Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

130
BAB II PEMILU SEBAGAI SARANA DEMOKRASI A. PEMILU 1. Pengertian Pemilu Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini adalah inti kehidupan demokrasi. Pemilu adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan- jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun

Transcript of Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Page 1: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

BAB II

PEMILU SEBAGAI SARANA DEMOKRASI

A. PEMILU

1. Pengertian Pemilu

Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai

pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum

merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan

rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan

kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini

adalah inti kehidupan demokrasi. Pemilu adalah suatu proses di

mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-

jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-

ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat

pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas,

Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti

ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan'

lebih sering digunakan. Sistem pemilu digunakan adalah asas luber

dan jurdil. Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut

konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan

janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye.

Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan,

menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara

dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu

ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang

sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan

disosialisasikan ke para pemilih.

Page 2: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:

1. Dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan

umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:

a. Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara

republik indonesia adalah negara yang berkedaulatan

rakyat;

b. Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk

mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka

keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan

pemerintahan negara

c. Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan

untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk

dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan,

melainkan juga merupakan suatu sarana untuk

mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang

dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian juga dalam bab I ketentuan umum pasal 1

ayat 1 disebutkan bahwa: "pemilihan umum adalah

sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara

kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila

dan undang-undang 1945.

 

Page 3: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

2. Dalam pernyataan umum hak asasi manusia PBB pasal 21 ayat

1 dinyatakan bahwa "setiap orang mempunyai hak untuk

mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara

langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara

bebas." Hak untuk berperan serta dalam pemerintahan ini

berkaitan dan tidak terpisahkan dengan hak berikutnya dalam

ayat 2 yaitu "setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh

ekses yang sama pada pelayanan oleh pemerintah negerinya."

Selanjutnya untuk mendukung ayat-ayat tersebut, dalam ayat 3

ditegaskan asas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang

melandasi kewenangan dan tindakan pemerintah suatu negara,

yaitu "kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan

pemerintah; kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam

pemilihan-pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum

dengan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan

pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan

suara bebas".

Pernyataan umum Hak Asasi Manusia PBB pasal 21 khususnya

ayat 3 tersebut merupakan penegasan asas demokrasi yaitu

bahwa kedaulatan rakyat harus mejadi dasar bagi kewenangan

pemerintah dan kedaulatan rakyat melalui suatu pemilihan

umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.

3. Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi

dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi

sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas

Page 4: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

negara dan pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut

diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk

menentukan siapa-siapa saja yang harus menjalankan dan di

sini lain mengawasi pemerintahan negara. Karena itu, fungsi

utama bagi rakyat adalah "untuk memilih dan melakukan

pengawasan terhadap wakil-wakil mereka".

Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk

Republik (pasal 1 ayat (1) UUD 1945) yang kedaulatannya berada di

tangan rakyat. Untuk mewujudkannya dilaksanakan pemilu. Di bawah

ini beberapa pengertian pemilu :

a. Menurut UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pemilu

adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara

kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

b. Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi

dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena

menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan

kedaulatannya atas negara dan pemerintah. Pernyataan

kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam proses

pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa saja

yang harus menjalankan dan di sisi lain mengawasi

pemerintahan negara. Karena itu, fungsi utama bagi rakyat

adalah "untuk memilih dan melakukan pengawasan

terhadap wakil-wakil mereka".

c. Pemilihan Umum adalah salah satu agenda dalam

demokratisasi, yaitu keterkaitan dengan persoalan

kepemimpinan politik. Sebab peran kepemimpinan politik

Page 5: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

menjadi hal utama (vital) dalam transformasi

otoriterianisme menuju demokrasi (Samuel P. Huntington).

Bahkan lebih mendasar proses pergantian kepemimpinan

juga diikuti dengan model perwakilan rakyat, sejauh mana

efektivitas “kedaulatan rakyat” dapat dilihat atau

dibuktikan.

d. Pemilihan Umum merupakan wahana formal dalam

membentuk tatanan negara dan masyarakat (state and

society formation) untuk menuju tatanan yang lebih baik.

e. Pemilihan Umum adalah filter kepercayaan rakyat terhadap

partai politik yang menjadi pilihan rakyat. Alasan mendasar

pada Pemilihan Umum merupakan ajang rekrutmen

terakhir untuk menyeleksi secara alamiah— proses

keterwakilan politik pemerintah. Melalui Pemilihan Umum

dapat diketahui partai politik yang mendapat kepercayaan

rakyat.

f. Menurut R William Liddle dalam sistem pemerintahan

yang mulai demokrasi, Pemilihan Umum dianggap sebagai

penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktek

kekuasaan atau pemerintahan oleh sejumlah elit partai.

Maka itu itu pemilihan umum adalah syarat dalam proses

demokrasi, namun belum merupakan jaminan sebagai

wujud dari pelaksanaan system kekuasaan secara

demokratis. Karena demokrasi masih menuntut syarat lain

selain Pemilihan Umum sebagai cermin kehendak rakyat

dan terintegrasinya warga negara ke dalam proses politik,

yaitu sejauh mana rakyat memberikan legitimasi politik

Page 6: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

dalam proses Pemilihan Umum tersebut dan pada kapasitas

kontrol terhadap kekuasaan pemerintahan. Legitimasi dan

kontrol kekuasaan pemerintahan adalah sarana dasar yang

dapat dicermati dalam sistem Pemilihan Umum yang

diselenggarakannya. Apakah termobilisasi atau sepenuhnya

wujud dari partisipasi politik rakyat.

g. Dalam tatanan demokrasi, Pemilu adalah mekanisme atau

cara untuk memindahkan konflik kepentingan dari tataran

masyarakat ke tataran badan perwakilan agar dapat

diselesaikan secara damai dan adil sehingga kesatuan

masyarakat tetap terjamin.

h. Menurut UU No 15 tahun 1965, pemilihan umum adalah

suatu alat yang penggunaanya tidak boleh mengakibatkan

rusaknya sendi-sendi demokrasi dan bahkan menimbulkan

hal-hal yang memnderitakan rakyat, tetapi harus menjamin

suksesnya perjuangan Orde Baru, yaitu tetap tegaknya

Pancasila dan dipertahankannya Undang-Undang Dasar

1945.

Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai

pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum

merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan

rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan

kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Page 7: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

2. Tujuan Pemilu

Pemilihan Umum diselenggarakan bukan hanya sekedar

memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam Lembaga

Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan juga tidak untuk

menyusun Negara baru dengan dasar falsafah Negara baru, tetapi

suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang mampu

membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan

perjuangan dan mengembangkan kemerdekaan Negara Republik

Indonesia yang bersumber pada Proklamasi 17 Agustus 1945,

guna memenuhi dan mengembangkan Amanat Penderitaan

Rakyat.

Pemilihan Umum bagi suatu negara demokrasi sangat

penting artinya untuk menyalurkan kehendak asasi politiknya,

antara lain sebagai berikut:

a. Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga

legislatif.

b. Adanya dukungan mayoritas rakyat dalam menentukan

pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka waktu tertentu.

c. Rakyat (melalui perwakilan) secara periodik dapat

mengoreksi atau mengawasi eksekutif.

Mohammad Kusnardi, SH. (1988:330-331) menyatakan :

bahwa paling tidak ada 3 macam tujuan Pemilihan Umum, yaitu:

a. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara

aman dan tertib;

b. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan

c. Dalam rangka dalam melaksanakan hak-hak asasi manusia.

Page 8: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Undang-undang pemilihan umum

Pada bagan di bawah ini kita dapat mengetahui tentang UU Pemilu

3. Asas Pemilu

Pemilu diselenggarakan secara demokratis dan transparan,

jujur dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan

suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Jadi

berdasarkan Undang-undang tersebut Pemilu menggunakan azas

sebagai berikut :

a. Langsung : Yaitu rakyat pemilih mempunyai hak untuk

secara langsung memberikan suaranya, sesuai dengan

kehendak hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.

Page 9: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

b. Umum : Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi

persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17

tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut memilih dalam

Pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21 tahun berhak

dipilih.

c. Bebas : Setiap warga negara yang memilih menentukan

pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam

melaksanakan haknya setiap warga negara dijamin

keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan

kehendak hati nurani dan kepentingannya.

d. Rahasia : Yang berarti dalam memberikan suaranya, pemilih

dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak

manapun dan dengan jalan apapun. Azas rahasia ini tidak

berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat

pemungutan suara yang secara suka rela bersedia

mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun.

e. Jujur : Yang berarti bahwa penyelenggara/pelaksana,

pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas, dan

pemantau Pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang

terlibat secara tidak langsung harus bersikap dan bertindak

jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

f. Adil : Berarti dalam penyelenggaraan Pemilu setiap pemilih

dan Parpol peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama

serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

Page 10: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

4. Landasan Pemilihan Umum

Pelaksanaan Pemilu di Indonesia didasarkan pada landasan

berikut :

a. landasan Ideal, yaitu Pancasila, terutama sila kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/ perwakilan.

b. landasan Konstitusional; yaitu UUD 1945 yang termuat di

dalam :

1). Pembukaan Alinea ke empat

2).Batang Tubuh pasal 1 ayat 2

3). Penjelasan umum tentang sistem pemerintahan Negara

landasan operasional; yaitu GBHN yang berupa ketetapan-

ketetapan MPR serta peraturan perundangan-undangan

lainnya.

