BAB II SYIRKAH DALAM ISLAM A. Pengertian...
Transcript of BAB II SYIRKAH DALAM ISLAM A. Pengertian...
14
BAB II
SYIRKAH DALAM ISLAM
Dalam bab ini penulis akan menguraikan pengertian syirkah, landasan
hukum syirkah, syarat dan rukun syirkah, jenis-jenis syirkah, pembagian
keuntungan dalam syirkah dan berakhirnya syirkah.
A. Pengertian Syirkah
Dalam kamus hukum, musyarakahh berarti serikat dagang, kongsi,
perseroan, persekutuan.1 Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, syirkah,
musyawarah dan syarikah, dalam bahasa Arab berarti persekutuan,
perkongsian dan perkumpulan. Sedangkan dalam istilah fiqh, syirkah berarti
persekutuan atau perkongsian antara dua orang atau lebih untuk melakukan
usaha bersama dengan tujuan memperoleh keuntungan.2
Dalam kamus istilah fiqih, syirkah menurut bahasa ialah
perseroan/persekutuan. Sedangkan menurut istilah syara’ ialah kerja sama
antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau ekonomi, bekerjasama
dalam usaha perdagangan atau pada harta, untuk memperoleh keuntungan
bersama dengan syarat dan ketentuan tertentu yang telah disepakati bersama.3
Dalam Suplemen Ensiklopedi Islam, syirkah secara etimologi berarti
percampuran antara satu harta dengan harta lainnya sehingga sulit dibedakan.
1 Drs. Sudarsono, SII, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, hlm. 285 2 Prof. Dr. H. Harun Nasution, (eds), Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan,
1992, hlm. 907 3 M. Abdul Mujieb, et al., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm.
344
15
Dalam buku ini juga terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ahli fiqih
tentang syirkah. Ulama mazhab maliki berpendapat, syirkah adalah suatu izin
untuk bertindak hukum bagi dua orang yang bekerja sama terhadap harta
mereka. Bagi ulama mazhab syafi’i, syirkah adalah adanya hak bertindak
hukum bagi dua orang/lebih pada sesuatu yang disepakatinya. Menurut
mazhab hanafi, syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang
bekerjasama dalam modal dan keuntungan. Sekalipun definisi yang
dikemukakan para ulama itu secara redaksional berbeda, pada dasarnya
definisi mereka mempunyai esensi yang sama, yaitu ikatan kerjasama yang
dilakukan dua orang/lebih dalam perdagangan. Apabila akad syirkah telah
disepakati, maka semua pihak berhak bertindak hukum dan mendapat
keuntungan terhadap harta serikat itu.4 Menurut Heri Sudarsono, syirkah
berarti kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di
mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana yang telah ditetapkan
dengan keuntungan dan risiko yang akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.5
Beberapa pengertian al-syirkah secara terminologis yang disampaikan
oleh fuqaha madzhab empat adalah sebagai berikut: menurut fuqaha
Malikiyah, al-syirkah adalah kebolehan (atau izin) bertasharruf bagi masing-
masing pihak yang berserikat. Maksudnya masing-masing pihak saling
memberikan izin kepada pihak lain dalam mentasharrufkan harta (obyek)
4 Abdul Aziz Dahlan (ads), Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve: 1996, hlm. 193 5 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hlm. 52
16
perserikatan. Menurut fuqaha Hanabilah, al-syirkah adalah persekutuan dalam
hak dan tasharruf. Menurut fuqaha syafi’iyyah, al-syirkah adalah berlakunya
hak atas sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan persekutuan. Sedang
menurut fuqaha Hanafiyah, al-syirkah adalah akad antara pihak-pihak yang
berserikat dalam hal modal dan keuntungan.6
B. Landasan Hukum Syirkah
Islam telah membenarkan seorang muslim untuk menggunakan
hartanya, baik itu dilakukan sendiri atau dilakukan dalam bentuk kerjasama.
Oleh karena itu Islam membenarkan kepada mereka yang memiliki modal
untuk mengadakan usaha dalam bentuk syirkah, apakah itu berupa perusahaan
ataupun perdagangan dengan rekannya.7
Adapun landasan hukum yang diperbolehkannya syirkah yaitu :
1. Al-Qur’an
)12:النساء( الثلث فهم شرآاء في
“Maka mereka bersyarikat pada sepertiga” (Q.S. An Nisa: 12)
Ayat ini menurut para ahli fikih berbicara tentang perserikatan
harta dalam pembagian waris.8
6 Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002, hlm. 192 7 M. Yusuf Al Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Alih bahasa oleh H. Mu’alam
Hamidy, Surabaya: Bina Ilmu, 1993, hlm. 375 8 Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997, hlm. 1711
17
Menurut Imam ‘Ala Aldin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al
Baqdadiy, para ulama sepakat bahwa berserikat dalam masalah waris itu
diperbolehkan. Hal ini tergambarkan pada penafsiran ayat di atas.9
وإن آثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض إلا الذين آمنوا وعملوا )24:ص(الصالحات
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih”. (QS. Shad: 24)
Ayat di atas menyebutkan bahwa الخلطاء dalam tafsir al khazin
adalah berserikat yang biasanya (pada zaman Nabi Dawud) mendholimi
satu sama lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan lafadz selanjutnya
yaitu kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih.10
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenaan dan pengakuan Allah
SWT. akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja
dalam QS. An-Nisa: 12 perkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena
waris, sementara dalam QS. Shad: 24 terjadi atas dasar akad (Ikhtiyari).11
2. Al Hadits
Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda:
اناثالث الشر يكين مالم يخذ : ان اهللا يقول : عن ابي هريرة رفعه قال ) رواه أبوداود(فاذاخا نه خرجت من بينهما , احدهماصاحبه
Dari Abu Hurairah ia merafa’kannya- berkata: sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Aku (orang) ketiga dari dua orang yang berkongsi selama
9 Iman ‘Ala Aldin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al Bagdadiy, Tafsir Al Khazin,
Beirut: Daru al Kutud Al Ilmiah, Libanon, Juz 2, 1995, hlm. 29 10 Ibid., Juz 5, hlm. 273 11 M. Syafii Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Gema Insani
Press, 1999, hlm. 130
18
salah seorang di antara keduanya tidak berkhianat kepada yang lainnya. Apabila ia berkhianat kepada yang lainnya maka aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud) 12
Maksud dari hadits di atas adalah bahwa Allah SWT akan
menurunkan barakah pada harta mereka, memberi pengawasan dan
pertolongan kepada mereka dan mengurus terpeliharanya atas harta
mereka selama dalam perkongsian itu tidak ada pengkhianatan tetapi
apabila ada pengkhianatan maka Allah SWT akan mencabut barakah dari
harta tersebut.13
3. Ijma Ulama
Sebagaimana yang dikutip oleh Syafi’i Antonio dalam bukunya
Apa dan Bagaimana Bank Islam menerangkan bahwa Ibnu Qudamah telah
berkata dalam bukunya Al Mughni 5/109:
“Kaum muslimin telah berkonsensus akan legitimasi musyarakah secara
global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari
padanya”.14
Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum
syirkah adalah mubah dan boleh dilakukan antara sesama muslim atau antara
orang Islam dan orang kafir dzimmi.15
12 Faishol bin Abdul Aziz Al Mubarok, Nailul Authar, Terj. A. Qadir Hassan, et al.
“Terjemahan Nailul Authar; Himpunan Hadits-hadits Hukum”, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997, hlm. 1830
13 Ibid., hlm. 1833 14 H. Karnaen A.P., H. M. Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1992, hlm. 29 15 M. Ismail Yusanto, M. Karebet Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 128
19
C. Syarat dan Rukun Syirkah
Menurut Drs Muh Zuhri syirkah atau kerja sama yang dikemukakan
dalam fiqh mu’amalah mempunyai syarat-syarat:
1. Adanya perkongsian dua pihak atau lebih
2. Adanya kegiatan dengan tujuan mendapatkan keuntungan materi
3. Adanya pembagian laba atau rugi secara proporsional sesuai dengan
perjanjian
4. Tidak menyimpang dari ajaran Islam 16
Dalam kitab Kifayatul Akhyar syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebelum melakukan syirkah yaitu:
1. Benda (harta) atau modal yang disyirkahkan dinilai dengan uang
2. Modal yang diberikan itu sama dalam hal jenis dan macamnya
3. Modal tersebut digabung sehingga tidak dapat dipisahkan antara modal
yang satu dengan yang lainnya
4. Satu sama lainnya membolehkan untuk membelanjakan harta tersebut
5. Keuntungan dan kerugian diterima sesuai dengan ukuran harta atau modal
masing-masing atau menurut kesepakatan antara pemilik modal.17
Syarat-syarat umum syirkah menurut Abdul Aziz Dahlan yaitu:
1. Perserikatan merupakan transaksi yang bisa diwakilkan
2. Pembagian keuntungan di antara yang berserikat jelas prosentasinya
16 Drs. Muh. Zuhri, Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan; Sebuah Tilikan
Antisipatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 162 17 Imam Taqyudin Abi Bakrin bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, Ter. Drs. Moh. Rifa’i,
et al. “Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar”, Semarang: CV. Toha Putra, 1992, hlm. 210
20
3. Pembagian keuntungan diambil dari laba perserikatan, bukan dari harta
lain.18
Syarat Syirkah menurut kamus istilah fiqih yaitu:
1. Lafadz perjanjian harus jelas yaitu anggaran dasar dan anggaran rumah
tangganya
2. Anggota syirkah hendaklah orang yang sehat akal, baligh, dan merdeka
(tidak dipaksa)
3. Modal pokok syirkah hendaknya jelas, artinya dapat dihitung dengan nilai
uang. Apabila terdapat 2 jenis barang pokok hendaklah dicampurkan
sebelum akad.19
Di samping adanya beberapa syarat dalam syirkah, juga dibutuhkan
beberapa rukun untuk dapat melaksanakan syirkah. Adapun rukun syirkah
menurut jumhur ulama yaitu:
1. Shighat/aqad (ijab dan qabul)
2. Pihak yang berakad, baik syariku al-mal maupun syariku al-badn
3. Usaha20
Kalimat akad hendaknya mengandung arti ijin untuk menjalankan
modal syirkahnya. Misalkan salah seorang melakukan syirkah dengan
mangungkapkan kata: “kita berserikat pada barang ini, dan saya ijinkan kamu
18 Abdul Aziz Dahlan (eds), Suplemen ensiklopedi Islam, Op.Cit., hlm. 128 19 M. Abdul Mujieb, et al., Op. Cit., hlm. 345 20 M. Ismail Yusanto, M. Karebet Widjayakusuma, Op. Cit., hlm. 128
21
menjalankannya dengan jalan jual beli atau lainnya”. kemudian yang lainnya
saling menjawab: “saya terima seperti yang engkau katakan itu”.21
Rukun syirkah menurut Sayyid Sabiq yaitu adanya ijab dan qabul.
Maka sah dan tidaknya syirkah tergantung pada ijab dan qabulnya. Misalnya:
aku bersyarikah dengan kamu untuk urusan ini dan itu, dan yang lainnya
berkata: aku telah terima.22 Maka dalam hal ini syirkah tersebut dapat
dilaksanakan dengan catatan syarat-syarat syirkah telah terpenuhi.
D. Jenis-jenis Syirkah
Sebagaimana yang dikutip oleh M. Ali Hasan dalam bukunya,
menurut Sayyid Sabiq syirkah ada empat macam, yaitu:23
1. Syirkah ‘Inan (العنان)
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam pemodalan
untuk melakukan suatu usaha bersama dengan cara membagi untung rugi
sesuai dengan jumlah modal masing-masing
2. Syirkah Mufawadhah ( الما وضة)
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan
suatu usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus sama banyak
b. Mempunyai wewenang untuk bertindak yang ada kaitannya dengan
hukum
21 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2000, hlm. 297 22 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa H. Kamaluddin A Marzuki, Fiqh Sunnah 13,
Bandung: Al Ma’arif, 1987, hlm. 195 23Ibid, hlm. 198-199
22
c. Seagama
d. Masing-masing anggota mempunyai hak untuk bertindak atas nama
syirkah
3. Syirkah Wujuh (الوجوه)
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli
sesuatu tanpa modal, tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan
dibagi antara sesama mereka.
4. Syirkah Abdan ( األبدان)
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan
suatu usaha atau pekerjaan. Hasilnya dibagi antara sesama mereka
berdasarkan perjanjian.
Dalam khasanah ilmu fiqh, musyarakah terdiri atas empat jenis:
syarikat keuangan (amwal), syirkah operasional (a’mal), syirkah good will
(wujuh), dan syarikat mudharabah.24
Menurut ulama madzhab hanafi syirkah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Syirkah milik, terdiri dari:
a. Syirkah Jabr
Yaitu perserikatan karena ketidaksengajaan
b. Syirkah ikhtiyar
Yaitu perserikatan karena kemauan sendiri
2. Syirkah uqud terdiri dari
a. Syirkah dengan harta
24 Ir. H. Adiwarman Aswar Karim, SE, M.BA, MAEP, Ekonomi Islam Suatu Kajian
Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 81
23
b. Syirkah dengan badan/’amal
c. Syirkah dengan kemuliaan25
Dalam ensiklopedi hukum Islam, para ulama membagi syirkah dalam
dua bentuk yaitu:26
1. Syirkah Al-Amlak (perserikatan dalam pemilikan)
Adalah dua orang/lebih memiliki harta bersama tanpa melalui
akad syirkah. Syirkah dalam kategori ini terbagi menjadi dua bentuk yaitu:
a. Syirkah ikhtiyar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat)
Yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang
berserikat.
b. Syirkah jabr (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas
keinginan orang yang berserikat)
Yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih
tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima
dari seorang yang wafat.
2. Syirkah al-ukud (perserikatan berdasarkan suatu akad)
Adalah syirkah yang akadnya disepakati dua orang/lebih untuk
mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungan. Mazhab
Hambali membaginya dalam 5 bentuk yaitu:
a. Syirkah al-inan (penggabungan harta/modal dua orang/lebih yang
tidak harus sama jumlahnya)
25 Drs. Ghufron A. Mas’adi, Op.Cit., hlm. 193 26 Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Op.Cit., hlm. 1711-1713
24
b. Syirkah al-mufawadhah perserikatan yang modal semua pihak dan
bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya
harus sama dan keuntungan dibagi rata)
c. Syirkah al-abdan (perserikatan dalam bentuk kerjasama yang hasilnya
dibagi bersama)
d. Syirkah al-wujuh (perserikatan tanpa modal)
e. Syirkah al-mudharabah (bentuk kerjasama antara pemilik modal dan
seseorang yang punya keahlian dagang dan keuntungan perdagangan
dari modal itu dibagi bersama)
E. Pembagian Keuntungan dalam Syirkah
Pembagian keuntungan syirkah ditentukan dalam perjanjian sesuai
dengan proporsi masing-masing pihak, yakni antara BMT dan nasabah
penerima modal. Proses aplikasi pembiayaan syirkah ini dapat digambarkan
sebagai berikut.27
27 Prof. H. A. Djazulli, Drs. Yadi Janwari, M.Ag., Lembaga-lembaga Perekonomian
Umat; Sebuah Pengenalan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 75
Nasabah BMT
Keuntungan
Proyek/Usaha
Bagi hasil Keuntungan sesuai dengan Kontribusi Modal (nasabah)
25
Pembagian keuntungan bagi tiap partner harus dilakukan berdasarkan
perbandingan persentase tertentu. Menurut pengikut madzhab Hanafi dan
hambali, perbandingan keuntungan harus ditentukan dalam kontrak.
Penentuan jumlah yang pasti bagi setiap partner tidak dibolehkan, sebab
seluruh keuntungan tidak mungkin direalisasikan dengan melampaui jumlah
tertentu, yang dapat menyebabkan partner lain tidak memperoleh bagian dari
keuntungan tersebut. Menurut pengikut madzhab Syafi’i, pembagian
keuntungan tidak perlu ditentukan dalam kontrak, karena setiap partner tidak
boleh melakukan penyimpangan antara kontribusi modal yang diberikan dan
tingkat rasio keuntungan. Menurut Nawawi, keuntungan harus sesuai dengan
proporsi modal yang diberikan. Menurut Kashani (w. 578 H/1191 M), bahwa
keuntungan dibagi dalam porsi sama di antara partner, karena hukum
membolehkan pembagian keuntungan dalam porsi yang sama atau tidak
sama.28
Dalam persentase pembagian laba, Jordan Islamic Bank tidak
menyatakan adanya sekian persenpun untuk manajemen. Ia hanya menyatakan
bahwa laba bersih akan dibagi antara Bank dan mitranya sesuai dengan
kesepakatan atas rasio kontrak syirkah. Banque Misr (cabang-cabang syari’ah)
dalam kontrak syirkahnya menyatakan bahwa laba bersih akan dibagikan
dengan cara berikut: sekian persen untuk bank dan sekian persen untuk si
mitra. Sekian persen dari laba akan dialokasikan untuk Bank dan mitranya.
Menurut praktek Faisal Islamic Bank adalah sebagai berikut: laba
28 Abdullah Saeed, Islamic Banking and interest a study of the prohibition of riba and its contemporary. Terj. M. Ufuqul Mubin, et al. “Bank Islam dan Bunga; Studi Krisis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 110-111
26
didefinisikan sebagai laba bersih setelah dikurangi dengan seluruh biaya dan
sekian porsi dari laba ini akan diberikan kepada mitra. Saldo dibagikan antara
bank dan mitranya.29
Dari pembahasan tersebut tidak tampak adanya metode yang seragam
dalam pembagian laba di kalangan lembaga-lembaga keuangan Islam, meski
sebenarnya metode-metode yang digunakan oleh berbagai lembaga tampak
mirip.
F. Berakhirnya Syirkah
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, ulama fiqih mengemukakan
beberapa hal yang dapat membatalkan atau menunjukkan berakhirnya akad
syirkah secara umum yaitu:
1. Salah satu pihak mengundurkan diri, karena menurut para ahli fiqh, akad
perserikatan itu tidak bersifat dalam arti boleh dibatalkan.
2. Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia
3. Salah satu pihak kehilangan kecakapannya bertindak hukum, seperti gila
yang sulit disembuhkan
4. Salah satu pihak murtad (keluar dari agama Islam) dan melarikan diri ke
negeri yang berperang dengan negeri muslim karena orang seperti ini
dianggap sebagai sudah wafat.
Kemudian ulama fiqh juga mengemukakan hal-hal yang membuat
berakhirnya akad perserikatan secara khusus, jika dilihat dari bentuk
perserikatan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
29 Abdullah Saeed, Islamic banking and interest a study of riba and its contemporary interpretation, Terj. Arif Maftuhin “Menyoal Bank Syari’ah Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis”, Jakarta: Paramadina, 2004, hlm. 101-102
27
1. Dalam syirkah al-amwal, akad perserikatan dinyatakan batal apabila
semua atau sebagaian modal perserikatan hilang, karena obyek dalam
perserikatan ini adalah harta. Dengan hilangnya harta perserikatan, berarti
perserikatan itu bubar.
2. Dalam syirkah al-mufawadah, modal masing-masing pihak tidak sama
kualitasnya, karena al-mufawadah itu sendiri berarti persamaan, baik
dalam modal, kerja maupun keuntungannya yang dibagi.30
30 Abdul Aziz Dahlan, (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Op.Cit., hlm. 1715