BAB II PENGAMPUNAN DARI PERSPEKTIF KONSELING ......masyarakat baru yang dapat membagi berkat dan...

26
BAB II PENGAMPUNAN DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS Bagian ini membahas mengenai pendekatan atau teori-teori yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian. Namun, sebelum membahas mengenai pengampunan dari perspektif konseling feminis, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa pemahaman para ahli tentang defenisi pernikahan, perselingkuhan dan pengampunan. Hal ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang hubungan yang terjalin dalam sebuah komitmen pernikahan. 2.1. Defenisi Pernikahan Dari perspektif Kristiani, Simanjuntak memaknai pernikahan sebagai komitmen total dari dua orang di hadapan Tuhan dan sesama dan didasarkan pada kemitraan yang mutual yang bertujuan untuk pertumbuhan dan menciptakan masyarakat baru yang dapat membagi berkat dan kesejahteraan kepada sesamanya. 1 Sementara Carl Whitaker dalam Augsburger menggambarkan pernikahan sebagai fokus sentral untuk pencerahan dan proses terapetik alami di dalam budaya. Pernikahan juga merupakan persoalan terbesar di dalam kehidupan. 2 Lebih lanjut, David Augsburger menegaskan bahwa sebagaimana orang-orang di dalam sebuah pernikahan itu berubah, maka pernikahan juga dapat berubah. Selama pernikahan 1 Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor ….. , 379-380. 2 David Augsburger, Sustaining Love; Healing and Growth in the Passage of Marriage (California: Regal Books, 1988), 17.

Transcript of BAB II PENGAMPUNAN DARI PERSPEKTIF KONSELING ......masyarakat baru yang dapat membagi berkat dan...

  • BAB II

    PENGAMPUNAN DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS

    Bagian ini membahas mengenai pendekatan atau teori-teori yang dibutuhkan

    untuk kepentingan penelitian. Namun, sebelum membahas mengenai pengampunan

    dari perspektif konseling feminis, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa

    pemahaman para ahli tentang defenisi pernikahan, perselingkuhan dan pengampunan.

    Hal ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang hubungan yang terjalin dalam

    sebuah komitmen pernikahan.

    2.1. Defenisi Pernikahan

    Dari perspektif Kristiani, Simanjuntak memaknai pernikahan sebagai

    komitmen total dari dua orang di hadapan Tuhan dan sesama dan didasarkan pada

    kemitraan yang mutual yang bertujuan untuk pertumbuhan dan menciptakan

    masyarakat baru yang dapat membagi berkat dan kesejahteraan kepada sesamanya.1

    Sementara Carl Whitaker dalam Augsburger menggambarkan pernikahan sebagai

    fokus sentral untuk pencerahan dan proses terapetik alami di dalam budaya.

    Pernikahan juga merupakan persoalan terbesar di dalam kehidupan.2 Lebih lanjut,

    David Augsburger menegaskan bahwa sebagaimana orang-orang di dalam sebuah

    pernikahan itu berubah, maka pernikahan juga dapat berubah. Selama pernikahan

    1 Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor ….. , 379-380.

    2 David Augsburger, Sustaining Love; Healing and Growth in the Passage of Marriage (California:

    Regal Books, 1988), 17.

  • dapat dinegosiasikan kembali maka dengan demikian juga orang-orang yang berada

    di dalamnya dapat bertumbuh.3 Waite dan Gallagher dalam Amato menyatakan

    bahwa pernikahan merupakan sebuah sumber penting bagi kebersamaan, keintiman,

    dan dukungan sosial.4 Sementara itu, Amato sendiri mengatakan bahwa pasangan

    mendapatkan banyak keuntungan yang sah melalui pernikahan karena pernikahan itu

    diakui dan dilembagakan. Pernikahan juga menghubungkan pasangan dengan

    jaringan sosial lainnya dan melibatkan norma sosial dan harapan yang

    mengklarifikasi hak dan tanggungjawab pasangan terhadap satu dan yang lainnya.5

    Sedangkan, Antwood dan Seifer dalam Zola mengklaim bahwa pernikahan dipahami

    sebagai penyembuh bagi persoalan kehidupan, bahkan sebenarnya pernikahan

    merupakan sebuah media yang melaluinya semua masalah dapat diekspresikan.6 Dari

    sudut pandang feminis, Humm mendefenisikan bahwa pernikahan merupakan sebuah

    institusi yang secara tradisional menyediakan identitas sosial bagi perempuan.7

    Sejalan dengan Humm, Sigiro menulis pada jurnal perempuan bahwa pernikahan

    digunakan oleh perempuan untuk memperoleh jaminan sosial informal, baik secara

    ekonomi maupun kultural yang menganggap perempuan tidak menikah sebagai

    produk yang gagal.8

    3 Augsburger, Sustaining Love; Healing and Growth ……., 14.

    4 Amato, Paul R, “Marriage, cohabitation and mental health,” Family Matters no. 96: 2015, 5.

    5 Amato, “Marriage, cohabitation…..” , 5.

    6 Zola, Marc F, “Beyond Infidelity-Related Impasse: An Integrated, Systemic Approach To Couples

    Therapy,” Journal Of Systemic Therapies 26, no. 2: 2007, 28. 7 Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme (Dictionaty of Feminist Theories) (Yogyakarta: Fajar

    Pustaka Baru), 266. 8 Sigiro, Atnike Nova, Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga di Indonesia, Jurnal Perempuan:

    Perkawinan dan Keluarga, Vol. 73, 2012, 12.

  • Berangkat dari beberapa pengertian ini dapat dipahami bahwa pernikahan

    adalah sebuah unit lembaga terkecil yang melaluinya banyak keuntungan dapat

    diperoleh dan banyak persoalan dapat diselesaikan, namun kehidupan pernikahan itu

    tidak pernah terlepas dari kehidupan sosial yang melibatkan norma sosial dan budaya

    yang telah dibangun di dalam suatu masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa

    setiap proses pengambilan keputusan untuk pertumbuhan dan perkembangan di

    dalam pernikahan dan keluarga akan sangat dipengaruhi oleh konsep-konsep sosial

    dan budaya yang mengikatnya. Sehingga, pada akhirnya dapat dipahami bahwa

    pernikahan di dalam dunia patriarkal merupakan sebuah sekuritas bagi angota

    keluarganya.

    2.2. Defenisi Perselingkuhan

    Stephen T. Fife dkk. menjelaskan bahwa perselingkuhan merupakan

    pelanggaran terhadap komitmen hubungan dimana keintiman seksual dan emosional,

    atau keduanya, diarahkan jauh dari hubungan primer tanpa persetujuan dari salah satu

    pasangan.9 Miller mendeskripsikan perselingkuhan sebagai ketidaksetiaan terhadap

    pasangan. Kata “selingkuh” memiliki nada erotis yang seakan-akan hal ini dimasuki

    oleh sejenis energy seksual yang merupakan sebuah kiasan untuk sebuah fantasi

    seksual yang memiliki gema dan menimbulkan sesuatu pada diri kita.

    Konsekuensinya, ketika kita mendengar bahwa seseorang berselingkuh, sebuah

    kompleks psikologis yang sangat kuat bangkit dari dalam diri kita.10

    Sementara itu,

    9 Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 344.

    10 Miller, Barry, “On the Analysis of Cheating,” Journal of Analytical Psychology 58, 2013, 530.

  • Leone menyatakan bahwa perselingkuhan dilihat sebagai sebuah kegagalan objek diri

    secara besar-besaran atau trauma relasional yang biasanya berasal dari beberapa

    faktor intrapsikis dan interpersonal.11

    Lebih lanjut, Amato dan Rogers dalam

    Lewandowski Jr. dkk. menyatakan bahwa perselingkuhan adalah sebuah pelanggaran

    hubungan yang serius yang pada kenyataannya merupakan alasan yang paling umum

    yang membuat pasangan bercerai dalam berbagai budaya.12

    Pitmann dalam Zola

    memahami perselingkuhan sebagai pelanggaran kepercayaan yang merupakan

    gambaran dari perilaku amoral.13

    Dari sudut pandang sosiologi, persoalan

    perselingkuhan dinilai sebagai sebuah bentuk tindakan kekerasan. Johan Galtung

    dalam Anshor memahami bahwa kekerasan sekecil apapun hendaknya tidak dilihat

    hanya semata-mata berupa kekerasan langsung, tetapi dibalik kekerasan langsung

    tersebut perlu dicermati adanya akar kekerasan kultural dan kekerasan struktural yang

    menjadi sumber dari kekerasan itu. Kekerasan kultural terjadi ketika aspek-aspek

    budaya, wilayah simbolis eksitensi kita seperti agama, ideology, bahasa dan seni,

    ilmu pengetahuan empiris dan formal digunakan untuk melegitimasi kekerasan

    langsung mmaupun kekerasan stuktural. Sementara kekerasan stuktural terjadi ketika

    terjadi proses pembiaran dari pihak berwenang terhadap kekerasan yang terjadi

    maupun dampak yang dihasilkan secara langsung maupun tidak, baik yang bersifat

    fisik maupun psikis.14

    11

    Leone, Carla, “Helping Couples Heal From Infidelity: A Self Psychological, Intersubjective

    Approach,” International Journal Of Psychoanalytic Self Psychology 8, no. 3: 2013, 282. 12

    Lewandowski Jr., Gary W. dan Robert A. Ackerman, “Something’s Missing: Need Fulfillment and

    Self-Expansion as Predictors of Susceptibility to Infidelity,” The Journal of Social Psychology, 146(4),

    2006, 389. 13

    Zola, Marc F, “Beyond Infidelity-Related Impasse……..” , 27. 14

    Anshor, Maria Ulfa, Perempuan dan Kesejahteraan …………., 28.

  • Dengan demikian, dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa

    perselingkuhan dalam hal hubungan pernikahan adalah tindakan pengkhianatan dan

    ketidaksetiaan terhadap komitmen yang sudah dibangun bersama pasangan yang sah

    berdasarkan agama dan hukum suatu Negara. Selain itu perselingkuhan merupakan

    sebuah tindakan kekerasan terhadap pasangan yang dapat disebabkan oleh berbagai

    konsep kultural yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat yang kemudian dapat

    menjadi kekerasan struktural jika terjadi proses pembiaran dari pihak-pihak yang

    berwenang dalam kelompok masyarakat tersebut.

    2.2.1. Faktor Penyebab Perselingkuhan

    Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya oleh Leone bahwa perselingkuhan

    yang terjadi di dalam hubungan pernikahan tidak terlepas dari berbagai faktor

    penyebab, baik itu intrapsikis maupun interpersonal. Selain itu, Bryant dan Conger di

    dalam penelitiannya mengimplikasikan bahwa kurangnya dukungan sosial dari teman

    atau keluarga untuk sebuah hubungan romantis merupakan sebuah pemicu terjadinya

    perselingkuhan dan pembubaran hubungan.15

    Sementara itu Lewandowski Jr. dan

    Ackerman membuktikan hipotesis mereka sebelumnya dalam penemuan terbaru

    tentang penyebab kerentanan dalam perselingkuhan. Penelitian itu mengindikasikan

    kemungkinan bahwa ketika hubungan tidak dapat memenuhi kebutuhan seperti

    keintiman, kebersamaan, seks, keamanan dan keterlibatan emosional, maka

    kemungkinan besar para individu lebih menyukai untuk menggunakan hubungan

    15

    Zola, Marc F, “Beyond Infidelity-Related Impasse………” , 28.

  • yang lain. Penjelasan yang mungkin untuk kemungkinan ini adalah bahwa

    pemenuhan kebutuhan terhubung dengan perasaan positif yang kemudian terhubung

    pada hubungan itu sendiri. Pemenuhan hubungan tersedia sebagai sebuah wakil bagi

    kepuasan hubungan. Lebih lanjut, mereka juga mengindikasi kemungkinan bahwa

    ketika hubungan menyediakan jumlah yang lebih rendah untuk pengembangan diri,

    penyertaan orang lain dalam diri, dan potensial untuk pengembangan diri di masa

    depan, maka akan ada kerentanan yang lebih besar terhadap perselingkuhan. Prinsip

    dasar model pengembangan diri ini adalah bahwa meningkatkan diri merupakan

    sebuah motif mendasar yang dipuaskan dalam hubungan melalui penyertaan diri

    orang lain di dalam diri.16

    Dari sisi psikologis, Bagarozzi Sr. mengungkapkan bahwa

    perselingkuhan dapat disebabkan oleh kelemahan ego tertentu (misalnya, toleransi

    frustrasi rendah, kontrol impuls yang buruk), kekurangan superego (misalnya, kurang

    terintegrasi, konkrit, atau superego yang primitif), dan anomali struktural dalam

    sistem diri.17

    Sementara dari sudut pandang patriarkal, Maggie Humm

    menggambarkan bahwa konsep paternitas (kebapakan) dan keturunan dari garis

    keturunan laki-laki menjadi dasar bagi kaum patriarki sebagai lambang

    kekuasaannya.18

    Konsep seperti ini yang pada akhirnya berperan dalam pemberian

    hak istimewa kepada kaum laki-laki sebagai suami yang dapat berimplikasi pada

    perilaku perselingkuhan jika tidak dapat memenuhi kebutuhan sesuai yang

    diharapkan oleh konsep tersebut.

    16

    Lewandowski Jr, dan Ackerman, “Something’s Missing ……” , 400. 17

    Bagarozzi, Dennis A., “Understanding and Treating Marital Infidelity: A Multidimensional Model,”

    American Journal Of Family Therapy 36, no. 1: 2012, 6. 18

    Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 331-332.

  • Berdasarkan beberapa pendapat ini, dapat dipahami bahwa kerentanan

    terhadap perselingkuhan dapat meningkat jika hubungan tersebut tidak mampu

    memenuhi kebutuhan dengan baik dan menyediakan pengembangan diri yang luas

    kepada pasangannya. Di lain sisi, keberpihakan sistem budaya sebagai sebuah tatanan

    sosial telah melegistimasi perilaku perselingkuhan untuk alasan-alasan khusus dan

    kepentingan-kepentingan tertentu. Di atas segalanya, perselingkuhan dapat terjadi

    jika individu memiliki kontrol diri yang rendah.

    2.2.2. Dampak Perselingkuhan

    Agnew dkk. dan Glass menggambarkan bahwa perselingkuhan dapat

    menyebabkan ketidakstabilan yang parah, hilangnya kepercayaan dan meningkatkan

    konflik, serta merusak rasa kebersamaan pasangan dan identitas mereka.19

    Fife et all.

    menambahkan bahwa selain berdampak pada hubungan, perselingkuhan juga

    memiliki konsekuensi yang serius terhadap individu. Pasangan yang dikhianati

    mungkin mengalami depresi, kemarahan, perasaan ditinggalkan, rasa penolakan,

    penurunan harga diri, kehilangan kepercayaan diri dan gejala gangguan stress paska

    trauma. Sementara pasangan yang tidak setia juga mungkin akan mengalami

    perjuangan emosional yang terkait dengan peristiwa yang telah terjadi, seperti rasa

    bersalah, marah, malu dan depersi. Oleh sebab itu, tidak sedikit yang mengarahkan

    persoalan perselingkuhan ini kepada proses perceraian seperti yang telah

    diungkapkan oleh Amato dan Rogers dalam Lewandowski Jr dkk. sebelumnya bahwa

    19

    Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating………” , 344.

  • perselingkuhan adalah salah satu alasan yang paling umum untuk kasus perceraian di

    Amerika Serikat dan juga di seluruh budaya dan masyarakat yang ada di dunia.20

    Berdasarkan beberapa penemuan yang dipaparkan di atas, maka dapat

    dikatakan bahwa perselingkuhan membawa pengaruh atau dampak yang serius dalam

    hubungan pernikahan, dan individu yang terkait dalam hubungan pernikahan dan

    keluarga tersebut. Selain membawa dampak terhadap kerusakan hubungan,

    perselingkuhan membawa dampak trauma mendalam pada pasangan yang terluka dan

    terhadap keluarga secara keseluruhan.

    2.3. Defenisi Pengampunan

    Berbicara tentang pengampunan tentunya tidak terlepas dari aspek religius.

    Dalam kitab suci agama Kristen, perihal pengampunan sering ditemukan dalam kitab

    PL dan PB. Selain itu pengampunan merupakan aspek yang fundamental bagi umat

    Kristen.21

    Nedumaruthumchalil menjelaskan bahwa pengampunan adalah sebuah ide

    konsisten dalam pengajaran agama-agama sama seperti yang dilakukan oleh

    penelitian dan praktek dalam bidang kesehatan mental. Dalam penelitiannya, ada 3

    aspek pengampunan dalam proses penyebuhan intrapersonal dan interpersonal, yakni:

    melepaskan emosi negatif, membangun kembali hubungan, penyesuaian kembali

    dengan hubungan tersebut.22

    Sementara itu, Baskin dan Enright memahami

    pengampunan sebagai sebuah keputusan yang ditandai dengan pelepasan sukarela

    20

    Lewandowski Jr, dan Ackerman, “Something’s Missing……..” , 389. 21

    Covert, Mary Beth, dan Judith L. Johnson, "A Narrative Exploration of Motivation to Forgive and

    the Related Correlate of Religious Commitment." Journal Of Psychology & Christianity 28, no. 1:

    2009, 62. 22

    Nedumaruthumchalil, “The Role of Religion and Sprituality in Marriage …...” , 24-25.

  • atas perilaku-perilaku dan perasaan-perasaan negatif terhadap pelaku dan

    mendemonstrasikan kebaikan kepada pelaku.23

    Charles Stanley menambahkan bahwa

    pengampunan adalah tindakan memerdekakan seseorang dari kewajiban akibat dari

    kesalahan yang diperbuat terhadap orang yang dirugikan.24

    Seorang filsuf P. F.

    Strawson memaknai pengampunan berarti menerima penolakan dan bersumpah untuk

    tidak mendendam. Selanjutnya, Augsburger menegaskan bahwa pengampunan yang

    positif membuka kembali masa depan untuk mutualitas dan hubungan timbal-balik

    (saling) secara terus-menerus.25

    Pada kenyataannya, pengampunan semakin dikenal

    sebagai sebuah konsepsi psikologis dan sebuah pilihan terapetik untuk persoalan

    relasional dan konflik pernikahan.26

    Ditegaskan kembali oleh Fife et all. bahwa dalam

    kasus perselingkuhan, penyembuhan hubungan dan rekonsiliasi tidak akan terjadi

    tanpa pengampunan.27

    Selanjutnya Birnbaum dkk. menulis bahwa pengampunan

    berarti melepaskan kemarahan dan dendam, terkadang ditemani rasa empati yang

    besar untuk pandangan terhadap orang yang telah menyakiti kita. Ini merupakan

    sebuah pilihan untuk tidak membiarkan kesedihan masa lalu berkompromi dengan

    masa depan dengan menyumbat pemikiran dan perasaan kita.28

    Sementara itu,

    Fincham dan Beach memahami bahwa pengampunan, dalam kaitannya dengan

    23

    Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……..” , 346. 24

    Charles Stanley, Hadiah Pengampunan (The Gift of Forgiveness) (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil

    Immanuel, 1995), 10. 25

    David W. Augsburger, Helping People Forgive (Kentucky; Westminster John Knox Press, 1996),

    19. 26

    Orathinkal, Jose, and Alfons Vansteenwegen, “The Effect of Forgiveness on Marital Satisfaction in

    Relation to Marital Stability,” Contemporary Family Therapy: An International Journal 28, no. 2:

    2006, 251-252. 27

    Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……..” , 345. 28

    Birnbaum, Shana dkk. Menulis pada Harvard Women’s Health Watch, “Five Reson to Forgive,”

    Harvard Medical School, Vol. 12, No 5, 2005, 1.

  • hubungan pernikahan, adalah sebuah konsepsi yang dapat menolong kita memahami

    peristiwa dari serangan psikologis dan pola-pola umum komunikasi dalam

    pernikahan.29

    Berbeda dari pendapat sebelumnya, para feminist menyoroti persoalan

    pengampunan dalam pernikahan dari kaca mata dunia patriarkal sebagai sebuah

    pengorbanan diri atas nama cinta. Mereka mengganggap bahwa emosi cinta

    dikonstruksi secara sosial dan bukan dari alamiah semata.30

    Berdasarkan beberapa pengertian ini dapat dipahami bahwa pengampunan itu

    merupakan sebuah proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan untuk

    bekerja bersama dalam perbaikan hubungan sehingga dapat meningkatkan

    kemungkinan rekonsiliasi untuk hubungan mereka. Selain itu dengan mengampuni

    dapat membebaskan orang yang dikhianati atau dilukai dari rasa sakit yang dapat

    mengganggu ketenangan batin dan bahkan kesehatan fisik. Namun sayangnya, perihal

    pengampunan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari konteks sosial dan budaya

    masyarakatnya. Sehingga, pada akhirnya perempuan sebagai pemberi pengampunan

    selalu mempertimbangkan setiap persoalan dan mengambil keputusan berdasarkan

    konsep atau stereotipe yang telah diberikan untuknya.

    2.3.1. Alasan-alasan Dalam Pemberian Pengampunan

    Covert dan Johnson menemukan dalam penelitiannya bahwa ada tiga kategori

    tema mengenai motivasi dalam pemberian pengampunan yaitu: (1) Alasan

    29

    Fincham, F.D., and S.R.H. Beach, “Forgiveness in Marriage: Implications for Psychological

    Aggression and Constructive Communication,” Personal Relationships 9, no. 3: 2001, 239. 30

    Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme …….., 258.

  • keagamaan. Kategori tema ini terbentuk untuk menggunakan naratif yang

    menggambarkan motivasi religius atau spritual yang ada di balik aksi pengampunan

    yang digambarkan. Tema ini juga menggambarkan sebuah hubungan vertikal

    manusia dengan penciptanya. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa banyak orang

    termotivasi untuk mengampuni orang lain karena kode moral yang mendasari

    perilaku mereka. (2) Alasan relasi. Kategori ini diciptakan atas dasar tuga sub-tema;

    hasrat untuk rekonsiliasi, kedekatan hubungan sebelum pelanggaran, dan cinta. Hal

    ini juga menggambarkan hubungan horizontal manusia dengan sesamanya. (3) Hasrat

    untuk kesejahteraan. Kategori tema ini terbentuk setelah meruntuhkan 3 sub-tema;

    kesejahteraan emosional, alasan fisik atau kesehatan, dan menghidar dari kendali

    pelaku. Pada kategori ini, manusia ingin memiliki hubungan yang benar dengan

    dirinya sendiri. Seringkali manusia termotivasi untuk berubah dalam rangka

    membawa kedamaian batin; karena tidaklah nyaman hidup dengan ketegangan atau

    gejolak batin.31

    Sementara itu, Birnbaum dkk. menulis pada artikel Sekolah Medis Harvard

    bahwa di dalam perspektif psikologi ada lima alasan mengapa orang bersedia

    memberikan pengampunan, yakni: (1) Mengurangi tekanan. Kita tidak dapat merubah

    masa lalu, tetapi perubahan cara berpikir kita terhadap masa lalu yang telah menyakiti

    kita dapat mengurangi dampak-dampaknya dalam diri kita dan kemungkinan-

    kemungkinan yang dapat menghasilkan penyakit yang berhubungan dengan tekanan.

    (2) Perubahan bagi jantung. Kesediaan untuk mengampuni dapat mengurangi resiko

    penyakit jantung. Dalam penelitian di Labor Universitas di Tennesse, mengampuni

    31

    Covert dan Johnson, “A Narrative Exploration of Motivation ……” , 62.

  • orangtua atau teman untuk sebuah pengkhianatan sangat terkait dengan tekanan darah

    yang lebih rendah, denyut jantung lebih lambat dan beban kerja menjadi lebih

    berkurang pada otot jantung. (3) Relasi yang lebih kuat. Mengembangkan sebuah

    kapasitas untuk mengampuni dapat membantu meredam kekecewaan kecil sehingga

    tidak berkembang menjadi hal yang besar. Dalam jurnal psikologi keluarga dikatakan

    bahwa perempuan dapat menyelesaikan konflik-konflik pernikahan mereka dengan

    lebih efektif ketika mereka dapat mengampuni dan merasakan penuh kebajikan dalam

    responnya terhadap perilaku yang menyakitiya. (4) Meringankan penderitaan dan

    penyakit kronis. Menghadapi penderitaan dan sakit penyakit, terkadang direspon

    dengan kemarahan, frustrasi, menyalahkan diri sendiri, dan rasa bersalah atas

    penyakit yang dialami oleh orang yang dicintai. Dengan kemampuan mengampuni

    diri kita sendiri, dapat meningkatkan kesembuhan penderitaan atau sakit penyakit

    kita. (5) Kebahagian yang lebih besar. Ketika kita dapat mengampuni orang lain, kita

    membuat diri kita bertanggungjawab untuk kebahagiaan masa depan kita sendiri.32

    Berdasarkan beberapa alasan di atas, penulis memahami bahwa ada begitu

    banyak bentuk motivasi orang dalam mengampuni orang-orang yang pernah

    menyakitinya di masa lalu. Selain sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan

    batin, ternyata pengampunan diberikan sebagai bentuk refleksi atas hubungan

    personal kepada Tuhan dan keinginan untuk mempererat hubungan, sehingga

    kehidupan di masa depan dapat lebih sejahtera dan bahagia.

    32

    Birnbaum dkk. menulis pada Harvard Women’s Health Watch, “Five Reson ….” , 2-3.

  • 2.3.2. Tahapan-Tahapan Dalam Pemberian Pengampunan

    Gorgon dan Baucom telah menguji sebuah model penyembuhan dari sebuah

    pengkhianatan pernikahan dan di dalamnya terdapat gambaran mengenai tahapan-

    tahapan yang harus dilakukan dalam proses pemberian pengampunan. Ketiga tahapan

    ini dikembangkan berdasarkan tiga tahapan dari model trauma yang ditemukan oleh

    Horowitz, Jannoff-Bulman, McCann et all., dan Resick dkk. Tiga tahapan tersebut

    adalah (a) dampak, (b) pencarian makna, dan (c) penyembuhan.33

    Pada tahap pertama yang disebut tahap dampak, pasangan yang terluka mulai

    menyadari dampak dari pengkhianatan terhadap diri mereka sendiri dan hubungan

    mereka. Tahap ini merupakan sebuah periode dari gangguan kognitif, emosional dan

    tingkah laku yang signifikan. Pada tahap ini, individu mengungkapkan perasaan yang

    mereka rasakan. Respon-respon yang ada mengindikasikan bahwa asumsi-asumsi

    yang penting tentang pernikahan mereka telah terganggu. Asumsi-asumsi yang

    melanggar ini sering melibatkan keyakinan-keyakinan bahwa pasangannya dapat

    dipercaya, bahwa hubungan mereka sedang aman, bahwa seseorang dapat

    memprediksi bagaimana pasangannya akan bersikap, bahwa seseorang layak untuk

    berkuasa atas hubungannya sendiri, dan lain sebagainya. Sementara itu pasangan

    yang berkhianat dapat mengingat asumsi-asumsi penting ini dalam pertanyaan:

    pasangan yang terluka tidak lagi dapat memercayai asumsi-asumsi mereka untuk

    membimbing interaksi mereka sehari-hari atau untuk memprediksi peristiwa-

    peristiwa di masa depan. Oleh sebab itu, mereka mungkin sibuk dengan

    33

    Gordon, Kristina Coop dan Donald H. Baucom, “Forgiveness and Marriage: Preliminary Support for

    a Measure Based on A Model of Recovery from A Marital Betrayal,” The American Journal of Family

    Therapy, 31, 2003, 181-182.

  • mengumpulkan detail yang berhubungan dengan hal-hal negatif atau pengkhianatan

    dengan tujuan untuk menjelaskan, atau untuk mengembangkan penyebab dari apa

    yang telah terjadi. Selanjutnya, asumsi-asumsi yang melanggar ini sering

    menempatkan korban dalam perasaan tak berkuasa, tak berdaya, tidak lagi mampu

    memprediksi perilaku masa depan dari pasangannya. Akibatnya, mereka mungkin

    menyerang dengan sikap menghukum terhadap pasangannya. Selain itu mereka

    mungkin juga menarik diri secara signifikan dari pasangan dan hubungan mereka

    untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Fenomena ini adalah rekasi natural

    terhadap peristiwa traumatis yang sangat menyakitkan dari para korban tekanan

    traumatis.

    Tahap ke dua dari model pengampunan ini adalah tahap “pencarian makna”.

    Ini terfokus untuk menemukan apakah penghianatan terjadi untuk membuat tingkah

    laku pasangan lebih dapat dimengerti atau diprediksi. Dengan pemahaman yang

    meningkat ini juga mendatangkan kemungkinan sebuah pemahaman yang meningkat

    tentang penguasaan terhadap kehidupan seseorang, ditemani dengan pemahaman

    yang meningkat tentang kenyamanan dan keamanan, dan sebuah perasaan

    ketidakberdayaan yang berkurang. Pemahaman yang meningkat ini juga menolong

    individu dalam merekonstruksi asumsi-asumsi mereka yang melanggar dan

    menciptakan keyakinan-keyakinan dan harapan-harapan baru untuk masa depan

    hubungan mereka.

    Sama halnya dengan korban traumatis pada umumnya, tahap ketiga, disebut

    tahap penyembuhan atau “bangkit”. Pada tahap ini orang yang terluka harus bergerak

    melewati peristiwa yang ada dan berhenti mengijinkan peristiwa itu mengontrol

  • kehidupannya. Pada keadaan yang optimal, pasangan yang terluka mengembangkan

    sebuah pandangan yang tidak menyimpang terhadap pasangannya dan hubungan

    mereka. Selain itu, individu yang terluka sering mengalami perasaan negative yang

    semakin berkurang terhadap pasangannya, baik itu dari pemahaman yang meningkat

    yang telah dicapai, atau dari kesadaran bahwa melekat pada kemarahan tingkat tinggi

    memiliki dampak yang mengacaukan pada orang yang mengalami emosi itu.

    Sejalan dengan Gordon dan Baucom, Olmstead dkk. juga telah

    mengembangkan model penyembuhan terhadap perselingkuhan dari perspektif

    terapis. Mereka membaginya ke dalam dua kategori.34

    Kategori pertama membahas

    tentang komponen-komponen penyembuhan yang dilakukan terapis dalam menyikapi

    perselingkuhan. Hal ini meliputi keluarga asal, sejarah hubungan, penerimaan yang

    menguntungkan dari tanggungjawab. Sementara itu pada ketegori ke dua berurusan

    dengan komponen pengampunan terhadap perselingkuhan. Hal ini meliputi

    pemahaman pengampunan, psiko-edukasi, kemurnian, dan waktu.

    2.4. Stereotipe Gender dan Nilai-Nilai Budaya yang Mempengaruhi Proses

    Pengampunan Di dalam Masyarakat Patriarkal

    Asiyanbola di dalam papernya menegaskan bahwa pembentukan dan praktek

    dominasi laki-laki terhadap perempuan dan anak-anak adalah sebuah proses historis

    yang dibentuk oleh laki-laki dan perempuan di dalam sebuah keluarga patriarkal yang

    merupakan sebuah unit dasar organisasi dalam masyarakat. Selain itu, penelitian di

    Nigeria telah menemukan bahwa maskulinitas dan kejantanan dikonstruksi melalui

    34

    Olmstead, Spencer B., Ryan W. Blick, and Lilbourne I. Mills III, “Helping …” p. 55-60

  • sebuah proses yang bertahap, pada waktu yang tepat dan tertib dan ditentukan secara

    sosial dan terpusat pada keluarga serta peran-peran dan tanggungjawab terhubung

    dengan komunitas. Tingkat peranan yang terfokus kepada laki-laki pun sebagian

    besar dijalankan oleh perempuan di tingkat rumah tangga, di mana sosialisasi primer

    itu berlangsung; seperti dalam hal mengurus dan mendidik anak lai-laki dan

    perempuan sesuai dengan stereotipe yang sudah diberikan. 35

    Hal serupa juga

    dinyatakan oleh Owens dalam tulisannya bahwa gagasan mengenai laki-laki yang

    selalu mewujudkan peran maskulin dan perempuan yang selalu merangkul peran

    feminin telah menjadi stereotipe umum yang telah berakar dalam konteks masyarakat

    patriarki. Namun, di sisi lain, Owen juga menyatakan bahwa stereotipe tidak selalu

    salah, tetapi juga tidak selalu benar; stereotipe sering tidak akurat, sehingga

    penggunaan stereotipe dalam teks dapat menciptakan sebuah cerita yang tidak

    realistis, karena teks akan gagal menggambarkan perbedaan yang hadir di banyak

    seting.36

    Sejalan dengan itu, Cuddy et all, melalui penelitiannya membuktikan bahwa

    budaya membentuk konten-konten dari stereotipe gender. Konten dari stereotipe

    gender menghadirkan dimensi kebebasan dan ketergantungan. Lebih lanjut, mereka

    menemukan bahwa laki-laki dipandang sebagai yang mewujudkan cita-cita budaya:

    Di Amerika Serikat, kebebasan itu dihargai ketika laki-laki lebih bebas dibanding

    perempuan; sebaliknya di Korea Selatan, saling ketergantungan dihargai ketika laki-

    35

    Asiyanbola, Abidemi R., “Patriarchy, male dominance, the role and women empowerment in Nigeria,” Paper submitted for presentation as poster at the International Union for the Scientific Study

    of Population (IUSSP/UIESP) XXV International Population Conference Tours, France, 18-23, 2005,

    3-6. 36

    Owens, Alexandra, “Limited by Stereotypes: Gender Bias in Stephanie Meyer's Twilight Series,” LOGOS: A Journal Of Undergraduate Research 4, 2011, 125.

  • laki dianggap saling tergantung dibanding perempuan. Berangkat dari hasil

    penelitiannya, Cuddy et all, memahami bahwa stereotipe gender bukanlah sesuatu

    yang universal, melainkan dikelola oleh budaya. Selain itu, prediksi ini tidak hanya

    terbatas kepada stereotipe kebebasan dan saling ketergantungan, lebih dari itu mereka

    menganggap bahwa dimana setiap sifat dihargai secara budaya, maka sifat itu akan

    terkait kepada laki-laki.37

    Dari beberapa temuan di atas, penulis memahami bahwa stereotipe gender

    dibentuk oleh budaya. Laki-laki dan perempuan di dalam keluarga memainkan

    perannya berdasarkan stereotipe yang telah diberikan oleh budaya patriarkal.

    Stereotipe gender akan mempengaruhi dan membatasi setiap orang dalam

    pengambilan setiap keputusan. Selain itu, penelitian di atas juga menegaskan bahwa

    isi dari stereotipe tidak bisa digeneralisasi untuk semua budaya. Budaya patriarkal

    pada umumnya menganggap bahwa laki-laki itu bebas dan melakukan pekerjaan yang

    bersifat maskulin serta berperan di sektor publik, sementara perempuan dengan sifat

    feminin dipandang pantas untuk berperan di sektor domestik. Pada kenyataannya,

    penelitian telah menunjukkan bahwa ada budaya yang meyakini bahwa laki-laki itu

    juga bersifat saling ketergantungan dan hal ini dianggap sebagai hak yang berharga

    secara budaya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa di dalam masyarakat

    partiarki tertentu, ketergantungan laki-laki di dalam keluarga juga dibentuk oleh

    konteks budaya yang telah membingkainya dan hal ini tentunya dimaksudkan untuk

    kebaikan dan keuntungan laki-laki tersebut.

    37 Cuddy, Amy J. C., Susan Crotty, Jihye Chong, Michael I. Norton, “Men as Cultural Ideals: How Culture Shapes Gender Stereotypes” Working Paper for Discussion only; 10-097, 2-5.

  • Berangkat dari pemahaman di atas, jika dikaitkan dengan kehidupan dalam

    keluarga, maka dapat dipahami bahwa sterotip gender yang diberikan kepada ibu

    telah menjadi identitas baru bagi perempuan dalam menjalani kehidupan bersama

    keluarga, dan untuk kepentingan keluarga maka perempuan dituntut untuk

    mempertimbangkan setiap hal dengan sangat hati-hati dan bijaksana. Bila

    dihubungkan dengan perselingkuhan suami, maka perempuan sebagai istri dan

    sekaligus ibu bagi anak-anak akan mempertimbangkan segala aspek yang ada –

    rohani, spiritual, sosial, ekonomi, psikologis dan sebagainya – terlebih jika

    diperhadapkan dengan isu perceraian paska perselingkuhan. Ketika perempuan

    memutuskan untuk mempertahankan pernikahan untuk alasan pertimbangan tersebut,

    maka dapat dianggap bahwa perempuan di dalam keluarga bersifat saling

    ketergantungan. Namun, penulis memahami bahwa hal ini tidak hanya dialami oleh

    perempuan saja; laki-laki di dalam keluarga juga mengalami hal yang sama. Sebagai

    suami dan ayah, laki-laki juga bersifat saling ketergantungan dengan setiap hal yang

    ada di dalam keluarga. Istri dalam keluarga telah memainkan peran yang sangat

    menolong suami dalam menjalankan semua kebutuhan keluarga, sehingga jika

    perceraian terjadi, maka kenyamanan dan keamanan yang selama ini dimiliki akan

    terancam terganggu atau rusak. Sehingga untuk alasan keutuhan, kenyamanan, dan

    keamanan, tidak jarang suami memohon pengampunan kepada istri; demikian

    sebaliknya, untuk alasan kebaikan dan masa depan keluarga, pengampunan diberikan

    kepada suami. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa stereotipe gender telah

    mempengaruhi proses pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan.

  • Selanjutnya, dari perspektif feminis gelombang ke dua, tindakan

    pengampunan dapat dilihat sebagai sebuah tindakan pengorbanan yang didasarkan

    pada konsep cinta. Konsep ini menjadi kunci utama nilai budaya di mana patriarki

    melatih perempuan untuk berpikir secara erotisisme hanya dalam bentuk konsep

    romantika heteroseksual.38

    Selain itu Millet, Dworkin, dan Greer menyatakan bahwa

    emosi cinta itu dikonstruksi secara sosial.39

    Sejalan dengan itu, Firestone dalam

    Humm menyatakan bahwa perempuan diajarkan untuk mengembangkan kebutuhan

    emosional untuk laki-laki, yang disebut cinta oleh patriarki dan emosi ini dikorupsi

    oleh konteks kekuasaan dari sistem kelas jenis kelamin.40

    Berbeda dengan beberapa

    pendapat sebelumnya, feminis Irigaray menyatakan bahwa cinta itu agung, luhur,

    hasrat yang ideal, yang bergerak dari sifat-sifat badaniah menuju impian

    keharmonisan, dan hal-hal yang berlainan dapat diselesaikan menjadi kesatuan.41

    Berdasarkan beberapa pendapat para feminis di atas, dapat dipahami bahwa

    perihal pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan suami merupakan persoalan

    yang sangat kompleks. Di satu sisi, pengampunan dapat dipahami sebagai sebuah

    tindakan pengorbanan dari perempuan yang telah dikonstruksi oleh sosial dan

    budayanya sehingga terikat dengan peran dan tugas dalam wilayah domestik untuk

    memprioritaskan kepentingan keluarga. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa

    stereotipe gender yang diberikan oleh budaya patriarkal telah mempengaruhi proses

    pengampunan itu. Namun, di sisi lain, terlepas dari kontrol sosial dan budaya yang

    38

    Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 258. 39

    Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 258. 40

    Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 258. 41

    Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 102.

  • telah mempengaruhi, pilihan pengampunan merupakan sebuah pilihan yang

    diputuskan oleh istri. Pilihan ini melambangkan cinta kasih seorang perempuan

    sebagai istri sekaligus ibu dan menjadi kekuatan yang memberdayakannya untuk

    berjuang mempertahankan semua yang dimilikinya.

    2.5. Konseling Feminis

    Jika dilihat dari aspek terminologinya, konseling feminis merupakan sebuah

    teori yang lahir dari pemikiran psikologis dalam praktek terapetik yang berdasarkan

    cita-cita feminis yang menyoroti kehidupan dengan latar belakang sosial, politik dan

    ekonomi. Konseling feminis merupakan sebuah pendekatan konseling yang baru

    muncul pada tahun 1970an pada sebuah kondisi sosial yang mendambakan

    peningkatan kesadaran.42

    Pendekatan ini awalnya hadir dalam psikoterapi untuk

    menjawab kebutuhan dari pengalaman perempuan yang menderita secara psikologis.

    Namun tidak seperti orientasi teoritis lainnya, tidak satupun yg dapat diidentifikasi

    sebagai pendiri dari konseling feminis ini. Ada banyak bentuk terapi feminis namun

    semuanya berdasar pada beberapa persoalan yang saling berhubungan seperti

    individu, gender dan budaya. Konseling feminis selalu berupaya untuk

    menumbuhkan kesadaran klien secara politik dan sosial.43

    Selain itu, konseling

    feminis juga menolong perempuan untuk menemukan cara dalam memecahkan

    stereotipe dan stigma dari beberapa peran tradisional yang dimainkan perempuan

    yang dapat menghalangi perkembangan dan pertumbuhan mereka. Peningkatan

    42

    Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship…….” , 427. 43

    Evans, Kincade, Marbly, dan Seem, “Feminism and Feminis Therapy…..” 269.

  • kesadaran dan pemberdayaan klien adalah tujuan dari semua usaha konseling feminis

    dan bersama dengan itu akan tercipta keamanan internal dan eksternal serta

    penyembuhan terhadap trauma. Pemberdayaan merupakan jantung dari pendekatan

    feminis di mana klien dapat membebaskan diri dari harapan-harapan peran gender

    yang bersifat membatasi.44

    Selanjutnya, konseling feminis juga berpusat pada

    peningkatan pemahaman perempuan atas dirinya sendiri dan harga dirinya. Setiap

    proses yang dihadapi dimaksudkan untuk membentuk perempuan secara emosional

    dan menantang mereka secara intelektual.45

    Pendampingan dalam konseling feminis

    saat ini juga telah terfokus kepada pemberdayaan perempuan dan laki-laki dengan

    menyoroti persoalan sosialisasi gender dan peranan gender yang dapat membantu

    pertumbuhan klien dalam dunia pribadi dan professional.46

    Berdasarkan beberapa pemahaman di atas, penulis memahami bahwa yang

    mendasari lahirnya konseling feminis adalah persoalan perempuan yang sering sekali

    menjadi korban dari banyak aspek kehidupan seperti sosial, politik, seksualitas dan

    ekonomi. Namun, seiring dengan berkembangnya persoalan kehidupan, saat ini

    konseling feminis telah memberi perhatian kepada persoalan kemanusian, tidak hanya

    kepada perempuan tetapi juga kepada laki-laki untuk tujuan peningkatan kesadaran

    dan pemberdayaan.

    Berangkat dari pemahaman di atas dapat dipahami bahwa dalam menyikapi

    persoalan kemanusiaan, seorang konselor harus memiliki prinsip yang menjadi dasar

    44

    Surabhi, “Feminism in the therapeutic space,” Therapy Today 25, no. 1: 2014, HTML, 31-33. 45

    Radov, Carol G., Barbara R. Masnick, and Barbara R. Hauser, “Issues in Feminist Theory: The

    Work of a Women's Study Group,” Social Work 22, no. 6: 1977, 509. 46

    Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship ……..” , 427

  • untuk melakukan konseling feminis. Untuk itu, Gilbert secara jelas mengidentifikasi

    dua prinsip dasar pembimbing dari penerapan terapi feminis, yaitu (1) setiap pribadi

    itu (baik klien ataupun terapis) bersifat politis, dan (2) hubungan klien dan terapis

    bersifat egaliter. Selanjutnya Gilbert menjelaskan bahwa hubungan yang egaliter

    dapat dicapai dicapai ketika terapis; (a) memandang klien sebagai ahlinya sendiri, (b)

    menginformasikan kepada klien tentang proses terapi, peranan dan haknya dalam

    proses terapi, (c) menggunakan strategi yang mempromosikan otonomi dan

    kekuasaan klien, (d) mendorong ekspresi kemarahan, dan (e) mencontohkan perilaku

    yang tepat untuk klien.47

    Sejalan dengan Gilbert, Suzanne E. Degges-White dkk. menegaskan bahwa

    prinsip-prinsip terapetik dari teori feminis telah diterjemahkan kepada istilah

    supervisi (pengawasan) dan hal ini telah mengarah pada sebuah bentuk supervisi yang

    bersifat kolaboratif, pemberdayaan dan berbasis pada kekuatan-kekuatan. Intervensi

    dari supervisi individual yang berbasis feminis terfokus pada kesadaran diri dan

    kemampuan-kemampuan dalam mengkonsepsikan masalah dan berusaha untuk

    mengenal dan merekonsiliasi perbedaan-perbedaan mengenai gender yang

    bersinggungan dengan ras, kelas, orientasi seksual, dan konsep sosiologis lainnya di

    dalam konteks konseling dengan maksud untuk memberdayakan klien dan

    meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang dapat

    memperkokoh kehidupan.48

    47

    Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship ……..” , 427 48

    Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision Within a Feminis

    Framework: Guidelines for Intervention,” Journal Of Humanistic Counseling Vol 52, 2013, p. 92.

  • Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, penulis memahami bahwa tujuan

    utama dari konseling feminis pada hakekatnya adalah dalam rangka penyadaran dan

    pemberdayaan terhadap konseli untuk memperoleh pribadi atau kelompok yang

    berdaya dalam memperjuangkan hak-hak dalam kehidupan pribadi, profesional

    maupun di dalam kehidupan sosial masyarakat.

    2.6. Pengampunan dari Perspektif Konseling Feminis

    Pemikiran perempuan dalam memandang persoalan perselingkuhan perlu

    dipertimbangkan. Persoalan perselingkuhan merupakan tindak kekerasan, namun

    bukan berarti manusia berhak menghakimi dan memutuskan hubungan pernikahan

    pasangan suami-istri yang sedang dalam masalah. Namun, sebagai makhluk sosial,

    kita berkewajiban untuk memediasi mereka dalam menyikapi persoalan yang ada,

    melihat lebih dalam duduk permasalahannya dan mempertimbangkan segala bentuk

    kekuatan yang mungkin bisa diperbaiki untuk menyelamatkan pernikahan tersebut.

    Dalam perspektif feminis, Luce Irigaray, potensi menjadi istri atau ibu harus dilihat

    sebagai hak dalam identitas perempuan, bukan prioritas yang menjadi kewajiban.

    Keunikan dalam karyanya adalah bahwa baginya yang esensial dalam perjuangan

    pembebasan perempuan bukan menuntut kesetaraan, melainkan dengan membangun

    budaya perempuan dan laki-laki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis

    kelamin. Irigaray menjelaskan bahwa perbedaan seksual tereduksi sebagai prinsip

    sentralnya. Selain itu, dia mengklaim bahwa perbedaan tersebut ditolak dalam budaya

  • phallo-sentris sehingga tidak terlambangkan dan tidak terwakili.49

    Pemahaman ini

    mendorong perempuan untuk mengembangkan potensinya sendiri dan menjadi

    unggul dengan kemampuannya sebagai seorang perempuan. Hanya dengan melihat

    potensi ini dapat membebaskan kaum istri untuk bebas memilih dalam menjalani

    kehidupannya sebagai pribadi, sebagai istri dalam rumah tangga, dan bahkan sebagai

    anggota masyarakat. Selain itu Irigaray mengungkapkan bahwa perempuan dapat

    menciptakan bahasanya sendiri, baik lisan maupun tulisan, sehingga perempuan

    memiliki cara untuk mengaktualisasikan dirinya, pemikirannya, perasaannya dan

    pendapatnya.50

    Berangkat dari pemahaman Irigaray tentang potensi sebagai ibu yang

    merupakan hak dalam sebuah identitas, maka penulis membangun pemahaman bahwa

    pengampunan yang diberikan kepada suami juga merupakan hak atau sebuah pilihan

    yang dapat diambil dalam identitas seseorang isteri. Untuk memahami fenomena

    pengampunan istri ini perlu dilihat dari perspektif konseling feminis.

    Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai fokus dari konseling

    feminis adalah untuk penyadaran dan pemberdayaan, maka jika dihubungkan dengan

    persoalan pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan dapat dipahami bahwa

    tindakan pengampunan merupakan sebuah pilihan yang diambil setelah melewati

    proses yang melibatkan pemahaman dan kesadaran seseorang untuk dapat mengambil

    keputusan sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Carol Zerbe Enns dalam

    49

    Daggers, “Luce Irigaray and The Divine Women: A resource of Postmodern Feminis Theology,

    Feminis Theology,” The Journal of the Britain & Ireland School of Feminis Theology, January 1,

    1997, 38. 50

    Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (e-book: Colorado: Westview Press), 2009, 156-157.

  • Whalen menyatakan bahwa tujuan utama konseling feminis adalah untuk membantu

    individu agar dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan

    kepentingan orang lain.51

    Hal ini tampak dalam pilihan pengampunan yang dilakukan

    oleh istri dalam menyikapi perselingkuhan suami. Di satu sisi, pilihan pengampunan

    dimaksudkan untuk memerdekakan dirinya sendiri dari perasaan tertekan paska

    peristiwa traumatic, di sisi lain dia sedang memperjuangkan kepentingan dari semua

    anggota dalam keluarganya.

    Keputusan untuk memberikan pengampunan memang tidak lepas dari

    pertimbangan-pertimbangan yang dipikirkan secara matang dengan melewati

    berbagai proses atau tahapan. Selain itu setiap tahapan yang dilewati melibatkan

    komponen kognitif, afektif, dan perilaku sehingga orang yang terluka menjadi

    mampu mengambil keputusan termasuk dalam memberikan pengampunan kepada

    orang yang telah menyakitinya. Terkait dengan perempuan sebagai pribadi yang

    memberikan pengampunan kepada suami, maka dapat dipahami bahwa perempuan

    tersebut menyadari bahwa keputusan yang diambilnya merupakan keputusan yang

    terbaik baginya dan keluarganya.

    Bila disorot lebih jauh, persoalan perselingkuhan dalam hubungan pernikahan

    merupakan ganguan yang dapat merusak psikis pasangan yang dikhianati dan

    menyebabkan tekanan dan taruma terhadap hubungan tersebut, serta berpengaruh

    terhadap setiap aspek kehidupan keluarga. Oleh sebab itu, pendampingan dari

    perspektif konseling feminis diharapkan dapat menolong dan memberdayakan istri

    51

    Mollie Whalen, Karen P, dan Jill S. Barber, “Counseling Practice With Feminist-Multicultural Perspectives,” 385.

  • yang terluka untuk mengenali kebutuhannya sendiri dan memutuskan yang terbaik

    untuknya, termasuk pada saat istri memilih untuk mengampuni suaminya. Ada

    sebagian orang yang mungkin dengan mudah dapat mengampuni orang yang

    menyakitinya, namun tidak sedikit orang yang masih terus berjuang untuk dapat

    mengampuni orang yang telah menyakitinya. Pada akhirnya, pribadi yang mampu

    melewati semua proses atau tahapan untuk sampai pada tahap penerimaan dan

    pengampunan harus dilihat sebagai seorang pribadi yang memiliki pilihan untuk

    memerdekakan dirinya dari tekanan dan trauma dan juga untuk melanjutkan

    kehidupan bersama keluarganya dengan segala cita-cita dan harapan yang mereka

    miliki.