BAB II RITUAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS -...

38
29 BAB II RITUAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS Bagian ini merupakan elaborasi dari pemikiran berkaitan dengan ritual dalam perspektif sosiologi. Tiga tokoh pemikir sosiologi klasik dirunut pemikirannya berkenaan dengan kajian ritual yang dipraktekan dan berkembang di dalam masyarakat. Abstraksi dari tiga tokoh besar sosiologi tersebut telah mewakili pemikiran dunia sosiologi tentang hadirnya agama, sebagai landasan terjadinya ritual di dalam masyarakat. Dari ketiga tokoh tersebut, Emile Durkheim yang akan didiskusikan secara mendalam terkait dengan ritual sebagai sui generis masyarakat, asal mula dan perkembangan di dalamnya. Secara definitif, kamus besar bahasa Indonesia mengenal ritual berkenaan dengan ritus; hal ihwal ritus. 1 Koentjoroningrat, tokoh antropologi sosial Indonesia memberi definisi bahwa ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara. 2 Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, di tempat tertentu dan memakai pakaian tertentu pula. 3 Ritual dipraksiskan di dalam masyarakat didasarkan kepada kepercayaan dan agama yang dianutnya. Dalam agama 1 Diakses di http://kbbi.web.id/ritual pada hari Senin, 9 November 2016, 21.23 WIB. 2 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial , ( Jakarta: Dian Rakyat, 1985), 56 3 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 41

Transcript of BAB II RITUAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS -...

29

BAB II

RITUAL DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Bagian ini merupakan elaborasi dari pemikiran

berkaitan dengan ritual dalam perspektif sosiologi. Tiga tokoh

pemikir sosiologi klasik dirunut pemikirannya berkenaan

dengan kajian ritual yang dipraktekan dan berkembang di

dalam masyarakat. Abstraksi dari tiga tokoh besar sosiologi

tersebut telah mewakili pemikiran dunia sosiologi tentang

hadirnya agama, sebagai landasan terjadinya ritual di dalam

masyarakat. Dari ketiga tokoh tersebut, Emile Durkheim yang

akan didiskusikan secara mendalam terkait dengan ritual

sebagai sui generis masyarakat, asal mula dan perkembangan

di dalamnya.

Secara definitif, kamus besar bahasa Indonesia

mengenal ritual berkenaan dengan ritus; hal ihwal ritus.1

Koentjoroningrat, tokoh antropologi sosial Indonesia memberi

definisi bahwa ritual merupakan tata cara dalam upacara atau

suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok

umat beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai macam

unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat

dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta

orang-orang yang menjalankan upacara.2 Pada dasarnya ritual

adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan

menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan

tertentu, di tempat tertentu dan memakai pakaian tertentu

pula.3 Ritual dipraksiskan di dalam masyarakat didasarkan

kepada kepercayaan dan agama yang dianutnya. Dalam agama

1 Diakses di http://kbbi.web.id/ritual pada hari Senin, 9 November 2016, 21.23

WIB. 2 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, ( Jakarta: Dian Rakyat,

1985), 56 3 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosda

Karya, 2001), 41

30 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

dan kepercayaan berkembang serangkaian ritual yang “harus”

dan “wajib” untuk dilakukan oleh para penganutnya.

Untuk menelisik lebih jauh tentang ritual, diperlukan

pembahasan tentang agama, dimana ritual berkelindan di

dalamnya.

A. Agama sebagai Candu Masyarakat

Agama sebagai candu diperkenalkan oleh Karl Marx

dalam konsepnya memahami agama. Secara eksplisit, karya-

karya Marx tidak ditemukan bahasan secara khusus dan

sistematis tentang agama, tetapi secara implisit Marx tentang

agama termuat di dalam pandangannya tentang alienasi di

dalam masyarakat. Dalam pandangan Young Marx, agama

adalah sebagai hasil dari keterasingan. Marx tidak

mengabaikan hubungan dialektis antara pikiran dan

masyarakat. Wawasan signifikan Marx adalah bahwa

kesadaran masyarakat menghasilkan keberadaan manusia,

keberadaan manusia ada dalam proses hidup. Kesadaran

adalah produk awal dalam kehidupan sosial, Baum

menegaskan bahwa Marx dalam analisanya dengan eksklusif

menekankan struktur ekonomi dan politik, Marx mengabaikan

faktor-faktor budaya.4

Marx dipengaruhi oleh filsafat Feuerbach, khususnya

pandangannya tentang agama: Menurut Feuerbach, Tuhan

adalah esensi kehidupan manusia yang mereka proyeksikan

menjadi sebuah kekuatan impersonal. Manusia menempatkan

Tuhan di atas dan di sekeliling mereka sendiri yang

menyebabkan mereka menjadi terasing dari Tuhan dan

membangun seperangkat ciri positif bagi Tuhan (bahwa Dia

mahasempurna, mahakuasa, dan mahasuci). Sementara

mereka merendahkan diri, mereka sendiri lantas menjadi

4 Lihat uraian lengkap di dalam Gregory Baum. Religion and Alienation: A

Theological Reading of Sociology (New York: Paulist Press, 1975), 33-48

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 31

manusia tidak sempurna, tanpa kuasa, dan tanpa dosa.

Menurut Feuerbach, masalah keyakinan agama seperti itu

harus diatasi dan kelemahannya itu harus dibantu dengan

filsafat materialis yang menempatkan manusia (bukan agama)

menjadi objek tertinggi diri mereka sendiri, menjadi tujuan di

dalam diri mereka sendiri. Filsuf materialistis mendewakan

manusia nyata, bukan gagasan abstrak seperti agama.5

Sejauh pemahaman tentang agama adalah hasil dari

proyeksi manusia, Marx menyetujui hal ini, tetapi Marx

memberikan kritikannya terhadap pandangan Feuerbach, Marx

mengatakan bahwa dalam pandangan Feurbach tidak terdapat

atau tidak mengandung pemahaman sosiologis. Bagi Marx,

ateisme dapat diterima jika disertai dengan analisa sosial dan

kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masyarakat, sehingga

manusia menciptakan ilusi keagamaan. Ateisme dapat diterima

jika tujuannya adalah mengarah secara radikal kepada

transformasi tatanan sosial, karena bagi Marx agama adalah

produk dari keterasingan sosial dan bagi Marx, fakta yang ada

dalam masyarakat bahwa ada terdapat kesenjangan antara

lembaga-lembaga sosial, sehingga menimbulkan beban bagi

orang-orang, kemanusiaan yang terabaikan, mendistorsi

pemahaman diri mereka sebagai manusia, tetapi melalui

keadaaan ini dapat saja menciptakan kesadaran palsu

didalamnya. Orang-orang akan menerima keadaan ini sebagai

sebuah realita dan ini merupakan pemalsuan persepsi.

Pertama-tama pemalsuan yang dilakukan oleh agama. Agama

membujuk orang-orang untuk menerima keadaan dan

penderitaan, memberikan harapan-harapan sorgawi untuk

menguatkan orang-orang, supaya mereka sabar dalam

penderitaannya. Jadi bagi Marx, melalui penderitaan-

penderitaan manusia, dari keterasingannya maka mereka akan

5 Lihat uraian lengkap dalam, Karl Marx, The Economic and Philosophic

Manuscripts, dalam Robert C. Tucker (ed), The Marx Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 71-74

32 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

lari kepada agama, sehingga inilah yang dia sebut agama

adalah produk dari keterasingan manusia.6

Analisis keterasingan di dalam produksi kapitalis,

bertolak dari suatu fakta ekonomi kontemporer. Fakta bahwa

semakin maju kapitalisme, maka akan semakin miskin pula si

buruh. Buruh dipisahkan dengan hasil kerjanya, karena untuk

mendapatkan hasil produksi yang melimpah adalah ditunjang

oleh pemilik tanah dan pemilik modal. Jadi yang menjadi

masalah pokok bagi Marx adalah bahwa di dalam kapitalisme

objek-objek material yang diproduksi disejajarkan dengan

buruh itu sendiri, buruh bahkan menjadi komoditi yang lebih

murah, dengan semakin banyaknya barang yang ia hasilkan.

Buruh (subyek, pencipta) telah membaur dengan produksinya

(objek).7 Jadi dalam proses produksi, buruh menjadi budak

dari objek, sehingga mengakibatkan keterasingan terhadap

objek-objek yang diproduksinya. Seperti halnya keterasingan

di dalam agama, sifat-sifat yang dihubungkan dengan Tuhan

dalam etika Kristen yang dari awalnya dikendalikan oleh

manusia, dialihkan menjadi seolah-olah adalah oleh kekuatan

eksternal.

Bagi Marx, agama juga ikut berperan dalam

melegitimasi sistem/struktural yang ada dalam masyarakat,

sistem yang melegalkan dominasi terhadap pekerja yang

terasing, agama tidak lagi melakukan fungsinya untuk

memberikan kritikannya terhadap ketidakadilan yang ada di

dalam masyarakat, dan melakukan pembebasan bagi

penderitaan manusia. Tetapi agama malah menawarkan janji-

janji kebahagiaan di masa depan, tanpa melakukan tindakan

pembebasan bagi ketertindasan manusia.8 Agama mengajarkan

6 Lihat uraian lengkap di dalam Gregory Baum. Religion and Alienation: A

Theological Reading of Sociology, (New York: Paulist Press, 1975), 40. 7 Ibid, 40 - 44 8 Lihat uraian lengkap dalam, Karl Marx, The Economic and Philosophic

Manuscripts, dalam Robert C. Tucker (ed), The Marx Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 146 - 154

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 33

orang untuk menerima keadaan apa adanya termasuk betapa

kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara

tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap

pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa

yang ia terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan

secara material. Agama mengajak orang untuk berani

menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri

dipandang sebagai keutamaan.

