Interaksi
ini akan banyak menimbulkan proses keperilakuan dan sosial (Siegel,Marconi
1989).
2.2 Teori Kualitas
Kualitas menurut Crosby (1989), kualitas menunjukkan conformance to
requirement, yaitu sesuai dengan yang distandarkan. Suatu produk atau jasa
harus dikerjakan oleh orang yang memiliki skills tinggi dan attitudes sesuai
bidangnya. Kualitas bukan hanya menekankan pada aspek hasil akhir, yaitu
produk atau jasa tetapi juga menyangkut kualitas sumber daya manusia, kualitas
proses, dan kualitas lingkungan. Sementara itu, harapan pengguna produk atau
jasa selalu berubah, sehingga kualitasnya juga harus berubah.
Menurut Halim (2013:17), konsep kualitas pada dasarnya menjelaskan
tentang kesesuaian dengan yang distandarkan. Oleh karena itu, sangat penting
melibatkan setiap orang dalam organisasi pada proses dengan jalan menekankan
kesesuaian individual terhadap persyaratan atau tuntutan yang distandarkan
dengan memiliki professionalism dan skills yang memadai, attitudes dan
behavior yang baik, dan reputation atau image yang baik.
2.3 Teori Emosi
Teori emosi pertama kali dikemukakan oleh James (1884) dari Amerika
Serikat dan Lange (1885) dari Denmark, emosi adalah hasil persepsi seseorang
14
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respons terhadap
berbagai rangsangan yang datang dari luar.
Robbins dan Judge (2007) mengembangkan teori emosi menjadi teori
peristiwa afektif (affective events theory), yang menjelaskan bahwa teori
peristiwa afektif dimulai dengan mengenali bahwa emosi adalah sebuah respons
terhadap peristiwa-peristiwa dalam lingkungan kerja. Lingkungan kerja meliputi
semua hal yang melingkupi pekerjaan tersebut. Lingkungan ini menciptakan
peristiwa-peristiwa kerja berupa percekcokan atau kegembiraan, peristiwa-
peristiwa kerja tersebut memicu reaksi emosi positif atau negatif. Misalnya,
seseorang yang mempunyai stabilitas emosional rendah akan bereaksi negatif
terhadap peristiwa kerja tersebut. Sebaliknya, seseorang yang mempunyai
stabilitas emosional tinggi akan bereaksi positif terhadap peristiwa kerja
tersebut. Akhirnya, emosi dapat mempengaruhi sejumlah variabel kinerja dan
kepuasan kerja.
Siegel dan Marconi (1989) mengusulkan suatu terapi untuk mengatasi
keperilakuan sebagai upaya meningkatkan kualitas pertimbangan yang disebut
Rational Emotive Theraphy (RET). Tujuannya adalah untuk memperoleh suatu
kondisi emosional dari netralitas untuk mengeliminasi sebanyak mungkin
perasaan negatif yang tidak diinginkan. Teori ini menekankan pada urutan;
(1) sebuah pemicu terjadinya peristiwa atau kejadian; (2) pemikiran atas
peristiwa tersebut; dan (3) perasaan dari hasil atas peristiwa.
15
2.4 Pendekatan Kontijensi
Pendekatan kontinjensi yang digunakan oleh para peneliti dalam penelitian
ini adalah dalam rangka memberikan masukan faktor-faktor yang sebaiknya
dipertimbangkan dalam perancangan penelitian. Pendekatan kontinjensi yang
digunakan banyak menarik minat para peneliti karena mereka ingin
mengetahui apakah tingkat keandalan variabel independen selalu berpengaruh
sama pada setiap kondisi atau tidak terhadap variabel dependennya. Dengan
didasarkan pada teori kontinjensi maka ada dugaan bahwa terdapat faktor
situasional lainnya yang mungkin akan saling berinteraksi didalam mempengaruhi
situasi tertentu.
Govindarajan (1986) dan Outley (1980) menyatakan penelitian dalam
akuntansi menggunakan pendekatan kontinjensi adalah untuk melihat variabel-
variabel konstektual seperti ketidakpastian lingkungan. Keterkaitan interaksi
hubungan antara kecermatan profesional dan tekanan anggaran waktu dengan
kecerdasan emosional dapat dijelaskan oleh pendekatan kontigensi. Dengan
demikian teori kontinjensi dalam penelitian ini mengargumenkan bahwa due
professional care dan time budget pressure yang dialami auditor dalam mencapai
kualitas auditor yang baik, akan bergantung pada suatu kondisi tertentu, salah
satunya adalah kecerdasan emosional yang dimilikinya.
2.5 Auditing
Menurut Arens and Locbbecke (2000), audit adalah kegiatan
mengumpulkan dan mengevaluasi dari bukti-bukti mengenai informasi untuk
16
menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi dengan kriteria
yang telah ditetapkan.
Sukrisno (2012) mendefinisikan auditing sebagai suatu pemeriksaan yang
dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen terhadap
laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan pembukuan
dan bukti pendukungnya, dengan tujuan dapat memberikan pendapat mengenai
kewajaran laporan keuangan.
Konsep dasar auditing menurut Mautz dan Sharaf (1961) dalam “The
Philosophy of Auditing” mencakup 5 (lima) aspek, yaitu 1) Konsep Pembuktian
(Evidential Matter); 2) Konsep Kelayakan Asersi (Fair Presentation); 3) Konsep
Kecermatan Profesi (Due Professional Care); 4) Konsep Independensi; 5) Konsep
Etika (Ethical Conduct). Masing-masing dari kelima bidang konseptual di atas
sukar dibantah relevansinya dengan auditing. Kesemuanya menentukan arah
kegiatan dan perilaku auditing, dan karenanya selalu dijadikan sebagai parameter
dalam mengukur keberhasilan auditing. Oleh karena itu, dalam rangka
mengembangkan auditing sebagai disiplin yang mandiri dan kuat perlu
dikembangkan muatan-muatan yang rasional dan logis yang menunjukkan arah
bagi auditing sebagaimana diimplementasikan dalam standar, praktik, prosedur,
dan teknik audit (Pusdiklatwas BPKP,2007:53).
Audit intern menurut Sawyer (2005) adalah sebuah penilaian yang
sistematis dan objektif yang dilakukan auditor intern terhadap operasi dan kontrol
yang berbeda-beda dalam organisasi untuk menentukan apakah: (1) informasi
keuangan dan operasi telah akurat dan dapat diandalkan; (2) risiko yang dihadapi
17
perusahaan (organisasi) telah diidentifikasi dan diminimalisasi; (3) peraturan
ekstern serta kebijakan dan prosedur intern yang bisa diterima telah dipenuhi;
(4) kriteria operasi (kegiatan) yang memuaskan telah dipenuhi; (5) sumber daya
telah digunakan secara efisien dan ekonomis; dan (6) tujuan organisasi telah
dicapai secara efektif, semua dilakukan dengan tujuan untuk dikonsultasikan
dengan manajemen dan membantu anggota organisasi dalam menjalankan
tanggung jawabnya secara efektif.
2.6 Kualitas Auditor
De Angelo (1981) meneliti Audit Size and Audit Quality mendefinisikan
“auditor quality as the joint probability for an auditor to (1) discover a breach in
the clients accounting system and report the breach”. Kualitas auditor adalah
kemungkinan auditor untuk menemukan pelanggaran atas kesalahan sistem
akuntansi klien dan melaporkan pelanggaran tersebut. Hal tersebut merupakan
mutlak dan tidak dapat dipisahkan dari pengertian kualitas auditor. Menurut
Watkens et al (2004), kualitas auditor digambarkan dengan kualitas atau kekuatan
pemonitoran yang dilaksanakan auditor. Kualitas audit lebih ditentukan dari
penggunaan sumber daya yang dimiliki kantor akuntan untuk tujuan pengauditan.
Titman dan Trueman (1986) menyatakan bahwa auditor yang berkualitas adalah
auditor yang bisa memberikan informasi yang akurat berupa ketepatan informasi
dari laporan keuangan.
Menurut Skinner dan Srinivasan (2012), terdapat dua hal yang memotivasi
auditor untuk menghasilkan audit yang berkualitas yaitu (1) dorongan
litigation/insurance dan (2) dorongan insentif. Financial Accounting Standard
18
Committee (2000) menyatakan bahwa kualitas audit ditentukan oleh dua hal,
keahlian (kompetensi) dan independensi. Kualitas ini mempunyai pengaruh
langsung terhadap kualitas auditor. Pengukuran kualitas audit dapat dilakukan
dengan 2 dimensi yaitu kualitas auditor dalam suatu tim dan kualitas yang
didorong oleh aturan yang diterapkan (Schoder et.al,1986).
Terkait dengan standar kualitas audit, Badan Pemeriksa Keuangan
(SPKN,2007) telah menyusun standar kualitas audit yang terdiri dari kualitas
strategis, kualitas teknis, dan kualitas proses. Kualitas strategis diartikan bahwa
hasil pemeriksaan harus dapat memberikan informasi kepada pemakai laporan
keuangan secara tepat waktu. Kualitas teknis terkait dengan penyajian temuan,
simpulan dan opini atau saran pemeriksaan yang harus jelas, konsisten, dapat
diakses dan obyektif. Kualitas proses merujuk pada proses kegiatan pemeriksaan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan sampai tindak lanjut pemeriksaan.
Dengan kata lain, banyak faktor yang akan mempengaruhi kualitas audit, mulai
dari yang berkaitan dengan pihak auditor maupun pihak auditee
(Tandiontong,2016).
Auditor merupakan seorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam
melakukan audit atas laporan keuangan dan kegiatan suatu perusahaan atau
organisasi. Auditor adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung
jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melaksanakan pengawasan pada instansi pemerinntah, lembaga dan atau pihak
lain yang didalamnya terdapat kepentingan negara sesuai dengan ketentuan yang
berlaku (Pusdiklatwas BPKP,2009:7).
19
Berdasarkan peraturan BPKP mengenai standar kompetensi auditor
(Pusdiklatwas,2010:2), yang dimaksud dengan auditor adalah jabatan yang
mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk
melakukan pengawasan intern pada instansi pemerintah, lembaga dan atau pihak
lain yang didalamnya terdapat kepentingan negara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, yang diduduki oleh pegawai negeri sipil dengan hak dan
kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang.
Menurut Halim (2008) auditor adalah orang yang diitugaskan untuk
mengaudit tindakan ekonomi atau kejadian untuk entitas individual atau entitas
hukum. Pada umumnya, auditor diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kelompok:
1) Auditor internal
Auditor internal merupakan akuntan internal yaitu karyawan suatu perusahaan
tempat mereka melakukan audit. Tujuan audit internal adalah untuk membantu
membantu manajemen dalam melaksanakan tanggungjawabnya secara efektif.
Auditor internal terutama berhubungan dengan audit operasional dan audit
kepatuhan. Meskipun demikian, pekerjaan auditor internal dapat mendukung
audit atas laporan keuangan yang dilakukan auditor independen.
2) Auditor pemerintah
Auditor pemerintah adalah akuntan pemerintah yang bekerja di instansi
pemerintah, yang tugas utamanya adalah melakukan audit atas
pertanggungjawaban keuangan dari berbagai unit organisasi dalam
pemerintahan. Auditing ini dilaksanakan oleh auditor pemerintah yang bekerja
20
di BPKP, BPK, dan Inspektorat. Di Indonesia, auditor pemerintah dapat dibagi
menjadi dua yaitu:
(1) Auditor eksternal pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sebagai perwujudan dari pasal 23 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 yang berbunyi untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa
Keuangan bebas dan mandiri. Ayat (2) hasil pemeriksa keuangan negara
diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya. Badan Pemeriksa Keuangan merupakan badan yang tidak
tunduk pada pemerintah, sehingga diharapkan dapat bersikap indenpenden.
(2) Auditor Internal Pemerintah atau yang lebih dikenal sebagai Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang dilaksanakan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal
Departemen/LPND, dan Inspektorat Provinsi/Kabupaten.
3) Auditor independen (Akuntan Publik)
Auditor independen adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan
audit atas laporan keuangan historis yang menyediakan jasa audit atas dasar
standar auditing yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik
(KAP). Klien dapat berupa perusahaan bisnis yang berorientasi laba, organisasi
nirlaba, badan-badan pemerintahan maupun individu perseorangan. Auditor
independen bekerja dan memperoleh penghasilan yang dapat berupa fee per jam
kerja.
21
Menurut Permenpan Nomor PER/220/M.PAN/7/2008 sebagaimana
diubah dengan Permenpan 51/2012 tentang Jabatan Fungsional Auditor dan
Angka Kreditnya pasal 7 menjelaskan bahwa (1) jabatan fungsional auditor terdiri
dari auditor terampil dan auditor ahli, (2) jenjang jabatan fungsional auditor
terampil paling rendah sampai dengan paling tinggi, yaitu auditor pelaksana,
auditor pelaksana lanjutan, auditor penyelia (3) jenjang jabatan fungsional auditor
ahli paling rendah sampai dengan paling tinggi, yaitu auditor pertama, auditor
muda, auditor madya dan auditor utama. Jenjang pangkat auditor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan jenjang jabatannya yaitu:
a. Auditor Pelaksana
1) Pengatur, golongan ruang II/c; dan
2) Pengatur Tingkat I, golongan ruang II/d.
b. Auditor Pelaksana Lanjutan
1) Penata Muda, golongan ruang III/a; dan
2) Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b.
c. Auditor Penyelia
1) Penata, golongan ruang III/c; dan
2) Penata Tingkat I, golongan ruang III/d.
d. Auditor Pertama
1) Penata Muda, golongan ruang III/a; dan
2) Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b.
e. Auditor Muda
1) Penata, golongan ruang IIl/c; dan
22
2) Penata Tingkat I, golongan ruang III/d.
f. Auditor Madya
1) Pembina, golongan ruang IV/a;
2) Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b; dan
3) Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c
Lampiran ketentuan ini menetapkan jumlah hari pengawasan sejumlah 237
Hari/Tahun melalui penilaian angka kredit sesuai dengan jenjang jabatan yang
diajukan per semester (6 bulan).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
Per/05/M.Pan/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 menyatakan bahwa kualitas auditor
adalah auditor yang melaksanakan tupoksi dengan efektif, dengan cara
mempersiapkan kertas kerja pemeriksaan, peningkatan kegiatan audit yang
memiliki nilai tambah, menerapkan dasar-dasar pengukuran kinerja audit,
pelaksanaan koordinasi audit, pelaksanaan perencanaan audit, penilaian
efektivitas tindak lanjut pengawasan dan konsistensi penyajian laporan audit.
Dalam diktum pembukaan Permenpan No Per/05/M.Pan/03/2008
menyatakan bahwa mewujudkan pemerintahan yang baik, berdaya guna, berhasil
guna dan bertanggungjawab diperlukan adanya pengawasan oleh APIP yang
berkualitas. Dalam rangka mewujudkan pengawasan oleh APIP yang berkualitas
diperlukan suatu ukuran mutu yang sesuai dengan mandat masing-masing APIP.
Ukuran mutu ini menjadi acuan bagi auditor dan APIP (termasuk BPKP) dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) dengan baik. Kualitas auditor
23
dipengaruhi oleh keahlian auditor dalam melaksanakan perencanaan audit,
koordinasi audit ataupun mempersiapkan kertas kerja pemeriksaan (KKP).
2.7 Due Professional Care
Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
(PERMENPAN) Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 tentang
Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, dinyatakan dalam standar
umum bahwa auditor harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan cermat
dan seksama (due professional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam setiap
penugasan. Due professional care dilakukan pada berbagai aspek audit,
diantaranya; (1) Formulasi tujuan audit; (2) Penentuan ruang lingkup audit,
termasuk evaluasi risiko audit; (3) Pemilihan pengujian dan hasilnya;
(4) Pemilihan jenis dan tingkat sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan
audit; (5) Penentuan signifikan tidaknya risiko yang diidentifikasi dalam audit dan
efek/dampaknya; (6) Pengumpulan bukti audit; (7) Penentuan kompetensi,
integritas dan kesimpulan yang diambil pihak lain yang berkaitan dengan
penugasan audit.
Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (SA-APIP) yaitu
pada standar umum diatur bahwa auditor internal harus menerapkan kecermatan
dan keterampilan yang diharapkan dari seorang auditor yang cukup berhati-hati
dan kompeten. Auditor internal menjalankan kecermatan profesional dalam
penugasan ketika dia waspada terhadap kemungkinan adanya kecurangan (fraud),
kesalahan yang disengaja, kesalahan/error dan kelalaian, inefisiensi, pemborosan,
ketidakefektifan, dan konflik kepentingan serta kondisi-kondisi dan kegiatan lain
24
dimana penyimpangan sangat mungkin terjadi. Kecermatan profesional
dibutuhkan ketelitian dan kehati-hatian diterapkan dalam pemeriksaan, karena
dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan, auditor wajib menggunakan
kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Salah satu wujud
penerapannya adalah proses reviu kertas kerja audit. Reviu dilaksanakan untuk
meminimalkan ketidakcermatan dan kesalahan dalam pelaksanaan audit
(Pusdiklatwas BPKP,2008).
Menurut Arens (2000), profesionalisme adalah suatu tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya dan lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya dan lebih dari sekedar dari memenuhi undang-undang dan
peraturan masyarakat. Profesionalisme yang dimaksud dapat diuraikan sebagai
berikut:
1) Pengabdian terhadap profesi
Pengabdian terhadap profesi merupakan suatu sikap yang teguh untuk
melakukan pekerjaan dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang
dimiliki walaupun imbalannya berkurang.
2) Pemenuhan kewajiban sosialnya
Pemenuhan kewajiban sosial merupakan suatu paradigma mengenai
pentingnya peranan sebuah profesi dan manfaat yang didapat baik oleh
masyarakat maupun kalangan profesional lainnya karena adanya pekerjaan
tersebut.
25
3) Sikap kemandiriannya
Sikap kemandirian adalah suatu sikap dari seseorang yang profesional yang
dapat membuat sebuah keputusan tanpa dipengaruhi oleh pihak lain.
4) Keyakinan terhadap peraturan profesi
Keyakinan terhadap peraturan profesi merupakan suatu kepercayaan bahwa
yang paling berhak menilai pekerjaan dianggap profesional atau tidaknya
adalah rekan seprofesi atau yang mempunyai kompetensi yang sama dalam
bidang ilmu atau pekerjaan tersebut.
5) Kualitas hubungannya dengan sesama profesi
Kualitas hubungannya dengan sesama profesi dapat terbentuk baik melalui
organisasi formal maupun dalam kelompok kolega sebagai ide utama dalam
melaksanakan pekerjaan.
Seorang auditor bekerja secara profesional berarti bekerja dengan keahlian
khusus menurut aturan dan persyaratan profesi, karena itu setiap pekerjaan yang
bersifat profesional memerlukan suatu sarana berupa standar dan kode etik
sebagai pedoman atau pegangan bagi seluruh anggota profesi tersebut (Kode Etik
dan Standar Audit, Pusdiklatwas BPKP,2008:7).
Menurut Mautz dan Sharaf (Pusdiklatwas,2008:23) auditor yang cermat
dan seksama memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Memiliki pengetahuan tentang filosofi dan praktik audit
2) Memiliki tingkat pelatihan, pengalaman dan keterampilan yang cukup
3) Memiliki kemampuan mengenali penyimpangan
4) Mengikuti perkembangan bagaimana mendeteksi penyimpangan
26
Menurut Sawyer’s (2006:349) menyebutkan bahwa ‘Standard for the
professional practice of internal auditing (standards) menyatakan tanggungjawab
auditor internal adalah dimana auditor internal hendaknya melaksanakan
kecermatan dan keseksamaan profesional dalam melaksanakan audit internal,
dimana kecermatan dan keseksamaaan profesional yang diharapkan dari seorang
auditor internal disini adalah kecermatan dan keseksamaan yang bijaksana, hati-
hati dan kompeten dalam situasi yang sama. Auditor internal yang dapat
melakukan pendeteksian fraud adalah seorang auditor internal yang memiliki
kecermatan dan keseksamaan yang profesional dengan didukung oleh pengalaman
dari auditor itu sendiri dalam menangani kasus fraud. Biasanya, seorang auditor
yang sudah berpengalaman dan terbiasa dalam menghadapi kasus-kasus fraud
akan lebih cermat dan hati-hati dalam menganalisis adanya tanda-tanda terjadinya
fraud tersebut. Hal ini berarti tingkat kecermatan dan keseksamaan seorang
auditor internal yang berpengalaman jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
auditor yang mempunyai pengalaman yang sedikit dalam menangani kasus fraud.
Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama
memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan
keuangan bebas dari salah saji material, baik disebabkan oleh kekeliruan atau
kecurangan (Sukrisno,2012). Kemahiran profesional dalam akuntansi forensik
dimaksudkan bahwa bukti yang dikumpulkan harus dengan prinsip kehati-hatian
supaya bisa digunakan di pengadilan, mencakup beberapa hal yaitu (1) sumber
daya manusia; (2) pengetahuan, pengalaman, keahlian, disiplin; (3) supervisi;
(4) kepatuhan terhadap standar perilaku (5) hubungan manusia; (6) komunikasi;
27
(7) pendidikan berkelanjutan; (8) kehati-hatian profesional
(Tuanakotta,2010:122). Kecermatan profesional diaplikasikan pada saat telaah
kertas kerja terkait risiko audit, sasaran audit, kelemahan internal, kasus, usulan
revisi bagi laporan auditee menuju pada kesimpulan audit atau opini (Sukrisno
dan Hoesada,2009).
Kecermatan profesional dalam auditing berarti upaya maksimal dari
setiap auditor dalam pemanfaatan pengetahuan, keterampilan, dan pertimbangan
rasional dengan penuh kehati-hatian dalam melaksanakan fungsi auditing,
termasuk dalam hal merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan kegiatan
pembuktian serta dalam pengambilan simpulan sehingga kewajiban yang
dibebankan kepadanya dapat dipertanggungjawabkan secara profesional
(Pusdiklatwas BPKP,2007:59). Berdasarkan pengertian di atas, dua hal yang perlu
menjadi perhatian, yaitu 1) Adanya kepastian tentang kewajiban yang dibebankan
kepada auditor sebagai lingkup tanggung jawab profesinya; 2) Tersedianya cara-
cara bagi auditor untuk mewujudkan secara maksimal kemampuan, pengetahuan,
dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya, termasuk perilaku kehati-hatian yang
memadai untuk itu.
2.8 Time Budget Pressure
Tekanan anggaran waktu (time budget pressure) didefinisikan sebagai
permasalahan yang terjadi pada perikatan audit karena terbatasnya waktu yang
dialokasikan untuk melaksanakan seluruh tugas audit. Menurut Simanjuntak
(2015) terdapat temuan hasil survey yang dilakukan secara luas di Amerika
Serikat yang mengindikasikan adanya insiden yang mengganggu dari perilaku
28
disfungsional auditor yang utamanya disebabkan oleh tekanan anggaran waktu.
Anggaran waktu audit yang ketat dapat mengakibatkan auditor merasakan tekanan
anggaran waktu (time budget pressure) dalam pelaksanaan program audit akibat
ketidakseimbangan antara anggaran waktu audit yang tersedia dan waktu yang
dibutuhkan untuk penyelesaian program audit.
Menurut Silaban (2009), saat seorang auditor mengalami tekanan
anggaran waktu, maka auditor akan memberikan respon dengan dua cara, yaitu
fungsional dan disfungsional. Tipe fungsional adalah perilaku auditor untuk
bekerja lebih baik dan menggunakan waktu sebaik-baiknya. Tipe disfungsional
adalah perilaku auditor yang berpotensi menyebabkan perilaku penurunan kualitas
audit.
Saat auditor merasakan tekanan anggaran waktu selama pelaksanaan tugas
audit, maka auditor kemungkinan bertindak dengan cara fungsional, yaitu dengan
melaksanakan prosedur audit sebagaimana mestinya dan melaporkan waktu
sesungguhnya yang digunakan dalam pelaksanaan tugas tersebut, atau dengan
cara disfungsional, yaitu tidak melakukan prosedur audit sebagaimana mestinya,
tetapi auditor menyatakan bahwa mereka telah melakukan prosedur audit
sebagaimana mestinya. Cara disfungsional ini merupakan cara auditor mengatasi
tekanan anggaran waktu dengan perilaku penurunan kualitas audit.
2.9 Kecerdasan Emosional
Hawari (2006) mengemukakan bahwa kemampuan seseorang ditentukan
oleh kecerdasan yang dimilikinya, kecerdasan tersebut adalah Intelligence
29
Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual, Emotional Quotient (EQ) atau
kecerdasan emosi, dan Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual.
Robins dan Judge (2008:57) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual
(IQ) merupakan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas
mental berpikir, menalar dan memecahkan masalah. Kecerdasan intelektual
mengukur kecepatan kita untuk mempelajari hal-hal baru, memusatkan perhatian
pada aneka tugas latihan, menyimpan dan mengingatkan kembali informasi
objektif, terlibat dalam proses berpikir, bekerja dengan angka, berpikir abstrak
dan analitis, serta memecahkan masalah dan menerapkan pengetahuan yang telah
ada sebelumnya (Anastasi dan Urbina, 2007).
Zohar dan Marshall (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai
rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan
pemahaman dan cinta serta kemampuan untuk melihat kapan cinta dan
pemahaman sampai pada batasannya, juga memungkinkan bergulat dengan ihwal
baik dan jahat, membayangkan yang belum terjadi serta mengangkat dari
kerendahan. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan perilaku dan hidup
manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang
lain. Rachmi (2010) menyatakan kecerdasan spiritual sebagai pikiran yang
mendapat inspirasi, dorongan, efektivitas yang terinspirasi dan penghayatan
ketuhanan yang semua manusia menjadi bagian didalamnya.
30
Robin dan Judge (2008:335) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan seseorang untuk mendeteksi serta mengelola petunjuk-
petunjuk dan informasi emosional. Orang-orang yang mengenali emosi-emosi
mereka sendiri dan mampu dengan baik membaca emosi orang lain dapat menjadi
lebih efektif dalam pekerjaan mereka.
Menurut Goleman (2006), orang yang pertama kali mengungkapkan
adanya kecerdasan emosi selain akademik yang mempengaruhi keberhasilan
seseorang adalah Gardner, kecerdasan itu disebut kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan
perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan hubungan dengan orang lain. Goleman dalam Suartana
(2010) menyatakan bahwa auditor yang mampu melaksanakan tanggungjawabnya
dengan menjunjung tinggi etika profesinya, kecerdasan intelektual hanya
menyumbang 20% sedangkan 80% diantaranya dipengaruhi oleh bentuk-bentuk
kecerdasan lain, salah satunya kecerdasan emosional. Berdasarkan hal tersebut,
peneliti menggunakan kecerdasan emosional sebagai salah satu variabel
penelitian. Kecerdasan emosional terdiri dari lima komponen utama yaitu:
1) Pengenalan diri (self awareness)
Pengenalan diri merupakan kemampuan seseorang mengetahui apa yang
dirasakan oleh diri sendiri dan menggunakannya untuk mengambil keputusan,
memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri
yang kuat
31
2) Pengendalian diri (self management)
Pengendalian diri merupakan kemampuan menangani emosinya sendiri,
mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan terhadap kata
hati untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari.
3) Motivasi (motivation)
Motivasi merupakan kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat
membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik
serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu bertahan
menghadapi kegagalan dan frustasi.
4) Empati (Empathy)
Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain,
mampu memahami perspektif orang lain dan menimbulkan hubungan saling
percaya serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu.
5) Keterampilan sosial (Social Skill)
Keterampilan sosial merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik
ketika berhubungan dengan orang lain dan menciptakan serta mempertahankan
hubungan dengan orang lain, dapat mempengaruhi, memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dan bekerja sama dalam tim.