BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN · 2017. 10. 5. · 11 BAB II PANDANGAN...

32
11 BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan hampir semua hal yang menyangkut tingkah laku manusia ditentukan oleh budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa antara manusia dan budaya tidak dapat dipisahkan. Dalam berbudaya itu manusia tidak sendiri tetapi bersama-sama dengan orang lain, tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan begitu pula tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Kebudayaan merupakan seluruh hasil kreativitas manusia yang sangat kompleks. A. Kebudayaan Secara etimologis istilah kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta budddhayah merupakan bentuk jamak dari kata budhi (akal) artinya bahwa kebudayaan berarti hasil karya akal budi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 1 Menurut E.B. Tylorkebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota komunitas. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganic, karena kebudayaan yang berturun temurun 1 Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya.(Salatiga: Widya Sari Press, 2005), 10

Transcript of BAB II PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN YANG PROFAN · 2017. 10. 5. · 11 BAB II PANDANGAN...

11

BAB II

PANDANGAN TENTANG YANG SKARAL DAN

YANG PROFAN

Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan hampir semua hal yang

menyangkut tingkah laku manusia ditentukan oleh budaya. Tidak dapat dipungkiri

bahwa antara manusia dan budaya tidak dapat dipisahkan. Dalam berbudaya itu

manusia tidak sendiri tetapi bersama-sama dengan orang lain, tidak ada

masyarakat tanpa kebudayaan begitu pula tidak ada kebudayaan tanpa

masyarakat. Kebudayaan merupakan seluruh hasil kreativitas manusia yang sangat

kompleks.

A. Kebudayaan

Secara etimologis istilah kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta

budddhayah merupakan bentuk jamak dari kata budhi (akal) artinya bahwa

kebudayaan berarti hasil karya akal budi manusia untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya.1

Menurut E.B. Tylorkebudayaan adalah kompleks yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan

kemampuan-kemampuan serta kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia

sebagai anggota komunitas. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan

sebagai sesuatu yang superorganic, karena kebudayaan yang berturun temurun

1 Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya.(Salatiga: Widya Sari Press, 2005), 10

12

dari generasi ke generasi tetap hidup meskipun orang-orang yang menjadi anggota

masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan karena kematian dan kelahiran.2

Sementara itu, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan adalah budi

daya manusia dalam hidup bermasyarakat.3

Dalam Kebudayaan terdapat unsur-unsur kebudayaan seperti yang

dikatakan oleh Tri Widiarto dalam bukunya yang berjudul “Pengantar

Antropologi Budaya”4 dalam hal ini memiliki setiap unsur memiliki hubungan

satu dengan yang lain. Di situ dijelaskan tiga unsur : 1) Cipta, yakni kemampuan

akal pikiran yang menimbulkan pengetahuan dan teknologi. Manusia selalu

memiliki kenginginan untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan kehidupan.

Dengan akal, pikiran dan nalar (ratio) manusia selalu mencari, menyelidiki dan

menemukan sesuatu yang baru, serta mampu menciptakan karya-karya besar; 2)

Rasa, dengan panca inderanya menusia mengembangkan rasa keindahan atau

seketika dan melahirkan karya-karya kesenian; 3) Karsa atau kehendak, dengan

ini manusia selalu menghendaki untuk menyempurnakan hidupnya, merindukan

kemuliaan hidup, mencari kesusilaan, budi pekerti luhur dan selalu mencari

perlindungan dari sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian

kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang

dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya

dengan belajar.

2 Di kutip oleh Soerjono Soekanto dalam Sosiologi Suatu Pengantar,. (Jakarta PT. Raja

Gravindo persada, cet 23, 1996), 187-888.

3 Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya. (Salatiga: Wisdya Sari Press, 2005), 12

4Ibid., 12

13

B. Mayarakat

Istilah masyarakat berasal dari kata musyarak yang berasal dari bahasa

Arab yang memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa

Inggris disebut society yang artinya sekelompok orang yang membentuk

sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi

adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Mereka

mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas.5

Dengan mendasarkan pada pandangan Comte yang melihat masyarakat

sebagai suatu keseluruan organik yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah

bagian-bagian yang saling bergantung maka Durkheim memfokuskan pada

solidaritas dan integrasi masyarakat sebagai permasalahan substansial karyanya.

Tentunya hal ini sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh kondisi pada masa itu,

saat terjadinya revolusi khususnya di Perancis yang menimbulkan perubahan

tatanan sosial dan munculnya efek-efek negatif industrialisasi terhadap

masyarakat. Pada masa itu pemikiran-pemikiran tentang hubungan antara individu

dengan masyarakat masih menjadi bahan pemikiran. Namun Durkheim memiliki

perspektif yang berbeda dengan pemikir-pemikir lain seperti Hobbes dan Spencer.

Para pemikir sebelumnya melihat bahwa masyarakat dibentuk oleh individu-

individu yang kemudian dengan berbagai alasan tertentu membentuk jalinan

masyarakat. Durkheim memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan

5 Indah F, Pengertian Dan Defenisis Masyarakat Menurut Para Ahli. Cara pedia.

carapedia.com/pengertian_definisi_masyarakat_menurut_para_ahli_info488.html. Di akses

tanggal 4 agustus 2014.

14

pandangan ini.Ia melihat bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Masyarakat

juga memiliki sejumlah aturan yang membuat kita bergantung padanya. Hal-hal

itu adalah fakta sosial yang ada dalam masyarakat seperti hukum-hukkum,

norma-norma, nilai-nilai, dan sanksi-sanksi yang diterima apabila anggota

masyarakat tidak menjalankan hukum-hukum atau norma-norma yang ada.6

Dasar pemikiran Durkheim ini dijelaskan dengan apa yang dia sebut dengan fakta

sosial. Fakta sosial adalah perbuatan-perbuatan yang ada diluar individu secara

terpisah, umum, dan memaksa karena fakta itu tidak dapat terlepas dari individu-

individu secara bersama-sama serta memaksakan individu berbuat sesuai dengan

keadaan masyarakatnya. Sesungguhnya individu-individu memiliki hasrat sendiri-

sendiri namun lingkungan sosialnya mempengaruhi sehingga hasrat individu tidak

muncul. Proses ini sepenuhnya terjadi melalui sosialisasi yang memungkinkan

proses “pemaksaan” itu terjadi tanpa disadari. Jadi fakta sosial tidak menyatu

dengan individu-individu secara utuh tetapi juga tidak bisa lepas dari individu-

individu tersebut. Inti dari fakta sosial ini yaitu adanya tindakan yang dilakukan

disebabkkan karena adanya pola dalam hubungan sosial itu sendiri. Sehingga

Menurut Emile Durkheim, fakta sosial tidak dapat direduksi menjadi fakta

individu, karena ia memiliki eksistensi yang independen ditengah-tengah

masyarakat. Fakta sosial sesungguhnya suatu kumpulan dari fakta-fakta individu

akan tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu realitas yang riil. Masyarakat

merupakan realitas sui generis.Durkheim menyebut fakta sosial dengan sui

6 Bernard Raho SVD. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. (Jakarta: OBOR, cet-1. 2013),

42

15

generis, yang berarti “unik”, artinya bahwa masyarakat memiliki karakteristiknya

sendiri yang tidak bisa dijumpai dalam realitas lain dalam alam semesta atau tidak

dapat dijumpai dalam bentuk yang sama.7Dengan demikian fakta sosial akan

berlaku umum bagi masyarakat dan bukan mencerminkan satu keinginan

individu.

Lebih lanjut Durkheim menjelaskan tentang fakta sosial sebagai kesadaran

kolektif dan gambaran kolektif. Gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang

mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan

memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota kelompok.

Sedangkan kesadaran kolektif merupakan semua gagasan yang dimiliki bersama

oleh para anggota masyarakat dan menjadi tujuan-tujuan dan maksud-maksud

kolektif sebagai bentuk consensus normative yang mencakup kepercayaan-

kepercayaan keagamaan.8

Masyarakat secara paling sederhana dipandang oleh Durkheim sebagai

kesatuan intregral dari fakta-fakta sosial itu. Durkheim mendefinisikan kesadaran

kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang

kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap

yang punya kehidupan sendiri atau dapat juga disebut dengan kesadaran kolektif

atau kesadaran umum. Masyarakat memiliki “kesadaran kolektif” yang

7Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta: Ircisod,

2003), 38

8Daniel Pals, Seven Theories Of Religion(Terj.). (Jogjakarta: IRCiSoD, Edisi baru Cet-2

2012), 140

16

membuahkan nilai-nilai dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang

ideal bagi individu. Durkheim pun menjadikan fakta solidaritas sosial sebagai

unsur dasar dalam masyarakat. Masyarakat adalah suatu kekuatan yang lebih

besar daripada kita. Ia melampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menindas

kecendrungan egois kita, dan memenuhi kita dengan energi. Masyarakat, menurut

Durkheim, melaksanakan kekuatan-kekuatan tersebut melalui representasi-

representasi. Misalnya didalam Tuhan, Durkheim melihat “hanya masyarakat

yang diubah rupanya dan diungkapkan secara simbolis”. Oleh karena itu

masyarakat adalah sumber dari yang sakral.

Menurut Durkheim definisi kesadaran kolektif adalah seluruh kepercayaan

bersama orang banyak dalam masyarakat yang akan menimbulkan sebuah sistem

yang tetap dan memiliki kehidupan sendiri bersifat umum. Durkheim memandang

kesadaran kolektif tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat secara

keseluruhan melalui kepercayaan dan sistem bersama. Durkheim menilai bahwa

kesadaran kolektif tidak dapat telepas dari fakta sosial dan Durkheim pun tidak

memungkiri kalau kesadaran kolektif dapat terwujud melalui kesadaran-kesadaran

individu.

Sementara itu, adanya representatif kolektif dikarena, kesadaran

kolektif memiliki sesuatu yang luas dan tidak memiliki bentuk yang tetap dan

hanya bisa dipelajari dengan melalui fakta sosial material, maka Durkeim pun

memilih sesuatu yang lebih spesifik dalam karya-karyanya. Contoh dari

representatif kolektif adalah simbol agama, mitos serta cerita-cerita populer.

Semua itu adalah cara-cara masyarakat merefleksikan dirinya dan

17

mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif dan mendorong kita

untuk menyesuaikan diri dengan pengakuan kolektif. Representasi kolektif tidak

dapat ditimbulkan oleh kesadaran-kesadran individu, karena reperesentatif

kolektif berhubungan langsung dengan simbol material.

C. Agama Menurut Emile Durkheim

Kata “agama” merupakan kata atau istilah yang menjadi sangat penting di

dalam kehidupan manusia. Agama diperlukan oleh manusia baik perorangan

maupun kelompok dari generasi ke generasi.9 Seringkali pengertian agama itu

dipahami secara abstrak dan tidak riil karena merupakan keyakinan terhadap

sesuatu yang misterius. Pengertian agama seperti ini merupakan pengertian

umum, dimana agama sebagai sesuatu yang berhubungan dengan yang misterius

dan tidak bisa dipahami manusia karena keterbatasan intelektual.

Emile Durkheim dalam penelitian terhadap kehidupan kepercayaan

masyarakat Aboriginyang ada di pedalaman Australia, melihat bahwa

pemahaman ide-ide tentang agama sebagai suatu yang misteri tidak didapat dalam

masyarakat primitif, karena bagi mereka ide-ide tersebut adalah sesuatu yang

bersifat sederhana, tidak rumit dan bukanlah suatu yang irasional. Ide-ide yang

dianggap misteri tersebut justru merupakan cara terbaik untuk mengetahui dan

memahami apa yang ada disekitar.10

Dengan demikian dapat disimpulkan secara

9 K. Sukardi, Agama-Agama Yang Berkembang Di Dunia Dan Pemeluknya. (Bandung:

Angkasa Bandung, 1993), 17

10 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta:

Ircisod, 2003), 251-255

18

keseluruhan bahwa masyarakat adalah sosok yang membentuk agama itu sendiri,

dimana setiap individu yang memilki kebiasan yang sama akan disatukan melalui

kepercayaan dan ritus. Masyarakat merupakan sesuatu yang mengikat setiap

individu dalam aturan yang kemudian menjadikan masyarakat sebagai Tuhan

yang juga harus disembah dan dihormati oleh setiap individu sebagaimana setiap

individu menghormati prinsip-prinsip totem.

Menurut Durkheim, ide yang muncul dalam benak manusia tentang hal

yang misterius akan melahirkan konsep tentang yang supernatural. Namun

pemahaman tentang ide yang supernatural tidak hanya didapat melalui fenomena-

fenomena alam yang terlihat tidak natural. Menurutnya, ide mengenai yang

misteruis merupakan ide yang diciptakan atau diolah oleh manusia itu sendiri

sebagaimana yang misterius mempengaruhi manusia. Sesuatu yang supernatural

seringkali dipahami oleh masyarakat umum sebagai sesuatu yang agung atau

sebagai Tuhan, tetapi Durkheim sendiri lebih suka menggunakan istilah “sesuatu

yang spiritual” (spiritual being). Sesuatu yang spiritual itu mesti dipahami sebagai

subjek yang berkesadaran yang memiliki kemampuan melebihi manusia. Sebab

Durkheim sendiri mengatakan bahwa satu-satunya hal yang dapat

menghubungkan kita dengan yang spiritual itu hanyalah apa yang dilekatkan

manusia padanya. Sesuatu yang spiritual tadi adalah sesuatu yang berkesadaran

dan kita dapat mempengaruhinya sebagaimana kita dapat mempengaruhi

kesadaran secara umum dengan menggunkan sarana-sarana psikologi, dengan

berusaha meyakinkan dan membangkitkan kata-kata (matra dan doa) atau dengan

sesaji dan kurban-kurban. Dan karena objek agama mengatur hubungan-hubungan

19

kita dengan sesuatu yang khas ini, maka agama hanya bisa ada jika doa, kurban,

ritus-ritus tolak bala dan sejenisnya.11

Lebih lanjut, Durkheim melihat bahwa agama juga tidak bisa dipisahkan

dari ide tentang komunitas agama karena komunitas agama membentuk satu

komunitas moral yang memiliki keyakinan yang sama dan yang terdiri dari para

pengikut, baik orang awam, pemimpin agama atau pemuka agama.12

Lebih

jelasnya Durkheim mendefenisikan agama sebagai kesatuan sistem kepercayaan

dan praktek-praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral yakni hal-hal

yang terpisah dan dilarang yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang

disebut komunitas agama. Untuk menunjukan bahwa ide agama tidak dapat

dipisahkan dari ide gereja, mau tidak mau agama harus dikonsepsikan sebagai hal

yang benar-benar kolektif.13

Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari

collective consciousness (kesadaran kolektif) sekalipun selalu ada perwujudaan-

perwujudan lainnya.Ia menyatakan bahwa Tuhan dianggap sebagai simbol dari

masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma

ke dalam collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat

itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan

adalah personifikasi masyarakat) dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia.

11

Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta:

Ircisod, 2003), 56-57

12DhavamonyMariasusai. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: Kanisius), 79

13 Emil durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.) (Jogjakarta: Ircisod,

2003), 80

20

Sehingga ia berkesimpulan bahwa agama merupakan lambang kolektif atau

collective representation daripada masyarakat dalam bentuknya yang ideal.

Dalam hal ini Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu

kepercayaan dan ritus atau upacara-upacara.Keyakinan adalah pikiran dan ritus

adalah tindakan.14

Pandangan inipula yang nampak dalam pemikiran Durkheim bahwa agama

berasal dari masyarakat itu sendiri.Masyarakatlah yang secara kolektif

mengkonstruksikan hal-hal yang mereka anggap suci (sakral) dan yang mereka

anggap duniawiah. Anggapannya tersebut didukung dari hasil penelitian yang ia

lakukan terhadap masyarakat Aborijin di pedalaman Australia. Masyarakat

tersebut secara kolektif menganggap bahwa sebuah benda yang dinamakan

“Totem” itu sebagai benda yang suci dan diangap sebagai Tuhan sehingga mereka

tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang berlaku karena mereka merasa

diawasi oleh Totem tersebut. Totem yang mereka anggap suci tersebut tidak lain

adalah sebuah simbol belaka yaitu simbol dari Tuhan yang mereka konstruksikan

sendiri.

Durkheim mengatakan ada dua hal paling pokok dalam agama, yaitu apa

yang disebut sebagai kepercayaan dan apa yang disebut sebagai ritus atau

upacara-upacara, dan kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Kepercayaan

agama merupakan kepercayaan kepada hal-hal yang dianggap sakral, sehingga

14

Hotman M. Siahaan. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi.(Jakarta: Penerbit

Erlangga. 1986), 156

21

orang bertingkah laku tertentu terhadap hal-hal yang dilakukan dalam

hubungannya dengan hal-hal tersebut.

Agama dianggap sebagai sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif

diantara masyarakat yang diwujudkan melalui upacara-upacara atau ritus-ritusnya.

Upacara-upacara keagamann tersebut dianggap dapat memperkuat kesadaran

kolektif diantara para pemeluknya dan setelah selesai melakukan upacara

keagamann tersebut, kesadaran kolektif itu dibawa dalam kehidupannya sehari-

hari dan lama kelamaan akan luntur dan akan diperkuat lagi dengan mengikuti

upacara keagamaan lagi.

Dalam defenisi Durkeim tentang agama jelas menunjukan bahwa perhatian

agama adalah tentang hal-hal yang sakral.Dan disebutkan komunitas agama

karena agama merupakan suatu komunitas yang melibatkan kepentingan-

kepentingan besar dan kesejahteraan seluruh kelompok umat.Defenisi ini juga

mengingatkan bahwa yang profan itu tidak selalu jahat atau buruk, melainkan

menunjukan ruang lingkup yang lebih kecil dan pribadi.

Bertolak dari pemikiran Durkheim mengenai agama, maka dapat dilihat

bahwa agama memiliki hubungan dengan komunitasnya. Agama tidak lain

daripada kekuatan kolektif masyarakat yang berada di atas individu-individu.

Kekuatan ini sungguh ada dan kekuatan-kekuatan itu adalah

masyarakat.Meskipun demikian agama bukan hanya merupakan sistem

kepercayaan atau konsep-konsep, melainkan juga sistem tindakan karena agama

melibatkan ritus-ritus. Dengan demikian hubungan agama dengan masyarakatnya

nampak di dalam ritual.

22

D. Ritual

Emile Durkehim dalam bukunya yang berjudul The Elemetary Forms The

Religius Life menjelaskan bahwa ritual merupakan aturan tentang perilaku yang

menentukan bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal

yang sakral.15

Tingkah laku manusia dan sistem upacara dalam kehidupan sehari-

hari dapat saja mempengaruhi perkembangan keyakinan dan ajaran, karena apa

yang telah dilakukan berulang-ulang dan terus menerus dan itu akan

menyebabkan manusia yang melaksanakannya sebagai sesuatu yang memang

sebaliknya demikian.

Dalam kehidupan keagamaan terdapat simbol-simbol sakral.Simbol sakral

tersebut membawa manusia pada pelaksanaan ritus, karena di dalam ritus itulah

tingkah laku manusia dijadikan sakral. Melalui ritus-ritus tertentu yang

didalamnya terdapat suasana hati dan motivasi yang apabila dipertemukan akan

membentuk kesadaran spiritual dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa ritualdilakukan untuk mempersatukan individu dalam kegiatan

bersama dan satu tujuan bersama dengan memperkuat kepercayaan, perasaan dan

komitmen moral terhadap kehidupan kelompok.

Durkheim menghubungkan ritus dengan kesadaran kolektif, bahwa

kesadaran kolektif itu merupakan kebutuhan asasi dalam diri setiap manusia

15

Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta:

Ircisod, 2003), 72

23

sehingga perlu diaktifkan kembali dengan upacara-uparaca religius yang dianggap

sakral.

Perlu dikemukakan bahwa, sistem ritual keagamaan biasanya relatif tetap,

tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya bisa berubah. Kalau

diamati dalam pelaksanaanya, ternyata biasanya melibatkan banyak warga

masyarakat yang menganut agama yang sama, sehingga mereka bersama-sama

mempunyai fungsi sosial yang sama pula yaitu untuk mengintensifkan solidaritas

masyarakat. Para pemeluk agama itu dituntut untuk menjalankan kewajiban

mereka melakukan upacara agamanya dengan sungguh-sungguh, namun demikian

ada saja anggota yang melakukan tuntutan itu dengan tidak serius.

Ritual memang tidak dapat dilepas pisahkan dari agama.Agama

merupakan lambang representasi kolektif dalam bentuknya yang ideal. Agama

adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama.

Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang

collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan

suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun

collective consciousness tersebut semakin lemah kembali. Jadi ritual-ritual

keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan

kesadaran kolektif di antara masyarakat, atau dengan kata lain ritual agama

merupakan perintah atau tuntunanbagi manusia untuk mendekatkan diri kembali

kepada Tuhannya.

24

Dari sini, terjawab sudah arti penting ritual-ritual keagamaan dari agama-

agama yang pada saat ini masih ada. Mereka dapat memberikan arti penting suatu

masyarakat dalam diri kita sekaligus memberikan kepada kita perasaan yang

transenden, yang tidak terjamah, yang tidak tercapai dalam kehidupan sehari-hari

yang bersifat individual. Ini juga menjelaskan mengapa pemuka-pemuka agama

dan kalangan-kalangan beragama yang taat sangatlah dijunjung tinggi oleh

masyarakat. Karena mereka sudah mengorbankan diri mereka untuk kepentingan

masyarakat. Ia menjadi contoh bagi masyarakat untuk meninggalkan Yang Profan

karena Yang sakral berada di kepentingan masyarakat.

Pandangan mengenai ritus juga dikemukakan oleh Mircea Eliade.Eliade

mendefenisikan ritus sebagai sarana bagi manusia religius untuk bisa beralih dari

waktu profan ke waktu kudus (sakral) yang transenden terhadap kondisi manusia,

dimana manusia meniru tindakan kudus yang mengatasi kondisi manusiawinya

dengan keluar dari waktu kronologis dan masuk ke dalam waktu awal mula yang

kudus yang menjadi pusat dunia.16

Pada dasarnya dalam makna religiusnya ritual

merupakan gambaran prototype yang suci, model-model teladan, arketipe

primordial; sebagaimana dikatakan ritual merupakan pergulatan tingkah laku dan

tindakan makhluk ilahi atau leluhur mistis.17

Pendefenisian yang senada juga

dikemukakan oleh J. Goody dalam fenomenologi Agama mendefenisikan ritual

sebagai suatu kategori adat perilaku yang dibakukan, dimana hubungan antara

16

Hary Susanto, Mitos : Menurut Pemikiran Mircea Eliade. (Jogjakarta: Kanisius, 1987),

56

17Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995), 183

25

sarana-sarana dengan tujuan yang bersifat “intrinsik”, dengan kata lainsifatnya

entah rasional atau nonrasional.18

Dalam pendefenisian yang berbeda, Susana Langer dalam Dhavamony

mengemukakan bahwa ritual merupakan ungkapan dari yang lebih bersifat logis

daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-

simbol yang diobjekan. Simbol-simbol tersebut mengungkapkan perilaku dan

perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari pada pemuja mengikuti

modelnya masing-masing.19

Melalui pengobjekan terhadap simbol-simbol tersebut

terdapat kepentingan untuk melanjutkan eksistensi individu dan kolektifitas dalam

keagamaan.

Berbicara mengenai eksistensi ritus dalam realitas keagamaan suatu

masyarakat, Geertz mengemukakan bahwa dalam ritus, tingkahlaku yang

dikeramatkan, kepercayaan bahwa konsep-konsep religius dibenarkan dan

kepercayaan bahwa tujuan-tujuan religius terbukti agak berhasil. Di dalam

semacam bentuk seremonial tertentulah-sekalipun bentuk itu hampir tidak lebih

daripada resitasi sebuah mitos, konsultasi sebuah ramalan, atau dekorasi sebuah

makam, suasana-suasana sebuah hati atau motivasi-motivasi yang timbul oleh

simbol-simbol sakral dalam diri manusia dan konsep-konsep umum tentang tata

18

Ibid ., 175

19Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995), 174

26

eksistensi yang di rumuskan simbol-simbol itu bagi manusia bertemu dan saling

memperkuat satu sama lain.20

Bertolak dari pemikiran tokoh-tokoh di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa; 1), ritus merupakan sarana bagi manusia untuk berkomunikasi dengan

hakekat yang tertinggi dalam penggunaan simbol-simbol. 2), ritus mengikat klan-

klan menjadi satu. 3), ritus dalam pelaksanaannya secara kolektif memperbaharui

rasa solidaritas pada mereka. Tetapi ketika anggota-anggota klan terpisah, rasa

solidaritas mulai menurun dan sewaktu-waktu harus dirangsang lagi dengan

berkumpul dan mengulangi upacara dimana kelompok tersebut saling

memperkuat.

Selain itu, ritual dapat dibedakan menjadi empat macam; Pertama,

tindakan magi. tindakan magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang

bekerja karena daya-daya mistis. Kedua, tindakan religius, kultus para leluhur,

juga bekerja dengan cara ini. ketiga, ritual konstituti yang mengungkapkan atau

mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis,

dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas. Keempat, ritual faktatif

yang meningkatkan kekuatan atau pemurnian dan perlindungan, juga

meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.21

Sejalan dengan itu Van

Gennep melihat bahwa ritual ini juga di perlukan untuk menetapkan

20

Clifford Geertz, The Interpretation Of Cultures (Terj.). (Jogjakarta: Kanisius, 1992),

32-33

21Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995) 175

27

keseimbangan baru di dalamhubungan-hubungan yang berubah atau dengan

istilahnya yaitu memperoleh penyatuan kembali. 22

Ritual juga memiliki suatu lingkaran dan kalender tersendiri.23

Lingkaran

ritual (ritual circle) mengandung didalamnya tindakan manusia, kemudian

bagaimana tindakana itu mengarah dan menunjuk kepada makhluk-makhluk ilahi

yang disembah atau yang menjadi alasan dan dasar dari suatu perbuatan ritual.

Lingkaran itu adalah lingkaran kosmis yang secara langsung membawa manusia

(pelaku ritual) masuk dalam suatu pola hubungan kosmis dengan dunia transenden

dimana makhluk ilahi itu berada.24

Tindakan ritus selalu melibatkan partisipasi

manusia baik sebagai individu maupun komunitas.

Adapun tujuan dari ritual-ritual (upacara-upacara) itu, adalah : tujuan

penerimaan, perlindungan, pemurnian, pemulihan, kesuburan (produktifitas),

penjaminan, melestarikan kehendak leluhur (penghormatan), mengontrol pelikau

komunitas menurut situasi kehidupan sosial, yang semuanya diarahkan kepada

transformasi keadaan dalam manusia atau alam. Kadang-kadang tujuannya untuk

menjamin perubahan amat cepat dan menyeluruh pada keadaan akhir yang

diinginkan oleh pelaku upacara. Kadangkala juga targetnya adalah suatu aspek

hakikat bukan manusia; kadang manusiawi, individu; atau juga suatu kelompok.

Perubahan yang dimaksud kadang merupakan suatu perubahan kecil, suatu

22

Ibid ., 176

23 Lorrieane V. Aragon, Fields Of The Lord: Animism, Christian Ministiries, And State

Develompment In Indonesia. (Honolulu: Hawai University Press, 2002), 202-207

24 Bnd. Dhavamony.,175

28

koreksi yang akan memulihkan keseimbangan dan status qou, melestarikan

gerakan sistema dalam ikatan-ikatana; kadang menyangkut suatu sistem yang

rasikal, tercapainya level keseimbangan baru, atau bahkan kualitas baru dalam

organisasi.25

Secara global ritus dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu : ritual

(upacara-upacara) yang bersifat musiman dan bukan musiman. Ritual-ritual

musiman terjadi pada acara-acara yang sudah ditentukan, dan kesempatan untuk

melaksanakannya selalu merupakan peristiwa dalam siklus lingkaran alam-siang

dan malam gerhana, letak planet-planet dan bintang-bintang. Sedangkan ritual-

ritual bukan musiman, dilaksanakan pada saat-saat kritis, mengikuti kalender

lingkaran hidup. Sebagaimana dipaparkan Tiev, bahwa ritual-ritual musiaman

hampir selalu bercorak komunal dan menyelesaikan secara teratur kebutuhan-

kebutuhan yang berulang dari masyarakat sosial, sementara ritual-ritual (upacara-

upacara) bukan musiman mungkin atau bisa jadi tidak bercorak komunal.26

Pemahaman mengenai ritus sebagaimana yang telah diuraikan di atas,

dapat dikatakan bahwa ritus sangat penting untuk mempertahankan solidaritas dan

hubungan masyarakat. Dengan demikian menurut Durkheim, melalui ritus-ritus

atau upacara-upacara tersebut masyarakat memperkuat dan memperbaharui

sentimen-sentimen keagamaan mereka serta perasaan ketergantungan mereka

pada kekuatan moral dan spiritual yang bersifat eksternal yang sebetulnya tidak

25

Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995) 180

26Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama. (Jokjakarta: kanisius, 1995), 178-179

29

lain dari masyarakt itu sendiri.27

Ritus-ritus atau upacara-upacara seperti itu akan

menciptakan suasana kegembiraan serta berusaha meyakinkan setiap anggota

masyarakat akan pentingnya kelompok dan masyarakat lewat nasihat-nasihat

keagamaan. Namun, sering kali ritus juga dilakukan untuk memperoleh sesuatu

atau menghindari terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan.

E. Yang sakral dan Yang Profan

Menurut Emile Durkheim dasar dari kepercayaan terhadap agama

bukanlah terletak pada kepercayaan terhadap hal-hal yang supernatural seperti

Tuhan, karena pada banyak agama tidak ditemukan kepercayaan terhadap Tuhan.

Dasar dari agama bukanlah kepercayaan terhadap kekuatan supernatural

(pembedaan atas apa yang natural dan supernatural), melainkan konsep yang

sakral. Pada masyarakat beragama, terdapat dua konsep yang terpisah, yaitu yang

sakral dan yang profan. Hal-hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang

superior, berkuasa, dalam kondisi profan ia tidak tersentuh dan terjamah dan

dihormati. Sementara, yang profan adalahkehidupan sehari-hari yang bersifat

biasa saja.28

Dalam penjelasan Durkheim mengenai agama, ia menjelaskan bahwa

agama adalah suatu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan

selalu dikaitkan dengan yang sakral yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang.

27

Bernard Raho SVD. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. (Jakarta: OBOR, cet-1. 2013),

45

28Daniel Pals, Seven Theories Of Religion(Terj.). (Jogjakarta: IRCiSoD, Edisi baru Cet-2

2012), 144-145

30

Perilaku-perilaku tersebut kemudian disatukan kedalam komunitas

masyarakat.yang sakral memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan

kepentingan seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian yang sakral menurut

Durkheim berada dalam masyarakat. Sementara yang profan tidak memiliki

pengaruh yang kuat, dan hanya merefleksikan kehidupan setiap hari yang

dilakukan oleh individu-individu.

Untuk menjelaskan yang sakral, Durkheim menganalisis agama

totemisme yang dianut oleh suku Aborijin bangsa penduduk asli Australia. Dalam

totemisme, kelompok manusia itu mengasosiasikan dirinya dengan salah satu

binatang atau tumbuhan sebagai totem. Mereka menganggap semua simbol totem

itu sakral, sehingga tidak boleh disentuh atau dimakan. Dari pandangan seperti

itulah muncul pandangan mengenai yang sakral dan profan.29

Berhubungan dengan hal-hal yang dianggap sakral dan profan, maka ide

tentang pembagian dunia menjadi dua ranah tersebut pada akhirnya akan

melahirkan antagonitas. Manusia menciptakan dua hal ini dengancara

menciptakan larangan-larangan agar keduanya tidak saling bersentuhan. Berkaitan

erat dengan yang sakral atau suci, maka keadaaan tertentu yang tidak suci

dianggap dapat mencemarkan yang suci tersebut. Oleh karena itu untuk

29

Daniel Pals ., 157-158

31

menghindari kemungkinan timbulnya pencemaran suatu yang profan terhadap

yang sakral, maka manusia memagari keduanya dengan larangan atau tabu-tabu.30

Untuk menjauhi sentuhan antara keduanya, maka hal-hal yang sakral di

isolasikan oleh larangan-larangan, sedangkan hal-hal yang profan adalah tempat

larangan itu diterapkan. Untuk mengatur hubungan dengan hal-hal yang sakral,

maka manusia menggunakan ritus sebagai sebuah aturan atau tindakan. Hal-hal

yang sakral akan menjadi pusat organisasi yang dikelilingi oleh kepercayaan,

larangan-larangan, dan tata cara ritus-ritus yang dilakukan oleh masyarakat.31

Bagi Durkheim yang sakral berada dalam masyarakat, sementara yang

profan ada dalam konteks individu. Ia mengemukan konsepiniatas dasar

penelitiannya mengenai masyarakat dengan agama totemisme; agama yang

dianggap sebagai agama paling tua yang pernah ada dalam sejarah manusia. Pada

agama totemisme, simbol-simbol hewan dan tumbuhan dipuja sebagai sesuatu

yang dihormati. Simbol hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan tertentu

merupakan lambang dari klan-klan tertentu pada suku-suku. Hewan-hewan dan

tumbuhan-tumbuhan itu suci dan tidak boleh dibunuh, tidak boleh dilukai atau

bahkan didekati kecuali dalam perayaan-perayaan tertentu. Kesucian totem adalah

mutlak dalam masyarakat itu. Kesuciannya dapat dirasakan oleh tiap-tiap

individu, terutama dalam perayaan dan ritual-ritual keagamaan. Pada ritual-ritual

dan perayaan-perayaan itu, totem-totem menyusup dan mengatur kesadaran diri

30

Elizabeth K Nottingham, Religion And Society (Terj.). (Jakarta: Rajawali, cet-1, 1985),

12

31 Emil Durkheim ., 71

32

manusia. Saat pemujaan berlangsung dimana tarian-tarian, lagu-lagu, mantera-

mantera dan perasaan tenteram dan tenang merasuk ke dalam tiap individu, maka

detik itu juga individu kehilangan pribadinya dan masuk ke dalam kerumunan

masa yang sakral. Sebuah perasaan melayang-layang yang tidak biasa, yang tidak

bisa diungkapkan, tetapi nyata dan bersifat transendental.32

Menurut Durkheim pemujaan sebagai bagian dari fenomena religius dapat

dilihat dari dua sisi, yaitu pemujaan negatif dan pemujaan positif. Pemujaan

negatif sangat erat hubungannya dengan larangan-larangan atau tabu, karena ia

yang akan menentukan jenis-jenis larangan religius tersebut. Larangan religius

termuat dalam ide tentang hal yang sakral dan dia muncul dari respek yang di

tuntut oleh objek-objek yang sakral.33

Ia selanjutnya memperlihatkan bahwa

kepercayaan terhadap roh-roh dan dewa-dewi berasal dari kepercayaan akan roh

nenek moyang yang sebetulnya merupakan jiwa-jiwa dari nenek moyang. Karena

itu, jiwa-jiwa dari nenek moyang tersebut sebetulnya merupakan prinsip-prinsip

sosial yang diekspresikan pada individu-individu tertentu.Sementara itu, larangan-

larangan atau tabu berasal dari rasa hormat terhadap objek-objek yang sakral.

Sehingga tujuan dari larangan-larangan atau tabu tersebut adalah untuk

mempertahankan rasa hormat tersebut.34

Dengan demikian dari hal-hal tersebut

muncul larangan-larangan dan penyangkalan diri yang di dalamnya juga

32

Ibid ., 154-166

33 Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta:

Ircisod, 2003), 434-436

34Raho Bernard SVD. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. (Jakarta: OBOR, cet-1. 2013),

46

33

mengandung pengertian bahwa keteraturan sosial menjadi mungkin apabila

individu-individu dalam tingkatan tertentu menyangkal dirinya dan meninggalkan

kepentingan-kepentingan dirinya.

Fungsi dari larangan religius dalam pemahaman Durkheim adalah untuk

memisahkan antara yang sakral dan profan.Larangan-larangan tersebut

mengusahakan agar keduanya tidak melakukan kontak. Kontak yang dimaksud di

sini, misalnya dengan tatapan atau memandang terhadap yang sakral dan suara

atau bahasa-bahasa yang digunakan ketika melakukan upacara tidak boleh sampai

ke telinga orang-orang yang profan, perlengkapan-perlengkapan untuk ritus juga

menjadi suatu yang sacral dan terpisah dari profan. Lebih jauh lagi, tindakan dan

perilaku dalam kehidupan sehari-hari dilarang dilakukan selama kehidupan

religius berjalan.35

Jadi pemujaan negatif dalam hal ini merupkan sesuatu yang

terbatas pada sistem larangan dan bersifat menghalangi aktivitas profan.

Pemujaan negatif merupakan sarana yang diciptakan oleh masyarakat

untuk menandakan dan memisahkan sesuatu yang sakral dan profan, sehingga

setiap individu dengan sendirinya mampu membedakan kedua dunia

tersebut.Dengan adanya pemisahan antara yang sakral dan profan maka setiap

individu dapat menjalankan kehidupan religius mereka.Pemujaan negatif juga

merupakan langkah untuk tiba pada pemujaan positif seperti yang diistilahkan

35

Emil Durkheim. The Elementary Forms Of The Religius Life (Terj.). (Jogjakarta:

Ircisod, 2003), 437-444

34

oleh Durkheim.36

Dengan demikian maka setiap individu yang terikat dalam satu

keyakinan akan memahami sesuatu sebagai yang sakral ketika ada suatu larangan

yang mendorong setiap individu untuk patuh dan tunduk terhadapnya.

Implikasi dari keyakinan terhadap totem itu selanjutnya mampu

menjelaskan bagaimana masyarakat membangun sistem-sistem kepercayaan

tertentu melalui metode asosiasi hubungan-hubungan antar konsep yang berpusat

pada Yang sakral. Termasuk didalamnya adalah sistem kepercayaan terhadap roh

atau jiwa (yang menjadi dasar dari banyak agama). Roh yang ada dalam diri

seseorang merupakan representasi ketergantungan mereka terhadap masyarakat.

Roh bertugas untuk memberitahukan kepada individu untuk mematuhi kewajiban-

kewajiban moral terhadap masyarakat. Roh yang menjadi representasi

masyarakat dalam diri individu merupakan yang sakral sementara badan yang

bertugas memenuhi kebutuhan individu saja adalah yang profan. Selanjutnya

hubungan asosiatif dikembangkan lebih lanjut mengenai konsep roh yang bersifat

abadi. Dari sinilah penyembahan terhadap Dewa-Dewi dan Tuhan berasal. Roh-

roh yang mampu mengatur alam pada akhirnya dituntut oleh masyarakat sebagai

representasi kepribadian tertentu, yang superior, yang disebut Dewa dan Tuhan.37

Kepercayaan terhadap totem-totem yang pada akhirnya menjadi Dewa dan

Tuhan itu bukanlah hal yang paling penting dalam agama menurut Durkheim.

36

Seno P Harbangan. Antara Yang Saktal dan Yang Profane: Suatu Analisi Sosiologi-

Antropologis Tentang Upacara Rambu Solo’ Dikalangan Masyarakat Toraja (Tesis Magister

Sosiologi Agama, Universitas Kristes Satya Wacan ), 32

37Daniel Pals ., 153-156

35

Yang paling penting, adalah perasaan sakral yang dihasilkan dari ritual-ritual

keagamaan. Pemujaan-pemujaan yang ada dalam ritual-ritual atau perayaan-

perayaan dalam setiap agama bertujuan bukan untuk totem atau Dewa, melainkan

untuk menjaga individu-individu agar tidak melupakan arti penting klan dan

memberikan perasan bahwa yang sakral adalah sesuatu yang berbeda dan

memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Yang Profan.38

Dengan

demikianmenurut Durkeim,yang sakral beradadalam masyarakat artinya bahwa

ikatan paling mendasar yang mempersatukan masyarakat itulah yang disebut

sakral.

Menurut Mircea Eliade yang sakral adalah sesuatu yang supernatural, luar

biasa, amat penting, dan tidak mudah dilupakan. Sementara,yang profan adalah

sesuatu yang biasa, bersifat keseharian, hal-hal yang dilakukan sehari-hari secara

teratur dan acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting. Yang sakral bersifat abadi,

mengandung substansi, dan nyata. Di dalam yang sakral mengandung

kesempurnaan dan keteraturan, yang di dalamnya bersemayam roh, nenek

moyang, tempat tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara yang profan bersifat

mudah hilang, terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu berbuat

salah, manusia selalu berubah, dan mengalami kekacauan.39

Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia karena ia

memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia profan. Manifestasi dari yang

38

Ibid ., 156-164

39Ibid ., 233-234

36

sakral ini disebut Eliade sebagai “Hierofani”.40

Eliade memperkenalkan konsep

hierofani sebagai sebuah konsep di mana yang sakral memanifestasikan dirinya

pada diri manusia, pengalaman dari orde realitas lain yang merasuki pengalaman

manusia. Ia juga memaparkan ide tentang ruang yang sakral, yang

mengambarkan bagaimana satu-satunya ruang yang “nyata” adalah ruang sakral,

yang dikelilingi oleh satu medan tanpa bentuk. Ruang sakral menjadi arah bagi

ruang yang lainnya. Ia mendapatkan bahwa manusia mendiami sebuah dunia

tengah, antara dunia-luar yang kacau dan dunia-dalam yang sakral, yang

diperbaharui lagi oleh praktik dan ritual sakral. Dengan menyucikan satu tempat

dalam dunia profan, kosmologi direkapitulasi dan yang sakral menjadi mungkin

diakses. Ini menjadi pusat dari dunia primitif. Ritual mengambil tempat dalam

ruang sakral ini, dan menjadi satu-satunya cara partisipasi dalam kosmos yang

sakral ketika berupaya menghidupkan dan menyegarkan kembali dunia profan.

Selanjutnya, Eliade mengaitkan waktu sakral dengan mitologi. Ketika

“waktu profan” adalah linear, waktu sakral kembali pada permulaan manakala

segalanya nampak lebih “nyata” daripada keadaannya sekarang. Lagi-lagi ritual

memainkan peran penting. Waktu digerakkan kembali dengan menjadikannya

baru kembali sementara ritual-ritual mengikat kembali para penganut kepada

keaslian kosmos yang sakral.

Dalam buku The sacred and the profane, Eliade mengatakan dengan

hadirnya yang sakral, maka setiap benda yang dipakai dapat menjadi sesuatu yang

40

Hierofani berasal dari bahasa yunani, yaitu hieros dan phainein yang berarti

“penampakan yang sakral”

37

lain, walaupun benda-benda tersebut tetap nampak seperti benda-benda biasa dan

berada di alamnya. Sementara dalam pandangan profan, sebuah batu yang

dianggap sakral kelihatannya tidak lebih dari batu biasa, tidak istimewah. Tetapi

bagi mereka yang melihat kehadiran yang sakral didalamnya, maka dengan

seketika batu akan berubah menjadi suatu kenyataan yang supernatural.41

Demikian juga halnya dengan tindakan religius, dimana setiap tindakan

religius bisa hanya oleh karena fakta sederhana maka tindakan itu bersifat

religius.Dengan diberi status makna simbolis maka tindakan itu menunjuk kepada

makhluk atau nilai-nilai yang supernatural.Yang sakral bisa disamakan dengan

kekuatan atau suatu realitas.42

Tetapi bisa terjadi pada waktu yang tertentu sesuatu

yang mejadi sarana sakral itu pada waktu yang lain tidak lagi menjadi symbol-

simbol sakral dan tempatnya diganti dengan objek yang lain, sekalipun yang

sakral sendiri tetap dan tidak pernah berubah. Karena yang sakral itu ialah yang

ilahi, abadi dan tidak pernah mati. Yang sakral merupakan suatu realitas yang

bukan dari dunia, sehingga sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan yang

profan.43

Bagi Eliade, otoritas yang sakral mengatur semua kehidupan. Misalnya

dalam pembangunan perkampungan baru.Masyarakat arkhais tidak dengan

41

Seno P Harbangan. Antara Yang Saktal dan Yang Profane: Suatu Analisis Sosiologi-

Antropologis Tentang Upacara Rambu Solo’ Dikalangan Masyarakat Toraja (Tesis Magister

Sosiologi Agama, Universitas Kristes Satya Wacan ), 31-32

42Mircea Eliade, The Sacred And The Profane: The Nature Of Religion. (London: A

Harvest/HBJ Book, 1959), 12

43Ibid ., 14-18

38

sembarangan memilih tempat.Satu perkampungan haruslah didirikan pada tempat

yang memiliki “Hierofani”.Sehingga rencana tersebut dapat diwujudkan apabila di

tempat yang dipilih tersebut pernah “dikunjungi” oleh yang sakral, baik itu dalam

bentuk dewa atau arwah nenek moyang.Dengan demikian suatu ruang atau tempat

menjadi sakral karena peristiwa “Hierofani”.

Lebih lanjut Eliade mengatakan bahwa di dalam masyarakat arkhais,

realitas yang paling utama adalah yang sakral. Dalam melakukan hal-hal yang

sifatnya mendasar, seperti menetukan waktu dan tempat menetap, mereka akan

selalu menyerahkan pilihannya kepada yang sakral.44

Keinginan manusia untuk

selalu dekat dengan yang sakral itulah menyebabkan Eliade, menyebutkan

manusia seperti itu sebagai manusia religius. Eliade juga mengatakan bahwa

manusia nonreligius sebetulnya juga berasal dari manusia religius. Ia merupakan

karya manusia religius dan dibentuk mulai dari sejak para leluhur yang merupakan

hasil proses desakralisasi. Manusia profan merupakan hasil dari desakralisai

eksistensi manusia.45

Dari sini terlihat sebenarnya perbedaan konsep yang sakral antara

Durkheim dan Eliade. Sementara Durkheim selalu mengunakan pendekatan sosial

kemasyarakatan yang non-supernatural dalam menentukan apa yang sakral itu,

Eliade berpendapat sebaliknya. Baginya, kekuatan supernatural adalah inti dari

yang sakral itu. Pemikiran Eliade ini bukanlah bersumber sepenuhnya dari

pemikiran Durkheim meski menggunakan istilah-istilah yang sama, melainkan

44

Daniel Pals ., 236

45Seno P Harbangan ., 44

39

bersumber dari seorang teolog yang pernah menjadi pembimbingnya, yaitu Rudolf

Otto yang mengartikan perjumpaan dengan yang sakral (The Holy) sebagai

mysterium (hal yang misterius). Baik itu mysterium fascinosum (misterius yang

mengagumkan) atau mysterium tremendum (misterius yang menakutkan),

keduanya merupakan perjumpaan dengan yang sakral.46

Perjumpaan yang sakral

ini memberikan perasaan yang nyata, agung, tinggi, dan menakjubkan. Perasaan

ini tidak sama dengan perasaan-perasaan lainnya yang bersifat duniawi.

Pengalaman tentang yang sakral terjadi apabila orang menjumpai sesuatu yang

benar-benar luar biasa dan dasyat, terpikat oleh suatu yang sama sekali lain,

sesuatu yang misterius, menawan, berkuasa dan indah, sesuatu yang menakutkan

tetapi sekaligus menawan. Ketika manusia mengalami pengalaman yang sakral

itu, manusia selalu menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa.Dalam pengalaman

yang mengesankan dan menggetarkan ini, terletak emosional dari semua manusia

yang kita sebut agama.Perhatian agama adalah terhadap yang supernatural, yang

jelas dan sederhana yang berpusat pada yang sakral. Dengan demikian agama

menurut Eliade (lebih dekat dengan Tylor dan Frazer) pertama-tama dan terutama

sebagai kepercayaan pada wilayah dari wujud yang supernatural.47

Kesakralan adalah keseluruhan realitas yang dahsyat dan abadi, sehingga

manusia ingin berada dekat dengan kekuatan itu. Eliade mengatakan bahwa dalam

perjumpaan dengan yang sakral, seseorang merasa disentuh oleh sesuatu yang nir-

46

Daniel Pals ., 235

47Ibid ., 235-238

40

duniawi.48

Segala konsep-konsep yang berada dalam ruang lingkup perjumpaan

dengan yang nir-duniawi dapat dikatakan sebagai yang sakral, dan ini tidak berarti

harus selalu dengan Tuhan yang bersifat personal. Dengan kepercayaan terhadap

kekuatan yang agung dan nir-duniawi yang nyata itu,adalah mudah menjelaskan

bagaimana kepercayaan yang begitu kuatnya pada akhirnya membentuk sistem-

sistem tertentu. Yang sakral mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia.

Sehingga bagi Eliade yang sakral itu adalah sesuatu yang memiliki kekuatan

supernatural, yang tertinggi, ada pada diri sendiri dan bukan produk masyarakat.

Pandangan di atas tentu tidak terlepas dari pandangan terhadap leluhur.

Fenomena kepercayaan terhadap roh leluhur merupakan gelaja umum yang

ditemukan pada kalangan masyarakat primitif dan juga ada pada berbagai kelas

masyarakat dan tingkat pendidikan. Peran leluhur sanngat penting dalm

mempengaruhi mereka yang masih hidup, misalnya supaya leluhur itu tidak marah

dan mendatangkan malapetaka maka setiap ketentuan harus di ikuti.

Kepercayaan terhadap leluhur biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan

akan sesuatu bentuk komunikasi yang baik. Oleh karena itu pemahaman

masyarakat yang mengakui bahwa kedudukan leluhur dalam upacara adat

merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting dalam menangkal kejahatan dan

menjamin kesejahteraan.Dengan demikian masyarakat mengalami secara

langsung impresi-impresi keagamaan yang menghubungkan mereka dengan

leluhur. Dalam pengalaman itu, leluhur diyakini memiliki kuasa tertentu dan

48

Ibid ., 235

41

fungsi menjaga dan memelihara komunitas masyarakat itu dan bahkan mereka

merasakan bahwa leluhur itu begitu dekat.

Berkaitan dengan penyembahan terhadap para lelulur, Dhavamony49

melihat ada dua bentuk kepercayaan dan praktek yang berkenan dengan para

leluhur yakni berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal

dalam suatu komunitas dan orang-orang yang sudah meninggal dianggap sebagai

makhluk-makhluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Sementara itu

Paul Radin menggunakan istilah antropologis untuk menjelaskan pemujaan

terhadap para leluhur adalah penyamaan leluhur, baik secara langsung ataupun

tidak langsung, atau dari orang-orang yang menggantikan kedudukan leluhur

dengan roh dan dewa, serta pemindahan kepada mereka khususnya tindakan dan

sikap religius yang biasanya diasosiasikan dengan pemujaan roh dan dewa.50

Sedangkan menurut Richard, leluhur lebih superior dari manusia yang hidup, akan

tetapi kedudukan mereka tidak sederajat dengan Allah, peran mereka adalah

sebagai perantara yakni menolong Allah menyampaikan kehendak manusia

sekaligus menolong manusia menyampaikan masalah-masalah kepada Allah.51

Sementara itu Durkheim dalam teorinya tentang pemujaan dengan mendasarkan

pada kehidupan atau dunia yang sakral karena pemujaan itu sendiri tidak akan

lepas dari segala sesuatu yang dianggap sakral.

49

Davamnony ., 79

50Paul radin dalam MariasuasiDhavamony. Fenomenologi Agama. (Jogjakarta: kanisius,

1995), 79

51Suh Sung Min, Injil Dan Penyembahan Nenek Moyang. (Jogyakarta:Media Pressindo

2001), 24

42

Hal ini juga terlihat dalam konteks kehidupan masyarakat Mepa yang

mengandaikan bahwa walaupun leluhur itu sudah meninggal namun, jiwanya

masih tetap hidup. Oleh karena itu maka leluhur patut diberi penghormatan.

Leluhur diyakni oleh masyarakat adat desa Mepa sebagai sosok yang dapat

menjaga dan melindungi mereka ketika mereka melakukan upacara-upacar adat.

Fenomena ini memberikan gambaran bahwa pola karakteristik masyarakat adat

merupakan cerminan menarik untuk dipelajari. Durkheim dan Eliade dalam

penelitiannya memberikan gambaran hampir sama dengan masyarakat adat desa

Mepa.