BAB II PERKEMBANGAN PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA … · 22 orang, terdiri dari kalangan penerbit,...

31
20 BAB II PERKEMBANGAN PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA TAHUN 1946-1965 A. Latar Belakang Terbentuknya PWI Berakhirnya masa penjajahan Jepang pada pertengahan bulan Agustus 1945 memunculkan kekuatan-kekuatan terpendam yang bersifat revolusioner dari dalam masyarakat Indonesia, salah satunya adalah wartawan. Setelah deklarasai kemerdekaan Indonesia, wartawan-wartawan segera melancarkan kegiatan pemberitaan dan penerangan mendukung Proklamasi. Mereka juga mengambil alih suratkabar dan percetakan-percetakan yang dikuasai Jepang. Keberadaan pers serta insan pers pada masa awal kemerdekaan Indonesia memang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Pers nasional menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan yang berorientasi pada bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Pers Indonesia menjadi barisan terdepan dalam menghadapi penjajah dan perjuangan bangsa. Dalam situasi yang demikian muncul gagasan untuk membentuk perhimpunan wartawan sebagai wadah untuk mengkoordinasi kepentingan-kepentingan pers nasional. Gagasan membentuk organisasi wartawan ini bermula ketika sejumlah wartawan berkumpul di Yogyakarta, yang pada tahun 1946 menjadi Ibukota Republik Indonesia untuk meliput Kongres Bahasa Indonesia. Pertemuan para wartawan itu menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan kongres wartawan di

Transcript of BAB II PERKEMBANGAN PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA … · 22 orang, terdiri dari kalangan penerbit,...

20

BAB II

PERKEMBANGAN PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA

TAHUN 1946-1965

A. Latar Belakang Terbentuknya PWI

Berakhirnya masa penjajahan Jepang pada pertengahan bulan Agustus

1945 memunculkan kekuatan-kekuatan terpendam yang bersifat revolusioner dari

dalam masyarakat Indonesia, salah satunya adalah wartawan. Setelah deklarasai

kemerdekaan Indonesia, wartawan-wartawan segera melancarkan kegiatan

pemberitaan dan penerangan mendukung Proklamasi. Mereka juga mengambil

alih suratkabar dan percetakan-percetakan yang dikuasai Jepang. Keberadaan pers

serta insan pers pada masa awal kemerdekaan Indonesia memang tidak dapat

dipisahkan dari perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Pers

nasional menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan yang berorientasi pada

bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Pers Indonesia menjadi

barisan terdepan dalam menghadapi penjajah dan perjuangan bangsa. Dalam

situasi yang demikian muncul gagasan untuk membentuk perhimpunan wartawan

sebagai wadah untuk mengkoordinasi kepentingan-kepentingan pers nasional.

Gagasan membentuk organisasi wartawan ini bermula ketika sejumlah

wartawan berkumpul di Yogyakarta, yang pada tahun 1946 menjadi Ibukota

Republik Indonesia untuk meliput Kongres Bahasa Indonesia. Pertemuan para

wartawan itu menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan kongres wartawan di

21

Solo. Tujuan kongres yaitu untuk mempersatukan kaum wartawan dan untuk

menarik perhatian masyarakat luar tentang keberadaan Republik Indonesia. Pada

25 Januari 1946 terbentuklah Panitia Persiapan Kongres, yang selanjutnya akan

menangani usaha mendirikan sebuah organisasi wartawan Indonesia.1Susunan

Panitia Persiapan Kongres tersebut adalah sebagai berikut: Burhanuddin

Mohammad Diah sebagai ketua, Soemantoro sebagai wakil ketua, R.M.

Soemanang Soeriwinoto sebagai sekretaris, R. Mashoedi Darmosoegito sebagai

bendahara, dan yang menjadi anggota adalah Safioedin, R.M. Sadono Dibjowirojo,

R.M. Darmosoegondo, Soerono Wirohardjono, dan Soelistio.2

Gambar 1

Suasana Kongres PWI pertama di Solo tanggal 9 Februari 1946

Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia

Kongres wartawan pertama berlangsung di Kota Solo, tepatnya di

Gedung Societeit Sasono Suko, yang sekarang menjadi Gedung Monumen Pers Jl.

Gadjah Mada nomor 59. Kongres ini berlangsung selama 2 hari, yaitu pada

tanggal 9 dan 10 Februari 1946. Peserta yang hadir pada hari pertama sekitar 300

1 Ardus M. Sawega, “Detik-Detik Lahirnya PWI” Dalam Profesionalisme

Pers Nasional Setelah 50 Tahun, 9 Februari 1996, hlm 28. 2 Soebagijo I.N, Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, Lintasan Sejarah

PWI, (Jakarta: PWI Pusat, 1977), hlm 13.

22

orang, terdiri dari kalangan penerbit, penyiar radio, jawatan penerangan,

“pembantu tersiar”, dan 92 diantaranya adalah jurnalis. Para wartawan yang

datang berasal dari berbagai kota di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta,

Semarang, Solo, Surabaya, Kediri, Mojokerto, Malang. Juga beberapa dari luar

jawa seperti dari Padang dan Makassar.3

Hari-hari menjelang lahirnya PWI tidak dapat dipisahkan dari keadaan

Indonesia yang masih berusia muda. Suatu bangsa yang masih berusia enam bulan

mengalami kemerdekaan, dan masih mempertahankan kemerdekaan tersebut. Hal

ini membuat suasana kongres PWI pertama diliputi oleh semangat perjuangan,

semangat untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah. Dengan

penampilan yang beraneka ragam, wartawan yang hadir dalam Kongres wartawan

pertama ini tidak hanya membawa pena, namun juga membawa senjata seperti

pistol, bambu runcing, kelewang, golok, keris, serta belati.4

Kongres ini

merupakan forum dan sarana meneguhkan patriotisme-nasionalisme sambil

mengkampanyekan pers nasional sebagai salah satu kekuatan kemerdekaan.

Soemanang menyatakan bahwa pada waktu itu wartawan tidak mengenal apa

yang disebut ambisi-ambisi perseorangan maupun politik, tidak ada iri hati atau

permusuhan diantara yang hadir dalam kongres PWI yang pertama. Semuanya

hanya ingin mengabdikan pers dan pekerjaan kewartawanan untuk perjuangan

kemerdekaan.5 Oleh karena itu hasil kongres berisi kesepakatan wartawan untuk

3 Ardus M. Sawega, op. cit., hlm 29.

4 Ibid.

5 Kompas, 9 Februari 1971.

23

menyatukan barisan pers nasional menentang penjajahan, menegakkan persatuan

nasional, kemerdekaan dan kedaulatan negara.

Sidang hari pertama yang berlangsung tanggal 9 Februari 1946 dimulai

pada jam 20.00. Saat pembukaan, Ketua Panitia Kongres B.M. Diah berhalangan

hadir karena kereta dari Jakarta yang ditumpanginya menghadapi halangan. Oleh

karena itu, pada sidang hari pertama pimpinan sidang dialihkan kepada

Sumantoro selaku wakil ketua untuk memimpin jalannya sidang. Keputusan-

keputusan yang dihasilkan antara lain: menyutujui berdirinya perhimpunan kaum

wartawan, nama perhimpunan akan dibicarakan pada hari kedua dalam

membicarakan Peraturan Perhimpunan atau Anggaran Dasar, serta pembentukan

panitia untuk memilih nama himpunan dan merencanakan Anggaran Dasar.6

Sidang hari kedua, tanggal 10 Februari 1946, dihadiri oleh sekitar 200

orang. Pada sidang tersebut disepakati rencana peraturan organisasi dan sekaligus

mensahkan organisasi PWI. Selanjutnya sidang memilih kepengurusan sederhana

organisasi PWI. Pengurus PWI yang pertama adalah sebagai berikut: Mr

Soemanang dari suratkabar Harian Nasional sebagai ketua, Syamsuddin Sutan

Makmur (Harian Rakjat) sebagai wakil ketua, lalu sebagai anggota B.M. Diah

(Merdeka), Sumantoro (Kedaulatan Rakjat), Ronggo Danukusumo (Suara Rakjat),

Djawoto (Antara), dan Harsono Tjokroaminoto (Al-Jihad). Struktur organisasi

PWI yang pertama ini masih sangat sederhana, karena belum adanya

pembidangan kerja serta seksi-seksi. Kemudian peserta sidang menunjuk kota

6 Soebagijo I.N, Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, op. cit., hlm 15.

24

Solo sebagai tempat sekretariat organisasi yang diketuai oleh Sudarjo

Tjokrosisworo.7

Keputusan lain yang dihasilkan oleh Kongres PWI yang pertama yaitu

terbentuknya Panitia untuk mengurusi bahan-bahan kebutuhan penerbitan pers.

Panitia ini diketuai oleh Syamsuddin Sutan Makmur, dan yang menjadi

anggotanya adalah B.M. Diah, Djoyosupadmo, Bambang Suprapto, Ranggo

Danukusumo, Mohammad Kurdi, Rachmat Nasution dan Sudjono.8 Tokoh-tokoh

pers yang terlibat dalam organisasi PWI tidak berbeda dengan pengurus

Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI)9, hal ini menunjukkan bahwa adanya

kesinambungan organisasi wartawan, yakni kesinambungan organisasi wartawan

pada cita-cita yang sama, meskipun dengan nama organisasi berbeda.

B. Perkembangan PWI Masa Revolusi Fisik

Perkembangan, kedudukan serta peran organisasi PWI yang

beranggotakan wartawan penerbitan pers dan media massa lainnya banyak

ditentukan oleh perjalanan pers nasional sejak Indonesia merdeka dari satu

7 Ardus M. Sawega, op. cit., hlm 30.

8 Ibid.

9 PERDI merupakan organisasi wartawan yang berdiri pada 23 Desember

1933, organisasi ini adalah organisasi wartawan Indonesia yang terbesar yang

pernah dimiliki kaum wartawan pada masa pra-perang, organisasi ini didukung

oleh sebagian besar penerbit suratkabar. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam PERDI

antara lain Sutopo Wonoboyo (mingguan Kumandang Rakjat), R.M. Soedarjo

(Suara Umum), R. Syamsoe Hadiwiyoto (harian Adil Solo), Syamsuddin Sutan

Makmur (Daya Upaya), Bakri Suraatmaja (Sipatahunan Bandung), Inu

Perbatasari Mertokusuma, Yunus Dirk Syaranamual (Suara Umum Surabaya), dan

lain-lain. Namun setelah kedatangan Jepang ke Indonesia, organisasi wartawan ini

dibubarkan karena pada masa pendudukan Jepang dilarang adanya perkumpulan

kecuali perkumpulan yang didirikan oleh Jepang. Lihat Kompas, 5 Desember

1970.

25

periode ke periode berikutnya. Sedangkan kehidupan pers tidak dapat dipisahkan

dari kondisi dan proses pembangunan politik nasional yang memperngaruhi

kedudukan dan peran setiap organisasi masyarakat. Keterlibatan wartawan dalam

pers nasional juga turut mempengaruhi perkembangan PWI. Keterlibatan

wartawan dalam aktivitas politik sangat mempengaruhi perkembangan pers dan

orientasi politik wartawan.

PWI sebagai organisasi wartawan pertama yang berdiri sejak

kemerdekaan Indonesia ini merupakan salah satu organisasi yang lahir dari rahim

revolusi kemerdekaan. Oleh karena itu organisasi ini bisa dikatakan merupakan

organisasi kejuangan yang membangun satu front persatuan untuk

mempertahankan kemerdekaan. Hal ini menyebabkan pada awal

perkembangannya PWI lebih memusatkan kegiatannya dalam mempertahankan

kemerdekaan Indonesia, hal ini dapat dilihat dari Kongres PWI pertama pada

tahun 1946 dimana PWI berfungsi sebagai forum sarana meneguhkan patriotisme-

nasionalisme sambil mengkampanyekan pers nasional sebagai salah satu kekuatan

kemerdekaan. Menteri Penerangan Mohammad Natsir dalam sambutannya pada

Kongres PWI pertama menandaskan bahwa tentara dan rakyat harus mendapat

keyakinan bahwa tujuan kita semua adalah kemerdekaan seratus persen.

Sedangkan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin dalam sambutannya

mengatakan bahwa pekerjaan wartawan adalah meyakinkan kepada umum bahwa

politik Indonesia adalah benar, yaitu mempersatukan rakyat dan tentara sehingga

26

satu dengan yang lain, saling membantu persatuan tentara resmi, TRI dan lasykar-

lasykar lainnya.10

Keadaan yang penuh dengan rasa perjuangan tersebut mempengaruhi

hasil kongres PWI yang pertama yakni kesepakatan wartawan untuk menentang

penjajahan, menegakkan persatuan nasional, kemerdekaan dan kedaulatan negara.

Pada masa itu, terlihat adanya sikap wartawan yang memiliki missi mendukung

perjuangan dan membela kepentingan masyarakat. Selain itu, kongres PWI yang

pertama juga menghasilkan kesepakatan pengumpulan dana dalam jumlah tertentu

dari anggota-anggota dalam masa tiga bulan, serta perumusan adab (kode etik)

yang harus dijunjung oleh wartawan.11

Pada masa awal berdirinya, aktivitas keorganisasian PWI tidak begitu

menonjol, bahkan organisasi wartawan yang pertama tersebut belum dapat

menyelenggarakan program-programnya secara efektif,karena belum stabilnya

kondisi negara sehingga potensi masyarakat tertuju pada usaha mempertahankan

negara. Selain itu, sistem kerja dari organisasi yang belum teratur, serta tidak

tersedianya dana yang cukup untuk menunjang pelaksanaan program-program

organisasi, walaupun sudah disepakatinya dukungan dana dari anggota, namun hal

tersebut tidak terlaksana dengan baik. Keterkaitan erat wartawan dengan aktivitas

politik juga merupakan salah satu faktor penghambat untuk menumbuhkan

solidaritas atas dasar profesi. Namun PWI tetap berusaha untuk menumbuhkan

10

Ardus M. Sawega, op. cit., hlm 29. 11

Afrizal Munir, PWI Dalam Kostelasi Politik Orde Baru 1966-1985,

(Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992), hlm

39-42.

27

solidaritas di kalangan sesama anggota, seperti dilakukannya pembelaan terhadap

anggota dari tindakan penganiayaan atau tindakan dari penguasa karena alasan-

alasan tertentu.12

Usaha solidaritas PWI terlihat saat dilakukannya pembelaaan terhadap

tiga anggota redaksi Merdeka pada tahun 1946. B.M. Diah, yang juga merupakan

anggota pengurus PWI, memecat tiga rekannya karena telah dianggap melakukan

sabotase. Atas masalah tersebut, PWI terpaksa menskors B.M. Diah karena

menolak permintaan PWI untuk mencabut kembali surat keputusan pemecatan

tiga rekannya tersebut. Karena ketidakpuasannya atas keputusan Panitia

Penimbang PWI, maka B.M. Diah mendirikan sebuah organisasi wartawan

tandingan yang bernama Ikatan Wartawan Indonesia (IWI).13

Organisasi IWI dibentuk di Jakarta dengan tujuan membangun suatu

badan Persatuan Wartawan yang baru, dengan pertimbangan karena pada masa

tahun 1946 hubungan dengan daerah pedalaman sudah mulai terasa sulit. Pendiri

organisasi ini adalah para wartawan Republikein yang tinggal di Jakarta. Susunan

pengurusnya adalah sebagai berikut: Oemar Santoso sebagai ketua, Soewardi

Tasrif sebagai sekretaris, Soemardi sebagai bendahara, serta B.M. Diah sebagai

pembantu. Namun karena didukung oleh sebagian kecil wartawan dan pada tahun

12

Ibid. 13

Tiga wartawan Merdeka yang dipecat B.M. Diah adalah Rosihan Anwar,

Sutomo Satiman, dan Sudjati SA. Pemecatan dilakukan karena pemuatan rubrik

pojok “Dr. Clenik” yang dinilai cukup kasar di harian Merdeka pada tanggal 8

Oktober 1946 yang ternyata membangkitkan kemarahan Menpen Mohammad

Natsir. Lihat Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, Wartawan Terpasung:

Intervensi Negara di tubuh PWI, (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998),

hlm 19.

28

1946 Ibukota Indonesia berada di Yogyakarta sehingga keberadaan IWI tidak

berkembang lebih lanjut. Pada Kongres PWI ke-II di Malang pada tanggal 23-24

Februari 1947, IWI menegaskan bahwa secara prinsipil tidak ada pertentangan

antara kedua organisasi wartawan tersebut, dan IWI siap untuk bersatu kembali

dengan PWI.14

Selain membahas tentang IWI, Kongres PWI di Malang juga

menghasilkan Ketua beserta kepengurusan baru organisasi. Terpilih menjadi ketua

yaitu Usmar Ismail dari Majalah Patriot, dan Djamal Ali dari Harian Buruh

sebagai wakil ketuanya. Namun Usmar Ismail tidak lama menjabat sebagai ketua

karena ia mengundurkan diri, dan sebagai gantinya terpilihlah ketua baru yaitu

Sumanang. Masa jabatan Sumanang juga tidak bertahan lama, ia mengundurkan

diri setelah empat bulan menjabat sebagai ketua PWI. Tampil menjadi ketua PWI

yang baru adalah Djawoto. Adanya pergantian Ketua dalam organisasi PWI ini

menunjukkan betapa sulitnya membina organisasi wartawan. Kesulitan tersebut

tidak bisa dilenyapkan dengan hanya mengganti anggota-anggota pengurusnya

atau menambah keuangan perkumpulan.15

Pada tahun 1949 PWI mengadakan Kongresnya yang ke-III, kongres ini

berlangsung sangat sederhana. Kongres yang berlangsung tanggal 7-9 tidak

dihadiri oleh banyak anggota, pertemuan diadakan di Warung “Podjok”

Judonegaran, Yogyakarta. Sidang ini memutuskan dibentuknya Serikat

Perusahaan Suratkabar (SPS) yang diketuai oleh Sumanang. SPS bertugas

14

Soebagijo I.N, Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, op. cit., hlm 18-

19. 15

Ibid.

29

mengurusi logistik pers, yang menyediakan kertas koran, tinta serta huruf matrijs

untuk anggota-anggotanya. SPS terdiri dari para pemimpin perusahaan-

perusahaan suratkabar. 16

Keadaan negara pada masa Revolusi Fisik memang sangat

mempengaruhi berlangsungnya organisasi wartawan yang pertama ini. Adanya

agresi Belanda dan juga berubahnya bentuk negara dari negara kesatuan ke negara

serikat memiliki pengaruh yang sangat besar. Bisa dikatakan bahwa pada masa

Revolusi Fisik usaha mewujudkan kesatuan belum tercapai di kalangan wartawan.

Terbentuknya negara serikat turut menimbulkan terpecahnya anggota-anggota

PWI dengan terbentuknya Ikatan Wartawan Indonesia Timur di Ujung Pandang

pada tahun 1948.17

C. Perkembangan PWI Masa Demokrasi Liberal

Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag menghasilkan

bentuk negara Indonesia yang berbeda dari sebelumnya, Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) berubah menjadi Negara Federasi Republik Indonesia

Serikat (RIS). Namun bentuk negara serikat ini tidak berlangsung lama, karena

dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan prinsip kesatuan bangsa Indonesia.

Tepat pada 17 Agustus 1950 RIS resmi dihapus dan menjadi Republik Indonesia.

Bentuk negara yang baru didasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara

16

Ibid, hlm 20. 17

Afrizal Munir, op. cit., hlm 42-43.

30

(UUDS), yang menganut sistem pemerintahan parlementer didasarkan pada

pemikiran demokrasi liberal.

Perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sistem Presidensil ke

sistem Parlementer membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, mereka

memasuki kehidupan politik yang memungkinkan seluruh kekuatan masyarakat

terlibat dalam penentuan kebijaksanaan nasional. Perubahan ini juga membawa

dampak yang sangat besar bagi kehidupan pers Indonesia. Pada masa ini, pers

Indonesia terbawa ke arah pers liberal ketika hampir semua media berafiliasi

dengan partai-partai politik. Pers menjadi organ suatu partai politik yang

kemudian memusuhi lawan-lawan politiknya untuk kepentingan perebutan

pengaruh di pusat kekuasaan. Kehidupan pers nasional yang sangat berpengaruh

bagi kelangsungan organisasi PWI membuat organisasi ini juga terseret dalam

aktivitas politik yang dilakukan oleh wartawan-wartawan anggotanya. Karena

pada umumnya para pemimpin pers nasional merupakan pelaku politik dan tokoh

publik, sehingga sikap politik mereka pasti mempengaruhi perumusan kebijakan

dan program PWI.

Pada awal perkembangan Demokrasi Parlementer, PWI sebagai

organisasi pers berusaha untuk meningkatkan peranan organisasi dengan

membentuk Kring-kring18

guna mempermudah urusan keorganisasian yang

18

Kring-kring merupakan istilah yang dipakai untuk pengurus PWI daerah,

yang kemudian dikenal sebagai cabang-cabang. Sampai menjelang

berlangsungnya Kongres di Surabaya, PWI telah mempunya 11 kring, yaitu

Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Palembang,

Padang, Menado dan Makasar. Lihat Soebagijo IN, Abdurrachman Surjomiharjo,

P.Swantoro, op. cit., hlm 22-23.

31

sebelumnya diatur sepenuhnya oleh Pengurus Pusat. Kring-kring mulai dikenal

pada kongres PWI yang ke-IV yang dilaksanakan di Surabaya pada tanggal 12

dan 15 Mei 1950. Dalam kongres yang ke-IV ini PWI membicarakan tentang

ketentuan keanggotaan, Soebagijo IN memaparkan mengenai ketentuan-ketentuan

tersebut yakni:

1. Anggota tetap ialah wartawan profesional dengan pengalaman

sedikitnya 5 tahun. Semua warganegara bisa diterima sebagai anggota.

Yang dimaksudkan dengan “professional’ ialah wartawan yang

mendapat nafkah sepenuhnya sebagai wartawan, atau sekurang-

kurangnya menjadikan pekerjaan wartawan sebagai sumber

penghidupan.

2. Anggota-peserta ialah mereka yang melakukan pekerjaan sebagai

wartawan, tetapi sesungguhnya tidak mempunyai status wartawan

(misalnya: pegawai penerangan, radio, dan lain-lain)

3. Anggota-kehormatan ialah wartawan profesional yang banyak sekali

pengalamannya dan bisa menjadi pelopor dalam usaha kewartawanan.

4. Anggota-muda ialah wartawan profesional yang tidak cukup atau belum

cukup pengalamannya. Dalam pada itu bisa diadakan pengecualian

terhadap mereka yang memang sangat “geschikt”. Misalnya karena

tinggi sekolahnya sehingga bisa dianggap atau diterima sebagai

32

wartawan professional dengan cukup pengalaman sesudah bekerja satu

atau dua tahun.19

Penataan internal PWI terus berlangsung seiring dengan perkembangan

masyarakat. Organisasi wartawan ini juga mulai dihubungi oleh instansi-instansi

lain di luar persuratkabaran, hal ini menunjukkan adanya perkembangan yang

signifikan dalam organisasi PWI. Wartawan-wartawan Indonesia mulai dikirim ke

luar negeri untuk bekerjasama dengan suratkabar-suratkabar yang ada di negara

lain. Adanya keputusan dari Kementrian Penerangan atas saran dan anjuran

Pengurus Pusat PWI dan Panitia Pers untuk mengirim enam orang wartawan

Indonesia ke Nederland selama enam bulan untuk bekerja disana. Enam orang

wartawan yang dikirim ke Nederland adalah Mashud (Antara), Bob Sutan

(Indonesia Raya), Soetomo Satiman (Nasional), Imam Sajono (Aneta), Sanjoto

(Pedoman) dan Darsjaf Rahman (Mimbar Indonesia). Selain itu, untuk menambah

wawasan serta pengalaman wartawan Indonesia di dalam negeri, maka

Kementerian Penerangan dan PWI Pusat mengadakan kerjasama dalam

pengiriman wartawan-wartawan untuk mengadakan peninjauan di lain daerah

Indonesia.20

Pada tahun 1951, PWI bersama dengan SPS mengadakan Konferensi di

Jakarta pada tanggal 13-15 Januari. Pada konferensi ini dilakukan pemilihan

pergantian kepengurusan PWI, serta ditentukannya kantor Pengurus Pusat yang

beralamat di Jalan Pos Utara 57, Jakarta. Selain itu Konferensi juga memutuskan

19

Ibid. 20

Ibid.

33

hal-hal sebagai berikut: yakni pemisahan antara organisasi PWI dan SPS, mulai

diadakannya hubungan dengan organisasi-organisasi internasional dan juga

mengadakan kontak dengan UNESCO bagian urusan pers, radio dan film,

mendesak pemerintah untuk mengadakan Leerstoel Journalistiek dengan sifat dan

cara serta derajat yang layak pada Universitas Indonesia, mengusahakan agar

diadakan peraturan dasar untuk menciptakan jaminan sosial dan mencegah tindak

perlakuan sewenang-wenang bagi wartawan.21

Sebagai akibat dari bentuk pemerintahan yang liberal, wajah pers

nasional juga mengikuti arus perpolitikan nasional menjadi pers yang libertarian.

Pers Indonesia di zaman Demokrasi Liberal melakukan kritik-kritik tajam

ditujukan kepada pemerintah, tokoh masyarakat, hingga kepada Presiden.

Wartawan dengan media yang dimilikinya merupakan suatu bagian dari kekuatan

tersendiri dalam masyarakat, mereka bersikap sangat politis dan tidak jarang

mengangkat kasus-kasus yang mengkritik pemerintahan. Keadaan ini

memunculkan konflik atau pertentangan antara pemerintah dan pers, sehingga

pemerintah berusaha untuk menundukkan pers dibawah kekuasaannya. Salah satu

bentuk pengendalian yang dilakukan pemerintah adalah ketika pemerintah

membentuk Dewan Pers pada tanggal 17 Maret 1950. Dewan pers beranggotakan

wartawan, cendekiawan, dan pejabat-pejabat pemerintah. Lembaga ini berfungsi

untuk menggantikan UU pers kolonial, memberikan dasar sosial-ekonomis kepada

insan pers Indonesia, meningkatkan mutu jurnalisme, serta mengatur tentang

kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan-wartawan Indonesia. Dengan tugas

21

Ibid., hlm 24-25.

34

yang demikian itu, dapat dikatakan bahwa Dewan Pers didirikan untuk

menggantikan atau mengambil alih pekerjaan yang seharusnya menjadi bagian

atau tugas PWI.22

Pemerintah mulai melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap

pers nasional dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berbenturan dengan

kepentingan jurnalistik wartawan. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain

instruksi yang dikeluarkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (1953-1955)

untuk mengawasi suratkabar-suratkabar tertentu yang dianggap keras, seperti

Abadi, Sumber, Indonesia Raya, Pedoman. Kemudian Kementrian Penerangan

memberlakukan apa yang disebut sebagai kebijaksanaan langganan kolektif-nya,

yang bermaksud melakukan pengawasan terhadap pers. Menteri Penerangan

mengancam akan menyensor semua berita, atau membatasi aktivitas pers yang

dianggap memberikan gambaran palsu mengenai keadaan dalam negeri. Pada

pertengahan Oktober 1953 Jaksa Agung mengeluarkan pengumuman yang

meminta pers untuk menahan diri agar tidak memberitakan pernyataan-pernyataan

atas bahan-bahan berita, termasuk pidato wakil-wakil pemerintah di Parlemen

yang dapat berdampak meningkatnya pertentangan pendapat dan ketidaktenangan

di dalam negeri.23

Pembreidelan terhadap suratkabar juga dilakukan oleh negara, misalnya

yang dialami oleh suratkabar Merdeka dan Berita Indonesia yang memuat berita

seputar peristiwa 17 Oktober 1952. Seorang koresponden suratkabar Pedoman di

22

Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 24. 23

Ibid., hlm 26.

35

Jakarta diinterogasi pihak kejaksaaan karena artikelnya mengenai seorang pejabat

perpajakan. Pembreidelan juga terjadi pada suratkabar Tinjauan yang telah

memuat berita mengenai Menteri Pertahanan yang menyebutkan bahwa Menhan

telah menerima suap.24

Hal ini memaksa PWI untuk mengambil sikap pembelaan

terhadap anggotanya yang terkena politik pengendalian pemerintah. Terkait

dengan pembreidelan yang dialami oleh beberapa suratkabar, PWI mengirimkan

nota protes kepada Pemerintah.

Dalam kasus lain, untuk membela anggotanya PWI bahkan melakukan

demonstrasi dengan mengkoordinasi ratusan wartawan, yang kemudian dikenal

dengan “demonstrasi 1000 wartawan”. Demonstrasi ini merupakan aksi protes

PWI terhadap pemerintah atas kasus yang dialami Asa Bafagih (Pemred

Pemandangan) yang digugat Perdana Menteri Djuanda karena tulisannya di tajuk

Pemandangan dianggap membocorkan rahasia negara. Tekanan pemerintah

terhadap Asa Bafagih telah membangkitkan rasa solidaritas di kalangan wartawan.

Demonstrasi ini dilakukan pada tanggal 5 Agustus 1953, dengan diorganisir oleh

PWI dan International Press Institute (IPI) yang dipimpin Mochtar Lubis, ratusan

wartawan yang didukung ratusan buruh percetakan dan suratkabar, ratusan pelajar

dan mahasiswa Akademi wartawan dan simpatisan melakukan long-march dan

berdemonstrasi. Langkah selanjutnya yang diambil PWI dalam menyikapi kasus

Asa bafagih tersebut adalah dengan menjadikannya salah satu bahasan dalam

Kongres PWI ke-7 yang dilaksanakan di Bali pada Agustus 1953, PWI

24

Ibid.

36

mempertimbangkan dilakukannya aksi mogok kerja sebagai bentuk protes

membela Asa Bafagih.25

Untuk mempertahankan kebebasan pers dan mencegah pembredeilan

terhadap pers, PWI pada Kongresnya yang ke-VII tahun 1953 juga mengeluarkan

keputusan yang isinya mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Undang

Undang Pers yang bersumber pada kemerdekaan berfikir dan kebebasan

mengeluarkan pendapat. Kongres juga memutuskan untuk membentuk panitia

yang bersama-sama Pengurus Pusat PWI memperjuangkan dikeluarkan UU Pers

dan penghapusan Persbreidel Ordonantie. Akhirnya pemerintah mengeluarkan

UU No.23 tahun 1954 dan mencabut Persbreidel Ordonantie karena dianggap

bertentangan dengan Pasal 19 UUDS dan membatasi kemerdekaan pers. Namun

UU Pokok Pers belum dapat terwujud karena berlangsungnya pemilihan umum

pada tahun 1955 menghasilkan anggota-anggota baru Parlemen dan Kabinet

baru.26

Pada tahun-tahun selanjutnya, pemerintah semakin tidak memberi

peluang bagi suara-suara kritis media massa. Suratkabar yang merupakan media

partai politik seringkali mempertajam dan mengulas konflik-konflik politik, serta

mengkritik pejabat pemerintahan. Situasi ini membuat Angkatan Darat

mengeluarkan surat keputusan keadaan darurat yang melarang pemberitaan pers

yang bersifat provokatif. Peraturan ini berisi antara lain sebagai berikut: Dilarang

mencetak, menerbitkan, menyajikan, mengedarkan, menempelkan ataupun

25

Ibid., hlm 27-29. 26

Afrizal Munir, op. cit., hlm 47.

37

memiliki tulisan-tulisan gambar-gambar atau foto-foto yang berisi atau

mengimplikasikan atau bermaksud mengecam, menuduh atau menghina presiden,

wakil presiden, suatu persidangan pengadilan, pejabat pemerintah yang masih

berfungsi atau sebagai akibat dari pembebasan tugasnya, atau apa saja yang

mengandung pernyataan-pernyataan yang bersifat permusuhan, kebencian ataupun

penghinaan yang ditujukan kepada pemerintah atau golongan-golongan orang

tertentu; ataupun apa saja yang mengandung berita atau pengumuman yang dapat

menimbulkan kekacauan di kalangan rakyat.27

Peraturan yang dianggap sangat

merugikan wartawan ini mendapat kecaman dari segenap unsur pers. PWI sebagai

organisasi wartawan mengecam pemerintah dan akan melakukan aksi bersama

dari semua unsur pers jika dalam satu bulan peraturan tersebut tidak dicabut, dan

akhirnya peraturan tersebut dicabut kembali.28

Alam Demokrasi Liberal yang memberikan kebebasan politik untuk

membangkitkan partisipasi politik masyarakat ternyata lebih banyak diwarnai oleh

kepentingan masing-masing aliran politik. Pemilu 1955 yang merupakan Pemilu

pertama berujung pada krisis ketatanegaraan Indonesia. Ketidakstabilan politik

Indonesia pada alam Demokrasi Liberal pada perkembangan selanjutnya

memunculkan gerakan separatis di beberapa daerah. Menguatnya PKI setelah

Pemilu 1955 juga memunculkan ketidakpuasan masyarakat di daerah-daerah yang

mayoritas Islam, seperti di Aceh, Sumatra Tengah dan Jawa Barat. Hal-hal

tersebut mengakibatkan meletusnya pemberontakan-pemberontakan di daerah-

27

Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 30. 28

Afrizal Munir, loc. cit.

38

daerah tersebut. Dengan banyaknya pemberontakan di wilayah Indonesia,

pemerintah mengumumkan negara dalam keadaan bahaya perang atau Staat van

Orlog en Beleg (SOB), dan dengan demikian Angkatan Darat mendapat

wewenang khusus untuk mengamankan negara.29

Diberlakukannya SOB pada tahun 1957 ini membatasi peranan pers pada

umumnya, dan membatasi ruang gerak wartawan pada khususnya. Pers sejak

masa-masa awal perkembangannya telah menunjukkan karakternya sebagai alat

perjuangan partai-partai politik sehingga telah menjadi suatu hal yang wajar jika

dalam pemberitaannya fakta tidak terlalu dipentingkan. Berita, artikel atau tajuk

yang sangat retoris memang telah merupakan bagian dari dinamika pers yang oleh

para wartawan atau editor suratkabar dianggap sebagai manifestasi dari kebebasan

pers. Sementara pemerintah menganggapnya sebagai provokasi dan sensasi politik

yang memecah belah. Oleh karena itu, pada masa ini banyak terjadi pembreidelan

dan pemberangusan koran-koran, serta penahanan wartawan.30

Munculnya militer sebagai kekuasaan yang berpengaruh pada masa SOB

membuat mereka memantapkan posisinya di bidang politik karena militer

mendapatkan peran yang lebih besar dalam fungsi politik, administrasi dan

ekonomi. Dengan alasan untuk menjaga ketertiban dan keamanan negara, militer

mengeluarkan berbagai intruksi dan peringatan bagi pers. Salah satunya adalah

pengumuman yang dikeluarkan oleh Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya

29

Marlaini, Berdirinya Badan Pendukung Sukarnoisme Dinamika Pers

Pada Masa Demokrasi Terpimpin, (Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia,

1994), hlm 11. 30

Ibid., hlm 13-17.

39

(KMKB-DR) No.6/KKD/57 yang memuat suatu larangan mengadakan

pemberitaan-pemberitaan mengenai keadaan sekitar dan menyangkut militer

secara langsung atau tidak langsung yang sumbernya tidak berasal dari instansi-

instansi komandonya atau oleh Bagian Penerangan Angkatan Darat (Penad).

Selain itu, wartawan juga dihimbau agar menjadikan instruksi KSAD no.19/1954

sebagai pedoman untuk menilai suatu berita dapat disiarkan atau tidak. Dengan

adanya instruksi-instruksi dari pihak militer tersebut, tercatat sampai akhir tahun

1957 telah terjadi 125 tindakan terhadap pers, antara lain larangan terbit terhadap

kantor berita PIA (16-23 April 1957), Indonesia raya (24-26 April 1957), Bintang

Timur dan Pedoman (23-25 April 1957).31

Kasus pelarangan terhadap suratkabar Indonesia Raya juga

mengakibatkan Mochtar Lubis selaku Pemimpin Redaksi ditahan. Indonesia Raya

dikenal sebagai suratkabar yang tidak pernah mundur untuk membela kepentingan

rakyat. Suratkabar ini memberitakan serentetan peristiwa skandal, konflik, dan

penipuan yang terjadi pada kementrian, dan beberapa perwakilan diplomatik

Indonesia di luar negeri. Puncaknya, berita mengenai tuduhan Roeslan Abdulgani

terlibat dalam hubungannya dengan perkara yang melibatkan Lie Hok Thay,

Wakil Direktur Percetakan-percetakan Negara, Kementrian Penerangan yang

dituduh memanipulasi dana Pemilihan Umum jutaan rupiah. Berita inilah yang

membuat Mochtar Lubis ditahan dan diadili. Namun, terbatasnya ruang gerak pers

membuat PWI sebagai organisasi wartawan tidak bisa berbuat banyak atas kasus

31

Oemar Seno Adji, Pers Aspek-Aspek Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1977),

hlm 236.

40

Mochtar Lubis tersebut. PWI hanya menyerukan kepada pemerintah agar

menentukan langkah-langkah kebijakan terhadap soal-soal pers dan kewartawanan,

serta mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan UU Pers Nasional.32

Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah semakin mempertajam dan

memperkuat pengendaliannya terhadap pers. Dapat dikatakan bahwa kebebasan

menyatakan pendapat bagi wartawan dibatasi, dan berbagai peraturan pers

bermunculan dari markas besar militer. Pada bulan Oktober 1958 penguasa

perang Jakarta mengumumkan bahwa tidak ada suratkabar atau jurnal dapat terbit

tanpa mendapat izin dari mereka, dan semua penerbitan yang telah ada juga

diharuskan untuk memperbarui izin mereka. Pada 3 Juni 1959 KSAD Jenderal AH

Nasution selaku Penguasa Perang Pusat mengeluarkan Peraturan Peperpu

bernomor Prt/Peperpu/040/1959 mengenai larangan bagi aktivitas atau kegiatan

politik di Indonesia. Nasution meminta suratkabar-suratkabar agar tidak memuat

berita yang dapat merugikan kewibawaan pemerintah atau angkatan bersenjata.

Selain itu Nasution juga mengeluarkan peraturan tentang larangan pencetakan,

penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyebaran, perdagangan dan

penempelah suratkabar atau majalah yang menggunakan huruf bukan latin atau

aksara Arab ataupun aksara bahasa-bahasa daerah Indonesia.33

Semenjak diberlakukannya SOB pada tahun 1957, tercatat di Jakarta

terjadi 20 kali tindakan pemberangusan suratkabar, dan diluar Jakarta terjadi 11

kali tindakan pemberangusan. Di tahun berikutnya, jumlah pembreidelan

32

Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 30-36. 33

Ibid.

41

suratkabar meningkat, yaitu sebanyak 40 kasus pembreidelan atau penindakan

terhadap pers di berbagai kota di Indonesia. Kemudian di tahun 1959 terjadi 25

penerbitan di Jakarta dan 6 di berbagai kota lainnya juga mengalami pembreidelan.

Selanjutnya dengan dikeluarkannya larangan terhadap suratkabar yang

menggunaakan aksara Arab ataupun Cina, maka pemerintah mewajibkan

suratkabar-suratkabar Cina untuk mengganti namanya.34

PWI sebagai organisasi profesi wartawan pada masa ini tidak bisa

berbuat apa-apa selain tunduk pada aturan-aturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah ataupun Angkatan Darat. Kondisi politik nasional yang tidak stabil

juga membuat tuntutannya kepada pemerintah untuk menciptakan UU Pokok Pers

tidak bisa terwujud. Untuk membela anggota-anggotanya dan suratkabar-

suratkabar yang mengalami tindakan anti pers, PWI hanya mengimbau jika

suratkabar membuat suatu kesalahan dalam pemberitaannya agar tidak ditutup

atau dibreidel, tetapi hendaknya dituntut di pengadilan.

D. Perkembangan PWI Masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)

Suasana dan kondisi politik liberal menimbulkan terjadinya benturan-

benturan politik dalam masyarakat Indonesia. Masing-masing kekuatan politik

beserta dengan kepentingannya bertarung dan menimbulkan ketidakstabilan

politik yang kian parah. Akhirnya Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli

1959. Dekrit ini merupakan penanda berakhirnya masa Demokrasi Liberal, dan

34

FX Koesworo, JB Margantoro, Ronnie S Viko, Di Balik Tugas Kuli Tinta,

(Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994), hlm 21.

42

dimulainya sistem pemerintahan yang baru yaitu Demokrasi Terpimpin. Dengan

adanya konsep baru ini, Presiden kemudian membubarkan Dewan Konstituante

dan menggantinya dengan kabinet baru Dwikora yang langsung berada dibawah

otoritas Presiden serta diberlakukannya kembali UUD 1945. Dengan demikian

figur pemegang kekuasaan kembali ke tangan Presiden Soekarno, yang juga

menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri.35

Reformasi politik Demokrasi Terpimpim terjabarkan dalam pidato

Presiden pada 17 Agustus 1959, yakni Manifestasi Politik (Manipol) yang

kemudian ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara. Istilah ini pertama kali

disebutkan oleh Menteri Penerangan Maladi pada tanggal 30 Juli 1959. Pada awal

tahun 1960 Manipol ditambahkan dengan kata USDEK sebagai intisari dari

Manipol merupakan kepanjangan dari Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme

Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian

Indonesia.36

Manipol-USDEK sebagai ideologi Demokrasi Terpimpin secara tidak

langsung telah mengharuskan adanya retooling lembaga-lembaga dan organisasi

bangsa dengan jalannya revolusi. Tugas retooling ini dibebankan kepada Panitia

Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution

yang mengontrol bidang kebudayaan dan pers. Lembaga ini mengadakan

penataran wajib bagi setiap wartawan media massa yang dikomandoi oleh

35

Yohanes Koko Anton Wibowo, Media Propaganda: Posisi Pers

Indonesia Dalam Peristiwa 1965 (Skripsi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni

Rupa Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm 93. 36

Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 39.

43

Roeslan Abdulgani sebagai “Ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusioner” dan

Menteri Penerangan dengan tujuan agar setiap wartawan dapat memahami dan

menjiwai Manipol-USDEK.37

Meningkatnya kegiatan indoktrinasi ideologi

Demokrasi Terpimpin ini kembali menempatkan pentingnya fungsi pers dalam

penyebaran gagagasan-gagasan dari pemerintah ke masyarakat. Untuk mencapai

tujuan tersebut, pemerintah semakin memperkuat kontrol atas kegiatan-kegiatan

pers. Presiden Soekarno menekankan agar pers lebih aktif lagi dalam mendukung

kebijaksanaannya. Pers diarahkan menjadi pers terpimpin yang harus mengabdi

kepada proyek besar revolusi, yaitu Manipol. Fungsi pers pada masa ini direduksi

hanya sebagai terompet kekuasaan Demokrasi Terpimpin semata, yaitu untuk

memupuk opini rakyat, dan memajukan kebudayaan nasional dalam panduan

Manipol Presiden.

Landasan hukum Manipolisasi Pers tersebut adalah Ketetapan MPRS

No.11/MPRS/1960. Roeslan Abdulgani wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung

mengemukakan bahwa wartawan yang tidak mendukung Manipol diingatkan

untuk mundur. Menteri Penerangan Maladi juga mengemukakan bahwa

pemerintah akan melakukan langkah-langkah yang tegas terhadap suratkabar,

majalah, dan kantor berita yang tidak mentaati peraturan-peraturan yang

diperlukan dalam usaha menertibkan pers nasional. Apabila suratkabar tidak ingin

kehilangan subsidi dan izin pembelian kertas mereka harus memberikan

sumbangan pada usaha-usaha pelaksanaan Manipol Presiden. Dengan ini pers

nasional dipaksa untuk selalu mentaati segala peraturan-peraturan yang

37

Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 94-95.

44

dikeluarkan pemerintah agar tetap bisa bertahan dan terhindar dari

pembreidelan.38

Peraturan lain yang semakin mengekang pers dikeluarkan oleh Penguasa

Perang tertinggi (Peperti) pada tanggal 12 Oktober 1960, yaitu Peraturan Peperti

No.10/1960, yang beirisi keharusan bagi penerbit pers untuk mendapat izin terbit

dan izin cetak. Ketentuan ini mencantumkan sejumlah prinsip yang harus dipatuhi

oleh pers, antara lain mendukung Manipol. Penerbit dan pimpinan pers juga

diwajibkan menandatangani pernyataan berisi 19 pasal kesetiaan yang akan

mendukung pemerintah, atau bila tidak bersedia menandatangani pernyataan itu

maka akan dilarang penerbitannya.39

Adanya pasal kesetiaan ini menimbulkan

konflik diantara wartawan yang setuju dan tidak setuju dengan pasal-pasal

tersebut. Suratkabar Masyumi dan Abadi menghentikan penerbitannya karena

menolak keharusan mengenai izin terbit. Sedangkan Rosihan Anwar terpaksa

menandatangani pasal-pasal tersebut demi kelangsungan suratkabarnya Pedoman.

Keadaan ini membuat pers pada umumnya dan wartawan pada khususnya

semakin terpecah belah mengikuti perkembangan politik Indonesia, kepentingan

politik wartawan terlihat dari pengambilan sikap politiknya yaitu yang pro dengan

pemerintah, yang kontra dengan pemerintah, dan yang terpaksa mengikuti

kebijakan pemerintah.40

Kondisi pers nasional yang terpecah ini juga mempengaruhi

kelangsungan organisasi PWI. Di tengah politik Demokrasi Terpimpin yang

38

Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 42-44. 39

FX Koesworo, JB Margantoro, Ronnie S Viko, op. cit., hlm 24. 40

Afrizal Munir, op. cit., hlm 53.

45

menempatkan Soekarno sebagai salah satu aktor, PKI dan kaum “kiri”, serta

kekuatan Angkatan Darat dan kaum “kanan”, PWI sebagai satu-satunya organisasi

pers juga mulai terkotak-kotak mengikuti arus perpolitikan Indonesia. Organisasi

yang pada 20-25 Mei 1961 melaksanakan kongresnya yang ke-X di Ujung

Pandang ini dipenuhi oleh wartawan-wartawan yang memiliki aliran dan

kepentingan politik yang berbeda. Pada kongresnya yang ke-X itu, untuk pertama

kalinya terjadi pertarungan atau lobi-lobi dari banyak kepentingan politik, baik

dari partai pro-Nasakom maupun anti-Nasakom. Bahkan pihak Angkatan Darat,

MABAD, KOTI serta Kanwil Deppen dengan tujuan untuk memenangkan “jago-

jago” mereka sebagai Ketua Umum PWI Pusat.41

Pada Kongres tersebut siasat

atau rekayasa politik mulai masuk ke dalam tubuh organisasi profesi wartawan.

Calon-calon yang dinominasikan sebagai pengurus ternyata telah menjalani pra-

proses di lingkungan pemimpin pusat partai atau organisasi politik dan

penggalangan suara melalui jajaran koran-koran yang berhaluan partai-partai

tertentu juga dilakukan. Di Ujung Pandang, yang menjadi kota

diselenggarakannya Kongres, kubu wartawan pro-politik Bung Karno berhasil

menduduki tokoh utama, yakni Djawoto dan Satya Graha.42

PWI sebagai satu-satunya organisasi pers pada masa Demokrasi

Terpimpin tidak berdaya menolak intervensi negara dan terseret masuk ke dalam

jaring besar Manipol. Dalam menyikapi persoalan represi yang dilakukan

41

Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 51-55. 42

Tribuana Said, “Perjalanan PWI Selama 50 Tahun Dan Implikasinya Di

Masa Datang” Dalam Profesionalisme Pers Nasional Setelah 50 Tahun, 9 Februari

1996, hlm 39.

46

Penguasa Perang Daerah (Peperda) yang diberlakukan terhadap institusi pers,

PWI hanya meminta kepada yang berwajib agar mengadakan pembicaraan

terlebih dahulu dengan wakil-wakil PWI sebelum mengambil keputusan

pembreidelan pers. Terlalu kuatnya represi pemerintah terhadap pers membuat

PWI tidak memiliki posisi struktural yang cukup kuat untuk memperjuangkan

tegaknya kekuatan pers nasional.43

Pada 7 Januari 1963 PWI mengadakan Konferensi Kerja di Kaliurang.

Konferensi ini menekankan perlunya PWI memupuk kerjasama dengan partai-

partai, organisasi-organisasi massa, instansi-instansi resmi maupun swasta dan

masyarakat. Di samping itu PWI menganggap perlunya menggunakan Front

Nasional sebagai saluran perjuangan. Pengurus Pusat mengemukakan bahwa pada

tanggal 17 Januari 1962 Pengurus Pusat PWI diterima sebagai anggota Front

Nasional karena “konstruksi PWI telah disesuaikan dengan Manipol”. PWI

diterima menjadi anggota Front Nasional karena dipandang mempunyai

kedudukan khas dan berpengaruh besar dalam menggerakkan massa yang

revolusioner.44

Perkembangan politik Demokrasi Terpimpin semakin memberi angin

segar bagi kelompok pro-Nasakom untuk melancarkan propaganda mereka

sebagai kekuatan politik yang sangat berpengaruh. Dukungan politik PKI serta

kelompok-kelompok yang pro-Nasakom terhadap kebijaksanaan politik Soekarno

telah menempatkan partai-partai dan ormas-ormas radikal pada posisi yang

43

Ibid. 44

Soebagijo IN, Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, op. cit., hlm 35.

47

semakin strategis. Partai ini mendapatkan simpati dari Presiden dengan

mendukung Nasakom dan aktif melakukan propaganda yang mendukung

program-program pemerintah. Pengaruh PKI juga masuk ke dalam PWI, saat

Karim DP dan Satya Graha terpilih menjadi Ketua dan Sekjen PWI pada Kongres

ke-XI di Jakarta. Dalam menghadapi kericuhan dalam tubuh pers, mereka banyak

memihak suratkabar-suratkabar PKI dan simpatisannya.45

Dicabutnya SOB pada tahun 1963 semakin memperkuat kedudukan PKI

dalam propagandanya untuk semakin mempertajam pengaruhnya. Kondisi politik

yang dipenuhi dengan jargon dan simbol-simbol Nasakom, Manipol dan

kemudian konfrontasi dengan Malaysia telah memberikan ruang gerak yang

sangat luas bagi PKI. Dalam hal ini, pers komunis memiliki peran yang sangat

penting dalam menyebarkan kampanye-kampanye serta propaganda partainya.

Tidak jarang pers komunis mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok yang

anti-Nasakom. Pertarungan dan siasat politik antar kelompok menjadi suatu

pemandangan tersendiri pada masa itu.

Puncak dari pertentangan antara suratkabar komunis dan non-komunis

terjadi ketika suratkabar non-komunis menyiarkan tulisan Sayuti Melik tentang

ajaran Soekarno yang berjudul “Belajar Memahami Soekarnoisme”. Menurut

Sayuti Melik, konsep yang tepat bagi pemerintahan adalah Nasasos daripada

Nasakom, karena kom yang berarti komunis tidak memasukkan golongan-

golongan sosialis, buruh dan lain lain, sedangkan konsep sos yang berarti sosialis

memasukkan kesemua unsur tersebut termasuk komunis. Penyebarluasan tulisan

45

Afrizal Munir, op. cit., hlm 54.

48

ini sangat menggelisahkan kelompok komunis. Terlebih ketika fenomena ini

mencetuskan gagasan pembentukan sebuah organisasi yang bertujuan menyaingi

dan melawan dominasi ideologi PKI dalam kerangka Nasakom. Organisasi yang

didirikan oleh wartawan-wartawan non-komunis ini bernama Badan Pendukung

Soekarnoisme (BPS).46

Dibentuknya BPS ditujukan untuk menjauhkan Soekarno dari PKI. Oleh

karena itu, organisasi ini mendapat simpati dari Angkatan Darat dan dari

suratkabar-suratkabar non-komunis. Sebaliknya wartawan-wartawan dari

golongan nasionalis kiri menuduh bahwa BPS dibiayai oleh Badan Intelejen

Amerika, bahkan BPS diakronimkan menjadi “Badan Pembunuh Soekarnoisme”,

dan dianggap memutarbalikkan ajaran Soekarno. PKI menganggap BPS merusak

persatuan nasional dan kemudian mendorong Soekarno untuk membubarkannya.

Akhirnya organisasi tersebut pun dibubarkan, dan wartawan beserta tokoh-tokoh

yang terlibat dalam BPS dipenjarakan. PWI yang didominasi golongan kiri

mendesak pemerintah untuk membreidel suratkabar-suratkabar pendukung BPS.

Karim DP dan Satya Graha sebagai Ketua dan Sekjen PWI memecat wartawan-

wartawan pendukung BPS. PWI memutuskan memecat 12 anggotanya, dan

menskors 16 orang lainnya yang terlibat BPS. Keputusan PWI Pusat itu

ditandatangani oleh Ketua dan Sekjen PWI dan dinyatakan berlaku mulai tanggal

17 Desember 1964.47

Diantara para wartawan pendukung BPS yang dipecat dari

keanggotaan PWI adalah Sumantoro dan Mulyono (Berita Indonesia), Joesnoes

46

Marlaini, op.cit., hlm 45-49. 47

Afrizal Munir, op. cit., hlm 56.

49

Lubis dan Nazaruddin Lubis (Warta Berita), Zein Effendi dan Sunarjo (Antara),

Sjamsul bahri (Karyawan) dan Suhartono (Berita Republik) serta beberapa

wartawan dari Surabaya dan Medan.48

Setelah melakukan pemecatan terhadap wartawan yang terlibat dalam

BPS, PWI dibawah pimpinan Karim DP dan Satya Graha kemudian pada Rapat

Akbar PWI tanggal 23 Februari 1964 di Istora Gelora Bung Karno mengucapkan

pidato yang menyerang BPS sebagai agen CIA. Tema dalam rapat akbar yang

merupakan peringatan HUT PWI ke-19 adalah “Rapat Madju Tak Gentar, Rakjat

Didukung Buruh Tani dan Pradjurit. Karim DP dalam pidatonya menyatakan

bahwa BPS mempunyai semboyan yang diajarkan CIA yaitu Soekarnoism but to

kill Soekarnoism dan Soekarno. PWI di bawah Karim DP juga mendesak agar

pers Indonesia dibebaskan dari unsur-unsur BPS. Desakan ini kemudian membuat

Mayjen Achmadi sebagai Menteri Penerangan mengeluarkan keputusan untuk

membubarkan media massa yang terdapat di Jawa dan Sumatera pada tanggal 23

Februari 1964 dan kemudian disusul dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri

Penerangan No.29/SK/M/65 yang mengatur kewajiban bagi setiap media massa

yang akan membuat izin terbit baru diwajibkan mendapatkan dukungan dari partai

politik, organisasi massa dan pejabat Panca-tunggal (lima pejabat daerah).49

Nasakomisasi yang begitu kuat melanda seluruh bidang politik dan juga

bidang-bidang kehidupan lainnya membuat upaya-upaya PWI untuk menegakkan

profesionalisme pers nasional menjadi tumbang. PWI yang tadinya selalu

48

Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 132. 49

Yohanes Koko Anton, op. cit., hlm 133-134.

50

berusaha memajukan wartawan dan pers nasional, kini tunduk dibawah

pemerintah dan didominasi oleh wartawan-wartawan yang penuh dengan

kepentingan politiknya masing-masing. PWI-Nasakom menghendaki perusahaan

pers berbentuk Koperasi dan menolak PKK yang dirintis pengurus sebelumnya

karena dinilai tidak sesuai dengan jiwa Sosialisme Indonesia. PWI menginginkan

pelembagaan hubungan kemitraan pers-pemerintah, serta mendukung peraturan-

peraturan lembaga eksekutif yang memperkuat kelembagaan pers sebagai organ

partai dan mengekang pers independen. Dalam membina hubungan luar negeri,

organisasi ini memihak blok Timur/komunis melawan blok Barat yang

mengemban kepentingan imperialisme.50

Sikap PWI yang pro-Nasakom terlihat pada Konferensi Kerja PWI se-

Indonesia tanggal 24 Desember di Malang, organisasi ini menentukan kebulatan

tekadnya yang semakin meneguhkan posisi PWI terhadap Nasakom, dan garis

politik rezim Demokrasi Terpimpin. Dalam tekad itu disebutkan bahwa PWI

sebagai alat revolusi dan penggalang persatuan nasional progresif revolusioner

berporoskan Nasakom, untuk memenangkan Dwikora dalam rangka penyelesaian

revolusi.51

50

Tribuana Said, loc. cit. 51

Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, hlm 60.