5. Sistem Pemilu

Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam Pemilihan

Umum, akan tetapi umumnya berkisar ada dua prinsip pokok,

yaitu :

a. single-member constituency (satu daerah pemilihan memiliki

satu wakil ; biasanya disebut system distrik); dan

b. multy-member constituency (satu daerah pemilihan memilih

beberapa wakil; biasanya dinamakan/ proportional

representation atau system perwakilan berimbang.

Page 11: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Dibawah ini akan lebih dijelaskan mengenai kedua sistem

tersebut :

a. Sistem Distrik

Sistem Distrik merupakan sistem Pemilihan Umum yang

paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap

kesatuan geografis mempunyai satu wakil dalam Dewan

Perwakilan Rakyat. Untuk keperluan itu Negara dibagi dalam

sejumlah besar distrik yang jumlah wakil rakyat dalam

Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan oleh jumlah distrik.

Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak

adalah yang menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan

kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan

tidak diperhitungkan lagi, bagaimana pun kecilnya selisih

kekalahannya.

Kelemahan sistem distrik ini antara lain:

1). Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai

kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini

terpancar dalam beberapa distrik;

2). Sistem ini kurang respresentatif dalam arti bahwa calon

yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara

yang telah mendukungnya.

Disamping kelamahan-kelemahan diatas, Pemilihan

Umum bersistem distrik memiliki beberapa kelebihan,

diantaranya adalah:

1). Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat

dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya

dengan penduduk lebih erat;

Page 12: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

2). Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai

politik, karena kursi yang diperebutkan dalam setiap

distrik pemilihan hanya satu;

3). Berkurangnya partai dan meningkanya kerjasama antara

partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintahan

yang stabil dan meningkatkan stabilitas nasional;

4). Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.

b. Sistem Perwakilan Berimbang

Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa

kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokoknya ialah

sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Dalam sistem

ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih banyak

yang diperolah sutau partai atau golongan dalam suatu daerah

pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang

diterima oleh partai/golongan itu dalam daerah pemilihan

lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan

guna memperoleh kursi tambahan.

Sistem perwakilan berimbang ini sering

dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, misalnya

dengan sistem daftar (lyst system). Dalam sistem daftar setiap

partai/golongan mengajukan satu daftar calon dan si pemilih

memilih satu daftar. Dengan demikian, memilih satu partai

dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk

bermacam-macam kursi untuk diperebutkan.

Page 13: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan :

1). sistem ini mempermudah pragmentasi partai dan

timbulnya partai-partai baru;

2). wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada

partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah

yang telah memilihnya; dan

3). banyaknya partai mempersukar terbentuknya

pemerintah yang stabil oleh karena umumnya harus

mendasarkan diri atas koalisis dari dua partai atau lebih.

Di samping kelemahan tersebut, sistem ini memiliki

Satu keuntungan besar, yaitu bahwa sistem ini bersifat

refresentatif dalam arti bahwa setiap suara akan turut

diperhitungkan dan praktis tidak ada suara yang hilang.

Golongan-golongan bagaimanapun dapat menempatkan

wakilnya dalam badan perwakilan rakyat. Masyarakat yang

heterogen, umumnya lebih tertarik pada sistem ini, oleh

karena dianggap lebih menguntungkan bagi masing-masing

golongan (Budiardjo, 1978 : 177-180).

c. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

Dalam massa Orde Baru ini, sistem pelaksanaan

Pemilihan Umum (di Indonesia) adalah sistem propotional

refresentation dengan stelsel pemilihan lijsten stelsel.

Misalnya jumlah anggota DPR yang dipilih dalam Pemilihan

Umum di Jawa seimbang dengan jumlah anggota yang

dipilih diluar Jawa; untuk menentukan banyaknya wakil

dalam setiapa pemilihan dipakai dasar perhitungan tiap-tiap-

paling sedikit 400.000 penduduk memperoleh seorang wakil,

Page 14: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

dengan ketentuan bahwa tiap-tiap daerah pemilihan

mempunyai wakil sekurang-kurangnya sebanyak Daerah

Tingkat II yang terdapat dalam Daerah Tingkat I dan tiap-tiap

Daerah Tingkat II menpunyai sekurang-kurangnya seorang

wakil.

Hal tersebut di atas akan lebih jelas bila

memperhatikan rumusan dalam UU No.1 Tahun 1985 Pasal 5

Ayat (1-5) yang menyatakan, bahwa :

1). Jumlah anggota DPR yang dipilih bagi tiap daerah

pemilihan ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah

penduduk yang terdapat dalam daerah pemilihan

tersebut.

2). Hal yang termaktub dalam ayat (1) tidak mengurangi

ketentuan bahwa :

a). jumlah wakil dalam setiap daerah pemilihan

sekurang-kurangnya sama dengan jumlah daerah

tingkat II yang ada dalam daerah pemilhan yang

bersangkutan;

b). Tiap daerah Tingkat II sekurang-kurangnya

mempunyai seorang wakil.

c). Untuk keperluan Pemilihan Umum, Menteri Negeri

dapat menetapkan pembagian daerah tingkat I yang

belum terbagi dalam daerah tingkat II, dalam

daerah-daerah administratif yang setingkat dengan

daerah tingkat II.

d). Jumlah anggota dalam daerah pemilihan yang

terbagi dalam daerah-daerah administratif seperti

Page 15: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

yang termaksud dalam ayat (3) ditetapkan 8

(delapan) anggota tanpa mengurangi jiwa ayat (1)

dan ayat (2) sub b.

e). Jumlah anggota DPR dan DPRD yang dipilih

ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang

tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

6. Sejarah Pemilu di Indonesia

Pemilu 1955.

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa

Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau

dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi,

apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak

demokratis?

Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan

dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945,

pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa

menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan

dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta

tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan

par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk

me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari

1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru

terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan

Page 16: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

tanpa sebab.

Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat

X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September

1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember

1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam

Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan

Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada

Konstituante.

Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab

pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang

berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain

ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena

belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur

penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan

negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu

adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran

(sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif.

Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang

mengharuskan negara ini terlibat peperangan.

Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946

seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling

tidak disebabkan 2 (dua) hal :

1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan

Page 17: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

perangkat UU Pemilu;

2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal

antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang

sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para

pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.

Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan

bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian

tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat

bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan

pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948

tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949

tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa

pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak

langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan

bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta

huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan

banyak terjadi distorsi.

Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad

Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah

memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya.

Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan

oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum

kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali

menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat

Page 18: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan

RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo,

juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan

pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR

dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan

pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru

selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari

PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang

Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang

diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan

demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan

UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak

langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.

Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan

dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu

1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari

negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik

dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran

berkom-petisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon

anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang

memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan

Page 19: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang

menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak

dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan

pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua

keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan

Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR

No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57

2. Masyumi 7.903.886 20,92 57

3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45

4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39

5.Partai Syarikat Islam Indonesia

(PSII)1.091.160 2,89 8

6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8

7. Partai Katolik 770.740 2,04 6

8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5

9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan

Indonesia (IPKI)541.306 1,43 4

10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah

(Perti)483.014 1,28 4

11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2

12. Partai Buruh 224.167 0,59 2

13. Gerakan Pembela Panca Sila 219.985 0,58 2

Page 20: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

(GPPS)

14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2

15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2

16. Murba 199.588 0,53 2

17. Baperki 178.887 0,47 1

18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR)

Wongsonegoro178.481 0,47 1

19. Grinda 154.792 0,41 1

20.Persatuan Rakyat Marhaen

Indonesia (Permai)149.287 0,40 1

21. Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1

22. PIR Hazairin 114.644 0,30 1

23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1

24. AKUI 81.454 0,21 1

25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1

26.Partai Republik Indonesis Merdeka

(PRIM)72.523 0,19 1

27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1

28. R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1

29. Lain-lain 1.022.433 2,71 -

Jumlah 37.785.299100,00257

Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15

Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak

520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada

pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota

Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat

dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang

Page 21: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibandingkan suara yang

diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota

Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.

No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.218 23,97119

2. Masyumi 7.789.619 20,59112

3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,4791

4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.512 16,4780

5.Partai Syarikat Islam Indonesia

(PSII)1.059.922 2,80 16

6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16

7. Partai Katolik 748.591 1,99 10

8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10

9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan

Indonesia (IPKI)544.803 1,44 8

10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah

(Perti)465.359 1,23 7

11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3

12. Partai Buruh 332.047 0,88 5

13.Gerakan Pembela Panca Sila

(GPPS)152.892 0,40 2

14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2

15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3

16. Murba 248.633 0,66 4

Page 22: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

17. Baperki 160.456 0,42 2

18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR)

Wongsonegoro162.420 0,43 2

19. Grinda 157.976 0,42 2

20.Persatuan Rakyat Marhaen

Indonesia (Permai)164.386 0,43 2  

21. Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3  

22. PIR Hazairin 101.509 0,27 2  

23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1  

24. AKUI 84.862 0,22 1  

25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1  

26.Partai Republik Indonesis Merdeka

(PRIM)143.907 0,38 2  

27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1  

28. R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1  

29. Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1  

30. Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1  

31. Radja Keprabonan 33.660 0,09 1  

32.Gerakan Banteng Republik

Indonesis (GBRI)39.874 0,11    

33. PIR NTB 33.823 0,09 1  

34. L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1  

  lain-lain 426.856 1,13    

Jumlah 37.837.105  514  

Periode Demokrasi Terpimpin.

Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak

bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu

Page 23: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-

kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik

Panitia Pemilihan Indonesia II.

Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan

keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden

untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD

1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan

partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan

mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam

istilah Prof. Ismail Sunny sebagai kekuasaan negara bukan lagi

mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.

Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas

ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955,

setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang

diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata

Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan

MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa

pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena

UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota

DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah

terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut

UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan

Page 24: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

DPR neben atau sejajar dengan presiden.

Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui

Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967)

setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30

S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan

sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun

menyelenggarakan pemilu. Tahun 1963 MPRS yang anggotanya

diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai

presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang

mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.

Pemilu 1971

Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat

Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS

1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk

mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI

Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan

dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh

Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan

Page 25: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

diselenggarakan dalam tahun 1971.

Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS

dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan

pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari

sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.

Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal

5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Pak Harto berada di kursi

kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU)

kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.

UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan

kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971,

pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969

tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan

MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu

hampir tiga tahun.

Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955

adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan

bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara,

termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi

calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971

para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu,

yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa

ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan

seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada

Page 26: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

salah satu peserta Pemilu itu.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian

yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955.

Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969

sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan.

Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk

mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan

penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-

an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.

Pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap,

ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di

daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus

acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut.

Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan.

Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord,

maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara

itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih

ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada

partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara

partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi

pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan

stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi

Page 27: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.

Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971

menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional

dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling

gamblang adalah perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang

secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya

memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih

jelasnya lihat tabel di bawah ini.

No.Partai Suara % Kursi

1. Golkar 34.348.673 62,82 236

2. NU 10.213.650 18,68 58

3. Parmusi 2.930.746 5,36 24

4. PNI 3.793.266 6,93 20

5. PSII 1.308.237 2,39 10

6. Parkindo 733.359 1,34 7

7. Katolik 603.740 1,10 3

8. Perti 381.309 0,69 2

9. IPKI 338.403 0,61 -

10. Murba 48.126 0,08 -

Jumlah 54.669.509 100,00 360

Sekedar untuk perbandingan, seandainya pembagian kursi

perolehan suara partai-partai pada Pemilu 1971 dilakukan dengan

sistem kombinasi sebagaimana digunakan dalam Pemilu 1955, dengan

mengabaikan stembus accoord 4 partai Islam yang mengikuti Pemilu

Page 28: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

1971, hasilnya akan terlihat seperti pada tabel di bawah ini.

Pembagian Kursi Hasil Pemilu 1971 Seandainya Menggunakan

Sistem Kombinasi (hipotetis)

N

o.

Partai

Jumlah

Suara

Secara

Nasiona

l

Jumlah

Kursi

Pada

Pembag

ian

Pertama

Sisa

Suara

Setelah

Pembag

ian

Pertama

Peroleh

an pada

Pembag

ian

Kursi

Sisa

Pertama

Jumlah

Sisa

Suara

Setelah

Pembag

ian

Kursi

Sisa

Kursi

Atas

Suara

Terbe

sar

Juml

ah

Kursi

1Golka

r

34.339.

708214

1.342.0

8411

81.770

(III)1 226

2 NU10.201.

65948

1..323.2

4511 62.931 - 59

3 PNI3.793.2

6616 908.0617

106.043

(II)1 24

4Parmu

si

2.930.9

1910

1.389.4

3512 14.547   22

5 PSII1.257.0

561

1.039.2

809 8.000 - 10

6Parkin

do697.618 1 628.7525 53.882 - 6

7Katoli

k603.740 2 412.4283

68.706

(IV)1 6

8 Perti 380.403 2 180.2401 65.666 1 4

Page 29: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

(V)

9 IPKI 338.376 - 338.3762109.228

(I)1 3

10 Murba47.800 - 47.800 - 47.800 - -

   54.669.

509294

7.561.9

0161   5 360

Catatan:

1. Hasil pembagian pertama yang diperoleh partai-partai

sebagaimana terlihat dalam lajur 4 (empat) sesuai dengan hasil

bagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan masing-masing.

Sedangkan hasil pembagian kursi sisa pada lajur 6 (enam)

merupakan hasil bagi sisa suara masing-masing partai dengan

kiestquotient nasional 114.574 (7.561.901:66). Hasil pada lajur

8 (delapan) berdasarkan sisa suara terbesar atau terbanyak

karena masih tersisa 7 kursi lagi.

Dengan cara pembagian kursi seperti Pemilu 1955 itu, hanya

Murba yang tidak mendapat kursi, karena pada pembagian kursi atas

dasar sisa terbesarpun perolehan suara partai tersebut tidak

mencukupi. Karena peringkat terbawah sisa suara terbesar adalah

65.666. PNI memperoleh kursi lebih banyak dari Parmusi, karena

suaranya secara nasional di atas Parmusi.

Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Page 30: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur

mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah

Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali

dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur

dilaksanakan.

Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu

sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih

sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya

pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan

jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai

Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan

Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI)

dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu,

yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya

tiga.

Hasilnyapun sama, Golkar selalu menjadi pemenang,

sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen.

Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan

ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan

eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung

utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini

dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.

Page 31: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Hasil Pemilu 1977

Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara

pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni

mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750

pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93

persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau

62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi

atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di

DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP

berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau

bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam

Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks

Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi

mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi

diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU,

sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.

PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa

Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah,

Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional

tambahan kursi hanya 5.

PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi

partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29

Page 32: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI,

Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara

tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

No.Partai Suara % Kursi

%

(1971)

Keteranga

n

1.Golka

r

39.750.09

662,11 232 62,80 - 0,69

2. PPP18.743.49

129,29 99 27,12 + 2,17

3. PDI 5.504.7578,60 29 10,08 - 1,48

Jumlah63.998.34

4

100,0

0360 100,00  

 Hasil Pemilu 1982

Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak

pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi

secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan

di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil

diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut

tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi

bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi.

Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada

ketentuan Pemilu 1971.

No.Partai

Suara

DPR% Kursi

%

(1977)

Keteranga

n

Page 33: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

1.Golka

r

48.334.72

464,34 242 62,11 + 2,23

2. PPP20.871.88

027,78 94 29,29 - 1,51

3. PDI 5.919.7027,88 24 8,60 - 0,72

Jumlah 75.126.306 100,00 364 100,00  

 Hasil Pemilu 1987

Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23

April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633

pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara

pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada

Pemilu sebelumnya.

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar

PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga

hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain

karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya

lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan

oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga

menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat

dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan

DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo

Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30

kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.

Page 34: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

No.Partai Suara % Kursi

%

(1982)

Keteranga

n

1.Golka

r

62.783.68

073,16 299 68,34 + 8,82

2. PPP13.701.42

815,97 61 27,78 - 11,81

3. PDI 9.384.70810,87 40 7,88 + 2,99

Jumlah85.869.81

6

100,0

0400    

Hasil Pemilu 1992

Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama

dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya

dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu mengagetkan

banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot

dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan

suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi

68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak

nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299

menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa

menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada

Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai

berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini

kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi

dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Partai itu tidak memiliki wakil

Page 35: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP

memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena

kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu

menaikkan 1 kursi secara nasional.

Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai

daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan

perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga

menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992,

PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.

No.Partai Suara % Kursi

%

(1987)

Keteranga

n

1.Golka

r

66.599.33

168,10 282 73,16 - 5,06

2. PPP16.624.64

717,01 62 15,97 + 1,04

3. PDI14.565.55

614,89 56 10,87 + 4.02

Jumlah97.789.53

4

100,0

0400 100,00  

 Hasil Pemilu 1997

Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan

tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu

1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara

diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa

Page 36: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar

kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya

mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan

kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari

hasil pemilu sebelumnya.

PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43

persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP

meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992.

Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.

Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah

antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun

menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan

hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR

dibandingkan Pemilu 1992.

No.Partai Suara %

Kurs

i

%

(1992)

Keterang

an

1.Golka

r

84.187.90

774,51 325 68,10 + 6,41

2. PPP25.340.02

822,43 89 17,00 + 5,43

3. PDI 3.463.225 3,06 11 14,90 - 11,84

Jumlah112.991.1

50

100,0

0425 100,00  

Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap

Page 37: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang,

Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan

penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat

di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya

pendukung PPP, tidak mengambil bagian.

 

Pemilu 1999

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada

tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden

Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru

atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu

1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan

pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat

itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk

memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia

internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang

merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal

ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum

MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan

hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai

masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa

jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu

Page 38: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi

sebelumnya.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu,

pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang

Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan

DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri,

yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid

(Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden

membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-

anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari

pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan

Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah

Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan

karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta

Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit

dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di

Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan

Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi

inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah

proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil

menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana

Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-

Page 39: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya.

Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke

kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya

krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial

dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Hasil Pemilu 1999

Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan

pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal,

yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan

dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa

terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di

beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan

pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun

karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan

pemungutan suara.

Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan

lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu

kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan

suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara

perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil).

Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno

Page 40: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:

Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu

1999.

Nomo

r

Nama Partai

1. Partai Keadilan

2. PNU

3. PBI

4. PDI

5. Masyumi

6. PNI Supeni

7. Krisna

8. Partai KAMI

9. PKD

10. PAY

11. Partai MKGR

12. PIB

13. Partai SUNI

14. PNBI

15. PUDI

16. PBN

17. PKM

18. PND

19 PADI

Page 41: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

20. PRD

21. PPI

22. PID

23. Murba

24. SPSI

25. PUMI

26 PSP

27. PARI

Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian

diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat

dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia

Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-

keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang

berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi

bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak

menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya.

Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil

final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.

Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan

Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga

muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil

pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya

pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang

melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI

menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya

mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8

Page 42: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi

sisa.

Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada

KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui

voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung

dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua

pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung

opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara.

Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi

dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.

Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat

melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September

1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar

memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang

diperebutkan.

Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073

suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar

memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga

mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu

1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan

51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen,

mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu

1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34

kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI

Page 43: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa,

atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil

perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah.

No

.

Nama PartaiSuara

DPR

Kursi

Tanpa SA

Kursi

Dengan SA

1. PDIP35.689.07

3153 154

2. Golkar23.741.74

9120 120

3. PPP11.329.90

558 59

4. PKB13.336.98

251 51

5. PAN 7.528.95634 35

6. PBB 2.049.70813 13

7.Partai

Keadilan1.436.5657 6

8. PKP 1.065.6864 6

9. PNU 679.179 5 3

10

.PDKB 550.846 5 3

11

.PBI 364.291 1 3

12

.PDI 345.720 2 2

Page 44: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

13

.PP 655.052 1 1

14

.PDR 427.854 1 1

15

.PSII 375.920 1 1

16

.

PNI Front

Marhaenis365.176 1 1

17

.

PNI Massa

Marhaen345.629 1 1

18

.IPKI 328.654 1 1

19

.PKU 300.064 1 1

20

.Masyumi 456.718 1 -

21

.PKD 216.675 1 -

22

.PNI Supeni 377.137 - -

23 Krisna 369.719 - -

24

.Partai KAMI 289.489 - -

25

.PUI 269.309 - -

26

.PAY 213.979 - -

Page 45: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

27

.

Partai

Republik328.564 - -

28

.Partai MKGR 204.204 - -

29

.PIB 192.712 - -

30

.Partai SUNI 180.167 - -

31

.PCD 168.087 - -

32

.PSII 1905 152.820 - -

33

.Masyumi Baru152.589 - -

34

.PNBI 149.136 - -

35

.PUDI 140.980 - -

36

.PBN 140.980 - -

37

.PKM 104.385 - -

38

.PND 96.984 - -

39

.PADI 85.838 - -

40 PRD 78.730 - -

Page 46: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

.

41

.PPI 63.934 - -

42

.PID 62.901 - -

43

.Murba 62.006 - -

44

.SPSI 61.105 - -

45

.PUMI 49.839 - -

46 PSP 49.807 - -

47

.PARI 54.790 - -

48

.PILAR 40.517 - -

Jumlah105.786.6

61462 462

Catatan:

1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan

kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari

suara yang sah.

2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan

sistem kombinasi jumlah partai yang

mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan

jumlah suara partai yang tidak menghasilkan

Page 47: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara

sah.

3. Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai

sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam

sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan

suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk

perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.

Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu

sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu

partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor

urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai

itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan

berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana

seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja

si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari

daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang

terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan

suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan

pada Pemilu 1971.

Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut

merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah

pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya sangat

tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang.

Pemilu yang paling dekat adalah Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan

bisa dikatakan berharga apabila Pemilu 2004 nanti memang lebih

Page 48: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999 untuk banyak hal telah

mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman tersebut,

sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 mendatang lebih baik lagi.

B. DEMOKRASI

1. Pengertian Demokrasi

Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan

di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya

dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan

dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah

berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi

sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem

“demokrasi” di banyak Negara.

Secara etimologis, demokrasi dalam bahasa Yunani berasal dari

dua kata yaitu demos dan kratos/cratein. Demos, berarti rakyat atau

penduduk, kratos berarti pemerintah, kekuasaan atau kedaulatan,

sedangkan cratein berarti memerintah. Dengan demikian,demokrasi

berarti pemerintahan oleh rakyat. Maksudnya ialah suatu sistem

pemerintahan yang rakyatnya diikut sertakan dalam penyelenggaraan

pemerintahan negara. Dan secara bahasa demokrasi adalah keadaan

Page 49: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

negara di mana kedaulatan atau kekuasaan tertingginya berada di

tangan rakyat. Konsep demokrasi diterima oleh hampir seluruh

negara di dunia. Diterimanya konsep demokrasi disebabkan oleh

keyakinan mereka bahwa konsep ini merupakan tata pemerintahan

yang paling unggul dibandingkan dengan tata pemerintahan lainnya.

Demokrasi telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Presiden Amerika

Serikat ke-16, Abraham Lincoln mengatakan demokrasi sebagai

suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (is a

government of the people, by the people and for the people).

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan

suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat

(kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh

pemerintah negara tersebut.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang

membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan

legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang

saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar

satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga

negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling

mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and

balances.

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-

lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan

dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga

Page 50: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif

dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia)

yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di

bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau

oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi

masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya

melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan

peraturan.

Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-

hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh

melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak

mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga

yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai

tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih

(mempunyai hak pilih).

Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini bukan dalam arti hanya

kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara

langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden

atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin

negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat

memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian

banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem

demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta

demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian

masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan

Page 51: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil.

Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya

akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah

teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya

memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur

tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan

kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian

kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan

prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari

rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting

untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan

pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk

membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan

absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap

hak-hak asasi manusia.

Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain,

misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan

sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa

mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk

rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel

(accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan

Page 52: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu

secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan

lembaga negara tersebut.

2. Jenis-Jenis Demokrasi

Demokrasi menurut cara penyaluran kehendak rakyat terbagi

dalam dua jenis: demokrasi bersifat langsung dan demokrasi bersifat

representatif.

Demokrasi bersifat langsung / Direct Demokrasi

Demokrasi langsung juga dikenal sebagai demokrasi bersih.

Disinilah rakyat memiliki kebebasan secara mutlak memberikan

pendapatnya, dan semua aspirasi mereka dimuat dengan segera

didalam satu pertemuan.

Jenis demokrasi ini dapat dipraktekkan hanya dalam kota kecil

dan komunitas yang secara relatip belum berkembang,dimana secara

fisik memungkinkan untuk seluruh electorate untuk bermusyawarah

dalam satu tempat, walaupun permasalahan pemerintahan tersebut

bersifat kecil.

Demokrasi langsung berkembang di Negara kecil Yunani kuno

dan Roma. Demokrasi ini tidak dapat dilaksanakan didalam

Page 53: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

masyarakat yang komplek dan Negara yang besar. demokrasi murni

yang masih bisa diambil contoh terdapat diwilayah Switzerland.

Mengubah bentuk demokrasi murni ini masih berlaku di

Switzerland dan beberapa Negara yang didalamnya terdapat bentuk

referendum dan inisiatip. Dibeberapa Negara sangat memungkinkan

bagi rakyat untuk memulai dan mengadopsi hukum, bahkan untuk

mengamandemengkan konstitusional dan menetapkan permasalahan

public politik secara langsung tampa campur tangan representative.

Demokrasi bersifat refresentatif/revresentative demokratis

Didalam Negara yang besar dan modern demokrasi tidak bisa

berjalan sukses. Oleh karena itu, untuk menanggulangi masalah ini

diperlukan sistem demokrasi secara representatip. Para representatip

inilah yang akan menjalankan atau menyampaikan semua aspirasi

rakyat didalam pertemuan. Dimana mereka dipilih oleh rakyat dan

berkemungkinan berpihak kepada rakyat. (Garner).

Sistem ini berbasis atas ide, dimana rakyat tidak secara

langsung hadir dalam menyampaikan aspirasi mereka, namun mereka

menyampaikan atau menyarankan saran mereka melaui wakil atau

representatip. Bagaimanapun, didalam bentuk pemerintahan ini

wewenang disangka benar terletak ditangan rakyat, akan tetapi

semuanya dipraktekkan oleh para representatif.

Page 54: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Menurut dasar prinsip ideologi, demokrasi dibedakan atas :

Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal)

Demokrasi Rakyat (Demokrasi Proletar)

Menurut dasar yang menjadi titik perhatian atau prioritasnya,

demokrasi dibedakan atas :

Demokrasi Formal

Demokrasi Material

Demokrasi Campuran

Menurut dasar wewenang dan hubungan antara alat kelengkapan

negara, demokrasi dibedakan atas :

Demokrasi Sistem Parlementer

Demokrasi Sistem Presidensial

3. Prinsip-Prinsip Demokrasi

Inu Kencana Syafiie merinci prinsip-prinsip demokrasi sebagai

berikut, yaitu ; adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum

yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu,

peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang

berdasarkan hukum, pers yang bebas, beberapa partai politik,

konsensus, persetujuan, pemerintahan yang konstitusional,

Page 55: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan terhadap

administrasi negara, perlindungan hak asasi, pemerintah yang

mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik,

kebebasan kebijaksanaan negara, dan adanya pemerintah yang

mengutamakan musyawarah.

Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebutkan di atas

kemudian dituangkan ke dalam konsep yang lebih praktis sehingga

dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan

parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi yang

berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat

aspek.Pertama, masalah pembentukan negara. Proses pembentukan

kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak, dan

pola hubungan yang akan terbangun. Pemilihan umum dipercaya

sebagai salah satu instrumen penting yang dapat mendukung proses

pembentukan pemerintahan yang baik. Kedua, dasar kekuasaan

negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta

pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Ketiga, susunan

kekuasaan negara. Kekuasaan negara hendaknya dijalankan secara

distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan

kekuasaan dalam satu tangan..Keempat, masalah kontrol rakyat.

Kontrol masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil oleh

pemerintah atau negara sesuai dengan keinginan rakyat.

4. Ciri-Ciri Pemerintahan Demokratis

Page 56: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

a. Pemerintahan berdasarkan kehendak dan kepentingan

rakyat banyak, dengan ciri-ciri tambahan:

* konstitusional, yaitu bahwa prinsip-prinsip kekuasaan,

kehendak dan kepentingan rakyat diatur dan ditetapkan dalam

konstitusi;

* perwakilan, yaitu bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat

diwakilkan kepada beberapa orang;

* pemilihan umum, yaitu kegiatan politik untuk memilih

anggota-anggota parlemen;

* kepartaian, yaitu bahwa partai politik adalah media atau

sarana antara dalam praktik pelaksanaan demokrasi;

b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, misalnya

pembagian/ pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan

yudikatif.

c. Adanya tanggung jawab dari pelaksana kegiatan

pemerintahan.

Macam-macam demokrasi:

1) Demokrasi ditinjau dari cara penyaluran kehendak rakyat:

Page 57: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

a) Demokrasi langsung

Dipraktikkan di negara-negara kota (polis, city state) pada

zaman Yunani Kuno. Pada masa itu, seluruh rakyat dapat

menyampaikan aspirasi dan pandangannya secara langsung.

Dengan demikian, pemerintah dapat mengetahui - secara

langsung pula - aspirasi dan persoalan-persoalan yang

sebenarnya dihadapi masyarakat. Tetapi dalam zaman

modern, demokrasi langsung sulit dilaksanakan karena:

* sulitnya mencari tempat yang dapat menampung seluruh

rakyat sekaligus dalam membicarakan suatu urusan;

* tidak setiap orang memahami persoalan-persoalan negara

yang semakin rumit dan kompleks;

* musyawarah tidak akan efektif, sehingga sulit menghasilkan

keputusan yang baik.

b) Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan

Sistem demokrasi (menggantikan demokrasi langsung)

yang dalam menyalurkan kehendaknya, rakyat memilih

wakil-wakil mereka untuk duduk dalam parlemen. Aspirasi

rakyat disampaikan melalui wakil-wakil mereka dalam

parlemen. Tipe demokrasi perwakilan berlainan menurut

konstitusi negara masing-masing.

Sistem pemilihan ada dua macam, yaitu: pemilihan secara

Page 58: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

langsung dan pemilihan bertingkat. Pada pemilihan secara

langsung, setiap warga negara yang berhak secara langsung

memilih orang-orang yang akan duduk di parlemen.

Sedangkan pada pemilihan bertingkat, yang dipilih rakyat

adalah orang-orang di lingkungan mereka sendiri, kemudian

orang-orang yang terpilih itu memilih anggota-anggota

parlemen.

c. Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum

Dalam sistem demokrasi ini rakyat memilih para wakil

mereka untuk duduk di parlemen, tetapi parlemen tetap

dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan sistem referendum

(pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara

langsung). Sistem ini digunakan di salah satu negara bagian

Swiss yang disebut Kanton.

2) Demokrasi ditinjau dari titik berat perhatiannya:

a) Demokrasi Formal (Demokrasi Liberal)

Demokrasi formal menjunjung tinggi persamaan dalam

bidang politik tanpa disertai upaya untuk mengurangi atau

menghilangkan kesenjangan rakyat dalam bidang ekonomi.

Page 59: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Dalam sistem demokrasi yang demikian, semua orang

dianggap memiliki derajat dan hak yang sama. Namun karena

kesamaan itu, penerapan azas free fight competition

(persaingan bebas) dalam bidang ekonomi menyebabkan

kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin kian

lebar. Kepentingan umum pun diabaikan.

Demokrasi formal/ liberal sering pula disebut demokrasi

Barat karena pada umumnya dipraktikkan oleh negara-negara

Barat. Kaum komunis bahkan menyebutnya demokrasi

kapitalis karena dalam pelaksanaannya kaum kapitalis selalu

dimenangkan oleh pengaruh uang (money politics) yang

menguasai opini masyarakat (public opinion).

b) Demokrasi Material (Demokrasi Rakyat)

Demokrasi material menitikberatkan upaya-upaya

menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi sehingga

persamaan dalam persamaan hak dalam bidang politik kurang

diperhatikan, bahkan mudah dihilangkan. Untuk mengurangi

perbedaan dalam bidang ekonomi, partai penguasa (sebagai

representasi kekuasaan negara) akan menjadikan segala

sesuatu sebagai milik negara. Hak milik pribadi tidak diakui.

Maka, demi persamaan dalam bidang ekonomi, kebebasan

dan hak-hak azasi manusia di bidang politik diabaikan.

Page 60: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Demokrasi material menimbulkan perkosaan rohani dan

spiritual.

Demokrasi ini sering disebut demokrasi Timur, karena

berkembang di negara-negara sosialis/ komunis di Timur,

seperti Rusia, Cekoslowakia, Polandia dan Hongaria dengan

ciri-ciri:

1. sistem satu (mono) partai, yaitu partai komunis (di Rusia);

2. sistem otoriter, yaitu otoritas penguasa dapat dipaksakan

kepada rakyat;

3. sistem perangkapan pimpinan, yaitu pemimpin partai

merangkap sebagai pemimpin negara/ pemerintahan;

4. sistem pemusatan kekuasaan di tangan penguasa tertinggi

dalam negara.

c) Demokrasi Gabungan

Demokrasi ini mengambil kebaikan dan membuang

keburukan demokrasi formal dan material. Persamaan derajat

dan hak setiap orang tetap diakui, tetapi diperlukan

pembatasan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat.

Pelaksanaan demokrasi ini bergantung pada ideologi negara

masing-masing sejauh tidak secara jelas kecenderungannya

Page 61: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

kepada demokrasi liberal atau demokrasi rakyat

.

3) Demokrasi ditinjau dari hubungan antaralat perlengkapan

negara:

a) Demokrasi perwakilan dengan sistem parlementer

Demokrasi sistem parlementer semula lahir di Inggris pada

abad XVIII dan dipergunakan pula di negara-negara Belanda,

Belgia, Prancis, dan Indonesia (pada masa UUDS 1950)

dengan pelaksanaan yang bervariasi, sesuai dengan konstitusi

negara masing-masing.

Negara-negara Barat banyak menggunakan demokrasi

parlementer sesuai dengan masyarakatnya yang cenderung

liberal. Ciri khas demokrasi ini adalah adanya hubungan yang

erat antara badan eksekutif dengan badan perwakilan rakyat

atau legislatif. Para menteri yang menjalankan kekuasaan

eksekutif diangkat atas usul suara terbanyak dalam sidang

parlemen. Mereka wajib menjalankan tugas penyelenggaraan

negara sesuai dengan pedoman atau program kerja yang telah

disetujui oleh parlemen. Selama penyelenggaraan negara oleh

eksekutif disetujui dan didukung oleh parlemen, maka

kedudukan eksekutif akan stabil. Penyimpangan oleh seorang

menteri pun dapat menyebabkan parlemen mengajukan mosi

tidak percaya yang menggoyahkan kedudukan eksekutif.

Page 62: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Demokrasi parlementer lebih cocok diterapkan di negara-

negara yang menganut sistem dwipartai: partai mayoritas

akan menjadi partai pendukung pemerintah dan partai

minoritas menjadi oposisi.

Dalam demokrasi parlementer, terdapat pembagian kekuasaan

(distribution of powers) antara badan eksekutif dengan badan

legislatif dan kerja sama di antara keduanya. Sedangkan

badan yudikatif menjalankan kekuasaan peradilan secara

bebas, tanpa campur tangan dari badan eksekutif maupun

legislatif.

Kebaikan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:

1. pengaruh rakyat terhadap politik yang dijalankan

pemerintah sangat besar;

2. pengawasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah dapat

berjalan dengan baik;

3. kebijakan politik pemerintah yang dianggap salah oleh

rakyat dapat sekaligus dimintakan pertanggungjawabannya

oleh parlemen kepada kabinet;

4. mudah mencapai kesesuaian pendapat antara badan

eksekutif dan badan legislatif;

Page 63: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

5. menteri-menteri yang diangkat merupakan kehendak dari

suara terbanyak di parlemen sehingga secara tidak langsung

merupakan kehendak rakyat pula;

6. menteri-menteri akan lebih berhati-hati dalam menjalankan

tugas karena setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen

7. pemerintah yang dianggap tidak mampu mudah dijatuhkan

dan diganti dengan pemerintah baru yang dianggap sanggup

menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan keinginan

rakyat.

Keburukan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:

1. kedudukan badan eksekutif tidak stabil, karena dapat

diberhentikan setiap saat oleh parlemen melalui mosi tidak

percaya;

2. sering terjadi pergantian kabinet, sehingga kebijakan politik

negara pun labil;

3. karena pergantian eksekutif yang mendadak, eksekutif

tidak dapat menyelesaikan program kerja yang telah

disusunnya.

4. Demokrasi perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan

Page 64: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Demokrasi ini berpangkal pada teori pemisahan kekuasaan

yang dikemukakan oleh para filsuf bidang politik dan hukum.

Pelopornya adalah John Locke (1632-1704) dari Inggris, yang

membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bidang, yaitu

eksekutif, legislatif dan federatif. Untuk menghindari

terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, ketiga bidang itu harus

dipisahkan. Charles Secondat Baron de Labrede et de

Montesquieu (1688-1755) asal Prancis, memodifikasi teori

Locke itu dalam teori yang disebut Trias Politica pada

bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois. Menurut

Montesquieu, kekuasaan negara dibagi menjadi: legislatif

(kekuasaan membuat undang-undang), eksekutif (kekuasaan

melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (kekuasaan

mengatasi pelanggaran dan menyelesaikan perselisihan

antarlembaga yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-

undang). Ketiga cabang kekuasaan itu harus dipisahkan - baik

organ/ lembaganya maupun fungsinya.

Teori Montesquieu disebut teori pemisahan kekuasaan

(separation du puvoir) dan dijalankan hampir sepenuhnya di

Amerika Serikat. Di negara itu, kekuasaan legislatif dipegang

oleh Kongres, kekuasaan eksekutif oleh Presiden dan

kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga badan

tersebut berdiri terpisah dari yang lainnya untuk menjaga

keseimbangan dan mencegah jangan sampai kekuasaan salah

satu badan menjadi terlampau besar. Kesederajatan itu

menjadikan ketiganya dapat berperan saling mengawasi

Page 65: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

(check and balance).

Kebaikan demokrasi perwakilan bersistem pemisahan

kekuasaan:

1.pemerintah selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan

oleh parlemen, sehingga pemerintahan dapat berlangsung

relatif stabil;

2.pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk

melaksanakan programnya tanpa terganggu oleh adanya krisis

kabinet;

3.sistem check and balance dapat menghindari pertumbuhan

kekuasaan yang terlampau besar pada setiap badan;

4.mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut (terpusat pada

satu orang).

Keburukan demokrasi perwakilan bersistem pemisahan

kekuasaan:

1.pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang

berpengaruh;

2. pengaruh rakyat terhadap kebijakan politik negara kurang

mendapat perhatian;

Page 66: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

3. pada umumnya keputusan yang diambil merupakan hasil

negosiasi antara badan legislatif dan eksekutif sehingga

keputusan tidak tegas;

4. proses pengambilan keputusan memakan waktu yang lama.

3) Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum

Demokrasi ini merupakan gabungan antara demokrasi

perwakilan dengan demokrasi langsung. Dalam negara yang

menganut demokrasi ini parlemen tetap ada, tetapi kinerjanya

dikontrol secara langsung oleh rakyat melalui referendum.

Jadi, ciri khas demokrasi perwakilan dengan sistem

referendum adalah bahwa tugas-tugas legislatif selalu berada

di bawah pengawasan seluruh rakyat karena dalam hal-hal

tertentu, keputusan parlemen tidak dapat diberlakukan tanpa

persetujuan rakyat. Sedangkan mengenai hal lain, keputusan

parlemen dapat langsung diberlakukan sepanjang rakyat

menerimanya.

Ada dua macam referendum, yaitu referendum obligator dan

referendum fakultatif. Referendum obligator adalah

pemungutan suara rakyat yang wajib dilaksanakan mengenai

suatu rencana konstitusional. Referendum ini bersifat wajib

karena menyangkut masalah penting, misalnya tentang

perubahan konstitusi. Perubahan konstitusi tidak dapat

dilakukan tanpa persetujuan rakyat. Sedangkan referendum

Page 67: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

fakultatif merupakan pemungutan suara rakyat yang tidak

bersifat wajib dilakukan mengenai suatu rencana

konstitusional. Referendum fakultatif baru perlu dilakukan

apabila dalam waktu tertentu setelah undang-undang

diumumkan pemberlakuannya, sejumlah rakyat meminta

diadakan referendum.

Kebaikan demokrasi perwakilan dengan sistem referendum:

1. apabila terjadi pertentangan antara badan organisasi negara,

maka persoalan itu dapat diserahkan keputusannya kepada

rakyat tanpa melalui partai;

2. adanya kebebasan anggota parlemen dalam menentukan

pilihannya, sehingga pendapatnya tidak harus sama dengan

pendapat partai/ golongannya.

Keburukan demokrasi perwakilan dengan sistem referendum:

1. pembuatan undang-undang/ peraturan relatif lebih lambat

dan sulit;

2. pada umumnya rakyat kebanyakan tidak berpengetahuan

cukup untuk menilai atau menguji kualitas produk undang-

undang.

Page 68: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

5. Sejarah Demokrasi

Dalam sejarah awal perkembangannya demokrasi juga

memakan korban. Socrates, filsuf terkemuka negara Yunani

kuno, sangat kritis membela pemikiran-pemikirannya, yaitu

agar kaum muda tidak mempercayai para dewa dan mengajari

mereka untuk mencapai kebijaksanaan sejati dengan berani

bersikap mencintai kebenaran sehingga terhindar dari

kedangkalan berpikir.

Para penguasa dan masyarakat Yunani kuno saat itu

menganggap semua kebenaran itu relatif, mereka kaum sofis.

Kebenaran relatif ala kaum sofis, contohnya, menurut mereka

keberadaan para dewa adalah relatif, bisa berganti-ganti

menurut ciptaan manusia. Ditentukan oleh keadaan

masyarakat bukan oleh kebenaran wahyu. Agama dan faham

tentang wujud Tuhan adalah relatif, begini boleh begitu

boleh. 

Orang yang bertani meyakini bahwa segenap usaha untuk

mencari makan tergantung kepada sesuatu hal yang gaib.

Untuk memohon turun hujan, misalnya, dari mana hujan

harus diminta? Mereka punya sawah, ladang yang ditanami

padi, jagung, yang akan mati jika tidak turun hujan. Mereka

lalu berkata, “Kepada yang ghaib kita memohon agar

Page 69: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

diturunkan hujan!” Begitu pula jika padi telah hamper tua,

mereka mohon padinya agar cepat kering jangan ada hujan.

Merekapun memohon hujan dihentikan oleh yang ghaib.

Tatkala manusia hidup di hutan rimba, di bawah pohon-pohon

dan gua-gua mereka mengira bahwa Tuhan berupa pohon,

petir, atau sungai. Setelah hidup bercocok tanam dan beternak

mereka menyembah binatang atau ciptaan lainnya yang

disebut sebagai dewa atau Tuhan mereka.

Dan ketika manusia masuk ke alam industrialisme, banyak

yang tidak mengakui Tuhan lagi. Tuhan sudah tidak

dibutuhkan lagi. Karena misalnya kalau mereka perlu listrik

tidak perlu memohon kepada yang gaib, tinggal pijit knop

saja. Ingin tenaga tinggal nyalakan mesin, mesin itu menjadi

tenaga penggerak. Di tangannya mereka menggenggam

kepastian.

Ada kisah empat orang buta yang belum pernah tahu bentuk

gajah. Datanglah kepada mereka seorang kawan yang

menunjukkan kepada mereka rupa gajah itu. Si buta pertama

disuruh maju dia meraba dan mendapat belalainya. Dia

berkata, “Oh ternyata gajah itu seperti ular besar yang bisa

dibengkokkan. Si buta kedua mendapat ekor gajah. Dia

berkata, “Oh gajah itu seperti cambuk. Si buta ketiga

mendapat kakinya. Dia berkata, “Oh rupanya gajah itu seperti

pohon kelapa. Si buta ke empat karena cebol ia tidak bisa

Page 70: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

memegang apa-apa. Dia pun berkata, “Oh ternyata gajah itu

seperti hawa.”

Socrates sangat meyakini adanya kebenaran mutlak, maka

para penguasa Athena menganggap Socrates sebagai oposan.

Mereka menganggap Socrates menyesatkan dan meracuni

kaum muda dengan ajaran-ajarannya.Socrates menemukan

argumen untuk membela diri, yaitu dengan metode induksi

(penyimpulan dari khusus ke umum). Dengan metode induksi

ini ia menentukan pengertian umum yang berhasil

membuktikan bahwa tidak semua kebenaran itu relatif.

Tetapi para penguasa Athena membuat keputusan secara

demokratis bahwa Socrates bersalah dan harus dijatuhi

hukuman mati. Meski dibujuk untuk melarikan diri, Socrates

tetap menerima vonis matinya. Eksekusi dilangsungkan

dengan Socrates memilih minum racun, sekitar tahun 399

sebelum Masehi pada saat ia berumur 70 tahun. Tubuhnya

mati oleh racun itu, tapi pemikiran-pemikirannya masih hidup

hingga saat ini.

Setelah Socrates wafat, Plato, Aristoteles,  dan filsuf-filsuf

selanjutnya kehilangan kepercayaan kepada demokrasi yang

memenangkan dogma orang awam. Para penguasa dengan

culas telah memanipulasi demokrasi demi keberlanjutan

kekuasaan mereka, sehingga dogma-dogma orang awam bisa

mereka wakili tanpa harus mengacu kepada subtansi dan

Page 71: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

kebenaran dogma-dogma itu. Kemudian Plato, murid dan

sahabat Socrates bangkit menentang membludaknya arus

relativisme.

Ia memperkuat argument Socrates dengan temuan pikirannya,

yaitu “alam ide”. Menurut Plato kebenaran mutlak sudah ada

dalam ide sebagai realitas sebenarnya. Manusia memiliki ide

tentang segala sesuatu sejak ia dilahirkan. Itulah yang disebut

innead idea (ide bawaan), termasuk ide manusia tentang

“Sang Baik” yang menjadi realitas tertinggi, yang dimaksud

Plato sebagai Tuhan.

Contoh ide manusia sebagai penentuan kebenaran mutlak,

manusia puny aide tentang kucing (kebenaran umum), tetapi

ada yang lebih spesifik lagi yang menentukan bahwa

kucingnya hitam, maka kebenaran itu sudah bersifat khusus.

Ide mengenai kucing merupakan kebenaran objektif, dan

kucing hitam adalah bentuk dari kekhususan yang bersifat

objektif (umum).

Filsafat dilanjutkan oleh Aristoteles, murid dan sahabat Plato.

Seorang yang mendapat pendidikan sebelum menjadi filosof,

maka dari itu ia berpikir lebih saintifik dibanding dua filsuf

sebelumnya. Di antara cirri filsafat Aristoteles adalah

sistematis dan dipengaruhi metode empiris. Oleh sebab itu

Aristoteles lebih  mementingkan observasi. Ia juga

menampilkan logika yang menuju ke generalisasi sebagai

Page 72: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

pengembangan dari induksi Socrates, sehingga relativisme

semakin tumbang oleh kebenaran mutlak.

Salah satu teori metafisika Aristoteles yang penting adalah

bahwa matter (benda) dan form (bentuk) itu bersatu. Matter

sebagai subtansi, sedangkan form adalah pembungkusnya.

Setiap objek terdiri dari matter dan form. Matter itu potensial,

dan form itu aktualitas. Namun, ada subtansi murni tanpa

matter, ialah Tuhan. Hal ini dibuktikannya dengan adanya

gerak, pasti ada yang menyebabkan sesuatu bergerak.

Baginya Tuhan itu “Sang Penggerak Pertama”.

Pada  zaman Romawi sampai dengan abad pertengahan (abad

XV) pelaksanaan demokrasi memngalami kemunduran karena

berkembang praktek-praktek tirani dan diktator. Tetapi,

sejalan dengan waktu, arti demokrasi modern telah berevolusi

pada awal abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan

system demokrasi di banyak negara.

Sejak zaman Renaissance (abad ke-19) ajaran demokrasi

semakin berkembang dengan pertimbangan bahwa rakyat

tidak senang dengan praktek-praktek sewenang-wenang para

penguasa, rakyat menuntut persamaan hak dalam bidang

politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dan pemahaman yang

lebih baik terhadap konsep-konsep atau teori-teori demokrasi

yang mengarah kepada prinsip-prinsip kemerdekaan dan hak

Page 73: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

azasi manusia.

Saat ini konsep demokrasi merupakan kata kunci dalam

bidang politik, dan menjadi indicator perkembangan politik

suatu negara. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme

sistem pemerintahan suatu negara sebagai usaha mewujudkan

kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara

untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Menurut

Hans Kelsen, pada dasarnya demokrasi itu adalah

pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang

membagi tiga kekuasaan politik negara untuk mewujudkan

lembaga-lembaga pemerintah yang berwenang  melaksanakan

kewenangan eksekutif (lembaga eksekutif), lembaga-lembaga

pengadilan yang berwenang menjalankan kewenangan

yudikatif (lembaga yudikatif), dan lembaga-lembaga

perwakilan rakyat (di Indonesia DPR) yang berwenang

menyelenggarakan kekuasaan legislative (lembaga legislatif).

Di mana ketiga lembaga negara ini saling lepas (independen)

dan sejajar satu sama lain, agar bisa saling mengawasi

berdasarkan prinsip checks and balances.

Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh rakyat,

atau oleh wakil rakyat yang wajib bekerja dan bertindak

sesuai aspirasi rakyat yang diwakilinya (konstituen) yang

memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain

Page 74: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

sesuai hukum dan peraturan. Selain itu, banyak keputusan

atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu

negara juga diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan

umum hanya bisa diikuti oleh warga negara yang berhak dan

secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Banyak negara

demokrasi hanya memberi hak pilih kepada rakyat yang telah

melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun ke atas, dan

yang tak memiliki catatan kriminal seperti narapidana atau

eks narapidana.

Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini bukan hanya

kedaulatan memilih anggota-anggota parlemen atau presiden

secara langsung, tetapi dalam arti lebih luas. Pemilihan

presiden dan anggota-anggota parlemen secara langsung,

hanya sedikit dari sekian banyak praktek kedaulatan rakyat,

tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi.

Walaupun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar,

suatu pemilihan umum sering disebut pesta demokrasi.

Ini akibat cara berpikir sebagian rakyat yang masih selalu

mendewakan tokoh idola sebagai tokoh impian ratu adil,

bukan sistem pemerintahan yang bagus. Padahal sebaik

apapun seorang pemimpin negara, masa hidupnya jauh lebih

singkat dari masa hidup suatu sistem yang telah teruji mampu

membangun negara.

Posisi vital demokrasi dalam kaitan pembagian kekuasaan

Page 75: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

dalam negara (prinsip trias politica) yang diperoleh dari

rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat. Prinsip trias politica sangat penting

diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat bahwa

kekuasaan absolute pemerintah (eksekutif) tak mampu

membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan sering

menimbulkan pelanggaran terhadap hak azasi manusia.

Begitu juga dengan kekuasaan berlebihan di lelmbaga negara

lain, misalnya lembaga legislatif yang menentukan angggaran

sendiri untuk gaji dan tunjangan-tunjangan anggotanya tanpa

mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan

bagi rakyat.

Setiap lembaga negara harus accountable dan ada mekanisme

formal yang menunjukkan akuntabilitas dari setiap lembaga

negara, serta mampu secara operasional (bukan hanya secara

teori), membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.Di

negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi

bersifat tidak langsung, berdasarkan perwakilan

(representative democracy).

C. PEMILU SEBAGAI SARANA DEMOKRASI

Pemilu (Pemilihan Umum) sering disebut sebagai pesta

Demokrasi yang dilakukan sebuah Negara. Melalui Pemilu, rakyat

memunculkan para calon pemimpin dan menyaring calon-calon

Page 76: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

tersebut berdasarkan nilai yang berlaku. Keikutsertaan rakyat dalam

Pemilu, dapat dipandang juga sebagai wujud partisipasi dalam proses

Pemerintahan, sebab melalui lembaga masyarakat ikut menentukan

kebijaksanaan dasar yang akan dilaksanakan pemimpin terpilih.

Dalam sebuah Negara yang menganut paham Demokrasi, Pemilu

menjadi kunci terciptanya demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa

diikuti Pemilu. Pemilu merupakan wujud yang paling nyata dari

demokrasi.

Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik

adalah Pemilihan Umum. Demokrasi sebuah bangsa hampir tidak

terpahamkan tanpa Pemilu. Sehingga setiap pemerintahan suatu

Negara yang hendak menyelenggarakan pemilu selalu menginginkan

pelaksanaanya benar-benar mencerminkan proses demokrasi. Pemilu

merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut serta menentukan figure dan

arah kepemimpinan Negara dalam periode waktu tertentu.

Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan

Negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi

penyelenggaraan pemilu. Pemilu yang teratur dan berkesinambungan

saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-

benar menedekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan saran

legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa betapapun

otoriternya pasati membutuhkan dukungan rakyat secara formal

untuk melegitimasi kekuasaanya.

Maka selain teratur dan berkesinambungan, masalah system atau

mekanisme dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang

Page 77: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

harus diperhatikan.

Hakikat Pemilihan Umum dan Demokrasi

Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai

Pemilihan Umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan

sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga

pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat,

oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam

praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi sarana utama

bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatan rakyat atas Negara dan

Pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut dapat diwujudkan

dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukab siapa-siapa

saja yang harus menjalankan dan di sisi lain mengawasi

pemerintahan Negara. Karena itu, fungsi utama bagi rakyat adalah

“untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil

mereka”.

Hakikat Demokrasi

Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani kuno yang diutarakan di

Athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata “demokrasi” berasal dari dua

kata yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti

pemerintahan. Sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat

atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat

dan untuk rakyat. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan

dengan waktu dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,

Page 78: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

bersamaan dengan perkembangan system “demokrasi” di berbagai

Negara.

Menurut Jeff Hayness (2000) membagi pemberlakuan demokrasi

ke dalam tiga model berdasarkan penerapannya, yaitu :

1. Demokrasi formal, ditandai dengan adanya kesempatan untuk

memilih pemerintahannya denga interval yang teratur dan ada aturan

yang mengatur pemilu. Peran pemerintah adalah mengatur pemilu

dengan memperhatikan proses hukumnya.

2. Demokrasi permukaan (fade) merupakan gejala yang umum di

dunia ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi, tetapi sama sekali

tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diadakan sekadar para os

inglesses ver artinya “supaya dilihat oleh orang inggris”. Hasilnya

adalah demokrasi dengan intensitas rendah yang dalam banyak hal

tidak jauh dari sekadar polesan pernis demokrasi yang melapisi

struktur politik.

3. Demokrasi substantive menempati ranking paling tinggi dalam

penerapan demokrasi. Demokrasi substantive memberi tempat

kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda,

golongan minoritas keagamaan dan etnik untuk dapat benar-benar

menempatkan kepentingannya dalam agenda politik suatu Negara.

Dengan kata lain, demokrasi substantive menjalankan dengan

sungguh-sungguh agenda kerakyatan bukan sekadar agenda demorasi

atau agenda politik partai semata.

Persoalan utama dalam Negara yang tengah melalui proses

Page 79: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

transisi menuju demokrasi seperti Indonesia saat ini adalah

pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku

pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa

berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang

harus diatasi adalah merubah lemabaga feodalistik (perilaku yang

terpola feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang

berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan

yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan

mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan

kesejahteraan. Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hokum

dan perundang-undangan dan perangkat structural yang akan terus

mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi

pandangan hidup.

Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang

sesungguhnya baru dapat dicapai saat individu terlindungi hak-

haknya bahkan dibantu oleh Negara untuk dapat teraktualisasikan,

saat setiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan

norma dan hukum yang berlaku. Ketiga jenis lembaga-lembaga

Negara tersebut (eksekutif, yudikatif, dan legislative) adalah

lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk

mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-

lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan

yudikatif dan lemabag-lembaga perwakilan rakyat (DPR untuk

Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan

legislatif.

Page 80: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Pemilihan Umum

Pemilihan umum dalam sebuah Negara yang demokratis menjadi

kebutuhan yang tidak terelakan. Melalui pemilihan umum, rakyat

yang berdaulat memilih wakil-wakilnya yang diharapakan dapat

memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya dalam suatu

pemerintahan yang berkuasa. Pemerintahan yang berkuasa sendiri

merupakan hasil dari pilihan maupun bentukan para wakil rakyat tadi

untuk menjalankan kekuasaan Negara.tugas para wakil pemerintahan

yang berkuasa adalah melakukan control atau pengawasan terhadap

pemerintah tersebut. Dengan demikian, melalui pemilihan umum

rakyat akan dapat selalu terlibat dalam proses politik dan secara

langsung maupun tidak langsung menyatakan kedaulatan atas

kekuasaan Negara dan pemerintah melalui para wakil-wakilnya.

Dalam tatanan demokrasi, Pemilu juga menjadi mekanisme atau

cara untuk memindahkan konflik kepentingan dari tataran masyarakat

ke tataran badan perwakilan agar dapat diselesaikan secara damai dan

adil sehingga kesatuan masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan

pada prinsip bahwa dalam system demokrasi segala perbedaan atau

pertentangan kepentingan di masyarakat tidak boleh diselesaikan

cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan melalui

musyawarah (deliberation). Terdapat dalam Qs:Asy-syura:38:

”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-

nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)

dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan

sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”.

Page 81: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Untuk mewujudkan Pemilu yang LUBER dan JURDIL

dibutuhkan persyaratan minimal, diantaranya :

1. Peraturan perundangan yang mengatur Pemilu harus tidak

membuka peluang terjadinya tindak kecurangan maupun

menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu.

2. Peraturan pelaksanaan pemilu yang memuat petunjuk teknis dan

petunjuk pelaksanaan pemilu harus tidak membuka peluang bagi

terjadinya tindak kecurangan maupun menguntungkan satu atau

beberapa pihak tertentu.

3. Badan/lembaga penyelenggara pemilu harus bersifat mandiri dan

independent, bebas dari campur tangan pemerintah atau partai politik

peserta pemilu baik dalam hal kebijakan maupun operasionalnya

serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya tidak diragukan.

4. Panitia pemilu di tingkat Nasional maupun daerah harus bersifat

mandiri dan independent,bebas dari campur tangan pemerintah atau

partai politik peserta pemilu baik dalam hal kebijakan maupun

operasionalnya serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya

tidak diragukan. Keterlibatan aparat pemerintahan dalam kepanitiaan

pmilu sebatas pada dukungan teknis operasional dan hanya bersifat

administratif.

5. Partai politik peserta pemilu memiliki kesiapan yang memadai

untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Khususnya yang

berkaitan dengan kepanitiaan pemilu serta kemampuan

mempersiapkan saksi-saksi ditempat-tempat pemungutan suara.

Page 82: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

Hubungan Pemilu dengan Sistem Demokrasi

Pemilu memang bukanlah segala-segalanya menyangkut

demokrasi. Pemilu adalah sarana pelaksanaan asas demokrasi (sarana

bagi penjelmaan rakyat menjadi MPR) dan sendi-sendi demokrasi

bukan hanya terletak pada pemilu, tetapi bagaimana pun pemilu

memiliki arti yang sangat penting dalam proses demokrasi dalam

dinamika ketatanegaraan.

Dan yang tidak boleh kita lupakan pemilu adalah peristiwa

perhelatan rakyat yang paling akbar yang hanya terjadi lima tahun

dan hanya pemilulah rakyat secara langsung tanpa kecuali benar-

benar menunjukkan eksistensinya sebagai pemegang kedaulatan

dalam Negara berdasarkan itulah agaknya tidak berlebihan bila

ditegaskan bahwa pemilu sebagai wujud paling nyata dari demokrasi.

Masalah Kontemporer

Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia belum dapat berjalan

maksimal karena pada kenyataannya lebih banyak rakyat untuk

memilih gol put (abstain) dalam proses pemilihan pemimpin di

Indonesia.

Menurut sumber yang kami peroleh, ada yang menyatakan,

“Sebenarnya sistem Demokrasi tidak salah tetapi pelaksanaannya

belum maksimal di karenakan banyak pihak yang tidak sepadan

dengan system ini, mereka melakukan gol put (abstain) itu adalah

salah satu cara mereka mempergunakan hak Demokrasi yang di

berikan Pemerintah kepada seluruh warga Indonesia. Salah jika orang

Page 83: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi

menganggap ini adalah sebuah kegagalan dalam sistem Demokrasi.”

Page 84: Bab II Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi