BAB II TAO DALAM KONSEP AGAMA 2.1. Definisi...

18
18 BAB II TAO DALAM KONSEP AGAMA 2.1. Definisi Agama Definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan adalah definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes 1 . Definisi itu dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed, code, cult, dan community-structure. Swidler dan Mojzes menjelaskan 4 Cs sebagai berikut: 1. Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything that goes into the ”explanation: of the ultimate meaning of life. 2. Code of behavior or ethics includes all the rules and customs of action that somehow follow from one aspect or another of the Creed. 3. Cult means all the ritual activities that relate the follower to one aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly. Prayer is an example of the former, and certain formal behavior toward representatives of the transcendent, such as priests, is an example of the latter. 4. Community-structure refers to the relationship among the followers. This can vary widely, from a very egalitarian relationship, as among quakers, through a”republican” structure 1 Swidler, Leonard and Mojzes, Paul. 2000. The Study of Religion in an Age Of Global Dialogue. Philadelphia: Temple University Press. Hlm. 7-8.

Transcript of BAB II TAO DALAM KONSEP AGAMA 2.1. Definisi...

18

BAB II

TAO DALAM KONSEP AGAMA

2.1. Definisi Agama

Definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan adalah

definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes1. Definisi itu

dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed, code, cult,

dan community-structure. Swidler dan Mojzes menjelaskan 4 Cs sebagai berikut:

1. Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything

that goes into the ”explanation: of the ultimate meaning of life.

2. Code of behavior or ethics includes all the rules and customs of

action that somehow follow from one aspect or another of the

Creed.

3. Cult means all the ritual activities that relate the follower to one

aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly.

Prayer is an example of the former, and certain formal behavior

toward representatives of the transcendent, such as priests, is an

example of the latter.

4. Community-structure refers to the relationship among the

followers. This can vary widely, from a very egalitarian

relationship, as among quakers, through a”republican” structure

1 Swidler, Leonard and Mojzes, Paul. 2000. The Study of Religion in an Age Of Global

Dialogue. Philadelphia: Temple University Press. Hlm. 7-8.

19

as Presbyterians have, to a monarchical structure, as with some

Hasidic Jews vis-a-vis their Rebbe.

Menurut Ahmad Syafi’i Mufid, peneliti bidang keagamaan dari Badan

Penelitian dan Diklat Keagamaan Republik Indonesia dengan merujuk kepada

penjelasan John A Titaley dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga bahwa

jika suatu institusi sosial itu telah memenuhi persyaratan ke-4 Cs itu, maka

institusi sosial tersebut dapat disebut sebagai agama2. Dijelaskan oleh Mufid, 4 Cs

tersebut memiliki pengertian yaitu (1) Creed merupakan kepercayaan tentang

sesuatu yang secara mutlak dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran

itu dapat berbentuk dewa atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk

yang bukan itu, seperti misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya; (2) Code

merupakan pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan

di atas. Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas

kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis; (3)

Cult merupakan upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang

dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau

memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak

kepercayaan tadi; (4) Community yakni adanya kenyataan suatu umat (komunitas)

yang terkait dalam kepercayaan itu.

2 Titaley, John A. Tt. “Hubungan Agama dan Negara dalam Menjamin Kebebasan

Beragama di Indonesia”. dalam Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed).

Kebebasan Beragama. Hlm. 25.

20

Sedangkan Professor John A Titaley dalam buku karyanya yang berjudul

Religiositas Di Alinea Tiga3 menjelaskan tentang cara yang paling positif untuk

memperlakukan institusi social yang disebut agama itu adalah dengan

menggunakan definisi agama yang fungsional bahwa agama itu sekurang-

sekurangnya memiliki 4 C yaitu Creed, Code, Cult, dan Community. Creed adalah

pengakuan yang diyakini bahwa ada sesuatu yang disebut Yang Mutlak itu yang

berpengaruh atas kehidupan manusia. Karena misterisunya Yang Mutlak itu

sehingga dapat dibedakan antara yang disebut Theos dan yang disebut Non-Theos.

Theos dari bahasa Yunani menunjuk kepada suatu illah, dewa, yang disebut

Tuhan, atau Allah, atau siapa saja. Sedangkan yang Non-Theos, bisa berarti bukan

illah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau apa saja. Code yaitu seperangkat

tindakan yang bersumber pada keyakinan dalam Creed tadi seperti harus berbuat

kebajikan dan sebagainya. Cult yaitu ritus dan upacara yang dilakukan dalam

hubungan dengan Creed tadi sebagai cara untuk menyelaraskan diri dengan isi

Creed tadi, baik berupa memahami kehendak-Nya atau memperbaiki hubungan

yang rusak dengan-Nya supaya mendapat ganjaran dan sebagainya. Community

yaitu umat yang bersama-sama memiliki Creed, Code, dan Cult yang sama.

Proses penetapan kategori “agama” oleh Pemerintah Indonesia dijelaskan

oleh Sita Hidayah dalam Jurnal Kawistara, Vol. 2, No. 2, 17 Agustus 2012: 121-

139 sebagai berikut:

There are two ways to reconstruct the “condition of possibility” of

“Agama”. The first is namely the People’s Assembly in which the discourse of

3 Titaley, John A. 2013. Religiositas Di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme, dan

Transformasi Agama-Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press. Hlm.84-

85.

21

“agama” was first established in 1952. That year The Ministry of Religions

(formerly Kementerian Agama which later became the Ministry of Religious

Affairs) proposed a restricted definition of “agama”. The idea was this: to be

legitimated as an ‘official’ religion, a particular religion should have a prophet

and a holy book, and also be acknowledged internationally. In 1961, the Ministry

of Religion (Menteri Agama) again proposed the perimeter of “agama” as

indicating equal validity as gestured in the previous propositions. “Agama” as

authorized by the Indonesian state includes requirements that it (1) be an

encompassing way of life with concrete regulations, (2) a teaching about the

oneness of God; (3) include a holy book, which codifies a message sent down to

prophet(s) through a holy spirit; and (4) be led by a prophet.

The state views all religions outside

these limitations as ‘tribal’ beliefs, and therefore are ‘superstitious’ within the

working frameworks of this discourse. With the Ministry of Home Affairs (Menteri

Dalam Negeri) decree No. 477/74054 on November 18th 1978, the government

explicitly states that the religions ‘acknowledged’ in Indonesia are

Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism and Buddhism” .

Dalam konsep sosiologi, agama termasuk bagian dari lembaga sosial yang

memiliki sifat universal, tetapi bentuknya sangat bervariasi. Dalam perspektif

sosiologis, agama bukan sebagai sesuatu yang transenden, melainkan sebagai

sesuatu yang profan berdasarkan realitas sosial dalam memahaminya. Robert N.

Bellah sebagaimana yang dikutip oleh Djamali4 mendefinisikan agama dengan

mengikuti Paul Tillich, yakni “agama sebagai struktur bermakna yang digunakan

manusia untuk menghubungkan dirinya dengan kepedulian-kepedulian

utamanya”.

Parsudi Suparlan, dalam Roland Robertson5 bahwa agama dapat

didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan

manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan

4 Djamali, R. Abdoel. 2003. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Raja

Grafindo Persada. Hlm.140. 5 Suparlan, Parsudi. 1991. dalam Ronald Robertson. Agama dalam Aplikasi dan

Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. v.

22

manusia dengan sesamanya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungan-

nya. Dalam definisi ini, sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau doktrin,

sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung-nya tidak nampak tercakup di

dalamnya. Karena itu, secara khusus, agama dapat didefinisikan sebagai suatu

sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam

menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini

sebagai yang gaib dan suci.

Menurut Emile Dukheim, agama merupakan salah satu kekuatan yang

mampu membentuk tanggung jawab moral dalam individu pemeluknya untuk

memenuhi tuntutan masyarakat yang bersang-kuttan, bahkan semenjak kehadiran

masyarakat manusia paling awal, agama menjadi demikian penting bagi para

pemeluknya baik secara individual maupun secara kolektif. Dalam karyanya “The

Elementary Forms of The Religious Life”, Dukheim mengatakan bahwa agama

adalah suatu suatu sistem kesatuan dari keyakinan dan praktek-praktek yang

bersifat relatif terhadap hal-hal yang secred, yakni segala sesuatu yang dihindari

atau dilarang dan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang mengajarkan

moral yang tinggi ke dalam suatu komuniti,yang disebut gereja dimana semua

orang mengidentifikasikan diri pada-nya.6

Menurut Canon, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin,

memberikan batasan yang lebih longgar mengenai agama, sebagai berikut:

“Agama mungkin secara generik didefinisikan sebagai sistem simbol

(seperti kata dan isyarat, cerita dan praktek, objek dan tempat) yang secara

religius berfungsi, yaitu rangkaian sistem simbol yang digunakan oleh

6 Durkheim, Emile. 1965. The Elementary Forms of Religious Life. New York: The Free

Press. Hlm. 62.

23

partisipan untuk mendekat-kan diri kepada, hubungan yang benar dan

sesuai dengan segala sesuatu yang dianggap realitas paling puncak”.

Meskipun terdapat berbagai ragam cara memahami dan mendefinisikan

agama, satu hal yang penting ditekankan oleh Canon, dalam Syamsul Arifin

bahwa semua tradisi agama menekankan pada suatu praktik keagamaan yang

menuntut keterlibatan para pelakunya secara mendalam sehingga dapat

mengembangkan kedekatan dengan apa yang diyakini sebagai Realitas Mutlak

(Ultimate Reality).

Hal inilah yang oleh Joachim Wach7 disebut sebagai pengalaman

keagamaan, yakni suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas

Mutlak. Pengalaman keagamaan dapat terwujud dalam tiga dimensi, yakni

pemikiran keagamaan, peribadatan atau ritual keagamaan, dan kemasyarakatan

atau sosial kemasyarakatan.

Dalam konteks ini, simbol dapat mempertemukan antara dua realitas yang

memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga banyak ilmuwan yang memandang

simbol sebagai salah satu inti dalam sistim agama. Geertz, misalnya,

memposisikan simbol sebagai hal pertama yang menentukan seluruh rangkaian

dalam aktivitas keagamaan yang dijalani oleh manusia.Hal ini terlihat pada

definisi agama yang dirumuskan oleh Geertz8 (1973: 90), yakni:

“Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan

perasaan-perasa-an (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat,

menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara

7 Wach, Joachim. 1985. Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengamalan

Keagamaan (Terj.). Djamanuri. Jakarta: Rajawali. Hlm. 39. 8 Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. Hlm. 90.

24

menformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang

berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti

konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencer-minkan

kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut

nampaknya se-cara tersendiri (unik) adalah nyata ada”.

Dengan demikian, simbol dalam agama mengandung pengertian-

pengertian sebagai sebuah wahana makna yang menghasilkan kecocokan bagi

pelakunya. Sistim simbol agama secara inheren melekat dan dilekatkan makna-

makna tertentu, yang kemudian membentuk suatu tradisi bagi para pelakunya.

Kemudian manusia melakukan relasi secara lebih dekat dengan Realitas Mutlak

melalui simbol-simbol yang dipandang memiliki makna tertentu.

Nilai-nilai budaya yang menjadi spirit dan roh berasal dari kepercayaan

tradisional yang lahir dan telah ada sejak lama, bahkan telah ada sebelum agama-

agama besar masuk ke wilayah Nusantara, seperti Hindu, Budha, Kristen,

Katholik, Islam, dan Konghucu. Kepercayaan keagamaan ini bersifat lokal, bukan

aliran kepercayaan sebagaimana yang dibina oleh Kementerian Pendidikan dan

kebudayaan, dan bukan agama-agama besar sebagaimana yang dibina oleh

Kementerian Agama, melainkan agama atau kepercayaan lokal yang dulunya

sudah pernah ada dan hingga sekarang tetap bertahan atau berkembang terus serta

dianut oleh sekelompok masyarakat di lingkungan setempat.

Dalam penelitian ini, menurut analisis peneliti bahwa Tao diposisikan

sebagai agama lokal yang dimaksud adalah suatu kesatuan sistem keyakinan dan

ritual yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam

menginterpretasikan dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan

diyakini sebagai yang gaib dan suci. Kelompok masyarakat Etnik Tionghoa yang

25

meyakini Tao sebagai agama nenek moyang yang berasal dari ajaran Kitab Suci

Dao De Tjing. Pemahaman agama seperti ini dapat diperuntukkan bagi

kepercayaan lokal yang memiliki seperangkat gagasan atau ide-ide yang dijadikan

sebagai doktrin untuk bertindak secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Kepercayaan lokal ini bukan aliran kepercayaan sebagaimana yang dibina oleh

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan bukan pula sebagai agama-agama besar,

melainkan kepercayaan yang sudah pernah adsejak dulu dan tetap bertahan hingga

sekarang karena dianut oleh sekelompok masyarakat di lingkungan setempat.

Agama dalam pengertian seperti ini dapat dikatakan sebagai religi,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat9 bahwa tiap religi

merupakan suatu sistem yang terdiri dari 4 (empat) komponen, yaitu (1) emosi

keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap relijius; (2) sistem keyakinan

yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat

Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural), serta segala nilai, norma dan

ajaran dari religi yang bersangkutan; (3) sistem ritus dan upacara yang merupakan

usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau mahluk-

mahluk halus yang mendiami alam gaib; (4) umat atau kesatuan sosial yang

menganut sistem keyakinan tersebut (dalam komponen 2), dan yang

melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut (dalam komponen 3).

Dengan menggunakan istilah religi, Koentjaraningrat10

membedakan

tiga pengertian, yaitu (1) agama dipakai untuk menyebut semua agama yang

diakui secara resmi dalam negara kita: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan

9 Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Cet. VI. Jakarta: PT.

Gramedia. 10

Ibid.

26

Buddha, (2) religi untuk sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi,

seperti Konghucu, Seventh Day Advent, Gereja Pinkster, dan gerakan-gerakan

kebatinan, dan sebagainya, (3) kepercayaan yang mempunyai arti yang khas,

yaitu, komponen kedua dalam tiap agama maupun religi (sistem keyakinan yang

mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan,

tentang wujud dari alam gaib, supernatural, serta segala nilai, norma dan ajaran

dari religi yang bersangkutan).

Agama merupakan suatu ajaran yang berasal dari Tuhan yang berisikan

tentang norma- norma yang berfungsi menjadi acuan bagi perilaku manusia di

dunia ini. Agama-agama yang berkembang dalam masyarakat, dapat dipandang

dari perspektif teologis sekaligus sosiologis. Namun demikian kedua perspektif

ini akan bertemu dan bermuara pada satu hal yang sama yaitu masyarakat itu

sendiri. Bahkan agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang

universal oleh karena semua masyarakat memiliki suatu cara berfikir dan pola

perilaku yang layak disebut sebagai agama atau dipandang sebagai sikap religius

yang diwujudkan dalam simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik guna

menunjukkan atau memahami eksistensi keberadaan dirinya dalam kehidupan

ini11

. Keterkaitan erat antara kehidupan manusia dan keberlanjutan agama dalam

suatu masyarakat menunjukkan saling ketergantungan keduanya dalam

membangun realitas obyektif dan subyektif manusiawi dalam sejarah suatu

11

Sonderson, Stephen K. 1993. Macrosociology. (terj.). Farid Wajidi dkk. Sosiologi

Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Hlm. 517.

27

masyarakat12

yakni yang duniawi dan yang ilahi dalam kepercayaan dan perilaku

personal-personal manusia anggota masyarakat tersebut.

Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Luckmann13

, bahwa agama

merupakan kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat biologisnya

melalui pembangunan semesta-semesta makna yang obyektif, mengikat secara

moral, dan meliputi budaya. Karena itu agama bukan saja fenomena sosial (seperti

pendapat Durkheim) tetapi bahkan adalah fenomena antropologi par-excellence.

Teristimewa agama itu disamakan dengan transendensi diri simbolik, sehingga

segala sesuatu yang benar-benar manusiawi dengan demikian adalah religius.

Menurut Sonderson14

harus ada tiga elemen pokok yang menunjang

terbentuknya definisi agama, yaitu:

a. Agama selalu meliputi seperangkat ritual atau praktek maupun seperangkat

kepercayaan, di mana kepercayaan ritual itu terorganisir secara sosial dan

diberlakukan oleh anggota-anggota masyarakat atau beberapa segmen

masyarakat.

b. Kepercayaan-kepercayaan yang bersangkutan dipandang benar hanya

berdasarkan keyakinan, sehingga pada umumnya tidak ada keinginan

memvaliditaskan secara empirik karena tidak ada sangkut pautnya dengan

pembuktian dan kesahihan ilmiah.

c. Agama mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang ada di atas dan di

balik dunia sehari-hari yang disaksikan dan alamiah.

12

Berger, Peter L. 1991. The Secred Canopy. (terj.). Hartono. Langit Suci: Agama

Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. Hlm. 59. 13

Ibid. Hlm.205. 14

Sonderson, Stephen K. Op.cit. Hlm. 520.

28

Agama dalam kehidupan manusia dapat dipahami dan diamalkan menurut

atau sesuai dengan pemahaman dan pengalaman pemeluk agama tersebut.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wach bahwa pengalaman keagamaan dapat

terwujud dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi pengalaman keagamaan tersebut

mencakup: dimensi pemikiran keagamaan, dimensi peribadatan atau ritual

keagamaan, dan dimensi kemasyarakatan atau sosial kemasyarakatan15

.

Berangkat dari berbagai pengertian agama di atas, dapat digarisbawahi

bahwa agama adalah bagian yang penting dan sentral di dalam kehidupan

manusia, baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Agama secara hakiki

mengandung unsur-unsur yang suci dan ilahi yang dapat menolong manusia untuk

memaknai kehidupannya di dunia dalam relasi yang harmonis dengan Tuhan,

sesama manusia, dan lingkungan alamnya. Di samping itu agama adalah bagian

dari struktur sosial masyarakat. Sifat historis dan empirik agama ini dapat dilihat

dari fungsinya di dalam masyarakat. Salah satu fungsi sosial agama menurut

Durkheim adalah menjamin daya rekat masyarakat (social cohesion).

Oleh karena itu, sesungguhnya pengertian agama lebih tepat didekati

sebagai keagamaan, oleh karena setiap tindakan manusia dan masyarakat yang

mengakui adanya unsur-unsur yang suci dan ilahi dalam kehidupan tidak bisa

disangkal adalah tindakan religius. Dalam penelitian ini, agama dipahami sebagai

bagian yang integral dengan kebudayaan masyarakat penganutnya yang terwujud

dalam bentuk pandangan hidup, nilai-nilai sosial, dan tradisi-tradisi.

15

Wach, Joachim. Op.cit. 108.

29

Kehidupan beragama dipandang sebagai fenomena sosial yang

ditimbulkan oleh agama dan penyikapan masyarakat terhadap agama itu sendiri16

.

Fenomena sosial tersebut dapat kita kategorikan dalam dua hal, yaitu Pertama,

fenomena sosial yang ditimbulkan oleh agama berupa struktur sosial, pranata

sosial, dan dinamika masyarakat. Kedua, sikap masyarakat terhadap agama,

seperti pola pemahaman, stereotype komitmen dan tingkat keberagamaan,

perilaku sosial sebagai manifestasi keyakinan doktrin agama. Fenomena sosial itu

dapat kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimanakah struktur sosial, pranata

sosial, dan dinamika sosial komunitas umat tridharma sebagai refleksi keagamaan

mereka. Dalam kehidupan beragama menurut konsep Wach yaitu bahwa agama

adalah sistem kepercayaan, mempunyai suatu sistem kaidah yang mengikat

penganutnya atau peribadatan, dan mempunyai sistem perhubungan dan interaksi

sosial atau kemasyarakatan. Sedang dalam pengalaman keagamaan menurut Wach

dapat terwujud dalam tiga aspek yaitu aspek kepercayaan, aspek peribadatan, dan

aspek kemasyarakatan17

. Karena itu, dalam hal ini akan dilihat tentang agama

dalam ketiga aspek tersebut, sehingga tidak hanya pada aspek kepercayaan saja.

Dimensi pemikiran diterapkan untuk mengungkap tentang materi

pembinaan dalam pemikiran atau keyakinan keagamaan. Pada dimensi ini akan

mencakup konsepsi ketuhanan, sifat-sifat Tuhan, dewa, makhluk halus, hakekat

hidup sesudah mati. Sistem keyakinan erat hubungannya dengan sistem upacara

16

Suprayogo, Imam. dan Tabrani. Op.cit. Hlm.16. 17

Wach. Op.cit.17.

30

serta menentukan tata urut dari unsur dan rangkaian acara serta peralatan yang

dipakai dalam upacara18

.

Dimensi peribadatan merupakan pengamalan keagamaan yang nyata yaitu

suatu tanggapan total mendalam atau integritas atas Tuhan. Pada dimensi ini akan

digunakan untuk pengungkapan materi pembinaan dalam aspek ritual atau

peribadatan. Sedang upacara/ritual ini sebuah sistem upacara yang terdiri atas

aneka macam upacara seperti berdoa, bersujud, berkurban, bersesaji, berpuasa dan

lainnya. Beberapa jenis upacara keagamaan tersebut ada yang dilaksanakan secara

siklus atau berkala, dan ada pula upacara yang dilakukan hanya sekali waktu atau

tidak berkala19

.

Dimensi yang ketiga, yaitu persekutuan atau organisasi. Pada dimensi ini

sebenarnya terbentuk karena adanya dimensi pemikiran dan dimensi peribadatan.

Persekutuan atau kelompok ini bisa berbentuk kekerabatan, komunitas, dan

organisasi religius. Salah satu organisasi religius ini bisa berbentuk suatu

organisasi penyiaran agama20

.

Kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah kepercayaan.

Menurut Kuntjaraningrat kepercayaan adalah suatu keyakinan terhadap konsepsi

tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akherat serta segala nilai,

norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan21

. Sistem kepercayaan erat

berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur-

18

Koentjaraningrat. 1994. Budaya Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 147. 19

Ibid. Hlm.147. 20

Ibid. Hlm.148. 21

Ibid. Hlm. 377.

31

unsur rangkaian upacara serta Koentjaraningrat, peralatan upacara22

. Sistem

upacara merupakan manifestasi dari religi. Sistem upacara meliputi berbagai

upacara seperti berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya23

.

Berbicara tentang negara kita akan melihat bahwasanya negara memiliki

sejarah panjang secara genus, yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan

memiliki kekhususannya sendiri. Dan akhirnya negara modern adalah hasil dari

proses historis tersebut untuk menemukan suatu bentuk institusi yang

terorganisasikan dasar-dasar penggunaan kekuasaan, salah satu bentuk akhirnya

dikenal sebagai negara kebangsaan24

.

Anasir umum tentang negara dewasa ini mensyaratkan sejumlah entitas

yang harus dipenuhi ketika negara itu berdiri. Pertama, adanya suatu wilayah.

Kedua, adanya warga negara (staatsnationalen,staasburger) atau bangsa-bangsa

(staatsvolk). Ketiga, adanya suatu pemerintahan yang berdaulat25

.

Soepomo dengan teori negara integralistik-nya, berpendapat bahwa negara

dengan karakteristik sebagai organisasi kekuasaan dengan susunan masyarakat

yang bersifat integral seluruh anggota yang tergabung di dalamnya berhubungan

erat satu sama lain dan merupakan satu persatuan masyarakat yang organis. Atau

dapat disimpulkan seorang anggota negara - dalam hal ini warga negara -

memiliki korelasi yang erat dengan negara dalam suatu relasi kekuasaan.

22

Ibid. Hlm. 157. 23

Ibid. Hlm. 24

Haryono. Op.cit.Hlm.53. 25

Utrecht, E. 1957. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cetakan Ke-empat. Jakarta:

Ichtiar .

32

Agama menjadi suatu fokus bahasan yang menarik bagi setiap orang dan

hal ini berlangsung sejak awal manusia berada di dunia, tidak hanya para filsuf era

Yunani hingga Freud, semua tertantang untuks membicarakan tentang konsepsi

agama. Herodotus (484-425 BC) yang menjelaskan Dewa Amon dan Horus yang

diyakini oleh masyarakat Mesir dianggapnya memiliki persamaan dengan Dewa

Zeus dan Apollo yang dipuja di Yunani, pemikiran Herodotus ini menukilkan

bahwa kemunculan teori-teori atau konsepsi tentang agama telah dimulai sejak

lama.

Namun baru pada medio pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20

kaum intelektual ingin melakukan investigasi yang mendalam tentang agama

dengan mengaplikasikan pengetahuan ilmiah seperti studi-studi arkeologi, sejarah,

antropologi, etnografi, dan mitologi yang sangat mengedepankan bukti-bukti

empiris yang mungkin tidak ditemukan dalam teologi.

Melalui bahasa, agama yang berkembang dalam suatu sistem masyarakat

dapat diketahui, bila nilai-nilai moral didalamnya merupakan hasil olah wicara

dari anggota masyarakat tersebut dengan mempersonifikasi benda-benda di sekitar

mereka sebagai Dewa atau Tuhan, seperti yang terjadi pada orang-orang Yunani.

Contoh, dari asal kata “Appolo” berarti “matahari” dan “Daphen” yang berarti

“fajar”, hingga kemudian ekstensifikasi makna timbul akibat penyakit bahasa

(dissease of language) menjadi nama Dewa Appolo dan Dewi Daphne.

Antropolog Edward Burnet Tylor menilai untuk memahami agama kita

harus menggunakan pendekatan sejarah, serta penekanan pada etnologi dan

etnografi. Tylor menyatakan bahwa tidak hanya bahasa yang menyokong

33

kelahiran “agama” dalam suatu masyarakat, agama lebih dari sekedar suatu

kesalahan bahasa dalam aplikasinya. Agama lebih mendekati dengan keyakinan

manusia untuk percaya pada mahluk spiritual, Tylor menyadari karakteristik

agama esensinya adalah animisme (berasal dari bahasa latin, anima, berarti roh).

Agama berarti mempercayai akan adanya anima (roh) yang bersifat sakral,

transeden, dan memiliki suatu realitas kesempurnaan yang berbeda dengan

manusia.

Seiring dengan perjalanan peradaban manusia dan perkembangan logika

berpikir animisme berkembang menjadi politeisme dalam mitologi Yunani

(masyarakat dunia lainnya), hingga mencapai kepercayaan pada wujud Tuhan

tertinggi yang muncul pada agama-agama peradaban tinggi laiknya Yahudi dan

Kristen26

(Pals, 2001:46).

Mircea Elliade dalam bukunya yang berjudul The Sacred and The Profane

mengungkapkan teorinya tentang asal-usul agama, untuk memahami agama kita

harus mengetahui apa yang terjadi pada masa sebelum peradaban modern. Bagi

masyarakat purba (archaic people) terdapat kehidupan yang didasarkan pada dua

bidang yang berbeda, yakni bidang sakral dan bidang profan.

Bidang sakral (suci), adalah wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa,

mengesankan dan penting. Sementara bidang profan bersifat kontraris dengan

bidang sebelumnya, bidang profan bersifat fana, yang menghilang dan mudah

pecah, penuh bayang-bayang. Maka yang sakral bersifat abadi, penuh dengan

26

Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. (Dari Animisme E.B.Tylor,

Materalisme Karl Marx Hingga Antropologi Budaya C.Geertz). Yogyakarta:

Penerbit Qalam. Hlm.274-282.

34

substansi dan realitas keteraturan dan kesempurnaan dari dewa atau sang pencipta,

sedang profan adalah wilayah mahluk, yang dapat berubah-ubah, dan sering

kacau.

Elliade27

kemudian menambahkan pendapatnya dalam karya selanjutnya

Patterns in Comparative Religion Dia percaya akan independensi agama, yang

menurutnya tidak dapat dijelaskan melalui perspektif diluar fenomena keagamaan

itu sendiri:

Hanya akan dianggap demikian jika ia dipegang menurut tingkatannya

sendiri, yakni, jika ia dipelajari sebagai sesuatu yang religius. Mencoba

untuk menangkap esensi dari fenomena semacam ini dengan alat fisiologi,

psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, atau studi yang lain adalah salah;

ia kehilangan suatu unsur yang unik dan tak dapat direduksi di dalamnya-

unsur yang sakral.

Elliade meyakini bahwa pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para

ahli dengan menggunakan pendekatan ilmiah, akan mereduksi makna dari agama

itu sendiri. Seperti yang kita tahu pendekatan ilmiah melalui serangkaian disiplin

ilmu pengetahuan hanya mengedepenkan objektifitas dari bukti-bukti empiris

terhadap keberadaan Tuhan, dimana sains adalah cara paling handal untuk

mengungkapkan kebenaran, sementara agama adalah kekuatan terbesar untuk

menciptakan makna28

Dan dari pendekatan ilmiah segala dogmatika teologis yang

27

Elliade, Mircea. 1949. “Patterns in Comparative Religion (Terj.Rosemary Sheed)”.

New York: Meridian Books. dalam Daniel L.Pals. 2001. “Seven Theories of

Religion (Dari Animisme E.B.Tylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi

Budaya C.Geertz)”. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Hlm. xiii. 28

Capra, Fritjof: 2003, The Tao of Physics: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan

Mistisme Timur. Jakarta: Jalasutra. Hlm.13.

35

harus dipercayai dan diyakini oleh umat mampu dibuktikan, ekstremnya

ekspektasi akan keberadaan Tuhan dapat dilihat secara kasat mata.

Beberapa pendapat yang diungkap oleh tokoh-tokoh diatas memberikan

gambaran bahwa munculnya agama sepanjang perkembangan peradaban manusia

memang diawali dengan adanya keyakinan terhadap suatu wujud yang sakral,

diluar keberadaan manusia, yang tidak terjangkau dengan nalar. Religiusitas

seseorang pemeluk agama (umat) tidak dapat dicampuri oleh negara melalui

interpretasi normatif, negara tidak dapat mengalienasi keberadaan agama dan

mereduksi hak-hak umat hanya karena deskripsi suatu agama tertentu berbeda

dengan spesifikasi umum.