Bab II Salsa 27 Maret 2015

28
BAB 2 SKRINING AUTISME MENGGUNAKAN ELECTROENCEPHALOGRAPHY DARI KEDOKTERAN 2.1 Penyakit Autisme 2.1.1 Definisi Penyakit Autisme Autisme pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun 1943 yaitu kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam reaksi afektif, minat yang sempit, dan keterbatasan penggunaan bahasa secara sosial, keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di lingkungannya (Wulandari, 2012). Menurut Ginanjar (2008), autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, kognitif, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensoris, belajar dan gejala sudah mulai tampak sejak berusia dibawah 3 tahun (Wulandari, 2012).

description

skripzi

Transcript of Bab II Salsa 27 Maret 2015

BAB 2

SKRINING AUTISME MENGGUNAKAN ELECTROENCEPHALOGRAPHY DARI KEDOKTERAN

2.1 Penyakit Autisme

2.1.1 Definisi Penyakit Autisme

Autisme pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun 1943 yaitu kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam reaksi afektif, minat yang sempit, dan keterbatasan penggunaan bahasa secara sosial, keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di lingkungannya (Wulandari, 2012).

Menurut Ginanjar (2008), autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, kognitif, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensoris, belajar dan gejala sudah mulai tampak sejak berusia dibawah 3 tahun (Wulandari, 2012).

2.1.2 Epidemiologi Penyakit Autisme

Autisme diperkirakan meningkat pesat sejak tahun 1960-an, dalam tingkat prevalensi Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara lima sampai 72 kasus per 10.000 anak. Perkiraan ini dipengaruhi oleh skrining, dan ukuran sampel, dengan ukuran sampel yang kecil sehingga perkiraan tinggi. Namun, dalam studi lain melaporkan prevalensi dari para peneliti terdapat 116 kasus per 10.000 anak untuk semua gangguan spektrum autisme. Mereka menggunakan sampel kecil anak-anak di South Thames, Inggris, dan mengandalkan skrining dan kasus-konfirmasi metode, dengan definisi yang luas dari gangguan ini. Ketika definisi autisme dipersempit, mereka melaporkan prevalensi 25 kasus per 10.000 (Levy, 2009).

Prevalensi autisme telah terus meningkat sejak pertama studi epidemiologi, yang menunjukkan bahwa 4 1 dari setiap 10.000 orang di Inggris memiliki autisme. Namun, prevalensi terus meningkat dalam dua dekade terakhir, terutama pada individu tanpa cacat intelektual, meskipun penggunaan konsisten DSM-IV. Peningkatan risiko faktor yang tidak dapat dikesampingkan. Saat ini, prevalensi di seluruh dunia rata-rata autisme adalah 0.62-0.70%, namun dari hasil survey terbaru perkiraan prevalensi mencapai 1-2%. Studi awal menunjukkan bahwa autisme 4-5 kali lebih laki-laki daripada perempuan (Cohen, 2014). Studi lain mengatakan dari hasil survey beberapa negara didapatkan dilihat pada grafik dibawah ini (Gambar 2.1).

Gambar 2.1: Epidemiologi Autisme

Dikutip dari McGowan (2012)

2.1.3 Etiologi Penyakit Autisme

Menurut Lumbantobing (2001), penyebab dari autisme dapat dipengaruhi oleh :

Faktor Keluarga dan Psikodinamik

Mulanya diperkirakan gangguan ini akibat kurangnya perhatian orang tua,tetapi penelitian terakhir tidak menemukan adanya perbedaan dalammembesarkan anak pada orang tua anak normal dari orang tua anak yangmengalami gangguan ini. Namun beberapa anak autisme berespon terhadapstressor psikososial seperti lahirnya saudara kandung atau pindahtempat tinggal berupa eksaserbasi gejala.

Kelainan Organobiologi neurologi

Berhubungan dengan lesi neurologi, rubella kongenital, cytomegalovirus,ensefalitis, meningitis, fenilketonuria, tuberous sclerosis, epilepsidan fragile x syndrome. Penelitian neuroanatomi menunjukkan bahwaautisme akibat berhentinya perkembangan dari serebelum, serebrum dansistem limbik. Pada MRI ditemukan hipoplasi vermis serebelum lobus VIdan VII. Pada sekitar 10-30% anak dengan autismedapat diidentifikasi faktor penyebabnya.

Faktor Genetik

Pada survey gangguan autisme ditemukan 2-4% saudara kandung jugamenderita gangguan autisme. Pada kembar monozigot angka tersebutmencapai 90% sedang akan kembar dizigot 0%.

Faktor Imunologi

Terdapat beberapa bukti mengenai inkompatibilitas antara ibu dan fetus,dimana limfosit fetus bereaksi terhadap antibodi ibu, sehinggakemungkinan menyebabkan kerusakan jaringan saraf embrional selama masagestasi.

Faktor Perinatal

Tingginya penggunaan obat pada selama kehamilan, respiratory disstres syndrome, anemia neonatus

Penemuan Biokimia

Pada sepertiga dari penderita autisme ditemukan peningkatan kadar serotoninplasma. Selain itu terdapat peningkatan asam homovanilik pada cairanliquor cerebrospinal.

2.1.5 Diagnosis Penyakit Autisme

ICD-10 International Classification off Diseases 1993 dan DSM-IV Diagnostic and Statistical Manual 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme infantil yang isinya saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah harus ada sedikitnya 6 gejala dari gangguan (1), (2), dan (3) seperti dibawah ini, dengana minimal 2 gejala dari gangguan (1) dan masing-masing 1 gejala dari gangguan (2) dan (3) (Fadhli, 2010).

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala di bawah ini:

Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai seperti kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.

Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.

Tidak ada empati dan tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini:

Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.

Bila anak dapat berbicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi.

Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.

Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru.

(3) Adanya suatu pola yang mempertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini:

Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan.

Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.

Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang, seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.

Autisme dapat disebabkan karena adanya kerusakan otak. Adapun cara lain untuk menegakkan diagnosis autisme selain melihat gejala-gejala autisme pada anak tersebut. Autisme dapat diluhat dari hasil pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Electroencephalography (EEG). (Takagaki, 2014)

2.2 Electroencephalography (EEG)

2.2.1 Definisi Electroencephalography (EEG)

Electroencephalography adalah suatu teknik pencitraan medis yang menggunakan aktivitas listrik yang dihasilkan oleh kulit kepala dari struktur otak. Electroencephalogram (EEG) (Gambar 2.2) didefinisikan sebagai aktivitas listrik yang direkam dari permukaan kulit kepala dan dibantu oleh elektroda logam dan media konduktif sebagai alat menangkap sinyal listrik otak (Teplan, 2002).

Gambar 2.2: Electroencephalography

Dikutip dari John (2013)

Untuk intepretasi hasil EEG akan menunjukkan perubahan-perubahan gelombang otak. Berikut macam-macam gelombang otak (Niedemeyer, 2004) :

Tabel 2.1: Tipe Gelombang Otak

Tipe Gelombang

Frekuensi

(Hz)

Lokasi

Normal

Patologis

Delta

>4 Hz

- Frontal(Dewasa)

- Posterior (Anak)

- Dewasa saat

tidur

- Bayi

-Lesi Subkortikal

- Lesi Diffus

- Hidrosefalus

Theta

4-7 Hz

-

- Anak-anak

- Mengantuk/

Bergairah

-Lesi Fokal Subkortikal

- Ensefalopati metabolic

- Hidrosefalus

Alpha

8-12 Hz

Posterior

Relaksasi

Mata menutup

Koma

Beta

12-30 Hz

Frontal

Aktivitas

Tegang

Konsentrasi

Penggunaan benzodiazepine

Gamma

30->100 Hz

Korteks Somatosensori

Penggunaan short term memory

Penurunan kognitif

Dikutip dari Niedemeyer (2004)

Gambar 2.3: Macam-Macam Gelombang Otak Normal

Dikutip dari Prasatana (2012)

Gambaran EEG yang dihasilkan akan dinyatakan normal bila tak ditemukan gelombang abnormal. Pada kondisi terjaga (awake) dan menutup mata maka irama background akan muncul di regio posterior berbentuk sinus berfrekuensi alfa dan gelombang beta yang maksimum di fronto sentral. Pada saat tidur maka akan nampak beberapa gelombang petanda stadium, seperti (Bintoro, 2012):

stadium 1 : background menghilang, frekuensi gelombang melambat, artefak otot

mulai berkurang, muncul POST, K komplek dan vertex

stadium 2 : gelombang sleep spindle.

stadium 3 : gelombang delta mulai muncul

stadium 4 : gelombang delta dominan

a b

Gambar 2.4: Gelombang otak abnormal, spike wave (a) dan sharp wave (b)

Dikutip dari Hamer (2000)

2.2.2 Indikasi Electroencephalography (EEG)

Menurut Niedermeyer (2004) pemeriksaan EEG dapat digunakan pada beberapa keadaan, sebagai berikut:

Membedakan serangan epilepsi dari jenis lainnya, seperti kejang psikogenik non-epilepsi, sinkop (pingsan), gangguan gerakan sub-kortikal dan migren.

Membedakan ensefalopati organik atau mengigau dari sindrom psikiatris primer seperti katatonia.

Berperan sebagai pemeriksaan tambahan kematian otak.

Menetapkan prognosis dalam kasus tertentu, pada pasien dengan koma

Menentukan efektivitas pengobatan epilepsi.

Untuk memantau kerusakan otak.

2.2.3 Prosedur Pemeriksaaan Electroencephalography

Adapun beberapa persiapan yang harus diperhatikan pasien sebelum melakukan pemeriksaan EEG, diantaranya (Mayo, 2009):

1.Pasien tidak dalam keadaan batuk, pilek atau demam.

2.Berhenti meminum obat tertentu (obat penenang).

3.Hindari makanan yang mengandung kafein ( seperti kopi, teh, soda, coklat)

sedikitnya 8 jam sebelum tes.

4.Hindari puasa malam sebelum prosedur, makanlah dalam porsi kecil sebelum

test, sebab gula darah rendah dapat mempengaruhi hasil EEG.

5.Rambut harus bersih, bebas dari minyak rambut. hair spray, gel, conditioner

atau cairan yang mengandung obat kulit (atau sebaiknya keramas terlebih

dahulu).

6.Tidur malam yang cukup.

7.Tidak perlu persiapan puasa.

8.Jelaskan prosedur tindakan pada klien.

9.Inform concent.

Berikut adalah prosedur yang akan dilakukan saat pemeriksaan EEG

(Bonamigo, 2011):

A. Preinteraksi

Jelaskan tujuan pemeriksaan pada klien

B. Interaksi

1. Cuci tangan.

2. Memakai handscoen.

3. Pastikan pasien sudah keramas sebelum pemeriksaan EEG.

4. Sebelum pemeriksaan jangan menggunakan minyak rambut,dan make up.

5. Untuk pemasangan elektroda yang benar,ukur kepala dengan teknik 10-

20 sistem (Gambar 2.5).

Gambar 2.5: EEG dengan Teknik 10-20 Sistem

Dikutip dari Duff (2004)

6. Setelah diukur berikan tanda dengan pensil khusus EEG disetiap titik

pelekatan elektroda.

7. Bersihkan tiap titik pelekatan elektroda dengan abrasive gel.

8. Letakan abrasive gel ke cutton bud kemudian gosok perlahan-lahan di titik

yang akan diletakan elektrodanya.

9. Elektroda pertama yang dipasang sebaiknya elektroda Referen (diletakan di

antara CZ dan FCZ),dan Ground (diletakan di FPZ).

10. Rekatkan elektroda ke kepala.

11. Perhatikan setelah pemasangan elektroda akan muncul nilai impendance di

layar monitor.

12. Bila angka dibawah 5 kohm (mesin EEG berwarna hijau dan berwarna

merah jika lebih dari 5),berarti pemasangan sudah baik.

13. Pada saat perekaman, biasanya pasien dalam kondisi terlentang, ganjal

kepala pasien dengan bantal, pergunakan bantal yang nyaman tapi tidak

mengganggu elektroda yang terpasang. Penulis menyarankan gunakan

bantal guling kecil (bantal bayi).

14. Tanyakan ke pasien apakah posisi kepalanya sudah nyaman dan tidak tegang. Beritahukan juga ke pasien agak tidak terlalu sering berkedip dan bergerak. Renggangkan rahang pasien, maksudnya antara gigi atas dan gigi bawah jangan menempel. Semua ini dimaksudkan agar mengurangi artefak yang timbul dari pasien sendiri.

15. Setelah semua prosedur diatas dilakukan, lihatlah ke monitor, apakah gelombang EEG sudah baik (tidak banyak artefak), Bila sudah lakukanlah perekaman.

16. Dalam awal perekaman perintahkanlah ke pasien agar membuka dan menutup mata, lakukanlah beberapa kali. Jangan lupa memberikan marker pada saat melakukan setiap perintah yang kita minta. Biasanya pada mesin EEG sudah terdapat template marker seperti eye open, eye close.

17. Aktivitas pasien harus selalu dipantau, misalkan saat pasien bergerak atau batuk, berikanlah tanda. Ini memudahkan dokter dalam membaca hasil rekaman. Saat ini teknologi EEG sudah berkembang, selain menggunakan marker untuk menandai setiap aktivitas pasien ada juga EEG dengan fasilitas video recording, sehingga saat hasil EEG dibaca, dokter pembaca dapat melihat langsung aktivitas pasien selama perekaman bersamaan dengan gelombang EEG.

18. Untuk jenis mesin EEG lama, operator harus merubah montage tiap beberapa menit, Biasanya 2 sampai 3 menit perekaman operator harus merubah montage , dari montage I sampai VIII

19. Di mesin EEG terbaru operator sudah tidak perlu lagi merubah montage, dikarenakan pada saat merekam semua montage sudah direkam oleh mesin EEG.

2.3 Analisa Pemeriksaan Electroencephalography (EEG) Pada Anak Autisme

Penyebab autisme itu sendiri sebenarnya masih belum jelas. Namun beberapa peneliti mengatakan penyebab terbanyak adalah kelainan genetik seperti abnormalitas kognitif, kurangnya kemampuan berbicara dan kelainan kromosom (Arvin, 2000). Selain itu autisme dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada otak, dimana kerusakan otak dapat menimbulkan kejadian epilepsi. Sehingga autisme dengan epilepsi mempunyai kaitan yang erat. Kehadiran epilepsi di Autism Spectrum Disorder (ASD) telah dikenal sejak Kanner pertama kali melaporkan kasus tersebut pada tahun 1943. Dalam beberapa tahun terakhir telah diteliti bahwa adanya peran epilepsi dalam terjadinya gangguan autisme. Kelainan ini dapat dideteksi oleh Electroencephalography (EEG) (Strzelcka, 2013).

Epilepsi terjadi puncaknya pada awal masa kanak-kanak dan dewasa muda, dan epilepsi yang terjadi pada anak dapat menyebabkan kondisi autisme, dimana autism terjadi pada 46% anak dengan epilepsi. Insiden ditemukannya abnormalitas paroksismal EEG pada autisme lebih tinggi dibandingkan pada epilepsi. Sebuah studi melaporkan hasil penelitian terhadap 1.014 anak-anak dengan ASD didapatkan 85% dari anak-anak tersebut memiliki hasil EEG abnormal, dengan insiden tertinggi pada anak dengan ketidakmampuan intelektual (Jeste, 2011).

Prevalensi epilepsi pada kasus autisme jauh lebih tinggi daripada populasi normal. Ada juga peningkatan prevalensi aktivitas yang berpotensi epileptogenik yang abnormal pada anak-anak dengan gangguan spektrum autistik. Sekitar satu dari empat anak autisme mengalami kejang saat pubertas (Anand, 2004).

Electroencephalography adalah suatu teknik pencitraan medis yang menggunakan aktivitas listrik yang dihasilkan oleh kulit kepala dari struktur otak. Electroencephalogram (EEG) didefinisikan sebagai aktivitas listrik yang direkam dari permukaan kulit kepala dan dibantu oleh elektroda logam dan media konduktif sebagai alat menangkap sinyal listrik otak (Teplan, 2002). Electroencephalography merupakan suatu teknik pemeriksaan non-invasif yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit dan gejala pada kerusakan otak, salah satunya adalah autisme (Sheikani, 2010).

Pemeriksaan Electroencephalography dilakukan untuk menegakkan diagnosis apabila ada kecurigaan adanya epilepsi pada penderita autisme (Pusponegoro, 2006). Suatu studi mengatakan bahwa EEG untuk anak-anak dengan autisme tidak menjadi tolak ukur untuk mendiagnosis penyakit tersebut. EEG belum dianjurkan dalam parameter praktek untuk autisme, baik oleh dokter anak maupun oleh American Psychiatric Association, kecuali ada bukti klinis atau kejang regresi atau tinggi indeks kecurigaan epilepsi (Gabis, 2005).

Adapun hasil rekaman EEG yang bergantung pada beberapa kondisi yaitu usia pasien harus sangat diperhatikan karena terdapat perbedaan pola gelombang antara neonatus, bayi, anak dan dewasa, selain itu kesadaran pasien pun perlu dilihat sebab gelombang EEG yang muncul saat bangun (awake) tidak sama dengan saat tidur, pemberian jenis obat tertentu memberi efek terhadap gelombang EEG (Bintoro, 2012).

2.3.1 Hasil EEG Pada Autisme

Menurut Strzelcka (2013) beberapa gambaran EEG yang dapat dideteksi pada Autisme Disorder (ASD) seperti adanya aktivitas gelombang epileptiform yang paroksismal. Aktivitas ini mempengaruhi sekitar 35-40 persen hasil dari EEG pada penderita autisme. Aktivitas gelombang ini mempengaruhi fungsi otak pada lobus temporal kiri di mana akan terlihat adanya gangguan berbicara dan bahasa pada penderita.

Selanjutnya ditandai dengan adanya gelombang mu. Gelombang ini secara khas dijumpai di daerah sentral di dekat area motorik, sehingga akan terlihat adanya kelainan motorik pada penderita. Adanya penonjolan gelombang beta tinggi yang dapat diamati dalam hasil EEG penderita autisme. Gambaran ini ditandai dengan mudah tersulut perubahan suasana hati atau marah. Hal ini dikaitkan dengan hipersensitivitas sensorik pada daerah sensorik otak, dapat juga dikaitkan dengan gangguan pada otak bagian frontal.

Gambaran yang terlihat selanjutnya adalah penonjolan aktivitas gelombang delta yang mempengaruhi kondisi penderita, diantaranya perilaku impulsive, hiperaktif, dan kurangnya perhatian. Kemudian adanya voltage gelombang yang sangat rendah diidentifikasi dalam ensefalopati menyebar.

Menurut Duffy (2012) gambaran EEG pada anak-anak dengan ASD menunjukkan adanya penurunan gelombang delta dan theta setelah diberikan stimulasi visual. Selain itu adanya koherensi yang lebih rendah pada daerah frontal, adanya peningkatan koherensi gelombang gamma yang melibatkan lobus temporal.

2.3.2 Kegunaan EEG Pada Autisme

Gambaran-gambaran EEG diatas dapat membantu kita memahami tentang bagaimana gen dapat mempengaruhi otak, kombinasi skor risiko genetik dan gambaran EEG otak dapat menjadi bagian dari klasifikasi masa depan gangguan kejiwaan dan ASD.

EEG sangat penting untuk memahami ASD dalam menyelidiki konektivitas fungsional pada bayi berisiko tinggi untuk ASD dalam rangka untuk mengevaluasi sebagai endophenotype potensial atau biomarker dari ASD (Righi, 2014). EEG digunakan terutama untuk meneliti epilepsi pada autisme yang penyebabnya adalah kelainan otak. EEG biasa digunakan dalam menentukan diagnosis penyakitepilepsi denganmengidentifikasi setiap keabnormalan pada otak seperti lesi yang memicu serangan epilepsi (Niedermeyer, 2004). Sehingga dengan dilakukannya pemeriksaan electroencephalography ini dokter dapat melakukan intervensi bila ditemukan adanya epilepsi. Tujuan dari tatalaksana epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal dan tercapainya kualitas hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan diabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Tatalaksana pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologis dan non-farmakologis. Terapi farmakologis dapat berupa pemberian OAE seperti phenytoin, carbamazepine, phenobarbital, dan lain-lain. Sedangkan terapi non-farmakologis berupa stimulasi N.Vagus, deep brain stimulation, diet ketogenic, dan intervensi psikologi (Kusumawati, 2014).

Adapun beberapa keuntungan dalam menggunakan EEG, yaitu untuk mempelajari fungsi otak pada gangguan perkembangan seperti ASD. Dibandingkan dengan MRI, EEG dapat lebih mudah digunakan di berbagai kelompok usia dan mudah untuk mempelajari perkembangan kemampuan seperti fisiologi otak, memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap gerakan, memiliki resolusi temporal yang tinggi, pemeriksaan ini tersedia untuk klinis, dan dapat digunakan untuk mengumpulkan kasus tindakan berulang. Elemen ini sangat menjanjikan untuk mempelajari pasien yang sangat terganggu dengan penyakitnya atau pasien muda seperti anak-anak yang mungkin tidak dapat melakukan tugas-tugas secara akurat karena adanya gangguan kognitif, fisik, atau perkembangan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk mempelajari gejala abnormal pada ASD pada anak usia dini (Wang et al, 2013).