Marx juga mengatakan agama menjadi semacam

ekspresi atas protes terhadap penindasan dan penderitaan riil.

Marx menulis: “penderitaan agama adalah pada saat yang sama

merupakan ekspresi atas penderitaan yang riil dan suatu

protes terhadap penderitaan yang riil. Agama adalah keluh

kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak

memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu

keadaan yang tidak memiliki jiwa. Selain itu, dengan

pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan dan

membuat orang berpasrah, maka agama justru dapat

dimanfaatkan oleh kelas atas. Kelas atas justru dapat semakin

mengeksploitasi kelas bawah dengan melihat bahwa agama

membuat kelas bawah untuk tetap puas dengan

penghasilannya. Terlebih lagi, agama menawarkan suatu

kompensasi atas penderitaan hidup sekarang ini pada suatu

kehidupan yang akan datang, sehingga malah justru

membiarkan ketidakadilan berlangsung terus menerus. Agama

memberi gambaran yang keliru tentang realitas.9

Agama adalah “candu rakyat”. Opium adalah ekspresi

nyata dari penderitaan, yang merupakan penghibur yang

dicari, karena frustasi yang diakibatkan oleh tatanan sosial.

Tetapi opium bukan protes terhadap penderitaan, opium

adalah keluhan mahluk yang tertindas dalam dunia yang tidak

adil dan eksploitatif. Baum menegaskan supaya melalui

9 Ibid, 54 – 55

34 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

kritikan Marx ini kaum agamawan kembali kepada fungsi kritik

sosial, peran kenabian dan kritik terhadap agama.10 Teori yang

dikemukakan oleh Marx ini menjadi pisau analisis yang dapat

dipakai untuk membedah legitimasi agama yang dihembuskan

oleh kaum penguasa, untuk kepentingan kelompoknya.

B. Agama Sebagai Tindakan Sosial

Dalam pandangan Max Weber, tindakan-tindakan

keagamaan merupakan sebuah tindakan sosial di dalam

masyarakat. Dalam pemahamannya, tindakan sosial

berorientasi kepada nilai tertentu, termasuk nilai keagamaan.

Weber menginterpretasikan tindakan keagamaan dengan

memahami motif-motif sang aktor dari sudut pandang

subyektif.11 Weber tidak secara spesifik membicarakan tentang

esensi agama. Namun, ia lebih menelaah kepada kondisi dan

dampak dari agama yang berhubungan erat dengan

aksi/tindakan sosialnya. Diskursus ini didapat dari

pemahaman penganut agama yang tercermin di dalam perilaku

keagamaannya, pengalaman, ide dan tujuan dari individu

tersebut. Penganut agama pada masa awal percaya kepada

kharisma pada pemimpinnya. Pemimpin yang mempunyai

kharisma dianggap sebagai orang yang mempunyai anugrah

dari Tuhan. Fenomena religius ini yang masih menjadi agama

rakyat.12

Sebuah proses abstraksi tentang pemahaman agama

primitif menyebutkan, bahwa ada banyak benda yang

mempunyai kharisma atau kekuatan baik berupa binatang,

artefak maupun orang. Benda-benda tersebut merupakan

10 Lihat uraian lengkap di dalam Gregory Baum. Religion and Alienation: A

Theological Reading of Sociology (New York: Paulist Press, 1975), 52 11 Lebih lanjut dapat dilihat di dalam Furseth, an Introduction to the Sociology of

Religion (Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), 36 12 Max Weber, Economy And Society. Volume I. (1910-14). An Outline of

Interpretive Sociology. Guenther Roth and Claus Wittich, (ed.). (California: The Regents of University of California, 1978), 399

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 35

sebuah penghantar visible sebagai sebuah entitas tentang

Tuhan. Selanjutnya, Roh dan Setan mulai di-visible-kan oleh

manusia sebagai pengejawantahannya. Kharisma dari Tuhan

yang diturunkan kepada manusia nampak pada para magician

yang mempunyai kekuatan khusus yang berbeda dari manusia

lainnya. Magician (ahli magis) ini yang mempunyai

kekuatan/kharisma tetap untuk dapat memunculkan

kekuatan-kekuatan gaib.13 Berdasarkan kekuatan gaib inilah

tindakan sosial masyarakat mulai berubah. Bagi Weber,

tindakan sosial masyarakat merupakan hasil abstraksi dan

rasionalisasi terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya,

termasuk cara beragama.

Weber menyebutkan, tentang adanya perbedaan antara

tuntutan gaib dengan permohonan, berdoa dan berkorban.

Melalui doa (usaha rasionalis) disampaikanlah permohonan

supaya para dewa memberikan hal-hal ajaib atas doa dan

permohonan mereka, hal ini memiliki kesamaan dengan bisnis

murni, adanya harapan imbalan. Melaui pengorbanan

(mempersembahkan korban khususnya binatang) sebagai

media untuk memaksa para dewa supaya memberikan

permohonan/memberikan imbalan. Melalui ritus pengorbanan

ini menciptakan komunitas persaudaraan dengan makan

secara bersama-sama. Persaudaraan bukan saja diantara

orang-orang yang mempersembahkan korban tetapi juga

bersama dewa (tuhan).14

Bagi Weber, ada diferensiasi antara pendeta-pendeta

dan tukang-tukang sihir dalam menjalin hubungan-hubungan

manusia dengan kekuatan-kekuatan supranatural, yang

berbentuk doa, pengorbanan dan pemujaan. Cara pemujaan

yang dilakukan oleh agama dan ahli sihir yang melakukan

pemaksaan magis. Para pendeta diterapkan pada fungsi

13 Ibid, 401 14 Ibid, 211

36 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

sebagai profesional (seperti sebuah perusahaan), terorganisir

dan permanen. Para pendeta memiliki kualitas berdasarkan

pengetahuan khusus yang mereka miliki seperti doktrin,

kualifikasi kejuruan, kharisma yang mereka miliki, sedangkan

tukang-tukang sihir melakukan pekerjaannya berdasarkan

upaya pribadi. Tetapi baik para pendeta dan tukang-tukang

sihir sama-sama memperoleh pendapatan dari pekerjaan yang

mereka lakukan.15 Dalam hal inilah sebuah rasionalisasi

kharisma yang dikembangkan oleh Weber, bahwa cara

beragama erat kaitannya dengan tindakan sosialnya.

C. Agama Sebagai Kesadaran Kolektif

Durkheim berpendapat bahwa agama muncul karena

adanya suatu getaran atau suatu emosi yang ditimbulkan

dalam jiwa manusia (mental effervescent) sebagai akibat dari

pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga masyarakat.

Getaran yang ada di dalam diri masyarakat tersebut berupa

suatu kompleksitas perasaan yang mengandung rasa terikat,

bakti, cinta dan perasaan lainnya terhadap sesamanya

(masyarakat) di mana ia hidup. Getaran jiwa tersebut semakin

berkobar ketika ditangkap oleh sesamanya, dan membentuk

sebuah kesadaran kolektif bersama. Dorongan jiwa yang lebih

kuat ini mendorong obyektifikasi, dan biasa dikategorisasi

dengan yang “suci (sacred)” dan “duniawi (profan)”.16 Kekuatan

yang ada di dalam obyek suci menjadikan masyarakat dapat

merasa damai sejahtera. Simbol-simbol telah dibuat, lantas

dibentuklah sebuah “liturgi” untuk mengadakan ritual bagi

pemujaannya. Dalam bahasa Durkheim, totem dipakai sebagai

“simbolisasi” getaran jiwa dari sebuah masyarakat.

15 Lihat uraian selengkapnya di dalam Max Weber, Economy And Society. Volume

I. (1910-14). An Outline of Interpretive Sociology. Guenther Roth and Claus Wittich, (ed.). (California: The Regents of University of California, 1978), 424 - 427

16 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward Swain (trans). (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), 251

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 37

Durkheim menegaskan, bahwa totemisme bukanlah

agama yang menyembah binatang-binatang tertentu.

Totemisme adalah agama yang menyembah semacam kekuatan

anonim dan impersonal yang bisa dikenali tetapi tidak

identik.17 Di dalam alam semesta, penuh dengan kekuatan yang

dapat direpresentasikan dalam rupa yang dipinjam dalam

wujud binatang atau tumbuhan. Orang Australia modern

melakukan dan percaya pada totem, karena mereka berusaha

menjaga tradisi yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya.

Hal inilah yang mendasari asal-usul dari totemisme, karena

adanya kepercayaan bahwa para leluhur mereka, yang berasal

dari salah satu binatang atau tumbuhan dan menjadi totemnya.

Durkheim juga memberikan uraiannya tentang konsep jiwa

dan roh, dan digunakan untuk menjawab kritikan-kritikan dari

beberapa orang yang membuat definisi agama yang harus

mengandung muatan jiwa dan roh.18

Masyarakat disebut Durkheim sebagai sui generis.

Dalam sekumpulan masyarakat, terdapat keunikan/ciri khas

yang membedakan satu masyarakat dengan yang lainnya.

Keunikan tersebut yang kemudian mempengaruhi/mengikat

dalam sistem sosial, ekonomi, dan pandangan tentang agama.

Realitas keunikan masyarakat ini yang kemudian dapat

merepresentasikan simbol-simbol dan fenomena lainnya, yang

menjadi identitas kelompok tersebut.

Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat unsur-unsur

yang penting, yaitu unsur yang mengatur ikatan-ikatan di

17 Ibid, 280. 18 Pandangan orang Australia, jiwa memiliki wujud yang immaterial, namun jiwa

sesungguhnya memerlukan sesuatu yang fisikal. Sewaktu jiwa terlepas dari tubuh, jiwa akan menjalani kehidupan lain sama seperti kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Negeri jiwa adalah tempat berdiamnya leluhur pertama, sang pendiri marga berada, ketika para leluhur mati, jiwanya tetap berdiam ditempat itu dan dapat hadir dalam totem, sehingga tempat itu dianggap sakral (355-395). Konsep tentang roh, bahwa jiwa bukanlah roh. Roh terkait dengan obyek-obyek khusus seperti tempat-tenpat yang dipilihnya dan ditungguinya: batu, mata air, pohon, dsb. Roh bebas memiliki kehidupannya sendiri, sedangkan jiwa memiliki kebebasan saat sudah ada kematian (399-400).

38 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

antara anggota masyarakat. Di dalamnya terdapat aturan di

luar individu, yang mengatur sah tidaknya suatu hubungan

individu. Aturan ini oleh Durkheim disebut : Collective

consciousness atau kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif yang

berada di luar individu dapat merasuk ke dalam individu

dengan wujud : aturan moral, aturan agama, aturan-aturan

tentang yang baik dan yang buruk, luhur, mulia dan lain-lain.

Collective Consciousness akan tetap bertahan sekalipun

manusia meninggal. Ia mengandung daya memaksa, sehingga

ada hukuman bagi yang melanggarnya. Dengan perkataan lain,

Collective Consciousnesss tidak lain adalah consensus

masyarakat, yang mengatur hubungan sosial di dalam

masyarakat yang bersangkutan. Ia menampakkan bentuk

tertinggi dari kehidupan psikis manusia yang berada di luar

dan di atas individu.

Dengan kesadaran demikian, setiap individu menyadari

bahwa masyarakat adalah lebih tinggi dari pada individu dan

di sanalah terdapat "dewa" yang mereka sembah yang

diajarkan agama. Dengan demikian, seperti telah dikemukakan

bahwa fungsi agama adalah : membela, mempertahankan,

menciptakan sejenis suasana persatuan dan identitas

masyarakat, sedangkan tugasnya adalah untuk

menerjemahkan realitas kini, ke dalam bahasa yang dapat

dimengerti.19 Di dalam diri manusia, kesadaran kolektif ini

akan mendorong manusia melakukan perbuatan yang dapat

diterima oleh anggota masyarakat (yang merupakan gagasan

kolektif dalam masyarakat itu dan menjadi kewajiban bagi

semua anggota masyarakat), sehingga orang itu akan diterima

oleh semua anggota masyarakat. Dengan demikian, ia akan

mempunyai otoritas moral dalam masyarakat, ia akan dihargai

oleh masyarakat. Maka ia akan merasa aman, merasa lebih kuat

19 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward

Swain (trans). (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), 346

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 39

(seperti seseorang mendapat kekuatan dari dewanya).

Masyarakat dapat memberi dukungan yang bersifat langgeng

bagi orang yang demikian.

Masyarakat menciptakan sesuatu yang menjadi sakral,

misalnya pengakuan terhadap seorang raja atau pemimpin,

karena masyarakat melihat raja/pemimpin itu mempunyai

kekuatan atau dengan sengaja diberi "sifat" kuasa oleh

masyarakat. Seperti halnya di Melanesia, seorang yang

berkuasa dikatakan mempunyai mana, maka menurut

Durkheim, sebenarnya pendapat umum (gagasan kolektif)

itulah yang berkuasa. Masyarakat itu menghabiskan ide-ide,

gagasan-gagasan atau cita-cita. Kalau ide atau gagasan itu

sudah dimiliki bersama oleh masyarakat, maka ide dan gagasan

itu menjadi sakral.20 Durkheim memberi contoh seperti hari

kemerdekaan suatu negara.

Durkheim menjelaskan bahwa upacara secara umum

bertujuan untuk menegaskan kembali komitmen pada klen.

Pada saat upacara dilaksanakan, ketika orang-orang

mengalami kegembiraan, maka di dalam kegembiraan

emosional yang meluap-luap, individu larut dalam (diri) klen

yang tunggal dan besar. Di tengah kumpulan yang bergolak itu,

individu mendapat sentimen dan kekuatan serta semangat.

Pada saat itulah mereka memasuki wilayah yang sakral

dengan hikmat, yang dibutuhkan mereka untuk melanjutkan

lagi tugas mereka (misalnya berburu dan menangkap ikan).

Pemujaan ini dapat dibedakan atas tiga macam yaitu:

a. Pemujaan Negatif : Bentuk pemujaan negatif adalah

larangan-larangan atau tabu. Di samping ada larangan dari

agama, ada juga larangan dari magis. Ada perbedaan

antara keduanya, hukuman atas pelanggaran tidak sama,

20 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward

Swain (trans). (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), 365

40 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

seperti halnya kehidupan sakral dan profan harus

terpisah.21

b. Pemujaan positif : Pemujaan positif hanya mungkin

dilakukan, jika ada seorang pria yang dilatih untuk

berkorban, melakukan penolakan dan tidak

mempedulikan diri sendiri, untuk menderita.22

c. Pemujaan/upacara piacular : Kata piacular berasal dari

kata piaculum, yang tidak hanya mengandung pengertian

menebus atau menghapuskan. Pemujaan piacular adalah

upacara kedukaan atau kesusahan. Upacara piacular

dilakukan dalam keadaan sedih, misalnya sesudah ada

bencana atau kematian. Upacara piacular dimaksudkan

untuk berdamai dengan kekuatan jahat, sehingga keadaan

menjadi aman kembali. Ritus piacular dapat juga

dilakukan dengan maksud : menyusun kembali,

menghidupkan kembali, menegaskan kembali, kekuatan

klen yang berkurang karena meninggalnya satu orang.

Dengan demikian maka tugas ritus piacular adalah

membantu klen melewati bagian-bagian yang gelap

(misalnya pada saat klen tertimpa kematian). Dalam hal

ini fungsinya adalah: memberi kesempatan kepada

individu untuk memperbaharui komitmen mereka

terhadap komunitas.23

Semua upacara dilaksanakan dalam satu klen dan satu

kerangka "sosial". Dengan upacara tersebut, yang jahat (jiwa

orang pada waktu mati) dapat berubah menjadi pelindung.

Dalam melaksanakan upacara, perasaan semua anggota klen

menjadi sama sifatnya, seolah-olah memiliki suatu ikatan.

21 Ibid, 434-446 22 Ibid, 456 23 Pemujaan tidak hanya dilakukan oleh individu tetapi oleh seluruh anggota

masyarakat, alasannya adalah bahwa individu tidak tepisahkan dengan masyarakat. Jika ada anggota masyarakat yang tidak melakukan pemujaan yang dilakukan secara bersama-sama dalam masyarakat maka orang tersebut akan memperoleh hukumannya. Jadi yang dipentingkan dalam masyarakat primitif Australia adalah kebersamaan individu dalam masyarakat.

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 41

Menurut Durkheim, ritus adalah aturan-aturan dalam tingkah

laku yang memberikan pedoman bagaimana seseorang harus

menempatkan diri dalam keadaan hadirnya hal-hal yang sakral

itu.24 Tingkah laku manusia dan sistem upacara dalam

kehidupan sehari-hari dapat saja mempengaruhi

perkembangan sistem keyakinan dan ajaran-ajaran. Karena

apa yang telah berulang-ulang dan terus menerus dilakukan,

akan menyebabkan manusia yang melaksanakannya sebagai

sesuatu yang memang sebaiknya demikian. Durkheim

menghubungkan ritus dengan kesadaran kolektif, bahwa

kesadaran kolektif itu merupakan kebutuhan asasi dalam diri

setiap manusia, sehingga perlu diaktifkan kembali dengan

upacara-upacara religius yang dianggap keramat. Apabila

manusia menghadapi hal-hal yang gaib dan keramat (sakral),

maka manusia akan bersikap penuh emosi yang disebabkan

dari sikap takut - terpesona. Seorang yang percaya akan

cenderung menyampaikan pengalaman batinnya kepada

orang-orang lain, dan seterusnya satu klen akan

menyampaikan kepercayaannya kepada klen lain, sehingga

muncullah intereaksionalisme kepercayaan itu. Semua

masyarakat memerlukan suatu penguatan akan

kepercayaannya. Untuk itulah mereka mengadakan pertemuan

untuk mempertebal sentimen kolektif dan pemikiran kolektif

yang mempersatukan masyarakat.

D. Perspektif Mitologi

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos

mempunyai arti cerita suatu bangsa tentang dewa dan

pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-

usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut, mengandung

24 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward

Swain (trans). (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954), 456

42 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.25 Dari

pengertian secara harfiah, setiap bangsa (suku bangsa)

mempunyai mitos dan mempercayai mitos secara tersendiri.

Menurut Roland Barthes, mitos adalah unsur penting yang

dapat mengubah sesuatu yang kultural atau historis menjadi

alamiah dan mudah dimengerti. Mitos bermula dari konotasi

yang telah menetap di masyarakat, sehingga pesan yang

didapat dari mitos tersebut sudah tidak lagi dipertanyakan

oleh masyarakat.26 Apabila ditarik sebuah benang merahnya,

secara definitif mitos merupakan cerita atau pesan yang

diyakini kebenarannya di dalam masyarakat, namun tidak

dapat dibuktikan secara rasional.

Mitos yang berkembang di dalam masyarakat bukan

hanya sekedar cerita, tetapi lebih daripada itu ada sebuah

makna (meaning) yang hendak disampaikan dibalik kisah

tersebut. Sebagai contoh, objek yang akan diceritakan terkait

dengan batu besar. Cerita yang sajikan dalam paradigma

mitologi bukan hanya terkait dengan batu besar secara kasat

mata, akan tetapi tentang batu besar, baik tentang apa yang

ada di dalamnya dalam makna yang luas. Setiap kelompok

masyarakat dapat mempunyai kisah mitologi yang berlainan

terkait dengan batu besar. Kondisi sosial, imaji dan keperluan

sosial dapat menghasilkan mitos-mitos yang berlainan, terkait

dengan batu besar tersebut.

Menurut Roland Barthes, tuturan mitologis bukan saja

berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk

tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan,

iklan, dan lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua yang

mempunyai modus representasi. Paparan contoh di atas

25 Diakses melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mitos, 20 Mei 2017, 20.36

WIB 26 Untuk mengetahui lebih dalam konsep definitif tentang mitos dari Roland

Barthes, dapat dilihat di Roland Barthes, Mythologies, (New York: The Noon Day Press, 1991), 109-120, bnd. Mudji Sutrisno, Hendar Putranto, Teori Teori Kebudayaani, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2005), 117-122

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 43

mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap

secara langsung, misalnya untuk menangkap arti atau meaning

sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan mitologis

dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses

signifikasi, sehingga dapat diterima oleh akal. Dalam hal ini

mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek, konsep,

atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi.27

Tuturan mitologis dipercaya dan sangat diyakini oleh

masyarakat setempat.

Secara kasat mata, mitos sulit terdeteksi oleh

pendatang dalam sebuah komunitas. Mitos dapat dilihat hidup

dan bertalian erat di dalam kehidupan masyarakat. Barthes

berpendapat bahwa “kita hidup bukan diantara benda-benda

melainkan dari opini-opini yang sudah diyakini”. Opini-opini

yang berkembang di dalam masyarakat akan menjadi dominan

dan menguasai sistem keyakinan dalam kelompok tersebut.

Dalam konsepnya, Barthes mengemukakan bahwa ada tiga hal

dalam dunia mitologi28 :

1. Penanda/Signifier (significant)

Dalam konsep yang dimunculkan oleh Barthes, penanda

merupakan sesuatu yang dapat ditangkap dengan indera.

Simbol-simbol, bahasa, lukisan, gambar maupun artefak

merupakan sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera.

Dibalik simbol-simbol tersebut terkandung makna yang

perlu digali dan dipahami. Tanpa makna, simbol-simbol

yang ada hanya sebatas penanda.

27 Lihat Roland Barthes, Mythologies, (New York: The Noon Day Press, 1991)

dalam http://download.portalgaruda.org/article.php., diakses 30 Agustus 2017, 21.46 WIB.

28 Konsep mitologi yang dikembangkan Barthes diwarnai oleh konsep dari Saussure. Barthes bercermin dari konsep linguistik Saussure yang melihat bahwa linguistik merupakan sebuah studi kehidupan tanda di dalam masyarakat. Selanjutnya, konsep ini dikenal dengan semiologi. Barthes menggabungkan Semiologi dari Saussure dengan Ideologi. Dalam teorinya, Barthes berpandangan bahwa semiologi merupakan tanda, dan ideologi adalah makna di dalam tanda tersebut. Semiologi dan Ideologi saling bertautan menghasilkan simbol/penanda yang penuh dengan makna.

44 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

2. Petanda/Signified (signife)

Petanda merupakan sebuah konsep dibalik penanda.

Simbol-simbol yang dihasilkan mempunyai makna

konseptual yang tidak dapat ditangkap secara inderawi,

namun perlu ditangkap secara mental dan pemahaman

yang utuh. Petanda ini dapat berupa sejarah, tradisi,

maupun kebiasaan di dalam masyarakat. Petanda

melengkapi penanda, sehingga sesuatu mempunyai makna

yang dapat dipahami oleh masyarakat.

3. Tanda (Sign)

Tanda ini merupakan pengikat dari penanda dan petanda.

Sesuatu yang telah mempunyai makna kemudian di

bungkus ke dalam sebuah tanda, baik berupa cerita

berwujud (denotasi), maupun tak berwujud/abstrak

(konotasi). Tanda inilah yang kemudian membentuk

sebuah mitos.

Konsep yang dikembangkan Barthes dapat menjadi

pintu masuk dalam mempelajari mitos yang berkembang di

dalam masyarakat. Mitos yang berkembang dan dikembangkan

di dalam masyarakat, kemudian membentuk cerita dan kisah

yang dianggap gaib dan tidak kasat mata. Dari kisah mitos

tersebut, muncul ritual-ritual dan kebiasaan-kebiasaan yang

dilakukan berdasarkan keyakinan akan mitos.

E. Perspektif Ritual

Ada keragaman teori mengenai ritual yang

dikemukakan oleh para tokoh. Dari paparan teori yang

beragam tersebut, masing-masih tokoh mengemukakan

berdasarkan hasil penelitian subyektifnya, yang ditemukan di

dalam lokasinya. Dari beberapa pandangan teori ritual yang

beragam tersebut, dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa

kelompok, yaitu :

a. Perspektif yang pertama memandang ritual adalah sebuah

aksi yang berkaitan dengan rutinisasi, habitualisasi,

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 45

obsesive, mimetic dan berupa ekspresi fisik dari ide

sebelumnya (Ritual and Myth). Pemikir yang sepakat

dengan perspektif ini antara lain Levi-Strauss, Tylor.

b. Perspektif yang kedua ritual merupakan reintegrasi dari

fungsional struktur, dan distingsi antara keyakinan dan

kebiasaan.29 Beberapa tokoh yang sepakat dengan

perspektif ini antara laian Durkheim, Stanley Tambiah,

Malinowski.

c. Perspektif yang ketiga mendeskripsikan ritual sebagai

kesatuan di dalam masyarakat yang kontras dengan friksi,

daya saing dunia sosial, dan keadaan liminal kehidupan.

Victor Turner merupakan salah satu tokoh yang

mengembangkan perspektif ini di dalam setiap karyanya.

Marx dan Engels juga berpendapat bahwa ritual

merupakan bagian dari ketidakstabilan dari sebuah sistem

ekonomi, sehingga terjadi friksi dan liminal di dalam

kehidupannya.

Konsep liminalitas yang dipaparkan oleh Turner dapat

dipakai menjadi pintu masuk dalam mempelajari ritual di

kehidupan masyarakat. Sumbangan utama dari Victor Turner

terletak pada usaha pemahaman ekspresi agama yang berupa

konsep mengenai proses yang ada dalam upacara ritual.

Konsepnya mengenai liminalitas sebagai suatu jembatan

penghubung, yaitu yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan

merupakan suatu tingkat atau fase tanpa klasifikasi,

merupakan pencerminan dari pandangannya mengenai

upacara dan agama sebagai suatu sistem yang bersifat formatif

dan reflektif.30 Dengan melalui fase liminalitas, upacara

mendasari suatu proses transformasi dan yang secara

bersamaan mengabsahkan kembali kategori-kategori lama,

29 Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, (New York: Oxford University

Press, 1992), 20 30 Lihat di dalam Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure,

(USA : Cornell Paperback, 1977), 34 - 56

46 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

yang bersifat struktural dan yang sementara itu juga berfungsi

sebagai pusat kekuatan pendorong bagi berbagai kegiatan, bagi

penciptaan bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang

bersifat struktural.

Dengan demikian, hubungan antara ritual dengan

struktur sosial terletak pada kesanggupan dari ritual untuk

dapat menempatkan dirinya di atas kedudukan satuan struktur

sosial, melalui fase liminal atau fase anti-struktural, sehingga

hubungan antara ritual dengan struktur sosial tersebut

memungkinkan dapat tetap lestari dalam kegiatan upacara itu

sendiri. Dalam hal ini ritual berperan sebagai pedoman bagi

semua fase-fase dan semua aspek-aspek pengalaman

kebudayaan, melalui berbagai bentuk proses yang dilalui oleh

setiap individu. Dengan kata lain, ritual merupakan suatu

sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang didorong untuk

dihidupkan pada masa liminal, maupun sebagai sumber bagi

terwujudnya status quo dalam pelaksanaannya.

Dimensi dalam sebuah proses ritual menurut Victor

Turner31 yaitu:

1. Process analysis : yaitu mempelajari proses spirito-

psycho-social yang terjadi, aspek metodikal dan tahapan-

tahapannya (fase-fase transformasi).

2. Symbolic theory : yaitu memahami makna-makna

simbolis yang direpresentasikan.

3. Structure dan anti-structure : sebagaimana nantinya akan

kita lihat bahwa ritual memiliki kaitan yang sangat erat

dalam formasi sebuah struktur kemasyarakatan maupun

deformasi (pengubahan) sebuah struktur yang mapan. Di

sini sebuah ritual dipelajari dalam kaitannya dengan

kerangka struktur kemasyarakatan maupun fungsinya

sebagai penjaga social order.

31 Lihat di dalam Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure,

(USA : Cornell Paperback, 1977), 34 - 56

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 47

4. Liminal: Liminal state adalah sebuah kondisi yang

terdapat dalam suatu peralihan/tranformasi, dimana

terdapat disorientasi, ambiguitas, keterbukaan, dan

ketidakpastian (indeterminancy).

Dalam liminal state inilah maka dimungkinkan

terjadinya perubahan-perubahan, misalnya: status

sosial, personality value atau identitas pribadi. Jadi dengan kata

lain, liminality adalah suatu periode transisi dimana pikiran

normal, self-understanding dan tingkah laku dalam kondisi

relaks, terbuka dan receptive untuk menerima perubahan.

Dalam keadaan liminal inilah ritual berfungsi untuk

memberikan kestabilan di dalam kehidupan masyarakat.

Rangkaian perspektif ritual yang dikembangkan para

tokoh cenderung sangat subyektif, karena didasarkan pada

pemahaman dan analogi yang dikembangkan oleh masing-

masing tokoh. Dalam dialektika pemahaman ritual, rangkaian

perspektif tersebut sangat terbatas apabila hendak mengkaji

perkembangan ritual di berbagai wilayah dan segi kehidupan.

Ada satu pemikir yang berusaha menyajikan konsep holistik

dalam menganalisis ritual yang terjadi di masyarakat.

Catherine Bell (yang selanjutnya disebut Bell) menawarkan

kerangka berpikir holistik dalam mengkaji dan mengamati

perkembangan ritual yang terjadi di dalam masyarakat.

Menurutnya, ritual yang terjadi di masyarakat tidak statis,

tetapi dinamis mengikuti pergerakan konteksnya.32 Bagi Bell,

ritual harus dipahami berdasarkan konteks dan/atau

lingkungannya. Menurutnya, konteks tersebut merupakan

bangunan kehidupan ritual.33

Ritual dapat dipakai sebagai sarana untuk bertahan

hidup di tengah perubahan yang moncar di tengah kehidupan.

Oleh sebab itu, dalam memahami ritual perlu melihat situasi

32 Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions, (New York: Oxford University

Press, 1997), 2 33 Ibid, 3

48 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

dan kondisi, dimana masyarakat tersebut ada dan terkait

dengan alasan strategis terhadap bangunan kehidupan ritual

secara holistik. Dalam bukunya Ritual Theory Ritual Practice,

Bell memberi penjelasan bahwa ritual merupakan sebuah

strategi atau cara bertindak (the way of acting) yang berbeda

dalam kehidupan sehari-harinya. Cara bertindak tersebut lahir

dari hasil konstruksi manusia dalam menghadapi

permasalahan kehidupannya.34 Cara bertindak tersebut lahir

karena diprakarsai oleh sense of ritual yang telah tertanam di

dalam kehidupan masyarakat.

Sense of ritual tersebut muncul ketika berhadapan

dengan situasi dan kondisi sosial khusus, sehingga

memunculkan tindakan yang “di luar kewajaran”. Dengan kata

lain, ritual lebih merupakan sebuah strategi tentang cara

bertindak dalam situasi sosial khusus yang disebut dengan

istilah ritualization. Strategi ritualisasi tersebut berakar pada

the social body, yakni lingkungannya. Menurutnya, tubuh atau

bangunan sosial berhubungan dengan pengalaman kosmologi

masyarakat, sehingga ritual memiliki peran dalam membangun

tubuh sosial. Karena itu, untuk memahami ritual mau tak mau

mesti memahami konteks “tindakan ritual”, yakni konteks

sosial atau lingkungannya.

Bell berpendapat, bahwa ritualisasi yang

dikembangkan oleh suatu masyarakat tidak dapat lepas dari

dimensi sosial dan sejarah. Ritual dikontruksi oleh masyarakat

yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial di tengah

perubahan yang sedang atau telah dihadapinya.35 Terkait

dengan konteks sosialnya, ritual tidak dapat dilepaskan juga

dari konteks politik yang sedang berkembang di masyarakat.

Hegemoni kekuasaan yang terpantul dalam praktik kekerasan

34 Ibid, 70 - 76 35 Lihat juga pemikiran Durkheim dalam The Elementary Forms of the Religious

Life, yang menyatakan pula bahwa ritual dipakai sebagai kontrol sosial di dalam masyarakat. Pemikiran Max Weber juga senada dengan hal ini, bahwa ritual (agama) mempengaruhi gerak dan laju masyarakat terhadap perubahan yang dihadapinya.

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 49

dengan ideologinya, dan politik identitas yang ditawarkan oleh

penguasa politik menjadi amatan yang perlu dikaji dalam

menelisik ritual secara mendalam. Dominasi politik yang

berkembang memberikan sedikit gambaran berkenaan dengan

praktik kekuasaan, segmentasi di dalam masyarakat,

manipulasi sistem sosial sampai dengan resistensi di dalam

masyarakat. Perkembangan ritual sangat dipengaruhi oleh

situasi dan kondisi tersebut, dan sangat rentan dijadikan

sebagai kendaraan kekuasaan untuk dimanipulasi sebagai alat

kontrol kekuasaan.36 Ritual berhubungan erat dengan

keragaman politik, kolonialisme, perjumpaan dengan budaya

baru dan dominasi ekonomi. Oleh sebab itu, situasi sosial

dalam perkembangan ritual perlu ditelisik lebih dalam, untuk

dapat melihat kontruksi sosial terhadap ritual yang ada.

Bell menawarkan tiga aspek penting dalam melakukan

pendekatan terhadap ritual37,

a. Ritual perlu dianalisis dan dipahami dalam konteks riilnya,

terkait dengan motif bertindak terhadap cara bertindak di

dalam budaya dan konteks sosialnya.

b. Perlu dianalisis dari sisi kualitas tindakan dalam ritual

yang tampak dalam gesture dan ruang khusus yang

dikonstruksi dan berfungsi menata (kembali) nilai-nilai

lingkungannya.

c. Ritual mempromosikan otoritas kekuatan bagi

pengetahuan pelaku ritual untuk mengatur

pengalamannya, sesuai dengan nilai ritualnya.

Pendekatan yang dipaparkan oleh Bell merupakan

sebuah tawaran pendekatan untuk dapat mengerti bangunan

ritual di dalam masyarakat. Bangunan ritual tersebut lebih

cenderung merupakan hasil konsensus bersama dan respon

36 Lihat konteks perkembangan keberagamaan dalam Karl Marx, The Economic

and Philosophic Manuscripts, dalam Robert C. Tucker (ed), The Marx Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 66-200

37 Untuk pendalaman lihat dalam Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions, (New York: Oxford University Press, 1997), 233-51

50 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

dari apa yang terjadi di dunianya. Dalam konsep Bell, ritual

merupakan sebuah gerak sosial yang paling mendasar dalam

mengkonstruksi realitas dunianya, sehingga melampaui waktu,

pengaruh dan maknanya.38

Lebih lanjut Bell juga memaparkan karakteristik dalam

bangunan aktivitas ritual yang berkembang di dalam

masyarakat. Karakteristik tersebut adalah39

Pertama, aktivitas ritual bersifat formal dan/atau

diformalisasi. Aktivitas ritual sangat berlainan dengan aktivitas

harian. Aktivitas ritual akhirnya dicirikan sebagai aktivitas

formal atau diformalkan yang menjadi pembeda dengan

aktivitas kesehariannya. Aktivitas tersebut tampak melalui

gestur, tuturan, perilaku, ekspresi, yang menandakan adanya

hirarki dan ciri tradisi budaya yang ada (tradisional,

lokalitasnya). Terkadang formalitas tersebut memperkuat

status quo, mengomunikasikan pesan-pesan sosial budaya yang

kompleks dengan cara sederhana (klasifikasi sosial, hubungan

hierarkis, negosiasi identitas, posisi dalam hubungan-

hubungan sosial).

Kedua, traditionalization. Karakteristik tradisional

mencirikan lokalitas tradisi dan budaya dari masyarakat. Ciri

tradisional sangat erat kaitannya dengan sejarah dan ingatan

masa lalu tentang suatu peristiwa, tokoh atau sesuatu yang

membekas dalam ingatan masyarakat setempat. Bentuk

tradisional nampak dalam penggunaan kostum,

tuturan/bahasa yang berfungsi menegakkan identitas dan

mempertahankan batas-batas dan otoritas masyarakat

tradisional. Daya tariknya ada pada tradisi atau adat kebiasaan

di mana orang mengulangi peristiwa historis dengan sangat

dekat.

38 Ibid, 233-51 39 Ibid,139 - 162

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 51

Ketiga, invarian. Dalam hal ini, dapat diamati bahwa

ritual yang berlangsung di masyarakat tidak mengalami

banyak varian. Ritual yang ada cenderung merupakan repetisi

dari format yang ada sebelumnya. Perbedaan karakteristik ini

dengan tradisional yaitu While traditionalism involves an

appeal to the authority of the past that subordinates the present,

invariance seems to be more concerned with ignoring the

passage of time in general. It appears to suppress the

significance of the personal and particular moment in favor of

the timeless authority of the group, its doctrine, or its practices.40

Karakteristik ini sangat personal, namun tetap mengarah

kepada doktrin untuk diimplementasikan dalam praksis

ritualnya. Dalam karakteristik ini, muncul kekaguman dan

sekaligus kegundahgulanaan dalam jiwa pribadi sang pelaku

ritual, yang selanjutnya berdampak pada laku ritualnya.

Keempat, sangat menekankan aturan, tradisi, dan tabu

yang diritualisasikan, termasuk cara berpakaian, tuturan,

gesture. Penekanan kepada aturan diberlakukan untuk

menjaga harmoni sosial di dalam masyarakat, atau dilakukan

dalam konteks ketika ada kekacaubalauan atau penyimpangan

terhadap aturan umum di dalam masyarakat.

Kelima, sakralisasi simbol. Aktivitas ini merupakan

penekanan terhadap simbol-simbol sakral yang ditarik kepada

realitas supranatural. Symbols like the flag, which Ortnels calls

“summarizing” symbols, effectively merge many ideas and

emotions under one image. This type of totalization generates a

loose but encompassing set of ideas and emotions that readily

evoke a collective sense of “we”- as in “our” flag.41 Sakralisasi

simbol dikonstruksi dari kesepakatan ide dan emosi untuk

menekankan ekspresi yang berbeda antara sisi sacred and

40 Untuk pendalaman lihat dalam Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions,

(New York: Oxford University Press, 1997),150 41 On “totalization”, see Richard P. Werbner (Ritual Passage Journey: The Process

and organization of religious movement [Washington D.C. : Smithsonian Institution Press, 1989],13) in Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions ... 156

52 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

profan. Perbedaan perlakuan muncul dalam aktivitas

memperlakukan simbol, baik agama maupun dunia sekuler,

sebagai ungkapan gagasan atau ide dan emosi (nilai, perasaan,

sejarah, loyalitas) yang mengait erat dengan aspek kolektif dan

identitasnya. Dengan kata lain, benda sebagai simbol suci

bukan pada bendanya, tetapi pada cara mengekspresikan nilai

dan sikap terhadap benda tersebut, sehingga benda tersebut

memiliki nilai yang lebih besar, suci, mendalam, abstrak,

transenden dari yang lainnya. Simbol-simbol tersebut bisa

menunjuk pada tempat, bangunan, orang maupun sesuatu yang

dianggap punya daya magis.

Keenam berciri pertunjukan (performance), bersifat

dramatis, menekankan tindakan simbolis yang dilakukan

secara sadar di depan publik. Hal ini bertujuan

mengomunikasikan pesan berupa gambar visual, suara

(teriakan), bunyi, penciuman, dan lainnya untuk meyakinkan

orang sehingga orang menerima kebenaran aktivitas tersebut

melalui simbol-simbol sakral sebagai cerminan dari

“mikrokosmos” dan “makrokosmos”. Oleh sebab itu, dalam

ritual akan sarat dengan pertunjukan teatrikal, dramatic

spestacles dan public events yang dapat melibatkan serta

mengundang kumpulan massa pada hari-hari sucinya.

Bell konsisten dengan pemikirannya bahwa ritual

merupakan bangunan kehidupan yang berkonteks kepada

pelaku ritualnya. Konteks kehidupan pelaku ritual

menjadikannya berbeda antara praktik ritual yang satu dengan

lainnya. Oleh sebab itu, ritual tidak dapat dilepaskan dari

konteks pelaku ritual, baik tradisi, sosial, historis, maupun

konteks genealogisnya. Namun, apabila digeneralisasi ritual

yang berkembang di masyarakat dapat dikelompokkan

menjadi tiga yaitu rites of passage, calendrical rites, dan

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 53

political rites42. Dalam pengelompokkan ritual tersebut akan

didapati sistem ritual yang similar. Sistem ritual yang

serumpun kemudian dikontruksi berdasarkan konteksnya,

sehingga yang mengalami perbedaan adalah ritual performnya

yang berisi simbol, gestur dan terminologi ritualnya.

Dalam perspektif Bell, keberagaman ritual tersebut

merupakan hasil dari ‘kepadatan ritual’ yang dikonstruksi

menjadi ‘perubahan ritual’. Menurut Roy Rappaport, sistem

ritual tersebut terdiri dari apa yang disebut rituals dan

liturgical orders.43 Dimensi rituals sangat privasi dan

merupakan sebuah ekspresi pribadi tanpa terkhamiri oleh

orang lain. Gestur dan ekspresi yang tampak bergantung

dengan situasi, nilai (memaknai ritual) dan tujuan pribadi

terhadap ritualnya. Liturical orders merupakan elaborasi dari

rituals. Dalam performancenya akan terlihat kebermaknaan

secara komunal, yang telah dikemas dan dibumbui oleh

otorisasi, identitas kelompok, dan kanonisasi doktrin liturgis.44

Oleh sebab itu, dalam menganalisis sistem ritual perlu melihat

sebuah tatanan ritual yang lebih luas, meliputi pandangan

kosmik, kultural, fisik, historis dan biologisnya.

Kompleksitas ritual yang disajikan oleh Bell,

memerlukan analisis yang mendalam dalam mengurai sebuah

ritual yang ada di dalam masyarakat. Sistematisasi ritual yang

ada di dalam masyarakat bukan hanya merupakan produk

fenomena sosio kultural, melainkan perlu melihat lebih jauh

lagi mengenai praktik menggerakkan dan mempertahankan

sistem ritual, yakni proses-proses hierarkis, sentralisasi,

replikasi, marjinalisasi, identitas regional dan hubungan

interregional, ekonomi, stratifikasi sosial, spekulasi filosofis,

42 Untuk pendalaman lihat dalam Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions,

(New York: Oxford University Press, 1997),174 43 Ibid,176 – 177 44 Ibid,176

54 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

maupun abstraksi teologisnya.45 Konteks inilah yang

membedakan gaya atau macam ritual pada sebuah konteks

atau komunitas yang satu dengan konteks atau komunitas

lainnya. Bell menyimpulkan bahwa kepadatan ritual

berhubungan erat dengan konteksnya. Jika sebuah masyarakat

mengalami perubahan sosial dan sejarah yang memengaruhi

pandangan dunianya, organisasi, aktivitas ekonomi, dan ide-ide

lain, maka masyarakat akan menyaksikan perubahan yang

terjadi bersamaan dengan sistem ritual dan maknanya.

Bagi masyarakat tradisional, ritual bukan merupakan

sebuah identitas komunal, ciri khas etnik, institusi politik,

maupun tradisi sosial. Dalam paradigma mereka, ritual

merupakan sebuah formula untuk keluar dari sebuah keadaan

yang mereka tidak inginkan, atau solusi untuk keluar dari

tekanan kehidupan. Oleh sebab itu, Bell menekankan bahwa

ritual di dalam masyarakat akan selalu mengalami perubahan,

bergantung dengan konteksnya. Konteks yang selalu dinamis di

dalam masyarakat merangsang pergerakkan dalam struktur,

simbol, interpretasi dan aktivitas ritualnya. Perubahan di

dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya perubahan

ritualnya.

Dalam kerangka berpikir Bell, kondisi ritual yang selalu

dinamis tidak dapat terlepas dari tigal hal yaitu repudiating,

returning dan romantis. Ketiga hal ini merupakan simpulan

yang di dapat oleh Bell, ketika melakukan penelitian secara

komprehensif mengenai studi ritual yang dilakukan oleh para

ahli ritual sebelumnya. Teori yang dikemukakan oleh Bell

bukanlah berasal dari kajian penelitian empiris sosial

kemasyarakatan, namun merupakan sebuah elaborasi dari

pemikiran para pemikir ritual sebelumnya. Di dalam pemikiran

Bell, dielaborasikan pemikiran Durkheim, Eliade, Tambiah,

Mauss, Geertz, V. Turner, Rappaport, Levi Strauss dan tokoh-

45 Ibid,177 – 190

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 55

tokoh yang lain. Dari penelusuran yang mendalam dari para

tokoh tersebut, Bell menghasilkan kajian yang cukup

representatif dan holistik, untuk mendeskripsikan kajian ritual

dari sudut pandang budaya dan sejarah ritual. Dari hasil

kajiannya, Bell mengemukakan tiga hal terkait dengan

rekontruksi ritual di dalam masyarakat, yaitu :

1. Repudiating

Bell berpendapat dalam perubahan ritual di dalam

masyarakat, selalu ditandai dengan penolakan terhadap

tradisi ritualnya sendiri atau karena pihak lain, yang

disebabkan karena proses evolusi sosial (Rasionalisme,

sekularisme dan modernisasi), dan dapat juga terjadi

karena situasi-situasi sosial yang khusus. Evolusi sosial

yang terjadi di dalam masyarakat menyebabkan dirinya

sendiri yang menolak tradisi ritualnya. Di sisi lain, setiap

penolakan ritual terhadap praktik ritualnya perlu dilihat

dalam konteks sosialnya. Mengingat setiap praktik ritual

di dalam masyarakat merupakan hal yang sangat

kontekstual. Bertolak dari penolakan ini, di dalam

masyarakat sendirilah yang berusaha membangun praktik

ritualnya, baik dengan pedoman dari pengalaman masa

lalunya, maupun dengan pedoman dari aspek luarnya

(modernisasi, rasionalisasi).

2. Returning

Hal selanjutnya yang tidak dapat terlepas dari ritual

adalah mengingat gagasan kembali tentang asal muasal

tradisi itu sendiri. Tradisi yang ada merupakan hasil dari

sintesis adat/kebiasaan dan akomodasi dari konteks

sosial. Oleh sebab itu, diperlukan mengingat gagasan

kembali tentang orisinalitas tradisi, dan melepaskan dari

sekat kebaharuan, di mana tradisi harus merespon

kebutuhan baru di dalam masyarakat. Gagasan kembali

kepada orisinalitas tradisi ini di samping untuk menggali

kisah dan makna, tetapi juga mengingatkan serta

56 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

menegaskan kembali kepada simbol-simbol tradisi

tersebut.

Ritual yang ada di dalam masyarakat tidak lengkap

tanpa adanya media ekspresif intuitif-emosional di

dalamnya. Melalui media itulah masyarakat dapat

mengekspresikan kondisi spiritual, realitas alternatif dan

keterhubungannya dengan sesama dan semesta. Simbol-

simbol yang digali berdasarkan orisinalitas tradisi ritual,

untuk kemudian dapat kembali diperkuat pemahaman

akan pemaknaan simbolisnya. Bagi Bell, returning

merupakan sebuah gagasan intuitif terhadap simbol-

simbol masa lalu, yang dimunculkan kembali oleh

masyarakat, sebagai sarana untuk ekspresi emosional

terhadap orisinalitas gagasan ritual di masa lalu. Ekspresi

intuitif terhadap simbol-simbol ini kemudian dimaknai

kembali dengan pemahaman yang baru sesuai dengan

konteks kekinian dari masyarakat, sehingga ritual di

dalam masyarakat seolah kembali seperti ritual di masa

lalu.

3. Romantis

Bell menuturkan bahwa aspek ketiga yang tidak

dapat ditinggalkan adalah romantis. Dalam

perkembangannya, tradisi ritual tidak dapat dilepaskan

dari berbagai kepentingan. Proses kontruksi ritual tidak

dapat terlepas dari status dan otoritas lembaga sosial yang

dominan, sehingga acapkali menyebabkan tradisi ritual

menjadi anti struktur, revolusioner dan mampu

mendekontruksi pihak/lembaga yang kejam, serta dapat

menghasilkan struktur-struktur alternatif.

Dalam ketegangan ini, muncullah kerinduan akan

ritual yang mampu membebaskan, menyembuhkan dan

menyelamatkan diri maupun komunitasnya. Romantisme

akan kesalehan ritual yang membawa kepada hal yang

positif inilah menyebabkan masyarakat selalu ingin

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 57

kembali kepada esensi dari ritual. Di saat kehidupan ritual

sudah tertindas dan mengalami kefrustasian, maka

romantisme akan esensi ritual ini yang muncul di dalam

masyarakat. Komunitas masyarakat menganggap ritual

tersebutlah yang mampu membebaskan dan

menyelamatkan dari penetrasi modernisasi, sekularisasi

dan rasionalisasi di dalam konteks hidupnya.

Bagi Bell, kompleksitas di dalam ritual merupakan

sebuah fakta di dalam masyarakat yang perlu dikaji secara

mendalam. Ritual tidak dapat dipahami secara abstrak, tetapi

perlu dianalisis secara mendalam terkait dengan budaya,

pengalaman, dan tindakan di dalam masyarakat. Ritual tidak

dapat dijelaskan dan dianalisa dari luar, tetapi sebaliknya

harus dilihat dari dalam realitas masyarakat pelaku ritual,

dimana praktik ritual itu dilaksanakan.

F. Kosmologi dan Ritual Jawa

1. Konsep Tuhan dalam Agama Jawa

Tuhan secara umum dikonsepsikan sebagai yang

transenden. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut

mempunyai arti menembus, teramat sangat. Secara

maknawi, Tuhan dipandang sebagai sosok yang mutlak,

yang ada sebelum adanya alam semesta, yang

supranatural dan yang mengatur jagad semesta. Agama

Jawa selalu meyakini ada penguasa alam semesta, yang

apabila dikuasai, diadaptasi dalam kehidupan akan

mendatangkan berkah.46 Dalam agama Jawa, Tuhan

dikonsepsikan sebagai karib yang istimewa, yang diyakini

selalu ada dalam setiap keberadaan manusia. Tuhan

ditempatkan di posisi super, misterius, di atas kekuatan

46 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa,

(Yogyakarta : Narasi, 2015), 41

58 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

manusia. Tuhan adalah pengatur hidup, hanya dengan

batin, manusia dapat melukiskan apa saja tentang Tuhan.47

Agama Jawa mengkonsepsikan bahwa wahyu

diturunkan dari para dewa yang menguasai alam semesta,

dan berfungsi untuk menenangkan hidup. Konteks agama

Jawa, wahyu sangat dekat dengan pulung48 dan tidak dapat

lepas dari konsep begja.49 Agama Jawa selalu

mengedepankan Kawruh Begja, yang datang dari Kang

Gawe Urip.50 Wahyu yang dianggap berasal dari para dewa,

yang perlu diraih dengan Laku51 dan negosiasi. Laku ini

cenderung mengarah kepada dunia gaib atau alam gaib,

yang didalamnya akan didapati kekuatan gaib atau

kekuatan sakti. Sesuai dengan konteks kepercayaan agama

Jawa, dunia ini dibagi menjadi dua, yaitu makrokosmos

dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang

Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam

semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan

supranatural (adikodrati). Dalam makrokosmos pusat

alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki

kirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam

kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin

47 Untuk pendalaman konsep Tuhan dalam kebatinan dapat dilihat pada

Suwardi Endraswara, Kebatinan Jawa (Yogyakarta : Lembu Jawa, 2011), 171 - 180 48 Dalam konteks Jawa, Pulung merupakan penanda mendapat keberuntungan

dari Yang Ilahi. Biasanya orang yang kejatuhan pulung hidupnya akan dipenuhi oleh belas kasihan kepada sesama. Banyak orang akan hormat sehingga ia disegani. Pulung berkarakter cinta kasih. Sehingga jatuhnya pulung akan memilih orang yang akan memilih orang yang menjalani upaya lahir dan batin atau keprihatinannya mengamalkan cinta kasih kepada sesama, dalam mewujudkan keindahan, ketenteraman dunia.

49 Begja mempunyai arti harfiah keberuntungan. Banyak orang Jawa meyakini begjå atau kabegjan merupakan berkah yang turun dari atas, seperti halnya keyakinan rezeki sudah diatur Gusti Allah. kabegjan merupakan hak prerogatif Sang Mahakuasa yang bisa diturunkan dengan berbagai cara kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kata begjå atau kabegjan, jadinya, mengandung makna spiritual bagi yang percaya.

50 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa, (Yogyakarta : Narasi, 2015), 41-43

51 Secara harfiah kata Laku mempunyai arti sebagai perilaku. Namun, dalam konsep Jawa kata ini dimengerti sebagai perilaku, tindakan dan sikap hidup yang sesuai dengan amanat dari para dewa.

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 59

sempurna (dunia atas – dunia manusia – dunia bawah).

Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata

(mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia

dengan lingkungannya, susunan manusia dalam

masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan

segala sesuatu yang nampak oleh mata.52

Dengan keyakinan akan adanya dunia adikodrati,

agama Jawa mencirikan adanya kekaguman akan hal-hal

atau peristiwa gaib, yang tak dapat diterangkan oleh akal,

namun dapat dirasakan dan diyakini di dalam

kehidupannya. Keyakinan akan hal yang gaib kemudian

memunculkan mitos dan simbol yang dipercaya sebagai

perwujudan dari dunia gaib tersebut. Mitos yang

berkembang di agama Jawa sangat bervariasi, bergantung

dengan kultur, lokasi dan kondisi masyarakat. Sebagai

contoh, masyarakat petani meyakini mitos Dewi Sri

sebagai dewi kesuburan, sehingga di akhir panen

senantiasa diadakan acara slametan sebagai rasa syukur

kepada Sang Dewi, karena sudah memberikan berkah

kesuburan. Mitos agama Jawa yang bervariasi, bukan

mengaburkan kepercayaan masyarakat, justru

mempertebal keyakinan. Mitos menghidupkan suasana

kebatinan dan memberikan rasa ketenangan di dalamnya.

Keyakinan akan sesuatu yang gaib tersebut, kemudian

memunculkan kekaguman dan tindakan upacara ritual di

dalamnya.

2. Ritual di dalam Agama Jawa

Dalam menjalankan laku ritualnya, agama Jawa

mempunyai falsafah53 :

52 Lihat ulasan lebih lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup

Jawa, (Tangerang : Cakrawala, 2003), 2-16 53 Lihat ulasan lebih lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa,

(Tangerang : Cakrawala, 2003), 40-47

60 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

a. Falsafah metafisika, yakni bahwa Tuhan adalah

sangkan paraning dumadi.54

b. Epistemologi, yaitu proses memperoleh pengetahuan

dengan jalan mencapai kesadaran cipta, rasa, dan karsa

(hening), kesadaran panca indera, kesadaran pribadi

dan kesadaran illahi.

c. Falsafah aksiologi, terkait dengan nilai etik dan estetis.

d. Falsafah anthropologia yaitu pola pikir Jawa yang

berkisah tentang persoalan manusia.

e. Falsafah ontologia dan metafisika, yaitu pengalaman

yang pernah sungguh-sungguh dialami, dirasakan,

dihayati dan bukan sekedar konsep saja.

Dari falsafah yang dihidupi oleh agama Jawa,

memunculkan upacara ritual sebagai laku spiritualnya.

Sebagai media dalam menjalankan ritual dan

menghubungkan dengan dunia gaib, sesaji dipakai sebagai

simbol dan langkah negosiasi dengan hal-hal gaib. Kalau

orang Jawa tidak mampu memberikan sesaji, muncul

perasaan adanya nuansa hidup yang lepas dan belum

lengkap. Oleh sebab itu, dalam setiap jengkal kehidupan,

orang Jawa senantiasa mempertahankan sesaji sebagai

sarana bernegosiasi dengan hal-hal gaib.55

Agama Jawa menggariskan fungsi sesaji sebagai56 :

a. Langkah negosiasi spiritual dengan kekuatan

adikodrati, agar tidak mengganggu.

b. Pemberian berkah kepada warga sekitar, agar ikut

merasakan hikmah sesaji.

c. Perwujudan keikhlasan diri, berkorban kepada Kang

Gawe Urip (Sang Pemberi Hidup)

d. Bentuk ucapan terima kasih.

54 Secara literal dalam bahasa Indonesia diterjemahkan lepasnya roh dari jasad.

Dalam pengertian Jawa, mempunyai arti akan kembali kepada asal muasalnya. 55 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa, (Yogyakarta

: Narasi, 2015), 51-53 56 Ibid, 53-57

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 61

Fungsi sesaji tersebut merupakan cerminan dari

naluri keagamaan dari orang Jawa. Dalam konsepnya,

sesaji inilah yang menghubungkan antara dunia yang

hidup dengan dunia yang tak hidup, atau antara

makrokosmos dengan mikrokosmos. Sesaji inilah yang

difungsikan untuk menyelaraskan dari dua dunia yang

nyata dan tak kasat mata. Pemberian sesaji ini kemudian

diyakini dunia gaib akan memberikan bekal, solusi dan

kesaktian dalam menjalani hidup di dunia nyata.

Sesaji biasanya akan diberikan di tempat yang

diyakini mempunyai kekuatan gaib atau penghubung

antara dunia nyata dengan dunia gaib. Dalam kosmologi

Jawa, salah satu tempat yang dipercaya dapat

menghubungkan yang natural dengan supranatural

terletak di makam (kuburan). Makam diyakini sebagai

penghubung antara dunia nyata dengan dunia ajaib. Orang

yang telah di makamkan akan menjadi sarana untuk

menyambungkan orang yang masih hidup dengan dunia

gaib. Oleh sebab itu, banyak orang Jawa memberikan sesaji

di makam, untuk menjaga ketenangan di alam gaib. Agama

Jawa meyakini apabila alam nyata mengalami kekacauan,

disebabkan karena alam gaib mengalami kekacauan juga.

Dalam bentuk yang lain, sesaji diberikan sebagai

perwujudan syukur atas panen atau setelah melewati

masa liminal kehidupan. Dalam keyakinan Jawa, sesaji

yang diberikan dalam bentuk slametan diwujudkan dalam

bentuk tumpeng dan ambengan. Sesaji ini biasanya

diberikan dalam ritual kesuburan maupun terkait upacara

perkawinan. Tumpeng berbentuk kerucut, dengan puncak

kerucut di atasnya. Ambengan berbentuk lebih pendek dan

tidak berujung runcing. Simbolisasi tumpeng dan

ambengan ini merupakan pemahaman serta metafora dari

lingga dan yoni yang diyakini sebagai lambang kesuburan.

Di sisi yang lain, pemaknaan simbol ini terkait dengan

62 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

simbol laki-laki dan perempuan. Tumpeng sebagai simbol

laki-laki (lingga) dan ambengan sebagai simbol putri

(yoni).57 Dimensi lelaki dan perempuan senantiasa

dimunculkan dalam simbol kesuburan.

Simbolisme yang dipakai dalam ritual di agama

Jawa sedikit banyak mengacu kepada ajaran Tantraisme

Hindu. Tantraisme atau ada yang menyebut dengan

Tantrisme, merupakan ajaran yang mengembangkan

pemujaan terhadap Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran.

Ajaran Tantra sendiri terutama berkaitan dengan praktik-

praktik spiritual dan bentuk-bentuk ritual ibadah yang

bertujuan pada pembebasan dari kebodohan dan

kelahiran kembali, alam semesta yang dianggap sebagai

permainan ilahi Shakti dan Siwa. Dalam "kidal" Tantra

(Vamachara), ritual hubungan seksual digunakan sebagai

cara untuk masuk ke dalam proses yang mendasari dan

struktur alam semesta.58

Tantraisme diejawantahkan ke dalam simbol di

tempat sucinya. Dewasa ini hampir di semua tempat suci

(Pura) dapat dilihat Siwalingga yang diwujudkan dengan

lingga – yoni. Menurut ajarannya, itu melambangkan ruang

di mana alam semesta menciptakan dan melenyapkan

dirinya berulang-kali. Tantra mewujudkannya dengan

phalus dan yoni sebagai perlambang dari sifat laki-laki dan

wanita. Ia juga melambangkan prinsip-prinsip kreatif dari

kehidupan. Secara filosofis, simbolisme lingga yoni bersifat

Chala (bergerak) atau Achala (tidak bergerak). Chala

Lingga dapat ditempatkan di Pura atau rumah atau dapat

dibuat secara sementara dari tanah liat atau adonan atau

nasi. Achala Linga biasanya ditempatkan di Pura, terbuat

57 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa,

(Yogyakarta : Narasi, 2015), 25-27 58 Lihat keterangan lengkap di dalam Bagus Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta:

Gramedia,2000), 1068.

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 63

dari batu. Bagian terbawah dari Siwalingga disebut

Brahmabhaga yang melambangkan Brahma, bagian tengah

yang berbentuk segi delapan disebut Wishnubhaga yang

melambangkan Wishnu, dan bagian menonjol yang

berbentuk silinder disebut Rudrabhaga, serta pemujaan

kepadanya disebut Pujabhaga.59

Dalam perkembangannya, tantra sering

menggunakan simbol-simbol material termasuk simbok-

simbol erotis, sehingga tantra sering kali diidentikkan

dengan ajaran kiri yang mengajarkan pemenuhan nafsu

seksual, pembunuhan dan kepuasan makan daging.

Padahal beberapa perguruan tantra yang saat ini

mempopulerkan diri sebagai tantra putih menjadikan

pantangan mabuk-mabukan, makan daging dan hubungan

seksual sebagai sadhana dasar dalam meniti jalan tantra.60

Laku seksual yang dikembangkan merupakan perwujudan

sebagai ketaatan dengan doktrinnya. Ajaran Tantraisme

kemudian yang berkembang pula di dalam tradisi agama

Jawa.

Dalam berbagai ritual agama Jawa, konsep laki-laki

dan perempuan senantiasa dimunculkan sebagai simbol

keseimbangan ciptaan, simbol kesuburan, simbol kesatuan

dan simbol kesucian, sebagaimana yang dikonsepsikan ke

dalam ajaran Tantraisme. Acapkali simbol kesuburan dan

kesaktian terletak pada hubungan laki-laki dan

perempuan. Dalam falsafah hidup orang Jawa, yang

dimunculkan melalui tokoh pewayangan, kesaktian

seseorang dimunculkan dalam tokoh Arjuna. Falsafah

madya yang memunculkan konsep bahwa Arjuna adalah

59 Lihat keterangan lengkap di dalam Lama Thubten Yeshe, Introduction to

Tantra:The Transformation of Desire, (Boston: 2001, revised ed Wisdom Publication), 4. 60 Disadur dari Presentasi Bapak Suryanto, di Fakultas Psikologi Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta.

64 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …

lelananging Jagad,61 yang paling sakti di antara para

ksatria sejamannya. Dalam kerabat Pandawa ada yang

disebut pamadyaning pandawa, yakni Arjuna. Satria ini

berada di tengah-tengah. Ia lambang kesaktian, karena

bisa menguasai banyak wanita. Baginya, wanita adalah

simbol kesaktian. Modus operandi ihwal kesaktiannya

adalah karena Arjuna bisa menahlukan madya (tengah).

Yakni bagian fisik manusia yang berada di tengah (phalus

dan vagina). Tempat rasa sejati yang sulit digambarkan.

Jika kedua (tengah ketemu tengah) dalam arti telah

manunggal, maka hidup manusia akan tenang. Itulah

sebabnya, kenikmatan hidup manusia Jawa berada di

tengah (madya), bukan di bagian atas dan bawah. Hidup

menjadi kurang, jika belum menikmati kenikmatan sejati

(madya).62

Keyakinan akan pengisahan kesaktian Arjuna

menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai

perwujudan ritual kesaktian, kesuburan dan keberkahan.

Dari keyakinan ini, hubungan seksual laki-laki dan

perempuan mewarnai mitologi Jawa, sebagai puncak

ketenangan, kesenangan dan sumber kesaktian. Ketika

manusia mengalami tekanan kehidupan, hubungan

seksual dapat menjadi sumber mencari ketenangan

kehidupan. Dari keyakinan ini, menilik sejarah Raja-Raja

Jawa, maka perempuan menjadi salah satu indikator

kekuatan dan kesaktiannya. Hubungan seks antara laki-

laki dan perempuan diyakini dapat menjadi puncak untuk

mendekatkan diri kepada ketenangan di alam lain.

Kosmologi yang terbentuk menjadikan seks sebagai ritual

untuk dapat menarik berkah, ketenangan, kesaktian dan

kesuburan dari Alam lain. Tidak heran, dalam berbagai

61 Dimaknai sebagai laki-laki paling sakti di seluruh dunia. 62 Lihat ulasan lebih lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup

Jawa, (Tangerang : Cakrawala, 2003), 47-49

Ritual dalam Perspektif Sosiologis 65

ritual yang berbasis kosmologi Jawa, ritual seks menjadi

salah satu wujud untuk mendapat keberkahan dan

ketenangan di dunianya, karena seks dianggap sebagai

sesuatu yang sakral dan sebagai sarana untuk dapat

bertemu dengan Tuhan.

66 Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik …