Bab II Rkpd Riau 2013
-
Upload
mudjiatko-saeri -
Category
Documents
-
view
148 -
download
0
Transcript of Bab II Rkpd Riau 2013
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 1
11..
EEvvaalluuaassii HHaassiill PPeellaakkssaannaaaann RRKKPPDD TTaahhuunn 22001111 DDaann CCaappaaiiaann KKiinneerrjjaa
PPeennyyeelleennggaarraaaann PPeemmeerriinnttaahhaann
Untuk melakukan evaluasi hasil pelaksanaan RKPD Tahun 2011, maka
perlu diberikan gambaran terlebih dahulu tentang gambaran umum kondisi
daerah Provinsi Riau. Gambaran ini meliputi kondisi geografi, demografi,
pencapaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan, dan permasalahan
pembangunan lainnya sebagai berikut ini.
2.1 Gambaran Umum Kondisi Daerah
2.1.1 Aspek Geografi dan Demografi
Provinsi Riau secara geografis terletak pada posisi 01°05’00” Lintang
Selatan - 02°25’00” Lintang Utara dan 100°00’00” - 105°05’00” Bujur Timur.
Provinsi Riau memiliki luas 107.932,71 km2, dimana 80,11% diantaranya
merupakan wilayah daratan sedangkan sisanya adalah lautan/perairan.
Secara administrasi, Provinsi Riau berbatas di sebelah Utara dengan Selat
Melaka yang juga merupakan perbatasan dengan Negara Malaysia. Di sebelah
selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi; di sebelah barat berbatasan dengan
Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara; dan di sebelah timur berbatasan
dengan perairan yang juga merupakan perbatasan dengan Provinsi Kepulauan
Riau. Gambar 2.1 memperlihatkan Peta Provinsi Riau dan daerah-daerah di
sekitarnya.
2 BBaabb
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 2
Posisi Provinsi Riau yang seperti ini memiliki nilai yang sangat penting
dari segi geostrategis. Selat Malaka merupakan jalur pelayaran dan perdagangan
internasional yang sangat ramai. Perbatasan pesisir utara Provinsi Riau dengan
Selat Malaka ini memberikan keuntungan bagi Provinsi Riau karena kemudahan
akses perdagangan, ekspor, impor, perdagangan lintas batas, kerjasama
pembangunan regional antar negara seperti kerjasama segitiga Indonesia-
Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), kerjasama Sosial Ekonomi
Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo), kerjasama Dunia Melayu Dunia Islam
(DMDI) dan kerjasama regional antar provinsi seperti kerjasama Provinsi Se-
Sumatra maupun kerjasama-kerjasama lainnya. Sebagai sebuah provinsi yang
memiliki batas dengan negara tetangga dan memiliki gugusan pulau-pulau
terluar, maka permasalahan pembangunan wilayah perbatasan untuk
pertahanan dan keamanan nasional merupakan salah satu isu strategis nasional
yang harus diantisipasi di Provinsi Riau.
Gambar 2.1 Peta Provinsi Riau
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 3
Menurut kondisi geomorfologinya daratan Riau dapat dibedakan antara
wilayah bagian timur yang didominasi oleh dataran rendah dengan ketinggian
antara 0-10 meter di atas permukaan laut; wilayah bagian tengah yang
merupakan dataran bergelombang; dan wilayah bagian barat yang merupakan
dataran berbukit yang dibentuk oleh gugusan Bukit Barisan. Kondisi
geomorfologi tersebut menempatkan wilayah Riau bagian Timur berfungsi
sebagai kawasan bawahan dari wilayah bagian Barat yang merupakan hulu dari
15 sungai yang mengalir di Provinsi Riau yang bermuara di pantai Timur. Empat
sungai diantaranya memiliki arti penting sebagai prasarana perhubungan, yakni
Sungai Siak dengan panjang ± 300 km dan kedalaman 8-12 m; Sungai Rokan
sepanjang ± 400 km dengan kedalaman 6-8 m; Sungai Kampar sepanjang 400
km dengan kedalaman ± 6 m; dan Sungai Indragiri sepanjang ± 500 Km dengan
kedalaman 6-8 m.
Wilayah Riau bagian timur yang merupakan dataran rendah menjadi
rentan terhadap bencana banjir dan genangan sebagaimana yang selama ini
berlangsung secara berkala. Pada tahun 2004 dan 2006, terdapat indikasi bahwa
wilayah yang mengalami bencana banjir dan genangan menjadi semakin luas
akibat luapan Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai Kampar, Sungai Indragiri, dan
Sungai Batang Kuantan, yakni di delapan kabupaten dan kota. Tercatat tinggi
genangan berada pada kisaran 1- 2,5 meter.
Kondisi geologi Riau didominasi oleh batuan sedimen kuarter dengan
sisipan batuan sedimen tersier di bagian barat dan selatan. Struktur geologi
memiliki lipatan yang umumnya berada di wilayah Barat sepanjang Bukit
Barisan, serta patahan aktif yang tersebar mulai dari bagian barat di sekitar
Bukit Barisan hingga bagian tengah dan selatan. Ditinjau dari potensi bencana
alam geologi, sebagian besar wilayah Provinsi Riau bagian tengah dan barat
termasuk zona lipatan (folded zone). Kemungkinan terjadinya gempa bumi di
bagian barat dipengaruhi oleh keaktifan vulkanis di daerah Sumatera Barat.
Sedang potensi gerakan tanah relatif kecil karena wilayah Provinsi Riau
umumnya datar, kecuali di sebagian wilayah barat yang merupakan bagian dari
Bukit Barisan.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 4
Di kawasan bagian Timur Provinsi Riau sebagian besar merupakan lahan
gambut yang cenderung tergenang dengan luas sekitar 4,8 juta Ha (LKPJ
Pemprov Riau 2012), terdiri dari rawa gambut air tawar dan rawa gambut
pasang-surut. Walaupun lahan gambut bersifat miskin unsur hara esensial,
namun memiliki kemampuan untuk menyimpan dan mengatur aliran air
permukaan. Kecenderungan penurunan luas lahan gambut di kawasan bagian
timur merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus diatasi,
terutama untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan retensi air. Selain
itu, kawasan ini juga rawan terhadap bahaya kebakaran di musim kemarau
akibat pembukaan lahan gambut perkebunan dan pertanian oleh masyarakat
dan perusahaan.
Provinsi Riau memiliki kondisi kawasan yang cukup bervariatif berupa
kawasan daratan, kawasan pesisir, perairan laut, dan pulau-pulau kecil yang
banyak jumlahnya merupakan salah satu ekosistem penting yang mendukung
keberlanjutan pembangunan Provinsi Riau. Kawasan pesisir dan perairan laut
merupakan ekosistem pendukung kehidupan biota perairan laut, termasuk
biota-biota yang dilindungi. Sebagai muara lima belas sungai yang mengalir ke
pantai Timur, maka kawasan pesisir dan laut kaya akan sumber daya perikanan.
Demikian pula halnya pulau-pulau kecil yang sebagian diantaranya sesuai
dengan luasnya berfungsi sebagai kawasan yang dilindungi. Kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil nyatanya juga merupakan tempat bermukim para nelayan
yang sebagian besar merupakan masyarakat golongan ekonomi lemah. Oleh
karenanya pengendalian kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan pesisir,
perairan laut, dan pulau-pulau kecil perlu diperkuat untuk mendukung
keberlanjutan kehidupan nelayan dan keanekaragaman biota yang perlu
dilindungi.
Tingginya alih fungsi lahan dan hutan merupakan salah satu penyebab
terjadinya kerusakan lingkungan di wilayah Riau. Alih fungsi tersebut
dipergunakan untuk kegiatan perkebunan, pertanian, industri perkayuan,
permukiman, dan perladangan. Umumnya alih fungsi lahan tersebut terjadi di
bagian hulu, tengah, dan hilir DAS yang sebagian diantaranya tidak
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 5
mengindahkan konsep konservasi. Perubahan fungsi lahan secara tidak
terkendali selain berpotensi menyebabkan bencana banjir dan genangan di
wilayah hilir karena berkurangnya daerah resapan air serta perubahan lahan
pertanian di daerah tangkapan air. Hal tersebut juga menimbulkan kerusakan
badan sungai berupa longsoran dan abrasi tebing dan tanggul sungai oleh
aktifitas bongkar-muat bahan dan produk industri; pendangkalan sungai yang
menimbulkan dampak berkurangnya panjang alur sungai efektif yang dapat
dilayari; pencemaran badan sungai oleh limbah industri dan penurunan
keanekaragaman hayati. Terjadinya alih fungsi lahan diindikasikan dengan
semakin luasnya lahan terlantar yang tidak dikelola, sebagaimana diindikasikan
dengan meningkatnya luas lahan lahan tidur dan terbentuknya padang rumput.
Berdasarkan data dari Balai Pengelolaan DAS Indragiri – Rokan, menunjukkan
bahwa hutan tanaman industri (HTI), dan pertanian lahan kering dalam kawasan
DAS Siak semakin luas, sehingga secara bertahap mengurangi luasan hutan
sebagai resapan dan reservoir air.
Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan budi daya dan perkebunan turut
meningkatkan produksi pertanian. Meskipun demikian, tidak sedikit pula
menyebabkan lahan-lahan terlantar. Keberadaan lahan terlantar ini menciptakan
lahan kritis di beberapa bagian wilayah Provinsi Riau. Pembukaan hutan
sekunder untuk keperluan lahan pertanian dan kebun penduduk telah
menyebabkan terbentuknya lahan-lahan kritis oleh karena lahan garapan
tersebut tidak dipelihara dengan baik dan ditinggalkan untuk berpindah ke
lokasi lainnya. Lahan yang ditinggalkan berubah menjadi semak belukar dan
alang-alang, sehingga tidak mampu menahan air lebih lama untuk diresapkan ke
dalam tanah. Lahan kritis yang luasnya mencapai ratusan ribu hektar perlu
dipulihkan dan difungsikan secara lestari.
Provinsi Riau juga menghadapi permasalahan pencemaran badan sungai
dan pesisir pantai oleh kegiatan industri dan permukiman yang berada di
sepanjang badan sungai dan pantai Timur. Kegiatan industri hulu yang mengolah
sumber daya hutan, perkebunan, dan pertambangan, seperti industri pengolahan
kelapa sawit, crumb rubber, plywood, pulp dan kertas, permukiman penduduk,
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 6
kegiatan komersial dan jasa, dan lainnya yang terkadang membuang limbahnya
ke badan sungai telah menurunkan kualitas air sungai dan pesisir. Indikasi
penurunan kualitas air sungai oleh sumber-sumber domestik dan industri antara
lain ditunjukkan oleh pencemaran pada Sungai Siak, dimana konsentrasi
parameter pencemar telah melampaui baku mutu serta beban limbah yang besar
yang dibuang oleh industri pengolahan hasil hutan dan perkebunan ke Sungai
Siak. Pencemaran badan sungai oleh sumber-sumber domestik, industri, dan
kegiatan lainnya yang berlokasi di sepanjang sungai dan dalam DAS memberikan
dampak terhadap pemanfaatan sumber daya air tersebut bagi kebutuhan
masyarakat, dimana sebagian penduduk yang bermukim di tepi sungai
memanfaatkannya untuk keperluan MCK dan kota-kota yang berlokasi di bagian
tengah DAS menggunakannya sebagai air baku penyediaan air bersih.
Kerusakan fisik badan sungai yang ditandai oleh tingginya sedimentasi
dan konsentrasi tingkat solid yang tersuspensi (TSS) dan tingkat solid yang
terlarutkan (TDS) yang disebabkan alih fungsi lahan dalam DAS maupun
kegiatan bongkar-muat bahan baku dan produk industri di tepi sungai telah
mengakibatkan gangguan terhadap kelancaran kegiatan transportasi sungai
yang menjadi salah satu moda transportasi penting di Provinsi Riau.
Transportasi sungai melayani kebutuhan pergerakan barang dan penumpang
antara wilayah hulu menuju pusat-pusat perkotaan di wilayah tengah dan hilir.
Permasalahan lingkungan yang dihadapi Provinsi Riau sejak beberapa
tahun terakhir dan berlangsung secara berkala adalah perubahan pola iklim
yang tak menentu yang cenderung meningkatkan suhu bumi dan dampak
kebakaran hutan pada musim kemarau yang telah mengganggu kegiatan
ekonomi dan sosial serta kondisi kesehatan seluruh pihak di Provinsi Riau,
bahkan negara tetangga terdekat. Kebakaran hutan terutama disebabkan oleh
kebiasaan masyarakat dan perusahaan melakukan pembersihan lahan untuk
pengembangan areal pertanian, perkebunan, dan kehutanan, dimana
pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran tersebut masih belum
optimal.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 7
Walaupun belum memberikan hasil yang memadai bagi pengendalian dan
penanggulangan kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, namun dapat
dicatat telah dilakukan berbagai upaya menuju terwujudnya kualitas lingkungan
yang lebih baik di Provinsi Riau. Beberapa upaya ke arah lingkungan yang lestari
antara lain dilaksanakan melalui pengelolaan tata guna lahan dan tata guna air;
pengendalian pencemaran terhadap badan perairan; peningkatan kesadaran dan
peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam menjaga kelestarian lingkungan;
serta peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan tata guna lahan dan tata air diupayakan melalui penyiapan
rencana pengelolaan DAS terpadu; penataan permukiman di tepian sungai
melalui konsep river front development; penataan lokasi pertambangan, industri,
dan fasilitas umum; pengelolaan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil; legalisasi
dan sosialisasi RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota; reboisasi dan
penghijauan; penertiban lokasi log pond; pengendalian kegiatan perladangan
berpindah, perambahan hutan, dan illegal logging; pengendalian kebakaran
hutan; pembangunan kanal dan prasarana penanggulangan banjir; pelaksanaan
pengawasan kawasan perlindungan tata air dan penyediaan prasarana
pengamatan tata air; dan pengendalian pemanfaatan air tanah.
Pengendalian pencemaran terhadap badan air diupayakan melalui
penataan lokasi sumber-sumber pencemar; pengendalian pencemaran limbah
B3; pelaksanaan program land application untuk industri kelapa sawit;
pengendalian limbah domestik dan industri melalui pembangunan IPAL; dan
membangun sistem informasi lingkungan (SIL) untuk pengendalian pencemaran
badan sungai, pesisir, dan laut.
Pengendalian dan penanggulangan kebakaran hutan telah diupayakan
melalui pemadaman kebakaran, pembentukan Posko Siaga kebakaran hutan,
pengaturan melalui keputusan Gubernur Riau, membangun sistem informasi
kebakaran hutan, penegakkan hukum terhadap pembakar lahan secara ilegal,
dan membangun kerjasama internasional melalui pembentukan pusat
pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada skala ASEAN.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 8
Demografi
Berdasarkan data BPS yang tertuang dalam LKPJ Pemerintah Daerah
Provinsi Riau Tahun 2011, jumlah penduduk Provinsi Riau adalah 5.738.543
orang yang terdiri dari 2.956.292 laki-laki dan 2.782.251 perempuan.
Berdasarkan data tersebut masih terlihat bahwa penyebaran penduduk Provinsi
Riau masih bertumpu di Kota Pekanbaru yang merupakan ibukota Provinsi Riau
yakni sebesar 16,21 persen, kemudian diikuti oleh Kabupaten Kampar sebesar
12,43 persen. Sedangkan persentase terkecil terdapat di Kabupaten Kepulauan
Meranti yakni sebesar 3,18 persen.
Rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduk Provinsi Riau adalah sebesar
106, ini berarti bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 106 penduduk
laki-laki atau 6 orang laki-laki lebih banyak dari setiap 100 penduduk
perempuan. Sedangkan laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Riau per tahun
selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 3,59 persen.
Dengan luas wilayah daratan Provinsi Riau sekitar 89.150,16 km2 yang didiami
oleh 5.738.543 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Provinsi Riau
adalah sebanyak 64 orang per kilo meter persegi. Kabupaten/Kota yang paling
tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kota Pekanbaru yakni sebanyak
1.470 orang per kilo meter persegi sedangkan yang paling rendah adalah
Kabupaten Pelalawan yakni sebanyak 25 orang per kilo meter persegi.
Penduduk Riau terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1980
jumlah penduduk Riau sebanyak 1.743.340 orang, kemudian meningkat menjadi
2.714.280 orang pada tahun 1990. Di awal abad ke-21 yakni pada tahun 2000
penduduk Riau berjumlah 3.907.763 orang. Berdasarkan data BPS Riau, jumlah
penduduk Riau pada tahun 2011 yaitu sebanyak 5.738.543 orang.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 9
Tabel 2.1 Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau Tahun 2011
Kabupaten/Kota Jumlah
Penduduk Laki-laki
Jumlah Penduduk
Perempuan
Jumlah penduduk
total
Rasio Laki-laki/
Perempuan
Laju Pertumbuhan
Penduduk 2000-2010
(%)
Kabupaten Kuantan Singingi
155.192 147.482 302.674 105 2,61
Kabupaten Indragiri Hulu 194.074 182.504 376.578 106 3,53
Kabupaten Indragiri Hilir 352.568 333.13 685.698 106 1,38
Kabupaten Pelalawan 164.44 148.298 312.738 111 6,71
Kabupaten Siak 203.551 186.808 390.359 109 4,73
Kabupaten Kampar 367.661 345.417 713.078 106 3,99
Kabupaten Rokan Hulu 254.498 237.508 492.006 107 5,61
Kabupaten Bengkalis 266.495 249.853 516.348 107 2,90
Kabupaten Rokan Hilir 294.877 278.334 573.211 106 4,66
Kabupaten Kep. Meranti 93.84 88.822 182.662 106 0,53
Kota Pekanbaru 472.88 457.335 930.215 103 4,06
Kota Dumai 136.216 126.76 262.976 107 3,54
Provinsi Riau 2.956.292 2.782.251 5.738.543 106 3,59
Sumber: BPS Provinsi Riau dalam LKPJ Pemprov Riau 2011; (data penduduk pertengahan tahun 2011)
Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Provinsi Riau per tahun selama
sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 3,59 persen. Laju
pertumbuhan penduduk tertinggi yaitu Kabupaten Pelalawan, sedangkan yang
terendah adalah Kabupaten Kepulauan Meranti. Laju pertumbuhan penduduk
Provinsi Riau menurut Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Tabel 2.1.
2.1.2 Aspek Kesejahteraan Masyarakat
2.1.2.1 Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kesejahteraan
pada suatu daerah. Perkembangan perekonomian Provinsi Riau dari tahun ke tahun
terus mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan, yang ditunjukkan
oleh peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perkembangan
perekonomian Riau juga mengalami pergeseran struktur perekonomian dimana
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 10
peranan sektor pertambangan semakin menurun, dan sektor pertanian dan industri
pengolahan semakin meningkat. Pada tahun 2006 total PDRB Riau termasuk minyak
dan gas berdasarkan harga konstan tahun 2000 mencapai Rp. 83.371 milyar,
kemudian meningkat menjadi Rp. 97.702 milyar pada tahun 2010 seperti terlihat
pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB Tahun 2006 s.d. 2010 Atas
Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Termasuk Minyak Bumi dan Gas, dalam Milyar Rupiah) Provinsi Riau
No. Sektor 2006 2007 2008 2009* 2010*
(Rp) % (Rp) % (Rp) % (Rp) % (Rp) %
1 Pertanian 14.103 16,92 14.786 17,15 15.494 17,01 16.071 17,14 16.706 17,10
2 Pertambangan dan Penggalian
45.184 54,20 45.126 52,34 46.897 51,49 46.888 49,99 47.558 48,68
3 Industri Pengolahan
8.512 10,21 9.247 10,72 9.911 10,88 10.408 11,10 11.104 11,37
4 Listrik, Gas dan Air Bersih
175 0,21 185 0,22 198 0,22 204 0,22 215 0,22
5 Konstruksi 2.396 2,87 2.675 3,10 2.973 3,26 3.234 3,45 3.519 3,60
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
6.279 7,53 6.840 7,93 7.505 8,24 8.171 8,71 9.001 9,21
7 Pengangkutan dan Komunikasi
2.173 2,61 2.332 2,71 2.575 2,83 2.788 2,97 3.051 3,12
8 Keuangan, sewa dan Jasa Perusahaan
893 1,07 1.012 1,17 1.150 1,26 1.267 1,35 1.388 1,42
9 Jasa-jasa 3.656 4,39 4.011 4,65 4.382 4,81 4.756 5,07 5.158 5,28
PDRB 83.371 100,00 86.213 100,00 91.085 100,00 93.786 100,00 97.702 100,00
Sumber: Riau Dalam Angka 2011 (* angka sementara)
Sektor yang merupakan sumber peningkatan ekonomi Riau selama periode
2007-2010 dapat dilihat dari peningkatan nilai PDRB dari masing-masing sektor.
Sektor yang yang memiliki peningkatan nilai PDRB yang lebih rendah adalah sektor
pertambangan yaitu hanya sebesar 5,39 persen selama periode 2007-2010.
Sedangkan beberapa sektor yang mengakami peningkatan cukup pesat adalah sektor
keuangan, perdagangan, bangunan, dan angkutan dengan peningkatan mencapai
diatas 30 persen selama periode 2007-2010. Lebih jelas peningkatan nilai PDRB
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 11
setiap sektor pada PDRB Riau selama periode 2007-2010 dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 2.2. Peningkatan Nilai PDRB Setiap Sektor pada PDRB Dengan Minyak dan
Gas dengan Harga Konstan Tahun 2000 selama periode 2007-2010 (%)
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa secara absolut nilai produksi
setiap sektor perekonomian di Riau mengalami peningkatan yang positif.
Peningkatan yang cukup besar pada beberapa sektor mengakibatkan kontribusi
sektor lain dalam perekonomian mengalami pengurangan. Namun secara absolut
nilai PDRB sektor pertambangan dan pertanian masih lebih besar jika
dibandingkan dengan sektor lainnya. Namun secara realtif dalam struktur
perekonomian Riau, kontribusi sektor ini mengalami penurunan.
Peningkatan nilai PDRB beberapa sektor penting di Provinsi Riau selama
periode 2007-2010 berdampak pada pergeseran struktur perekonomian Riau.
Kontribusi sektor pertambangan minyak dan gas mengalami penurunan dari
52,34 persen pada tahun 2007, kemudian menurun menjadi 49,99 persen pada
tahun 2009, dan kembali menurun menjadi 48,68 persen pada tahun 2010.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa untuk mempertahankan pertumbuhan
ekonomi Riau harus membangun sektor diluar minyak dan gas, karena
ketersediaan sumberdaya minyak dan gas adalah sumberdaya alam yang bersifat
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 12
tidak dapat diperbaharui. Maka untuk membangun ketahanan ekonomi Riau
perlu orientasi pembangunan sektor diluar minyak dan gas, sebagai sumber
perekonomian yang berkelanjutan, seperti sektor pertanian dan industri yang
didukung oleh sektor perdagangan dan jasa.
Pergeseran struktur perekonomian Riau dengan minyak gas berdasarkan
harga konstan tahun 2000 ini terlihat dengan semakin menurunnya peran sektor
primer dalam PDRB Riau, terutama kontribusi minyak dan gas. Kontribusi sektor
pertanian sebagai sektor primer menurun dari 17,15 persen pada tahun 2007
menjadi 17,13 persen pada tahun 2009, dan 17,10 persen pada tahun 2010.
Walaupun memiliki kontribusi yang menurun terhadap total PDRB Riau, namun
kontribusi sektor pertanian masih nomor dua terbesar setelah sektor
pertambangan. Namun, penurunan kontribusi sektor pertambangan dan
pertanian dalam PDRB Riau mengindikasikan terjadinya pergeseran struktur
ekonomi, dimana sektor primer mulai mengalami penurunan relatif. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi Riau
harus membangun sektor diluar minyak dan gas, karena ketersediaan
sumberdaya minyak dan gas adalah sumberdaya alam yang bersifat tidak dapat
diperbaharui. Maka pembangunan sektor diluar minyak dan gas menjadi hal
penting yang harus dilakukan dimasa mendatang.
Pergeseran struktur perekonomian Riau dengan minyak gas berdasarkan
harga konstan Tahun 2000 ini terlihat kecendrungan semakin menurunnya
peran sektor primer dalam PDRB Riau, dimana kontribusi sektor pertanian
cendrung menurun dari 17,15 persen pada tahun 2007 menjadi 17,14 persen
pada tahun 2009 dan menjadi 17,10 pada Tahun 2010, kemudian sektor
pertambangan menurun dari 52,34 persen pada tahun 2007 menjadi 48,68
persen pada tahun 2010. Sedangkan sektor sekunder dan tersier mengalami
peningkatan dari tahun 2007-2009, dimana sektor industri pengolahan
mengalami peningkatan dari 10,72 persen pada tahun 2007 menjadi 11,37 pada
tahun 2010, sektor konstruksi meningkat dari 3,10 persen pada tahun 2007
menjadi 3,60 persen pada tahun 2010, sektor perdagangan, hotel, dan restoran
meingkat dari 7,93 persen pada tahun 2007 menjadi 9,21 persen pada tahun
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 13
2010, sektor pengangkutan meningkat dari 2,71 persen pada tahun 2007
menjadi 3,12 persen pada tahun 2010, sektor keuangan meningkat dari 1,17
persen pada tahun 2007 menjadi 1,42 persen pada tahun 2010, dan sektor jasa-
jasa meningkat dari 4,65 persen pada tahun 2007 menjadi 5,28 persen pada
tahun 2010.
Kondisi perekonomian dengan harga konstan dan harga berlaku adalah
hampir sama. Meskipun perkembangan kondisi perekonomian kurang relevan
jika dievaluasi dari perekonomian menurut harga berlaku, namun secara umum
dapat dilihat kecendrungan yang sama dengan menurut harga konstan. Struktur
perekonomian Riau pada harga berlaku dengan minyak dan gas juga terlihat
mengalami pergeseran. Sektor pertanian dan pertambangan (sektor primer)
menunjukkan gejala dengan kontribusi yang semakin menurun, sedangkan
sektor sekunder dan tersier lainnya mengalami peningkatan kontribusi dalam
perekonomian.
Tabel 2.3 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB Tahun 2006 s.d. 2010 Atas
Dasar Harga Berlaku (Termasuk Minyak Bumi dan Gas, dalam Milyar Rupiah) Provinsi Riau
No Sektor 2006 2007 2008 2009 2010
(Rp) % (Rp) % (Rp) % (Rp) % (Rp) %
1 Pertanian 36.294 21,72 43.595 20,76 53.138 19,22 60.270 20,28 69.025 20,14
2 Pertambangan dan Penggalian
70.428 42,15 91.120 43,39 123.782 44,78 114.204 38,43 123.077 35,91
3 Industri Pengolahan
32.313 19,34 39.156 18,65 50.179 18,16 59.797 20,12 70.309 20,52
4 Listrik, Gas dan Air Bersih
340 0,20 393 0,19 461 0,17 526 0,18 585 0,17
5 Konstruksi 4.259 2,55 7.043 3,54 11.308 4,09 14.758 4,97 19.263 5,62
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
11.180 6,69 14.064 6,70 19.317 6,99 24.879 8,37 32.276 9,42
7 Pengangkutan dan Komunikasi
3.216 1,93 3.853 1,84 4.867 1,76 5.762 1,94 6.720 1,96
8 Keuangan, sewa dan Jasa Perusahaan
3.134 1,88 3.924 1,87 5.068 1,83 6.645 2,24 8.453 2,47
9 Jasa-jasa 5.905 3,53 6.854 3,26 8.280 3,00 10.333 3,48 12.983 3,79
PDRB 167.068 100,00 210.003 100,00 276.400 100,00 297.173 100,00 342.691 100,00
Sumber: Riau Dalam Angka 2011
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 14
Secara absolut nilai-nilai PDRB dengan minyak dan gas pada harga
berlaku, semua sektor mengalami peningkatan yang positif. Sektor bangunan,
perdagangan, dan keuangan mengalami peningkatan diatas 100 persen,
sedangkan jasa-jasa, industri, angkutan, dan pertanian mengalami peningkatan
diatas 50 persen, dan pertambangan dan listri yang mengalami peningkatan
dibawah 50 persen. Perkembangan nilai output dari sektor perekonomian ini
menunjukkan bahwa perekonoian Riau masih berkembang, khususnya pada
sektor sekunder dan tersier. Lebih jelas peningkatan nilai PDRB Riau dengan
minyak dan gas pada harga berlaku selama periode 2007-2010 dapat dilihat
pada gambar berikut.
Gambar 2.3. Peningkatan Nilai PDRB Setiap Sektor pada PDRB Dengan Minyak dan
Gas dengan Harga Berlaku selama periode 2007-2010 (%)
Peningkatan nilai PDRB sektor pertanian dan pertambangan (sektor
primer) menunjukkan gejala yang melambat dibandingkan dengan laju
peningkatan sektor-sektor perekonomian lain. Walaupun demikian nilai output
sektor ini masih lebih besar jika dibandingkan dengan nilai output sektor lainnya.
Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dan pertambangan secara realtif
terhadap sektor lain semakin menurun. Kondisi ini menandakan adanya gejala
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 15
pergeseran struktur perekonomian Riau dari sektor primer kepada sektor
sekunder dan tersier, dimana secara relatif kontribusi sektor sekunder dan
tersier mengalami peningkatan terhadap total PDRB Riau.
Nilai output sektor pertanian dan pertambangan yang masih lebih besar
dalam perekonomian Riau mengindikasikan bahwa ketergantungan
perekonomian Riau dengan minyak dan gas kepada sektor pertambangan dan
pertaninan masih sangat kuat. Walaupun terjadi peningkatan nilai output pada
sektor-sektor lain, namun belum mampu melebihi nilai output sektor
pertambangan dan pertanian. Namun, kondisi ini tentunya merupakan peluang
untuk membangun perekonomian diluar sektor pertambangan, dengan
mengalokasikan sumberdaya pembangunan pada sektor-sektor yang berpeluang
untuk tumbuh. Sektor industri pengolahan merupakan sektor sekunder dengan
kontribusi yang cukup berarti dalam perekonomian Riau, dan memiliki potensi
untuk berkembang. Sektor industri didukung oleh sektor pertanian (khususnya
perkebunan) dan sektor kehutanan. Pembangunan sektor industri yang
terintegrasi dengan sektor pertanian merupakan konsep pembangunan
agribisnis. Dengan demikian maka sektor-sektor penunjang lainnya, seperti
transportasi, perdagangan, keuangan, dan jasa akan ikut serta terbawa dengan
perkembangan sektor agribisnis.
Pembangunan sektor industri pertanian pada sektor perkebunan menjadi
perluang besar dengan masuknya Riau pada cluster pembangunan kelapa sawit
dan karet dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional. Potensi ini dapat
dijadikan faktor pendorong bagi pembangunan ekonoi yang terspesialisasi di
Riau, dengan fokus pada pengembangan perkebunan yang terintegrasi dari hulu
sampai hilir. Konsep pembangunan ekonomi yang demikian akan berpotensi
untuk mendorong perkembangan ekonomi Riau diluar sektor minyak dan gas.
Perkembangan kontribusi sektoral dalam perekonomian Riau dengan minyak
dan gas serta tanpa minyak dan gas menunjukkan bahwa sektor pertanian dan
pertambangan mengalami penurunan. Sektor industri pengolahan merupakan
sektor sekunder yang dapat memberikan nilai tambah dan potensial
dikembangkan untuk mengantisipasi penurunan peran sektor pertambangan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 16
yang tidak dapat diperbaharui. Lebih jelas perkembangan kontribusi sektor
dalam PDRB dengan minyak dan gas pada harga berlaku dan harga konstan
tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Perkembangan Kontribusi Sektor dalam PDRB Tahun 2006 s.d. 2010
Atas Dasar Harga Berlaku (Hb) dan Harga Konstan (Hk) Provinsi Riau
No. Sektor
2006 2007 2008 2009 2010
Hb Hk Hb Hk Hb Hk Hb Hk Hb Hk
% % % % % % % % % %
1 Pertanian 21,72 16,92 20,76 17,15 19,22 17,01 18,99 17,13 20,14 17,10
2 Pertambangan dan Penggalian
42,15 54,20 43,39 52,34 44,78 51,49 42,04 50,02 35,91 48,68
3 Industri Pengolahan
19,34 10,21 18,65 10,72 18,16 10,88 19,33 11,09 20,52 11,37
4 Listrik, Gas dan Air Bersih
0,20 0,21 0,19 0,22 0,17 0,22 0,16 0,22 0,17 0,22
5 Konstruksi 2,55 2,87 3,54 3,10 4,09 3,26 4,61 3,45 5,62 3,60
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran
6,69 7,53 6,70 7,93 6,99 8,24 7,77 8,71 9,42 9,21
7 Pengangkutan dan Komunikasi
1,93 2,61 1,84 2,71 1,76 2,83 1,80 2,97 1,96 3,12
8 Keuangan, sewa dan Jasa Perusahaan
1,88 1,07 1,87 1,17 1,83 1,26 2,08 1,35 2,47 1,42
9 Jasa-jasa 3,53 4,39 3,26 4,65 3,00 4,81 3,23 5,07 3,79 5,28
PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Riau Dalam Angka 2011 (diolah)
Pembangunan sektor industri pengolahan dan sektor lainnya diluar
sektor pertambangan menjadi penting mengingat sektor pertambangan
merupakan sektor yang memanfaatkan sumberdaya yang tidak terbarukan.
Peran sektor pertambangan menunjukkan kontribusi yang semakin menurun
dengan penurunan kontribusi yang nengatif (17,23 persen) selama periode
2007-2010 berdasarkan PDRB harga berlaku, dan penurunan negative sebesar
7,00 persen pada PDRB harga konstan tahun 2000. Sektor pertanian juga
mengalami perubahan kontribusi yang semakin menurun pada PDRB harga
berlaku dan konstan selama periode 2007-2010 yaitu sebesar -2,97 persen pada
PDRB harga berlaku, dan - 0,30 persen pada PDRB harga konstan tahun 2000
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 17
periode yang sama. Penurunan kontribusi sektor pertanian dan pertambangan
ini mengindikasikan bahwa sektor ini sangat bergantung dengan sumberdaya
alam dengan peningkatan nilai tambah yang kurang. Oleh sebab itu peranan
sektor pertanian harus diarahkan pada peningkatan produktivitas dibandingkan
dengan upaya perluasan areal.
Sektor-sektor yang mengalami perubahan kontribusi yang positif dan
cukup besar terhadap total PDRB Riau adalah sektor konstruksi (bangunan),
keuangan, perdagangan, dan jasa. Peningkatan kontribusi sektor-sektor ini
terlihat cukup tinggi, baik dalam PDRB dengan harga berlaku maupun pada
PDRB harga constant tahun 2000. Kemudian terlihat bahwa sektor industry
pengolahan juga mengalami peningkatan konstribusi yang positif juga. Lebih
jelas peningkatan kontribusi sektoral terhadap PDRB Riau dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 2.4. Peningkatan Kontribusi Sektor terhadap Total PDRB Dengan Minyak
dan Gas dengan Harga Berlaku dan Harga Konstant Tahun 2000 selama periode
2007-2010 (%)
Pertumbuhan konstribusi sektor memberikan gambaran kemamuan
setiap sektor untuk meningkatkan nilai PDRB dari tahun ketahun. Pertumbuhan
kontribusi sektor dalam perekonomian Riau terlihat bahwa sektor sekunder dan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 18
sektor tersier berdasarkan harga konstan tahun 2000 mengalami pertumbuhan
kontribusi yang positif selama periode 2007-2010. Hal ini mengindikasikan
bahwa peran sektor sekunder dan tersier semakin penting dalam struktur
perekonomian Riau dimasa mendatang. Sektor konstruksi (bangunan)
merupakan sektor dengan pertumbuhan kontribusi yang cukup pesat selama
periode 2007-2010 yaitu sebesar 67,60 persen pada harga berlaku, diikuti oleh
sektor perdagangan dengan pertumbuhan kontribusi sebesar 40,63 persen,
sektor keuangan dengan pertumbuhan kontribusi sebesar 32,01 persen.
Sedangkan sektor pertambangan mengalami pertumbuhan kontribusi sektor
sebesar 17,23 persen pada PDRB dengan minyak dan gas pada harga berlaku.
Sektor lain yang mengalami pertumbuhan kontribusi yang negatif adalah sektor
pertanian dan sektor listrik (lihat Tabel 2.5).
Sementara itu sektor perekonomian yang mengalami pertumbuhan yang
menurun dalam perekonomian Riau pada harga konstant tahun 2000 selama
periode 2007-2010 adalah sektor pertambangan dan pertanian. Sektor
pertambangan mengalami penurunan pertumbuhan kontribusi sebesar -7,00
persen, sedangkan sektor pertanian sebesar -0,30 persen. Sektor dengan
pertumbuhan kontribusi yang terbesar adalah sektor keuangan yaitu sebesar
21,07 persen, diikuti oleh sektor perdagangan (16,12 persen), sektor kontruksi
(16,10 persen), sektor angkutan (15,46 persen), dan sektor jasa-jasa (13,47
persen). Sedangkan sektor listrik dan industri pengolahan mengalami
pertumbuhan kontribusi yang relative lebih kecil yaitu masing-masing sebesar
2,72 persen dan 5,97 persen. Lebih jelas pertumbuhan kontribusi sektor-sektor
pada perekonomian Riau dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 19
Tabel 2.5 Pertumbuhan Kontribusi Sektor dan PDRB Tahun 2007 s.d. 2010
atas Dasar Harga Berlaku (Hb) dan Harga Konstan (Hk) Provinsi Riau
No. Sektor Pertumbuhan
Hb (%) Hk (%)
1. Pertanian -2.97 -0.30
2. Pertambangan dan Penggalian -17.23 -7.00
3. Industri Pengolahan 10.04 5.97
4. Listrik, Gas dan Air Bersih -8.79 2.72
5. Konstruksi 67.60 16.10
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 40.63 16.12
7. Pengangkutan dan Komunikasi 6.87 15.46
8. Keuangan, sewa dan Jasa Perusahaan 32.01 21.07
9. Jasa-jasa 16.08 13.47
Sumber: Riau Dalam Angka 2011 (diolah)
Perkembangan PDRB menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau terlihat
bahwa PDRB Kota Pekanbaru memiliki nilai PDRB yang paling tinggi diikuti oleh
Kabupaten Indragiri Hilir dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di
Provinsi Riau baik harga berlaku maupun harga konstan pada periode 2007-
2009. Sedangkan kabupaten/kota dengan nilai PDRB yang lebih rendah
dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Provinsi Riau adalah Kabupaten
Kepulauan Meranti dan Kota Dumai (Tabel 2.6).
Secara relatif peningkatan PDRB kabupaten/kota cukup bervariasi selama
periode 2007-2009. Kabupaten/kota yang memiliki kenaikan PDRB yang cukup
tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Provinsi Riau, yaitu
Kabupaten Siak yang meningkat dari Rp. 12.847.680 juta pada tahun 2007
menjadi Rp. 21.279.318 juta harga berlaku pada tahun 2009, atau terjadi
kenaikan sebesar 65,63 persen. Kemudian diikuti oleh Kabupaten Indragiri Hulu
yang meningkat dari Rp. 9.141.562 juta harga berlaku pada tahun 2007 menjadi
Rp. 14.642.375 juta harga berlaku pada tahun 2009 atau terjadi peningkatan
sebesar 60,17 persen. Sedangkan kabupaten/kota dengan kenaikan PDRB harga
berlaku yang lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Provinsi
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 20
Riau adalah Kabupaten Rokan Hulu dengan kenaikan sebesar 36,80 persen dari
Rp. 7.425.252 juta pada tahun 2007 menjadi Rp. 10.157.717 juta pada tahun
2009. Untuk itu, aktivitas ekonomi yang meningkatkan output dan nila tambah
perlu terus dilakukan untuk meningkatkan laju perkembangan perekonomian di
setiap daerah.
Tabel 2.6 Perkembangan PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2007-
2009 Atas Dasar Harga Berlaku (Hb) dan Harga Konstan (Hk) Tanpa Migas (Juta Rp) Provinsi Riau
No. Kabupaten/
Kota
2007 2008 2009
Hb Hk Hb Hk Hb Hk
1 Kabupaten Kuantan Singingi
8.159.148 2.511.608 10.119.617 2.718.998 12.042.923 2.906.642
2 Kabupaten Indragiri Hulu
9.141.562 3.273.425 11.575.059 3.519.854 14.642.375 3,769.242
3 Kabupaten Indragiri Hilir
14.801.652 5.416.154 18.518.194 5.846.659 22.447.247 6.263.845
4 Kabupaten Pelalawan
9.924.782 2.535.295 12.237.687 2.716.426 14.816.366 2.907.349
5 Kabupaten Siak
12.847.680 3.080.650 16.517.897 3.315.236 21.279.318 3.552.361
6 Kabupaten Kampar
9.147.023 3.773.568 11.331.799 4.074.419 13.865.172 4.354.918
7 Kabupaten Rokan Hulu
7.425.252 2.108.279 8.802.872 2.257.614 10.157.717 2.411.480
8 Kabupaten Bengkalis
9.066.186 2.760.497 11.074.342 2.980.469 13.292.774 3.192.949
9 Kabupaten Rokan Hilir
9.831.652 3.306.200 12.066.536 3.566.795 14.684.921 3.825.664
10 Kabupaten Kepulauan Meranti
3.403.235 1.154.305 4.176.795 1.239.022 4.991.332 1.320.714
11 Kota Pekanbaru
20.119.404 6.997.154 25.916.535 7.630.422 30.488.240 8.302.631
12 Kota Dumai 3.388.987 1.630.667 4.324.859 1.771.906 5.285.110 1.921.116
Total 117.256.568 38.547.808 145.662.197 41.637.825 177.993.501 44.728.917
Sumber: Kabupaten dan Kota Dalam Angka se-Provinsi Riau 2010
Berdasarkan harga konstan tahun 2000, peningkatan PDRB
kabupaten/kota yang memiliki peningkatan yang relatif lebih tinggi selama
periode 2007-2009 adalah Kota Pekanbaru dengan kenaikan sebesar 18,66
persen dari Rp. 6.997.154 juta pada tahun 2007 menjadi Rp. 8.302.631 juta pada
tahun 2009. Kemudian diikuti oleh Kota Dumai dengan kenaikan sebesar 17,81
persen dari Rp. 1.630.667 juta pada tahun 2007 menjadi Rp. 1.921.116 juta pada
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 21
tahun 2009. Sedangkan kabupaten/kota dengan kenaikan yang relatif rendah
dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Provinsi Riau adalah Kabupaten
Rokan Hulu dengan kenaikan sebesar 14,38 persen dari Rp. 2.108.279 juta pada
tahun 2007 menjadi Rp. 2.411.480 juta pada tahun 2009.
Laju Inflasi
Laju inflasi sebagai indikator ekonomi makro di Provinsi Riau dihitung
pada tingkat inflasi Kota Pekanbaru. Laju inflasi di Kota Pekanbaru pada periode
2007-2011 mengalami fluktuasi. Selama periode 2007-2010 laju inflasi tertinggi
terjadi pada tahun 2008 sebesar 9,02 persen (Tabel 2.7) sementara inflasi yang
terendah terjadi pada tahun 2009 yakni sebesar 1,94 persen. Inflasi di
Pekanbaru lebih banyak disebabkan oleh kenaikan harga bahan konsumsi
penduduk, sedangkan bila dilihat dari sisi pengeluaran pendapatan regional Riau
sebanyak lebih dari 70 persen bersumber dari konsumsi rumah tangga. Dengan
demikian peningkatan pendapatan penduduk akan rentan untuk meningkatkan
inflasi.
Tabel 2.7 Inflasi Kumulatif Tahun 2007-2011 di Kota Pekanbaru (year to year)
BULAN/ TAHUN 2007 2008 2009 2010 2011
Jan 2,72 1,76 0,81 0,93 2,01
Feb 3,54 3,09 0,93 0,20 2,07
Mar 3,67 4,15 0,48 0,79 1,52
Apr 2,73 3,93 0,06 0,93 0,6 Mei 2,13 4,46 -0,02 1,23 0,74
Jun 2,61 5,09*) -0,06 2,53 1,22
Jul 2,96 6,48 0,25 4,16 2,13
Agst 4,09 7,77 0,82 4,63 3,09
Sep 4,09 8,42 1,64 4,41 3,51
Okt 4,93 8,95 2,07 4,38 4,05
Nov 5,82 9,05 2,05 5,59 4,31
Des 7,53 9,02 1,94 7,00 5,00
Sumber: Badan Pusat Statistik *) Mulai bulan Juni 2008 tahun dasar penghitungan penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) menggunakan tahun dasar 2007=100 (sebelumnya 2002 = 100)
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 22
Kondisi Ekonomi Makro Provinsi Riau
Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau sebagai indikator ekonomi
makro terlihat berfluktuasi selama periode 2007-2011 baik dengan minyak dan
gas maupun tanpa minyak dan gas. Jika dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi nasional, maka pertumbuhan ekonomi Riau masih sedikit dibawah
pertumbuhan ekonomi nasional dengan minyak dan gas, tetapi pertumbuhan
ekonomi Riau tanpa minyak dan gas justru lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi nasional (Tabel 2.8). Hal ini mengindikasikan bahwa
ketahanan ekonomi Riau tanpa minyak dan gas justru lebih kuat jika
dibandingkan dengan perekonomian nasional tanpa minyak dan gas.
Kekuatan perekonomian Riau tanpa minyak dan gas sebagai sektor
dominan adalah sektor pertanian. Kontribusi terbesar dalam sektor pertanian
disumbangkan oleh sub sektor perkebunan dan kehutanan. Produksi
perkebunan di Riau lebih didominasi oleh perkebunan kelapa sawit yang sampai
pada tahun 2009 memiliki luas 2.103.175 Ha dengan berbagai pola pengusahaan
(Data Annual Prov. Riau 2011, hal.36). Luas areal perkebunan sawit di Provinsi
Riau diperkirakan meningkat secara signifikan mengingat tingginya proses
persiapan dan pekerjaan alih fungsi lahan ke perkebunan sawit yang belum
terdata. Sedangkan dua perusahaan besar dibidang industri pulp and paper
melakukan aktivitas produksi di Provinsi Riau. Selain peran sektor pertanian,
sektor industri pengolahan semakin penting dalam struktur perekonomian Riau.
Perkembangan sektor industri pengolahan di Provinsi Riau sangat berhubungan
dengan pertanian, sehingga komoditi ekspor Riau merupakan komoditi olahan
pertanian yaitu komoditi dengan nilai ekspor tertinggi adalah crude palm oil,
pulp and paper, crumb rubber, kertas dan barang dari kertas, minyak
kelapa/kelapa, kayu lapis, dan kayu olahan.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 23
Tabel 2.8 Persentase Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau
NO NEGARA/PROVINSI TAHUN (%)
2007 2008 2009 2010 2011
1 INDONESIA
Dengan Migas 6,28 6,06 4,50 6,10 6,50
Tanpa Migas 6,87 6,52 4,90 6,60 na
2 PROVINSI RIAU
Dengan Migas 3,41 5,65 2,97 4,17 5,01
Tanpa Migas 8,25 8,06 6,56 7,16 7,63
Sumber: BPS Provinsi Riau dalam LKPJ Provinsi Riau 2011, Data Sosial Ekonomi Nasional 2012
Laju pertumbuhan ekonomi Riau tanpa minyak dan gas lebih tinggi jika
dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dengan minyak dan gas. Laju
pertumbuhan ekonomi tanpa migas pada tahun 2011 mengalami peningkatan
yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu dari 7,16 persen menjadi
7,63 persen, dan diperkirakan tetap masih berada di atas rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi dengan migas
juga mengalami peningkatan pada periode 2010-2011 yaitu dari 4,17 persen
menjadi 5,01 persen, dan laju pertumbuhan ini jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dengan migas nasional sebesar
6,50 persen.
Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi adalah
peningkatan kesejahteraan sosial penduduk. Ukuran kesejahteraan penduduk
dapat dilihat dari tingkat kemiskinan. Angka kemiskinan di Provinsi Riau selama
periode 2007-2011 memiliki kecenderungan yang terus menurun. Pada tahun
2007 tingkat kemiskinan di Provinsi Riau sebesar 11,20 persen, dan kemudian
menurun menjadi 8,17 persen yang tercatat pada bulan September 2011 (Tabel
2.9).
Tabel 2.9 Persentase Penduduk Miskin Provinsi Riau Tahun 2007-2011
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011*
Persentase 11,20 10,79 9,45 8,65 8,17
Sumber: BPS RI (dalam LKPJ Pemprov Riau 2011); * data bulan september
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 24
Kemiskinan masih merupakan permasalahan mendasar kesejahteraan
sosial di Provinsi Riau. Tingkat kemiskinan ditandai dengan ukuran ekonomi
yaitu pendapatan per kapita penduduk, termasuk tingkat pendapatan penduduk
yang tidak merata dengan Gini Ratio 0,33 pada tahun 2010, lebih rendah jika
dibandingkan dengan tingkat ketimpangan di Indonesia yang mencapai 0,38.
Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Riau termasuk yang terendah di
Indonesia, yaitu termasuk dalam kategori Gini Ratio ketiga terendah dari seluruh
provinsi di Indonesia.
Sisi lain dari ketimpangan ini dapat dilihat dari rata-rata pengeluaran per
kapita per bulan. Terjadi peningkatan pengeluaran per kapita penduduk per
bulan sebesar 26,19 persen dari Rp. 598.012 pada tahun 2010 menjadi Rp.
754.634 pada tahun 2011. Peningkatan pengeluaran per kapita ini
mengakibatkan terjadinya peningkatan pengeluaran untuk pangan sebesar 21,88
persen dari Rp. 316.667 per kapita perbulan pada tahun 2010 menjadi Rp.
385.949 per kapita per bulan. Namun demikian, peningkatan pengeluaran per
kapita penduduk telah mengakibatkan terjadi peningkatan pengeluaran untuk
bukan makanan, sedangkan proporsi pengaluarn pangan mengalami penurunan.
Proporsi pangeluarn pangan pada tahun 2010 sebesar 52,95 persen dan
menurun menjadi 51,14 persen pada tahun 2011. Hal ini mengidikasikan adanya
perbaikan ekonomi penduduk.
Indikator-indikator makro tersebut cukup menggembirakan, walau dalam
pada tingkat mikro masih ditemukan disparitas pembangunan antar wilayah.
Pemerataan pembangunan kepada seluruh lapisan masyarakat atau
pembangunan untuk semua nampaknya masih perlu mendapat perhatian di
Provinsi Riau. Masih terdapat kelompok masyarakat yang kurang tersentuh oleh
pembangunan seperti masyarakat Komunitas Adat Terpencil, desa-desa terisolir
sebagai akibat dari lemahnya infrastruktur. Pemerataan pembangunan ini
terlihat dari Salah satu contoh adalah masih terdapat sebanyak 43,82 persen
rumah tangga yang belum memiliki penerangan listrik PLN, dan secara total
masih terdapat sebanyak 11,95 persen rumah tangga yang tidak menggunakan
listrik PLN dan Non PLN sebagai sumber penerangan rumah. Kemudian untuk
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 25
akses air bersih masih terdapat sebanyak 59,82 persen rumah tangga yang tidak
akses air bersih untuk keperluan sehari-hari (Riau Dalam Angka, 2011).
Selain ukuran tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka juga
menjadi ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi. Tingkat pengangguran di
Provinsi Riau selama periode 2004-2008 cenderung menurun walau masih
berfluktuasi dan terjadi sedikit peningkatan pada tahun 2009 dan 2010. Pada
tahun 2004 tingkat penangguran terbuka sebesar 15,25 persen, kemudian
menurun menjadi 8,20 persen pada tahun 2008, dan sedikit mengalami
peningkatan pada tahun 2009 menjadi 8,56 persen dan meningkat sedikit
menjadi 8,72 persen pada tahun 2010. Pada tahun 2011 tingkat pengangguran
turun menjadi 5,32 persen (Tabel 2.10).
Tabel 2.10 Persentase Pengangguran Terbuka Provinsi Riau Tahun 2004-2010
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011*
Persentase 9,79 8,20 8,56 8,72 5,32
Sumber: BPS Provinsi Riau (Data Anual 2011 Provinsi Riau hal. 71); *LKPJ Pemprov Riau 2011.
Penyebab lain dari permasalahan kemiskinan di Provinsi Riau adalah
tingkat pengangguran yang semakin tinggi di Provinsi Riau yang salah satunya
diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk usia kerja sebesar 2,18 persen,
sedangkan jumlah penduduk yang bekerja pada kelompok angkatan kerja hanya
meningkat sedikit yaitu 0,56 persen, sehingga angkatan kerja yang tidak bekerja
meningkat sebesar 5,44 persen. Sedangkan penduduk yang tidak bekerja penuh
atau yang termasuk pengangguran tersembunyi sedikit mengalami penurunan
yaitu dari sebanyak 34,6 persen pada tahun 2008 dari jumlah angkatan kerja
yang bekerja, menjadi 33,9 persen pada tahun 2009. Hal ini mengindikasikan
bahwa dalam kondisi kesempatan kerja yang semakin sempit, penduduk tetap
mencari pekerjaan untuk memperoleh pendapatan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 26
Tingginya angka pengangguran terbuka disebabkan oleh penyerapan
tenaga kerja di Provinsi Riau masih rendah, yang dapat dilihat dari tingkat
partisipasi angkatan kerja yang menurun dari 62,83 persen pada tahun 2008
menjadi 62,08 persen pada tahun 2009. Salah satu penyebab penurunan tingkat
partisipasi angkatan kerja adalah laju pertambahanjumlah angkatan kerja, lebih
besar dari laju pertambahan kesempatan kerja. Sehingga bertambahnya jumlah
angkatan kerja tidak mampu diserap oleh lapangan kerja.Bertambahnyajumlah
angkatan kerjatersebut sebagai akibat daribertambahn penduduk yang masuk
dalam usia kerja yang sedang mencari pekerjaan, serta besarnya arus migrasi
masuk dibandingkan dengan migrasi keluar.
2.1.2.2 Fokus Kesejahteraan Sosial
a. Angka melek huruf
Tingginya penduduk yang buta huruf merupakan salah satu karakteristik
penduduk miskin yang disebabkan oleh akses yang terbatas terhadap
pendidikan formal dan non formal, yang diakibatkan oleh berbagai faktor, antara
lain rendahnya pendapatan dan tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah
dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah dan guru
bermutu di daerah dan komunitas miskin di pedesaan, daerah terpencil dan
kantong-kantong kemiskinan, serta terbatasnya jumlah, sebaran dan mutu
program kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan non formal. Berbagai
kebijakan pemerintah untuk meningkatkan akses penduduk miskin terhadap
pendidikan telah dilakukan melalui memeprluas akses penduduk miskin untuk
memperoleh pendidikan melaluui bantuan beasiswa penduduk miskin dan
pendidikan yang murah, pemerataan pendidikan untuk memperoleh
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, efisiensi manajemen
pendidikan dan peningkatan relevansi pendidikan mulai dari anak usia dini
sampai dengan orang lanjut usia.
Tingkat buta huruf di Provinsi Riau masih terdapat sebesar 2,20 persen
pada tahun 2007 dan terus mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi
2,19 persen dan tahun 2010 menjadi sebesar 1,65 persen. Kabupaten Kepulauan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 27
Meranti merupakan kabupaten dengan tingkat buta huruf yang masih tinggi
pada tahun 2010 yaitu sebesar 9,82 persen, kemudian Kabupaten Kuantan
Singingi sebesar 2,18 persen. Sedangkan Kota Pekanbaru dan Kota Dumai
merupakan daerah dengan tingkat buta huruf yang paling rendah yaitu masing-
masing 0,13 persen dan 0,69 persen (Tabel 2.11).
Tabel 2.11 Angka Melek Huruf Tahun 2007 s.d. 2010 Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Riau
No. Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010
1 Kabupaten Kuantan Singingi 97,80 97,80 97,81 97,82
2 Kabupaten Indragiri Hulu 97,63 97,67 97,76 98,16
3 Kabupaten Indragiri Hilir 98,52 98,52 98,79 99,06
4 Kabupaten Pelalawan 97,80 97,60 98,44 98,46
5 Kabupaten Siak 98,21 98,21 98,49 98,56
6 Kabupaten Kampar 98,10 98,10 98,44 98,48
7 Kabupaten Rokan Hulu 97,38 97,38 97,98 98,28
8 Kabupaten Bengkalis 97,29 97,38 97,79 98,09
9 Kabupaten Rokan Hilir 97,37 97,37 97,80 97,99
10 Kabupaten Kepulauan Meranti -- -- 89,73 90,18
11 Kota Pekanbaru 99,77 99,77 99,80 99,87
12 Kota Dumai 99,28 99,28 99,30 99,31
Riau 97,80 97,81 98,11 98,35
Sumber: BPS Provinsi Riau (Data Annual 2011 Provinsi Riau hal. 63)
b. Angka rata-rata lama sekolah
Secara umum cakupan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun
yang digalakkan sejak tahun 1994, belum tercapai di Provinsi Riau. Program
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun bertujuan untuk meningkatkan angka
partisipasi sekolah penduduk usia 7-15 tahun, sehingga dapat menyelesaikan
pendidikan minimal lulus jenjang sekolah menengah atau yang sederajat. Kajian
mendalam terhadap permasalahan pemerataan pendidikan khususnya untuk
penduduk usia 7-15 tahun pada setiap daerah perlu menjadi perhatian untuk
meningkatkan angka partisipasi sekolah penduduk di setiap kabupaten/kota.
Daerah yang telah berhasil mencapai program wajib belajar pada tahun
2010 adalah Kota Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 28
Siak (Tabel 2.12). Secara umum dapat dilihat bahwa daerah yang berhasil
menuntaskan program wajib belajar adalah daerah perkotaan dengan
infrastruktur pendidikan yang tersedia cukup. Sedangkan daerah lain pada
umumnya sebaran sarana pendidikan masih menjadi persoalan untuk
meningkatkan akses penduduk terhadap sarana pendidikan dan pelayanan
pendidikan, sehingga mengakibatan tingkat partisipasi sekolah yang masih
rendah, dan pada akhirnya mengakibatkan rata-rata lama sekolah yang masih
rendah.
Tabel 2.12 Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2006 s.d. 2010 Provinsi Riau
No. Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 2010
1 Kabupaten Kuantan Singingi 7,80 7,80 7,80 7,81 7,99 2 Kabupaten Indragiri Hulu 7,30 7,72 7,72 7,96 7,98 3 Kabupaten Indragiri Hilir 7,60 7,60 7,60 7,62 7,62 4 Kabupaten Pelalawan 7,30 7,67 7,93 7,95 8,21 5 Kabupaten Siak 8,80 8,80 8,80 9,03 9,08 6 Kabupaten Kampar 8,00 8,23 8,44 8,46 8,49 7 Kabupaten Rokan Hulu 7,60 7,50 7,50 7,55 7,56 8 Kabupaten Bengkalis 8,80 8,60 8,86 8,99 9,12 9 Kabupaten Rokan Hilir 7,20 7,20 7,20 7,48 7,87 10 Kabupaten Kepulauan
Meranti - - - 7,32 7,32
11 Kota Pekanbaru 11,30 11,30 11,30 11,32 11,33 12 Kota Dumai 9,70 9,70 9,70 9,72 9,72 RIAU 8,40 8,40 8,51 8,56 8,58 Sumber: BPS Provinsi Riau (Data Annual 2011 Provinsi Riau hal. 62)
Beberapa penyebab tingkat partisipasi sekolah yang rendah adalah
penyebaran sarana sekolah untuk setiap jenjang pendidikan pada setiap daerah
(desa dan kecamatan) di masing-masing kabupaten/kota tidak merata, sehingga
mempengaruhi kemudahan akses terhadap fasilitas pendidikan. Penyebaran
sarana sekolah yang tidak merata terkait dengan letak geografis Riau yang
banyak dipisahkan oleh sungai dan laut, sehingga sekolah tidak mungkin
dibangun jika jumlah murid yang ada terlalu sedikit. Sementara itu, fasilitas
pendidikan yang tidak tersedia menyebabkan anak sulit untuk mengakses
sekolah yang jauh.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 29
Rendahnya angka partisipasi sekolah di Provinsi Riau telah
mengakibatkan rata-rata lama sekolah penduduk di Riau juga semakin rendah.
Pada tahun 2010 rata-rata lama sekolah penduduk Riau baru mencapai 8,58
tahun, artinya belum mencapai pendidikan wajib belajar 9 tahun. Rata-rata lama
sekolah penduduk laki-laki lebih tinggi yaitu 8,8 tahun sedangkan anak
perempuan 8,3 tahun. Kondisi ini juga mengakibatkan masih banyak ditemukan
penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta huruf.
2.1.3 Aspek Pelayanan Umum
2.1.3.1 Fokus Layanan Urusan Wajib
a. Angka paritisipasi sekolah
Angka partisipasi sekolah tergambar dari angka APK, APM, dan APS untuk
jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA seperti yang terlihat
pada Tabel 2.13. Tabel ini menunjukkan trend angka partisipasi sekolah yang
terus meningkat dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Meskipun
demikian, angka partisipasi sekolah untuk tingkat SMA/MK/MA masih harus
ditingkatkan lagi. Karena itu, fokus peningkatan untuk tingkatan ini harus
diberikan perhatian lebih.
Kesenjangan angka partisipasi untuk tingkatan SMA/MK/MA ini pada
kabupaten/kota terlihat pada Kabupaten Indragiri Hilir, Pelalawan, Indragiri
Hulu dan Rokan Hulu seperti terlihat pada Tabel 2.14. Persentase penduduk
yang bersekolah untuk usia 19-24 tahun (Strata 1) untuk kabupaten/kota juga
memperlihatkan angka yang masih rendah secara keseluruhan di Provinsi Riau.
Selain di Kota Pekanbaru, Dumai, Kabupaten Bengkalis dan Kampar, persentase
masyarakat yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi masih sangat rendah,
dibawah 10%. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Provinsi.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 30
Tabel 2.13 Perkembangan APK, APM, dan APS Tahun 2006 s.d. 2010 Provinsi Riau
No Jenjang/Umur Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
1 Angka Partisipasi Kasar (APK) [%]
SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA
104,52 89,71 65,15
106,72 95,21 68,70
108,45 99,70 81,42
110,60 100,30 76,80
111,49 101,82 77,77
2 Angka Partisipasi Murni (APM) [%]
SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA
96,26 85,78 62,76
99,08 93,70 65,81
99,10 98,44 76,10
95,56 93,65 67,10
96,04 94,17 67,13
3 Angka Partisipasi Sekolah (APS) [%]
7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun
97,68 91,15 62,87
97,92 91,11 63,64
98,27 91,54 62,63
98,55 91,58 63,92
98,75 92,09 64.54
Sumber: Data Annual 2011 Provinsi Riau hal.56
Tabel 2.14 Persentase Penduduk Berumur 7-24 Tahun ke Atas yang Masih
Sekolah menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2010
Kabupaten/Kota
Kelompok Umur Jumlah
7 – 12 13-15 16-18 19-24
01. Kuantan Singingi 99,07 94,37 55,79 9,82 66,85
02. Indragiri Hulu 97,84 92,27 52,69 8,43 62,08
03. Indragiri Hilir 98,55 81,66 39,78 5,49 59,21
04. Pelalawan 96,53 88,38 57,43 6,50 61,40
05. Siak 98,73 95,80 69,76 7,64 68,60
06. Kampar 99,41 94,10 68,17 16,69 67,21
07. Rokan Hulu 98,23 88,99 54,08 6,78 63,87
08. Bengkalis 99,46 97,04 74,65 11,28 68,88
09. Rokan Hilir 98,98 91,27 65,56 9,84 69,29
10. Kep. Meranti 97,76 89,54 67,63 5,94 65,62
11. Pekanbaru 99,23 95,97 77,80 32,71 71,71
12. Dumai 99,45 93,95 76,59 14,41 70,47
Jumlah 98,75 92,09 64,54 14,02 66,63
Sumber: Data Susenas 2010 dalam Riau Dalam Angka 2011
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 31
b. Rasio ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah
Rasio ketersediaan guru terhadap siswa pada tingkat pendidikan dasar
dan menengah sebenarnya sudah cukup baik, seperti terlihat pada Tabel 2.15.
Yang menjadi masalah adalah tingkat pemerataannya pada setiap
kabupaten/kota. Sementara itu, kualifikasi dan kualitas guru yang mengajarpun
belum bisa diperbandingkan dari data yang ada. Sementara itu, rasio jumlah
murid per sekolah pada Tabel 2.16 menunjukkan tingkat kecukupan yang
memadai. Meskipun demikian, angka ini belum bisa menunjukkan jumlah murid
per kelasnya. Di wilayah perkotaan (Pekanbaru dan Dumai) misalnya, rasio
siswa/sekolah yang tinggi bisa jadi disebabkan oleh banyaknya jumlah ruang
kelas pada sekolah-sekolah itu, sementara di daerah kabupaten, rasio yang lebih
rendah bisa jadi disebabkan oleh jumlah ruang kelas per sekolah yang juga
rendah. Selain itu, perbandingan pemerataan antara wilayah perkotaan dengan
di luar perkotaan belum bisa dilakukan karena keterbatasan data, padahal
banyak permasalahan terjadi karena penyebaran yang tidak seimbang ini.
Tabel 2.15 Jumlah sekolah, guru, dan murid Tahun Ajaran 2010/2011 di
Provinsi Riau
No Jenjang Pendidikan
TAHUN AJARAN 2010/2011
Sekolah Guru Siswa Rasio
Siswa/Guru
1 TK/RA 1.231 6.408 63.164 9,85
2 SD/MI/PLB 3.462 45.866 830.087 18,09
3 SMP/MTs 1.154 25.408 238.767 9,40
4 SMA/MA/SMK 735 17.329 167.995 9,69
Sumber: Data Annual Provinsi Riau 2011
Tabel 2.16 Jumlah Sekolah dan Murid Jenjang Pendidikan Dasar Tahun
2010/2011 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
No. Kabupaten/Kota
SD/MI SMP/MTs
Jumlah sekolah
Jumlah murid
Rasio Jumlah sekolah
Jumlah murid
Rasio
1 Kabupaten Kuantan Singingi
236 39.612 168 70 12.374 177
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 32
2 Kabupaten Indragiri Hulu
284 55.644 196 59 16.256 276
3 Kabupaten Indragiri Hilir
336 83.666 249 98 17.255 176
4 Kabupaten Pelalawan 207 42.132 204 55 9.870 179
5 Kabupaten Siak 195 56.851 292 74 16.903 228
6 Kabupaten Kampar 460 94.390 205 100 22.985 230
7 Kabupaten Rokan Hulu 335 67.822 202 82 6.090 74
8 Kabupaten Bengkalis 327 70.211 215 92 18.002 196
9 Kabupaten Rokan Hilir 336 82.642 246 98 23.054 235
10 Kabupaten Kepulauan Meranti
-- -- -- --
11 Kota Pekanbaru 241 102.833 427 87 37.118 427
12 Kota Dumai 265 30.599 115 54 10.428 193
Jumlah 3.222 726.402 225 869 190.335 219
Sumber: Data Annual Provinsi Riau 2011
c. Kesehatan Penduduk dan Indeks Pembangunan Manusia
Untuk kesehatan penduduk, data yang bisa diukur dan dibandingkan
adalah data tentang trend status gizi balita (Tabel 2.17 dan 2.18). Data ini
menujukkan bahwa Kecenderungan gizi buruk adalah menurun terus setiap
tahunnya dari tahun 2006 sampai tahun 2009. Pada tahun 2010 terjadi sedikit
kenaikan. Pada tingkat kabupaten/kota, kasus gizi buruk yang relatif masih lebih
tinggi di Riau adalah pada kabupaten Pelalawan dan Rokan Hulu yang perlu
mendapatkan perhatian lebih.
Tabel 2.17 Trend Status Gizi Balita di Provinsi Riau (%)
No Status Gizi Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010
1. 2. 3. 4.
Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih
2,7 11,5 82,3 3,5
4,4 14,8 77,4 3,4
3,3 11,8 83,5 1,4
2,9 11,9 83,6 1,7
1,8 7,9
89,1 1,2
2,1 10,98 84,83 2,09
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Riau dalam Data Annual Prov. Riau 2011
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 33
Tabel 2.18 Sebaran Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U) di Provinsi Riau Tahun 2009-2010
No. Kabupaten/
Kota Balita yang Ditimbang
Status Gizi (%)
Buruk Kurang Baik Lebih
1 Kuantan Singingi 2.871 1,92 10,48 87,50 0,10
2 Indragiri Hulu 3.657 2,00 8,67 87,75 1,59
3 Indragiri Hilir 4.940 2,21 1,64 82,63 3,52
4 Pelalawan 2.983 2,88 11,13 82,47 3,52
5 Siak 3.482 1,46 10,71 86,24 1,58
6 Kampar 5.144 2,18 11,72 84,16 1,94
7 Rokan Hulu 4.023 2,96 11,61 83,30 2,14
8 Bengkalis 2.060 2,52 13,74 82,48 1,26
9 Rokan Hilir 3.146 1,78 11,98 83,85 2,38
10 Kep. Meranti 1.367 2,41 7,83 88,59 1,17
11 Pekanbaru 3.155 1,27 9,95 86,28 2,50
12 Dumai 1.145 1,14 10,75 86,90 1,40
R I A U 2010 37.973 2,1 10,98 84,83 2,09
2009 436.189 1,8 7,9 89,1 1,2
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Riau dalam Data Annual Prov. Riau 2011 hal.65
Dilihat dari data Indek Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Riau
pada Tabel 2.19 yang merupakan deskripsi dari tiga komponen sosial yaitu
indeks harapan hidup, pendidikan dan standar hidup layak, maka secara umum
IPM Provinsi Riau termasuk kategori menengah (IPM 66,0-79,9). Meskipun data
IPM menunjukkan kecendrungan pembangunan manusia yang relatif baik,
namun dari segi pemerataan masih tergolong kurang antara daerah perkotaan
dan pedesaan yang ditunjukkan dengan nilai Gini Ratio 0,33 pada Tahun 2009.
Tabel 2.19 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota
se-Provinsi Riau
No. Kabupaten/Kota IPM
2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Kuantan Singingi 71,6 71,9 72,5 72,95 73,38 73,70
2 Indragiri Hulu 70,9 72,0 73,0 73,43 73,89 74,18
3 Indragiri Hilir 72,7 73,4 73,9 74,41 74,95 75,24
4 Pelalawan 69,2 70,0 71,4 72,07 72,69 73,18
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 34
5 Siak 73,5 74,6 75,2 75,64 76,05 76,46
6 Kampar 71,7 72,0 73,0 73,64 74,14 74,43
7 Rokan Hulu 70,1 71,0 71,4 71,84 72,29 72,66
8 Bengkalis 72,9 73,1 73,4 74,12 74,64 75,11
9 Rokan Hilir 68,6 70,9 71,1 71,51 71,98 72,43
10 Kep. Meranti - - - - 70,15 70,62
11 Pekanbaru 75,9 76,2 77,0 77,54 76,91 78,27
12 Dumai 75,3 75,5 76,3 76,91 77,33 77,75
PROVINSI R I A U 73,6 73,8 74,6 75,09 75,06 76,07
Sumber: Data Annual Prov. Riau 2011
2.1.3.2 Fokus Layanan Urusan Pilihan
a. Jumlah investor berskala nasional (PMDN/PMA)
Fluktuasi penanaman modal di Provinsi Riau masih cukup besar dan
belum stabil. Berdasarkan jumlah investor, pada tahun 2009 terjadi penurunan
yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya. Sebagai salah satu akibatnya
adalah menurunnya angka penyerapan tenaga kerja. Hal ini bisa dilihat pada
Tabel 2.20, 2.21, dan 2.22.
Beberapa hal yang menjadi faktor penyebabnya antara lain adalah imbas
dari kelesuan ekonomi dunia pada tahun 2008. Selain itu, penyebab dari dalam
Provinsi Riau sendiri adalah kondisi infrastruktur jalan banyak yang rusak dan
minim dana pemeliharaan, terutama jalan nasional dan provinsi.
Tabel 2.20 Jumlah Investor PMDN/PMA Tahun 2005 s.d. 2009
(Berdasarkan Surat Persetujuan Penanaman Modal) di Provinsi Riau
Tahun PMDN PMA Total
2005 11 9 20
2006 4 35 39
2007 6 20 26
2008 11 26 37
2009 8 12 20
Sumber: Data Annual Prov. Riau 2011
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 35
b. Jumlah nilai investasi berskala nasional (PMDN/PMA) Tabel 2.21 Jumlah Investasi PMDN dan PMA Tahun 2005 s.d. 2009
(Berdasarkan Izin Usaha Tetap) di Provinsi Riau
Tahun PMDN
(Rp milyar) PMA
(US$ juta)
2005 4.579,5 179,7
2006 20.898,2 1.839,4
2007 1.385,4 3.592,3
2008 3.700,4 471,8
2009 1.930,4 425,4
Sumber: Data Annual Prov. Riau 2011
c. Rasio daya serap tenaga kerja Tabel 2.22 Rasio Daya Serap Tenaga Kerja Tahun 2007 s.d. 2009
Provinsi Riau
No. Uraian 2007 2008 2009
1 Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan PMA/PMDN
20.775 8.067 7.571
2 Jumlah seluruh PMA/PMDN 26 37 20
3 Rasio daya serap tenaga kerja 799,0 218,0 378,6
Sumber: Data Annual Prov. Riau 2011
2.1.4 Aspek Daya Saing Daerah
Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam
mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan
dengan tetap terbuka pada persaingan dengan provinsi lainnya yang berdekatan,
domestik, atau internasional.
2.1.4.1 Fokus Kemampuan Ekonomi Daerah
a. Pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita (angka konsumsi RT
perkapita)
Di antara aspek daya saing daerah yang bisa diukur adalah pengeluaran
konsumsi rumah tangga per kapita seperti yang diperlihatkan di Tabel 2.23.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 36
Pada tabel ini terlihat bahwa terdapat perbedaan cukup signifikan antara
wilayah perkotaan dan pedesaan dalam hal pengeluaran rata-rata per kapita
selama sebulan. Untuk wilayah perkotaan, jumlah total pengeluaran rata-rata
per kapita selama sebulan adalah Rp 719.711 dibandingkan dengan yang di
wilayah pedesaan sebesar Rp 475.345 atau sekitar 66%. Perbedaan yang cukup
besar ini menunjukkan ketimpangan tingkat kesejahteraan antara penduduk
kota dan desa.
Tabel 2.23 Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan di Daerah Perkotaan dan
Kelompok Barang
2009 2010
Perkotaan Pedesaan
Perkotaan dan
Pedesaan Perkotaan Pedesaan
Perkotaan
dan Pedesaan
A. Makanan
1. Padi-padian 42 786 48 308 45 525 40.988 49.346 45.134
2. Umbi-umbian 3 777 3 396 3 588 4.438 3.384 3.412
3. Ikan 43 027 38 114 40 590 46.408 40.931 43.691
4. Daging 12 686 8 671 10 694 11.855 8.564 10.222
5. Telur dan Susu 25 513 15 799 20 695 27.787 16.335 22.106
6. Sayur-sayuran 28 128 27 601 27 866 28.810 29.336 29.086
7. Kacang-kacangan
5 600 4 930 5 267 5.441 5.482 5.461
8. Buah-buahan 14 508 11 220 12 877 15.350 11.971 13.674
9. Minyak dan Lemak
13 807 13 310 13 560 14.236 13.976 14.107
10. Bahan Minuman 10 990 12 011 11 497 12.832 14.360 13.590
11. Bumbu-bumbuan
5 054 5 672 5 361 5.449 5.933 5.689
12. Konsumsi Lainnya
77 945 7 165 7 558 7.781 6.180 6.987
13. Makanan dan minuman jadi
80 112 33 129 56 808 96.358 33.089 64.976
14. Tembakau dan sirih
34 704 34 217 34 463 39.806 37.239 38.533
Jumlah Makanan 398 637
263
543 296 349 357.539 276.126 316.668
B. Bukan makanan
1. Perumahan dan fasilitas rumah tangga
136 020 87
940
112 172 148.077 87.123 117.843
2. Aneka barang dan jasa
Goods and services
108,672 65
601 87 308 128.759 63.248 96.264
3. Pakaian, alas kaki dan tutup kepala
31 391 18
890 25 190 36.130 19.645 27.954
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 37
Pedesaan menurut Kelompok Barang Tahun 2009 dan 2010 (dalam rupiah) Sumber: Riau Dalam Angka 2010 dan Riau Dalam Angka 2011
b. Nilai Tukar Petani
Nilai tukar petani juga bisa menunjukkan aspek daya saing daerah dari
sisi pertanian. Rasio nilai tukar petani bisa dilihat pada Tabel 2.24 yang
menunjukkan bahwa rasio yang terbesar masih pada subsektor hortikultura,
sedangkan yang terendah adalah pada subsektor perikanan. Selain itu, terdapat
peningkatan rasio yang cukup signifikan antara tahun 2009 dan 2011 pada
subsektor tanaman perkebunan rakyat dari 93,13 pada tahun 2009 menjadi
105,76 pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan di
subsektor tanaman perkebunan rakyat bisa digolongkan cukup berhasil. Secara
keseluruhan, terdapat peningkatan rasio (NTP) dari tahun 2009 ke tahun 2011,
yakni dari rata-rata 99,06 menjadi 104,97.
Tabel 2.24 Nilai Tukar Petani (NTP) Tahun 2009, 2010, dan 2011 Menurut Subsektor di Provinsi Riau
No. Kabupaten/Kota Indeks Yang
Diterima Petani (It)
Indeks Yang Dibayar
Petani (Ib) Rasio (NTP)
Tahun 2009
1 Subsektor Hortikultura 125,64 115,19 109,59
2 Subsektor Tanaman Pangan 118,95 114,63 103,77
3 Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat 109,24 117,28 93,13
4 Subsektor Peternakan 122,51 120,70 101,48
5 Subsektor Perikanan 107,30 115,00 93,30
Rata-rata 115,26 116,34 99,06
Tahun 2010
1 Subsektor Hortikultura 130,41 116,33 112,10
2 Subsektor Tanaman Pangan 128,16 116,28 110,21
3 Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat 119,12 118,88 100,20
4 Subsektor Peternakan 128,64 124,28 103,45
4. Barang yang tahan lama
32 591 45
265 38 877 34.732 18.355 26.609
5. Pajak dan Premi Asuransi
7 040 4 381 5 721 9.358 4.807 7.101
6. Keperluan pesta dan upacara
13 947 4 874 9 447 5.116 6.041 5.575
Jumlah Bukan Makanan
329 662 226
950 278 715 362.172 199.219 281.346
Jumlah 728 298 490
494 575 064 719.711 475.345 598.014
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 38
5 Subsektor Perikanan 108,14 116,18 93,08
Rata-rata 122,07 118,02 103,43
Tahun 2011 (*)
1 Subsektor Hortikultura 140,38 123,17 113,97
2 Subsektor Tanaman Pangan 138,21 123,44 111,97
3 Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat 133,33 126,07 105,76
4 Subsektor Peternakan 132,37 130,88 101,14
5 Subsektor Perikanan 111,78 121,47 92,02
Rata-rata 131,21 125,01 104,97
Sumber: Riau Dalam Angka 2011; (*) data hingga bulan Juni 2011
c. Pengeluaran konsumsi non pangan (persentase konsumsi RT untuk non
pangan)
Rasio pengeluaran konsumsi non pangan dibandingkan dengan total
pengeluaran dapat dilihat pada Tabel 2.25. Di sini terlihat bahwa nilainya
hampir berimbang mendekati 0,5, meskipun pada tahun 2009 dan 2010 turun
kembali menjadi 0,47. Nilai ini menunjukkan bahwa pengeluaran non pangan
sedikit masih dibawah pengeluaran pangan yang berarti tingkat kesejahteraan
penduduk yang masih rendah karena masih didominasi oleh urusan pangan.
Tabel 2.25 Persentase Konsumsi RT non pangan Tahun 2005, 2008, dan 2009
Provinsi Riau (dalam Rupiah)
No. Uraian 2005 2008 2009 2010
1 Total Pengeluaran RT non Pangan
155.173 258.568 278.715 281.346
2 Total Pengeluaran 350.858 520.258 575.064 598.014
3 Rasio 0,442 0,497 0,485 0,470
Sumber: Riau Dalam Angka 2011 2.1.4.2 Fokus Fasilitas Wilayah/Infrastruktur
Kondisi jalan baik untuk jalan negara, provinsi, dan kabupaten/kota pada
tahun 2010 dengan bandingan pada tiga tahun sebelumnya dapat dilihat pada
Tabel 2.26 dan 2.27. Pada tabel ini terlihat bahwa pada Tahun 2010, 16,08%
jalan nasional/negara di Provinsi Riau dalam kondisi rusak dan rusak berat.
Disamping itu, 46,13% jalan provinsi mengalami kerusakan ringan dan berat.
Pada tahun 2011 ini kerusakan semakin parah, terutama jalan-jalan akses ke
Kota Dumai.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 39
Besarnya tingkat kerusakan infrastruktur jalan di Provinsi Riau bukan
merupakan hal yang luar biasa mengingat tiga sektor pendukung perekonomian
Riau adalah industri pengolahan seperti industri pengolahan kayu,
pertambangan dan pertanian yang didominasi perkebunan kelapa sawit dan
karet. Ketiga sektor perekonomian ini memberikan beban yang sangat besar
pada infrastruktur jalan di Provinsi Riau akibat mobilisasi kendaraan angkutan
peralatan, bahan baku dan hasil olahan yang bertonase tinggi. Disamping itu,
kerusakan infrastruktur jalan juga disebabkan sebagian besar kondisi tanah
dasar (subgrade) di Provinsi Riau merupakan tanah lunak dengan daya dukung
yang rendah. Keterbatasan anggaran biaya dan pemanfaatan teknologi
stabilisasi/perkuatan tanah lunak pada pembangunan infrastruktur jalan di
Provinsi Riau merupakan beberapa faktor yang menyebabkan daya dukung
infrastruktur jalan yang dibangun tidak sesuai dengan beban tonase lalu lintas
kendaraan yang ada.
Kerusakan infrastruktur jalan ini baik secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi dasa saing perekonomian dan minat investasi di
Provinsi Riau. Kerusakan infrastruktur jalan diperkirakan menjadi salah satu
alasan menurunnya tingkat investasi Provinsi Riau pada tahun 2010.
Tabel 2.26 Panjang jaringan jalan dalam km di Provinsi Riau berdasarkan kondisi
Tahun 2010 dengan bandingan kondisi tiga tahun sebelumnya
Tingkat Pemerintahan Baik Sedang Rusak Rusak Berat
Jumlah
1. Negara 321,96 556,34 128,08 128,08 1.134,46
2. Provinsi
483,80 1.143,32 693,57 712,63 3.033,32
3. Kabupaten/Kota (*) N/A N/A N/A N/A N/A
Jumlah 2010 805,76 1.699,66 821,65 840,71 4.167,78
2009 7.856,41 7.832,71 4.841,98 3.194,26 23.725,36
2008 6.128,89 6.875,37 3.885,07 5.241,26 22.130,59
2007 6.074,40 6.974,56 3.486,78 5.594,85 22.130,59
Sumber: Riau Dalam Angka 2011; (*) data tidak tersedia
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 40
Tabel 2.27 Panjang jaringan jalan (dalam km) milik Kabupaten/Kota berdasarkan kondisi Tahun 2009 menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
Kabupaten/Kota Baik Sedang Rusak Jumlah
01. Kuantan Singingi 544,00 996,94 205,00 1.745,94
02. Indragiri Hulu 248,65 592,99 704,40 1.546,04
03. Indragiri Hilir 72,30 1 096,73 103,35 1.272,38
04. Pelalawan 230,06 301,70 0,96 532,72
05. Siak 780,50 665,44 431,21 1.877,15
06. K a m p a r 827,16 566,77 405,54 1.799,47
07. Rokan Hulu 438,92 557,98 636,52 1.633,42
08. Bengkalis 433,13 354,25 312,36 1.099,74
10. Kepulauan Meranti 133,41 108,70 177,88 419,99
09. Rokan Hilir 1 005,00 570,20 252,99 1.828,19
71. Pekanbaru 1 102,05 579,70 642,37 2.324,12
73. Dumai 459,27 411,96 142,99 1.014,22
Jumlah/Total 2009 6.274,45 6.803,36 4.015,57 17.093,38
2008 4.830,29 5.697,92 7.442,94 17.971,16
2007 4.830,29 5.697,92 7.442,94 17.971,15
Sumber: Riau Dalam Angka 2011
2.1.4.3 Fokus Iklim Berinvestasi
a. Angka kriminalitas
Angka kriminalitas di Provinsi Riau adalah seperti terlihat pada Tabel
2.28. Secara angka, kriminalitas adalah dibawah 0,32%, atau lebih kurang
dibawah 3 kejadian setiap 1.000 penduduk dalam satu tahun. Angka ini diambil
dari kasus kriminalitas yang dilaporkan kepada kepolisian dalam lingkup Polda
Riau. Jumlah ini menunjukkan tingkat kriminalitas di Riau tergolong rendah
sehingga cukup kondusif untuk iklim berinvestasi. Kecenderungan angka
kriminalitas pun terus menurun dari tahun 2007 sampai dengan 2010.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 41
Tabel 2.28 Angka Kriminalitas di Provinsi Riau Tahun 2007 s.d. 2010
Jenis Kriminalitas 2007 2008 2009 2010
DL DS DL DS DL DS DL DS
1 Sengaja menimbulkan kebakaran/banjir
181 105 64 20 20 7 43 17
2 Karena alpa menimbulkan kebakaran/banjir
58 25 288 95 312 67 65 26
3 Sumpah palsu dan keterangan palsu
- - 9 3 4 7 20 29
4 Pemalsuan materai 3 1 2 - 3 - 1 4
5 Pemalsuan surat - - 73 27 65 22 71 52
6 Perzinahan - - - - - - 131 78
7 Perkosaan 131 71 212 136 159 139 83 54
8 Permainan judi 161 35 509 472 379 343 270 226
9 Penghinaann - - 2 1 2 - 51 31
10 Penculikan 50 30 94 48 45 25 13 4
11 Perbuatan yang tidak menyenangkan
12 8 150 78 159 72 162 110
12 Kejahatan terhadap jiwa/pembunuhan
32 19 154 58 82 49 28 20
Penganiayaan berat
- - 750 481 765 447 616 414
13 Mengakibatkan orang mati
- - 51 40 17 10 48 13
14 Mengakibatkan orang luka
- - 4 37 2 1 314 219
15 Pencurian biasa 3.060 1.479 909 285 1.031 355 916 488
16 Pencurian dg pemberatan
- - 1.400 547 1.017 402 1.527 675
17 Pencurian ringan - - - - - - 29 17
18 Pencurian dengan kekerasan
9.604 4.009 891 120 593 166 409 147
19 Pencurian dengan kekerasan ranmor
- - 1.230 92 717 68 1.165 185
20 Pencurian dg kekerasan sajam
- - 11 5 11 9 12 4
21 Pencurian dg kekerasan senpi
- - 7 - 5 - 6 -
22 Pemerasan dan pengancaman
189 106 299 144 136 57 131 90
23 Penggelapan 756 400 1.202 57 1.407 666 705 358
24 Penipuan 1.011 541 1.087 513 1.350 665 601 348
25 Menghancurkan atau merusak barang
285 134 289 168 208 79 180 73
26 Menerima suap - - - - - - 9 8
27 Penadahan 17 20 56 41 20 21 26 22
28 Mempekerjakan anak dibawah umur
- - - - - - 3 2
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 42
29 Penyalahgunaan senjata api
- - 11 8 6 6 7 5
30 Kejahatan pasar modal
- - - - - - 4 6
31 Poligami - - - - 18 9 16 15
32 Pengeroyokan - - 102 69 135 79 165 109
33 Lahgun CPO - - - - 2 2 6 3
34 Penyerobotan lahan
- - 161 84 113 38 64 33
35 Pencemaran nama baik
- - - - 36 15 37 32
36 Premanisme - - - - 1 - 3 1
37 Pencurian dalam keluarga
- - 22 1 20 8 3 3
38 Kejahatan konvensional lainnya
- - - - - - 116 46
39 Kejahatan konvensional lain-lain
180 115 683 420 422 307 86 41
40 Narkotika 580 580 1.087 1.087 1.112 1.112 483 394
41 Psikotropika - - 108 136 21 37 49 47
42 Perdagangan manusia
- - - - - - 2 2
43 Penyelundupan senjata api
- - - - - - 11 9
44 Korupsi - - 1 - 4 - 8 1
45 Penebangan kayu illegal
- - 44 21 76 40 234 146
46 Penangkapan ikan illegal
- - - - 4 2 2 2
47 Pertambangan illegal
- - - - - - 17 13
48 Fiskal - - - - - - 1 1
49 BBM Illegal
- - - - 16 7 10 7
50 Penyelundupan - - 26 21 34 28 25 21
51 Pemalsuan mata uang dan uang kertas
12 4 13 2 8 7 10 8
52 Penjualan DVD porno/bajakan
- - - - 3 4 3 3
53 Perkelahian - - - - - - - -
Total 16.322 7.682 12.001 5.317 10.540 5.378 8.997 4.662
Jumlah penduduk Riau 5.070.952 5.070.952 5.189.154 5.189.154 5.306.533 5.306.533 5.738.543 5.738.543
Rasio Kriminalitas (Persen)
0,32 0,15 0,23 0,10 0,20 0,10 0,16 0,08
Sumber: Riau Dalam Angka 2011; DL=dilaporkan, DS=diselesaikan
2.1.4.4 Fokus Sumber Daya Manusia
a. Kualitas tenaga kerja (rasio lulusan S1/S2/S3)
Rasio jumlah lulusan S1, S2, dan S3 adalah 3,61% (LKPJ Pemprov 2011).
Angka ini masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan jumlah penduduk
yang ada. Sementara itu, rasio ketergantungan penduduk di Riau adalah 0,56
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 43
yang berarti bahwa jumlah penduduk usia produktif hampir berimbang dengan
jumlah penduduk usia tidak produktif seperti terlihat pada Tabel 2.29.
Tabel 2.29 Rasio Ketergantungan Tahun 2009 dan 2010 di Provinsi Riau
No. Uraian 2009 2010
1 Jumlah penduduk usia <15 tahun 1.677.910 1.902.108
2 Jumlah penduduk usia >64 tahun 131.810 145.757
3 Jumlah penduduk usia tidak produktif (1+2) 1.809.701 2.047.865
4 Jumlah penduduk usia 15-64 tahun 3.496.822 3.690.679
5 Rasio ketergantungan (3/4) 0,517 0,555
Sumber: Riau Dalam Angka 2010 dan LKPJ Pemprov. Riau 2011
2.2 Evaluasi Pelaksanaan Program dan Kegiatan RKPD sampai
2011 dan Realisasi RPJMD
Telaah hasil evaluasi status dan kedudukan pencapaian kinerja
pembangunan daerah dilakukan berdasarkan rekapitulasi hasil evaluasi
pelaksanaan program dan kegiatan RKPD 2011 dan realisasi RPJMD yang
bersumber dari telaahan hasil evaluasi pelaksanaan Renja SKPD tahun 2011 dan
realisasi Renstra SKPD oleh masing-masing SKPD dan/atau dari laporan
pertanggungjawaban APBD 2011.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 44
Tabel 2.30 Evaluasi Hasil Pelaksanaan Perencanaan Daerah sampai dengan Tahun 2012 Provinsi Riau
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 45
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 46
Dengan melihat data realisasi, maka evaluasi pelaksanaan program dan
kegiatan RKPD sampai 2011 dan Realisasi RPJMD Provinsi Riau 2009-2013
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Secara umum target-target pencapaian indikator di dalam RPJMD
Provinsi Riau 2009-2013 untuk tahun 2011 tercapai dengan persentase
berkisar antara 90-100%. Meskipun demikian, masih ditemui adanya
pencapaian target dibawah 90% seperti pertumbuhan PDRB per tahun.
2. Beberapa indikator kinerja yang melebihi target ditemui pada indikator
angka partisipasi murni dan angka partisipasi kasar sekolah, serta nilai
tukar petani/nelayan.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 47
3. Faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya program dan target
kinerja pembangunan daerah tersebut antara lain adalah masih belum
tersedianya infrastruktur secara memadai seperti listrik, jalan, air bersih,
dan lainnya sehingga persetujuan investasi tidak terealisasi sesuai dengan
harapan sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu,
masih lemahnya koordinasi antar instansi.
4. Implikasi yag ditimbulkan dari capaian program RPJMD adalah
meningkatnya partisipasi masyarakat dalam hal mengikuti pendidikan
yang pada akhirnya menuntut penyediaan fasilitas yang memadai beserta
tenaga pendidiknya, yang pada konsekuensi akhirnya menuntut
kebijakan dan penganggaran yang memadai pula.
2.3 Permasalahan Pembangunan Daerah
Permasalahan daerah yang dipaparkan dibagi berdasarkan permasalahan
yang berhubungan dengan prioritas pembangunan daerah, dan permasalahan
lainnya yang berhubungan dengan layanan dasar dan tugas fungsi SKPD.
2.3.1 Permasalahan daerah yang berhubungan dengan prioritas dan
sasaran pembangunan daerah
Permasalahan yang berhubungan dengan tujuan dan sasaran
pembangunan khususnya program pembangunan daerah (RPJMD) dengan
prioritas pembangunan daerah (RKPD) pada tahun 2012 serta prioritas lain dari
kebijakan nasional yang bersifat mandatory antara lain adalah:
Kondisi lahan dominan rawa gambut (4,8 juta hektar) yang memerlukan
biaya pembangunan infrastruktur yang tinggi, serta biaya pemeliharaan
yang besar
Tumpang tindih kepemilikan lahan, baik dengan areal perusahaan, HTI,
konsesi, maupun sesama masyarakat. Akibatnya, program pembangunan
banyak yang terhambat karena status tanah yang banyak bermasalah
Produksi minyak bumi terus menurun dari tahun ke tahun, sementara
komoditas yang sedang berkembang seperti sektor perkebunan kelapa
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 48
sawit sampai saat ini masih memiliki risiko besar terhadap lingkungan
seperti pembakaran lahan, banjir, dan infrastruktur yang cepat rusak.
Kerusakan jalan akibat meningkatnya aktivitas pengangkutan TBS sawit
dan CPO, serta pengangkutan kayu akasia untuk industri pulp and paper.
Infrastruktur listrik dan air bersih masih sangat minim terutama di
daerah di luar perkotaan.
Distribusi penduduk dan pembangunan tidak merata
Kualitas SDM rendah
Degradasi lingkungan hidup akibat pembukaan hutan dan rawa gambut
untuk perkebunan
Ketergantungan pada kebijakan ekonomi luar negeri (krisis moneter
internasional) dan fluktuasinya yang tidak menentu
ACFTA yang menyebabkan barang impor deras masuk ke dalam negeri
dan mematikan produksi lokal
Kecenderungan investasi yang menurun dalam dua tahun terakhir
Isu Lingkungan hidup dan sorotan dunia akan degradasi hutan dan
gambut
Kebijakan pemerintah pusat yang berubah-ubah
Globalisasi dan persaingannya
2.3.2 Identifikasi permasalahan penyelenggaraan urusan pemerintahan
daerah
Permasalahan pembangunan pada urusan yang menyangkut layanan
dasar dan tugas/fungsi tiap SKPD. Identifikasi permasalahan menjelaskan apa
yang menjadi masalah di masa lalu dan masa mendatang serta gambaran solusi
yang ditawarkan.
Tabel 2.31 Identifikasi Permasalahan Pembangunan Daerah
No. Kriteria / Aspek Urusan Faktor-faktor
penentu keberhasilan
Permasalahan
(1) (2) (3) (4) (5) I Kinerja Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
a. Tataran Pengambil Kebijakan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 49
Ketenteraman dan ketertiban umum daerah
Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
Angka kriminalitas dibawah 3 kejadian per 1000 penduduk dalam setahun
Secara umum sudah baik, angka kriminalitas rendah
Keselarasan dan efektifitas hubungan antara pemerintahan daerah dan Pemerintah serta antar pemerintahan daerah dalam rangka pengembangan otonomi daerah
Pemerintahan Umum
Kejelasan Pengaturan kewenangan dan peraturan
Tumpang tindihnya kewenangan, peraturan, serta kebijakan pusat yang sering berubah-ubah
Keselarasan antara kebijakan pemerintahan daerah dengan kebijakan Pemerintah
Pemerintahan Umum
Pengaturan kewenangan
Koordinasi dan pembagian kewenangan yang sering tumpang tindih
Efektivitas hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD
Pemerintahan Umum
Koordinasi kerja dan fungsi
Secara umum sudah baik
Efektivitas proses pengambilan keputusan oleh DPRD beserta tindak lanjut pelaksanaan keputusan
Pemerintahan Umum
Koordinasi kerja dan fungsi
Secara umum sudah baik
Ketaatan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah pada peraturan perundang-undangan
Pemerintahan Umum
Ketaatan pada peraturan perundang-undangan
Kurang Sosialisasi dan pemahaman, serta aturan yang berubah-ubah
Intensitas dan efektifitas proses konsultasi publik antara pemerintah daerah dengan masyarakat atas penetapan kebijakan publik yang strategis dan relevan untuk daerah
Pemerintahan Umum
Lancarnya konsultasi publik
Pemahaman dan partisipasi masyarakat yang rendah
Transparansi dalam pemanfaatan alokasi, pencairan dan penyerapan DAU, DAK, dan Bagi Hasil
Pemerintahan Umum
Transparansi Tenaga teknis untuk penyusunan sistem pelaporan yang akuntabel masih terbatas
Intensitas, efektivitas, dan transparansi pemungutan sumber-sumber pendapatan asli daerah dan pinjaman/obligasi daerah
Pemerintahan Umum
Meningkatnya PAD Kesulitan dalam penghitungan potensi riel, teknis pengumpulan, dan peningkatan kesadaran masyarakat
Efektivitas perencanaan, penyusunan, pelaksanaan tata usaha, pertanggungjawaban, dan pengawasan APBD
Perencanaan Pembangunan
Perencanaan dan pelaksanaan APBD yang tepat sasaran
Kesulitan dalam disiplin untuk mengikuti program prioritas yang telah diatur di dalam RPJMD dan penentuan indikator
Pengelolaan potensi daerah Pemerintahan Umum
Terkelolanya potensi daerah
Terkendala rendahnya kualitas infrastruktur jalan dan minimnya listrik dan air bersih
Terobosan/inovasi baru dalam penyelenggaraan pemerintah daerah
Pemerintahan Umum
Inovasi baru Sudah mulai ada, tetapi belum menyeluruh
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 50
b. Tataran Pelaksana Kebijakan Kebijakan teknis
penyelenggaraan urusan pemerintahan
Pemerintahan Umum
Jelasnya petunjuk dan prosedur pelaksanaan teknis
Secara umum sudah baik
Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
Pemerintahan Umum
Ketaatan pada peraturan perundang-undangan
Kurang Sosialisasi dan pemahaman, serta aturan yang berubah-ubah
Tingkat capaian SPM (standar pelayanan minimal)
Pemerintahan Umum
Tercapainya SPM Kesulitan dalam pengukuran; dan sosialisasi yang kurang
Penataan kelembagaan daerah Pemerintahan Umum
Tertatanya kelembagaan daerah
Sudah cukup baik
Pengelolaan kepegawaian daerah Kepegawaian Tertatanya kepegawaian daerah
Secara umum sudah cukup baik
Perencanaan Pembangunan daerah
Perencanaan Pembangunan
Tertatanya perencanaan pembangunan daerah
Secara umum sudah cukup baik
Pengelolaan keuangan daerah Pemerintahan Umum
Tertatanya keuangan daerah
Tenaga teknis keuangan daerah yang masih kurang
Pengelolaan barang milik daerah Pemerintahan Umum
Tertatanya barang milik daerah
Secara umum sudah cukup baik
Pemberian fasilitasi terhadap partisipasi masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dan desa
Partisipasi masyarakat meningkat
Kurangnya sosialisasi, pemahaman dan partisipasi masyarakat rendah
II Kemampuan Penyelenggaraan
Otonomi Daerah
Kesejahteraan masyarakat Pendidikan dan Kesehatan
Indeks Pembangunan Manusia
Kualitas SDM masih rendah dan tidak merata
Pelayanan Umum Pemerintahan Umum
Pelayanan masyarakat
Masih perlu banyak peningkatan
Daya saing daerah Pemerintahan Umum
Meningkatnya daya saing
Masih perlu banyak peningkatan
Dengan telah teridentifikasinya berbagai masalah di atas, kemudian
dilakukan focus group discussion dalam forum tim untuk mendapatkan
permasalahan paling prioritas dengan terlebih dulu menambahkan informasi
dari permasalahan yang mungkin muncul dari hasil identifikasi kebijakan
nasional/provinsi dan dinamika lingkungan eksternal lainnya. Hasilnya disusun
sesuai dengan Tabel 2.32 berikut.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 51
Tabel 2.32 Identifikasi Permasalahan Pembangunan dari Kebijakan Nasional /Provinsi dan Lingkungan Eksternal lainnya
No.
Isu Penting dan Masalah Mendesak
Tingkat Nasional
Tingkat Provinsi
1. Prioritas Nasional 2 :
Pendidikan
Millenium Development Goals (MDGs)
a. Pendidikan :
1. Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun 2. Masih kurangnya sarana dan
prasarana SMA/SMK dalam rangka menuju Wajar 12 Tahun
3. Guru yang berpendidikan S1 baru mencapai 67,74%.
4. Masih banyak Ruang Kelas yang rusak.
Keterangan :
a. Penuntasan Wajar 9 Tahun, terutama difokuskan pada siswa miskin agar tidak terjadi siswa putus sekolah (Drop Out).
b. Dalam rangka menuju wajar 12 Tahun, masih diperlukan sarana dan prasarana SMA/SMK , guna memenuhi daya tamping siswa SMA/SMK.
c. Sesuia dengan PP No. 14 Tahun 2005, bahwa tenaga pendidik (guru) pada semua jenjang pendidikan wajib mempunyai kualitikasi S1/D4.
d. Kondisi ruang kelas di Provinsi Riau, Rusak Berat : SD/MI : 3.328 Unit SMP/MTS : 859 Unit SMA/MA/SMK : 700 Unit Rusak Ringan : SD/MI : 5.643 Unit SMP/MTs : 2.816 Unit SMA/MA/SMK : 4.866 Unit
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 52
Prioritas Nasional 3 :
Kesehatan
b. Kesehatan : a. Belum terlaksananya Universal
Coverage Pelayanan Jaminan Kesehatan.
b. Masih tingginya angka kematian ibu dan bayi, angka kesakitan akibat penyakit menular dan penyakit yang berpotensial wabah/KLB serta masalah gizi buruk dan gizi kurang.
c. Belum Optimalnya Upaya Pelayanan Kesehatan.
Keterangan :
a. Jaminan Kesehatan masyarakat merupakan kewajiban Pemerintah apalagi setelah disahkannya Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) sehingga pada tahun 2014 diharapkan semua Penduduk di Provinsi Riau sudah mempunyai jaminan Kesehatan (Universal Coverage Tahun 2014). Kondisi saat ini, penduduk yang telah memiliki jaminan sebanyak 1.642.843 orang (30 %) dan yang belum memiliki jaminan kesehatan sebanyak 3.780.118 orang (70%).
b. Mempercepat pencapaian tujuan dan target MDGs bidang Kesehatan di Provinsi Riau, diantaranya target yang perlu perhatian seperti penurunan kematian ibu dan anak, perbaikan gizi dan beberapa program yang belum mencapai target (masih dibawah target Nasional) diantaranya penanggulangan HIV/AIDS, Tuberkulosis, Imunisasi, Malaria dan DBD.
c. Upaya pelayanan kesehatan dilihat dari pencapaian Umur Harapan Hidup di Provinsi Riau ( 72,2 Tahun), relatif tinggi dan di atas rata-rata angka Nasional tetapi dalam pencapaian Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) capaian Provinsi Riau masih sangat memprihatinkan bahkan yaitu di level paling bawah . Hal ini terkait dengan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 53
sarana pelayanan kesehatan terutama peralatan dan bangunan (Infrastruktur) masih sangat kurang.
Prioritas Nasional 3 :
Kesehatan
c. Pemuda dan Olah Raga Belum optimalnya upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba dikalangan masyarakat
Keterangan :
Sosialisasi dan penyuluhan secara berkesinambungan dan terpadu perlu ditingkatkan kepada masyarakat, tentang bahaya narkoba
2. Prioritas Nasional 7 :
Iklim Investasi dan Iklim Usaha
Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
Keterangan :
a. Industri Hilir Kelapa Sawit belum
berkembang, belum banyak
pengembangan industry turunan, Provinsi
Riau baru menjual minyak sawit mentah
(Crude Palm Oil)
3. Prioritas Nasional 4 :
Penanggulangan Kemiskinan
Revitalisasi Pertanian :
Masih banyaknya lahan perkebunan yang
harus diremajakan (Kebun Karet Rakyat,
Kebun Kelapa Rakyat, Intensifikasi dan
diversifikasi dalam rangka mengurangi
kemiskinan.
Keterangan :
a. Kebun karet rakyat yang perlu
diremajakan lebih kurang 15 ribu Ha.
b. Kebun kelapa rakyat karet yang perlu
diremajakan lebih kurang 14 ribu Ha.
c. Diversifikasi tanaman kakao pada kebun
kelapa
d. Peningkatan produk pada perkebunan
rakyat.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 54
e. Percepatan penyelesaian Operasi Pangan
Riau Makmur (OPRM)
4. Prioritas Nasional 9 :
Infrastruktur
Infrastruktur, Energi dan Lingkungan
Hidup
Keterangan :
a. Tingginya tingkat kerusakan jalan di
Provinsi Riau menyebabkan
meningkatnya biaya transportasi serta
mengurangi tingkat keselamatan,
keamanan dan kenyamanan bagi
pengguna jalan.
b. Tingginya volume lalu lintas kendaraan
bermuatan yang melebihi kapasitas
(Overloading) menyebabkan kerusakan
jalan lebih awal
c. Tingginya pergerakan arus barang dan
orang menuju salah satu outlet utama
Provinsi Riau yaitu Pelabuhan Dumai,
sehingga sudah membutuhkan jalan yang
memiliki aksesibilitas tinggi, karena jalan
yang ada semakin dirasakan tidak mampu
mendukung sepenuhnya pergerakan arus
barang yang semakin tinggi. Untuk itu
pembangunan jalan Tol Pekanbaru –
Dumai dirasakan sudah semakin
mendesak untuk diimplementasikan.
d. Konstruksi jalan yang ada di Provinsi Riau
direncanakan dengan kapasitas 8 ton
sehingga tidak dapat melayani
operasional angkutan industry yang
membutuhkan kapasitas yang lebih tinggi
(MTS>10ton)
e. Sering terjadi longsor pada ruas jalan
yang dibangun di daerah perbukitan
f. Masih rendah dan terbatasnya sarana dan
prasarana air baku di wilayah Provinsi
Riau terutama pada daerah rawan air,
pesisir dan masyarakat berpanghasilan
rendah
g. Provinsi Riau masih mengalami defisit
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 55
pangan ± 48% dan di butuhkan
intensifikasi dan ekstensifikasi lahan
sawah dan sarana irigasi yang memadai
guna mengatasi deficit pangan melalui
Program Operasi Pangan Riau Makmur
(OPRM)
h. Tingginya abrasi pantai disepanjang
pesisir dan intensitas banjir di Provinsi
Riau yang dapat mengancam berbagai
sarana prasarana serta pemukiman
masyarakat disamping kerusakan
lingkungan lainnya
i. Sebagian besar wilayah Riau merupakan
wilayah rawan air dengan kondisi air baku
berupa air gambut serta tingkat pelayanan
yang masih rendah sehingga pengelola air
minum memerlukan pembiayaan yang
cukup besar apalagi dalam rangka
mencapai target MDG's.
j. Masih terbatasnya kemampuan daerah
dalam merencanakan program bidang
Pengembangan Permukiman
k. Masih kurangnya capaian Ruang Terbuka
Hijau (RTH) sesuai dengan undang-
undang yang mensyaratkan 30% dari luas
kota akibat kurangnya komitmen serta
pembiayaan oleh kabupaten/kota
l. Masih kurangnya sarana dan prasarana
serta fasilitas keselamatan Lalulintas
Angkutan Jalan (LLAJ)
m. Masih kurangnya sarana dan prasarana
jembatan timbang sehingga fungsi
jembatan timbang belum optimal
Pariwisata
Masih kurangnya kuantitas dan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung infrastruktur, dalam hal ini terutama jalan menuju daerah-daerah tujuan wisata
Keterangan :
a. Belum terpadunya pembangunan pariwisata dengan pembangunan pendukungnya lainnya.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 56
b. Masih rendahnya peran swasta dalam menunjang pembangunan pariwisata
5. Prioritas Nasional 9 :
Daerah Tertinggal, Terdepan,
Terluar dan Pasca Konflik
Pembangunan daerah dan kawasan
Perbatasan.
Keterangan :
a. Belum optimalnya pembangunan dan
pengembangan wilayah perbatasan antar
Negara di Provinsi Riau
b. Wilayah perbatasan antar negara di
Provinsi Riau berada di Selat Malaka yang
merupakan jalur perairan internasional
yang sibuk, yang dapat mengancam
pertahanan dan keamanan Negara,
denganlokasi: Kab. RokanHilir, Bengkalis,
Meranti, Indragiri Hilirdan Kota Dumai;
c. Orientasi masyarakat di kawasan
perbatasan cenderung keluar negeri
(Malaysia) karena akses informasi dan
infrastruktur lebih mendukung dan
memudahkan.
d. Infrastruktur dasar (jalan/jembatan, air
bersih, listrik, dan telekomunikasi) masih
terbatas.
e. Memiliki potensi sumberdaya alam yang
dapat dikembangkan atau dioptimalkan,
terutama pada sektor perikanan,
pertanian, perkebunan dan periwisata.
f. Kemampuan aparat keamanan untuk
mengawasi wilayah perbatasan sangat
terbatas karena keterbatasan sarana dan
prasarana pendukunng yang
menyebabkan terjadinya kasus-kasus
illegal fishing, perdagangan Manusia,
penyeludupan
g. Tingkat kesejahteraan masyarakat
wilayah perbatasan relatif rendah dan
sangat tergantung kehidupan pada
sumber daya laut.
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2013
II - 57
6. Prioritas Lainnya :
Bidang Kesejahteraan Rakyat
Islamic Solidarity Games 2013 (ISG)
Terbatasnya SDM dan anggaran daerah untuk penyelenggaraan ISG Tahun 2013 di Provinsi Riau
Keterangan :
a. Penyelenggaraan ISG Tahun 2013 perlu
dukungan pembiayaan yang syah baik
Pemerintah Pusat, Pemda maupun
swasta, guna suksesnya penyelenggaraan
event ISG.